5.1 Pendahuluan 5.1.1 Latar belakang
Gugus Pulau Sapeken merupakan kawasan yang terdiri dari sejumlah pulau – pulau kecil dengan sejumlah ekosistem pendukung seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem pantai dan sumberdaya perikanan, mengindikasikan sebagai kawasan memiliki keanekaragaman hayati sekaligus rentan terhadap aktifitas pemanfaatan. Terkait dengan hal tersebut pemanfaatan gugus Pulau Sapeken terbatas pada kegiatan pemanfaatan yang sesuai dengan keterbatasan gugus Pulau Sapeken sebagai pulau kecil. Salah satu kegiatan pemanfaatan di kawasan pulau kecil adalah kegiatan ekowisata.
Ekowisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan ke tempat-tempat yang relatif tidak mengganggu dengan tujuan mengamati dan menikmati sumber daya hayati, dilakukan dengan meminimalkan dampak lingkungan sehingga mendorong penghormatan terhadap budaya lokal dan menghasilkan manfaat yang adil bagi semua pengguna (Lydia and Cannaban 2007). Lebih lanjut The World Conservation Union (IUCN) menyebutkan kegiatan ekowisata tidak hanya sekedar wisata hanya berbasis alam melainkan juga sebagai bentuk upaya mempertahankan keanekaragaman hayati sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Namun tanpa perencanaan, tujuan keseimbangan ekologi, sosial, dan ekonomi dalam ekowisata tidak akan terlaksana malah pada pelaksaannnya akan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan (Chandralal et al. 2010).
Berdasarkan hal tersebut dalam perencanaan kegiatan ekowisata di kawasan gugus Pulau Sapeken memerlukan penilaian terhadap kemampuan dari ekosistem yang ada di gugus Pulau Sapeken untuk menyediakan segenap aspek yang diperlukan guna mengimplementasikan kegiatan wisata yang berkelanjutan (sustainable tourism). Pendekatan yang digunakan berupa : 1) penilaian daya dukung kawasan (DDK); 2) penilaian touristic ecological footprint (TEF); dan 3) penilaian keberlanjutan kegiatan ekowisata.
5.1.2 Tujuan
Penelitian bertujuan mengestimasi daya dukung wisata gugus Pulau Sapeken melalui penilaian pemanfaatan sumberdaya secara optimal
5.2 Bahan dan Metode 5.2.1 Bahan
Penilaian daya dukung dilakukan dengan menggunakan penilaian daya dukung pemanfaatan (DDP) dan rekam jejak ekologi (ecological footprint / EF) Adapun data yang dibutuhkan dalam penilaian daya dukung pemanfaatan wisata (DDP) dan analisis rekam jejak ekologi wisata (touristic ecological footprint), sebagai berikut :
Tabel 52 Pengumpulan data, jenis data dan sumber data daya dukung pemanfaatan (DDP) dan analisis rekam jejak ekologi
No Pengumpulan data Jenis data Sumber data
1. Data sekunder Pemanfaatan lahan darat Bappeda Kabupaten
Sumenep, 2010
o pemukiman, pemerintahan dan
industri
Pemanfaatan lahan perairan Bappeda Kabupaten
Sumenep, 2010
o pelabuhan umum, pelabuhan
perikanan, perikanan tangkap, perikanan budidaya
Demografi Bappeda Kabupaten
Sumenep, 2010
o jumlah penduduk, kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, rasio jenis kelamin, tingkat pendidikan dan mata pencarian
2. Data primer o Luas kesesuaian wisata Hasil penilaian
kesesuaian wisata
o Tingkat kecukupan konsumsi di pulau kecil
Kuesioner
o Penggunaan material dan air
o Limbah yang dihasilkan dari aktifitas yang ada di pulau kecil
5.2.2 Metode
Penilaian terhadap daya dukung gugus Pulau Sapeken terdiri dari dua tahapan, yaitu 1) menghitung daya dukung pemanfaatan wisata; 2) menghitung kemampuan kawasan gugus Pulau Sapeken untuk wisata. Tahapan penilaian daya dukung gugus Pulau Sapeken ditampilkan pada Gambar 18.
………….…………2
………..3 1. Daya Dukung Pemanfaatan (DDP)
DDP digunakan untuk mengetahui mengetahui jumlah maksimum pengunjung secara fisik dapat ditampung di kawasan yang tersedia dan waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Persamaan yang digunakan mengacu pada Yulianda et al (2010), dalam menghitung daya dukung kawasan (DDK) dan daya dukung pemanfaatan (DDP) sebagai berikut :
[ p t] [
t p]
dimana
DDK : Daya Dukung Kawasan
K : Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area
L p : Luas area atau panjang area yang dimanfaatkan
L t : Luas unit area untuk kategori tertentu
W t : Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari W p : Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu
.
Tabel 53 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt)
No Jenis kegiatan ∑ pengunjung (orang) Luas area (L t) Keterangan
1 Rekreasi pantai 1 50 m 1 orang tiap 50 m
panjang pantai
2 Wisata mangrove 1 50 m Dihitung panjang track
tiap orang dalam 50 m
3 Wisata lamun 1 500 m2 Tiap orang dalam 100 x
5 m
4 Snorkeling 1 500 m2 Tiap orang dalam 100 x
5 m
5 Selam 1 2000 m2 Tiap 2 orang dalam
200 x 10 m Sumber : Yulianda et al (2010)
Tabel 54 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan
No Jenis kegiatan Waktu yang dibutuhkan – Wp (jam) Total waktu 1 hari – Wt (jam)
1 Rekreasi pantai 3 6
2 Wisata mangrove 2 8
3 Wisata lamun 2 4
4 Snorkeling 3 6
5 Selam 2 8
Sumber : Yulianda et al. (2010)
2. Kemampuan kawasan gugus Pulau Sapeken untuk ekowisata
Kemampuan gugus Pulau Sapeken untuk kegiatan ekowisata dinilai melalui ecological footprint (EF) berdasarkan konsep emergy synthesis di gugus Pulau Sapeken terdiri dari tiga tahapan, yaitu 1) menghitung atau menilai biocapacity gugus Pulau Sapeken, meliputi energy capacity dan resources capacity; 2) menghitung atau menilai ecological footprint komunitas ; dan 3) menghitung atau menilai touristic ecological footprint.
o Biokapasitas wilayah gugus Pulau Sapeken
Penghitungan biokapasitas (biocapacity) gugus Pulau Sapeken meliputi kapasitas energi (energy capacity) dan kapasitas sumberdaya (resources capasity)
o Kapasitas energi alam (natureenergy capacity)
Kapasitas energi di gugus Pulau Sapeken dihitung berdasarkan konsep emergy synthesis (Odum 1996; Jungho et al. 2010; Pereira 2012). Pada konsep ini dijelaskan bahwasanya alam memiliki kontribusi terhadap penyediaan energi bagi kebutuhan manusia. Tahapan penghitungan kapasitas energi di gugus Pulau Sapeken sebagai berikut :
Tahap 1 : Menghitung energi yang ada di alam Energi matahari (Joule / tahun)
darat : Luas area (m2) x insolasi x (1 – albedo) laut : Luas area laut (m2) x insolasi x (1 – albedo) dimana
insolasi : 5.14 x 10 9 m2 / tahun
Energi angin (Joule / tahun)
darat : 1.3 (kg/m3) x 0.001 x (angin geostropik)3 x (3.14 x 10 7 seJ/tahun) x luas area
laut : 1.3 (kg/m3) x 0.001 x (angin geostropik)3 x (3.14 x 10 7 seJ/tahun) x luas area laut
dimana
angin geostropik : Kecepatan angin rata – rata (m / detik) x 1.67
Energi hujan (Joule / tahun)
darat : Luas area (m2) x curah hujan (m/tahun) x 1000 (kg/m3) x 4940 (J / kg)
laut : Luas area laut (m2) x curah hujan (m/tahun) x 1000 (kg/m3) x 4940 (J / kg)
Energi gelombang (Joule / tahun)
Panjang pantai (m) x 0.125 x 9.8 (m/detik2) x (kedalaman perairan)0.5 x (3.154 x 107 seJ/tahun)
Energi pasut (Joule / tahun)
Luas area laut (m2) x 0.5 x 706 (/tahun) x (pasut)2 x 1025 (kg/m3) x 9.8 (m/detik2)
Tahap 2 : Transformasi kedalam satuan emergy
Emergy merupakan salah satu bentuk energi yang telah mengalami transformasi dalam energy flow (Odum 1996). Unit yang digunakan adalah solar em joule atau seJ. Untuk itu, konversi energi dan / atau massa untuk emergy, dibuat menggunakan emergy intensity factors (eif)
ergy nergy e dimana
eif matahari : 1
eif angin : 663 seJJ
-1
eif hujan : 15444 seJJ-1
eif pasut : 73900 seJJ
-1
eif gelombang : 73900 seJJ-1
Tahap 3 : Kapasitas energi
Kapasitas energi yang diperoleh dari alam merupakan hasil pembagian hasil penghitungan emergi dibagi jumlah penduduk. Selanjutnya hasil dari perhitungan dibagi earth emergy density (EED)
apas tas nergy ( ergy ⁄ ) n dimana
n : Jumlah penduduk
EED : 3.1 x 10 14 (seJJ-1 ha-1)
………..4
o Kapasitas sumberdaya (resources capasity)
Kapasitas sumberdaya merupakan salah satu sumber yang digunakan dalam menghitung biokapasitas suatu kawasan. Tahapan penghitungan kapasitas sumberdaya di gugus Pulau Sapeken sebagai berikut :
Tahap 1 : Menghitung produksi sumber daya alam yang ada
Produksi sumberdaya pada wilayah gugus Pulau Sapeken dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu tanaman pertanian (cropland), perikanan (fisheries) dan kehutanan (mangrove). Produksi masing–masing kelompok dalam unit kilogram (kg) selanjutnya dikonversi dalam bentuk energi.
Tahap 2 : Konversi produksi sumberdaya kedalam bentuk energi
Konversi produksi sumberdaya ke dalam bentuk energi, berbeda untuk masing–masing kelompok sumberdaya. Berikut konversi produksi kedalam bentuk energi.
Produk tanaman pangan (cropland)
ro u s nerg pangan ro e onvers dimana
Prod : Produksi (kg)
Ke : Kandungan energi (4 kcal g-1)
Bk : Berat kering (0.8)
Konversi 4186 J kcal-1
Produk kehutanan (mangrove)
ro u s nerg utan ro onvers g o a e onvers dimana
Prod : Produksi (kg)
Konversi global : 0.5 x 10 6 g m-1
Ke : Kandungan energi (3.6 kcal g-1)
Bk : Berat kering (0.8)
Konversi 4186 J kcal-1
Produk perikanan (fisheries)
ro u s nerg an ro e prote n onvers dimana
Prod : Produksi (kg)
Ke : Kandungan energi (5 kcal g-1)
% protein : 0.22
Konversi 4186 J kcal-1
…………...6
…..7
Tahap 3 : Transformasi kedalam satuan emergy
Energi masing – masing produk selanjutnya di transformasi ke dalam satuan emergy. Persamaan yang digunakan sebagai berikut :
ergy ro u s nerg e dimana
eif pangan : 1.14 x 10
5
seJJ-1
eif hutan : 3.49 x 104 seJJ-1
eif ikan : 3.36 x 106 seJJ-1
Tahap 4 : Kapasitas energi
Kapasitas energi yang diperoleh dari sumberdaya merupakan hasil pembagian hasil penghitungan emergi dibagi jumlah penduduk. Selanjutnya hasil dari perhitungan dibagi earth emergy density (EED)
apas tas nergy ( ergy ⁄ ) n dimana
n : Jumlah penduduk
EED : 3.1 x 10 14 (seJJ-1 ha-1)
Hasil akumulasi kapasitas energi alam dan kapasitas sumberdaya selanjutnya merupakan nilai biokapasitas pada gugus Pulau Sapeken
o Rekam jejak ekologi (ecological footprint) wilayah gugus Pulau Sapeken Penilaian terhadap ecological footprint (EF) pada wilayah gugus Pulau Sapeken didasarkan atas keberadaan masyarakat dan rencana pengembangan kegiatan ekowisata. Agregat dari rekam jejak ekologi masyarakat (community) dan kegiatan wisata (tourism) merupakan rekam jejak ekologi pada gugus Pulau Sapeken
o Rekam jejak ekologi masyarakat (Commnunity ecological footprint)
Penghitungan mengacu pada penilaian dan analisis rekam jejak ekologi yang dilakukan Scotti et al. (2009). Tahapan penilaian rekam jejak ekologi yang dilakukan sebagai berikut :
Tahap 1 : Menghitung luas area produktif sumberdaya yang dikonsumsi oleh komunitas.
( a) onsu s ( t ) anen (t a )
dimana
i : Jenis konsumsi sumberdaya
Konsumsi : Jumlah komsumsi sumberdaya
Panen : Produksi sumberdaya
……….. ………9
Tahap 2 : Menghitung rekam jejak ekologi konsumsi tiap sumberdaya ( a) rea qu va en e a tor
dimana
Equivalence faktor lahan : 2.1
Equivalence faktor hutan : 1.1
Equivalence faktor fishing ground : 0.4
o Rekam jejak ekologiuntuk wisata /Touristic ecological footprint (TEF).
Penghitungan dan analisis rekam jejak ekologi sebuah tujuan wisata dibuat dengan membagi dan menghitung konsumsi per kapita dan pekerjaan konstruksi selama perjalanan, yang akhirnya akan dikonversi ke lahan produktif. Jadi pembagian konsumsi (identifikasi komponen) dan akses data merupakan langkah penting untuk TEF (Peng and Guihua 2007).
Lebih lanjut, dalam pendekatan komponen, item yang dipilih harus mencakup semua konsumsi dan limbah sebagai hasil dari kegiatan wisata. Lebih lanjut dijelaskan bahwasanya produk dari EF terdiri tujuh komponen utama makanan, akomodasi, transportasi, wisata, pembelian, hiburan dan limbah.
Adapun langkah-langkah analisis rekam jejak ekologi untuk wisata tersebut, sebagai berikut :
Gambar 19 Komponen rekam jejak ekologi untuk wisata
………... 4 Tahap 1 : Perhitungan komponen pangan (TEFf)
Makanan, pakaian dan kebutuhan sehari-hari termasuk dalam komponen pangan. Referensi untuk penelitian di luar kawasan, konsumsi sehari-hari makanan dan serat oleh wisatawan di tempat tujuan akan diganti dengan kebutuhan per kapita negara asal wisatawan. Sehingga, rekam jejak total per kapita kebutuhan pangan (TEFf) adalah sama dengan lamanya hari tinggal (n)
dikalikan dengan jumlah konsumsi harian (ef f). n e dimana :
TEF f : rekam jejak ekologi untuk wisata kebutuhan pangan
n : durasi tur (hari)
ef f : konsumsi sehari-hari wisatawan dalam wisma
Tahap 2 : Perhitungan komponen akomodasi (TEFa)
Komponen pangan yang disebutkan di atas berisi bagian dari komponen akomodasi. Tetapi ada kesenjangan besar dalam konsumsi ekologi antara akomodasi di hotel-hotel dan akomodasi selain hotel. Jumlah konsumsi air rata-rata harian, penggunaan energi, dan limbah padat jauh lebih tinggi dari konsumsi masyarakat lokal. Jadi, hal ini perlu dipertimbangkan. Rekam jejak ekologi untuk wisata komponen akomodasi (TEFa) ini adalah sama dengan kebutuhan akomodasi harian tiap wisatawan (efa) dikalikan dengan jumlah hari menginap tiap wisatawan (ai).
dimana
TEFa : rekam jejak ekologi untuk wisata komponen akomodasi
ai : durasi (hari) menginap tiap wisatawan
ef ai : kebutuhan akomodasi harian tiap wisatawan
Referensi akomodasi Gossling et al. (2002)
Wisma tamu : 0.000429 hm2 per tempat tidur per malam
Tahap 3 : Perhitungan komponen transportasi (TEFt)
Transport adalah premis untuk wisata, termasuk penggunaan lahan per kapita untuk penggunaan energi oleh berbagai kendaraan, semua jalan (antara dan di dalam daerah tujuan wisata) dan infrastruktur (bandara, stasiun kereta api, taman, dan lainnya). Pada perhitungan ini, rekam jejak ekologi per kapita penggunaan transportasi diperoleh dengan menilai jarak (ti) oleh semua jenis kendaraan yang digunakan menuju lokasi wisata (kilometer) dan kebutuhan ………….………….. 3
TEF a = (aixefai) i=1
………. 6 ………….…... 5 energi tiap jenis kendaraan yang digunakan tiap wisatawan per km (efti), maka persamaan rekam jejak ekologi untuk wisata komponen transportasi (TEFt) yang
digunakansebagai berikut :
t (t xe t )
dimana :
TEF t : rekam jejak ekologi untuk wisata komponen transportasi berbagai kendaraan
ti : jarak tempuh jenis kendaraan –i
efti : kebutuhan energi menurut tipe kendaraan per kapita per kilometer
Referensi transportasi Gossling et al. (2002)
Pesawat jarak jauh : 2,93 ×10-5 hm2/(per km) pesawat jarak pendek : 4,72 ×10-5 hm2/ (per km)
helikopter : 1,70 × 10-5 hm2/(per km)
Tahap 4 : Perhitungan komponen kunjungan (TEFs)
Kunjungan adalah tujuan utama dari wisata. Rekam jejak ekologi dari kegiatan ini terutama yang mengacu pada konstruksi penggunaan pemandangan dan penggunaan energi untuk mendukung kawasan. Jalan untuk kendaraan, jalan setapak dan fasilitas utama untuk kegiatan adalah bagian pekerjaan konstruksi. Untuk produk kunjungan wisata, yang meliputi mangrove, terumbu karang, budaya lokal dan situs lainnya, konsumsi energi sebagian besar terkonsentrasi di ruang fasilitas, seperti pusat pengunjung.
s (e s ) (e se)
dimana :
TEF s : rekam jejak ekologi untuk wisata kebutuhan pemandangan
ef sli : tipe pemandangan yang disediakan
ef sei : konsumsi energi pada daerah dengan pemandangan - i
Referensi kunjungan Kuo and Yu (2001)
pusat kunjungan wisata : 29 MJ / per kapita
3. Perhitungan komponen pembelanjaan (TEFp)
Bagian ini terutama berisi EF dari komoditas wisata yang dapat wisatawan beli dan toko-toko pada saat wisatawan berkunjung. Komoditas wisata terutama meliputi produk asli, perhiasan, souvenir, kerajinan, kebutuhan perjalanan, tanaman dan produk hewani, dan barang-barang khusus, yang biasanya dibawa pulang dari tujuan ke rumah sebagai hadiah atau souvenir. Variasi komoditas ini terfokus pada perpindahan ruang mengikuti transportasi wisatawan, dimana EF yang dihasilkan terkait dengan perdagangan setempat. Komponen pembelanjaan
(TEFp) dalam hal studi ini hanya memperhitungkan konsumsi ekologi kegiatan wisata sebagai objek penelitian sedangkan transfer komoditas diabaikan. Jadi EF adalah kunci bagian dalam komponen dalam studi ini, termasuk konstruksi okupasi dan penggunaan energi.
p (e p ) (e pe) dimana :
TEF p : rekam jejak ekologi untuk wisata kebutuhan souvenir
ef pli : energi EF per kapita pada toko - i
ef pei : energi okupasi konstruksi per kapita pada toko - i
Energi EF dapat dikonversi dari konsumsi energi per kapita saat berada di tempat wisatawan berbelanja, biasanya 10 MJ / per kapita (Kuo dan Yu. 2001)
4. Perhitungan komponen hiburan (TEFe)
Hiburan adalah bagian penting dari wisata, termasuk atraksi tari dan kegiatan lainnya. Akan tetapi, pekerjaan konstruksi dan konsumsi energi bervariasi dalam arti luas di antara berbagai jenis hiburan. Saat ini, hiburan diatur dalam jadwal wisata terutama yang sifatnya sporadis.
e (e xe ee) (e xe e ) dimana :
TEF e : rekam jejak ekologi untuk wisata kebutuhan hiburan
ei waktu menikmati jenis hiburan - i
ef eei : energi EF per kapita untuk kegiatan - i
ef eli : energi EF per kapita untuk hiburan - i
Tontonan berbasis kegiatan hiburan memiliki konsumsi energi yang rendah, di mana energi per kapita konsumsi adalah 9 MJ (Kuo dan Yu. 2001)
5. Perhitungan komponen limbah (TEFw)
Ada sejumlah limbah yang dihasilkan dari setiap komponen dalam perjalanan yang disebutkan di atas, seperti makanan, akomodasi dan transportasi komponen, di mana limbah padat merupakan bagian utamanya. Namun, perhatian lebih banyak ditujukan terhadap sumber daya yang telah dikonsumsi dalam enam elemen dasar (Zhang and Zhang 2004; Gossling et al. 2002)
………. 7
EF limbah terutama dihasilkan dari penyimpanan sampah dan transportasi. Pertama, penyimpanan sampah menghasilkan emisi gas berupa CO2 dan CH4 (Wiedmann et al. 2003). Kedua, sampah secara umum dibagi menjadi tiga bagian: sampah dapur dari makanan dan akomodasi, kertas dan sampah organik sehari-hari lainnya, dan sampah anorganik seperti plastik dan logam yang dibuang selama kegiatan hiburan dan kunjungan.
Jika jumlah sampah per kapita harian, EF unit sampah (kg), EF angkutan sampah sama baik dengan upaya daur ulang yang dapat dilakukan, maka total EF yang dihasilkan dari sampah dapat dihitung.
w (w xe w) (w xe ws) dimana :
TEF w : Rekam jejak ekologi untuk wisata dari segala macam sampah
wi rata-rata jumlah harian sampah – i per wisatawan
ef wi : energi dari penyimpanan sampah - i secara kuantitas
ef ws : energi dari penyimpanan sampah - i secara kualitas
Referensi penyimpanan sampah Wiedmann et al, 2003 kertas dan tekstil : 3,98 ×10-4 hm2/kg
sampah taman : 1,69 × 10-5 hm2/kg
sampah dapur : 1,49 × 10-5 hm2/kg
produk kayu : 3,34 × 10-5 hm2 kg
6. Perhitungan produk rencana perjalanan wisata (TEF)
Singkatnya, rekam jejak ekologi untuk wisata merupakan akumulasi total nilai dengan tujuh komponen yang disebutkan sebelumnya selama perjalanan. Total nilai tersebut ditunjukkan melalui persamaan berikut :
a t s p e w
dimana :
TEF f : touristic ecological footprint untuk makanan (food)
TEF a : touristic ecological footprint untuk akomodasi
TEF t : touristic ecological footprint untuk transport
TEF s : touristic ecological footprint untuk sightseeing
TEF p : touristic ecological footprint untuk purchases component
TEF e : touristic ecological footprint untuk entertaniment
TEF w : touristic ecological footprint untuk segala macam sampah
……….2 ……… 9
5.3 Hasil dan Pembahasan
5.3.1 Daya Dukung Pemanfaatan Gugus Pulau Sapeken untuk Kegiatan Ekowisata
Daya dukung dalam ekowisata didefinisikan sebagai jumlah maksimum pengunjung yang bisa ditoleransi tanpa menimbulkan kerusakan yang tidak dapat diterima lingkungan fisik dan tanpa mengurangi kepuasan pengguna (Mathieson and Wall 1982). Lebih lanjut secara ekologi daya dukung didefinisikan sebagai batasan alami dari serangkaian populasi yang disediakan sumber daya dalam suatu lingkungan tertentu (Caughley and Sinclair 1994). Mengacu pada hal tersebut penilaian terhadap daya dukung kawasan gugus Pulau Sapeken untuk kegiatan ekowisata didasarkan atas jumlah maksimum pengunjung yang dibatasi oleh kondisi ekosistem sebagai batas alami (natural limit). Batas alami (natural limit) ekosistem terhadap pemanfaatan ekowisata didasarkan atas hasil penilaian kesesuaian kegiatan ekowisata untuk berbagai jenis wisata (Tabel 42 – 50). Berikut hasil penilaian daya dukung pemanfaatan gugus Pulau Sapeken untuk kegiatan ekowisata.
Tabel 55 Daya dukung pemanfaatan (orang/hari) untuk kegiatan ekowisata jenis wisata selam di gugus Pulau Sapeken
No Pulau Luas (m2) Daya Dukung
Kawasan Daya Dukung Pemanfaatan 1 Pagerungan Besar 379 000.00 1520.00 152.00 2 Pagerungan Kecil 88 100.00 352.00 35.20 3 Paliat 331 000.00 1320.00 132.00 4 Sapangkur Besar 273 000.00 1090.00 109.00 5 Sapeken 18 400.00 73.50 7.35 6 Saor 197 000.00 789.00 78.90 7 Sepanjang 461 000.00 1840.00 184.00 Total 699.00
Tabel 56 Daya dukung pemanfaatan (orang/hari) untuk kegiatan ekowisata jenis wisata snorkeling di gugus Pulau Sapeken
No Pulau Luas (m2) Daya Dukung
Kawasan Daya Dukung Pemanfaatan 1 Pagerungan Besar 364 000.00 1 460.00 146.00 2 Pagerungan Kecil 84 800.00 339.00 33.90 3 Paliat - - - 4 Sapangkur Besar 269 000.00 1 080.00 108.00 5 Sapeken - - - 6 Saor 74 700.00 299.00 29.90 7 Sepanjang 1 040 000.00 4 140.00 414.00 Total 732.00
Tabel 57 Daya dukung pemanfaatan (orang/hari) untuk kegiatan ekowisata jenis wisata pancing di gugus Pulau Sapeken
No Pulau Luas (m2) Daya Dukung Kawasan Jumlah Unit Sarana (JUSPI) Daya Dukung Pemanfaatan 1 Pagerungan Besar 185 000.00 55 600.00 61.80 185.00 2 Pagerungan Kecil 669 000.00 201 000.00 223.00 669.00 3 Paliat 167 000.00 50 100.00 55.70 167.00 4 Sapangkur Besar 91 300.00 27 400.00 30.40 91.30 5 Sapeken 25 500.00 7 650.00 8.50 25.50 6 Saor 174 000.00 522 000.00 580.00 1 740.00 7 Sepanjang 181 000.00 544 000.00 604.00 1 810.00 Total 4 687.80
Tabel 58 Daya dukung pemanfaatan (orang/hari) untuk kegiatan ekowisata jenis wisata mangrove di gugus Pulau Sapeken
No Pulau Luas (m2) Daya Dukung
Kawasan Daya Dukung Pemanfaatan 1 Pagerungan Besar - - - 2 Pagerungan Kecil - - - 3 Paliat 6 500.00 520.00 52.00 4 Sapangkur Besar - - - 5 Sapeken - - - 6 Saor - - - 7 Sepanjang 33 600.00 2690.00 269.00 Total 321.00
Tabel 59 Daya dukung pemanfaatan (orang/hari) untuk kegiatan ekowisata jenis wisata pantai di gugus Pulau Sapeken
No Pulau Panjang Area (m) Daya Dukung Kawasan Daya Dukung Pemanfaatan 1 Pagerungan Besar 44 500.00 1 780.00 178.00 2 Pagerungan Kecil 5 930.00 237.00 23.70 3 Paliat 741.00 29.60 2.96 4 Sapangkur Besar 4 220.00 169.00 16.90 5 Sapeken - - - 6 Saor 13 300.00 530.00 53.00 7 Sepanjang 26 400.00 1 050.00 105.00 Total 380.00
Daya dukung pemanfaatan kegiatan ekowisata di gugus Pulau Sapeken tergantung pada besaran ekosistem, kondisi ekosisitem serta status kesesuaian ekosistem yang ada bagi pemanfaatan ekowisata. Berdasarkan hal tersebut penilaian terhadap daya dukung pemanfaatan gugus Pulau Sapeken bagi kegiatan ekowisata menunjukkan nilai yang berbeda untuk tiap jenis wisata. Daya dukung pemanfaatan terbesar pada tiap jenis wisata secara berurutan adalah wisata pancing (4 688 orang); wisata snorkeling (732 orang/hari); wisata selam (699 orang/hari); wisata pantai (380 orang); dan wisata mangrove (321 orang/hari). Lebih lanjut nilai tersebut merupakan batasan maksimum pengguna (wisatawan) yang dapat ditampung pada kawasan gugus Pulau Sapeken untuk tetap memberikan kenyamanan (leisure) tanpa mempengaruhi atau menyebabkan penurunan kualitas sumberdaya.
Gugus Pulau Sapeken merupakan kawasan yang terdiri dari beberapa pulau kecil yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Seperti halnya pulau kecil lainnya, gugus Pulau Sapeken memiliki karakteristik berupa keterbatasan ukuran, luas, kelangkaan sumberdaya sekaligus rentan terhadap perubahan. Keterbatasan yang dimiliki oleh pulau kecil tersebut menjadikan pengaruh dampak yang diterima dari kegiatan pemanfaatan, berbeda dengan daratan (Royle 2001). Meskipun memiliki sejumlah keterbatasan, kawasan pulau kecil memiliki peluang untuk dikembangkan melalui pemanfaatan jasa ekosistem. Jasa ekosistem merupakan manfaat dari keberadaan sebuah ekosistem terhadap kehidupan manusia (Layke et al. 2012), meliputi provisioning service, suporting service, regulating service dan cultural service. Jasa ekosistem sangat tergantung pada kondisi ekosistem. Ekosistem yang terpelihara dengan baik akan menjamin keberlangsungan jasa ekosistem. Terkait dengan kegiatan ekowisata, jasa ekosistem yang dimanfaatkan berupa cultural service yang meliputi kemampuan ekosistem untuk menyediakan keindahan, spiritual, pendidikan dan rekeasi. Faktor inilah yang mendasari kegiatan ekowisata sebagai bentuk pemanfaatan berbasis sumberdaya alam yang direkomendasikan bagi kawasan pulau kecil.
Keterkaitan kegiatan ekowisata dengan jasa ekosistem menjadikan upaya pengelolaan terhadap pemanfaatan ekosistem di pulau kecil diperlukan. Keterbatasan yang dimiliki oleh pulau kecil menjadikan kegiatan ekowisata sebagai bentuk pemanfaatan yang akan dilakukan harus didasarkan atas keterbatasan yang ada. Bentuk pengelolaan tersebut berupa penyesesuaian kegiatan ekowisata dengan daya dukung kawasan pulau kecil, dengan mengatur jumlah wisatawan. Pengaturan jumlah wisatawan ini dimaksudkan untuk mengatur konsumsi sumberdaya dan ruang yang keberadaannya sangat terbatas di pulau kecil dalam memberikan kenyamanan atau kepuasan bagi wisatawan. Lebih lanjut pengaturan jumlah wisatawan ini juga meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan ekowisata terhadap kualitas sumberdaya sekaligus menjamin berlangsungnya jasa ekosistem di kawasan pulau kecil.
Mengacu pada penjelasan diatas, daya dukung gugus Pulau Sapeken bagi kegiatan ekowisata yang direpresentasikan melalui jumlah wisatawan perhari untuk jenis wisata selam, snorkeling, pancing, mangrove dan pantai (Tabel 54 – Tabel 58), menunjukkan batasan kemampuan ekosistem yang ada dalam menyediakan jasa ekosistem untuk kenyamanan wisatawan. Jumlah wisatawan
yang melampui daya dukung kawasan gugus Pulau Sapeken akan berpengaruh terhadap kemampuan ekosistem dalam menyediakan jasa ekosistem sekaligus berdampak terhadap keberlanjutan kegiatan ekowisata. Lebih lanjut, Loomis (2000) menjelaskan pengaturan jumlah wisatawan sebagai bentuk pengelolaan untuk membatasi dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan ekowisata, memastikan kualitas pengalaman (quality of the visitor experience) dan perencanaan fasilitas penunjang kegiatan ekowisata.
5.3.2 Rekam Jejak Ekologi (Ecological Footprint) Gugus Pulau Sapeken untuk Ekowisata
Rekam jejak ekologi merepresentasikan batas kritis pemanfaatan sumberdaya alam yang secara dibagi menjadi empat macam, yaitu : 1) rekam jejak ekologi untuk negara; 2) rekam jejak ekologi untuk rumah tangga; 3) rekam jejak ekologiuntuk kegiatan tertentu (seperti wisata dan budidaya); dan 4) rekam jejak ekologi untuk komunitas atau populasi. Untuk kegiatan wisata, touristic ecological footprint (TEF) merupakan suatu upaya terencana dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan merupakan kegiatan pembangunan yang menyesuaikan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka, melalui keterpaduan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Hal ini memiliki pemahaman bahwasanya tingkat pemanfaatan sumberdaya dibatasi pada tingkatan tertentu sehingga tetap bisa dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya.
Implementasi dari pembangunan berkelanjutan, salah satunya melalui kegiatan wisata yang berlanjutan (sustainable tourism). Pembangunan wisata yang berkelanjutan merupakan suatu kegiatan dalam memenuhi kebutuhan wisatawan dan penduduk sekaligus melindungi dan meningkatkan kesempatan pemanfaatan untuk masa depan (Goosling et al. 2002). Penilaian tersebut dapat diketahui melalui aplikasi TEF. TEF mengukur berapa banyak kapasitas regeneratif dari biosfer digunakan oleh aktivitas wisata, dengan menghitung jumlah lahan produktif secara biologis dan catchment area yang diperlukan untuk mendukung populasi tertentu pada tingkat saat ini melalui konsumsi dan efisiensi sumber daya.
Terdapat dua komponen utama yang digunakan untuk menilai daya dukung gugus Pulau Sapeken untuk kegiatan wisata, yaitu : 1) biokapasitas sebagai supply, meliputi biokapasitas energi dan biokapasitas sumberdaya; 2) rekam
jejak ekologisebagai demand, meliputi rekam jejak ekologi komunitas dan rekam jejakwisata. Berikut hasil penilaian terhadap daya dukung gugus Pulau Sapeken.
a. Biokapasitas Gugus Pulau Sapeken
Biokapasitas adalah total daerah bioproductive dari suatu kawasan (planet, negara, atau sub-region), dalam satuan global hektar (gha). Biokapasitas menunjukkan besaran daya tampung yang dimiliki oleh suatu kawasan untuk digunakan bagi peruntukan sejumlah kegiatan sekaligus refleksi dari kondisi eksisting suatu kawasan. Gugus Pulau Sapenen sebagai sebagai kawasan kepulauan, memiliki dua jenis biokapasitas, yaitu 1) biokapasitas energi (matahari, angin, hujan, gelombang dan pasang surut); dan 2) biokapasitas sumberdaya.
- Biokapasitas energi
Penilaian biokapasitas energi berasal dari konsep ekologi populasi (Brown and Ulgiati 2001) sebagai kapasitas yang menghubungkan penggunaan sumberdaya dengan dukungan lingkungan (environmental support). Hal ini selanjutnya didefinisikan sebagai populasi maksimum dari spesies yang dapat diterima oleh ekosistem (Odum and Barett 2005), dengan variasi tergantung pada konteks dimana kawasan yang digunakan. Dalam konteks ini, biokapasitas energi didefinisikan sebagai jumlah orang yang dapat didukung oleh lingkungan di sebuah standar hidup yang diberikan dari gugus Pulau Sapeken yang dinilai dari ketersediaan energi yang dapat dimanfaatkan.
Biokapasitas energi gugus Pulau Sapeken, meliputi energi matahari, energi angin, energi hujan, energi gelombang dan energi pasang-surut (pasut). Berikut biokapasitas energi yang ada di gugus Pulau Sapeken (Tabel 60).
Tabel 60 Biokapasitas energi di gugus Pulau Sapeken
No Pulau Biocapacity Energi (gha/kapita/tahun)
Matahari Hujan Angin Gelombang Pasang - surut
1 Pagerungan Besar 10.40 509.00 3.01 x1010 211.00 126.00 2 Pagerungan Kecil 7.66 374.00 2.21 x1010 144.00 113.00 3 Paliat 303.00 14800.00 8.73 x1011 2700.00 0.00 4 Sapangkur Besar 0.16 7.60 4.49 x108 1880.00 90.20 5 Sapeken 0.04 1.84 1.09 x108 102.00 18.90 6 Saor 0.23 11.20 6.60 x108 2760.00 103.00 7 Sepanjang 189.00 9250.00 5.46 x1011 15500.00 288.00
Gugus Pulau Sapeken sebagai kumpulan pulau-pulau kecil, merupakan suatu kawasan yang memiliki sejumlah keterbatasan berupa ukuran wilayah yang kecil, rentan terhadap bencana, terbatas sumberdaya dan memiliki
keterbatasan terhadap air. Dibandingkan dengan daratan, aspek yang menonjol dari keberadaan pulau kecil adalah wilayah yang dikelilingi laut. Wilayah yang dikelilingi laut memungkinkan pulau kecil selain memiliki sumberdaya kelautan yang besar, juga memiliki energi potensial yang cukup besar berasal dari kondisi lingkungan tersebut. Kondisi tersebut terlihat pada proporsi biokapasitas energi di tiap pulau kecil pada gugus Pulau Sapeken sebagai energi potensial (Gambar 20). Diantara lima jenis energi potensial yang ada di wilayah gugus Pulau Sapeken, angin memiliki energi potensial terbesar yang ada di tiap pulau kecil, berkisar antara 1.09 x108 sampai 5.46 x 1011 gha/kapita (Tabel 54) atau setara dengan 5.48 x1026 Joule. Energi angin terbesar ada di Pulau Paliat dan Pulau Sepanjang.
Pulau kecil identik dengan minimnya sarana air besih dan energi listrik. seperti halnya pulau kecil yang ada di gugus Pulau Sapaken. Ketersediaan energi potensial yang bersumber dari angin merupakan sumber energi yang dapat dijadikan sebagai solusi bagi salah satu keterbatasan yang ada di gugus Pulau Sapeken, berupa sarana listrik. Dibandingkan dengan angin yang ada di wilayah pesisir, energi potensial angin yang ada di wilayah kepulauan,dapat memenuhi kebutuhan 1 keluarga (Hantoro dan Rahmandiansyah 2007). Daya aktual tertinggi (peak) yang dapat dicapai di wilayah kepulauan mencapai 972,7 watt,dan daerah pesisir mencapai 355 watt. Daya terendah untuk daerah kepulauan bernilai 21 watt dan di daerah pesisir bernilai 0 watt.
Berdasarkan hal tersebut diatas, potensi angin yang ada di gugus Pulau Sapeken dapat digunakan sebagaialternatif energi yang bersifat terbarukan. Dilihat dari sisi ekonomis dan kebutuhan energi listrik, pemanfaatan energi angin sebagai sumber energi alternatif akan mengurangi ketergantungan pulau kecil terhadap fuel energy dalam memenuhi kebutuhan listrik. Pemanfaatan angin sebagai sumber energi alternatif juga memiliki pengaruh dari sisi ekologis. Penggunaan bahan bakar (fossil fuel energy) untuk pembangkit listrik memberikan dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Pengurangan penggunaan bahan bakar yang dikonversi sebagai energy listrik akan meningkatkan biaya kerusakan (damage cost) terkait emisi yang dihasilkan berupa peningkatan PM10, NOx, SO2, dan CO2 (Rabl and Spadaro 2000). Lebih lanjut, peningkatan emisi dari penggunaan bahan bakar untuk menghasilkan energi listrik akan memperberat kerja lingkungan dalam mengabsorpsi emisi yang ditimbulkan.
- Biokapasitas sumberdaya
Biokapasitas suatu kawasan juga ditentukan oleh besaran sumberdaya yang dapat menyediakan sejumlah barang dan jasa bagi kesejahteraan manusia. Dalam konsep rekam jejak ekologi, biokapasitas mengukur potensi produksi dan ketersediaan biologis daerah produktif untuk penggunaan ekonomi manusia (Ewing et al. 2010). Biokapasitas adalah mitra untuk indikator footprint. Kapasitas produksi lahan pertanian, lahan penggembalaan, lahan hutan dan perikanan digunakan untuk menentukan seberapa besar apa yang orang dapat memanfaatkan dari ekosistem. Namun, biokapasitas tidak dapat ditafsirkan sebagai indikator integritas ekosistem dan kesehatan, jasa ekosistem atau keanekaragaman hayati (Lenzen et al. 2007).
Berdasarkan hal tersebut untuk biokapasitas sumberdaya gugus Pulau Sapeken yang dihitung meliputi biokapasitas pangan (padi, jagung, ketela pohon, kacang tanah, kacang hijau), biokapasitas hutan dan biokapasitas perikanan. Tiap pulau kecil yang ada pada gugus Pulau Sapeken memiliki biokapasitas sumberdaya yang berbeda (Gambar 19). Kondisi tersebut menunjukkan ditiap pulau kecil pada wilayah gugus Pulau Sapeken, memiliki kemampuan berbeda dalam penyediaan sumberdaya tertentu. Hasil perhitungan selanjutnya terhadap biokapasitas sumberdaya ada di gugus Pulau Sapeken (Tabel 61).
Tabel 61 Biokapasitas sumberdaya di gugus Pulau Sapeken
No Pulau Biokapasitas Sumberdaya (gha/kapita/tahun)
Pangan Hutan Ikan
1 Pagerungan Besar 0.0015 629.00 11.40 2 Pagerungan Kecil 0.0011 - 13.80 3 Paliat 0.0043 23 500.00 4.82 4 Sapangkur Besar 0.0025 11 600.00 5.31 5 Sapeken 0.0023 - 8.72 6 Saor 0.0053 - 8.18 7 Sepanjang 0.0062 45 100.00 5.48
Dampak aktifitas manusia terhadap lingkungan dalam pengertian luas tergantung dari kualitas dan kuantitas dari sumberdaya alam yang dikonsumsi oleh manusia. Semakin baik kualitas dan kuantitas dari sumberdaya semakin baik pula pemenuhan kebutuhan hidup yang diperlukan manusia. Biocapacity sumberdaya pada Tabel 55 menunjukkan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia.
Berdasarkan biokapasitas sumberdaya yang telah dikuantifikasi, menunjukkan biokapasitas sumberdaya terbesar secara berurutan berupa sumberdaya hutan, sumberdaya perikanan dan sumberdaya pangan. Sumberdaya hutan di gugus Pulau Sapeken terbesar terdapat pada Pulau Sepanjang. Ekosistem mangrove di Pulau Sepanjang memiliki luas ± 3 374.26 ha termasuk dalam kawasan yang berstatus hutan produksi dan dikelola oleh Perum Perhutani. Luasan tersebut jika diasumsikan tiap hektar menghasilkan 220 m3 (Chan 1994) akan menghasilkan kayu sebesar 80 4716 m3 akan menghasilkan biokapasitas sebesar 45 100 gha (Tabel 61).
Nilai biokapasitas mangrove tersebut (45.100 gha) memiliki korelasi terhadap kemampuan mangrove dalam menyediakan bahan baku kayu. sumberdaya dalam menyediakan kebutuhan manusia. Lebih lanjut, selain sebagai penyedia bahan baku, mangrove berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2) dari udara. Penyerapan karbon dioksida berhubungan erat dengan biomassa pohon. Pohon melalui proses fotosintesis menyerap CO2 dan mengubahnya menjadi karbon organik (karbohidrat) dan menyimpannya dalam biomassa mangrove (Pambudi 2011). Stok karbon dalam mangrove diestimasi dari biomassanya dengan mengikuti aturan 46% biomassa (Rahayu dan Hairiah 2007). Hal tersebut menjelaskan semakin banyak mangrove yang ada pada suatu kawasan akan meningkatkan kemampuan kawasan dalam menyerap karbon dioksida (CO2) dan emisi yang ditimbulkan dari penggunaan fossil fuel.
- Total biokapasitas gugus Pulau Sapeken
Biokapasitas gugus Pulau Sapeken merupakan total dari keselurahan biokapasitas yang ada, yaitu biokapasitas energi dan biokapasitas sumberdaya. Total biokapasitas gugus Pulau Sapeken ditampilkan pada Tabel 62.
Tabel 62 Total biokapasitas di gugus Pulau Sapeken (gha/kapita/tahun) No Pulau Total Biokapasitas (Energi + Sumberdaya)
1 Pagerungan Besar 3.01 x 10 10 2 Pagerungan Kecil 2.21 x 10 10 3 Paliat 8.73 x 10 11 4 Sapangkur Besar 4.49 x 10 08 5 Sapeken 1.09 x 10 08 6 Saor 6.60 x 10 08 7 Sepanjang 5.46 x 10 11
Biokapasitas pulau kecil yang ada pada gugus Pulau Sapeken memiliki keterkaitan dengan luas area yang dimilki di tiap pulau kecil. Tabel 55 menunjukkan, total biokapasitas terbesar terdapat pada Pulau Paliat dan Pulau Sepanjang. Dibandingkan dengan pulau kecil lainnya, kedua pulau tersebut memiliki luas wilayah yang lebih besar (Tabel 3).
Biokapasitas merupakan bagian penting dari analisa ecological footprint dalam menilai ekologi lahan produktif yang ada pada suatu kawasan. Oleh karena itu biokapasitas merupakan endowment dari ekologis wilayah produktif yang tersedia secara lokal dan itu menunjukkan kapasitas potensial ekosistem lokal untuk menyediakan sumberdaya alam dan jasa. Berdasarkan hal tersebut Pulau Paliat dan Pulau Sepanjang memiliki kapasitas potensial
ekosistem lokal yang lebih besar dalam menyediakan sumberdaya alam dan jasa yang dibutuhkan.
b. Rekam jejak ekologi (ecological footprint) gugus Pulau Sapeken
Rekam jejak ekologi (EF) adalah agregat area dari tanah dan air pada berbagai kategori ekologi, dalam menghasilkan semua sumber daya yang dikonsumsi, sekaligus limbah yang dihasilkan (Wackernagel and Monfreda 2004). Berdasarkan definisi tersebut pada dasarnya, setiap perhitungan EF mencoba untuk menilai berapa banyak daerah yang produktif secara biologis diperlukan untuk menghasilkan aliran sumberdaya yang dikonsumsi oleh penduduk suatu wilayah, untuk menyerap limbah atau emisi (terutama CO2), dan sekaligus infrastruktur yang dibangun pada suatu wilayah. Terkait dengan pengembangan kegiatan ekowisata di gugus Pulau Sapeken, perhitungan ecological footprint dibagi menjadi dua kelompok, meliputi rekam jejak ekologi komunitas (community ecological footprint) dan rekam jejak ekologi wisata (touristic ecological footprint).
- Rekam jejak ekologi untuk komunitas (community ecological footprint)
Rekam jejak ekologi (EF) komunitas merupakan perhitungan rekam jejak ekologi terhadap semua sumberdaya yang dikonsumsi sekaligus limbah yang limbah yang dihasilkan pada suatu komunitas tertentu pada suatu kawasan. Perhitungan EF wilayah di gugus Pulau Sapeken berbasiskan pada dua bagian, yaitu : 1) jumlah sumberdaya utama yang dikonsumsi dan limbah yang dihasilkan melalui aktifitas manusia yang dapat ditentukan dan dilacak; 2) sumberdaya dan limbah yang dihasilkan selanjutnya dirubah menjadi ekologi area lahan produktif untuk konsumsi sumberdaya dan penyerapan limbah yang dihasilkan. Oleh karena itu, rekam jejak ekologi dari komunitas di gugus Pulau Sapeken adalah total daerah produktif secara biologis yang dapat memenuhi konsumsi sumberdaya dan limbah yang dihasilkan. Ekologi area lahan produktif yang dihitung dalam rekam jejak ekologi komunitas pada gugus Pulau Sapeken meliputi area pangan (cropland), mangrove, perikanan (fishing ground), pemukiman (built-up land), air, listrik (energy land) dan sampah (waste). Berdasarkan area lahan produktif tersebut, tiap pulau kecil pada gugus Pulau Sapeken memiliki proporsi konsumsi sumberdaya yang berbeda (Gambar 14). Hasil perhitungan rekam jejak ekologi komunitas di gugus Pulau Sapeken adalah sebagai berikut :
Tabel 63 Rekam jejak ekologikomunitas di gugus Pulau Sapeken
No Pulau Rekam jejak ekologi komunitas (gha/kapita/tahun)
Pangan Hutan Ikan
1 Pagerungan Besar 2.9 x 102 5.6 x 10-5 5.5 x 10-5 2 Pagerungan Kecil 3.9 x 102 4.6 x 10-5 3 Paliat 1.4 x 101 8.5 x 102 1.3 x 10-7 4 Sapangkur Besar 3.4 x 101 2.9 x 103 1.2 x 10-4 5 Sapeken 3.4 x 101 7.0 x 10-8 6 Saor 1.5 x 101 3.1 x 10-8 7 Sepanjang 2.6 x 101 4.3 x 102 1.2 x 10-7
Tabel 63 Rekam jejak ekologikomunitas di gugus Pulau Sapeken (lanjutan)
No Pulau Rekam jejak ekologi komunitas (gha/kapita/tahun)
Pemukiman Listrik Air Sampah
1 Pagerungan Besar 6.1 x 10-9 4.0 x 103 1.2 x 10-2 6.1 x 10-5 2 Pagerungan Kecil 8.4 x 10-9 3.9 x 103 1.2 x 10-2 5.9 x 10-5 3 Paliat 2.1 x 10-10 1.6 x 103 5.0 x 10-3 2.5 x 10-5 4 Sapangkur Besar 1.0 x 10-7 1.5 x 103 4.7 x 10-3 2.3 x 10-5 5 Sapeken 1.2 x 10-3 5.1 x 103 1.6 x 10-2 7.8 x 10-5 6 Saor 1.2 x 10-4 1.5 x 103 4.4 x 10-2 2.2 x 10-5 7 Sepanjang 3.3 x 10-10 5.6 x 103 1.7 x 10-2 8.6 x 10-5
Rekam jejak ekologi di gugus Pulau Sapeken menunjukkan listrik dan pangan sebagai konsumsi terbesar (Tabel 63). Kebutuhan listrik di gugus Pulau Sapeken sampai saat ini masih belum bisa dipenuhi secara merata. Pemenuhan listrik masyarakat pada gugus Pulau Sapeken terbagi menjadi dua bagian, yaitu PLN dan non PLN. Untuk listrik yang berasal dari PLN saat ini hanya terdapat di Pulau Sapeken. Keterbatasan penyediaan listrik ini menjadikan tiap rumah tangga yang mampu di pulau kecil lainnya mengandalkan generator untuk mendapatkan listrik.
Pengusahaan energi alternatif untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan listrik diperlukan, untuk mengurangi ketergantungan terhadap fossil fuel. Selain langka dan harga yang mahal, pengunaan fossil fuel berpotensi meningkatkan emisi carbon dioksida (CO2) di pulau kecil. Energi yang realistis untuk diusahakan sebagai energi alternatif di gugus Pulau Sapeken adalah matahari dan angin. Penggunaan solar cell energy dan wind park merupakan salah satu bentuk pemanfaatan energi matahari dan angin menjadi listrik sebagai solusi pemenuhan listrik di gugus Pulau Sapeken.
- Rekam jejak ekologi untuk wisata (touristic ecological footprint)
Pengembangan kegiatan wisata di gugus Pulau Sapeken sebagai kawasan pulau – pulau kecil membutuhkan perencanaan yang terpadu. Hal ini diperlukan mengingat jenis wisata yang dilakukan merupakan wisata lebih ramah lingkungan dan menguntungkan secara sosial dan ekonomi. Hal ini berkaitan dengan karakteristik yang melekat pada pulau kecil seperti ukuran yang kecil, keterpencilan, kerentanan, dispersi geografis untuk bencana alam, kerapuhan ekosistem, kendala pada transportasi dan komunikasi, isolasi dari pasar, pasar domestik kecil, kurangnya sumberdaya alam dan pasokan air bersih yang terbatas. Untuk itu kegiatan wisata yang dilakukan pada pulau kecil harus difokuskan pada pengelolaan sumber daya dimana semua persyaratan ekonomi, sosial dan estetika terpenuhi, sekaligus menghormati integritas budaya, proses penting ekologi, dan keanekaragaman hayati (Oyola et al. 2012).
Terkait dengan hal tersebut, pelaksanaan wisata di gugus Pulau Sapeken selanjutnya harus diketahui seberapa besar pemanfaatan sumberdaya yang diperlukan. Melalui rekam jejak ekologi untuk wisata, akan diketahui seberapa besar luasan lahan produktif yang dibutuhkan dan dikonsumsi sekaligus limbah yang dihasilkan dari kegiatan wisata pada suatu tempat dan waktu tertentu (Huiqin and Linchun 2011). Adapun hasil perhitungan rekam jejak ekologi untuk wisata di gugus Pulau Sapeken di tampilkan pada Tabel 64.
Gambar 22 Proporsi rekam jejak ekologi untuk komunitas di gugus Pulau Sapeken
Tabel 64 Rekam jejak ekologi untuk wisata di gugus Pulau Sapeken (gha/kapita)
No Pulau TEF makanan TEF akomodasi
TEF transportasi TEF aktifitas Jakarta Bali 1 Pagerungan Besar 1.35 x 10-4 4.29 x 10-4 4.20 x 10-2 1.71 x 10-3 1.24 x 10-1 2 Pagerungan Kecil 1.87 x 10-4 4.29 x 10-4 4.20 x 10-2 1.68 x 10-3 1.13 x 10-1 3 Paliat 1.62 x 10-5 4.29 x 10-4 4.57 x 10-2 5.45 x 10-3 1.24 x 10-1 4 Sapangkur Besar 5.34 x 10-5 4.29 x 10-4 4.19 x 10-2 1.60 x 10-3 1.24 x 10-1 5 Sapeken 1.23 x 10-5 4.29 x 10-4 4.18 x 10-2 1.52 x 10-3 1.13 x 10-1 6 Saor 1.93 x 10-5 4.29 x 10-4 5.18 x 10-2 1.15 x 10-2 1.13 x 10-1 7 Sepanjang 8.49 x 10-6 4.29 x 10-4 4.19 x 10-2 1.64 x 10-3 1.24 x 10-1
Tabel 64 Rekam jejak ekologi untuk wisata di gugus Pulau Sapeken (gha/kapita) (lanjutan)
No Pulau TEF sampah TEF air TEF purchase TEF hiburan
1 Pagerungan Besar 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2 2 Pagerungan Kecil 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2 3 Paliat 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2 4 Sapangkur Besar 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2 5 Sapeken 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2 6 Saor 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2 7 Sepanjang 1.38 x 10-5 3.18 x 10-5 4.35 x 10-3 2.89 x 10-2
Rekam jejak ekologi untuk wisata pada wilayah gugus Pulau Sapeken dihitung berdasarkan kebutuhan terhadap makanan, akomodasi, transportasi, aktifitas, air, purchases, hiburan dan sampah yang dihasilkan. Proporsi kemampuan tiap pulau kecil pada gugus Pulau Sapeken berbeda dalam menyediakan kebutuhan kegiatan wisata (Gambar 23).
Berdasarkan komponen kebutuhan yang dihitung dalam Rekam jejak ekologi untuk wisata di tiap pulau kecil pada gugus Pulau Sapeken (Tabel 58) menunjukkan bahwasanya kebutuhan terkait aktifitas dan sarana hiburan sebagai kebutuhan yang paling besar dibandingkan dengan komponen kebutuhan wisata lainnya.
Tujuan utama dari kegiatan wisata adalah melihat pemandangan dan perjalanan. Perhitungan komponen sightseeing atau visiting meliputi energi yang dibutuhkan sekaligus penggunaan lahan untuk konstruksi pendukung kegiatan wisata (wisata selam, snorkeling, pancing, mangrove dan pantai). Selanjutnya, berdasarkan energi yang dibutuhkan kegiatan wisata selam dan snorkeling sebagai adventure tourism yang membutuhkan ketrampilan khusus, memiliki kebutuhan energi terbesar dibandingkan jenis wisata lainnya. Kebutuhan energi tiap kegiatan wisata didasarkan atas kebutuhan energi (direct energy) dan infrastruktur yang dibutuhkan (indirect energy) untuk melakukan aktifitas wisata.
Pengembangan wisata berbasis alam bertumpu utamanya pada kualitas sumberdaya yang dijadikan daya tarik, juga dipengaruhi oleh penyediaan sarana hiburan. Sumberdaya merupakan dasar bagi pengembangan atraksi wisata. sumberdaya. Jika sumberdaya tidak ada, maka atraksi wisata tidak akan berlangsung. Kualitas wisata diukur dari atraksi wisata yang ditawarkan. Lebih lanjut Pigram (1983) menjelaskan bahwasanya aktifitas dan atraksi wisata merupakan inti dari produk wisata. Perjalanan wisata biasanya tidak hanya digunakan untuk melakukan aktifitas wisata tertentu namun juga untuk bertujuan menikmati atraksi yang khas.
Untuk dapat menunjang hal tersebut gugus Pulau Sapeken perlu dilengkapi dengan fasilitas dan infrastruktur yang menunjang kegiatan wisata yang akan dikembangkan. Gugus Pulau Sapeken belum memiliki fasilitas dan infrastruktur yang memadai dalam menunjang kegiatan wisata kecuali infrastrukur transportasi berupa pelabuhan. Infrastruktur umum (kesehatan, telekomunikasi dan lainnya) yang memadai hanya terdapat di Pulau Sapeken. Kurangnya atau tidak adanya fasilitas dan infrastruktur bagi kegiatan wisata inilah yang menyebabkan rekam jejak ekologi untuk komponen aktifitas dan komponen hiburan sebagai kebutuhan terbesar, selain faktor aktifitas energi dari kegiatan wisata yang akan dikembangkan. Penilaian terhadap penggunaan energi dalam pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken selanjutnya dapat digunakan dalam menilai dampak yang mungkin timbul terhadap lingkungan sekaligus dasar bagi pengembangan wisata yang berkelanjutan.
c. Agregat rekam jejak ekologi (ecological footprint) Gugus Pulau Sapeken Agregat rekam jejak ekologi (EF) seperti yang dijelaskan oleh Castelani and Sala (2012) merupakan hasil komparasi agregat biokapasitas (biokapasitas energi dan biokapasitas sumberdaya) dengan agregat rekam jejak ekologi (rekam jejak ekologi komunitas dan rekam jejak ekologi wisata). Hasil dari agregat rekam jejak ekologi akan selain merepresentasikan dampak dari aktifitas wisata pada suatu kawasan juga merepresentasikan jumlah pengguna (populasi dan komunitas) yang dapat didukung oleh barang dan jasa yang diberikan bagi kegiatan wisata yang akan dikembangkan gugus Pulau Sapeken. Adapun agregat EF gugus Pulau Sapeken untuk pemanfaatan ekowisata disajikan pada Tabel 65.
Tabel 65 Agregat biokapasitas dan rekam jejak ekologi di gugus Pulau Sapeken
Pulau
Biokapasitas (gha/capita/tahun)
Energi Sumberdaya Total
Pagerungan Besar 3.01 x1010 6.40 x1002 3.01 x1010 Pagerungan Kecil 2.21 x1010 1.38 x1001 2.21 x1010 Paliat 8.73 x1011 2.35 x1004 8.73 x1011 Sapangkur Besar 4.49 x1008 1.16 x1004 4.49 x1008 Sapeken 1.09 x1008 0.87 x1001 1.09 x1008 Saor 2.91 x1008 1.85 x1001 6.60 x1008 Sepanjang 5.46 x1011 4.51 x1004 5.46 x1011
Tabel 65 Agregat biokapasitas dan rekam jejak ekologi di gugus Pulau Sapeken (lanjutan)
Pulau
Rekam jejak ekologi
(gha/capita/tahun)
Komunitas Wisata Total
Pagerungan Besar 1.56 x1006 7.35 x1001 1.56 x1006 Pagerungan Kecil 1.57 x1006 6.96 x1001 1.57 x1006 Paliat 9.10 x1005 7.62 x1001 9.11 x1005 Sapangkur Besar 1.62 x1006 7.34 x1001 1.62 x1006 Sapeken 1.89 x1006 6.95 x1001 1.89 x1006 Saor 5.35 x1005 7.67 x1001 5.36 x1005 Sepanjang 2.22 x1006 7.34 x1001 2.22 x1006
Hasil analisa agregat biokapasitas dan rekam jejak ekologi di gugus Pulau Sapeken (Tabel 65) jika dibandingkan menunjukkan bahwa nilai biokapasitas di gugus Pulau Sapeken lebih besar dari nilai rekam jejak ekologi (BC > EF). Kondisi ini mengindikasikan dengan adanya pengembangan kegiatan wisata (wisata selam, snorkeling, pancing, mangrove dan pantai), lingkungan gugus Pulau Sapeken masih dapat menyediakan ruang dan sumberdaya bagi wisata secara berkelanjutan. Lebih lanjut WWF (2000) mensyaratkan adanya ruang yang diperuntukkan bagi keberlangsungan perlindungan biodiversitas sebesar
12 % dari biokapasitas yang ada pada suatu kawasan. Sedangkan pengguna (populasi dan komunitas) yang dapat didukung oleh barang dan jasa yang diberikan bagi kegiatan wisata yang akan dikembangkan gugus Pulau Sapeken diperoleh dengan membagi total biokapasitas dengan total jejak rekam ekologi (Tabel 66).
Tabel 66 Komparasi nilai total biokapasitas dan nilai total rekam jejak ekologi
Pulau Total Biokapasitas (-12%) Total rekam jejak ekologi Total BC / Total EF (capita/th) (Total BC) gha/capita/th (Total EF) gha/capita/th
Pagerungan Besar 2.65 x 1010 1.56 x 1006 1.69 x 1004 Pagerungan Kecil 1.94 x 1010 1.57 x 1006 1.24 x 1004 Paliat 7.68 x 1011 9.11 x 1005 2.44 x 1005 Sapangkur Besar 3.95 x 1008 1.62 x 1006 2.44 x 1002 Sapeken 9.55 x 1007 1.89 x 1006 5.05 x 1001 Saor 2.56 x 1008 5.36 x 1005 1.08 x 1003 Sepanjang 4.81 x 1011 2.22 x 1006 2.17 x 1005
Nilai perbandingan total total biokapasitas dengan total ecological footprint pada Tabel 66, merupakan asumsi kemampuan dari tiap pulau kecil yang ada di gugus Pulau Sapeken untuk menampung dan memenuhi kebutuhan wisatawan dalam melakukan aktifitas wisata. Jumlah wisatawan terbesar berdasarkan penilaian terdapat di Pulau Paliat (244 000 orang/tahun) dan Sepanjang (217 000 orang/tahun) dan terkecil ada di Pulau Sapeken (50,5 orang/tahun). Nilai daya dukung tersebut diasumsikan sebagai batasan jumlah total wisatawan untuk semua jenis wisata yang akan dikembangkan pada kurun waktu tertentu sekaligus dipenuhi segenap kebutuhan dalam melakukan kegiatan wisata.
Jumlah pengunjung atau wisatawan yang dapat ditampung sebagai representasi daya dukung pulau kecil bagi kegiatan wisata sangat dipengaruhi oleh kondisi eksisting yang ada, berupa luas wilayah, jumlah penduduk dan kondisi sumberdaya. Dibandingkan dengan pulau kecil lainnya pada gugus Pulau Sapeken, Pulau Paliat dan Pulau Sepanjang memiliki kondisi eksisting yang baik,ditunjukkan dengan status ketersediaan (budgets) jasa ekosistem meliputi estetika, biodiversity, budaya, ekonomi, keberlanjutan hidup, pembelajaran, rekreasi dan spiritual (Tabel 12 dan 18) masih diatas pemanfaatan yang ada. Kondisi tersebut merupakan indikator bahwasanya natural capital asset yang dimiliki Pulau Paliat dan Pulau Sepanjang masih memungkinkan untuk dimanfaatkan.
Dikaitkan dengan perencanaan kegiatan wisata, MacLeod and Cooper, (2005) menjelaskan daya dukung didasarkan atas tiga aspek yaitu : 1) daya dukung fisik, mengacu pada batasan ruang, yaitu jumlah kegiatan pada suatu
daerah dapat berlangsung melalui ketersediaan infrastruktur sebelum terjadi perubahan kualitas; 2) daya dukung sosial, mengacu pada kepadatan populasi manusia suatu daerah yang dapat berlanjut sebelum terjadi penurunan karena penuruan kenyamanan secara aktual; 3) kapasitas dukung ekonomi mengacu pada sejauh mana suatu daerah dapat menjadi berubah sebelum barang ekonomi dan jasa terpengaruh. Terkait dengan daya dukung fisik, gugus Pulau Sapeken belum dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan wisata yang menunjang bagi pengembangan kegiatan wisata seperti information centre, tour and travel operations, fasilitas keamanan umum dan transportasi akses dari dan menuju kawasan wisata yang memadai. Untuk daya dukung sosial dan ekonomi, gugus Pulau Sapeken masih memungkinkan untuk dikembangkan kegiatan wisata, berdasarkan kemampuan dalam menyediakan ruang dan sumberdaya bagi masyarakat lokal dan wisata secara berkelanjutan (Tabel 63 dan 64). Berdasarkan hal tersebut, dalam mengembangkan kegiatan ekowisata di gugus Pulau Sapeken, masih diperlukan upaya peningkatan daya dukung utamanya daya dukung fisik yang diintegrasikan bersama komponen biofisik.
Perencanaan kegiatan ekowisata memiliki perbedaan jika dilakukan pada gugus pulau (archipelagos) dan pulau (single island). Pada gugus pulau kecil, pengembangan kegiatan ekowisata harus mampu mengkolaborasikan perbedaan budaya dan kepentingan serta perbedaan tingkat perkembangan wilayah yang ada di setiap pulau kecil (Sheehan and Ritchie 2005). Mengacu pada hal tersebut, perencanaan kegiatan ekowisata di gugus Pulau Sapeken didasarkan kemampuan tiap pulau kecil dalam memenuhi sejumlah parameter tertentu sebagai penentu kesesuaian jenis wisata yang akan dikembangkan (Tabel 42 - 50) sekaligus daya dukung yang dimiliki (Tabel 63 dan 64) sebagai penanda batas ekologi.
5.3.3 Keberlanjutan Kegiatan Ekowisata di Gugus Pulau Sapeken
Ekowisata memiliki pemahaman sebagai sebagai bentuk penjalanan yang bertanggung jawab pada kawasan alami, yang pelaksanaannya bertujuan untuk perlindungan terhadap lingkungan sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES 2006). Berangkat dari dari pemahaman tersebut, Honey (2006) menjelaskan terdapat 3 hal utama dalam pelaksanaan ekowisata yaitu : 1) perlindungan dan peningkatan kualitas lingkungan; 2) menghargai keberadaan budaya lokal sekaligus memberikan manfaat nyata kepada masyarakat sekitar; dan 3) memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi
wisatawan. Pada penjelasan diatas dapat dikatakan, ekowisata merupakan social-economic-environmental complex system yang dalam perencanaannya tidak hanya fokus bagaimana mempertahankan kualitas ekosistem tetapi juga harus tetap mempertimbangkan kebutuhan masyarakat lokal dan wisatawan untuk mewujudkan kegiatan wisata yang berlanjutan.
Berdasarkan pemahaman ekowisata sebagai social economic environmental complex system, penilaian terhadap keberlanjutan kegiatan ekowisata di gugus Pulau Sapeken didasarkan atas nilai daya dukung pemanfaatan (DDP) yang mempresentasikan daya dukung ekologi / lingkungan sebagai loading capacity dan nilai agregat jejak rekam ekologi (EF) yang mempresentasikan daya dukung socio-economic sebagai supporting capacity. Nilai daya dukung pemanfaatan (DDP) dan nilai agregat jejak rekam ekologi (EF) dikomparasi untuk mendapatkan status keberlanjutan kegiatan ekowisata di gugus Pulau Sapeken. Lebih lanjut Zhao et al. (2005) menjelaskan daya dukung dan jejak rekam ekologi diukur dalam satuan yang sama sehingga dapat dibandingkan secara langsung. Status keberlanjutan didasarkan atas hasil komparasi keduanya, dimana jika nilai jejak rekam ekologi (EF) lebih kecil dari nilai daya dukung, maka kegiatan ekowisata akan berkelanjutan demikian juga sebaliknya. Adapun hasil komparasi nilai daya dukung pemanfaatan (DDP) dan nilai jejak rekam ekologi(EF)di gugus Pulau Sapeken (Tabel 67).
Tabel 67 Daya dukung pemanfaatan (orang/tahun) gugus Pulau Sapeken untuk kegiatan ekowisata
No Pulau Daya Dukung Pemanfaatan
Selam Snorkeling Pancing
1 Pagerungan Besar 5.53 x 1004 5.31 x 1004 6.77 x 1004 2 Pagerungan Kecil 1.29 x 1004 1.24 x 1004 2.44 x 1005 3 Paliat 4.83 x 1004 - 6.09 x 1004 4 Sapangkur Besar 3.98 x 1004 3.93 x 1004 3.33 x 1004 5 Sapeken 2.68 x 1003 - 9.31 x 1003 6 Saor 2.88 x 1004 1.09 x 1004 6.35 x 1004 7 Sepanjang 6.73 x 1004 1.51 x 1005 6.61 x 1004
Tabel 67 Daya dukung pemanfaatan (orang/tahun) gugus Pulau Sapeken untuk kegiatan ekowisata (lanjutan)
No Pulau Daya Dukung Pemanfaatan Total
(orang/th) Mangrove Pantai 1 Pagerungan Besar - 6.50 x 1004 2.41 x 1005 2 Pagerungan Kecil - 8.66 x 1003 2.78 x 1005 3 Paliat 1.90 x 1004 1.08 x 1003 2.99 x 1005 4 Sapangkur Besar - 6.16 x 1003 1.19 x 1005 5 Sapeken - - 1.20 x 1004 6 Saor - 1.94 x 1004 1.23 x 1005 7 Sepanjang 9.81 x 1004 3.85 x 1004 4.21 x 1005
Tabel 68 Komparasi daya dukung pemanfaatan (orang/tahun) dan rekam jejak ekologi (orang/tahun) di gugus Pulau Sapeken
No Pulau Daya Dukung
Pemanfaatan (DDP)
Rekam Jejak Ekologi (EF)
Status Keberlanjutan
1 Pagerungan Besar 2.41 x 1005 1.69 x 1004 DDK > EF berkelanjutan
2 Pagerungan Kecil 2.78 x 1005 1.24 x 1004 DDK > EF berkelanjutan
3 Paliat 2.99 x 1005 2.44 x 1005 DDK > EF berkelanjutan
4 Sapangkur Besar 1.19 x 1005 2.44 x 1002 DDK > EF berkelanjutan
5 Sapeken 1.20 x 1004 5.05 x 1001 DDK > EF berkelanjutan
6 Saor 1.23 x 1005 1.08 x 1003 DDK > EF berkelanjutan
7 Sepanjang 4.21 x 1005 2.17 x 1005 DDK > EF berkelanjutan
DDK > EF : berkelanjutan DDK < EF : tidak berkelanjutan
Hasil penilaian keberlanjutan kegiatan ekowisata di kawasan gugus Pulau Sapeken menunjukkan nilai DDK lebih besar dari nilai EF. Hal ini memiliki makna bahwa kegiatan ekowisata yang akan dilakukan di gugus Pulau Sapeken tidak akan menyebabkan penurunan kualitas ekosistem, memberikan manfaat terhadap masyarakat lokal, sekaligus mampu memberikan rasa nyaman (leisure) terhadap wisatawan.
Kegiatan wisata pulau-pulau kecil (small island tourism) merupakan kegiatan wisata yang dilakukan dengan mempertimbangkan batasan dari pulau kecil. Untuk berkelanjutan, pengembangan kegiatan wisata di pulau kecil harus mampu mempertemukan segenap kebutuhan yang ada. Lebih lanjut, harmonisasi antara kegiatan pemanfaatan dan kualitas lingkungan merupakan kondisi penting untuk diciptakan, agar terjamin keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi. Batasan dari pengembangan kegiatan ekowisata di gugus Pulau Sapeken berupa kemampuan tampung (loading capacity) maksimum dari sejumlah ekosistem yang ada. Pemanfaatan yang melebihi loading capacity maksimum, akan berdampak terhadap penurunan kualitas ekosistem dalam menyediakan sejumlah ecosystem service.
Kawasan gugus Pulau Sapeken memiliki sejumlah ekosistem yang memiliki kelayakan untuk dikembangkan untuk kegiatan ekowisata untuk beberapa jenis wisata (Tabel 42 – 50). Untuk sustainable tourism development dapat tercapai, aplikasi penilaian terhadap batas kritis pemanfaatan maksimum dibutuhkan agar dalam pelaksanaannya kegiatan ekowisiata yang akan dilakukan tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan di gugus Pulau Sapeken. Bentuk nyata pelaksanaan yang dapat dilakukan sebagai upaya pengelolaan melalui pengaturan atau membatasi jumlah pengunjung. Pembatasan jumlah wisatawan atau pengguna merupakan strategi pengelolaan yang paling memungkinkan
untuk dilakukan pada kegiatan ekowisata yang ada di gugus Pulau Sapeken. Selain faktor keterbatasan yang dimiliki sebagai pulau kecil, langkah yang diambil akan mengurangi tekanan atau stres terhadap sejumlah ekosistem sebagai destinasi wisata pulau kecil seperti terumbu karang, mangrove, sumberdaya ikan dan pantai. Lebih lanjut, pembatasan jumlah pengunjung akan menjadikan pelayanan terkait dengan keberadaan sarana dan prasarana yang ada di gugus Pulau Sapeken akan dapat secara optimal dimanfaatkan oleh wisatawan oleh pengunjung. Strategi pembatasan jumlah pengunjung atau wisatawan lainnya dapat dilakukan secara tidak langsung yang dapat diaplikasikan berupa pengaturan musim kunjungan, zonasi kawasan dan retribusi bagi tiap wisatawan yang berkunjung sebagai bentuk mitigasi terhadap dampak yang ditimbulkan dari keberadaan wisatawan (Manning 2007)
5.4 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Daya dukung pemanfaatan terbesar pada tiap jenis wisata secara berurutan adalah wisata pancing (4.688 orang/hari); wisata snorkeling (732 orang/hari); wisata selam (699 orang/hari); wisata pantai (380 orang); dan wisata mangrove (321 orang/hari)
2. Pemanfaatan sumberdaya bagi pengembangan wisata di gugus Pulau Sapeken tidak akan melampaui daya dukung pemanfaatan yang dimiliki (DDP > EF). Gugus Pulau Sapeken masih memiliki kemampuan dalam mendukung dan memenuhi segenap kebutuhan wisata tanpa menyebabkan penurunan kualitas ekosistem, memberikan manfaat terhadap masyarakat lokal, sekaligus mampu memberikan rasa nyaman terhadap wisatawan.