• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYIAPAN SAPI PENGGANTI (REPLACEMENT STOCK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYIAPAN SAPI PENGGANTI (REPLACEMENT STOCK)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENYIAPAN SAPI PENGGANTI (REPLACEMENT STOCK)

1.

Pentingnya Menyiapkan Replacement Stock

Kelanjutan suatu usaha ternak sapi perah sangat tergantung kepada keberhasilan pemeliharaan pedet (calves) dan sapi dara (heifers) sebagai replacement stocks (ternak-ternak atau sapi-sapi pengganti). Sapi-sapi pengganti diperlukan untuk mempertahankan atau menaikkan populasi sapi yang dipelihara, dan pada gilirannya, mempertahankan atau menaikkan jumlah produksi susu. Dalam kaitan dengan upaya mempertahankan tingkat produksi susu, pedet atau sapi dara diperlukan untuk mengganti sapi-sapi yang diafkir karena tua, kegagalan atau gangguan reproduksi, gangguan ambing, mati atau karena produksi susunya rendah. Sedangkan dalam kaitan dengan pengembangan usaha, mereka diperlukan untuk menambah populasi sapi produktif dengan potensi genetik yang lebih tinggi.

Secara umum, setiap tahun sebanyak seperempat dari jumlah sapi-sapi betina dewasa dikeluarkan dari kelompoknya dan hartus diganti dengan sapi-sapi dara yang lebih baik agar, paling tidak, tingkat produksi susu yang ditargetkan dapat dipertahankan. Biasanya, tigaperempat dari sapi-sapi yang diafkir ini dikeluarkan karena alasan-lasanan selain produksi susu yang rendah.

Sesuai hukum-hukum genetika, 50% dari anak-anak sapi yang lahir dalam satu kelompok ternak berpeluang berjenis kelamin betina dan 50% lainnya adalah jantan. Dari sejak lahir hingga disapih (6 – 8 minggu pada peternakan maju; atau 3 – 4 bulan pada peternakan tradisional) sebagian dari anak sapi yang lahir tadi akan mati. Periode sebelum penyapihan anak sapi ditandai dengan angka kematian yang tinggi yaitu sekitar 5% pada peternakan maju dan mencapai 20% pada peternakan tradisionil. Selain itu, beberapa dari pedet yang berhasil mencapai umur penyapihan akan gagal mencapai tahap produksi susu akibat kegagalan reproduksi, cacat atau masalah-masalah lain. Oleh sebab itu, bila seperempat dari jumlah sapi dewasa diafkir setiap tahun maka untuk mempertahankan populasi sapi yang produktif saja dan agar peternak leluasa melakukan seleksi maka 75% dari pedet betina yang lahir dalam satu tahun harus dibesarkan sebagai replacement stocks.

Bila penyediaan sarana produksi memungkinkan, terutama pakan dan kandang, maka pada umumnya adalah lebih menguntungkan bagi peternak untuk membesarkan sendiri sapi-sapi pengganti dari pada membelinya dari peternak lain, dengan alasan :

1. Membesarkan sendiri sapi pengganti umumnya lebih murah dari pada membeli, khususnya bila dikaitkan dengan optimalisasi pemanfaatan sarana produksi yang telah ada dalam satu usaha ternak sapi perah.

2. Sapi dara yang dibesarkan sendiri biasanya lebih unggul dari pada yang dibeli dari luar terutama bila dihubungkan dengan kemampuan produksi/reproduksi dan sifat-sifat lain. Dengan memelihara pedet sendiri peternak akan lebih leluasa mengadakan seleksi dan mengetahui riwayat hidup sapi-sapi yang dipeliharanya.

3. Memperkecil kemungkinan transfer penyakit dari luar.

Faktor lain yang juga menentukan adalah kapasitas genetik. Bila sapi-sapi yang sedang dipelihara memiliki kemampuan genetik yang tinggi maka akan sulit mencari penggantinya dari luar yang dapat menyamai, apalagi melebihi, kemampuannya. Sebaliknya, bila kemampuan genetiknya rendah, maka akan lebih menguntungkan membeli sapi pengganti dari luar yang keunggulan komparatifnya diketahui. Bagi peternak sapi perah yang berlokasi di sekitar atau pinggiran kota-kota besar, pilihan biasanya tak lain daripada membeli sapi-sapi pengganti dari luar, terutama akibat ketebatasan lahan baik untuk lokasi kandang maupun untuk penyediaan pakan. Mereka biasanya menjual pedet lepas sapi dan membeli sapi dara pengganti dari pasar atau peternak lain.

2.

Menangani Sapi yang mau Melahirkan 2.a. Pemeriksaan Kebuntingan

Pemeriksaan kebuntingan secara rutin penting dilakukan untuk menentukan sedini mungkin sapi-sapi yang tidak berhasil bunting setelah dikawinkan/ diinseminasi. Bila hingga lebih dari 90 hari setelah melahirkan seekor sapi betina belum bunting maka dia tidak akan mampu beranak sekali dalam 12 – 13 bulan. Pada hal untuk mencapai produksi maksimum maka secara rata-rata setiap induk sapi harus mampu menghasilkan anak sekali 12 – 13 bulan (calving interval ideal). Bila target ini tidak tercapai maka biaya pemeliharaan induk akan membengkak dan total produksi susunya lebih rendah dari yang diharapkan.

Untuk menentukan bunting tidaknya seekor sapi betina, ada beberapa metoda yang bisa digunakan yaitu :

a. Palvasi Rektal. Palvasi rektal artinya adalah perabaan melalui rektum. Untuk memeriksa

kebuntingan pada seekor sapi perah maka mula-mula tangan dibungkus dengan sarung plastik atau karet bersih lalu dimasukkan ke dalam rektum untuk memeriksa apakah saluran reproduksi (uterus) sudah berisi foetus atau belum. Karena hingga hari ke-30 sejak fertilisasi ukuran embrio baru mencapai panjang sekitar setengah inci (1.25 cm) maka masih sulit merasakan kehadirannya pada periode ini. Oleh karenanya yang dapat dirasakan pada palvasi dini adalah perkembangan jaringan dan cairan pembungkus embrio dalam uterus. Dengan meraba melalui dinding rektum, pemeriksa akan dapat membandingkan ukuran tanduk uterus (uterin horns). Tanduk uterus yang berisi fetus ukurannya akan lebih besar dan pada minggu ke-6 sudah dapat dirasakan kehadiran membran plasenta yang membungkus suatu kantong berisi cairan. Agar tidak terkecoh, pemeriksa harus dapat membedakan uterus yang membesar dari sebuah pyometra (pembengkakan uterus akibat akumulasi cairan sejenis nanah atau pus) atau pembesaran uterus oleh sebab kegagalannya kembali ke ukuran normal akibat kebuntingan sebelumnya. Karena alasan ini pulalah maka pemeriksanaan kebuntingan dengan metoda ini memerlukan pengalaman. Sebagian besar ahli veteriner baru merasa yakin melakukan pemeriksaan dengan metode ini paling tidak 5 minggu sejak perkawinan/inseminasi; bahkan sebagian lebih suka menunggu hingga hari ke-60 agar hasilnya lebih akurat. Pada pemeriksaan saat minggu ke-8 fetus sudah dapat diraba.

(2)

Keuntungan pemeriksaan secara palvasi rektal ini adalah akurasinya yang relatif tinggi walau dilakukan pada minggu ke-7, atau bahkan minggu ke-5, dan tahap kebuntingan (perkembangan fetus) dapat diketahui. Resiko bagi sapi relatif kecil asalkan dilakukan dengan tepat dan hati-hati; resiko aborsi hanya akan terjadi bila fetus muda (umur 8 – 10 minggu) digenggam dan diremas, hal mana jarang terjadi kecuali disengaja.

b. Bumping the Calf. Metoda ini dikaukan dengan mengepalkan telapak tangan lalu ditekan

secara pelan sambil digerakkan perlahan-lahan untuk meraba gumpalan padat yang berisi fetus. Tempat terbaik untuk meraba gumpalan berisi fetus adalah di bawah pangkal paha belakang (daerah hip). Kelemahan utama metode yang sudah tua ini adalah akurasinya tinggi hanya bila kebuntingan sudah lanjut (ukuran fetus sudah cukup besar). Pemeriksaan Tand-tanda Birahi. Cara yang paling umum digunakan untuk menentukan bunting tidaknya seekor sapi adalah memeriksa apakah sapi tersebut menunjukkan tanda-tanda birahi pada periode birahinya setelah dikawinkan/ diinseminasi. Periode birahi biasanya akan muncul setiap 18 – 24 hari setelah sapi dikawinkan. Bila seekor sapi telah bunting maka dia tidak akan menunjukkan lagi tanda-tanda birahi. Memang ada kalanya sapi yang sudah bunting masih tetap menunjukkan gejala-gejala birahi, namun kasus seperti ini tidak normal dan sangat jarang terjadi. Kelemahan metoda ini adalah keharusan peternak untuk rutin mengamati sapi melihat muncul tidaknya tanda-tanda birahi, terutama pada periode birahi normalnya.

c. Pemeriksaan Progesteron Susu. Progesteron, hormon kebuntingan, terutama dihasilkan oleh

corpus luteum. Hormon ini, berinteraksi dengan estrogen, berfungsi terutama untuk meregulasi aktivititas siklik siklus birahi dan merangsang pertumbuhan lobulus-alveolus ambing. Bila hormon ini dominan maka sapi tidak akan mengalami siklus birahi. Progesteron bersirkulasi dalam darah dan dapat terbawa ke dalam air susu. Oleh sebab itu kadar progesteron dalam air susu dapat digunakan sebagai indikator terjadi tidaknya kebuntingan. Akurasi test ini sangat baik pada sapi yang tidak bunting (yaitu kadar progesteron dalam air susunya rendah); berdasarkan pengalaman hanya 80 – 85% dari sapi-sapi yang memiliki nilai progesteron tinggi yang benar-benar bunting ketika diperiksa secara manual pada minggu ke-8 setelah perkawinan. Karena alasan ini peternak lebih suka menjuluki uji ini sebagai indikator dari ketidakbuntingan (non-pregnancy).

d. Pemeriksaan Oestrone Sulfat Susu. Oestrone sulfat adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh

uterus sapi bunting. Hormon ini dapat terdeteksi dalam air susu sejak 105 hari umur kebuntingan hingga partus. Kelemahannya, metode ini tidak akurat pada tahap awal kebuntingan.

e. Pemeriksaan dengan Detektor Mekanis. Pada metode ini alat pemeriksa, yaitu berupa

detektor mekanis, dimasukkan ke dalam rektum. Alat akan memancarkan gelombang suara ultra (ultra sound) yang frekuensinya akan berubah setelah dipantulkan oleh permukaan benda-benda atau objek-objek bergerak seperti denyut jantung fetus atau pembuluh darah induk atau fetus. Suara ultra yang terpantul dikumpulkan kembali oleh alat yang sama dan diubah menjadi suara audio (suara yang dapat terdengar). Suara pantulan inilah yang dimonitor

menggunakan headphone (telepon kepala). Bila digunakan oleh operator berpengalaman alat ini dapat mendeteksi kebuntingan sejak minggu keenam. Bahkan ada alat yang walau diletakkan di bagian luar tubuh dapat mendeteksi gerakan jantung fetus berusia 4 – 5 bulan.

2.b. Perkiraan Tanggal Melahirkan

Agar dapat memperkirakan kapan seekor sapi akan melahirkan maka catatan tentang pelaksanaan perkawinan harus dimiliki seorang peternak. Sebagai patokan umum, sapi-sapi perah umumnya memiliki masa bunting (gestation length) selama 282 hari, dihitung sejak tanggal dikawinkan/ diinseminasi. Angka yang lebih mendekati menurut breed sapi adalah : breed Guernsey 283 hari, Brown Swiss 291 hari, dan Holstein, Jersey dan Ayrshires 297 hari. Sayangnya, angka-angka inipun tidak begitu akurat. Hanya satu dari 10 ekor induk sapi yang melahirkan sesuai dengan tanggal yang diperkirakan. Oleh sebab itu, walau catatan perkawinan bermanfaat dalam memperkirakan tanggal melahirkan namun peternak harus menyadari bahwa akurasinya terbatas.

Sapi akan menunjukkan beberapa tanda khas saat menjelang melahirkan. Mereka akan gelisah dan tidak mau diam; lebih sering mengeluarkan urin dan otot di pangkal ekornya melemas. Meningkatnya urinasi adalah normal sebagai akibat dari mulai bergeraknya fetus ke arah canal birth (rongga pinggul) sehingga kantong urin menerima tekanan tambahan. Sedangkan melemasnya otot pangkal ekor menjelang partus berguna memberi ruang yang lebih longgar bagi pembesaran rongga pinggul saat akan meloloskan fetus. Sebagian besar sapi mulai menghasilkan, bahkan mengeluarkan, air susu beberapa hari menjelang partus. Bila berada di padang penggembalaan, sapi yang mau melahirkan biasanya akan menyendiri ke suatu tempat. Hal ini dia lakukan untuk menuruti nalurinya mencari tempat tersembunyi untuk melindungi anaknya dari hewan pemangsa. Tanda-tanda akan melahirkan yang paling akhir muncul adalah timbulnya labor (rasa sakit akibat proses melahirkan) dan munculnya kaki pedet. Bila semuanya berjalan normal, setelah kedua tanda terakhir ini muncul maka kelahiran akan berlangsung dalam waktu dekat.

2.c. Perawatan Sapi Sebelum Melahirkan

Pemberian pakan yang tepat sangat penting bagi sapi yang akan melahirkan. Selama masa kering, sapi harus diberi makan sedemikian rupa agar kondisi tubuhnya baik namun tidak sampai kegemukan. Bila menjadi terlalu gemuk sapi akan rentan terhadap penyakit yang disebut fat cow syndrome (sindrom sapi kegemukan). Penyakit ini ditandai dengan timbulnya kemalasan (laziness) dan terkulainya (droopiness) sapi beberapa hari sebelum partus. Sapi yang menderita penyakit ini biasanya tidak mau makan dan cenderung memisahkan diri dari kelompoknya. Bahkan pada saat partus berlangsung dia lebih suka berbaring dan pada akhirnya dia tidak mau lagi berdiri. Sapi tersebut kemudian mengalami ketosis (terjadinya akumulasi keton dalam darah), dan menjadi lebih rentan terhadap penyakit-penyakit lain. Bila seekor sapi menjalani periode kering yang panjang dan ransumnya banyak mengandung silase atau jagung maka peluangnya mengalami sindrom kegemukan meningkat. Untuk menghindari penyakit ini maka selama masa kering pemberian hay agar diperbanyak sedang pemberian jagung dikurangi.

(3)

Sapi harus diberi masa kering selama 50 – 60 hari, selama mana dia tidak diperah. Sapi yang tidak menjalani masa kering yang cukup akan menunjukkan penurunan produksi susu pada periode laktasi berikutnya. Masa kering memberi kesempatan bagi sapi istrahat guna mempersiapkan tubuhnya menghadapi laktasi berikut.

Beberapa saat sebelum melahirkan, sebagian besar peternak mulai memberikan butiran kepada sapi, tanpa mempersoalkan jenis pakan utama yang diberikan. Sejumlah kecil bahan pakan butiran diberikan kepada sapi selama 2 – 3 minggu menjelang melahirkan. Jumlahnya dinaikkan secara bertahap hingga sapi mengkonsumsi butiran sebanyak 10 – 15 pon/ekor/hari. Metode pemberian pakan sepereti ini dikenal sebagai metode steaming up, lead feeding atau challenge feeding. Perlu waktu sekitar tiga minggu bagi sapi yntuk menyesuaikan diri dengan ransum baru. Agar mampu memproduksi susu yang tinggi maka seekor sapi harus menerima ransum yang mengandung butir-butiran dan untuk mereka memerlukan waktu penyesuaian atau adaptasi.

Namun demikian harus diperhatikan agar seekor sapi tidak terlalu banyak mengkonsumsi butiran sebelum melahirkan karena dapat menaikkan kemungkinan timbulnya penyakit seperti displaced omasum dan udder edema (pembengkakan ambing). Oleh sebab itu jumlah pemberian butiran harus dibatasi maksimum 10 – 15 pon/ekor/hari. Sangat penting diperhatikan agar ransum sapi yang sedang bunting dicek kandungan mineral dan vitaminnya. Pertumbuhan dan perkembangan fetus sangat membutuhkan kedua kelompok zat gizi ini. Sehubungan dengan itu adalah tindakan yang tepat untuk mengecek secara rutin kandungan kalsium dan fosfor ransum sapi terutama bila ada masalah penyakit demam susu (milk fever). Demam susu terjadi akibat kekurangan atau ketidakseimbangan kalsium dan atau fosfor. Sapi perah biasanya membutuhkan 2 atau 3 bagian kalsium untuk setiap satu bagian fosfor. Ransum bagi sapi-sapi yang akan melahirkan tidak boleh dikurangi agar mereka tidak sampai mengalami keterbatasan suplai energi. Untuk mengatasi tekanan partus dan untuk memulai produksi susu, tubuh sapi memerlukan banyak energi dan air.

Sebagian sapi mengalami pembengkakan ambing beberapa saat sebelum melahirkan. Diduga hal ini disebabkan oleh akumulasi cairan ekstra di bawah kulit dan oleh perubahan pada pembuluh-pembuluh darah kecil ambing. Untuk mengatasinya, pemerahan sebelum partus tidak dianjurkan. Pada kasus yang ringan, pembengkakan ini akan hilang dengan sendirinya. Namun untuk kasus yang cukup parah maka perlu diberi bantuan yaitu berupa exercise, pengolesan obat gosok ringan dan pijatan lembut untuk merangsang sirkulasi cairan dan mengurangi pembengkakan. Bila sangat parah maka sebaiknya meminta bantuan ahli veteriner.

2.d. Menyiapkan Kandang Beranak (Maternity Area)

Partus atau atau melahirkan adalah saat yang sangat kritis bagi seekor induk sapi. Proses partus yang berjalan lancar akan menjamin terwujudnya laktasi yang sukses dan menguntungkan. Oleh sebab itu adalah penting menyediakan fasilitas yang memenuhi syarat bagi sapi yang akan melahirkan. Idealnya setiap ekor induk harus berada dalam kandang beranak individual dengan ukuran yang cukup besar agar sapi leluasa bergerak dan juga tersedia ruang bagi orang atau

orang-orang yang akan memberi bantuan apabila diperlukan. Biasanya, induk sapi dibiarkan mengasuh anak yang baru dilahirkannya paling tidak selama 24 jam pertama agar konsumsi kolostrum olehnya benar-benar cukup. Pada masa 24 jam pertama ini juga sapi perlu mendapat pemeriksaan demam susu, mastitis dan kemungkinan komplikasi paskapartus.

Dalam merencanakan atau menyiapkan kandang beranak, peternak harus mempertimbangkan kondisi lingkungan di mana anak sapi lahir. Sebelum manusia mendomestikasi sapi, mereka biasanya akan melahirkan di padang pastura. Sinar matahari dan air hujan akan menjaga rerumputan di tempat ini tetap bersih. Kalaupun didiami oleh banyak sapi, dan juga oleh berbagai hewan lainnya, namun karena mereka menyebar di seluruh areal padang maka perkembangan bibit penyakit relatif sedikit. Selain itu, areal pastura juga memiliki ventilasi yang baik. Kondisi seperti ini sangat ideal untuk tempat melahirkan dan merawat pedet. Hanya saja tidak mungkin bagi semua usaha ternak perah memperoleh lokasi seperti itu dan sebagai penggantinya harus disiapkan kandang beranak khusus. Kandang beranak yang memenuhi syarat ideal adalah sebagai berikut :

Berupa pen (kandang sekat) bukan stall (kandang bersekat-sekat). Di dalam kandang beranak sapi harus dapat bergerak bebas namun harus cukup sempit agar mudah diamati dan ditangani. Memiliki ventilasi yang baik untuk mengurangi kelembaban dan perkembangan bibit penyakit. Didesinfeksi secara reguler untuk mengontrol bibit penyakit.

Bersih dan kering. Agar kebersihan dan kekeringannya lebih mudah dikontrol maka lantai kandang diberi alas (bedding) dari jerami, serutan kayu atau bahan lainnya yang mudah menyerap kelembaban.

Untuk lebih menjamin kesetrilan kandang, sebaiknya digunakan desinfektan. Berbagai jenis bahan desinfektan dengan mudah dapat diperoleh di pasaran. Karena desinfektan akan kehilangan efektivitasnya oleh kehadiran kotoran tenak atau bahan organik lainnya maka sebelim didesinfeksi kandang harus dicuci bersih terlebih dahulu. Kandang yang tidak bersih akan didiami oleh berbagai jenis mikroorganisme seperti Escherchia coli. Karena sistim pertahanan tubuh anak sapi yang baru lahir masih lemah atau bahkan belum ada maka mereka sangat peka terhadap kontak dengan mikroorganisme.

3. Menangani Induk dan Anak Sapi Saat Persalinan

Apakah seekor induk sapi memerlukan bantuan saat mengeluarkan dan menangani anak yang baru lahir akan tergantung kepada kondisi proses persalinan (partus) itu sendiri. Bila sapi telah menunjukkan rasa sakit (labor) dan semuanya nampak berjalan normal maka tindakan terbaik adalah tidak mengganggunya. Namun bila sapi mengalami labor lebih dari dua jam maka besar kemungkinan bahwa sapi tersebut mengalami suatu bentuk kesulitan yang perlu diperiksa. Bila kesulitan tersebut dinilai tidak dapat diatasi sendiri oleh sapi bersangkutan maka peternak harus memberi bantuan atau mungkin lebih baik bila meminta bantuan ahli veteriner (mantri, paramedik atau dokter hewan). Menunda memberi atau memanggil bantuan ahli veteriner dapat meningkatkan resiko komplikasi yang lebih serius (cacat atau kematian bayi, induk atau keduanya).

(4)

Pada saat melahirkan, induk sapi akan menggunakan naluri dan kekuatan ototnya untuk mendorong bayi keluar dari dalam tubuhnya. Bila posisi bayi perlu diubah atau masalah lain muncul, ahli veteriner mungkin memerlukan peralatan dan pengobatan khusus untuk mengeluarkannya. Perlakuan medis juga sering diperlukan bagi induk sapi yang baru mengalami partus yang sulit.

3.a. Proses Persalinan

Agar dapat dengan mudah memahami mekanisme persalinan adalah penting bagi seorang peternak untuk mengetahui anatomi dasar saluran reproduksi sapi betina dan posisi bayi sapi di dalam uterus. Gambar 1 memperlihatkan skema organ-organ reproduksi sapi betina dilihat dari bagian atas tubuhnya. Pintu saluran reproduksi yang berhubungan langsung dengan dunia luar disebut vulva dan lipatan-lipatan kulit lunak yang mengitarinya disebut bibir vulva. Saluran yang mengarah ke depan dari vulva ke dalam tubuh sapi disebut vagina. Vagina berlanjut dengan cervix (leher rahim) yaitu suatu struktur tebal berserat yang berfungsi sebagai penutup bagi saluran reproduksi bagian dalam untuk mencegah masuknya benda-benda asing dan melindungi fetus selama kebuntingan. Struktur berikutnya adalah uterus (rahim, peranakan) yang membesar selama masa kebuntingan untuk menampung fetus atau bayi. Uterus pada sapi terdiri dari sebuah body (bagian tubuh) yang membagi menjadi dua horn (tanduk uterus). Pada ujung masing-masing tanduk rahim terdapat sebuah saluran kecil berkelok-kelok yaitu oviduct atau tuba fallopii (saluran telur). Saluran ini mengarah ke ovarium (indung telur) yaitu organ yang menghasilkan sel-sel telur. Gambar 2 memperlihatkan posisi bayi sapi di dalam rahim menjelang akhir masa kebuntingan. Bayi mengapung di dalam cairan yang berperan sebagai shock absorber (peredam guncangan) untuk melindungi bayi dari guncangan akibat pergerakan tubuh sapi. Cairan ini terbungkus di dalam sebuah kantong membran yang dibentuk oleh plasenta, kadang-kadang disebut afterbirth. Pada saat partus cairan plasenta berfungsi sebagai pelumas. Plasenta menempel pada uterus hanya pada beberapa titik, yang disebut cotyledons, melalui mana berlangsung pertukaran material antara pembuluh darah induk dan fetus. Induk dan bayi masing-masing memiliki suplai darah yang sepenuhnya terpisah; tidak ada aliran langsung darah dari yang satu ke yang lain. Bukannya bersatu melainkan pembuluh-pembuluh darah keduanya tumbuh bersama sangat berdekatan pada kotiledon sehingga bahan makanan dan oksigen dapat berdifusi dari aliran darah induk ke dalam plasenta, sementara urea dan sisa-sisa metabolisme lainnya mengalir dari tubuh fetus ke cairan plasenta lalu kembali ke aliran darah induk. Semua zat-zat gizi yang telah mengalir dari tubuh induk ke dalam plasenta pada kotiledon kemudian dikumpulkan oleh serangkaian pembuluh darah dan selanjutnya dibawa ke dalam tubuh fetus melalui umbilical atau tali pusar. Dari tali pusar pembuluh darah mengarah langsung ke hati fetus di mana zat-zat gizi digunakan.

Titik pertukaran plasental pada kotiledon juga berperan sebagai filter yang hanya melewatkan molekul-molekul kecil zat makanan dan produk sisa. Dalam keadaan normal, bakteri, jamur, virus berukuran besar dan beberapa jenis obat tidak masuk ke dalam tubuh fetus dan

sekiranya terjadi aborsi yang disebabkan oleh bakteri itu berarti bahwa bakteri melakukannya dengan merusak plasenta sehingga fetus menjadi kelaparan. Saringan plasental merupakan mekanisme protektif yang berguna melindungi fetus agar tidak terpapar dengan organisme infektious dan antigen lainnya yang ada dalam tubuh sapi; namun di sisi lain, fetus tidak dirangsang menghasilkan sendiri antibodi sebelum lahir. Sementara itu, karena ukuran molekulnya besar maka antibodi induk tidak dapat lewat melalui plasenta. Oleh sebab itu pedet yang baru lahir hampir sepenuhnya tidak memiliki imunitas terhadap bibit penyakit. Itulah sebabnya kenapa konsumsi kolostrum sangat vital bagi pedet yang baru lahir. Ada kalanya virus yang sangat kecil dapat menembus plasenta. Hal ini bisa menyebabkan gugurnya fetus yang sedang berkembang atau kalau bertahan hidup pedet menjadi toleran terhadap virus bersangkutan atau kalau umumrnya sudah cukup maka tubuh fetus mulai menghasilkan antibodi.

3.b. Tahapan-tahapan Proses Persalinan

Menjelang akhir masa bunting bagian perut sapi akan membesar, terutama bagian bawahnya dan volume ambingnya juga bertambah (berisi air susu) secara bertahap. Tidak ada batasan waktu yang pasti kapan perubahan-perubahan ini mulai terjadi; setiap sapi berbeda-beda waktunya. Sekresi ambing berubah dari cairan berwarna seperti madu bersih pada sapi dalam masa kering menjadi cairan yang lebih kental berwarna seperti awan. Sekitar 48 jam sebelum partus pelvis mulai merileks untuk menyediakan rongga yang lebih longgar bagi pedet untuk lewat. Selain itu, bibir vulva membengkak dan sapi menunjukkan rasa tidak nyaman yang berangsur-angsur semakin kuat. Bila sapi sudah mulai mengalami labour (rasa sakit) itu berarti bahwa proses melahirkan tidak akan lama lagi. Secara tradisional, proses partrus dibagi menjadi tiga tahap dan disebut dengan istilah three stages of labour, yaitu :

First Stage of Labour. Tahap I ini ditandai oleh membukanya serviks dan kontraksi otot-otot

uterus yang menimbulnya perasaan tidak nyaman namun sapi belum memperlihatkan ketegangan. Sering juga tahap ini ditandai oleh munculnya lendir kental berwarna buram pada mulut vulva; ini berasal dari plug (sumbat) yang menutup mulut serviks. Pada tahap ini pedet berubah posisinya dari posisi di mana kaki depannya masih terlipat menjadi posisi memanjang yang memudahkan pedet keluar; perubahan yang sama juga terjadi pada kepala/hidung.

Second Stage of Labour. Tahap ini ditandai dengan berlangsungnya proses partus itu sendiri

(tahap pengeluaran pedet). Dari pandangan luar, tahap ini ditandai dengan mulai berkontraksinya otot-otot abdominal yang menimbulkan rasa sakit pada sapi. Kontraksi otot-otot uterus mendorong pedet dan plasenta yang berisi cairan melewati serviks untuk masuk ke vagina. Atas kehadiran objek yang besar ini dinding vagina melebar, hal mana merangsang otot-otot abdominal untuk berkontraksi lebih kuat guna mendorong pedet keluar. Dalam proses yang terjadi secara repleks ini hormon oksitosin terlibat.

Setelah melewati suatu periode yang ditandai oleh rasa sakit yang sangat jelas, plasenta bagian luar pecah dan mengeluarkan isinya berupa cairan allantoik. Proses ini dikenal sebagai peristiwa pecahnya kantong allantoik (waterbag). Pada saat ini pedet masih terbungkus oleh

(5)

kantong plasenta bagian dalam (kantong amniotik) yang mengandung cairan lebih kental dan lebih kuat fungsi lubrikannya untuk memperlancar proses pengeluaran pedet. Dengan meningkatnya kekuatan dan frekuensi kontraksi, kaki pedet akan muncul pada mulut vulva dalam keadaan masih terbungkus oleh kantong plasenta bagian dalam (Gambar 3 dan 4).

Saat kaki pedet telah mencapai vagina sapi sering berbaring pada bagian sisi tubuhnya guna memperkuat kontraksi otot-otot abdominal untuk mendorong kepala pedet keluar hingga melewati pintu vulva. Setelah tahap ini selesai sapi biasanya akan istrahat beberapa menit sebelum melakukan usaha terakhir untuk mengeluarkan bagian dada dan akhirnya bagian belakang tubuh pedet. Bila kantong plasenta bagian dalam belum pecah selama proses partus ini maka gerakan pedet itu sendiri akan cukup kuat untuk memecahkan dan menyingkirkannya dari muka dan hidungnya agar dia dapat memulai bernafas. Namun bila berada di lokasi sapi melahirkan maka peternak sebaiknya juga memeriksa kedua saluran tadi (mulut dan hidung) untuk memastikannya benar-benar bersih agar pedet tidak mati akibat tercekik (kekurangan udara). Dalam waktu sangat singkat tali pusar akan terputus dari plasenta, baik akibat gerakan pedet itu sendiri ataupun karena induk berdiri. Setelah pusar terputus maka pembuluh-pembuluh darahnya, yang memiliki dinding elastis, akan menggulung ke arah pusar pedet untuk mencegah pendarahan.

Third Stage of Labour. Bersamaan dengan proses partus, secara perlahan plasenta akan

memisah dari kotiledon uterus dan Tahap III dari partus adalah pengeluaran plasenta ini. Pada kondisi normal pengeluaran plasenta ini akan terjadi dalam satu sampai enam (1 – 6) jam setelah pedet lahir dan induk sapi akan memakannya bila diberi kesempatan. Pada kondisi alamiah, beberapa bukti menyiratkan bahwa plasenta yang dimakan oleh induk bukan hanya sebagai sumber zat gizi akan tetapi juga sebagai sumber hormon yang diperlukan untuk merangsang sifat mengasuh anak (mothering) dan merangsang laktasi awal. Namun di sisi lain, walau diyakini tidak begitu berbahaya namun sebagian ahli berpendapat bahwa tindakan sapi ini dapat membuatnya memperoleh gangguan pencernaan sehingga sebaiknya dicegah. Biasanya, pedet akan berdiri dan mulai menyusu dalam waktu 30 menit setelah lahir. Bagi induk proses menyusu ini akan merangsang keluarnya hormon oksitosin yang pada gilirannya merangsang kontraksi uterus untuk mengeluarkan plasenta.

Bila plasenta belum juga keluar hingga 48 jam setelah partus maka sapi harus dibantu untuk mengeluarkannya. Hal ini sangat penting untuk mempertahankan kesehatan saluran reproduksi dan untuk mencegah infeksi. Mintalah bantuan ahli veteriner untuk melakukannya. Pengeluaran plasenta dengan bantuan harus dilakukan pada waktu yang tepat; tidak boleh terlalu cepat atau terlalu lama. Bila terlalu cepat maka pengeluarannya akan sulit karena plasenta belum sepenuhnya memisahkan diri dari uterus. Namun bila terlalu lama maka serviks sudah menutup kembali sehingga sulit memasukkan tangan ke saluran reproduksi . Ahli veteriner biasanya akan melakukan usaha membantu ini bila plasenta belum keluar 24 – 48 jam setelah partus.

Sapi yang melahirkan anak kembar umumnya lebih cenderung mengalami gangguan pengeluaran plasenta dibanding sapi yang melahirkan anak tunggal. Bagi sapi seperti ini sebaiknya diberi antibiotik intrauterin (dimasukkan ke dalam uterus) untuk mencegah infeksi.

Salah satu pertanyaan yang sering dihadapi peternak yang berkaitan dengan proses melahirkan adalah “berapa lamakah harus menunggu?”. Sayangnya tidak ada batasan waktu spesifik yang dapat digunakan sebagai ukuran yang pasti. Terutama sapi-sapi dara (baru pertama kali melahirkan) dapat menunjukkan rasa tidak nyaman 2 – 3 hari sebelum melahirkan; kondisi mana diduga disebabkan oleh pembesaran dan pengetatan ambing. Labor tahap I, yang bertujuan membuka pintu serviks, melibatkan hanya kontraksi uterus sehingga sapi belum memperlihatkan rasa sakit yang nyata. Rasa sakit yang nyata baru akan muncul pada labor Tahap II dan bila pada tahap ini dilakukan pemeriksaan vaginal akan terbukti bahwa serviks sudah terbuka. Bila pada tahap ini bayi sapi masih ditutupi oleh membran plasenta bagian dalam maka tidak perlu terburu-buru memberi bantuan. Sebagai patokan kasar dapat digunakan batasan waktu sebagai berikut :

labour tahap pertama : biarkan hingga 9 jam, labour tahap kedua : biarkan hingga 3 jam

dengan asumsi bahwa proses partus normal (tidak ada kelainan). Bila dicurigai ada kelainan maka sapi harus mendapat pemeriksaan secepatnya sehingga bantuan yang diperlukan dapat diberi pada waktu yang tepat pula.

Untuk memperoleh pengalaman, kepada setiap peternak sapi perah dianjurkan agar melakukan pemeriksaan sendiri tanpa perlu harus takut akan menimbulkan bahaya baik bagi induk sapi itu sendiri maupun bagi anak yang mau dilahirkannya, asalkan mengikuti instruksi berikut : 1. Masukkan sapi ke sebuah kurungan agar tenang; sebaiknya dengan memberdirikannya dibalik

sebuah pintu gerbang bukan dalam sebuah kerangkeng yang akan membuatnya stress. Idealnya sebuah kandang beranak dilengkapi sebuah pintu gerbang dengan posisi sedemikian rupa sehingga dapat membentuk sebuah “kurungan” bila dilipat/ditutup ke salah satu dinding kandang.

2. Mintalah seorang pembantu untuk memegang ekor sapi ke salah satu sisi tubuhnya lalu bersihkan vuilva dengan air sabun hangat; sebaiknya juga dibubuhi antiseptik sedang.

3. Bersihkan tangan dengan sabun, bungkus dengan sarung tangan steril dan olesi dengan lubrikan (pelicin). Setelah itu, secara perlahan masukkan tangan melalui mulut vulva ke dalam vagina. Pada saat memasukkan tangan ini, jari-jari tangan harus disatukan dan diarahkan ke depan dengan ibu jari berada pada posisi paling atas. Cara ini akan menimbulkan rasa nyaman paling sedikit bagi sapi.

4. Setelah berada di dalam rongga vagina, secara perlahan dorong tangan ke arah serviks. Bila mulut serviks masih ditutupi oleh suatu sumbat yang menonjol dan di bagian tengah sumbat itu ada lobang yang hanya dapat dimasuki oleh sebuah jari, berarti serviks masih tertutup penuh dan proses partus belum mulai.

5. Bila serviks sudah terbuka, tangan akan mudah dimasukkan ke dalam uterus untuk meraba kepala dan kedua kaki depan bayi walau mungkin masih dibungkus oleh membran plasenta;

(6)

kemungkinan oleh amnion. Jangan merobek membran ini. Tarik tangan ke serviks. Bila ujung serviks yang berdekatan dengan vagina dapat dengan mudah dirasakan sebagai suatu cincin atau pita tebal, berarti serviks belum sepenuhnya terbuka dan sebaiknya sapi dibiarkan beberapa saat lagi. Ada kalanya perlu menunggu hingga sapi menunjukkan rasa sakit dan mendorong bayi ke arah vagina agar mampu merasai cincin serviks yang belum sepenuhnya membuka ini.

3.c. Persalinan Normal (Normal Calving)

Posisi normal bayi sapi saat partus adalah kaki depan muncul pertama kali, dengan telapak kaki menghadap ke bawah, diikuti oleh hidung yang terselip di antara kedua kaki tersebut. Gambar 5 memperlihatkan posisi normal bayi sapi untuk kelahiran tunggal dan kembar. Bila akan melahirkan anak lahir kembar, diperlukan beberapa waktu bagi anak kedua untuk mencapai posisi normal.

Posisi atau presentasi sungsang (breech presentation), yang kadang-kadang terjadi, biasanya tidak menjadi masalah yang serius. Pada posisi sungsang, kaki belakanglah yang muncul pertama kali (Gambar 6). Bila posisi sungsang terjadi maka peternak harus membantu menarik bayi secepat mungkin setelah setengah bangian tubuh belakangnya muncul. Hal ini sangat perlu dilakukan karena sekali tali pusar telah terputus maka bayi sapi akan mencoba untuk bernafas. Bila bayi mulai bernafas ketika masih berada di dalam tubuh induk maka dia akan menghirup cairan plasenta yang dapat menimbulkan gangguan pernafasan.

3.d. Persalinan Abnormal (Abnormal Calving)

Tanda-tanda yang sering diperlihatkan oleh sapi yang mengalami kesulitan melahirkan antara lain adalah : (1) sapi menjadi gelisah; (2) sering berganti-ganti posisi antara berdiri dan berbaring; (3) menunjukkan labor lebih dari dua jam (4) posisi bayi tidak normal; dan/atau (5) sapi berusaha mengeluarkan anaknya sambil berdiri (normalnya sambil berbaring).

Ada beberapa posisi abnormal bayi saat partus. Gambar 7 memperlihatkan beberapa dari posisi tersebut berserta tindakan yang perlu diberikan untuk membantu mengatasinya. Bila memungkinkan, peternak harus berusaha mengubah posisi abnormal tersebut ke posisi normal atau setidaknya posisi sungsang. Agar posisinya dapat diubah maka kita harus berusaha meraih bayi ke dalam tubuh sapi. Saat melakukannya, tangan (lengan dan telapak tangan) harus dibersihkan terlebih dahulu dengan sabu atau harus menggunakan sarung tangan steril. Hal ini sangat perlu untuk mencegah timbulnya infeksi pada saluran reproduksi.

Adakalanya bayi sapi terlalu besar atau induk sapi terlalu kecil untuk ukuran kelhiran normal. Saat lahir, bayi harus melewati tulang pinggul (hipbone). Gambar 8 memperlihatkan sisi depan dan pintu atau lubang tulang pinggul sapi yang akan dilewati bayi saat lahir. Bila ukurannya lebih besar dari lubang tulang pinggul maka bayi akan sulit keluar. Jadi, bila kondisi ini terjadi, peternak harus membantu induk dengan menarik bayi menggunakan tali atau dengan obstetrical chains (rantai khusus untuk membantu menarik bayi). Seandainya bayi tetap tidak bisa keluar walau sudah

ditarik dengan tenaga yang cukup kuat maka bantuan ahli veteriner harus secepatnya dipanggil. Pada kondisi yang cukup parah, ahli veteriner mungkin perlu mengeluarkan bayi tersebut dengan operasi sesar (caserean section). Sekiranya bayi sudah mati saat masih berada di dalam tubuh induk, ahli veteriner mungkin akan memilih untuk memotong-motongnya dan mengeluarkannya bagian demi bagian.

Walau jarang terjadi, masih ada bentuk lain dari partus abnormal. Sebagai contoh, bila seekor induk sapi mengandung bayi yang sudah mati, maka bayi yang sudah mati tersebut akan menyedot cairan di sekitarnya dan membengkak sehingga tidak mungkin dikeluarkan secara normal. Bentuk lain adalah bayi dengan kelainan genetik seperti kaki yang kaku/tegang atau kepala yang membengkak (water heads).

Untuk memastikan apakah posisi seekor bayi sapi normal atau tidak dapat dilihat dari kaki yang pertama kali muncul. Posisi seekor bayi normal bila yang muncul pertama kali adalah kedua kaki depannya sambil menjepit kepala bagian depan (moncong) di antara keduanya. Oleh sebab itu saat kaki bayi sudah mulai muncul di mulut vulva maka perlu dipastikan apakah posisinya sudah tepat dan apakah berasal dari tubuh yang sama. Untuk mengetahuinya periksalah dengan memasukkan tangan ke arah vagina mengikuti kedua kaki tersebut sampai dapat diraba bahwa memang keduanya berasal dari tubuh yang sama; juga bahwa kepala yang diapitnya berasal dari tubuh yang sama. Setiap ada keraguan, sekecil apapun, periksalah bahwa yang muncul pertama kali adalah kedua kaki depan, bukan kaki belakang. Untuk memastikannya dapat dilakukan dengan menekukkan telapak kaki : bila kedua persendian pertama dari kaki-kaki tersebut menekuk ke arah yang sama berarti mereka adalah kaki depan. Sedangkan bila persedian pertama menekuk ke atas dan persendian kedua menekuk ke bawah berarti mereka adalah kaki belakang. Perbedaan tekukan antara kaki depan dan kaki belakang ini dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 9. Pemeriksaan arah tekukan kaki seperti ini paling penting dilakukan terutama bila kepala bayi belum dapat diamati (diraba). Penyebab utama dari keadaan di mana kedua telapak kaki yang sedang berada di vagina mengarah ke atas adalah posisi bayi yang terbalik atau posisi mundur (tubuh bagian belakang muncul pertama kali); namun sering juga terjadi posisi bayi normal (tubuh bagian depan muncul duluan) akan tetapi letak tubuh terbalik (dagu dan bagian perut mengarah ke atas). Dalam hal kaki pedet sudah muncul dan berdasarkan hasil pemeriksanaan proses pengeluarannya memerlukan bantuan, maka bantuan tersebut sebaiknya tidak dilakukan secara langsung dengan tangan melainkan menggunakan calving ropes yaitu tali khusus untuk membantu persalinan pada ternak (biasanya ternak besar). Sebuah usaha ternak besar komersil seyogyanyalah memiliki tali khusus seperti ini, yang selalu dijaga dalam keadaan steril dan disimpan di tempat yang mudah diingat dan dijangkau. Perlu diingat bahwa persalinan ternak paling sering berlangsung pada saat-saat yang tidak menyenangkan (misalnya jam-jam sibuk, tengah malam atau pagi-pagi subuh). Tidak berhasil memperoleh alat yang sangat diperlukan pada saat-saat seperti ini adalah suatu keadaan yang sangat menjengkelkan.

Calving ropes harus diikatkan di atas pergelangan kaki, seperti diperlihatkan pada Gambar 10 dan harus dipastikan bahwa kaki yang akan diikat tidak lagi dibungkus oleh membran plasenta

(7)

agar tidak ada resiko tali menggelincir saat ditarik. Bila diikatkan persis di atas kuku tali akan mudah terlepas. Setelah itu, pada ujungnya yang satu lagi ikatkan sebuah tongkat kayu kecil (panjang sekitar 30 cm dengan diameter 2 – 3 cm) agar tali mudah ditarik Masing-masing tali ditarik dengan kekuatan sedang yang stabil dan kontinu, sebaiknya satu orang menarik satu tali. Ketika sapi sedang mengejan kekuatan tarikan dinaikkan; penambahan kekuatan tarikan ini harus diberikan secara seimbang dan bersamaan (coincide) dengan kekuatan ejanan sapi. Sebelum memulai tarikan dua hal berikut harus benar-benar dicek : (1) kepala bayi datang bersamaan dengan kedua kaki depan; dan (2) tersedia ruangan yang cukup bagi kepala untuk melewati tulang pelvis. Bila kedua syarat ini tidak/belum terpenuhi maka upaya menarik bayi ini tidak boleh dilakukan dan harus dicari upaya lain, misalnya dengan operasi sesar.

Dengan sedikit tarikan kaki biasanya akan mudah melewati mulut vulva. Namun, dengan kepala biasanya akan terjadi sedikit kesulitan, terutama pada sapi dara sehingga perlu diberi bantuan berikutnya yaitu melebarkan mulut vulva. Untuk melakukannya, berdirilah di samping tubuh sapi lalu dengan kedua belah tangan kuakkan (rentangkan) mulut vulva (Gambar 11). Saat berhadapan dengan mulut vulva yang sempit, demi keselamatan bayi, jauh lebih baik membantu menguakkannya dari pada membiarkan sapi memaksakan diri mengejan berlebihan atau memberi tarikan yang sangat kuat. Selain riskan terhadap nyawa bayi, upaya yang terakhir ini juga beresiko merobek dinding vagina. Kadangkala mulut vulva tidak bisa lagi dipaksa agar makin melebar. Bila hal ini terjadi maka satu-satunya cara adalah menyayat mulut vulva dengan pisau operasi dan, bila tidak tersedia, dengan menggunakan kuku (disebut teknik episiotomy). Menyayat mulut vulva secara sengaja jauh lebih aman dibanding membiarkannya robek sendiri oleh desakan tubuh bayi. Bila mulut vulva dibiarkan robek sendiri maka resiko pecahnya pembuluh-pembuluh darah akan jauh lebih besar, hal mana dapat menyebabkan pendarahan hebat. Selain itu sayatan yang disengaja jauh lebih mudah dijahit dibanding robekan tak beraturan.

Pada setiap tahap persalinan lubrikasi yang cukup sangat vital dan jauh lebih vital lagi vila mulut vulva terlalu sempit untuk melewatkan bayi. Bila terjadi kekeringan maka friksi (gesekan) antara kulit bayi dengan dinding vagina dapat dengan mudah menyebabkan robekan dan pendarahan hebat. Berbagai jenis lubrikan tersedia secara komersil, antara lain yang paling populer adalah vaselin. Namun bila sediaan komersil tidak tersedia, serpihan sabun cucipun tidak kalah manjurnya. Lemak babi (lard) juga dapat digunakan. Untuk mengaplikasikan pelicin pilih waktu yang tepat yaitu saat sapi tidak sedang mengejan. Kendurkan calving ropes, ambil segenggam sabun dan rendam sebentar dalam air lalu masukkan ke dalam vagina. Yang paling penting mendapat bahan pelicin yang cukup adalah bagian atas kepala bayi, namun bila dirasa perlu semua bagian kepala dan bahu juga dapat diberi. Banyak peternak yang mengalami kerugian hanya karena lalai membei bahan pelicin ini secara cukup.

Sering terjadi, seekor induk sapi tidak mampu untuk berdiri setelah melahirkan. Bila proses kelahiran berlangsung sulit maka saraf yang mengontrol kaki depan sapi bisa mengalami luka. Saraf ini berada di dalam pelvis (pinggul) dekat lobang partus (canal birth). Bila memungkinkan peternak harus berusaha membujuk dan membantu sapi yang baru siap melahirkan untuk berdiri. Bila sapi

tetap tidak mau dan/atau mampu melakukannya maka secepatnyalah meminta bantuan ahli veteriner.

3.c. Penanganan Anak Sapi yang Baru Lahir (Baby Calf)

Segera setelah dilahirkan, induk akan menjilati tubuh pedet untuk membersihkan lendir, merangsang peredaran darah dan pernafasan pedet. Sedapat mungkin biarkan induk yang melakukan pekerjaan membersihkan lendir ini agar dia berkesempatan mengenali anaknya. Namun bila induk tidak melakukannya, mungkin karena masih lelah, sifat mengasuhnya kurang baik atau belum berpengalaman maka peternak harus mengambil alih tugas tersebut. Pertama-tama yang harus segera dibersihkan adalah lendir pada lobang hidung dan mulut agar pedet dapat bernafas dengan lancar.

Ada kalanya pedet yang baru lahir tidak segera bernafas. Untuk itu perlu diberi bantuan dengan menelentangkan pedet dengan kaki menghadap ke atas. Kedua kaki depan dipegang dan digerakkan ke atas dan ke bawah berkali-kali sampai tanda-tanda pernafasan kelihatan. Cara lain adalah dengan memberikan sebuah tepukan keras di sekitar dada pedet untuk merangsang refleks pernafasan.

Setelah pernafasan lancar dan lendir penutup tubuh dibersihkan, langkah berikutnya adalah memotong tali pusar. Mula-mula tali pusar diikat dengan benang bersih kira-kira 2.5 cm dari permukaan kulit lalu dipotong sekitar satu cm di bawah ikatan tadi. Untuk mencegah infeksi, bekas pemotongan diolesi dengan jodium tintur. Pemotongan tali pusar yang ditangani dengan tidak tepat dapat menyebabkan Navel ill (infeksi pusar) dan gangguan pencernaan. Navel ill ditandai dengan pembengkakan pada bagian perut dan pada persendian kaki. Penyakit ini sangat sulit disembuhkan. Biasanya tali pusar akan mengering dalam satu atau dua hari.

Setelah semua hal di atas dilakukan, kandang beranak dibersihkan dari alas yang sudah kotor saat persalinan dan diganti dengan yang baru. Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin tersedianya kandang yang bersih, empuk dan hangat bagi pedet. Dalam cuaca dingin, pemberian selimut atau lampu pemanas sangat membantu.

Anak sapi yang sehat biasanya akan dapat berdiri 30 menit setelah lahir dan mulai menyusu dalam waktu satu jam. Sebelum disusui oleh pedet, ambing harus dibersihkan terlebih dahulu dengan air atau kain lap yang hangat dan bila mungkin dibilas dengan air khlor lalu dibilas lagi dengan air hangat bersih. Tindakan ini dapat mencegah mastitis di kemudian hari. Jangan biarkan seekor pedet menyusu kepada induk yang menderita penyakit mastitis. Air susu dari sapi yang menderita mastitis mengandung banyak bakteri. Bila air susu yang mengandung banyak bakteri ini terminum oleh pedet maka dapat terjadi gangguan pencernaan

Pedet yang belum menyusu dalam batas waktu satu jam perlu dibantu/dipaksa dengan membawanya ke ambing induk. Selain menjamin agar pedet meneima kolostrum sesegera mungkin setelah lahir, tindakan ini juga diperlukan untuk merangsang produksi dan pengeluaran air susu oleh ambing.

(8)

4. Pemberian Kolostrum

Pada saat baru lahir tubuh pedet sangat sedikit atau hampir tidak mempunyai imunitas atau antibodi terhadap penyakit atau infeksi. Sewaktu baru lahir tubuh pedet diperkirakan paling banyak hanya mengandung 7 - 10% dari total antibodi yang dibutuhkan untuk mempertahankan kesehatannya. Baru setelah berumur beberapa minggu tubuh seekor pedet mampu menghasilkan sendiri zat antibodi ini. Hingga kondisi ini tercapai maka pedet harus menerima imunitas pasif yaitu dengan menyerap imunoglobulin dari kolostrum. Agar sistim pertahanan tubuhnya memadai, seekor pedet yang baru lahir harus menerima kolostrum paling tidak 4 pon (sekitar 2 kg) dalam waktu 4 jam setelah lahir.

Kolostrum atau first milk didefenisikan sebagai susu yang dihasilkan oleh ambing selama 3 – 4 hari pertama setelah partus. Susu pertama ini – warnanya kuning - memiliki dua sifat yang sangat penting yaitu kandungan antibodi dan nilai gizi yang tinggi. Pada Tabel 1 disajikan perbandingan nilai gizi kolostrum dengan air susu, sedangkan Tabel 2 memperbandingkan komposisi kimia kolostrum berdasarkan jumlah kali pemerahan pada sapi

Tabel 1. Perbandingan Nilai Gizi Kolostrum dan Air Susu pada Sapi (Berdasarkan Berat Segar).

No Zat Gizi Kolostrum Air susu

1. Total bahan kering (%) 25 12,6

2. Lemak (%) 5,1 3,8

3. Bahan Ekstrak Tanpa N (BETN) (%) 19,6 8,8

4. Protein (%) 16,4 3,2

5. Laktosa (%) 2,2 4,7

6. Imunoglobulin (antibodi) (g/kg) 60 0,9 7. Vitamin A (mikrogram/g lemak) 45 8 8. Vitamin D (mikrogram/g lemak) 23 - 45 15 9. Vitamin E (mikrogram/g lemak) 100 - 150 20

Data pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa selain sebagai sumber antibodi, kolostrum juga mengandung sifat-sifat penting lainnya yaitu :

Mengandung dua kali (2 X) lebih banyak total bahan kering dibanding air susu

Mengandung 10 – 100 kali lebih tinggi vitamin A dan tiga kali (3 X) lebih banyak vitamin D dibanding air susu. Selain itu kolostrum juga kaya akan vitamin E. Hal ini sangat penting mengingat sewaktu baru lahir tubuh pedet hanya mempunyai sedikit vitamin-vitamin ini sehingga cadangan yang terdapat dalam hatinya hampir seluruhnya berasal dari kolostrum. Selain sebagai sumber dan cadangan energi, kandungan lemak kolostrum juga berperan sebagai

bahan laksatif (pencahar) untuk membantu mengeluarkan meconium yaitu sisa-sisa metabolisme bahan makanan yang terdapat dalam saluran pencernaan saat pedet berada dalam kandungan.

Tabel 2. Perbandingan Nilai Gizi Kolostrum Berdasarkan Jumlah Kali Pemerahan Dibanding Air Susu.

No. Uraian

Jumlah kali pemerahan 1 3 5 Air susu 1. Gravitas spesifik 1,056 1,035 1,033 1,032 2. Total bahan kering (%) 23,9 14,1 13,6 12,9 3. Lemak (%) 6,7 3,9 4,3 4,0 4. Protein (%) 14,0 8,4 4,2 4,0 5. Laktosa (%) 2,7 3,9 4,6 4,9 6. Imunoglobulin (%) 6,0 2,4 0,1 0,09

Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa kolostrum hasil pemerahan pertama mengandung total bahan padat jauh lebih tinggi dibanding pemerahan berikutnya. Penurunan kandungan bahan padat kolostrum, juga kandungan zat gizi terutama imunoglobulinnya, antara pemerahan pertama dan ketiga sangat tajam.

Pada akhir masa bunting, pembentukan antibodi di dalam tubuh induk meningkat dan dikonsentrasikan di dalam kolostrum. Dengan demikian, pedet dapat menerima antibodi dalam jumlah cukup segera setelah lahir sehingga memiliki daya tahan (imunitas) terhadap penyakit sebelum tubuhnya sendiri mampu membentuk zat yang sama. Tabel 3 menyajikan jenis imunoglobulin (Ig) yang terdapat dalam kolostrum sapi dan efek imunitas yang dihasilkannya.

Tabel 3. Jenis Imunoglobulin di dalam Kolostrum dan Efek Imunitasnya. No. Jenis imunoglobuilin % dari tital Ig Efek Imunitas 1. Imunoglobulin G (IgG) 80 - 86 Infeksi sistemik 2. Imunoglubulin A (IgA) 7 - 10 Infeksi intestinal 3. Imunoglobulin M (IgM) 7 - 10 Infeksi sistemik

Konsentrasi imunoglobulin kolostrum juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti (1) breed, kandungan imunoglobulin sapi Jersey, misalnya, umumnya lebih tinggi dibanding sapi Holstein; (2) umur, sapi-sapi yang lebih tua umumnya menghasilkan imunoglobulin yang lebih tinggi dibanding sapi yang lebih muda; (3) lama masa kering, sapi dengan masa kering yang pendek, kurang dari 40 – 45 hari, biasanya menghasilkan kolostrum dengan kandungan imunoglkobulin lebih rendah; dan (4) pre-milking, pemerahan sapi (pada masa kering) sebelum melahirkan akan menurunkan kadar imunoglobulin kolostrumnya. Sapi-sapi yang air susunya keluar/bocor (leak) sebelum melahirkan akan memperlihatkan perubahan yang sama pada kandungan imunoglobulin kolostrumnya.

Kualitas kolostrum dapat ditentukan dari gravitas spesifiknya. Kolostrum berkualitas tinggi memiliki konsistensi yang tinggi (agak padat/kental) dan berwarna krem; sedangkan yang berkualitas rendah konsistensinya rendah dan encer. Cara yang lebih akurat untuk menilai kualitas

(9)

kolostrum adalah menggunakan colostrometer. Alat ini dapat mengukur gravitas spesifik yang sebenarnya dari kolostrum yang berhubungan langsung dengan kandungan imunoglobulinnya. Antibodi atau imunoglobulin pada dasarnya adalah protein sehingga secara normal harus dipecah/dicerna terlebih dahulu menjadi asam-asam amino agar dapat diserap. Akan tetapi sampai beberapa jam pertama setelah lahir usus halus pedet memiliki kemampuan khusus untuk menyerap protein utuh. Kemampuan menyerap imunoglobulin yang berupa protein utuh ini sangat tergantung kepada ketidakhadiran enzim-enzim pemecah protein dan kepada permeabilitas dinding usus halus terhadap molekul-molekul berukuran besar. Setelah sekitar 12 jam, kemampuan menyerap imunoglobulin ini akan hilang. Oleh sebab itu sangat penting diperhatikan agar pedet menerima kolostrum dalam batas waktu 6 – 8 jam setelah lahir sebanyak 6% dari bobot badannya. Setengah liter kolostrum sudah cukup untuk mencegah septicaemia (berak putih), akan tetapi untuk mencegah scour (menceret) diperlukan 5 – 7 liter. Pedet yang tidak menerima cukup kolostrum akan : 1) menunjukkan angka kematian yang tinggi terutama akibat septicaemia dan joint ill (gangguan persendian); 2) sangat peka terhadap scour; dan 3) peka terhadap pneumonia, bahkan setelah berumur 2 – 3 bulan.

Walau tidak seluruhnya, sebagian besar peternak sapi perah menyetujui bahwa cara pemberian kolostrum terbaik adalah dengan membiarkan pedet bersama induk selama tiga hari pertama setelah lahir. Cara ini lebih menjamin bahwa pedet memperoleh kolostrum pada suhu tubuh serta bebas kontaminasi. Metoda lain adalah dengan memerah dan menyimpan kolostrum di dalam lemari pendingin sejumlah yang dibutuhkan oleh pedet selama 4 hari pertama sejak lahir. Bila cara ini diikuti maka kolostrum harus dipanaskan terlebih dahulu sampai 38o C (suhu tubuh) dan diberikan sebanyak 1 pon (0.45 kg) per 6 – 10 pon (2.72 – 4.54 kg) berat badan. Cara ini dilakukan terutama bila :

pedet lemah sehingga sehingga tidak mampu menyusu sendiri; induk bersifat nervous (suka gelisah); atau

induk sudah tua sehingga ambingnya menggelantung dan putingnya memanjang yang akan menyulitkan pedet untyuk menghisapnya.

Keuntungan yang lain dari cara ini adalah :

jumlah pemberian susu dapat dibatasi sehingga resiko skour akibat terlalu banyak minum susu dapat dibatasi;

pedet yang tidak diasuh oleh induknya akan lebih mudah diajari minum sendiri;

induk tidak kaget bila dipisahkan dari anaknya setelah sebelumnya terbiasa menyusuinya; dan mengurangi resiko pelukaan ambing/putting oleh hisapan mulut pedet.

Calf scours merupakan satu penyebab utama kematian pedet. Pada beberapa perusahaan angka kematian pedet akibat penyakit ini bisa mencapai 30 – 40%. Sebagian peneliti meyakini bahwa penyakit ini dapat dikurangi dengan pemberian kolostrum/air susu yang sesering mungkin namun dalam jumlah sedikit. Overfeeding menyebabkan sistim pencernaan pedet menahan beban berlebihan yang dapat berakibat timbulnya skour. Para peneliti tadi menyarankan agar seekor pedet sebaiknya tidak mengkonsumsi susu melebihi 5% dari bobot badannya selama dua hari

pertama. Jumlah ini dinaikkan secara berangsung-angsur menjadi 8 – 10% ketika pedet telah berumur 8 – 10 hari.

Kolostrum yang berlebih dapat disimpan di lemari es sebagai cadangan bagi pedet yang tidak memperolehnya karena induknya mati atau oleh gangguan lain. Sebelum diberikan, kolostrum yang telah didinginkan ini harus dipanaskan secara hati-hati. Pemanasan sampai titik didih akan merusak kolostrum terutama kandungan antibodinya. Kolostrum berlebih dapat juga diberikan kepada pedet lain yang sudah agak besar setelah dicampur lebih dulu dengan air susu.

Mengingat kolostrum merupakan satu-satunya cara dari mana pedet memperoleh imunitas pasif maka pemberiannya harus benar-benar mendapat perhatian yang serius. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam tatalaksana pemberian kolostrum adalah :

a. Tingkat imunitas pasif yang diperoleh pedet berhubungan langsung dengan jumlah dan kandungan imunoglobulin yang dikonsumsinya.

b. Efisiensi penyerapan kolostrum melalui dinding usus ke dalam aliran darah berkurang dengan cepat dengan bertambahnya usia pedet. Laju penyerapan maksimum terjadi dalam beberapa jam petama setelah lahir. Setelah 12 – 24 jam, kemampuan menyerap kolostrum berkurang sampai menjadi nol.

c. Pedet harus menerima kolostrum hasil pemerahan pertama sebanyak 5% dari bobot badannya dalam waktu 15 – 30 menit setelah lahir. Persentase ini ekuivalen dengan 4 – 5 pon dan 2 – 3 pon kolostrum masing-masing untuk pedet breed besar dan kecil.

d. Berikan lagi kolostrum hasil pemerahan pertama dalam waktu 3 – 5 jam seusai pemberian pertama agar pedet mengkonsumsinya dalam jumlah cukup (12 – 15 pon untuk pedet Holstein) dalam batas waktu 12 – 24 jam setelah lahir. Jumlah konsumsi kolostrum mempunyai pengarauh sangat nyata terhadap kadar imunoglobulin darah dan angka kematian pedet. e. Pedet yang memperoleh kolostrum langsung dari induknya menyerap imunoglobulin lebih baik

dibanding pedet yang menerima hasil perahan. Masalahnya tidak semua pedet mampu/mau bangun menyusu dalam beberapa jam pertama setelah lahir. Satu penelitian menunjukkan bahwa 25% dari pedet sapi belum berdiri dan menyusu sampai 8 jam setelah lahir. Memaksa pedet menyusu segera setelah lahir akan membantu penyerapan.

f. Bila alatnya tersedia, ukurlah kadar imunoglobulin dalam setiap kolostrum perahan pertama yang berlebih, masukkan dalam suatu kontainer (wadah, beri label dan simpan dalam lemari pendingin untuk digunakan selanjutnya. Cara ini akan menyediakan cadangan kolostrum berkualitas tinggi dan dapat diberikan kepada pedet lain yang induknya menghasilkan kolostrum yang tidak cukup atau rendah kualitasnya.

(10)

5. Pemberian Air Susu 5.a. Sistim Pencernaan Pedet

Makanan dimasukkan dari mulut dan ditelan, pada saat mana saluran pernafasan ditutup dan makanan ditransfer ke esopagus. Setelah berada di esofagus, makanan di dorong ke bawah oleh gerak peristalsis (gerak bergelombang). Gerak peristalsis adalah istilah yang diberikan kepada aktivitas otot yang mirip gelombang yang mempunyai efek yang sama seperti tangan pemerah atas putting sapi. Pertama-tama ujung atas puting digenggam di antara ibu jari dan jari telunjuk. Kemudian, dengan tekanan ini dipertahankan, jari tengah ditekankan terhadap telapak tangan yang disusul kemudian oleh jari berikutnya secara berurutan. Dengan cara ini air susu diperas melalui sphinter dengan tekanan, di mana dua jari pertama (ibu jari dan jari telunjuk) mencegah arus balik air susu ke dalam ambing. Porpulsi (pendorongan) bahan makanan dengan mekanisme yang sama oleh gerak peristalsis berlangsung sepanjang saluran pencernaan.

Sapi adalah hewan polygastric (berlambung ganda) di mana lambungnya terdiri dari 4 (empat) kompartemen yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Gambar 13 memperlihatkan skema kompartemen lambung pedet sapi dan perbandingannya dengan lambung sapi dewasa. Walau terdiri dari 4 kompartemen, lambung pedet yang baru lahir sangat berbeda dari lambung sapi dewasa; terutama rumen dan retikulumnya belum berkembang. Berat relatif jaringan bagian-bagian lambung pedet pada berbagai tingkat umur sampai 9 bulan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase Jaringan Total yang Disumbangkan oleh Kompartemen Lambung Pedet (%). No. Kompartemen lambung Umur (minggu) 0 4 8 12 16 20 – 28 34 - 38 1. Rumen – Retikulum 38 52 60 64 67 64 64 2. Omasum 13 12 13 14 18 22 25 3. Abomasum 49 36 27 22 15 14 11

Dari data pada Tabel 4 terlihat bahwa abomasum mengambil sekitar 50% dari massa total lambung pedet yang baru lahir, sedangkan pada sapi dewasa rumen dan retikulum mengambil proporsi paling besar. (50%). Pada nyatanya lambung pedet yang baru lahir mirip dengan lambung hewan monogastrik. Kolostrum atau air susu masuk secara langsung (by-pass) dari esofagus ke abomasum. Hal ini dapat terjadi karena lambung pedet dilengkapi dengan sebuah saluran yang dapat menutup sendiri (self closing channel) yang dinamai eosophagial groove atau saluran esofagial, yang terletak di atap atau bagian atas rumen (Gambar 3).

Sekiranya saluran esofagial terbuka sewaktu pedet menyusu atau minum maka kolostrum atau air susu akan masuk ke dalam rumen. Bila hal ini yang terjadi maka kolostrum atau air susu akan mengalami fermentasi menjadi asam sehingga akan menimbulkan gangguan pencernaan. Namun bila saluran ini tertutup, yang berlangsung secara refleks, maka sebuah saluran mirip pipa

akan terbentuk dan mengalirkan air susu langsung ke abomasum. Aksi refleks saluran esofagial diaktivasi oleh bikarbonat dari air liur. Mekanisme ini akan hilang bila pedet semakin besar sehingga cairan dan bahan padat yang ditelannya masuk ke rumen-retikulum. Setelah berada di abomasum, air susu akan mengalami penggumpalan (clotting) yaitu proteinnya mengental dan kemudian berkontraksi mengeluarkan cairan yang dikandungnya (liquid whey). Cairan whey akan langsung masuk ke usus kecil untuk dicerna. Penggumpalan susu berlangsung di bawah pengaruh enzim rennin dan pencernaannya dilakukan oleh enzim pepsin.

Secara fisioligis pengeluaran air liur dirangsang oleh beberapa stimulus seperti ingatan akan makan, penglihatan dan rangsangan lain yang berhubungan dengan makan. Karenanya, agar mekanisme penutupan saluran esofagial berlangsung sebelum pedet menyusu atau diberi air susu maka rangsangan-rangsangan tadi harus diberikan atau dimunculkan. Atas dasar fakta ini maka dapatlah diterima bahwa feeding routine atau konsistensi waktu pemberian air susu setiap hari sangat vital dalam pemeliharaan pedet. Dengan terbiasa menerima air susu pada waktu yang telah tertentu atau terjadwal maka ingatan tentang makan akan muncul setiap jawdwal tersebut tiba dan pada gilirannya akan merangsang pengeluaran air liur. Selain itu, variasi suhu dan jumlah susu yang diberikan juga berpengaruh terhadap mekanisme penutupan saluran esofagial. Pedet yang mengalami stress, misalnya karena baru tiba dari perjalanan jauh atau mengalami sesuatu yang menakutkan, kemungkinan besar tidak akan mencapai kondisi saluran esofagial yang menutup sempurna sehingga mengalami gangguan pencernaan. Demikian juga pedet yang baru saja banyak bergerak atau menerima penanganan, seperti pemotongan tanduk, kastrasi, pemberian tanda dll, dapat mengalami kegagalan refleks penutupan saluran esofagial. Hal yang sama juga berlaku bagi pedet sakit yang baru saja minum obat; untuk itu dari pada air susu lebih baik memberinya larutan elektrolit dan gula.

Pedet yang minum lambat juga menimbulkan masalah. Selama susu yang diberikan masih hangat maka refleks saluran esofagial akan belangsung. Namun bila dibiarkan lama dalam ember maka air susu menjadi dingin. Bila air susu yang sudah dingin ini diminum, penutupan saluran esofagial tidak akan berlangsung secara sempurna sehingga sebagian air susu akan masuk ke rumen dengan akibat seperti dijelaskan di atas.

Pada pemberian susu utuh (whole milk) dan sebagian besar susu pengganti (milk replacer), pembentukan gumpalan susu dalam abomasum merupakan langkah pertama yang sangat vital dalam pencernaan pedet. Bila gumpalan gagal terbentuk maka susu utuh akan masuk ke dalam rumen dan menjadi media yang ideal bagi fermentasi mikrobial. Hasil fermentasi ini, yaitu asam, akan menyebabkan skour. Beberapa faktor negatif yang berhubungan dengan kegagalan pembentukan gumpalan susu adalah :

- pemberian air susu yang tidak konsisten waktunya, - pedet yang nervous atau mengalami stress, - suhu air susu terlalu tinggi atau terlalu rendah,

- cara atau saat pemberian susu pengganti tidak tepat, dan - peradangan abomasum.

(11)

5.b. Sistim Pemberian Air Susu

Di atas telah didiskusikan bahwa pada periode awal kehidupannya pedet hanya sedikit menggunakan lambungnya. Dihubungkan dengan perkembangan lambung, pemberian makanan pada pedet sampai disapih dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu :

1. Periode pertama, di mana pedet sepenuhnya tergantung kepada makanan cair (susu atau susu pengganti).

2. Periode transisi dari makanan cair ke makanan padat, dan 3. Periode awal setelah penyapihan.

Lama masing-masing periode ini bervariasi sesuai dengan sistim pemeliharaan yang digunakan. Pedet sapi perah umumnya disapih dari makanan cair setelah berumur 4 – 8 minggu (sapi perah breed utama). Telah disebutkan bahwa selama 3 – 4 hari pertama pedet harus diberi kolostrum. Setelah periode pemberian kolostrum ini berakhir, ada beberapa sistim pemberian air susu yang dapat dipilih yaitu pemberian : (1) susu utuh (whole milk); (2) susu pengganti (milk replacer), (3) sisa air susu (waste milk) atau (4) susu fermentasi (fermented milk). Semua sistim ini, bila dikelola dengan tepat, dapat menghasilkan pertumbuhan yang baik.

Penentuan umur batas pemberian susu tergantung kepada berbagai faktor seperti harga air susu dan harga susu pengganti, sleekness dan fatness (kebagusan bentuk tubuh dan tingkat kegemukan) pedet yang diinginkan, keterampilan peternak, biaya tenaga kerja dan kesehatan pedet. Program pemberian air susu yang dipersiapkan sebagai replacement stock berbeda dengan pedet yang akan dijual. Pedet yang akan dijual biasanya memerlukan penampilan fisik yang lebih baik dibanding pedet yang dipersiapkan sebagai calon pengganti. Mengingat sebagian besar pedet betina diperlukan sebagai calon pengganti maka peternak umumnya sudah puas bila program pemberian air susu yang dipilihnya berhasil : (1) menjaga pedet agar tetap hidup; (2) mempertahankan kesehatan pedet; (3) berhasil membersarkan pedet sehingga cukup besar untuk dikawinkan pada umur sekitar 15 bulan (untuk sapi breed unggul); menghasilkan sapi dara yang penampilannya bagus; dan (5) ekonomis.

Pemeliharaan Pedet Dengan Susu Utuh. Pedet tidak akan dapat bertumbuh dengan normal

bila diberi hanya makanan kering saja. Mereka harus diberi air susu atau susu pengganti paling tidak selama 3 minggu pertama sejak lahir. Periode 3 minggu sejak lahir ini adalah saat paling kritis dalam kehidupan pedet. Oleh sebab itu program pemberian makanan pada periode ini biasanya dirancang secada khusus dan cermat. Sebagai pedoman umum, pedet turunan breed besar harus mencapai laju pertambahan bobot badan harian (PBBH) sebesar 0.1 pon/hari; pedet turunan breed kecil sebesar 0.7 pon/hari mulai sejak lahir hingga berumur 7 minggu. Pedet yang diberi air susu dalam jumlah banyak dapat mencapai PBBH 2 pon/hari dalam periode ini, akan tetapi kecepatan pertumbuhan seperti ini tidak perlu bagi pedet yang dipersiapkan sebagai calon pengganti.

Beberapa program pemberian air susu yang telah diuji coba di banyak stasiun penelitian dan peternakan sapi perah dengan hasil memuaskan disajikan pada Tabel 5. Program-program tersebut mendasarkan jumlah pemberian air susu pada berat badan dan peiode pertumbuhan (umur) yang berbeda. Salah satu program pemberian air susu yang lebih umum digunakan adalah program di

mana sekitar 350 pon air susu diberikan selama 7 atau 10 minggu kepada seekor pedet. Di antara breed-breed sapi yang lebih besar, program ini menghasilkan PBBH rata-rata 1.2 dan 1.3 pon/ekor selama umur 7 minggu pertama. Bila dikurangi menjadi 250 pon akan terjadi penurunan PBBH selama periode pemberian air susu, akan tetapi menjelang umur 3 – 4 bulan pertumbuhannya tidak berbeda dengan pedet yang menerima susu 350 pon. Beberapa peternak (di AS) juga telah melaporkan keberhasilan pemeliharaan pedet dengan total pemberian susu hanya 160 – 180 pon selama 3 – 4 minggu (sapih dini) dengan laju PBBH rata-rata sekit di atas 1.0 pon/ekor untuk breed besar.

Tabel 5. Alternatif Program Pemberian Air Susu bagi Pedet Breed Besar dan Kecil

No.

Hari/Minggu ke .. Setelah lahir

Pedet dengan berat lahir > 80 pon Pedet dengan berat lahir < 80 pon

Air susu

Susu

Pengganti Air susu

Susu Pengganti 1. Hari ke 1 - 3 K o l o s t r u m 2. Hari ke 4 - 7 8 8 7 8 1 5 5 5 0,8 3. Minggu ke – 2 9 9 7 8 1 6 6 5 0,8 4. 3 10 10 7 8 1 7 7 5 0,8 5. 4 9 7 7 - 1 7 7 5 0,8 6. 5 7 5 - - - 6 5 4 0,8 7. 6 6 - - - - 6 5 4 0,8 8. 7 4 - - - - 5 3 - - 9. 8 - - - - - 4 - - - 10. 9 - - - - - 3 - - - 11. 10 - - - - - 3 - - - Total 347 249 175 160 25 347 251 181 25

Pada sebagian besar program pemeliharaan pedet, jatah air susu sehari dibagi dalam dua bagian yang sama. Namun berbagai hasil penelitian Schmidt and Vleck (1974) menunjukkan bahwa pemberian air susu hanya sekali sehari tidak menimbulkan efek negatif terhadap laju PBBH atau kesehatan pedet. Hanya, pemberian air susu sekali sehari menuntut keahlian dan perhatian lebih banyak; namun menggunakan lebih sedikit tenaga dan waktu.

Sebagai tempat pemberian air susu, kebanyakan peternak lebih menyukai ember yang dilengkapi dengan nipple (puting) atau sedotan (teat feeding) - lihat Gambar 5 – dari pada ember terbuka. Ember yang dilengkapi dengan sedotan membantu melatih pedet meminum air susu dan mengurangi kebiasaan pedet yang tidak diinginkan yaitu saling menghisap puting susu (suckling habits). Selain itu, penggunaan sedotan memperlambat laju konsumsi susu (jumlah air susu yang diminum persatuan waktu) sehingga memberi waktu yang lebih banyak bagi air susu untuk bercampur dengan enzim-enzim pencernaan. Namun demikian cara pemberian air susu dengan alat ini juga memiliki kelamahan, antara laian (1) memerlukan waktu lebih banyak membersihkan

(12)

dan menghapushamakan ember; (2) adanya kecenderungan pedet menelan udara bila dibiarkan menghisap nipple setelah ember kosong; (3) sewaktu minum, air susu dapat masuk ke paru-paru bila ember diletakkan terlalu tinggi; dan (4) penyapihan yang terlalu dini dapat terjadi bila aliran air susu dari sedotan terlalu sedikit.

Pemeliharaan Pedet dengan Susu Pengganti (Milk replacer). Susu pengganti digunakan bila harga air susu lebih tinggi dari padanya. Sekitar 25 pon susu pengganti diberi kepada masing-masing pedet. Energi yang dikandung oleh 25 pon susu pengganti ini ekuivalen dengan energi 150 – 180 pon susu utuh, tergantung kepada kadar lemaknya. Sebagian besar susu pengganti mengandung 20 – 22% protein dan 10 – 20% lemak.

Salah satu faktor kunci dalam mengevaluasi susu pengganti adalah sumber proteinnya. Sumber protein yang sering digunakan dalam susu pengganti dan akseptabilitas (keterterimaan)-nya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Akseptabilitas Bahan Penyusun Susu Pengganti (Milk Replacer).

No. Terbaik Dapat diterima Jelek

1. Susu skim Tepung kedele yang diproses Tepung kedele yang tidak diproses

2. Butter milk Konsentrat kedele Cairan daging

3. Susu utuh Protein ikan terhidrolisa Tepung ikan

4. Delactosed Whey Detillers soluble

5. Kasein Ragi

6. Albumin susu Tepung oat

7. Konsetrat protein whey Tepung gandum

Kandungan protein kasar susu pengganti paling harus mencapai 20%. Kebanyakan susu pengganti komersil juga mengandung antibiotik yang dapat mengontrol skour secara efektif. Target PBBH rata-rata pedet breed besar yang mengkonsumsi susu pengganti harus mencapai 1.0 – 1.1 pon/ekor selama 7 minggu pertama usia pedet.

Gambar

Tabel 5. Alternatif Program Pemberian Air Susu bagi Pedet Breed Besar dan Kecil
Tabel 6. Akseptabilitas Bahan Penyusun Susu Pengganti (Milk Replacer).

Referensi

Dokumen terkait

Esmolol diindikasikan untuk mengontrol dengan cepat kecepatan denyut ventrikel Esmolol diindikasikan untuk mengontrol dengan cepat kecepatan denyut ventrikel pada

Komunikasi Dalam implementasi P4K Dalam kaitannya dengan komunikasi berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan utama dan informan triangulasi mengatakan bahwa

Rumusan masalah dalam penelitian ini apakah dengan menggunakan metode Team Games Tournament (TGT) berbantuan media kartu kata dapat meningkatkan hasil belajar

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian campuran dengan desain eksploratori (Eksploratory Desain) dan model pengembangan bahan ajarnya menggunakan

Penjelasan secara logis dari kondisi ini adalah bahwa kebutuhan perjalanan masyarakat terutama yang melalui ruas tersebut tidak terpengaruh dengan adanya perubahan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh antara kompetensi profesional guru terhadap prestasi belajar peserta didik mata pelajaran pendidikan Agama

Dengan melihat hasil yang kurang memuaskan pada penelitian Sindynata dan Wibowo (2010) inilah, maka metode Pseudo Elastis dan Desain Kapasitas perlu diuji-cobakan

Dilihat dari aspk yuridis dan ADD terhadap pembangunan desa, seperti yang dikemukakan oleh Aldi (2012), hasil penelitiannya menyimpulkan Pelaksanaan alokasi dana desa