• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli Ikan Segar Hasil Laut (Studi Pada UD. CTK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli Ikan Segar Hasil Laut (Studi Pada UD. CTK)"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB

UNDANG -UNDANG HUKUM PERDATA

A. Pengertian Perjanjian dan Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Menurut

KUHPerdata

1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.12 Perjanjian adalah suatu peristiwa ketika seseorang berjanji kepada orang lain atau ketika orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dalam perjanjian ini timbul suatu perikatan atau hubungan hukum antara dua orang tersebu. Perjanjian ini sifatnya konkret.13

Pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya terhadap seseorang atau lebih.

Pengertian pengertian singkat di atas dijumpai terdapat beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain : hubungan hukum

(rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih, yang memberi hak pada suatu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

14

12

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : PT.Alumni, 1986), hlm 6. 13

Lukman Santoso. Hukum Perjanjian Kontrak, (Yogyakarta: Cakrawala, 2012), hlm 8. 14

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(2)

14

peristiwa ketika seseorang berjanji kepada orang lain, atau ketika 2(dua) orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.

Hal-hal yang diperjanjikan adalah:

a. Perjanjian memberi atau menyerahkan sesuatu barang (misal: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, hibah dan lain-lain);

b. Perjanjian berbuat sesuatu (perjanjian perburuhan dan lain-lain);

c. Perjanjian tidak berbuat sesuatu (tidak membuat tembok yang tinggi-tinggi, dan lain sebagainya).15

Mengenai defenisi perjanjian yang terdapat di dalam Pasal 1313 KUH Perdata, para ahli hukum perdata berpendapat sebagai berikut :

1) Defenisi ini tidak lengkap karena menunjuk pada perbuatan, seharusnya perbuatan hukum. Perjanjian diadakan dengan tujuan untuk memperoleh akibat hukum, perbuatan yang dilakukan tidak dimaksudkan untuk menciptakan akibat hukum.

2) Defenisi ini bersifat sempit karena hanya menunjuk pada perjanjian sepihak, yaitu perjanjian yang hanya mempunyai kewajiban pada satu pihak, sedangkan ada perjanjian yang mengandung hak dan kewajiban pada kedua pihak, seperti perjanjian timbal balik.

3) Defenisi ini terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan hukum yang terletak dalam hukum keluarga yang bersifat perjanjian juga, tetapi istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga KUH Perdata buku III tentang perikatan, secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup

15

(3)

15

perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam figur ini tidak ada unsur persetujuan.16

Berdasarkan itu pula beberapa ahli hukum memberikan defenisi daripada perjanjian. Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.

Defenisi di atas, secara jelas terdapat konsensus antara para pihak, yaitu persetujuan antara pihak satu dengan pihak lainnya. Selain itu, juga perjanjian yang dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan. Perumusan ini erat hubungannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.17

Setiawan, mendefenisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengingatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.18

(a) Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak;

Dari perumusan perjanjian tersebut, terdapat beberapa unsur perjanjian, antara lain:

(b) Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap;

(c) Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu memenuhi kebutuhan pihak-pihak dalam perjanjian;

(d) Adanya prestasi yang akan dilaksanakan;

16

Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan Dalam KUH Perdata, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015), hlm 83-84.

17

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 222.

18

(4)

16 (e) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan;

(f) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.

Menurut bahasa Arab ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian atau kontrak, yaitu kata akad (al-‘aqadu) dan kata ‘ahd (al-ahdu), Al-Qur’an memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata yang kedua berati masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian.19

Istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis, sedangkan kata al-‘aqadu dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian atau

evereenkomst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak lain. Jadi hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan sebagaimana yang telah disyaratkan dalam Al-Qur’an.20

Penjelasan di atas, yang lebih tepat seharusnya akad di terjemahkan dengan perjanjian, yang walaupun dikatakan perikatan, namun itu sebenarnya adalah perikatan yang lahir dari perjanjian, sedangkan al-‘ahdu justru lebih tepat diterjemahkan sebagai pernyataan atau tekad seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, jadi hanya merupakan janji untuk diri sendiri, dan bukan berjanji untuk orang lain sebagaimana yang sering disebut perjanjian sepihak (perjanjian beban sepihak).21

19

Ahmadi Miru (1), Hukum Kontrak Bernuansa Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012) Hlm 5.

20

Qur’an Surat Ali Imran ayat 76, yang artinya : (bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertyakwa.

21

Ibid, Hlm 6.

(5)

17 1. Unsur essensialia

Eksistensi dari suatu perjanjian ditentukan secara mutlak oleh unsur

essensialia, karena tanpa unsur ini suatu janji tidak pernah ada. Contohnya tentang “sebab yang halal”, merupakan essensialia akan adanya perjanjian. Dalam jual beli, harga dan barang, yang disepakati oleh penjual dan pembeli merupakan unsur essensialia. Dalam perjanjian riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan unsur essensialia. Begitu pula dalam bentuk tertentu merupakan unsur essensialia dalam perjanjian formal.

2. Unsur naturalia

Unsur ini dalam perjanjian diatur dalam undang-undang, tetapi para pihak boleh menyingkirkan atau menggantinya. Dalam hal ini ketentuan undang-undang bersifat mengatur atau menambah (regelend atau aanvullendrecht).

Misalnya, kewajiban penjual menanggung biaya penyerahann atau kewajiban pembeli menanggung biaya pengambilan. Hal ini diatur dalam Pasal 1476 KUH Perdata:

“Biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli”.

Anak kalimat dari pasal tersebut menunjukkan bahwa undang-undang (hukum) mengatur berupa kebolehan bagi pihak (penjual dan pembeli menentukan kewajiban mereka berbeda dengan yang disebutkan dalam undang-undang itu. Begitu juga kewajiban si penjual menjamin (vrijwaren) aman hukum dan cacat tersembunyi kepada si pembeli atas barang yang dijualnya itu. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 1491 KUH Perdata.

(6)

18

Unsur ini sama hanya dengan unsur naturalia dalam perjanjian yang sifatnya penambahan dari para pihak. Undang-undang (hukum) sendiri tidak mengatur tentang hal itu. Contohnya dalam perjanjian jual beli benda-benda pelengkap tertentu bisa ditiadakan. 22

Menurut hukum kontrak (law of contract) USA, ditentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu: (1) Adanya penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance); (2) Adanya persesuaian kehendak (meeting of minds); (3) adanya konsiderasi; (4) Adanya kewenangan hukum para pihak (competent legal parties) dan pokok persoalan yang sah (legal subject matter).

2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Secara umum kontrak lahir pada saat tercapainya kata kesepakatan para pihak mengenai hal yang pokok atau unsur esensial dari kontrak tersebut. Sebagai contoh, apabila dalam kontrak jual beli telah tercapai kesepakatan tentang barang dan harga maka lahirnya suatu kontrak, sedangkan hal-hal yang tidak diperjanjikan oleh para pihak akan diatur oleh undang-undang. Walaupun demikian, kesepakatan saja tidak cukup untuk lahirnya suatu kontrak, karena ada persyaratan lain untuk sahnya suatu kontrak, sebagaimana yang akan diuraikan lebih lanjut.

23

a) Syarat umum sahnya perjanjian

Syarat umum terhadap sahnya suatu perjanjian adalah seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata Indonesia, yang berlaku untuk semua bentuk dan jenis perjanjian, yaitu sebagai berikut :

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

22

I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), Hlm. 43-44. 23

(7)

19 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecapakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.”24 b) Syarat tambahan sahnya perjanjian

Syarat tambahan terhadap sahnya perjanjian yang juga berlaku terhadap seluruh bentuk dan jenis perjanjian adalah sebagaimana yang disebut antara lain dalam Pasal 1338 (ayat 3) dan 1339 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:

(1) Perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik; (2) Perjanjian mengikat sesuai kepatutan; (3) Perjanjian mengikat sesuai kebiasaan;

(4) Perjanjian harus sesuai dengan undang-undang (hanya terhadap yang bersifat hukum memaksa);

(5) Perjanjian harus sesuai ketertiban umum.25

Menurut Subekti syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut digolongkan menjadi dua bagian, yaitu dua syarat yang pertama (1 dan 2), dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orang atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir (3 dan 4) dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.26

24

Pasal 1320 KUH Perdata, lihat juga pasal 1365 NBW. 25

Munir Faudy (2), Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), Hlm 185-186.

26

Subekti (1), Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2002), Hlm 17.

(8)

20

hal tidak terpenuhnya unsur objektif) dengan pengertian bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan.

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan adalah salah satu syarat sahnya perjanjian. Oleh karena itu, saat lahirnya perjanjian atau untuk menentukan ada atau tidaknya perjanjian adalah dari adanya kesepakatan. Kesepakatan merupakan persesuaian pendapat satu sama lainnya tentang isi perjanjian dan mencerminkan kehendak untuk mengikatkan diri. Hal yang penting pada suatu perjanjian adalah, bahwa masing-masing pihak menyatakan bahwa persetujuannya sesuai dengan pernyataan pihak lainnya.

Menjadi persoalan adalah sejak kapan syarat kesepakatan tersebut terpenuhi. Hal ini merupakan suatu yang sangat sukar untuk ditentukan. Untuk itu pada umumnya para praktisi hukum lebih cendrung berpendapat bahwa untuk mengetahui sejak saat kapan syarat tersebut terpenuhi, dengan memahami proses terjadinya kesepakatan, yang dalam praktek hukum perjanjian disebut sebagai proses penawaran dan penerimaan.27

Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui

(overenstemende wil verklaring) antara pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan penawaran (aanbod), sedangkan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Penawaran berlangsung dalam proses yang diwujudkan dalam bentuk kata-kata dan dapat juga dalam bentuk prilaku. Penawaran yang diikuti dengan penerimaan bersama-sama

27

(9)

21 melahirkan perjanjian.28

Berbagai cara terjadinya kesepakatan tersebut di atas, maka secara garis besar terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang mana kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan lisan, simbol-simbol tertentu atau diam-diam.

Cara-cara terjadinya penawaran dan penerimaan dapat dilakukan dengan tegas, maupun dengan tidak tegas, yang penting dapat dipahami/dimengerti oleh para pihak, bahwa telah terjadi penawaran dan penerimaan.

Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, sebagai cara terjadinya kesepakatan/terjadinya penawaran dan penerimaan adalah :

1) dengan cara tertulis; 2) dengan cara lisan;

3) dengan simbol-simbol tertentu; bahkan 4) dengan berdiam diri.

29

Adapun jenis-jenis penawaran terdiri dari: a) penawaran umum, b) penawaran yang tidak mengikat, c) penawaran yang mengikat dengan jangka

Perjanjian terjadi bila ada suatu penawaran yang diikuti dengan penerimaan, atau sebagai ijab kabul. Untuk itu, diperlukan adanya pihak yang menawarkan dan adanya pihak yang menerima penawaran. Penawaran pada dasarnya merupakan pernyataan kehendak, oleh karenanya harus dinyatakan/diutarakan, penawaran adalah suatu usul yang telah dibuat sedemikian rupa dan bila penawaran tersebut diterima, akan melahirkan perjanjian.

28

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., Hlm 108. 29

(10)

22

waktu tertentu, dan d) penawaran yang mengikat dengan jangka waktu yang tidak tertentu.30

b. Kecapakan membuat perjanjian

Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum. Yang dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, baik orang atau badan hukum, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Untuk mengadakan suatu kontrak, para pihak harus cakap, namun dapat saja terjadi bahwa para pihak/salah satu pihak yang mengadakan kontrak adalah tidak cakap menurut hukum.

Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Kedudukannya sama dengan seorang anak yang yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.31 Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap melakukan kontrak jika orang tersebut belum berumur 21 tahun kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, maka oleh hukum dianggap cakap kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros.32

30

Mohd. Syaufii Syamsuddin, Loc. Cit.

31

Subekti (1), Op.Cit., hlm 18. 32

Ahmadi Miru (1), Op. Cit., Hlm 42.

(11)

23

Sedangkan dalam Pasal 1330 KUH Perdata, ditentukan bahwa tak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

1) Orang-orang yang belum dewasa;

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang; dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Khusus sub c di atas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-undang sekarang ini tidak berlaku lagi, karena hak perempuan dan laki-laki telah disamakan dalam membuat perjanjian, sedangkan untuk orang-orang yang dilarang oleh perjanjian untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tapi hanya tidak berwenang membuat perjanjian tertentu.33

c. Suatu hal tertentu

Adapun yang dimaksud suatu hal atau objek tertentu (een bepaald onderwerp) dalam Pasal 1320 KUH Perdata syarat ke-3, adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan yang tidak dapat ditentukan sifat dan luas kewajiban para pihak adalah tidak mengikat (batal demi hukum).34

Syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang menjadi pokok suatu perjanjian. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada

33

Ibid, Hlm 43. 34

(12)

24

atau sudah berada ditangannya siberutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga tidaklah menjadi halangan bahwa jumlahnya tidak disebutkan, asal saja jumlah itu kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.35 Misalnya dalam melakukan perjanjian kerja, merupakan suatu persetujuan bahwa pekerja mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaga dan pikirannya kepada pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan dengan menerima upah, yang dilakukan selama suatu masa tertentu (Pasal 1333 dan 1601 KUH Perdata).36

1. Yang merupakan objek perjanjian tersebut haruslah berupa barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUH Perdata);

KUH Perdata memberikan beberapa syarat tertentu agar persyaratan perihal/objek tertentu dari suatu perjanjian dapat diterima oleh hukum. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :

2. Minimal sudah dapat ditentukan jenis barang yang menjadi objek perjanjian ketika perjanjian tersebut dibuat (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata);

3. Boleh saja jumlah barang yang menjadi objek perjanjian masih tidak tertentu ketika perjanjian dibuat, asal saja jumlah barang tersebut dapat ditentukan atau dapat dihitung di kemudian hari (Pasal 1333 ayat (2) KUH Perdata);

4. Barang yang menjadi objek perjanjian boleh saja barang yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata);

5. Namun kemudian, tidak dibuat suatu perjanjian terhadap barang-barang yang masih dalam warisan yang belum terbuka (Pasal 1334 ayat (2) KUH Perdata).37

d. Suatu Sebab Yang Halal

Terkait dengan pengertian “kausa yang diperbolehkan” atau ada yang menerjemahkan “sebab yang halal” (eene geoorloofde oorzaak) beberapa sarjana mengajukan pemikirannya, antara lain H.F.A. Vollmar dan Wirjono Prodjodikoro,

35

Subekti (1), Op.Cit.,Hlm 19. 36

Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.Cit., Hlm 17. 37

(13)

25

yang memberikan pengertian sebab (kausa) sebagai maksud atau tujuan dari perjanjian, sedangkan Subekti menyatakan bahwa sebab adalah isi perjanjian itu sendiri, dengan demikian kausa merupakan prestasi dan kontra prestasi yang saling dipertukarkan oleh para pihak.38

a) Tidak menyalahi hukum syariat, karena Rasulullah SAW. bersabda : “segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batil, sekalipun ia terdiri dari seratus syarat.

Istilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut hukum Islam, terdapat syarat yang bersifat umum yang harus diperhatikan. Dengan demikian terdapat beberapa syarat dalam perjanjian yang wajib dipenuhi, yaitu sebagai berikut :

b) Harus sama-sama ridha dan berdasarkan kesepakatan bersama. Karena pemaksaan menafikan kemauan. Tidak ada penghargaan terhadap akad yang menafikan kebebasan seseorang.

c) Harus jelas dan tidak samar sehingga tidak mengandung berbagai interprestasi yang bisa menimbulkan salah paham pada waktu penerapannya.39

Pengertian kausa atau sebab (oorzaak) sebagaimana dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata syarat ke-4, harus dihubungkan dalam konteks Pasal 1335 dan 1337 KUH Perdata. Meskipun undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan sebab atau kausa, namun yang dimaksudkan di sini menunjuk pada adanya hubungan tujuan (kausa finalis), yaitu apa yang menjadi tujuan para pihak untuk menutup kontrak atau apa yang hendak dicapai para pihak saat penutupan kontrak. Misalnya, dalam suatu kontrak jual beli, tujuan para pihak dalam menutup kontrak adalah pembayaran harga barang (oleh pembeli) dan

38

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. Hlm. 193-194. 39

(14)

26

pengalihan kepemilikan barang (oleh penjual). Menurut Hoge Raad, causa sebagai tujuan bersama yang hendak dicapai para pihak harus diukur menurut keadaan pada saat perjanjian ditutup.40

Menurut Yurisprudensi, yang ditafsirkan dengan kata sebab, adalah isi atau maksud dari perjanjian. Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pembentukan undang-undang berpandangan bahwa perjanjian mungkin juga diadakan tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan hukum.

Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab yang tidak halal, tidak sah menurut hukum, dapat dibedakan secara tegas antara sebab dan motif. Motif adalah alasan yang mendorong bathin seseorang untuk melakukan sesuatu hal. Bagi hukum motif tidak penting, sebab dalam hubungan kerja misalnya, bagi pengusaha ingin mendapatkan tenaga/jasa dari pekerja dan bagi pekerja ingin mendapatkan imbalan upah (Pasal 1337 KUH Perdata).

41

B.Jenis-jenis Perjanjian Dalam KUH Perdata Dan Asas-Asas Umum Dalam

Perjanjian

1. Jenis-Jenis Perjanjian

Jenis-jenis perjanjian dapat dibedakan berdasarkan sebagai berikut : a. Dilihat dari segi prestasi, perjanjian dapat dibedakan dalam:

40

Agus Yudha Hernoko, Loc.Cit.

41

(15)

27

1) Perjanjian timbal balik. Dalam perjanjian ini kedua belah pihak masing harus memenuhi kewajiban utama atau prestasi.

Contoh, seperti perjanjian jual beli (Pasal 1457 KUH Perdata), perjanjian sewa menyewa, dan perjanjian kredit.

2) Perjanjian timbal balik tidak sempurna atau perjanjian timbal balik kebetulan (onvolmaakt wederkerige of toevaling wederkerige overeenskomts). Dalam perjanjian ini pihak yang satu memenuhi kewajiban yang tidak seimbang dengan kewajiban pihak pertama.

Umpama: Perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792 Jo. 1808 KUH Perdata). Yang memberi kuasa (lastgever) harus mengganti hanya ongkos-ongkos yang betul-betul telah dikeluarkan oleh yang menerima kuasa (lasthebber). 3) Perjanjian sebelah (eenzijdige overrenkomst) yaitu perjanjian dalam mana

hanya suatu pihak mempunyai kewajiban atau prestasi. Umpama:

(a) Perjanjian pinjam ganti (verbruiklening) Pasal 1754 KUH Perdata dalam mana yang meminjam mempunyai kewajiban membayar kembali apa yang telah dipinjamnya.

(b) Perjanjian pemberian atau hibah atau schenking pada Pasal 1666 KUH Perdata, hanya pihak pemberi (penghibah) saja yang memberikan prestasi.

b. Dilihat dari segi pembebanan, perjanjian dapat dibedakan dalam:

(16)

28

Perdata dan suatu perjanjian pinjam-pakai (bruiklening) Pasal 1740 KUH Perdata.

2) Perjanjian atas beban (onder bezwarenden) yaitu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Dalam Pasal 1314 KUH Perdata pembentuk undang-undang tidak memberi suatu defenisi, baik untuk suatu perjanjian dengan cuma, maupun untuk suatu perjanjian atas beban.

Suatu perjanjian timbal-balik selalu merupakan suatu perjanjian atas beban, akan tetapi tidak selalu perjanjian atas beban merupakan suatu perjanjian timbal-balik, umpama: suatu perjanjian pinjam-ganti dengan bunga (verbruiklening op interessen).

c. Dilihat dari segi kesepakatan, perjanjian dapat dibedakan dalam:

1) Perjanjian konsensual, yaitu perjanjian yang tercipta dengan tercapainya persetujuan kehendak pihak-pihak.

2) Perjanjian riil, yaitu perjanjian yang baru tercipta apabila di samping persetujuan kehendak antara pihak-pihak secara obligatoire diikuti pula dengan penyerahan barang (levering).

Perjanjian riil adalah umpama suatu perjanjian penitipan, kredit, pinjam-pakai, pinjam-ganti, dan gadai. Apabila barang yang bersangkutan belum diserahkan, maka hanya terdapat suatu perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo voorovereenkomst).

(17)

29

1) Perjanjian comulatif atau perjanjian membalas (vergeldende overeenkomst), yaitu perjanjian dimana terdapat keuntungan yang dinikmati oleh yang berhak atau atas nama yang menjanjikan prestasi itu.

2) Perjanjian aleatoir (seperti perjanjian asuransi) atau perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst), yaitu perjanjian dalam mana terhadap suatu prestasi yang dijanjikan dengan atau tanpa syarat, terdapat hanya suatu keuntungan dengan syarat, sedangkan dipenuhinya syarat itu tidak beruntung pada pokok-pokok yang bersangkutan, sedangkan perjanjian-perjanjian itu diadakan justru berhubungan dengan kemungkinan dipenuhinya syarat itu.

e. Dilihat dari segi pokok kelanjutan. Pembagian ini dibedakan:

1) Perjanjian principal (dalam perjanjian jual-beli, ialah untuk menyerahkan barang perjanjian jual-beli).

2) Perjanjian accessoir¸yaitu perjanjian untuk menjamin cacat tersembunyi, perjanjian hipotik, perjanjian gadai, perjanjian penangguhan (borgtocht); dan penyerahan hak milik atas kepercayaan.

f. Dilihat dari urutan utama, perjanjian dapat dibedakam dalam: 1) Perjanjian primair, maksudnya perjanjian utama atau pokok.

2) Perjanjian secundair, maksudnya menggantikan perjanjian yang asli (oorspronkelijk), apabila ini tak dipenuhi, umpama pembayaran ganti kerugian.

g. Dilihat dari segi pengaturannya, perjanjian dapat dibedakan dalam: 1) Perjanjian yang lahir dari undang-undang.

(18)

30

h. Dilihat dari segi luas lingkungan, perjanjian dibagi dalam:

1) Perjanjian dalam arti sempit, ialah yang terjadi dengan kesepakatan perjanjian.

2) Perjanjian dalam arti luas, ialah termasuk juga yang terjadi dengan tanpa kesepakatan. 42

2. Asas-Asas Umum Dalam Perjanjian

Hukum kontrak mengenal banyak asas, empat di antaranya yang banyak dibahas adalah :

1. Asas konsensualisme; 2. asas kebebasan berkontrak;

3. asas mengikatnya kontrak (pacta sunt servanda); 4. asas itikad baik.43

a. Asas konsensualisme

Untuk lebih memahami masing-masing di atas, maka di bawah ini akan diterangkan lebih lanjut tentang masing-masing asas tersebut.

Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan, dengan demikian apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, maka lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat

42

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul: Hukum Perdata (Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata), (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006), Hlm 207-209.

43

(19)

31

obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.

Lahirnya perjanjian pada saat terjadinya kesepakatan tidak berlaku bagi semua jenis kontrak, karena asas ini hanya berlaku terhadap kontrak konsensual, sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riil tidak berlaku, karena terhadap kontrak formal memerlukan formalitas tertentu untuk lahirnya kontrak, sedangkan untuk kontrak riil, lahir pada saat penyerahan barang yang menjadi objek kontrak. b. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) ini mengajarkan bahwa ketika hendak membuat kontrak/perjanjian, para pihak secara hukum berada keadaan bebas untuk menentukan hal-hal apa saja yang ingin mereka uraikan dalam kontrak atau perjanjian tersebut. Akan tetapi, sekali mereka sudah membuat/menandatangani kontrak atau perjanjian tersebut, maka para pihak sudah terikat (tidak lagi bebas) kepada apa-apa saja yang telah mereka sebutkan dalam kontrak atau perjanjian tersebut.

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya:

1) Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; 2) Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; 3) Bebas menentukan isi atau klausula perjanjian;

4) Bebas menentukan bentuk perjanjian;

5) Bebas menentukan hukum yang digunakan; dan 6) Kebebasan-kebebasan lainnya.44

Asas kebebasan berkontrak ini adalah sebagai konsekuensi dari sistem terbuka (open system) dari hukum kontrak atau hukum perjanjian tersebut. Jadi

44

(20)

32

siapa pun bebas membuat sebuah kontrak atau perjanjian, asal saja dilakukan dalam koridor-koridor hukum sebagai berikut:

1) Memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebut dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

2) Tidak dilarang oleh undang-undang. 3) Tidak melanggar kebiasaan yang berlaku. 4) Dilaksanakan sesuai dengan unsur itikad baik.45 c. Asas mengikatnya kontrak (pacta sunt servanda)

Secara harfiah, pacta sunt servanda berarti bahwa “perjanjian itu mengikat.” Dalam hal ini, kalau sebelum berlakunya perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak, dalam arti bahwa para pihak bebas untuk mengatur sendiri apa-apa yang mereka ingin masukan ke dalam perjanjian, maka setelah perjanjian ditandatangani atau setelah berlakunya suatu perjanjian, maka para pihak sudah tidak lagi bebas tetapi sudah terikat terhadap apa-apa yang mereka telah tentukan dalam perjanjian tersebut.46

d. Asas itikad baik

Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, apabila dicermati, maka asas mengikatnya kontrak dapat dilihat dari kalimat “berlaku sebagai undang-undang” bagi mereka yang membuatnya.

Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)

45

Munir Faudy (2), Op.Cit., Hlm. 181. 46

(21)

33

KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Hal kedua yang mendasari keberadaan pasal 1338 KUH Perdata dengan rumusan itikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitur maupun kreditur maupun pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian.47 Suatu perjanjian yang dibuat oleh debitur dan pihak ketiga yang mengetahui bahwa perjanjian tersebut akan merugikan kepentingan kreditur adalah perjanjian yang dilakukan tidak dengan itikad baik. Oleh karena itu memberikan hak kepada kreditur yang dapat membuktikan itikad tidak baik tersebut untuk meminta pembatalan perjanjian yang merugikan kepentingannya tersebut.48

Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi di mana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibatnya ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap prakontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu.49

Asas itikad baik ini, sebenarnya dikenal pula dalam hukum Islam, hanya saja tidak disebut secara langsung dengan itikad baik, tetapi lebih menekankan pada kejujuran. Hal ini dapat dilihat dari dua hadist Rasulullah Saw., yang artinya:50

47

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada 2003), Hlm. 80.

48

Ibid, Hlm. 81. 49

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2004, Hlm. 5.

50

(22)

34

Sesungguhnya para pedagang itu akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai pendurhaka, kecuali yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik dan jujur.” (HR Tirmidzi); dan

Ada tiga golongan manusia yang tidak akan diperhatikan oleh Allah pada hari kiamat…. ‘Lalu Rasulullah Saw. menyebutkan salah satunya ialah : ‘Orang yang

melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR Muslim dan Ashabus Sunan).

Di luar dari ke-4 asas yang dikemukakan oleh para ahli hukum pada umumnya, menurut Prabandari, dikenal juga asas perjanjian menurut Hukum Perjanjian Nasional yang disesuaikan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang terdiri atas 8 (delapan) asas, yaitu:

1) Asas kebebanan mengadakan perjanjian; 2) Asas konsensualisme;

3) Asas kepercayaan; 4) Asas kekuatan mengikat; 5) Asas persamaan hukum; 6) Asas moral;

7) Asas kepatutan;

8) Asas kebiasaan (yang menurut Badrulzaman, 1989, juga merupakan asas perjanjian nasional). 51

C.Akibat Hukum dan Berakhirnya Suatu Perjanjian

1. Akibat Hukum Suatu Perjanjian

Suatu perjanjian yang sah memiliki akibat-akibat sebagai berikut:

a. Bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata). Ini artinya, setiap perjanjian mengikat para pihak. Dari perkataan “setiap” dalam pasal di

51

(23)

35

atas dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa. Sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus mentaati hukum yang sifatnya memaksa tersebut. Misalnya, terhadap ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.

b. Bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu (Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata). Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa jika perjanjian dapat dibatalkan secara sepihak, berarti perjanjian tidak mengikat. Ada perjanjian-perjanjian di mana untuk setiap pihak atau untuk salah satu pihak menimbulkan suatu kewajiban yang berkelanjutan. Misalnya sewa-menyewa, perjanjian kerja, dan lain-lain. Perjanjian-perjanjian tersebut dapat diakhiri secara sepihak, mengingat asasnya para pihak harus diberi kemungkinan untuk saling membebaskan dirinya dari hubungan semacam itu. Untuk menghindari hal tersebut, biasanya akan dibuat perjanjian untuk jangka waktu tertentu, dan selama masa tersebut perjanjian dapat diakhiri dengan kata sepakat para pihak.

c. Bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata). Adapun yang dimaksud dengan itikad baik adalah menjelaskan perjanjian menurut kepatutan dan keadilan. Hoge Raad berpendapat bahwa ketentuan mengenai itikad baik adalah ketentuan yang menyangkut ketertiban umum dan kesusilaan yang tidak boleh dikesampingkan oleh para pihak.

(24)

36

hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Yang dimaksud dengan kebiasaan tersebut dalam Pasal 1339 KUH Perdata bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan. Kebiasaan yang biasanya diperjanjikan, suatu janji yang selalu harus diadakan pada waktu membuat perjanjian dari suatu perjanjian dari suatu jenis tertentu. Kebiasaan yang selamanya diperjanjikan dapat dibuat secara tertulis maupun tidak. 52

2. Berakhirnya Suatu Perjanjian

Perincian tentang hapusnya perikatan disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu karena pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan dan penitipan, pembaharuan hutang, perjumpaan utang (kompensasi), percampuran hutang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang, kebatalan atau pembatalan, berlakunya suatu syarat batal dan lewatnya waktu (daluwarsa).

Menurut Subekti, perincian yang disebutkan dalam Pasal 1381 KUH Perdata tidaklah lengkap karena merupakan hapusnya perikatan akibat lewatnya ketetapan waktu dalam suatu perjanjian. Kecuali itu juga dikatakan bahwa perikatan bisa hapus dengan beberapa cara yang khusus ditetapkan terhadap perikatan, misalnya perjanjian maatshcap atau lastgeving. Dalam hal itu perikatan hapus dengan meninggalnya atau menjadi kurandus seorang anggota maatschap

atau menjadi pailit orang yang memberi perintah.53

53

(25)

37

a. Pembayaran

1. Pengertian

Pengertian pembayaran oleh undang-undang adalah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi. Jadi undang-undang tidak hanya merujuk kepada penyerahan uang saja, tetapi juga penyerahan tiap barang menurut perjanjian yang disebut juga pembayaran. Bahkan si pekerja melakukan pekerjaan untuk majikannya dikatakan juga membayar.54

Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1382 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1403 KUH Perdata. Ada dua pengertian pembayaran, yaitu pengertian secara sempit dan yuridis teknis. Pengertian pembayaran dalam arti sempit, adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur. Pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Namun, pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang atau barang, tetapi juga dalam bentuk jasa, seperti jasa dokter bedah, tukang cukur, atau guru privat.55

2. Orang yang berwenang dan berhak untuk melakukan pembayaran56 Orang yang dapat melakukan pembayaran utang, adalah:

a) Debitur yang berkepentingan langsung; b) Penjamin atau borgtocher;

c) Orang ketiga yang bertindak atas nama debitur. Orang yang berhak menerima pembayaran, yaitu:

54

Ibid. Hlm. 133. 55

Salim H.S, Op.Cit., Hlm.165-166. 56

(26)

38 a) Kreditur;

b) Orang yang menerima kuasa dari kreditur; c) Orang yang telah ditunjuk oleh hakim, dan

d) Orang-orang yang berhak menurut undang-undang (Pasal 1385 KUH Perdata)

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimanakah jika debitur melakukan pembayaran kepada orang yang tidak berwenang? Pertanyaan ini dijawab oleh pasal 1387 KUH Perdata, yaitu:

1) Pembayaran yang dianggap tidak sah; 2) Pembayaran dapat dibatalkan;

3) Pembayaran bisa dianggap sah dan berharga jika debitur dapat membuktikan bahwa pembayaran terhadap yang tak berwenang jadi benar-benar telah menolong dan membawa manfaat bagi kreditur.

3. Objek pembayaran

Objek pembayaran ditentukan dalam Pasal 1389 sampai dengan Pasal 1391 KUH Perdata.pasal 1389 KUH Perdata berbunyi: “Tidak seorang kreditur pun dapat dipaksa menerima pembayaran suatu barang lain dari barang yang terutang, meskipun barang yang ditawarkan sama harganya dengan barang yang terutang bahkan lebih tinggi.”

(27)

39

terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang memberikan kebebasan kepada individu untuk membuat perjanjian dengan siapapun. Karena pada saat ini dengan berkembangnya lembaga perbankan, dimungkinkan pembayaran dilakukan secara angsuran disertai bunga.57

4. Tempat pembayaran dilakukan

Pembayaran dilakukan di tempat yang ditentukan di dalam perjanjian. Jika tempat ini tidak ditentukan dan barang yang harus dibayarkan itu suatu barang yang sudah tertentu, pembayaran harus dilakukan di tempat barang itu berada sewaktu perjanjian ditutup. Dalam hal-hal lain, misalnya dalam hal tiada ketentuan tempat dan pembayaran yang berupa uang, pembayaran itu harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang. Jadi, tiap pembayaran yang berupa uang, jika tiada ketentuan lain, harus diantarkan di rumah si berpiutang. Akan tetapi sebagaimana kita lihat dalam praktek, peraturan ini sudah terdesak oleh skebiasaan yaitu pembayarannya itu diambil di rumah si berhutang. Undang-undang hanya mengadakan satu kekecualian, yaitu dalam hal pembayaran suatu hutang wesel, di mana oleh Pasal 137 W.v.K. menyatakan bahwa suatu pembayaran surat wesel harus dimintakan di rumah orang yang berkewajiban membayaranya.58

5. Subrogasi

Subrogasi diatur dalam Pasal 1400 KUH Perdata. Subrogasi artinya, penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga dalam perjanjian sebagai akibat pembayaran oleh pihak ketiga atas utang debitur kepada pihak kreditur. Tujuan subrogasi adalah untuk memperkuat posisi pihak ketiga yang telah melunasi

57

Ibid.

58

(28)

40

utang-utang debitur dan/atau meminjamkan uang kepada debitur. Yang paling nyata adanya subrogasi adalah beralihnya hak tuntutan dan kedudukan kreditur kepada pihak ketiga (Pasal 1400 KUH Perdata). Peralihan kedudukan ini meliputi segala hak dan tuntutan termasuk hak privilegi.

b. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan

Suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.

Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang dibayarkan itu disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.

c. Pembaharuan utang (novasi)

1. Pengertian

(29)

41

Novasi atau pembaruan utang atau pembaruan prestasi dalam kontrak menurut Pasal 1414 KUH Perdata harus dilakukan oleh pihak-pihak yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum kontraktual. Jadi, syarat-syarat sahnya suatu kontrak menurut Pasal 1320 KUH Perdata juga harus dipenuhi untuk terjadinya novasi. Selain itu, keinginan para pihak untuk melakukan novasi atau pembaruan utang atau pembaruan prestasi dalam kontrak menurut Pasal 1415 KUH Perdata juga harus dinyatakan secara tegas dalam kontrak baru.59

a) Adanya perjanjian baru Unsur-unsur novasi :

b) Adanya subjek yang baru c) Adanya hak dan kewajiban, dan d) Adanya prestasi. 60

2. Macam novasi

Menurut Pasal 1413 KUH Perdata, novasi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (1) novasi objektif, (2) novasi subjektif yang pasif, dan (3) novasi subjektif yang aktif. 61

Novasi objektif, yaitu suatu perjanjian yang dibuat antara debitur dan kreditur, di mana perjanjian lama dihapuskan. Ini berkaitan dengan objek perjanjian. Contohnya, A telah membeli kain baju pada B seharga Rp. 200.000,00, tetapi harga barang itu baru dibayar Rp. 100.000,00. Akan tetapi, A membeli kain baju yang lain seharga Rp. 200.000,00 dan harga tersebut belum dibayarnya.

59

Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Prespektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2012), Hlm. 419-420.

60

Salim H.S., Op.Cit. Hlm 169. 61

(30)

42

Kemudian antara A dan B membuat perjanjian, yang isinya bahwa utang A sebanyak Rp. 400.000,00 termasuk utang lamanya.

Novasi subjektif yang pasif, yaitu perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, namun debiturnya diganti oleh debitur yang baru, sehingga debitur lama dibebaskan. Inti dari novasi subjektif yang pasif adalah penggantian debitur lama dengan debitur baru. Contohnya, A berutang pada B. namun, dalam pelaksanaan pembayaran utangnya A diganti oleh C sebagai debitur baru, sehingga yang berutang akhirnya adalah C kepada B.

Novasi subjektif yang aktif, yaitu penggantian kreditur, di mana kreditur lama dibebaskan dari kontrak, dan kemudian muncul kreditur baru dengan debitur lama inti novasi ini adalah penggantian kreditur. Contohnya, si Ani berutang pada Mina. Namun di dalam pelaksanaan perjanjian ini kedudukan si Mina yang tadinya sebagai kreditur kini diganti si Ali sebagai kreditur. Sehingga perjanjian utang piutang itu tadinya terjadi antara si Ani (debitur) dengan si Ali (kreditur). 3. Orang yang cakap melakukan novasi

(31)

43

bersifat memaksa, oleh karena untuk novasi subjektif yang pasif tidak perlu bantuan debitur (Pasal 1415 KUH Perdata).

4. Akibat novasi

Pasal 1418 KUH Perdata telah menentukan akibat novasi. Salah satu akibat novasi adalah bahwa debitur lama yang telah dibebaskan dari kewajiban oleh kreditur tidak dapat meminta pembayaran kepada debitur lama, sekalipun debitur baru pailit atau debitur baru ternyata orang yang tidak dapat melakukan perbuatan hukum.62

d. Perjumpaan utang (kompensasi)

Jika seseorang yang berhutang, mempunyai suatu piutang pada si berpiutang, sehingga dua orang itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu kepada yang lainnya, maka hutang piutang antara kedua orang itu dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama. Menurut Pasal 1426 perhitungan itu terjadi dengan sendirinya. Artinya, tidak perlu para pihak menuntut diadakannya perhitungan itu. Untuk perhitungan itu juga tidak diperlukan bantuan dari siapapun. Untuk dapat diperhitungkan satu sama lain, kedua piutang itu harus mengenai uang atau mengenai sejumlah barang yang semacam, misalnya beras atau hasil bumi lainnya dari satu kwalitet. Lagi pula kedua piutang itu harus dapat dengan seketika ditetapkan jumlahnya dan seketika dapat ditagih.

Pada umunya undang-undang tidak menghiraukan sebab-sebab yang menimbulkan suatu piutang. Hanya dalam Pasal 1429 KUH Perdata, disebutkan tiga kekecualian piutang-piutang yang tidak boleh diperhitungkan satu sama lain:

1. Jika satu pihak menuntut dikembalikannya barang miliknya dengan secara melawan hak telah diambil oleh pihak lawannya.

62

(32)

44

2. Jika satu pihak menuntut dikembalikannya suatu barang yang dititipkan atau dipinjamkan pada pihak lawan itu.

3. Jikalau satu pihak menuntut diberikannya suatu tunjangan nafkah yang telah menjadi haknya.

Jika seorang penanggung hutang ditagih, sedangkan orang yang telah ditanggung (si berhutang) mempunyai suatu piutang pada si penagih, si penanggung hutang itu berhak untuk meminta diadakan perhitungan antara kedua piutang itu. Sebaliknya, Subekti mengatakan jika siberhutang ditagih untuk membayar hutangnya, sedangkan orang yang menanggung hutangnya itu mempunyai piutang terhadap sipenagih itu, maka tak dapat dilakukan kompensasi. Ini sesuai dengan asas yang dianut oleh undang-undang, bahwa perikatan penanggungan hutang itu hanya suatu buntut belaka dari perikatan pokok, yaitu perjanjian pinjaman uang antara si berhutang dan si berpiutang.

e. Pencampuran utang

Pencampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1437 KUH Perdata. Pencampuran utang adalah pencampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu (Pasal 1436 KUH Perdata).63

1. Dengan jalan penerusan hak dengan alas hak umum. Misalnya, si kreditur meninggal dunia dan meninggalkan satu-satunya ahli waris, yaitu debitur. Ini berarti bahwa dengan meninggalnya kreditur maka kedudukan debitur menjadi kreditur;

Di dalam NBW (BW baru) negeri Belanda pencampuran utang diatur dalam Pasal 1472 NBW. Ada dua cara terjadinya pencampuran utang, yaitu:

63

(33)

45

2. Dengan jalan penerusan hak di bawah alas hak khusus, misalnya pada jual beli atau legaat.

Pada umumnya pencampuran utang terjadi pada bentuk-bentuk debitur menjadi ahli waris dari kreditur.

f. Pembebasan utang

Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 KUH Perdata sampai dengan 1443 KUH Perdata. Pembebasan utang adalah suatu pernyataan sepihak dari kreditur kepada debitur, bahwa debitur dibebaskan dari perutangan.64

g. Musnahnya barang yang terutang

Ada dua cara terjadinya pembebasan utang, yaitu (1) cuma-cuma, dan (2) prestasi dari pihak debitur. Pembebasan utang dengan cuma-cuma harus dipandang sebagai penghadiahan (HR 16 januari 1899 dan 10 Januari 1902). Sedangkan prestasi dari pihak debitur, artinya sebuah prestasi lain, selain prestasi yang terutang. Pembebasan ini didasarkan pada perjanjian.

Bilamana barang yang menjadi objek dari suatu perikatan musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, ini berarti telah terjadi keadaan mamaksa atau force majeure. Pasal 1444 KUH Perdata menyatakan bahwa untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya debitur, dan/atau sebelum ia lalai menyerahkannya.65

Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung risiko, perikatan itu juga hapus, jika baginya akan

64

Ibid.

65

(34)

46

musnah secara yang sama di tangan si berutang, seandainya sudah diserahkan kepadanya (Pasal 1444 ayat (2) KUH Perdata).

Ketentuan ini sebenarnya berasal dari Pasal 1237 KUH Perdata yang menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, semenjak perikatan itu dilahirkan, adalah atas tanggungan kreditur.

Terjadinya peristiwa yang disebutkan dalam Pasal 1444 KUH Perdata tersebut dan si berutang telah dibebaskan dari perikatan oleh si berpiutang, maka si berutang wajib menyerahkan kepada si berpiutang sejak hak yang mungkin dapat ia lakukan terhadap orang-orang pihak ketiga sebagai pemilik barang yang telah dihapus atau hilang itu. Misalnya, si berpiutang itu berhak menuntut uang asuransi terhadap maskapai asuransi.66

h. Kebatalan atau pembatalan

1. Pengertian

Kebatalan atau pembatalan kontrak pada dasarnya adalah satu keadaan yang menimbulkan akibat suatu hubungan hukum perikatan yang bersumber dari kontrak itu dianggap tidak pernah ada. Dengan pembatalan kontrak, maka eksistensi kontrak dengan sendirinya menjadi berakhir atau hapus. Akibat hukum kebatalan kebebasan yang mengakhiri atau menghapus eksistensi kontrak selalu dianggap berlaku surut sejak dibuatnya kontrak oleh para pihak.67

66

I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit., Hlm. 154. 67

Muhammad Syaifuddin, Op.Cit., Hlm. 434.

(35)

47

a) Adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan di bawah pengampuan;

b) Tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan dalam undang-undang;

c) Adanya cacat kehendak. Cacat kehendak (wilsgebreken) adalah kekurangan dalam kehendak atau orang-orang yang melakukan perbuatan yang menghalangi terjadinya persesuaian kehendak dari para pihak dalam perjanjian.68

2. Macam kebatalan

Kebatalan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) kebatalan mutlak dan (2) kebatalan relatif. Kebatalan mutlak adalah suatu kebatalan yang tidak perlu dituntut secara tegas. Kebatalan mutlak terjadi karena (1) cacat bentuknya, (2) perjanjian itu dilarang undang-undang, (3) bertentangan dengan kesusilaan, dan (4) bertentangan dengan ketertiban umum.

3. Akibat kebatalan

Akibat kebatalan kontrak dapat dilihat dari dua aspek, yaitu (1) orang-orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum , dan (2) cacat kehendak. Akibat kebatalan perikatan bagi orang-orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum adalah pulihnya barang-barang dan orang-orang yang bersangkutan, seperti sebelum perikatan dibuat (Pasal 1451 KUH Perdata). Dengan pengertian, bahwa segala sesuatu yang telah diberikan atau dibayar kepada orang yang tidak berwenang hanya dapat dituntut kembali :

a) Barang yang bersangkutan masih berada di tangan orang yang tidak berwenang lagi;

b) Orang yang tidak berwenang itu telah mendapat keuntungan dari apa yang telah diberikan atau dibayar;

68

(36)

48

c) Apa yang dinikmati telah dipakai bagi kepentingannya.

Akibat kebatalan karena cacat kehendak, yaitu pulihnya barang-barang dan orang-orang yang bersangkutan seperti dalam keadaan semula (Pasal 1452 KUH Perdata).

4. Jangka waktu pembatalan perjanjian

Undang-undang tidak membatasi jangka waktu tuntutan pembatalan perjanjian secara khusus. Namum dalam undang-undang ditentukan jangka waktu yang pendek, yaitu 5 (lima) tahun (Pasal 1454 KUH Perdata). Jangka waktu itu mulai berlaku bagi:

a) Orang yang belum dewasa, sejak hari kedewasaannya; b) Pengampuan, sejak hari pencabutan pengampuan; c) Paksaan, sejak hari paksaan berhenti;

d) Penipuan, sejak diketahuinya penipuan;

e) Pembayaran tak terutang, sejak debitur mengetahui bahwa ia tidak mempunyai utang pada kreditur; dan

f) Tuntutan pembatalan perikatan menjadi gugur, apabila perikatan itu dikuatkan secara tegas atau secara diam-diam oleh orang-orang tersebut di atas (Pasal 1456 KUH Perdata).69

i. Berlakunya syarat batal

Timbul syarat yang membatalkan (door werking ener ontbindende voorwaarde), yaitu ketentuan isi perjanjian yang disetujui kedua belah pihak.70 Syarat batal adalah suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, seolah-olah tidak ada suatu perjanjian (Pasal 1265 KUH Perdata). Biasanya syarat batal berlaku pada perjanjian timbal balik (perjanjian jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain).71

j. Lewatnya waktu / daluwarsa (verjaring)

69

Ibid. Hlm. 174-175. 70

Titik Triwulan Tutik, Op.Cit.,Hlm. 244. 71

(37)

49

Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk membebaskan diri dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Ketentuan pasal tersebut dapat diketahui dua macam daluwarsa, yaitu: (1) Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang (acquisitive

prescription); dan

(2) Daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan (extinctive prescription).

1) Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang (Acquisitive Prescription)

Ketentuan dalam Pasal 1963 KUH Perdata, kedaluwarsaan untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dapat dilakukan jika terpenuhi beberapa unsur-unsur sebagai berikut:

a) Ada itikad baik (Pasal 1965 dan Pasal 1966 KUH Perdata); b) Ada alas hak yang sah;

c) Menguasai barang tersebut terus menerus selama 20 tahun atau 30 tahun tanpa ada yang menggugat.

2) Daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebankan dari tuntutan (extenctive prescription)

Sesuai dengan Pasal 1967 KUH Perdata ditentukan bahwa segala tuntutan baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus karena daluwarsa itu tidak usah menunjukkan alas hak.

(38)

50

a) Terhadap anak yang belum dewasa, orang di bawah pengampunan (curandus);

b) Terhadap seorang istri selama perkawinan;

c) Terhadap piutang yang digantungkan pada suatu syarat selama syarat out

tidak terpenuhi;

d) Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggalan mengenai piutang-piutangnya terhadap harta peninggalan.72

D.Prestasi dan Wanprestasi Dalam Perjanjian

1. Prestasi

a. Macam-macam prestasi

Kreditur berhak atas sesuatu yang wajib diberikan oleh debitur disebut “prestasi”.73

Adanya perikatan untuk memberikan sesuatu dimaksudkan kewajiban dari debitur untuk menyerahkan kepemilikan, penguasaan atau kenikmatan dari suatu Sesuatu itu terdiri atas memberikan, melakukan, atau tidak melakukan. Hal ini diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Jadi, berdasarkan ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata maka prestasi itu dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.

72

Titik Triwulan Tutik, Op.Cit, Hlm. 245. 73

(39)

51

benda. Misalnya penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak, pemberian sejumlah uang, memberikan benda untuk dipakai (menyewa).

Contoh perikatan untuk berbuat atau melakukan sesuatu misalnya, membangun rumah, membuat lukisan, dan lain-lain. Kecuali itu dapat juga dikatakan, bahwa semua perikatan dengan prestasi positif adalah perikatan untuk berbuat sesuatu seperti melakukan suatu pekerjaan yang disebutkan dalam Pasal 1603 KUH Perdata “si buruh diwajibkan melakukan pekerjaan yang dijanjikan menurut kemampuannya yang sebaik-baiknya…”. Contoh lain perikatan untuk berbuat sesuatu adalah penanggungan (vrijwaring) dalam jual beli, yang diatur dalam Pasal 1491 KUH Perdata: “Penangguhan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu:

1) Penguasaan benda yang dijual secara aman dan tentram;

2) Terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembelinya. Perikatan untuk tidak berbuat berbuat atau melakukan sesuatu misalnya, A membuat perjanjian dengan B untuk membeli rumah di suatu kompleks tertentu, mereka sepakat membuat pagar batas bersama yang tingginya tidak melebihi 1,5m.

Kecuali itu, perikatan untuk tidak berbuat dapat digolongkan sebagai perikatan dengan prestasi negatif. Misalnya seorang debitur telah mengikatkan dirinya untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang bersaing dengan perusahaan yang dimiliki kreditur.

(40)

52

Untuk keabsahan dari suatu perikatan yang dikaitkan dengan prestasi harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Prestasi itu harus dapat ditentukan (bepaalbar)

Dalam hal ini prestasi harus dapat ditentukan, tetapi syarat ini hanya penting untuk perikatan yang dilahirkan dari persetujuan. Perikatan tidak absah jika prestasinya sama sekali tidak dapat ditentukan. Misalnya, perikatan untuk membangun sebuah rumah tanpa keterangan lebih lanjut. Dalam menentukan prestasi tidak harus seketika itu, bisa juga ditentukan kemudian, misalnya dalam jual beli, harganya dapat ditentukan pada saat penyerahan barang. 2) Prestasi tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum

dan kesusilaan yang baik. Syarat ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1335 KUH Perdata yang menyatakan: “suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu, atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”.

Prestasi yang bertentangan dengan suatu sebab terlarang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “suatu sebab adalah terlarang oleh undang-undang, atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

(41)

53

4) Tidak dapat disyaratkan bahwa prestasi harus dapat dinilai dengan uang. Sebagian ahli hukum berpendapat demikian karena pertimbangannya, bila debitur ingkar (wanprestasi) maka ia dapat dikenakan ganti kerugian berupa uang. Belakangan ada ahli hukum berpendapat tidak selamanya ganti kerugian itu berupa uang, bisa juga dengan sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis.

2. Wanprestasi

1) Pengertian

Wanprestasi adalah suatu keadaan dalam mana seorang debitur (berutang) tidak melaksanakan prestasi yang diwajibkan dalam suatu kontrak, yang dapat timbul karena kesengajaan atau kelalaian debitur itu sendiri dan adanya keadaan memaksa (overmacht).74

Pada umumnya hak dan kewajiban yang lahir dari perikatan dipenuhi oleh pihak-pihak baik debitur maupun kreditur. Akan tetapi dalam praktik kadang-kadang debitur tidak mematuhi apa yang menjadi kewajibannya dan inilah yang disebut dengan “wanprestasi”. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti “prestasi buruk”. Selain itu, perkataan wanprestasi sering juga dipadankan pada kata lalai atau alpa, inkar janji, atau melanggar perjanjian, bila saja debitur melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukan.75

2) Wujud wanprestasi

74

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2007), Hlm 340.

75

(42)

54

Seorang debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, yang dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi ada (4) empat macam wujudnya, yaitu:

a. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya. Dengan perkataan lain, terlambat melakukan prestasi, artinya meskipun prestasi itu dilaksanakan atau diberikan, tetapi tidak sesuai dengan waktu penyerahan dalam perikatan. Prestasi yang demikian itu disebut juga kelalaian.

b. Tidak memenuhi prestasi, artinya prestasi itu tidak hanya terlambat, tetapi juga bisa dijalankan. Hal semacam ini disebabkan karena:

1. Pemenuhan prestasi tidak mungkin lagi dialksanakan karena barangnya telah musnah;

2. Prestasi kemudian sudah tidak berguna lagi, karena saat penyerahan mempunyai arti yang sangat penting. Misalnya, pesanan gaun pengantin untuk dipakai pada waktu perkawinan, apabila tidak diserahkan pada waktu sebelum perkawinan, maka penyerahan kemudian tidak mempunyai arti lagi.

c. Memenuhi prestasi tidak sempurna, artinya prestasi diberikan, tetapi tidak sebagaimana mestinya. Misalnya, prestasi mengenai penyerahan satu truk kacang kedelai berkualitas nomor 1, namun yang diserahkan adalah kacang kedelai yang berkualitas nomr 2.

d. Melaksanakan perbuatan yang dilarang dalam kontrak.76 3) Akibat hukum wanprestasi

Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur atau pihak yang mempunyai hak penerima prestasi.

Ada 4 (empat) akibat adanya wanprestasi yang dilakukan debitur, yaitu sebagai berikut:

a. Perikatan tetap ada

Kreditur masih tetap memungut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan malaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.

b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1242 KUH Perdata).

76

(43)

55

c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.

d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata.77

Kreditur dapat menuntut kepada debitur yang telah melakukan wanprestasi hal-hal sebagai berikut:

1. Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur;

2. Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal 1267 KUH Perdata);

3. Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan (HR 1 November 1981);

4. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian;

5. Kreditur dapat menuntut pembatalan diserati ganti rugi kepada debitur. Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.78

Ganti rugi yang terdiri dari:

a. Debitur wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi prestasi itu (Pasal 1243 KUH Perdata). Ganti rugi terdiri dari biaya, rugi dan bunga (Pasal 1244 sampai dengan 1246 KUH Perdata); b. Ganti rugi harus mempunyai hubungan langsung (hubungan kausal) dengan

ingkar janji (Pasal 1248 KUH Perdata) dan kerugian dapat diduga pada saat waktu perikatan dibuat;

77

Salim H.S. Op.Cit., Hlm. 99. 78

(44)

56

c. Ada kemungkinan bahwa ingkar janji (wanprestasi) itu terjadi bukan hanya karena kesalahan debitur (lalai atau kesengajaan), tetapi juga terjadi karena keadaan memaksa;

d. Kesengajaan adalah perbuatan yang diketahui dan dikehendaki;

e. Kelalaian adalah perbuatan yang dimulai si pembuatnya mengetahui akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain.79

E.Pembelaan Debitur yang Prestasi

Terhadap wanprestasi tersebut, debitur yang gagal atau lalai melaksanakan kewajibannya tersebut, diberikan hak pembelaan untuk mengajukan alasannya terhadap kegagalannya dalam melaksanakan prestasi tersebut. Dari uraian yang diberikan di atas, sekurangnya dikenal tiga macam alasan pembelaan yang dapat dipergunakan oleh pihak yang wanprestasi:

1. Adanya keadaan memaksa

Keadaan memaksa (force majeur atau overmacht) diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata, namun kedua ketentuan normatif ini hanya bersifat sebagai pembelaan debitur atau pihak yang mempunyai suatu kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak untuk dibebaskan dari pembayaran ganti kerugian jika ia tidak melaksanakan prestasi dalam kontrak karena adanya keadaan memaksa.

Pasal 1244 KUH Perdata memuat ketentuan imperatif, yaitu:

“Jika ada ganti kerugian yang harus dibayar, jika karena keadaan memaksa atau suatu kejadian yang tidak disengaja, debitur berhalangan memberikan atau

79

(45)

57

berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

Keadaan memaksa juga diatur dalam Pasal 1444 KUH Perdata yang memuat ketentuan imperatif bahwa:

“Jika barang tertentu yang menjadi pokok kontrak musnah, tidak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap harus jika barang itu musnah juga dengan cara yang sama ditangannya debitur, seandainya sudah diserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikan kejadian yang tak terduga, yang dimajukannya itu. Dengan cara bagaimanapun barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang ini tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya untuk mengganti harganya”.

Kemudian Pasal 1445 KUH Perdata juga mengatur keadaan memaksa, sebagai berikut:

“Jika barang yang terutang, di luar salahnya debitur, musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka debitur, jika ia mempunyai hal-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya”.

Secara doktrinal, keadaan memaksa yang diatur dalam Pasal 1244, Pasal 1245, Pasal 1444, dan Pasal 1445 KUH Perdata tersebut di atas, diartikan secara berbeda oleh para ahli hukum kontrak.

(46)

58

dilaksanakan, maka pelaksanaanya akan menerbitkan kerugian atau pengorbanan yang demikian besarnya dari pihak debitur.

2. Bahwa kreditur sendiri juga belum sepenuhnya melunasi seluruh kewajibannya kepada debitur (exeptio non adempleti contractus). Pembelaan debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar ganti rugi mengajukan tuntutan dipengadilan bahwa kreditur sendiri juga tidak menepati janjinya. Dalam setiap perjanjian timbal balik, dianggap ada suatu asas bahwa kedua belah pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya. Dalam jual beli ditegaskan bahwa Pasal 1478 KUH Perdata yang berbunyi, “Si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan sipenjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran pembayaran kepadanya”. Exeptio non adempleti contractus, sebagai suatu pembelaan debitur yang dituduh lalai, yang jika ternyata benar dapat membebaskan debitur dari pembayaran ganti rugi ini. Exeptio non adempleti contractus tidak diatur dalam undang-undang, tetapi merupakan suatu yurisprudensi oleh hakim.

Referensi

Dokumen terkait

Berikut ini akan dipaparkan analisis variasi jawaban siswa pada indikator memeriksa ide- ide:(a)Jawaban kode MFH kategori sedang: Dari hasil pengerjaannya dapat dilihat

Penelitian ini merupakan suatu studi observasional dengan desain cross- sectional , untuk mengetahui hubungan kadar zink dan kenaikan berat badan ibu selama kehamilan dengan

Kinerja pada umumnya adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing

Your computer may not have enough memory to open the image, or the image may have been corrupted.. Restart your computer, and then open the

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1 Pelaksanaan Bimbingan belajar dilakukan setelah menghadapi UTS, pelaksnaanya di lakukan di luar jam pelajaran setelah pulang sekolah

The first previous study only focuses to find out types, language used and reason why the respondent switch language in communicating in twitter whereas this study focuses

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan

Hasil: Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap 20 orang subjek penelitian didapatkan hasil yaitu terjadi peningkatan kadar kolesterol HDL setelah melakukan latihan