• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN PERDAGANGAN MANUSIA DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN PERDAGANGAN MANUSIA DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN

PERDAGANGAN MANUSIA DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

(Studi; Putusan Mahkamah Agung No. 2585 K/pid.Sus/2010)

Marchrison

1

, Syafridatati

1

, Nurbeti

1

1

Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta

E_mail: marchrison@yahoo.com

ABSTRACT

Human trafficking is a crime against human rights that resulted in the victim tormented psychological , mental , physical , sexual , economic and social . In some criminal cases , especially child trafficking , protection of victims issues often ignored by law officers or by the community itself . The problems discussed are: 1 ) How appliance of a criminal by a judge in an effort to provide protection to child victims of trafficking in the Supreme Court decision . 2585 K/pid.Sus/2010 ? 2 ) What form of legal protection of child victims of trafficking in the Supreme Court decision . 2585 K/pid.Sus/2010 ? . This type of research is the normative method . Data used include primary data and secondary data , the data collected by the study documents . The data were analyzed qualitatively . It can be concluded from the study : 1 ) The application of criminal given by the judge in an effort to provide protection to child victims of trafficking in the Supreme Court decision . 2585 K/pid.Sus/2010 ie , the defendant guilty of the offenses set forth in Article 88 of Law no. 23 of 2002 on Child Protection , 2 ) The form of legal protection of the child in the decision merely explained the penalty imposed on the defendant is sentenced to imprisonment and fines.

Keywords : Protection , Legal , Children , Trafficking Pendahuluan

Perdagangan manusia adalah kejahatan terhadap hak asasi manusia yang mengakibatkan korban tersiksa secara psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi dan sosial. Para pelaku perdagangan manusia menipu, mengancam, mengintimidasi, dan melakukan tindakan kekerasan untuk menjerumuskan korban kedalam pekerjaan mirip perbudakan, atau

kedalam portitusi. Tindak pidana perdagangan manusia yang merupakan kejahatan lintas Negara atau kejahatan transnasional sudah menjadi keprihatinan global Negara-negara di dunia. Khusus untuk Indonesia agar dapat menjerat pelaku tindak pidana trafiking, Indonesia sudah mempunyai Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Akan tetapi, disayangkan sekali terkadang

(2)

2 aparat penegak hukum justru menjadi

mitra bagi pelaku perdagangan manusia, misalnya kerjasama dengan PJTKI (Pencari Jasa Tenaga Kerja Indonesia)

Dalam beberapa kasus tindak pidana perdagangan anak khususnya, masalah perlindungan terhadap korban sering kali diabaikan oleh aparat -aparat hukum maupun oleh masyarakat itu sendiri. Padahal perlindungan korban perdagangan orang sangatlah penting agar tidak terjadi perdagangan orang dengan korban yang sama. Aparat hukum dan masyarakat seharusnya memperhatikan korban perdagangan orang sejak dari proses pra peradilan sampai selesai proses peradilan. Beberapa contoh pengabaian perlindungan korban dapat kita lihat pada kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2585 K/Pid.Sus/2010, atas nama terdakwa Enik Yulianta Alias Riza Binti Sunarsim dengan korban bernama Maria Yonata alias Lia. Dalam hasil putusan tersebut hanya menjelaskan mengenai hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa dan tidak ada pembahasan mengenai hak mendapatkan perlindungan hukum bagi korban, dimana dalam kasus ini korban masih anak-anak karena masih berusia 17 (tujuh belas) tahun.

Berdasarkan isu hukum diatas, maka penulis mengadakan penelitian dengan mengakat judul tentang

“Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Perdagangan Manusia Dalam Hukum Pidana Indonesia (Studi; Putusan Makamah Angung No. 2585 K/Pid.Sus/2010)”

Metodologi

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka

Sumber Data dalam skripsi ini adalah sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan dari berbagai sumber bahan hukum yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat mencangkup perundangan-undangan yang berlaku yang ada hubungannya dengan permasalahan dalam Putusan Makamah Agung No. 2585 PK/pid.Sus/2010 ini adalah

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

(3)

3 primer seperti hasil-hasil penelitian, hasil

karya dari kalangan hukum dan seminar yang berhubungan dengan yang diteliti. c. Bahan Hukum Tersier

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.

Teknik pengumpulan data menggunakan bahan hukum yang penulis gunakan dalam penelitian adalah studi dokumen adalah mempelajari bahan-bahan kepustakaan atau data tertulis terutama yang berkaitan dengan masalah yang di bahas dalam skripsi, dan literatur-literatur yang berkaitan permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

. Seluruh bahan hukum yang didapatkan dan diolah secara analisis yang bersifat kualitatif, yaitu dengan mengelompokkan bahan hukum menurut aspek–aspek yang diteliti atau tanpa menggunakan angka–angka. Analisis ini dilakukan dengan memaparkan bahan hukum dalam bentuk kalimat untuk menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Khusus untuk pelaku tindak pidana perdagangan manusia penerapan pidana yang dipakai untuk menjerat pelaku masih berbeda-beda. Ada yang langsung memakai UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ada pula yang menggunakan UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Analisis penulis terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 2585 K/Pid.Sus/2010 adalah sebagai berikut:

Melihat dari putusan Mahkamah agung No. 2585 K/Pid.Sus/2010, penerapan hukum yang dijadikan Hakim sebagai dasar putusan bagi terdakwa Enik Yulianta Alias Riza Binti Sunarsim, mengacu pada hukum pidana materil Indonesia, yaitu Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi

Dakwaan yang digunakan Jaksa Penuntut umum dalam perkara ini bersifat Alternatif, dimana dalam hali ini dakwaan kesatu; menyatakan terdakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang yang

(4)

4 diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 21

Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan dakwaan kedua; terdakwa diancam pidana dalam Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Meskipun Tuntutan Jaksa Penuntut Umum agar terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) UU PTPPO dengan perincian hukuman; penjara selama 4 tahun dipotong selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan, denda sebesar Rp. 120.000.000 (seratus dua puluh juta).

Tetapi pada putusan Pengadilan Negeri Surabaya, Hakim mengarah dan memutus perkara berdasarkan dakwaan kedua, yaitu terdakwa Enik Yulianta dinyatakan terbukti secara sah telah “Mengesksploitasi Ekonomi dan Seksualitas Anak” sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU No. 23 tentang Perlindungan Anak, dengan hukuman; penjara selama 2 tahun 3 bulan, denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka denda tersebut diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan, Selain itu terdakwa Enik

Yulianta dibebankan membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah). Terhadap putusan PN Surabaya kemudian JPU menyatakan banding, dengan dasar pertimbangan, bahwa majelis hakim telah memutus dan menghukum terdakwa sangat ringan diibanding dengan tuntutan JPU yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa Enik Yulianta telah memenuhi unsure tindak pidana perdagangan orang yang mana atas perbuatan tersebut sudah ada Undang-undang yang mengaturnya sendiri yaitu UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO.

Meskipun JPU telah melakukan upaya banding, namun Pengadilan Tinggi Surabaya tetap menolak banding tersebut, bahkan menguatkan putusan PN Surabaya, sehingga JPU mengajukan Kasasi. Terhadap pengajuan Kasasi terebut, Mahkamah Agung juga menolaknya dan menyatakan PN Surabaya dan Pengadilan Tinggi Surbaya tidak salah dalam menerapkan hukum dan telah memberi pertimbangan yang cukup benar.

Menurut hemat penulis, dalam proses peradilan kasus diatas dikaji menurut hukum pidana formal;

(5)

5 1. Dakwaan dari JPU dianggap sudah

tepat mengacu pada UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

2. Penerapan pidana yang diputuskan oleh hakim kepada terdakwa Enik Yulianta adalah UU Perlindungan Anak, yaitu menerapkan hukuman/sanksi pidana penjara dan pidana denda. Hal ini menimbulkan efek jera bagi pelaku

3. Dalam dakwaan dan putusan terhadap kasus diatas, pidana denda sebanyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) seolah-olah dapat diganti dengan kurungan selama 3 (tiga) bulan. Apabila pengenaan sanksi tersebut dapat diganti dengan kurungan, dikhawatirkan tidak akan menimbulkan efek jera kepada pelaku dan masyarakat umum. Justru pengenaan sanksi yang berat bagi pelaku, baik pidana penjara dan/atau pidana denda harusnya dikenakan pidana maksimal, mengingat perbuatan terdakwa adalah merupakan tindak pidana pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya harkat dan martabat anak.

Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan manusia adalah melindungi hak setiap orang yang menjadi korban kejahatan perdagangan manusia untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan Undang-Undang, oleh karena itu untuk setiap pelanggaran hukum yang telah terjadi atas korban serta dampak yang diderita oleh korban, maka korban tersebut berhak untuk mendapat bantuan dan perlindungan yang diperlukan sesuai dengan asas hukum.

Bentuk perlindungan terhadap korban dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban secara jelas menyebutkan;

a) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya

b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c) memberikan keterangan tanpa tekanan

d) mendapat penerjemah

(6)

6 f) mendapatkan informasi mengenai

perkembangan kasus

g) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan

h) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan

i) mendapat identitas baru

j) mendapatkan tempat kediaman baru k) memperoleh penggantian biaya

transportasi sesuai dengan kebutuhan l) mendapat nasihat hukum; dan/atau m) memperoleh bantuan biaya hidup

sementara sampai Batas waktu perlindungan berakhir.

Korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immaterial maupun materil, korban ditempatkan sebagiai alat bukti yang memberi keterangan, yaitu hanya sebagai saksi, sehingga kecil kemungkinan untuk memperoleh keleluasaan untuk memperjuangkan haknya, belum lagi adanya tekanan-tekanan atau ancam-ancaman dari pihak-pihak tertententu dan trauma atau ketakutan serta perasaan yang tidak aman Merujuk kepada putusan Mahkamah Agung No. 2585 K/Pid.Sus/2010, yang memeriksa perkara

pidana dengan terdakwa Enik Yulianta alias Riza Binti Suanrsim dengan korban yang bernama Maria Yonata. Dalam hasil putusan tersebut menjelaskan mengenai hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa sebagai bentuk perlindungan hukum bagi korban, berikut hukuman yang diberikan pada terdakwa ;

1) Pidana penjara selama 2 (dua) tahun 3 (tiga) bulan;

2) Denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka dignti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;

3) Menetapkan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4) Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan;

5) Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah)

Berdasarkan hukuman di atas yang diberikan oleh hakim pada terdakwa, memang merupakan akibat dari perbuatan terdakwa sendiri yang melakukan tindak pidana mengeksploitasi ekonomi dan seksualitas anak, tetapi dalam putusan itu hanya menjelaskan

(7)

7 hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa.

Meskipun ada upaya hukum yang dilakukan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum hingga tingkat Kasasi tetapi upaya tersebut sia-sia karena Mahkamah Agung memutuskan menguatkan putusan PN Surabaya dan menolak Kasasi yang telah diajukan dari JPU. Hukuman yang diberikan kepada terdakwa terlalu ringan, tidak ada hal yang menerangkan tentang perlindungan hukum terhadap korban yang masih anak-anak karena berusia 17 (tujuh belas) tahun, dan perlindungan terhadap korban setelah selesai proses peradilan.

Perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban perdagangan orang diperoleh sejak proses pra peradilan, jalannya persidangan, maupun setelah selesainya persidangan. Perlindungan hukum ini diberikan agar korban merasa tenang dan aman tanpa takut akan menjadi korban lagi.

Bentuk perlindungan yang diberikan kepada korban, yaitu sebagai berikut;

1. Pemberian Restitusi dan Kompensasi Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. Restitusi

merupakan ganti kerugaian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis, psikologis, dan kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.

Selain restitusi, kompensasi bentuk lain perlindungan korban tindak pidana sebagai ganti kerugian oleh Negara, yaitu suatu pembayaran pelayanan kesejahteraan, karena Negara bertanggung jawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi masyarakatnya.

2. Layanan Konseling dan Pelayanan/Bantuan Medis

Akibat yang bersifat psikis lebih lama untuk memulihkan dari pada akibat yang bersifat fisik. Pengaruh akibat tindak pidana perdagangan orang dapat berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Untuk sebagian korban pengaruh akibat itu tidak sampai mencapai situasi yang stabil dimana ingatan akan kejadian dapat diterima dengan satu cara atau cara lain. Bagi sejumlah korban pengaruh akibat itu tidak mendapat jalan keluar yang baik seperti

(8)

8 tenggelam dalam penderitaan yang

disebut psikotrauma. Oleh karena itu, diperlukan pendampingaatau konseling untuk membantu korban dalam rangka memulihkan kondisi psikologisnya seperti semula. Prinsip-prinsip dalam mendampingi korban harus benar-benar dikuasai.

3. Bantuan Hukum

Ketika korban memutuskan untuk menyelesaikan kasusnya melalui jalur hukum, maka Negara wajib memfasilitasinya. Negara dalam hal ini mewakili korban untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana.

4. Pemberian Informasi

Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami korban.

Perlindungan hukum bagi korban perdagangan orang harus sesuai dengan apa yang dimaksud dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan korban juga berhak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya

Ketentuan mengenai perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang -Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sesuai dengan pasal 43. Adapun Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur perlindungan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban. Selain itu undang-undang ini juga memberikan perhatian terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban dan mengatur juga rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan

serta reintegrasi yang harus dilakukan negara khususnya bagi korban yang mengalami penderitaan fisik, psikis dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang.

Hak-hak korban tindak pidana perdagangan orang yang diatur dalam Undang-Undang No.21 tahun 2007

(9)

9 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang adalah sebagai berikut;

a. Hak kerahasiaan identitas korban tindak pidana perdagangan orang dan keluarganya sampai derajat kedua (Pasal 44).

b. Hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya (Pasal 47). c. Hak untuk mendapat restitusi (Pasal

48).

d. Hak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah (Pasal 51).

e. Indonesia atas biaya negara (Pasal 54). f. Layanan Konseling dan

Pelayanan/Bantuan Medis

Simpulan

Berdasarkan dari uraian yang telah penulis buat dalam Bab terdahulu, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut :

1. Penerapan Pidana Oleh Hakim Dalam Usaha Memberikan Perlindungan Terhadap Anak Korban Perdagangan Manusia Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2585 K/Pid.Sus/2010. Dakwaan jaksa penuntut umum

bersifat alternative. Antara tuntutan JPU dengan putusan Hakim terdapat tidak kesesuaian karena tuntutan dari JPU menjerat terdakwa dengan UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO sementara itu putusan hakim dianggap sudah tepat karena hakim memutus perkara dengan dakwaan kedua; subsidair menyatakan terdakwa melakukan tindak pidana yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan hukuman penjara selama 2 (dua) tahun 3(tiga) bulan, denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Upaya hukum telah dilakukan sampai ke tingkat kasasi, tetapi tidak ada perubahan dalam putusan terdahulu.

2. Bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban perdagangan manusia Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2585 K/Pid.Sus/2010. Berdasarkan putusan tersebut tidak dijelaskan bagaimana bentuk perlindugan untuk anak, hanya menjelaskan hukuman kepada

(10)

10 restitusi/kompensasi, layanan

konseling/bantuan medis, bantuan hukum, dan pemberian informasi.

Daftar Pustaka

Andi Hamzah, 1986, Perlindungan

Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, Binacipta,

Bandung..

Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika,

Jakarta.

Barda Nawawi Arief. 2002. Bunga

Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung

1998. Beberapa Aspek

kebijakan Penegakan dan

Pengembangan Hukum

Pidana. Cipta Aditya Bakti. Bandung.

Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004,

Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam,

Grhadhika Press, Jakarta Darwan Prinst. Hukum Perlindungan

Anak di Indonesia.

Cet.ke-1 Bandung: Citra Aditya Bakti. 2003.

Emei Dwinanarhati Setiamandani. 2012. Tindak pidana

perdagangan orang

ditinjau dari perspektif

kriminologi. Universitas Muhammadiyah Malang. Farhana , 2010, Aspek Perdagangan

Orang Di Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta.

Henny Nuraeny, 2001, Tindak Pidana

Perdagangan Orang, Sinar

Grafika, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum

Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo

Persada, Jakarta

.,1990, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali

Press, Jakarta.

Taufik Umar Lubis. 2009.

Perlindungan Hukum

Terhadap Anak Sebagai Korban Trafiking Ditinjau Dari Hukum Indonesia. Jakarta

Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana

Perdagangan Orang.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang N0. 30 Tahun 1999

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan putusan tersebut, maka dalam penegakan hukumnya Undang- Undang Perlindungan Anak yang menjadi acuan dasar di dalam pengenaan sanksi atau hukuman kepada pelaku tindak

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT UNDANG-UNDANG. NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK

Bentuk Perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap Korban Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15A. Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di dalamnya

Analisa Yuridis Normatif Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah hasil karya saya, dan dalam naskah Tugas

Pengaturan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Peraturan

Pengaturan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Peraturan

Begitu juga dengan UU Perlindungan Anak yang hanya merujuk kepada KUHP, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disebut