• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Variasi Dosis Koagulan Alami Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.) dan Biji Asam Jawa (Tamarindus indica L.) dalam Penurunan COD, TSS dan Kekeruhan Limbah Domestik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Variasi Dosis Koagulan Alami Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.) dan Biji Asam Jawa (Tamarindus indica L.) dalam Penurunan COD, TSS dan Kekeruhan Limbah Domestik."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Air Limbah Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan yaitu dengan penelitian pendahuluan terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan penelitan utama. Pada penelitian pendahulan, pengambilan sampel dilakukan pada bulan Februari 2017 sedangkan paenelitian utama pengambilan sampel dilakukan pada bulan April 2017. Waktu yang berbeda tersebut tentunya akan menghasilkan nilai kualitas air limbah dengan yang berbeda. Kualitas air limbah penelitian pendahuluan dan penelitian utama pada tabel berikut adalah kualitas kadar awal limbah yang belum dilakukan pengolahan. Kualitas limbah cair domestik sebelum dilakukannya pengolahan dapat dilithat pada Tabel 4.1 Tabel 4.1 Kualitas Limbah Cair Domestik NILAI Baku Mutu Air Penelitian Penelitian Limbah Pendahuluan Utama (PERMEN LH) COD(mg/L) 138,90 167,20 100 TSS (mg/L) 51,20 275,00 30 pH 6,89 6,07 6-9 Turbidity 109,00 Sumber : Hasil Pengujian, 2017 , PERMEN LH NO 68 Tahun 2016 Parameter. Sampel air limbah yang digunakan pada penelitian pendahuluan mau penelitian utama diambil dari kolam pengumpul bak pertama MCK Terpadu Tlogomas Kota Malang. Perbandingan nilai awal parameter yang diuji dengan standart baku mutu air limbah masih melebihi ambang batas dimana standart nilai harusnya tidak melebihi baku mutu agar tidak mencemari lingkungan. Selain dengan dengan parameter kualitas air limbah dapat diamati juga karakter fisik air limbah domestik ini dimana air limbah bewarna kuning keruh dengan bau yang menyengat dan terdapat berbagai mikroorganisme didalamnya. 30.

(2) Kadar COD pada penelitian pendahuluan maupun penelitian utama menghasilkan nilai kadar yang tidak begitu jauh antar keduanya dan masih melebihi standart baku mutu, tetapi pada kadar COD penelitian utama menghasilkan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar COD penelitian pendahuluan. Kadar TSS pada penelitian utama maupun penelitian pendahuluan menghasilkan kadar TSS yang masih melebihi batas standart baku mutu, tetapi kadar TSS penelitian utama menghasilkan kadar TSS yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar TSS penelitian pendahuluan. Nilai pH penelitian pendahuluan maupun penelitian utama menghasilkan nilai pH yang masih aman dan memenuhi standart baku mutu. Kadar COD, TSS dan pH yang dapat dibuang ke lingkungan berkisar 100mg/L untuk COD, 30 mg/L untuk TSS dan 6-9 untuk pH (PERMEN LH NO 68). 4.2 Penelitian Pejndahuluan 4.2.1 Analisa COD dan TSS dengan Dosis 600-3600 mg/L Kadar COD dan TSS yang telah dilakukan proses koagulasi dengan pemberian variasi dosis koagulan biji asam jawa dan biji kecipir, menunjukkan peningkatan nilai COD maupun TSS. Kadar COD dan TSS limbah cair antara kedua koagulan yang telah dilakukan proses koagulasi dapat dilihat pada Gambar 4.1 Kadar COD dan TSS antara koagulan biji asam jawa dan biji kecipir yang dihasilkan adalah dengan penambahan dosis koagulan yang bervarisi dimana variasi dosis koagulan yang diberikan antara lain adalah 600mg/L, 1600mg/L 2600 mg/L dan 3600mg/L. Pada Gambar 4.1 (a) menunjukkan kadar COD yang semakin meningkat setiap penambahan dosis melebihi kadar awal dari kedua koagulan, tetapi pada dosis 600 penambahan asam jawa mengalami penurunan sebanyak 25,3 mg/L. Pada Gambar 4.1 (b) menunjukkan kadar kadar TSS yang semakin meningkat setiap penambahan dosis kedua koagulan melebihi kadar awal dari air limbah , tetapi pada dosis 600 penambahan asam jawa terjadi penurunan 31.

(3) COD mg/L. sebanyak 16,7 mg/L kemudian diikuti dengan peningkatan kadar TSS kembali. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Ramadhani (2013) dimana kadar TSS dan COD mengalami penurunan sebesar 76,47% dan 81,72% setelah dilakukan pengadukan dengan pemberian dosis asam jawa sebesar 1500 mg/L. Hal tersebut disebabkan karena pemberiaan dosis pada penelitian pendahuluan yang kurang sesuai sehingga menyebabka air sampel menjadi keruh, selain itu jenis limbah yang digunakan juga berbeda. Pada penelitian pendahuluan limbah yang digunakan yaitu limbah domestik yang dimana karakteristiknya berbeda dengan limbah tahu. 600 500 400 300 200 100 0. Dosis (mg/L). 600 sampel awal. 1600 2600 3600 Dosis mg/L kecipir asam jawa. Influent 600 1600 2600 3600. Kandungan COD (mg/L) Kecipir Asam Jawa 138,9 138,9 211,2 113,6 293,1 274,5 520,8 213,6 542,6 305,3. (a) Dosis (mg/L). TSS mg/L. 300 200 100. 0 600. 1600 2600 3600 Dosis mg/L sampel awall kecipir asam jawa. Influent 600 2600 2600 3600. Kandungan TSS (mg/L) Kecipir Asam Jawa 51,4 51,4 100,8 34,7 133,9 60,7 221,1 72,3 268,3 101,. (b) Gambar 4.1 Kadar COD (a) dan TSS (b) Pada Penambahan Koagulan kecipir dan Asam Jawa dengan Dosis 600-3600 mg/L 32.

(4) Koagulan biji asam jawa dan biji kecipir dalam penurunan kadar COD dan TSS terlihat memberikan hasil yang berbeda antar keduanya, dimana koagulan biji kecipir memberikan kadar COD dan TSS yang selalu meningkat dibandingkan dengan koagulan biji asam jawa. Koagulan biji asam jawa memberikan hasil kadar COD yang terus meningkat tetapi terjadi penurunan pada dosis 2600 mg/L, sedangkan pada pengujian TSS memberikan hasil yang meningkat secara terus menerus pada tiap dosis yang diberikan. Jika dilihat dari Gambar 4.1 hasil COD maupun TSS yang mendekati dengan nilai kadar awal adalah dengan pemberian dosis 600 mg/L, oleh karena itu dosis dibawah 600 mg/L digunakan pada penelitian selanjutnya (penelitian utama). Dosis yang digunakan pada penelitian utama yaitu dosis 0 mg/L , 200 mg/L, 400 mg/L dan 600 mg/L. 4.3 Penelitian Utama 4.3.1 Analisa COD Kadar COD yang dihasilkan dengan penambahan koagulan biji asam jawa dan biji kecipir dengan variasi dosis yang diberikan dan telah melalui proses koagulasi, menunjukkan hasil penuruan kadar COD limbah cair. Penurunan kadar COD limbah cair setelah ditambah koagulan biji asam jawa dan biji kecipir dan sudah melalui proses koagulasi dapat dilihat pada Tabel 4.2 Tabel 4.2 Kandungan COD Limbah Cair Dosis (mg/L). Kandungan COD (mg/L) Asam Jawa. Influent 167,2 0 160,0 200 142,5 400 153,1 600 249,6 (Sumber: Hasil Pengujian, 2017. 33. Kecipir 167,2 149,7 164,8 157,5 155,7.

(5) Tabel 4.3 Pengaruh Dosis dan Jenis Koagulan Terhadap Penurunan COD Dosis Koagulan A1D1 A2D0 A1D2 A2D3 A2D2 A1D0 A2D1 A1D3 BNT 5% = 25,2392095. Rata-Rata 142,5 a 149,7 a 153,1 a 155,7 a 157,5 a 160,0 a 164,8 a 249,6 b. *). *) Bilangan rata-rata yang didampingi oleh huruf yan sama tidak berbeda nyata pada P 0,05. Tabel 4.4 Persentase Removal COD dengan Penambahan Biji Asam Jawa dan Biji Kecipir Removal (%). Dosis (mg/L). Asam Jawa. Kecipir. 0. 4,31%. 10,45%. 200 mg/L. 14,75%. 1,44%. 400 mg/L. 8,45%. 5,83%. 600 mg/L. -49,28%. 6,88%. (Sumber : Hasil Pengujian, 2017). Kadar COD dengan pemberian koagulan biji asam jawa memberikan perbedaan yang signifikan antara perlakuan tidak diberi koagulan dengan pemberian koagulan, tetapi pada pada pemberian koagulan biji asam jawa dengan dosis 0-400 mg/L tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Dosis 600 mg/L terjadi peningkatan kadar COD sebesar 82,4 mg/L dari kadar awal limbah sedangkan dosis 0-400 mg/L terjadi penurunan yang tidak signifikan (Tabel 4.3). Kadar COD dengan biji kecipir terjadi perbedaan yang tidak signifikan 34.

(6) antar dosis yang diberikan. Dosis yang diberikan tidak memberikan hasil yang cukup terlihat perbedaannya. Pengukuran kadar COD yang tidak signifikan ini dapat di sebabkan oleh beberapa hal yaitu kecepatan pengadukan (nurika, 2007), waktu kontak (Pernitsky, 2003), Ukuran partikel dan lama pengendapan (Bangun, dkk 2013). Penelitian ini menghasilkan penurunan kadar COD yang relatif kecil dan tidak berbeda nyata antar koagulan biji asam jawa dan biji kecipir yang dapat dilihat pada Tabel 4.4 dimana penurunan hanya mencapai 10% dan tidak sampai mencapai 90%. Kadar COD dengan penambahan biji asam jawa jika dilihat, terjadi penurunan kadar COD dari kadar awal tetapi terjadi peningkatan COD kembali pada 400mg/L dan 600mg/L. Pada pengukuran COD dengan penambahan Asam Jawa penurunan yang cenderung terbesar terletak pada dosis 400mg/L yaitu menghasilkan kadar COD sebesar 142,5 mg/L sedangkan penurunan terkecil terletak pada dosis 0 mg/L yaitu menghasilkan kadar COD sebesar 160,0 mg/L. Pengukuran COD dengan biji kecipir penurunan yang cenderung terbesar yaitu terletak pada dosis 600 mg/L yaitu menghasilkan kadar COD sebesar 155,7 mg/L sedangkan dosis yang cenderung mengalami penurunan terkecil yaitu pada dosis 200 mg/L yaitu menghasilkan kadar COD sebesar 164,8 mg/L. Pada masing-masing pemberian dosis koagulan asam jawa maupun kecipir tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Jika dilihat dari tabel maka dosis yang cenderung efesien dan memberikan nilai COD yang cenderung lebih rendah adalah pada dosis 200 mg/L. Presentase penurunan kadar COD terbesar terletak pada dosis 200mg/L yakni sebesar 14,75%. Jika dilihat dari tabel terdapat angka minus pada dosis 600mg/L yaitu -49,28% artinya adalah terjadi peningkatan yang cukup tinggi hingga mencapai 50% melebihi kadar COD awal. Hal ini disebabkan pada penambahan dosis 600 mg/L sudah tidak efektif lagi untuk penurunan kadar 35.

(7) COD dikarenakan penambahan dosis tersebut sudah mencapai batas jenuh dan membuat larutan menjadi keruh. Kadar COD dengan penambahan biji kecipir dimana jika dilihat, terjadi penurunan kadar COD dari kadar awal tetapi terjadi peningkatan kembali presentase kadar COD pada dosis 200mg/L. Dosis 200mg/L terjadi peningkatan yang tidak begitu besar yakni 1,44%. Presentase penurunan kadar COD terbesar pada dosis 0 yakni sebesar 10,45% dan jika dilihat pada penambahan biji kecipir hasil yang diberikan tidak ada yang melebihi batas kadar COD awal jika dibandingkan dengan penambahan asam jawa . Uraian diatas menunjukkan bahwa pengaruh variasi dosis koagulan biji asam jawa dan biji kecipir tidak terlalu berpengaruh pada penurunan kadar COD Penelitian ini merujuk pada penelitian Enrico (2008) dimana kadar COD menurun hanya sebesar 20% dan masih melebihi ambang batas baku mutu. Hal ini disebabkan karena banyaknya kandungan zat-zat organik dan onarganik yang terkandung didalam limbah cair industri tahu tersebut dimana dari nilai kadar awal sebesar 7896 mg/L turun menjadi 6316,8 mg/L. Menurut Pernitsky, DJ (2003) bahan organik yang terkandung dalam air limbah memiliki muatan negatif sehingga dapat berikatan dengan ion-ion positif yang terkandung dalam koagulan. Ikatan-ikatan tersebut membentuk flok-flok yang lebih besar setelah mengalami proses pengadukan lambat dimana partikel saling bertubrukan dan tetap bersatu untuk kemudian mengendap sebagai endapan. Kecepatan putaran pengadukan yang kurang akan menyebabkan koagulan untuk dapat terdispersi dengan baik sebaliknya apabila kecepatan pengadukan terlalu tinggi akan menyebabkan flok-flok yang sudah terbentuk akan terpecah kembali sehingga terjadi pengendapan tidak sempurna. Selain itu Waktu kontak merupakan hal sangat menentukan dalam proses adsorpsi. Gaya adsorpsi molekul dari suatu zat terlarut akan meningkat 36.

(8) apabila waktu kontaknya semakin lama. Waktu kontak yang lama memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul zat terlarut yang teradsorpsi berlangsung lebih banyak. Menurut ravina (1993) pada penambahan waktu tertentu setelah flok pecah sempurna, tidak terjadi proses fisik maupun kimia apapun yang dihasilkan oleh pengadukan. Hal ini dapat diartikan bahwa kadar COD yang tidak signifikan diduga dapat disebabkan oleh tidak adanya penambahan waktu yang bervariasi pada pengadukan sehingga kadar COD yang didapatkan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. 4.3.2 Analisa TSS Kadar TSS yang dihasilkan dengan penambahan koagulan biji asam jawa dan biji kecipir dengan variasi dosis yang diberikan dan telah melalui proses koagulasi, menunjukkan hasil penuruan kadar TSS limbah cair. Penurunan kadar TSS limbah cair setelah ditambah koagulan biji asam jawa dan biji kecipir dan sudah melalui proses koagulasi dapat dilihat pada Tabel 4.5 Tabel 4.5 Kandungan TSS Limbah Cair Kandungan TSS (mg/L). Dosis (mg/L). Asam Jawa. Kecipir. Influent 0 200 400 600. 275,0 212,2 83,00 78,70 89,50. 275,0 264,0 73,50 81,20 85,50. (Sumber: Hasil Pengujian, 2017) Penambahan koagulan biji asam jawa dengan biji kecipir terlihat memberikan hasil yang berbeda antara penambahan dosis dengan tidak adanya penambahan dosis pada perlakuan. Dosis 0 – 600 mg/L koagulan biji asam jawa terjadi penurunan yang berbeda nyata tetapi pada dosis 200-400 mg/L terjadi penurunan yang tidak berbeda signifikan antar dosis koagulan. Dosis 0 mg/L terjadi penurunan kadar TSS sebesar 62,4 mg/L dari 37.

(9) kadar awal sedangkan pada dosis 200-600 mg/L terjadi penurunan tetapi penurunan yang tidak berbeda signifikan. Kadar TSS dengan biji kecipir terjadi perbedaan yang signifikan antar dosis yang diberikan. Kadar TSS mulai dari awal terjadi penurunan dimana ada dosis 200400 mg/L terjadi penurunan tetapi tidak terjadi perbedaan yang signifikan antar dosis. Dosis 0 mg/L terjadi penurunan kadar TSS sebesar 11 mg/L dari kadar awal sedangkan pada dosis 200-600 mg/L terjadi penurunan tetapi penurunan yang tidak signifikan yang ditunjukkan pada Tabel 4.6 Tabel 4.6 Pengaruh Dosis Terhadap Penurunan TSS Dosis Koagulan D1 D2 D3 D0 BNT 5% = 25,2392095. Rata-Rata *). 234,8 a 239,8 a 263,6 a 714,2 b. *) Bilangan rata-rata yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P 0,05. Tabel 4.7 Persentase Removal TSS dengan Penambahan Biji Asam Jawa dan Biji Kecipir Dosis. Removal (%) Asam Jawa. Kecipir. 0. 22,85 %. 4,02 %. 200 mg/L. 69,81%. 73,27 %. 400 mg/L. 71,39 %. 70,47 %. 600 mg/L. 67,44 %. 68,90%. (Sumber : Hasil Pengujian, 2017). 38.

(10) Pengukuran TSS dengan penambahan koagulan asam jawa dosis 200-600 mg/L yang cenderung mengalami penurunan terbesar terletak pada dosis 400 mg/L yaitu menghasilkan kadar TSS sebesar 78,70 mg/L sedangkan dosis yang cenderung mengalami penurunan terkecil terletak pada dosis 600 mg/L yaitu menghasilkan kadar TSS sebesar 89,50 mg/L. Pengukuran TSS dengan penambahan kecipir dosis yang cenderung mengalami penurunan terbesar terletak pada dosis 200 mg/L yaitu menghasilkan kadar TSS sebesar 73,50 mg/L sedangkan dosis yang cenderung mengalami penurunan terkecil terletak pada dosis 600 mg/L yaitu menghasilkan kadar TSS sebesar 85,50 mg/L. Masing-masing pemberian dosis koagulan asam jawa maupun kecipir dosis 200-600 mg/L tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Jika dilihat dari tabel maka dosis antara 200-600 mg/L yang cenderung efesien dan memberikan nilai TSS yang rendah adalah pada dosis 400 mg/L. Penambahan koagulan berpengaruh pada penurunan kadar dan presentase penurunan TSS. Tabel 4.7 menunjukkan kadar TSS dengan penambahan biji asam jawa terjadi penurunan dari kadar awal tetapi terjadi peningkatan TSS kembali pada dosis 600mg/L. Presentase penurunan kadar TSS terbesar terletak pada dosis 400 mg/L yakni 71,39%. Kadar TSS dengan penambahan biji kecipir dimana jika dilihat, terjadi penurunan kadar TSS dari kadar awal tetapi terjadi peningkatan kadar TSS terus menerus setiap penambahan dosis koagulan. Presentase penurunan kadar TSS terbesar terletak pada dosis 200mg/L yakni 73,27%. Kemudian semakin besar penambahan dosis presentase penurunan kadar TSS semakin menurun. Hal ini berarti semakin banyak penambahan dosis koagulan membuat larutan sampel jenuh dan menjadi keruh. Penambahan biji asam jawa maupun biji kecipir hasil yang diberikan tidak ada yang melebihi batas kadar TSS awal dan rata-rata presentase penurunan kadar TSS lebih dari 39.

(11) 50% . Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh variasi dosis koagulan biji asam jawa dan biji kecipir memberikan pengaruh yang cukup nyata pada penurunan TSS. Penelitian ini rata-rata penyisihan TSS sebesar 75% dan tidak sampai mencapai 90% dimana sudah sesuai dengan merujuk pada penelitian Ramadhani (2013). Pada penelitian Ramadhani (2013), pemberian serbuk biji asam jawa pada limbah cair industri tahu diperoleh penyisihan TSS tertinggi sebesar 76,47% dengan dosis koagulan 1500 mg/L, dengan kecepatan cepat 180 rpm dilanjutkan kecepatan lambat 80 rpm. Menurut Enrico (2008) proses pengadukan selama penelitian berlangsung juga harus diperhatikan untuk menunjang keberhasilan proses koagulasi. Pengadukan cepat (rapid mixing) berperan penting dalam pencampuran koagulan dan destabilisasi partikel. Tujuan pengadukan cepat adalah untuk menghasilkan turbulensi air sehingga dapat mendispersikan koagulan dalam air. Pengadukan cepat berlangsung membantu partikel-partikel halus di dalam air saling bertumbukan sehingga membentuk mikroflok. Sedangkan pengadukan lambat (slow mixing) berperan dalam upaya penggabungan flok. Mikroflok yang telah terbentuk ini melalui pengadukan lambat akan bergabung menjadi makroflok yang dapat dipisahkan melalui sedimentasi Pengukuran kadar TSS yang tidak signifikan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal yang disebabkan oleh penentuan lama pengadukan kurang optimal serta jenis koagulan yang digunakan (Nurika Irnia, 2007). Pada penelitian Enrico (2008) koagulan yang digunakan adalah koagulan sintetis dan organik. Data pengamatan diperoleh bahwa kombinasi dosis koagulan dapat mengkatkan tingkat penyisihan TSS bila dibandingkan dengan kinerja tiap koagulan yang digunakan sendiri-sendiri. Hal ini disebabkan karena dengan adanya kombinasi dosis koagulan dosis koagulan maka total dosis yang digunakan semakin besar sehingga penyisihan TSS dapat semakin 40.

(12) besar juga. Berdasarkan teori yang ada, semakin besar konsentrasi koagulan yang digunakan maka semakin besar juga jumlah partikel bahan tersuspensi (TSS) yang tersisihkan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rossi (1993) bahwa penghilangan flok berupa turbiditas dan TSS dari media cair bergantung pada jenis dan jumlah suspensi koloid, pH, komposisi kimia cairan dan jenis koagulan. Selain itu menurut Pernitsky, DJ (2003) kecepatan putaran pengadukan yang kurang akan menyebabkan koagulan untuk dapat terdispersi dengan baik sebaliknya apabila kecepatan pengadukan terlalu tinggi akan menyebabkan flok-flok yang sudah terbentuk akan terpecah kembali sehingga terjadi pengendapan tidak sempurna. 4.3.3 Analisa Kekeruhan Kadar Kekeruhan yang dihasilkan dengan penambahan koagulan biji asam jawa dan biji kecipir dengan dosis yang bervariasi yang telah melalui proses koagulasi, menunjukkan hasil penuruan kadar kekeruhan limbah cair. Penurunan kadar kekeruhan limbah cair setelah ditambah koagulan biji asam jawa dan biji kecipir dan sudah melalui proses koagulasi dapat dilihat pada Tabel 4.8 Tabel 4.8 Kandungan Kekeruhan Limbah Cair Kandungan TSS (mg/L). Dosis (mg/L). Asam Jawa. Kecipir. Influent 0 200 400 600. 109 93,2 58,5 60,7 63,7. 109 97,3 53,2 60,5 62,5. (Sumber: Hasil Pengujian, 2017) Penambahan koagulan biji asam jawa dengan biji kecipir terlihat memberikan hasil yang berbeda nyata signifikan antar penambahan dosis 0-600 mg/L. Pada 41.

(13) dosis 0-600 mg/L terjadi penurunan kadar kekeruhan sebesar 16,5 mg/L, 51,2 mg/L, 51,6 mg/L dan 46 mg/L dari kadar awal. Pengukuran kekeruhan dengan biji kecipir terjadi perbedaan yang signifikan antar penambahan dosis 0-600 mg/L. Pada dosis 0-600 mg/L terjadi penurunan kadar kekeruhan sebesar 12,4 mg/L, 56,5 mg/L, 49,2 mg/L dan 47,2 mg/L dari kadar awal. Hasil penurunan kekeruhan dapat dilihat pada Tabel 4.9 Tabel 4.9 Pengaruh Dosis Terhadap Penurunan Kekeruhan Dosis Rata-Rata Koagulan *) D1 167,58 a D2 177,88 b D3 189,23 c D0 285,6 d BNT 5% = 9,373912678. *) Bilangan rata-rata yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada P 0,05. Tabel 4.10 Persentase removal Kekeruhan dengan Penambahan Biji Asam Jawa dan Biji Kecipir Dosis. Removal (%). (NTU). Asam Jawa. Kecipir. 0. 14,53 %. 10,77 %. 200 mg/L. 46,34 %. 51,16 %. 400 mg/L. 44,34 %. 44,46 %. 600 mg/L. 41,60 %. 42,66 %. (Sumber : Hasil Pengujian, 2017). Pengukuran kekeruhan dengan penambahan koagulan dosis 0-600 mg/L yang cenderung mengalami penurunan terbesar terletak pada dosis 400 mg/L yaitu menghasilkan kadar kekeruhan sebesar 58,1 mg/L sedangkan dosis yang cenderung mengalami penurunan 42.

(14) terkecil terletak pada dosis 600 mg/L yaitu menghasilkan kadar kekeruhan sebesar 63,7 mg/L. Pada pengukuran kekeruhan dengan penambahan kecipir dosis yang cenderung mengalami penurunan terbesar terletak pada dosis 200 mg/L yaitu menghasilkan kadar kekeruhan sebesar 53,2 mg/L sedangkan dosis yang cenderung mengalami penurunan terkecil terletak pada dosis 600 mg/L yaitu menghasilkan kadar kekeruhan sebesar 62,5 mg/L. Masing-masing pemberian dosis koagulan asam jawa maupun kecipir dosis 0-600 mg/L memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Jika dilihat dari tabel maka dosis antara 0-600 mg/L yang cenderung efesien dan memberikan nilai kekeruhan yang rendah adalah pada dosis 200 mg/L. Penambahan variasi dosis koagulan berpengaruh pada penurunan kadar dan presentase penurunan kekeruhan. Tabel 4.10 menunjukkan presentase penurunan kekeruhan dengan penambahan asam jawa pada dosis 0 mg/L sebesar 14,53 % kemudian mengalami peningkatan presentase penurunan kekeruhan pada dosis 200 mg/L sebesar 46,34 % dan dilanjutkan dengan penurunan presentase removal kekeruhan pada dosis 400-600 mg/L sebesar 44,34% dan 41,60%. Presentase penurunan terbesar terletak pada dosis 200 mg/L yakni sebesar 46,34 % dan presentase penurunan terkecil terletak pada dosis 600 mg/L yakni sebesar 41,60%. Pada penambahan biji kecipir terjadi presentase penurunan kekeruhan pada dosis 0 mg/L sebesar 10,77 % kemudian mengalami peningkatan presentase penurunan kekeruhan pada dosis 200 mg/L sebesar 51,16 % dan dilanjutkan dengan penurunan presentase removal kekeruhan pada dosis 400-600 mg/L sebesar 44,66% dan 42,66%. Presentase penurunan kadar kekeruhan terbesar terletak pada dosis 200 mg/L yakni 51,16 % dan presentase penurunan terkecil terletak pada dosis 600 mg/L yakni sebesar 42,66%. Penambahan biji asam jawa maupun biji kecipir hasil yang diberikan menunjukkan bahwa pengaruh 43.

(15) variasi dosis koagulan biji asam jawa dan biji kecipir memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada penurunan kekeruhan dan rata-rata presentase penurunan kadar kekeruhan mencapai 40%. Penelitian ini merujuk pada penelitian Hendrawati (2013) dimana biji asam jawa maupun biji kecipir mampu menurunkan kadar kekeruhan air limbah sebesar 99,72% dan 92,03%, tetapi pada penelitian ini kadar kekeruhan hanya berkisar 40%. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kecepatan pengadukan (nurika, 2007), waktu kontak (Pernitsky, 2003), Ukuran partikel dan lama pengendapan (Bangun, dkk 2013). Jika dilihat pada tabel efektivitas penurunan kekeruhan yang dihasilkan semakin meningkat dengan bertambahnya konsentrasi dosis yang diberikan. Hal tersebut menunjukkan semakin tinggi konsentrasi polielektrolit yang diberikan efektivitas penurunan kekeruhan yang dihasilkan semakin baik karena penambahan konsentrasi polielektrolit akan mengakibatkan berkurangnya kestabilan koloid dan akan mengurangi gaya tolak menolak antara partikel sehingga menunjang proses sedimentasi (Hendrawati, 2013).. 44.

(16)

Gambar

Gambar  4.1  Kadar  COD  (a)  dan  TSS  (b)  Pada    Penambahan  Koagulan kecipir dan Asam Jawa dengan Dosis 600-3600 mg/L
Tabel  4.4  Persentase  Removal  COD  dengan    Penambahan Biji Asam Jawa dan Biji Kecipir
Tabel  4.7  Persentase  Removal  TSS  dengan  Penambahan Biji Asam Jawa dan Biji Kecipir
Tabel 4.9 Pengaruh Dosis Terhadap           Penurunan Kekeruhan  Dosis  Koagulan  Rata-Rata  D1   167,58 a *)  D2  177,88 b  D3  189,23 c  D0   285,6 d  BNT 5% = 9,373912678

Referensi

Dokumen terkait

LED-valaisimen valon käyttö yhteyttämisessä ja siten kasvien kasvatuksessa (grammaa kasvua per joulea sähköä) on jonkun verran parempi, jos valaisimessa on enemmän punaista

Metode pengajaran yang digunakan adalah praktik dan diskusi. Materi yang diberikan oleh siswa disesuaikan dengan kemampuan siswa. Pada saat proses belajar mengajar guru dihimbau

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaruh mutasi terhadap semangat kerja pegawai BPK RI Sumatera Utara adalah tidak baik. Dari data tersebut dapat

Semua itu bisa terjadi disebabkan sifat masyarakat itu sendiri yang menginginkan perubahan hal ini ditandai dari pengorganisasian masyarakat-masyarakat Mandau dan Pinggir

Sumber : Output SmartPLS, 2015 Model yang memberikan informasi dijelaskan pada gambar 1 bagaimana pengaruh variabel motivasi wajib pajak, tingkat pendidikan wajib pajak,

[r]

Terdapat banyak alat analisis yang dapat digunakan, baik untuk mengevaluasi layak tidaknya suatu teknologi, maupun mengukur tingkat keeratan hubungan antar peubah

Dari hasil penelitian sampai pengolahan data setelah dilaksanakan penelitian yang diawali dari pengambilan data hingga pada pengolahan data yang akhirnya dijadikan