• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Pedagang Terhadap Teritori Dalam Penggunaan Ruang Publik (Studi Kasus : Koridor Jalan Iskandar Muda, Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persepsi Pedagang Terhadap Teritori Dalam Penggunaan Ruang Publik (Studi Kasus : Koridor Jalan Iskandar Muda, Medan)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

2.1. Koridor Kota sebagai Ruang Publik

Ruang sebagai salah satu komponen arsitektur menjadi sangat penting

dalam pembahasan studi mengenai hubungan arsitektur lingkungan dan perilaku

karena fungsinya sebagai wadah kegiatan manusia (Haryadi & Setiawan, 2010).

Ruang kota merupakan ruang publik yang dapat diakses oleh semua masyarakat

kota dan dapat digunakan bersama (Zahrah et al. 2016). Tanpa kita sadari, jalan

merupakan ruang publik terbesar dan pasti dimiliki oleh setiap kota dengan

berbagai aktivitas di dalamnya.

2.1.1. Ruang Publik

Ruang Publik merupakan ruang atau wadah yang terbentuk karena adanya kebutuhan akan tempat untuk bertemu ataupun berkomunikasi.

Pada dasarnya, ruang publik ini merupakan suatu tempat untuk

menampung aktivitas tertentu dari manusia, baik secara individu maupun

berkelompok (Prihutami, 2008).

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007,

bahwa ruang terbuka dapat didefinisikan sebagai ruang-ruang dalam kota

atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/ kawasan maupun

dalam bentuk area memanjang / jalur dimana dalam penggunaannya lebih

bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ketersediaan ruang

publik kota sangatlah penting dalam perencanaan kota guna meningkatkan

kualitas kehidupan perkotaan. Peranan ruang publik sebagai salah satu

komponen kota dapat memberikan karakter tersendiri, dan pada umumnya

memiliki fungsi interaksi sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi serta

tempat apresiasi budaya (Darmawan, 2007). Ruang publik juga harus

memenuhi beberapa faktor agar berhasil yaitu melalui aspek sirkulasi/

aksesibilitas. Dengan kata lain, ruang publik harus tetap dapat diakses bagi

(2)

Sehingga segala bentuk aktivitas, termasuk aktivitas komersial di dalam

suatu ruang publik harus dapat membuat para user merasa ikut dilibatkan

dalam aktivitas tersebut.

Menurut Hakim dan Utomo (2003), ruang publik terbagi menjadi

dua berdasarkan sifatnya, yaitu:

1. Ruang publik tertutup; ruang publik yang berada di dalam bangunan

2. Ruang publik terbuka; ruang publik yang berada di luar bangunan.

Adapun pengertian ruang publik terbuka menurut Hakim dan

Utomo (2003) adalah sebagai berikut:

1. Bentuk dasar ruang terbuka selalu terletak di luar massa bangunan

2. Dapat dimanfaatkan dan digunakan oleh setiap orang

3. Memberi tempat untuk menampun bermacam-macam kegiatan/aktivitas

(multifungsi).

Contoh ruang publik terbuka seperti : jalan, jalur pedestrian, taman

lingkungan, plaza, lapangan olahraga, taman kota, dan lain-lain.

Ruang publik terbuka tentunya memiliki peranan penting terhadap

perkembangan sosial masyarakat. Hadirnya suatu ruang publik akan

memberi dampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat dalam

beraktivitas. Beberapa fungsi ruang terbuka menurut Hakim dan Utomo

(2003), yaitu:

1. Fungsi sosial; sebagai tempat berkomunikasi dan bersosialisasi, tempat

bermain dan berolahraga, tempat untuk mendapatkan udara segar,

tempat menunggu kegiatan lain, sebagai pembatas di antara massa

bangunan, menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain, sarana

untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan keindahan

lingkungan, sebagai saranan penelitian dan pendidikan, serta

penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan.

2. Fungsi ekologi; yaitu ruang terbuka yang memiliki fungsi untuk

(3)

banjir, meyegarkan udara, memperbaiki iklim mikro dengan mereduksi

panas dan polusi, memelihara serta menjaga keseimbangan ekosistem.

Secara garis besar, Krier (1979) dalam Prihutami (2008)

mengklasifikasikan ruang terbuka menjadi dua jenis, yaitu:

1. Ruang terbuka yang bentuknya memanjang (koridor) yang pada

umumnya hanya mempunyai batas pada sisi-sisinya, misalnya bentuk

ruang terbuka pada jalan.

2. Ruang terbuka yang bentuknya bulat dan pada umumnya mempunyai

batasan di sekelilingnya, misalnya ruang rekreasi dan lapangan upacara.

2.1.2. Koridor sebagai Ruang Publik

Salah satu bentuk ruang publik kota adalah koridor. Menurut Darmawan (2003), koridor adalah sebuah jalan yang diapit oleh dinding

dari sebelah kiri maupun kanan yang merupakan ruang-ruang di sekitar

jalan. Koridor juga merupakan bentuk dasar street yang merupakan ruang

pergerakan linear, sebagai sarana untuk sirkulasi. Koridor jalan sebagai

linear space tidak sekedar menjadi ruang sirkulasi, namun juga sangat

berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sebagai ruang aktivitas

masyarakat (Shirvani, 1985). Menurut Bishop (1989) dalam buku

Designing Urban Corridors, terdapat 2 jenis urban koridor, yaitu:

1. Koridor komersial biasanya berada pada area perkotaan dan

dimulai dari area-area komersial menuju pusat sub-urban berupa

kompleks bangunan perkantoran dan pusat-pusat pelayanan jasa

perdagangan yang terbentuk di sepanjang koridor. Koridor

komersial termasuk di dalamnya memiliki jalur pedestrian

sebagai aktivitas dan pergerakan manusia serta jalan sebagai

jalur sirkulasi kendaraan yang melewati kawasan kota.

2. Koridor Scenic, kebanyakan berada di area pedesaan. scenic

koridor memberikan pemandangan yang unik dan khas bagi

pengendara saat melewati koridor tersebut.

(4)

Menurut Carr, et al. dalam Sigit (2015), bentuk fisik koridor dapat

berperan secara baik jika mengandung beberapa unsur, yaitu:

1. Comfort, adalah salah satu syarat keberhasilan ruang fisik koridor. lama

seseorang beraktivitas pada suatu koridor dapat dijadikan tolok ukur

tingkat kenyamanan (comfortable) pada koridor tersebut. Dalam hal ini,

kenyamanan koridor antara lain dipengaruhi oleh: kenyamanan

lingkungan yang berupa perlindungan dari pengaruh alam seperti sinar

matahari dan angin; kenyamanan fisik yang berupa ketersediaan

fasilitas penunjang yang cukup seperti tempat duduk; kenyamanan

sosial yang berupa ruang bersosialisasi untuk pengguna.

2. Relaxation, merupakan aktivitas yang erat hubungannya dengan

kenyamanan psikologi. Suasana rileks akan mudah dicapai jika badan

dan pikiran dalam kondisi sehat dan senang. Kondisi ini dapat dibentuk

dengan menghadirkan unsur-unsur alam seperti tanaman atau

pepohonan, air, serta dengan lokasi yang terpisah atau terhindar dari

kebisingan dan hiruk pikuk kendaraan di sekelilingnya.

3. Passive engagement, aktivitas ini sangat dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan. Kegiatan pasif dapat dilakukan dengan cara duduk-duduk

atau berdiri sambil melihat aktivitas yang tejadi di sekitarnya atau

melihat pemandangan lingkungan sekitar.

4. Active engagement, yaitu ketika suatu ruang koridor dapat mewadahi

aktivitas kontak atau interaksi antar anggota masyarakat dengan baik.

5. Discovery, dapat diartikan secara umum sebagai suatu proses mengelola

ruang koridor agar di dalamnya terjadi suatu aktivitas yang tidak

monoton dengan memelihara keunikan aktivitas dan ciri khas

arsitektural yang terdapat pada koridor sesuai dengan budaya setempat.

Jacob (1995) mengatakan bahwa ada beberapa kriteria dalam

perencanaan koridor, yaitu:

1. Adanya perbandingan proporsi antara lebar jalan dengan tinggi

bangunan

(5)

3. Bangunan di sekitar koridor memiliki kesatuan yang saling melengkapi

Koridor sebagai wadah aktivitas manusia, sirkulasi pergerakan manusia

dan transportasi memiliki dua pengaruh langsung pada kualitas

lingkungan, yaitu kelangsungan aktivitas komersial dan kualitas visual

yang kuat terhadap struktur dan bentuk fisik kota.

2.1.3. Koridor Komersial

Koridor dibentuk oleh dua deretan massa (pohon atau bangunan) yang membentuk sebuah ruang untuk menghubungkan dua kawasan atau

wilayah kota (Zahnd, 2012 dalam Dipta, 2015 ). Kawasan komersial

merupakan suatu kawasan yang diawarnai atau ditandai oleh aktivitas

ekonomi yaitu perdagangan dan jasa (Yunus, 2005). Menurut Philadelphia

(2009), koridor komersial adalah kumpulan toko ritel yang melayani area

perdagangan yang berada di sepanjang jalan tunggal. Dengan kata lain

koridor komersial adalah sebuah ruang yang diapit oleh dua deretan massa

sebagai jalur pergerakan transportasi, manusia dan juga sebagai kawasan

aktivitas perekonomian masyarakat yang berupa aktivitas perdagangan dan

jasa.

Menurut PPS (Project for Public Space), terdapat beberapa elemen pada koridor komersial, antara lain:

1. Kenyamanan dan identitas

a. Menciptakan budaya lokal dan identitas

b. Adanya elemen penanda sebagai informasi kepada pengunjung

c. Terdapat ruang tempat duduk untuk para pengunjung, lansekap,

elemen pencahayaan yang baik, dan perabot jalan yang

memberikan keamanan dan kenyamanan

2. Aksesibilitas

a. Kemudahan dalam menyebarang dan melintasi jalan

b. Mengakomodasi dan memberikan kenyamanan bagi pengguna

(6)

c. Terdapat transportasi publik

3. Fungsi dan aktivitas

a. Keragaman aktivitas seperti tempat makan, toko, dan lainnya

b. Pengunjung merasa betah berada pada koridor ini

c. Aktivitas di koridor mengundang pengunjung lain untuk

berkunjung ke koridor ini

4. Mendukung fungsi sosial

a. Masyarakat dapat berkumpul di koridor

b. Adanya rasa memiliki terhadap koridor

c. Adanya ruang untuk melakukan kegiatan dalam kondisi apapun

2.1.4. Pengguna Ruang Publik

Ruang publik merupakan salah satu ruang kota yang dapat diakses oleh siapa saja dan digunakan bersama (Zahrah et al. 2016). Dengan kata

lain, pengguna-pengguna ruang publik pun bermacam-macam sesuai

dengan kebutuhan user dalam batas tertentu. Adapun beberapa pengguna

koridor jalan, antara lain:

2.1.4.1. Pedestrian (Pejalan Kaki)

Pejalan kaki adalah setiap orang yang bergerak atau berpindah dari

suatu tempat ke tempat tujuan tanpa menggunakan kendaraan.

Pedestrian berasal dari bahasa Yunani pedos yang berarti kaki. Pedestrian

juga berasal dari bahasa Latin pedester-pedestris yaitu orang yang berjalan

kaki atau pejalan kaki, sehingga pedestrian dapat diartikan sebagai pejalan

kaki atau orang yang berjalan kaki (Dharmawan,2004). Jalur pedestrian

pertama kali dikenal pada tahun 6000 SM di Khirokitia, Cyprus, dimana

jalan terbuat dari batu gamping lalu permukaannya di tinggikan terhadap

tanah dan pada interval tertentu dibuat ramp untuk menuju ke kelompok

hunian pada kedua sisi-sisinya (Kostof,1992). Menurut Iswanto (2006),

(7)

disepanjang jalan terdapat penggunaan lahan yang memiliki potensi

menimbulkan pejalan kaki.

Pengertian dasar berjalan kaki menurut Fruin, 1979 yaitu Berjalan kaki

merupakan alat untuk pergerakan internal kota, satu – satunya alat untuk

memenuhi kebutuhan interaksi tatap muka yang ada didalam aktivitas

komersial dan kultural di lingkungan kehidupan kota. Berjalan kaki

merupakan alat penghubung antara moda – moda angkutan yang lain.

Menurut Rapoport (1977), kebutuhan ruang berjalan kaki dibagi

menjadi 2 jenis yaitu ruang gerak dan ruang istirahat. Ruang gerak bersifat

dinamis dimana kegiatannya antara lain yaitu berjalan dan bergerak

walaupun dengan kecepatan yang sangat lambat atau perlahan-lahan.

Besaran dimensi ruang gerak tergantung pada jarak berpapasan baik dari

arah yang sama maupun berbeda kemudian juga tergantung sesuai dengan

lokasi (Harris dan Dines, 1988). Dimensi minimum yang dibutuhkan

sewaktu pengguna jalur berpapasan adalah 1,5m x 1,5m.

Gambar 2.1 Jarak Ruang yang Dibutuhkan Pejalan Kaki Sesuai Lokasi (Harris dan Dines, 1988)

(8)

2.1.4.2. Pedagang Kaki Lima (PKL)

Salah satu produk dari proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia adalah lahirnya sektor informal seperti

pedagang kaki lima yang menempati ruang publik berupa jalur pejalan

kaki. Pedagang kaki lima dapat ditemukan hampir di seluruh kota dan

kebanyakan berada di ruang fungsional kota seperti pusat perdagangan,

pusat rekreasi, taman kota, dan tempat-tempat umum yang dapat menarik

sejumlah besar penduduk sekitar. Sektor informal menurut Ahmad (2002)

dalam Lie (2014) merupakan kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal dan

memiliki beberapa ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh

peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap dan

berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan

rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, lingkungan

kecil, serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan.

Dilihat dari sejarahnya di Indonesia, komunitas PKL sudah ada

sejak pada masa penjajahan Kolonial Belanda. Istilah pedagang kaki lima

berasal dari zaman pemerintahan Rafles, Gubernur Jendeeral pmerintahan

Kolonial Belanda, yaitu dari kata "five feet" yang berarti jalur pejalan kaki

di pinggir jalan selebar lima kaki. Ruang tersebut kemudian digunakan

untuk kegiatan berjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan

pedagang kaki lima (Lie, 2014). PKL juga mempunyai pengertian yang

sama dengan "hawkers" oleh McGee dan Yeung (1977), yang

didefinisikan sebagai orang-orang yang menjajakan barang dan jasa untuk

dijual di tempat yang merupakan ruang untuk kepentingan umum,

terutama di pinggir jalan dan trotoar.

Menurut Kartono et al. (1980), ada beberapa karakteristik umum pada pedagang kaki lima, yaitu:

1. Merupakan pedagang yang sebagian juga sekaligus menjadi produsen

2. Ada yang menetap pada lokasi tertentu dan ada yang bergerak dari satu

tempat ke tempat lainnya (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat

(9)

3. Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainnya

yang tahan lama secara eceran

4. Umumnya bermodal kecil dan terkadang hanya merupakan alat bagi

pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sbagai imbalan atas

jerih payahnya

5. Kualitas barang-barang yang diperdagangkan relatif rendah dan

biasanya tidak berstandar

6. Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli cenderung

merupakan pembeli yang berdaya beli rendah

7. Usaha skala kecil bisa berupa family enterprise, dimana ibu dan

anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik langsung maupun tidak

langsung

8. Tawar menawar antara penjual dan pembeli merupakan ciri khas pada

usaha pedagang kaki lima

9. Dalam melaksanakan pekerjaannya ada yang secara penuh, sebagian

melaksanakan setelah kerja atau pada waktu senggang, dan ada pula

yang melaksanakan musiman.

Dalam Lie (2014), McGee & Yeung (1977) mengelompokkan PKL

dalam tiga tipe berdasarkan sifat layanannya, yaitu:

a. Pedagang keliling (mobile), pedagang yang dengan mudah dapat

membawa barang dagangannya berpindah dari satu tempat ke tempat

lain, mulai dari menggunakan sepeda, gerobak atau keranjang.

b. Pedagang semi menetap (semistatic), pedagang ini mempunyai sifat

menetap sementara, dimana kios dan tempat usahanya akan berpindah

setelah beberapa waktu berjualan di tempat tersebut.

c. Pedagang Menetap (static), sifat layanan pedagang ini memiliki

frekuensi menetap yang paling tinggi, dimana lokasi tempat usahanya

permanen disuatu tempat seperti di jalan atau ruang-ruang publik

(10)

Dalam Lie (2014), McGee & Yeung (1977) mengelompokkan PKL

dalam tiga tipe berdasarkan pola penyebaran aktivitas, yaitu:

a. Pola penyebaran mengelompok (focus aglomeration), biasanya terjadi

pada mulut jalan, di sekitar pinggiran pasar umum atau ruang terbuka.

Pengelompokkan ini merupakan suatu pemusatan atau pengelompokan

pedagang yang memiliki sifat sama / berkaitan. Pengelompokan

pedagang yang sejenis dan saling mempunyai kaitan, akan

menguntungkan pedagang, karena mempunyai daya tarik besar terhadap

calon pembeli. Aktivitas pedagang dengan pola ini dijumpai pada

ruang-ruang terbuka publik (taman, lapangan , dan lainnya).

b. Pola penyebaran memanjang (linier aglomeration), pola penyebaran ini

dipengaruhi oleh pola jaringan jalan. Pola penyebaran memanjang ini

terjadi di sepanjang/pinggiran jalan utama atau jalan penghubung. Pola

ini terjadi berdasarkan pertimbangan kemudahan pencapaian, sehingga

mempunyai kesempatan besar untuk mendapatkan konsumen. Jenis

komoditi yang biasa diperdagangkan adalah sandang / pakaian,

kelontong, jasa reparasi, buah-buahan, rokok/obat-obatan, dan lain-lain.

2.2. Arsitektur Perilaku sebagai Pendekatan

Dalam buku Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku, Haryadi dan Setiawan

(2010) berpendapat bahwa pada masa kini dan yang akan datang, perkembangan

suatu bidang ilmu akan lebih banyak dipengaruhi oleh keberadaan bidang-bidang

ilmu lain, tidak terlepas ilmu arsitektur. Isu tentang kenyamanan ruang,

kesesakan, rasa terisolasi, hilangnya privasi seseorang, citra budaya suatu

bangunan atau kawasan adalah beberapa contoh yang mulai banyak dibicarakan

pada masa sekarang. Kepedulian akan kualitas hidup manusia inilah yang

membantu berkembangnya ilmu arsitektur ke arah hal-hal yang mengandung

permasalahan sosial.

Haryadi dan Setiawan (2010) menjelaskan bahwa perilaku

(11)

wadah kegiatan yang berupa ruang. Wadah-wadah berbabagai kegiatan tersebut

yang membentuk tata ruang yang merupakan bagian dari arsitektur. Hal-hal inilah

yang menjadi dasar pertimbangan bahwa ruang menjadi salah satu komponen

arsitektur yang menjadi penting dalam pembahasan studi hubungan arsitektur

lingkungan dan perilaku. Kemudian hal ini dipertegas oleh Prohansky (1976)

dalam Syahputra (2013) bahwa kini perhatian utama dalam perancangan urban

adalah pengaruh psikologi lingkungan terhadapnya. Proses interaksi lingkungan

dapat dilihat seperti pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Proses penginderaan kognitif oleh manusia terhadap suatu objek Sumber: Prohansky, 1976 dalam Syahputra, 2013

2.2.1. Pengertian Arsitektur Perilaku

Arsitektur adalah bangunan tempat kegiatan manusia, berguna dan mempunyai nilai-nilai tertentu (keindahan) yang dapat menyentuh

perasaan manusia (Talarosha, 1999). Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap

rangsangan atau lingkungan. Tandal dan Egam (2011) dalam Lie (2014)

berpendapat bahwa kata perilaku menunjukkan manusia dalam aksinya,

berkaitan dengan aktivitas manusia secara fisik, berupa interaksi manusia

dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya. Dengan kata lain,

arsitektur perilaku merupakan bangunan, arsitektur, ruang, lingkungan

sebagai wadah aktivitas manusia yang dipengaruhi atau mempengaruhi

(12)

Berikut merupakan definisi arsitektur perilaku menurut beberapa tokoh:

1. Menurut Y.B. Mangun Wijaya dalam buku Wastu Citra.

Arsitektur perilaku adalah arsitektur yang manusiawi, yang mampu

memahami dan mewadahi perilaku-perilaku manusia yang ditangkap

dari berbagai macam perilaku, baik itu perilaku pencipta, pemakai,

pengamat juga perilaku alam sekitarnya

2. Donna P. Duerk mengatakan bahwa manusia dan perilakunya adalah

bagian dari sistem yang menempati tempat dan lingkungan tidak dapat

dipisahkan secara empiris. Oleh sebab itu, perilaku manusia selalu

terjadi pada suatu tempat dan dapat dievaluasi secara keseluruhan tanpa

pertimbangan faktor-faktor lingkungan.

Lingkungan mempengaruhi perilaku manusia. orang cenderung menduduki suatu tempat yang biasanya diduduki meskipun tempat

tersebut bukan tempat duduk. Misalnya: susunan anak tangga di depan

rumah, bagasi mobil yang besar, pagar yang rendah, dsb.

Perilaku manusia yang mempengaruhi lingkungan. Pada saat orang cenderung memilih jalan pintas yang dianggapnya terdekat daripada

melewati pedestrian yang memutar sehingga orang tersebut tanpa sadar

telah membuat jalur sendiri meski telah disediakan pedestrian.

3. Gary T. More dalam buku Introduction to Architecture

Istilah perilaku diartikan sebagai suatu fungsi dari tuntutan-tuntutan

manusia dalam dan lingkungan sosio-fisik luar. Pengkajian perilaku

menurut Garry T. More diakitkan dengan lingkungan sekitar yang lebih

dikenal sebagai pengkajian lingkungan-perilaku. Adapun pengkajian

lingkungan_perilaku seperti yang dimaksudkan oleh Garry T. More

terdiri atas definisi-definisi sebagai berikut :

a. Meliputi penyelidikan sistematis tentang hubungan-hubungan antara

lingkungan dan perilaku manusia serta penerapannya dalam proses

perancangan.

b. Pengakjian lingkungan-perilaku dalam Arsitektur mencakup lebih

(13)

c. Meliputi unsur-unsur keindahan estetika, dimana fungsi

berhubungan dengan perilaku dan kebutuhan oang, estetika

berhubungan dengan pilihan dan pengalaman. Jadi, estetika formal

dilengkapi dengan estetika hasil pengalaman yang bersandar pada si

pemakai.

d. Jangkauan faktor perilaku lebih mendalam, pada psikologi si

pemakai bangunan , kebutuhan interaksi kemasyarakatan,

perbedaan-perbedaan sub budaya dalam gaya hidup dan makna serta

simbolisme bangunan.

e. Pengkajian lingkungan-lingkungan juga meluas ke teknologi, agar

elemen-elemen Arsitektur dapat memberikan penampilan

kemantapan atau perlindungan.

4. Victor Papanek mengatakan bahwa dalam telaah-telaah lingkungan

dalam arsitektur, harus dipahami dua kerangka konsep yang satu

menjelaskan jajaran informasi lingkungan perilaku-perilaku yang

tersedia, dan yang lain memperhatikan dimana proses perancangan

informasi lingkungan perilaku paling mempengaruhi pengambilan

keputusan Arsitektur.

5. J.B. Watson mengatakan bahwa arsitektur perilaku adalah arsitektur

yang dalam penerapannya selalu menyertakan

pertimbangan-pertimbangan perilaku dalam perancangan kaitan perilaku dengan

desain arsitektur (sebagai lingkungan fisik) yaitu bawa desain arsitektur

dapat menjadi fasilitator terjadinya perilaku atau sebaliknya sebagai

penghalang terjadinya perilaku.

2.2.2. Konsep - Konsep Perilaku

Perkembangan kajian arsitektur lingkungan dan perilaku diawali

oleh kajian psikologi lingkungan yang pada hakikatnya mempertanyakan

peran proses-proses psikologis. Beberapa konsep penting dalam kajian

arsitektur lingkungan dan perilaku menurut Haryadi dan Setiawan (2010)

(14)

1. Setting Perilaku (Behavior Setting)

Behavior setting dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu

interaksi antara suatu kegiatan dengan tempat yang spesifik. Dengan

demikian, behavior setting mengandung unsur-unsur: sekelompok

orang yang melakukan sesuatu kegiatan aktivitas atau perilaku dari

sekelompok orang tersebut, serta tempat dimana kegiatan tersebut

dilakukan. Contoh dari setting perilaku ini dalam kehidupan sehari-hari

seperti di dalam suatu setting bank, kelas, ruang tunggu, pasar, sederet

penjual kaki lima, dsb.

Dalam banyak kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, istilah

behavior setting dijabarkan dalam dua istilah yakni system of setting

dan system of activity, dimana keterkaitan antara keduanya membentuk

satu behavior setting tertentu. system of setting atau sistem

tempatdiartikan sebagai rangkaian unsur-unsur fisik atau spasial yang

mempunyai hubungan tertentu dan terkait hingga dapat dipakai untuk

suatu kegiatan tertentu. Contoh dari setting adalah ruang yang

dimanfaatkan sebagai ruang untuk pameran, ruang terbuka atau trotoar

yang ditata untuk berjualan kaki lima. Sementara itu System of activity

atau sistem kegiatan diartikan sebagai suatu rangkaian perilaku yang

secara sengaja dilakukan oleh satu atau beberapa orang. Contohnya

adalah rangkaian persiapan dan pelayanan di dalam suatu restoran atau

rangkaian upacara perkawinan dengan adat Jawa. Behavior setting

mempunyai spektrum yang luas, mulai dari setting suatu kamar hingga

setting suatu kota.

2. Persepi tentang Lingkungan (Environmental Perception)

Persepsi lingkungan atau environmental perception adalah interpretasi

tentang suatu setting oleh individu, didasarkan latar belakang budaya,

nalar, dan pengalaman individu tersebut. Dengan demikian, setiap

individu akan mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda karena

latar belakang budaya, nalar serta pengalamannya berbeda. Akan tetapi,

dimungkinkan pula beberapa kelompok individu mempunyai

(15)

kemiripan latar belakang budaya, lanar, serta pengalamannya.

Pendekatan persepsi akan dijelaskan lebih lanjut pada sub-bab

selanjutnya.

3. Lingkungan yang Terpersepsikan (Perceived Environment)

Lingkungan yang terpersepsikan atau perceived environment

merupakan produk atau bentuk persepsi lingkungan seseorang atau

sekelompok orang. Apabila kita berbicara mengenai persepsi

lingkungan berarti kita berbicara tentang proses kognisi, afeksi serta

kognasi seseorang atau sekelompok orang terhadap lingkungan.

Keseluruhan proses ini menghasilkan apa yang disebut perceived

environment atau lingkungan yang terpersepsikan.

4. Kognisi Lingkungan, Citra, dan Skemata (Environmental Cognition,

Image and Schemata)

Kognisi lingkungan atau environmental cognition adalah suatu proses

memahami dan memberi arti terhadap lingkungan. Proses ini dalam

kajian arsitektur lingkungan dan perilaku penting karena merupakan

suatu proses yang menjelaskan mekanisme hubungan antara manusia

dan lingkungannya. Rapoport (1997) dalam Haryadi dan Setiawan

(2010) mengatakan bahwa kognisi lingkungan ditentukan oleh tiga

faktor yakni: organismic, environmental, dan cultural. Ketiganya saling

berinteraksi mempengaruhi proses kognisi seseorang.

5. Pemahaman Lingkungan (Environmental Learning)

Environmental learning diartikan sebagai keseluruhan proses yang

berputar dari pembentukan kognisi, schemata serta peta mental.

Sebagaimana dilihat pada Gambar 2.3, proses environment learning

meliputi proses pemahaman yang menyeluruh dan menerus tentang

suatu lingkungan oleh seseorang (Rapoport, 1977 dalam Haryadi dan

Setiawan, 2010). Gambar 2.3 menjelaskan bahwa pembentukan kognisi

mengenai suatu lingkungan merupakan suatu pengetahuan, pemahaman,

(16)

6. Kualitas Lingkungan (Environmental Quality)

Keseluruhan proses environmental learning, pada akhirnya akan

menghasilkan apa yang disebut sebagai persepsi mengenai kualitas

lingkungan. Kualitas lingkungan didefinisikan secara umum sebagai

suatu lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang

atau sekelompok orang. Definisi ini menegaskan bahwa dalam kajian

arsitektur lingkungan dan perilaku, kualitas lingkungan seyogyanya

dipahami secara subjektif, yakni dikaitkan dengan aspek-aspek

psikologis dan sosio-kultural masyarakat yang menghuni suatu

lingkungan. Namun, meskipun kualitas lingkungan sangat subjektif,

terdapat pula unsur-unsur dasar kualitas lingkungan yang harus kita

jaga.

7. Teritori (Territory)

Teritori di dalam kajian arsitektur dan perilaku diartikan sebagai batas

tempat organisme hidup menentukan tuntutannya, menanai, serta

mempertahankannya, terutama dari kemungkinan intervensi pihak lain.

Konsep Teritori yang berlaku pada manusia menyangkut juga perceived

environment serta imaginary environment. Artinya, bagi manusia,

konsep teritori lebih dari sekedar tuntutan atas suatu area untuk

memenuhi kebutuhan fisiknya saja, tetapi juga untuk kebutuhan

emosional dan kultural. Altman (1975) dalam Haryadi dan Setiawan

(2010) membagi teritori menjadi 3 kategori dikatikan dengan

keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan

sehari-hari individu atau kelompok, dan frekuensi penggunaan. Tiga kategori

tersebut adalah: primary, secondary, serta public territory. Penjelasan

mengenai konsep teritori ini akan dilanjutkan lebih mendalam pada

subbab berikutnya.

8. Ruang Personal dan Kesumpekan (Personal space and Crowding)

Secara sederhana, Sommer (1969) dalam Haryadi dan Setiawan (2010)

mendefinisikan ruang privat sebagai batas tak tampak di sekitar

(17)

adaptif, tergantung pada situasi lingkungan dan psikologis seseorang

serta kultural seseorang. Dengan kata lain, jarak individu untuk

mendapatkan personal space dapat membesar atau mengecil. Konsepsi

mengenai personal space ini, lebih lanjut menentukan isu dalam kajian

arsitektur lingkungan dan perilaku yakni crowding (kesumpekan).

Crowding ialah situasi ketika seseorang atau sekelompok orang sudah

tidak mampu mempertahankan ruang privatnya. Dengan kata lain,

karena situasi tertentu, masing-masing telah mengintervensi batas-batas

personal space. Oleh karena personal space-nya dimasuki oleh orang

atau banyak orang lain, situasi crowding apabila berlangsung lama akan

mengarah pada munculnya stress. Faktor utama crowding adalah

densitas manusia yang terlalu tinggi di suatu tempat. Namun, mengingat

konsep personal space menyangkut pula aspek psikologis dan kultur

seseorang, masalah crowding tidak hanya berkaitan dengan densitas

fisik.

9. Tekanan Lingkungan dan Stres (Environmenal Pressures and Stress)

Tekanan lingkungan didefinisikan sebagai faktor-faktor fisik, sosial,

serta ekonomi yang dapat menimbulkan perasaan tidak enak, tidak

nyaman, kehilangan orientasi, atau kehilangan keterikatan dengan suatu

tempat tertentu. Apabila hal ini dibiarkan secara terus menerus, tekanan

lingkungan dapat menyebabkan stres.Dengan kata lain, tekanan

lingkungan yang terlalu besar menyebabkan inteaksi antara manusia

dan lingkungan tidak terjadi secara baik dan optimal yang kemudian

menimbulkan perilaku yang tidak wajar akibat stres.

2.2.3. Persepsi

Persepsi merupakan proses untuk memperoleh informasi dari seseorang tentang lingkungan di mana ia berada. (Lang, 1987).

Pemahaman terhadap perilaku manusia dapat diawali dengan memahami

proses terbentuknya perilaku tersebut serta mengetahui faktor-faktor

penting yang mempengaruhinya Perilaku manusia merupakan pusat

(18)

Manusia menginderakan objek di lingkungannya, hasil penginderaannya

diproses, sehingga timbul makna tentang objek tersebut. Ini dinamakan

persepsi yang selanjutnya menimbulkan reaksi (Wirawan, 1992).

Istilah persepsi berasal dari Bahasa Inggris yaitu kata "perception"

yang berarti penglihatan, keyakinan dapat melihat atau mengerti. Dalam

hal interaksi manusia dengan lingkungannya, manusia akan selalu

berusaha untuk memperoleh keselarasan dengan lingkungannya. Hal ini

dimungkinkan dengan adanya kemampuan kognitif untuk mengadakan

reaksi-reaksi tertentu terhadap lingkungan yang memuat hal-hal tertentu

yang menarik minatnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. (Bell,

2001).

Proses hubungan dengan lingkungan yang terjadi sejak individu

berinteraksi melalui penginderaan sampai terjadinya reaksi, digambarkan

dalam skema persepsi oleh Paul A. Bell (2001).

Gambar 2.3 Skema Persepsi Sumber: Bell, 2001

Dalam skema tersebut terlihat bahwa tahap paling awal dari

hubungan manusia dengan lingkungannya adalah kontak fisik antara

individu dengan objek-objek di lingkungannya. Objek tampil dengan

(19)

sifat-sifat individunya, pengalaman masa lalunya, bakat, minat, sikap dan

berbagai ciri pribadi masing-masing (social background).

Hasil interaksi individu dengan objek menghasilkan persepsi

individu tentang objek tersebut. Jika persepsi berada dalam batas optimal,

maka individu dikatakan dalam keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang

serba seimbang dan biasanya selalu ingin dipertahankan oleh setiap

individu karena menimbulkan perasaan yang menyenangkan. Sebaliknya,

jika objek dipersepsikan di luar batas optimal, maka individu akan

mengalami stress. Terjadi peningkatan energi, sehingga harus dilakukan

coping untuk menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya. Penyesuaian

diri individu terhadap lingkungannya disebut dengan adaptasi, sedangkan

penyesuaian lingkungan terhadap individu disebut adjustment.

Kemudian, Walgito dalam Mujib (2011) membagi proses

terjadinya persepsi menjadi dua jenis,yaitu:

a. Proses fisik

Proses persepsi dimulai dari pengindraan yang menimbulkan stimulus

pada reseptor kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data pada

syaraf sensoris otak atau dalam pusat kesadaran. Proses ini disebut juga

dengan proses fisiologis.

b. Proses psikologis

Proses pengolahan data pada syaraf sensoris otak akan menyebabkan

reseptor menyadari apa yang dilihat, didengan serta apa yang diraba.

Persepsi manusia dapat berubah-ubah karena adanya proses

fisiologis di mana ruang mempunyai komponen yang dapat mempengaruhi

persepi seseorang. Menurut Hall.E (1966) dalam Utomo (2008),

Faktor-faktor pemahaman ruang menyangkut hal-hal yang lebih dalam mengenai

aspek psikologi dari pemakai, bagaimana persepsinya terhadap suatu

ruang/ bangunan, bagaimana kebutuh interaksi sosial antara pemakai dan

bagaimana arti simbolis suatu ruang/bangunan. Hall E kemudian

menjelaskan bahwa pengalaman ruang dapat dibentuk melalui:

(20)

2. Audial Space, yang terbentuk dari persepsi indera pendengaran

3. Obsticel space, terbentuk dari persepsi indera penciuman

4. Thermal space, terbentuk dari persepsi terhadap temperatur lingkungan

5. Testicle space, terbentuk dari persepsi indera peraba

6. Kinesthetic space, terbentuk dari persepsi keterbatasan gerak manusia

Menurut Gifford dalam Yusra (2014), persepsi manusia dipengaruhi oleh

beberapa hal,yaitu:

a. Faktor personal

Karakterisik seorang individu akan dihubungan dengan perbedaan

persepsi terhadap lingkungan. Dengan kata lain, dalam hal ini akan

melibatkan faktor antara lain kemampuan perseptual dan pengalaman

atau pengenalan terhadap kondisi lingkungan. Pada umumnya, proses

pengalaman atau pengenalan seseorang terhadap kondisi lingkungan

yang di hadapi mempunyai orientasi pada kondisi lingkungan lain yang

telah dikenal sebelumnya dan secara otomatis akan menghasilkan

proses pembanding yang menjadi dasar persepsi yang dihasilkan.

b. Faktor kultural

Dalam hal ini, Gifford menjelaskan bahwa konteks kultural yang

dimaksud berhubungan dengan tempat asal atau tempat tinggal

seseorang. Budaya yang dibawa dari tempat asal suatu individu akan

membentuk cara yang berbeda bagi setiap individu tersebut dalam

memandang dunia. Kemudian Gifford menyebutkan bahwa faktor

pendidikan juga dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap

lingkungan dalam konteksnya.

c. Faktor fisik

Faktor fisik merupakan faktor di mana kondisi alamiah dari suatu

lingkungan akan turut mempengaruhi persepsi seseorang dalam

lingkungan tersebut. Lingkungan dengan elemen pembentuknya akan

menghasilkan karakter atau tipikal tertentu yang kemudian menciptakan

(21)

Selanjutnya, Laurens (2004) mengemukakan istilah yang

digunakan untuk pengalaman ruang, pengetahuan akan bentuk dan

simbolisasi adalah peta mental. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran

Haryadi dan Setiawan dalam buku Arsitektur Lingkungan dan Perilaku

bahwa kognisi lingungan yang sifatnya abstrak dapat diproyeksikan secara

spasial dan di dalam kajian arsitektur linkungan dan perilaku disebut

sebagai peta mental. Peta mental setiap individu akan berbeda-beda

terhadap suatu lingkungan yang sama (Laurens, 2004 & Haryadi dan

Setiawan, 2010).

Faktor-faktor yang membedakan peta mental seseorang menurut

Laurens (2004), antara lain:

a. Gaya Hidup

Gaya hidup seseorang menyebabkan timbulnya selektivitas dan distorsi

peta mental. Hal tersebut erat kaitannya dengan tempat (jenis, kondisi,

jumlah, dan lain sebagainya) yang pernah dikunjungi sesuai dengan

gaya hidup yang dimiliki.

b. Keakraban dengan lingkungan

Hal ini menyangkut pada seberapa baik seseorang mengenal

lingkungannya. Semakin kuat seseorang mengenal lingkungannya,

semakin luas dan rinci peta mentalnya.

c. Keakraban sosial

Semakin luas pergaulannya, semakin luas wilayah yang dikunjungi, dan

semakin ia tahu akan kondisi wilayah tertentu maka semakin baik peta

mentalnya.

d. Kelas sosial

Semakin terbatas kemampuan seseorang, semakin terbatas pula daya

geraknya dan semakin sempit peta mentalnya.

e. Perbedaan seksual

Laki-laki biasanya mempunyai peta mental yang lebih baik dan terinci

daripada perempuan karena kesempatan pergaulan dan ruang geraknya

(22)

umumnya akan lebih memberi peluang kepada kaum pria untuk

bergerak dengan berbagai aktivitas.

Faktor-faktor inilah yang akan memberi pengertian bagaimana

menciptakan bangungan atau lingkungan yang mudah dilihat dan diingat

sekaligus membangkitkan kekayaan pengalaman orang yang memakainya

sebagai citra pada tempat tersebut.

2.2.4. Pemetaan Perilaku (Behavioral mapping)

Dari beberapa teknik survei yang dapat dipakai dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, teknik behavioral mapping yang

dikembangkan oleh Ittelson sejak tahun 1970-an, merupakan teknik yang

sangat populer dan banyak dipakai. Selain relatif gampang dipahami,

teknik ini mempunyai kekuatan utama pada aspek spasialnya. Artinya,

dengan teknik ini didapatkan sekaligus suatu bentuk informasi mengenai

suatu fenomena (terutama pelaku individu dan sekelompok manusia) yang

terkait dengan sistem spasialnya. Sommer dalam Haryadi dan Setiawan

(2010) mengatakan bahwa behavioral mapping digambarkan dalam bentuk

sketsa atau diagram mengenai suatu area di mana manusia melakukan

berbagai kegiatannya. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perilaku

dalam peta, mengidentifikasikan jenis dan frekuensi perilaku, serta

menunjukkan kaitan antara perilaku tersebut dengan wujud perancangan

yang spesifik. Secara umum , prosedur pemetaan perilaku terdiri dari lima

unsur dasar (Ittelson dalam Haryadi dan Setiawan, 2010), yaitu:

1. Sketsa dasar area atau setting yang akan diobservasi

2. Definisi yang jelas tentang bentuk-bentuk perilaku yang akan diamati,

dihitung, dideskripsikan dan didiagramkan

3. Satu rencana waktu yang jelas pada saat kapan pengamatan akan

dilakukan

4. Prosedur sistematis yang jelas harus diikuti selama observasi

5. Sistem coding yang efisien untuk lebih mengefisiensikan pekerjaan

(23)

Adapun jenis-jenis perilaku yang biasa dipetakan antara lain meliputi:

1. Pola perjalanan

2. Migrasi

3. Perilaku konsumtif

4. Kegiatan rumah tangga

5. Hubungan ketetanggaan

6. Penggunaan berbagai fasilitas publik

Terdapat dua cara untuk melakukan pemetaan perilaku yakni:

1. Place-centered Mapping (Pemetaan berdasarkan tempat)

Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana manusia atau

sekelompok manusia memanfaatkan, menggunakan, atau

mengakomodasikan perilaku dalam suatu situasi waktu dan tempat yang

tertentu. Dengan kata lain, perhatian dari teknik ini adalah satu tempat

yang spesifik, baik kecil maupun besar. Dalam teknik ini, langkah

pertama yang harus dilakukan adalah membuat sketsa dari tempat atau

setting meliputi seluruh unsur fisik yang diperkirakan mempengaruhi

perilaku pengguna ruang tersebut. Langkah berikutnya adalah membuat

daftar perilaku yang akan diamati serta menentukan simbol atau tanda

sketsa atas setiap perilaku. Kemudian, dalam satu kurun waktu tertentu,

peneliti mencatat berbagai perilaku yang terjadi dalam tempat tersebut

dengan menggambarkan simbol-simbol pada peta dasar yang telah

disiapkan.

2. Person-centered Mapping (Pemetaan berdasarkan pelaku)

Teknik ini menekankan pada pergerakan manusia pada suatu periode

waktu tertentu. Dengan demikian, teknik ini akan berkaitan dengan

tidak hanya satu tempat akan tetapi dengan beberapa tempat atau lokasi.

Pada person-centered mapping ini, peneliti berhadapan dengan

seseorang yang khusus diamati. Tahap pertama yang harus dilakukan

adalah memilih sampel person atau sekelompok manusia yang akan

(24)

aktivitas yang dilakukan oleh orang tersebut. pengamatan ini dapat

dilakukan dengan membuat sketsa-sketsa dan catatan-catatan pada

suatu peta dasar yang sudah disiapkan. pengamatan dapat dilakukan

secara kontiniu atau hanya pada periode-periode tertentu saja,

tergantung dari tujuan penelitiannya.

2.2.5. Teritorialitas

Batasan ruang dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku dikenal dengan sebutan teritorial space. Menurut Haryadi dan Setiawan

(2010) dalam buku Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, teritori diartikan

sebagai batas tempat organisme hidup menentukan tuntutannya, menandai,

serta mempertahankannya, terutama dari kemungkinan intervensi pihak

lain. Pastalan (1970) dalam Ricardo mendefinisikan teritori sebagai ruang

yang diberi batas atau cagar yang melibatkan indetifikasi psikologis

terhadap tempat, seperti tindakan pengaturan dan sikap memiliki pada

benda-benda yang berada di dalamnya. Lang (1987) dalam Ricardo (2014)

berpendapat bahwa batas dari sebuah teritori bisa dikenali lewat terjadinya

perubahan perilaku dan sifat privasi ketika teritori tersebut diintervensi.

Kemudian menurut lang (1987), terdapat empat karakter dari

teritorialitas, antara lain sebagai berikut:

1. kepemilikan atau hak dari suatu tempat

2. personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu

3. hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar

4. pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar

psikologis sampai dengan kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuh

estetika.

Sementara itu, Altman (1975) membagi teritori menjadi tiga kategori

dikaitkan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan

kehidupan sehari hari individu atau kelompok dan frekuensi penggunaan.

Tiga kategori tersebut yaitu primary territory, secondary territory, dan

(25)

1. Primary territory, adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara

eksklusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta

menjadi bagian utama dalam kegiatan sehari-hari penghuninya.

2. Secondary territory, adalah suatu area yang tidak terlalu digunakan

secara eksklusif oleh seseorang atau sekelompok orang mempunyai

cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala.

3. Public territory, adalah suatu area yang digunakan dan dapat dimasuki

oleh siapapun akan tetapi ia harus mematuhi norma-norma serta aturan

yang berlaku di area tersebut.

Kajian tentang persoalan teritori ini akan sangat penting terutama

untuk memberikan rekomendasi bagi perancangan desain ruang publik

mengingat teritori merupakan hal yang sangat mempengaruhi perilaku

pada ruang publik. Beberapa faktor yang mempengaruhi teritori menurut

Fatimah (2011), yaitu sebagai berikut:

1. Faktor Personal

Faktor personal yang mempengaruhi karakteristik seseorang yaitu jenis

kelamin, usia dan kepribadian yang diyakini mempunyai pengaruh

terhadap sikap teritorialitas.

2. Faktor Situasi

Perbedaan situasi berpengaruh pada teritorialitas, ada dua aspek situasi

yaitu tatanan fisik dan sosial budaya yang mempunyai peran dalam

menentukan sikap teritorialitas.

3. Faktor Budaya

Faktor budaya mempengaruhi sikap teritorialitas. Secara budaya

terdapat perbedaan sikap teritori hal ini dilatar belakangi oleh budaya

seseorang yang sangat beragam. Apabila seseorang mengunjungi ruang

publik yang jauh berada diluar kultur budayanya pasti akan sangat

Gambar

Gambar 2.1 Jarak Ruang yang Dibutuhkan Pejalan Kaki Sesuai Lokasi
Gambar 2.2 Proses penginderaan kognitif oleh manusia terhadap suatu objek
Gambar 2.3 Skema Persepsi

Referensi

Dokumen terkait

Konsekuensi dari adanya syarat diatas, maka sebuah lembaga pembiayaan tidak diperbolehkan membuat kesepakatan jual beli secara kredit dengan konsumen, selama barang

Bagian Eksposisi terdapat pada birama pertama sampai 84 yang terdiri dari tema utama satu, tema utama dua, subtema satu, subtema dua, dan subtema tiga. Tonalitas

Pada penelitian tersebut karakteristik bobot badan dan ukuran dimensi tubuh diamati untuk menduga bobot badan mengingat bobot badan merupakan sifat yang memiliki nilai

Pengaruh Penggunaan Multimedia Prezi Desktop Terhadap Hasil Belajar Peserta Didik Pada Mata Pelajaran Sosiologi (Studi Kuasi Eksperimen di SMP N 1 Lembang).. Universitas

Atas dasar tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan pemberian biochar dari beberapa jenis bahan baku yang berbeda pada tanah yang tercemar logam

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka disarankan pada penelitian selanjutnya dapat melaksanakan penelitian yang sama dengan memperbaiki

Pada sistem netwatch peneliti meletakkan source code yang berfungsi untuk menjembatani program alarm pada BTS tower yang telah dikonfigurasikan apabila terjadi gangguan pada BTS

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan kepada guru dan 3 orang siswa dari kelas eksperimen, untuk mendapatkan informasi mengenai penelitian yang telah dilakukan