• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tutupan Vegetasi dan Hubungannya dengan Jumlah Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Areal Restorasi Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Tutupan Vegetasi dan Hubungannya dengan Jumlah Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Areal Restorasi Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Kondisi Lokasi Penelitian

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) mengambil nama dari Gunung

Leuser yang menjulang tinggi dengan ketinggian 3404 meter di atas permukaan

laut di Aceh. Taman Nasional ini meliputi ekosistem asli dari pantai sampai

pegunungan tinggi yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis, dikelola

dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Luas areal resort Sei Betung saat ini adalah 9.734 ha, dengan areal yang

rusak mencapai 1.114 ha yakni sekitar 11,4% dari luas resort Sei Betung. Luas

areal yang telah direstorasi saat ini adalah 300 ha. Tim survei OIC (Orangutan Information Centre) menambahkan bahwa kawasan restorasi Sei Betung terbagi dalam beberapa kawasan yang direstorasi secara bertahap.

Kawasan restorasi, Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser

(TNGL) merupakan areal bekas perkebunan sawit PT. Putri Hijau dan PT. Rapala,

yang mulai beroperasi pada tahun 1980 dan mulai membuka hutan di Desa

Halaban, Dusun Wonosari dan Dusun HKTI. Berdasarkan keterangan yang

diperoleh dilapangan, tahun 1980 PT. Putri Hijau membuka lahan ±3000 Ha, dan

sekitar tahun 1985 mulai menanam kelapa sawit. Ada dua tahap pembukaan lahan

di PT. Putri Hijau, tahap pertama pada tahun 1980-1985 dan tahap kedua

(2)

Gambar 1. Peta kawasan Resort Sei Betung TNGL

Penginderaan Jarak Jauh

Penginderaan jarak jauh secara umum didefinisikan sebagai ilmu, teknik

dan seni untuk memperoleh informasi atau data mengenai kondisi fisik suatu

benda atau objek, target, sasaran maupun daerah dan fenomena tanpa menyentuh

atau kontak langsung dengan benda atau target tersebut (Soenarmo, 2003).

Lo (1995) juga menyebutkan, penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk

mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh

tanpa sentuhan fisik.

Menurut Soenarmo (2003) untuk memperoleh data dengan sensor jauh,

sangat penting peranan media perantara, dalam hal ini adalah gelombang

elektromagnetik yang berasal dari spektrum radiasi matahari. Selanjutnya

Soenarmo juga menyebutkan, sistem sensor jauh yang digunakan ada dua macam,

(3)

yang secara langsung dapat diperoleh dari alam dan sistem sensor aktif

menggunakan gelombang elektromagnetik yang dipisahkan oleh rekayasa

manusia sesuai dengan keperluan.

Sistem sensor pasif pada umumnya memanfaatkan gelombang cahaya

tampak, infra merah dekat dan infra merah tengah serta panjang gelombang mikro

tertentu. Sedangkan sistem sensor aktif pada umumnya menggunakan panjang

gelombang mikro radar yang tidak dapat digunakan secara langsung dari alam,

tetapi melalui tahap pemisahan (Soenarmo, 2003).

Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan citra

satelit seperti Landsat TM mampu mendeteksi pola penggunaan lahan di muka

bumi. Informasi yang diperoleh dari citra satelit tersebut dapat digabungkan

dengan data-data lain yang mendukung ke dalam suatu Sistem Informasi

Geografis (SIG) (Sulistiyono, 2008).

Pemetaan hutan menggunakan teknologi indra multitemporal mampu

memberikan data mengenai luasan hutan, kerapatan hutan, dan perubahannya.

Sedangkan Sistem Informasi Geografis dapat menganalisis secara keruangan

aspek-aspek yang berpengaruh terhadap dinamika perubahan hutan diasosiasikan

dengan beberapa feature atau kenampakan lain di permukaan bumi (Yuwono dan Suprajaka, 2003).

Kerapatan Vegetasi

Kerapatan vegetasi dapat didekati dengan pengenalan manual atau dengan

cara digital. Pengenalan manual dapat menghasilkan kerapatan secara kualitatif

atau kuantitatif dengan tingkat ketelitian yang rendah. Kerapatan tajuk dapat

(4)

digital adalah nilai pantulan spektral hijau daun. Berdasarkan tinggi rendahnya

intensitas pantulan hijau daun dapat dikelaskan sebagai indikasi tingkat kerapatan

tajuk (BPDAS, 2006).

Indeks vegetasi adalah besaran nilai kehijauan vegetasi yang diperoleh

dari pengolahan sinyal digital data nilai kecerahan (brightness) beberapa kanal data sensor satelit. Untuk pemantauan vegetasi, dilakukan proses perbandingan

antara tingkat kecerahan kanal cahaya merah (red) dan kanal cahaya inframerah dekat (near infrared). Fenomena penyerapan cahaya merah oleh klorofil dan pemantulan cahaya inframerah dekat oleh jaringan mesofil yang terdapat pada

daun akan membuat nilai kecerahan yang diterima sensor satelit pada kanal-kanal

tersebut akan jauh berbeda. Pada daratan non-vegetasi, termasuk diantaranya

wilayah perairan, pemukiman penduduk, tanah kosong terbuka, dan wilayah

dengan kondisi vegetasi yang rusak, akan menunjukkan nilai rasio yang rendah

(minimum). Sebaliknya pada wilayah bervegetasi sangat rapat, dengan kondisi

sehat, perbandingan kedua kanal tersebut akan sangat tinggi (maksimum)

(Sudian dan Diasmara, 2008).

Klasifikasi kerapatan tajuk ini dilakukan dengan menggunakan program

pengolah data citra (image processing), dimana di dalamnya tersedia modul untuk menghitung nilai intensitas pantulan spektral hijau daun. Sesuai dengan

karakteristiknya, saluran merah dan infra merah sangat sesuai dengan kepekaan

terhadap pantulan hijau dari kandungan klorofil daun. Oleh sebab itu, kedua

saluran tersebut digunakan untuk mengidentifikasi pantulan hijau daun dengan

menggunakan formula NDVI (Normalized Defference Vegetation Index)

(5)

NDVI adalah indeks yang menggambarkan tingkat kehijauan suatu tanaman. Indeks vegetasi merupakan kombinasi matematis antara band merah dan

band NIR (Near-Infrared Radiation) yang telah lama digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1997).

Rentang nilai NDVI adalah antara -1 hingga +1. Nilai yang lebih besar

dari 0,1 biasanya menandakan peningkatan derajat kehijauan dan intensitas dari

vegetasi. Nilai diantara 0 dan 0,1 umumnya merupakan karakteristik dari bebatuan

dan lahan kosong, dan nilai yang kurang dari 0 kemungkinan mengindikasikan

awan es, awan air dan salju. Permukaan vegetasi memiliki rentang nilai NDVI 0,1

untuk lahan savanna (padang rumput) hingga 0,8 untuk daerah hutan hujan tropis (Tinambunan, 2006).

Habitat Orangutan dan Sarang

Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, yaitu hutan dataran

rendah, perbukitan, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa,

bakau dan nipah, serta pada hutan pegunungan. Habitat orangutan Sumatera

dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada ketinggian 1.000 mdpl. Daya

dukung habitat orangutan ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang

menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan sebagai tempat beristirahat

yang aman. Kekurangan makanan akan menyebabkan terjadinya persaingan dan

anggota yang statusnya lebih rendah harus mencari sumber makanan di tempat

lain atau menerima sumber makanan alternatif. Apabila kebutuhan dasar (air,

makanan, tempat beristirahat) cukup tersedia, maka aktivitas hidup orangutan

akan berlangsung normal, dengan kata lain daya dukung untuk kehidupan

(6)

Orangutan sangat peka terhadap perubahan kondisi hutan tropik yang

menjadi habitatnya. Hutan tropik yang menjadi habitatnya harus menyediakan

beragam tumbuhan yang menjadi sumber pakan utamanya sehingga primata ini

dapat bertahan hidup. Selain buah, orangutan juga memakan bagian lain dari

tumbuhan seperti bunga, daun muda, kulit kayu, beberapa tumbuhan yang dihisap

getahnya dan berbagai jenis serangga. Dengan demikian pembukaan hutan tropik

sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasinya, seperti di Pulau

Kalimantan, orangutan kehilangan lebih dari habitatnya, dimana dari areal hutan

seluas ± 415.000 km² saat ini tersisa seluas ± 165.000 km² (± 39,76%), sedangkan

di Sumatera, dari areal hutan seluas ± 89.000 km² saat ini tersisa seluas ±23.000

km² (± 25,84%) (Supriatna dan Wahyono, 2000).

Orangutan dikenal sebagai satwa arboreal, yaitu hewan yang menghabiskan seluruh aktivitasnya di atas pohon. Menurut berbagai hasil

penelitian pakan orangutan secara umum adalah buah. Hal ini mengacu pada

pernyataan MacKinnon (1972) menyebutkan walaupun orangutan pada dasarnya

merupakan hewan frugivorous yakni pemakan buah-buahan, namun pada keadaan tertentu juga memakan daun-daunan, bunga-bunga tumbuhan, efipit, liana, dan

kulit pohon.

Orangutan biasanya menggunakan pohon sebagai tempat bersarang. Jenis

pohon yang biasanya digunakan untuk tempat bersarang adalah pohon pakan

orangutan itu sendiri. Pohon yang biasa digunakan sebagai tempat bersarang

adalah pohon yang memiliki percabangan yang relatif rapat dengan daun yang

tidak berbulu yang tersebar diseluruh cabang pohon dan yang tidak bergetah.

(7)

sebagai tempat bersarang. Ketinggian pohon sarang sangatlah beragam mulai dari

20-25 m, diameter pohon sarang 20-30 cm, bentuk tajuk bola, tinggi sarang 16-25

m (Rifai, 2013).

Menurut Felton, et al (2003) dalam tulisannya menyatakan bahwa selain ketersediaan pakan, keberadaan orangutan juga dipengaruhi oleh kerapatan tajuk.

Sementara kerapatan tajuk di hutan sekunder rendah, hal ini sesuai dengan

literatur Irwanto (2006) yang menyatakan bahwa ciri-ciri hutan sekunder adalah

pertumbuhan tinggi yang cepat, kerapatan kayu yang rendah, pertumbuhan cabang

sedikit.

Karakteristik pohon sarang yang berpengaruh terhadap perilaku orangutan

dalam pemilihan tempat bersarang adalah diameter batang, luas penutupan tajuk,

tinggi tajuk, dan bagian pohon sarang. Sedangkan tinggi bebas cabang dan tinggi

total, jarak tajuk pohon sarang ke tajuk pohon lainnya, dan tinggi sarang tidak

mempengaruhi perilaku orangutan untuk memilih tempat bersarang. Bagian

pohon yang sering digunakan untuk membuat sarang adalah puncak pohon dan

ujung cabang. Ketersediaan sumber pakan, air, karakteristik vegetasi yang

menjamin keamanan dan kenyamanan lokasi bersarang adalah faktor utama yang

menjadi pertimbangan untuk pemilihan lokasi bersarang pada orangutan

(Kuswanda dan Sukmana, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Harahap (2014) mengenai kesesuaian

habitat orangutan sumatera (Pongo abelii) di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Resort Sei Betung menunjukkan bahwa areal restorasi Sei Betung layak

dijadikan sebagai kawasan pelepasliaran orangutan, tentu dengan lokasi yang sesuai

(8)

kesesuaian habitat yaitu peta kesesuaian jarak dari jalan, peta kesesuaian jarak dari

desa, peta kesesuaian jarak dari sumber air, dan peta nilai NDVI. Model kesesuaian

habitat terdiri dari lima kelas kecuali peta nilai NDVI (tanpa kelas kesesuaian sangat

rendah). Lima kelas kesesuaian yang dihasilkan adalah kelas kesesuaian sangat

rendah, kelas kesesuaian rendah, kelas kesesuaian sedang, kelas kesesuaian tinggi,

kelas kesesuaian sangat tinggi. Analisis PCA menghasilkan persamaan Y = (1,917.

X1 ) + (1,917.X2) + (1,917 . X3) + (1,044 . X4).

Kepadatan Orangutan

Kepadatan populasi orangutan Sumatera tergolong rendah

(0-7 individu/km2) pada berbagai tipe habitat. Paling banyak ditemui di daerah

flood plain/rawa gambut sebesar 6,1 ind/km2, dataran rendah alluvial (<500 m) sebesar 3,9 ind/km2, dataran tinggi (500-1000 m) sebesar 1,4 ind/km2, dan (sub)

pegunungan (>1000 m) sebesar 0,8 ind/km2 (Utami, 2006).

Estimasi populasi dengan metode penghitungan sarang dipengaruhi oleh

umur sarang, potensi pohon pakan, perilaku pergerakan, termasuk migrasi serta

kondisi habitat. Bagi orangutan, daya dukung habitat ini ditentukan oleh

produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan

sebagai tempat beristirahat yang aman. Kekurangan makanan akan menyebabkan

terjadinya persaingan, dan anggota yang posisinya lebih rendah harus mencari

sumber-sumber makanan di tempat lain, atau menerima sumber-sumber makanan

alternatif (Meijaard, 2001).

Dalimunthe (2009) melaporkan bahwa kepadatan populasi orangutan

berdasarkan jumlah sarang di Kawasan Bukit Lawang adalah 0,0349 individu/km2

(9)

Kelas sarang orangutan yang paling banyak ditemukan adalah kelas sarang yang

berumur 4 bulan (kelas 3) dengan persentase 50,67% dan posisi sarang orangutan

yang paling banyak ditemukan adalah posisi sarang yang berada pada

percabangan utama (posisi I) dengan persentase 39,11%. Ketinggian sarang

orangutan paling banyak ditemukan adalah pada ketinggian 15-20 m dengan

persentase 26,98%. Pemilihan pohon sarang orangutan yang mendominasi adalah

pada Famili Dipterocarpaceae dan Lauraceae dengan persentase 29,17%.

Penelitian yang dilakukan oleh Hawari (2014) kepadatan populasi

orangutan berdasarkan jumlah sarang di Desa Bulumario dan kawasan Cagar

Alam Dolok Sibual Buali (CADS) adalah 0,038 individu/km2 atau 3,782

individu/ha dari jumlah keseluruhan sarang ditemukan 49 sarang. Sarang

terbanyak di temukan pada jarak 0-100 meter dari seluruh jalur dengan jumlah

sarang 14 sarang (28,57%) dan kelas sarang yang mendominasi adalah kelas

sarang D dengan jumlah 23 sarang (46,94%). Posisi sarang paling dominan berada

pada posisi I yang merupakan posisi sarang dekat dengan batang utama pohon

dengan jumlah 24 sarang (48,98%). Umumnya sarang ditemukan pada ketinggian

6-10 meter dengan jumlah 15 sarang (30,61%).

Penelitian yang dilakukan oleh Umri (2012) di Marike dan Sikundur Kecil

kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara menyatakan bahwa

nilai kepadatan Orangutan di Marike jauh lebih banyak dibandingkan dengan

lokasi di Sikundur Kecil, baik dilihat dari jumlah sarang maupun jumlah estimasi

kepadatan populasinya. Jumlah sarang di Marike sebanyak 100,83 sarang dengan

(10)

sarang di Sikundur Kecil sebanyak 24,33 sarang dengan estimasi kepadatan

orangutan sebanyak 0,56 individu/km2.

Sementara penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2014) di

Perbatasan Cagar Alam Dolok Sibual Buali Desa Aek Nabara, Kecamatan

Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, pendugaan

rata-rata kepadatan orangutan di Perbatasan CA Dolok Sibual Buali sebesar 0,006

individu/km2 atau 0,595 individu/ha dari jumlah keseluruhan sarang ditemukan 18

sarang. Sarang terbanyak di temukan pada jarak 0-100 meter dari seluruh jalur

dengan jumlah sarang 7 sarang (44,44%) dan kelas sarang yang mendominasi

adalah kelas sarang C dengan jumlah 7 sarang (38,87%). Posisi sarang paling

dominan berada pada posisi I yang merupakan posisi sarang dekat dengan batang

utama pohon dengan jumlah 9 sarang (50%). Umumnya sarang ditemukan pada

ketinggian 6-10 meter dengan jumlah 8 sarang (44,44%).

Penelitian yang dilakukan oleh Fajria (2014) di Hutan Primer Resort Sei

Betung Taman Nasional Gunung Leuser menyatakan bahwa estimasi kepadatan

populasi berdasarkan jumlah sarang diperoleh kepadatan populasi orangutan

sebesar 0,2 individu/Km2 atau 1 individu/500 ha dengan jumlah sarang yang

ditemukan sebanyak 42 sarang. Sarang yang di tentukan di dominasi oleh posisi II

(45,24%). Pemilihan sarang berdasarkan ketinggian ditemukan paling banyak

berada pada ketinggian >15-20 m (38,10%). Pemilihan sarang berdasarkan jenis

pohon ditemukan sebanyak 13 family dan di dominasi oleh family Euphorbiaceae

Gambar

Gambar 1. Peta kawasan Resort Sei Betung TNGL

Referensi

Dokumen terkait

Bersumber dari wikipedia.com/Education in United States, dapat dilihat bahwa jenjang pendidikan di Amerika Serikat biasanya dimulai dari preschool, kindergarten, atau

Pada 20 inputan pertama itu langsung masuk ke hasil, dan dihasil akan di proses.

Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa ketrampilan menyimak cerita pendek perlu ditingkatkan lagi, karena pada hasil yang dicapai pada pembelajaran yang telah

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kesadaran gizi keluarga di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo adalah hampir setengahnya baik, sedangkan

Metode penelitian adalah salah satu cara yang terdiri dari langkah –. langkah atau urutan kegiatan yang berfungsi sebagai

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja guru dalam pembelajaran matematika pada materi Satuan Panjang adalah memperbaiki RPP dan pelaksanaan pembelajarn

Windmill Water Flow Top benefited from the force of gravity to the ater entering the turbine blade, so that power is generated not only from the kinetic energy comes

Tabel Hasil Output Uji Multikolinearitas Setelah Mengeluarkan Variabel Pengeluaran