• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIS. Terhadap pengertian pidana, ternyata tidak semua sarjana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORITIS. Terhadap pengertian pidana, ternyata tidak semua sarjana"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORITIS A. Sejarah Pemberian Remisi

Terhadap pengertian pidana, ternyata tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana itu pada hakekatnya adalah suatu penderitaan atau nestapa, tetapi merupakan hakekat yang lain sebagaimana dikatakan oleh beberapa sarjana di bawah ini :

1. Simon mengartikan pidana sebagai :

“suatu penderitaan yang oleh undang- undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”.(Lamintang, 1984 : 48 ). 3)

2. Van I Lamci menyebutkan bahwa pidana sebagai :

“suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yaitu semata- mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara”.(Lamintang,1984 ; 47) 4) Dari beberapa pendapat sarjana dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur- unsur atau ciri- ciri sebagai berikut :

1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat lain yang tidak menyenangkan.

3) Atmasasmita, Romli,1984, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, Bandung hal 48 4) Atmasasmita, Romli,1984, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, Bandung hal 47

(2)

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan atau yang berwenang.

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang- undang.

Jadi dalam pidana ini, fokusnya adalah perbuatan yang salah satunya tindak pidana yang telah dilakukan oleh si pelaku. Dengan kata lain, perbuatan itu mempunyai peranan yang besar dan merupakan syarat yang harus ada untuk adanya punishment.

Dalam sistem hukum di Indonesa , pidana yang dijatuhkan dan perbuatan- perbuatan apa yang diancam pidana, harus terlebih dahulu tercantum dalam undang- undang pidana,hal itu tidak terlepas dari keberadaan asas legalitas yang berbunyi : “Nullum crimen, nulla poena, sine praevialege poeballi”.

Dengan mengutip pendapat Leo Polak, Sudarto mengatakan bahwa :

“Satu- satunya problema dasar bagi hukum pidana adalah makna,tujuan serta ukuran dari penderitaan pidana yang patut diterima oleh seseorang. Maka dari itu pidana patut diterima oleh seseorang. Pidana juga termasuk tindakan matregal. Juga merupakan suatu penderitaan yang dirasakan oleh yang dikenai pidana. Oleh karena itu, orang tidak henti- hentinya mencari dasar hakekat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan pembenaran dari pidana itu”.(Sudarto, 1981 : 6 ).

(3)

Berdasarkan pernyataan diatas jelas merupakan indikasi bagi kita untuk berhati- hati menggunakan pidana sebagai sarana prevention of crime, tetapi kalau sifatnya yang ultimatum tetap digunakan maka hendaknya dilihat dahulu tujuan pemidanaan itu sendiri, disamping dasar- dasar pembenarannya.

Terhadap tujuan pidana terlebih dahulu dapat dikemukakan beberapa pandangan dari para ahli terdahulu yaitu

1. Spinoza dan J.J. Roessau berpendapat :

“Tujuan pidana untuk memulihkan keadaan yang harmonis sebagai akibat dari gangguan perbuatan narapidana dan cara memulihkan keadaan yang demikian itu adalah dengan menakut- nakuti disamping harus diusahakan perbaikannya”.( Muladi, 1985 : 46 ). 5)

2. Muladi dan Barda Nawawi dalam bukunya yang berjudul “Pidana dan Pemidanaan berkesimpulan :

Pidana mengandung unsur- unsur atau ciri- ciri sebagai berikut :

a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat- akibatlain yang tidak menyenangkan.

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan ( oleh yang berwenang ).

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang- undang”. ( Muladi, Nawawi, 1983 : 3 ).

(4)

Selanjutnya jika disimak mengenai tujuan pemidanaan dalam kepustakaan hukum pidana dapat dibagi- bagi kedalam tiga kelompok yaitu :

1. Teoi absolute atau teori Pembalasan

Teori ini disebut retributif atau verdegeldings theory, menurut teori ini pidana dijatuhkan semata- mata karena orang- orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan dan tujuan utama dari pidana menurut teori ini adalah untuk memuaskan tuntutan keadaan. Dasar pembenaran teori absolute adalah terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

Adapun ciri-ciri pokok dari teori absolut ini adalah : a. Tujuan pidana adalah semata- mata pembalasan

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung saran- saran untuk tujuan lain misalnya kesejahteraan masyarakat

c. Kesalahan adalah salah satunya syarat untuk adanya pidana

(5)

e. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali pelanggar.

2. Teori relatif atau Teori Tujuan

Teori ini disebut juga dengan teori utilitarian atau teologis, menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolute dari keadilan, sehingga pembalasan dianggap tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi masyarakat. Selain itu, pidana dijatuhkan bukanlah untuk pembalasan pada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Tujuan- tujuan tertentu yang bermanfaat disini mempunyai maksud menjadi orang- orang yang bersalah untuk menjadi orang- orang yang lebih baik, juga berkaitan dengan dunia, misalnya dengan mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau pencegah potensial, sehingga karenanya dunia akan menjadi tempat yang lebih baik.

Adapun ciri yang terdapat pada teori relative ini adalah a. Tujuan pidana adalah pencegahan ( preventiaon);

b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

(6)

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan karena si pelaku saja (misalnya karena sengajaan atau culpa) yang memenuhi syarat adanya pidana;

d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk mencegah kejahatan;

e. Pidana (bersifat prospektif) pidana dapat mengadung unsur pencelaan, tetapi unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentinagn kesejahteraan masyarakat.

Adapun dasar pembenaran teori relatif adalah terletak pada tujuannya sehingga pidana dijatuhkan bukan karena orang yang berbuat kejahatan, melainkan agar orang jangan melakukan kejahatan atau

nepeccatur.

3. Teori Integratif

Timbulnya teori ini adalah sebagai akibat adanya ketidakpuasan terhadap kedua teori terdahulu yang dianggap kurang mampu dalam menanggulangi kejahatan. Oleh karena itu, timbul usaha untuk menghubungkan secara terpadu antara pandangan utilitas yang menyatakan tujuan pidana harus dapat menimbulkan manfaat yang dapat dibuktikan, dengan pandangan ynag retributif yang menyatakan bahwa keadilan dapat tercapai apabila tujuan yang teorogical tersebut dilakukan

(7)

dengan menggunakan ukuran- ukuran berdasarkan pirinsip- prinsip keadilan.

Jadi, singkatnya teori ini menghubungkan dan menggabungkan prinsip- prinsip retribution dengan utilaterian misalnya mencegah sekaligus rehabilitasi yang semuanya dapat dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.

Adapun ciri-cirinya sebagai berikut :

a. Tujuan pemidanaan terhadap pencegahan umum dan khusus;

b. Adanya perlindungan terhadap masyarakat; c. Memelihara solidaritas masyarakat;

d. Terdapatnya pengimbalan dan pengimbangan.

Dari teori yang dianut, yang terpenting apakah pidana yang dicanangkan itu memuat dan mengandung “prevenci special dan prevenci general” sebab bukankah pencegahan kejahatan ingin dicapai melalui pidana, yaitu dengan cara mempengaruhi terpidana agar tidak melakukan kejahatan lagi.

Demikian juga prevenci general, dimaksudkan sejauh mana pidana itu berpengaruh pada masyarakat. Andenaes mengatakan bahwa :

general prevention ini selain mempunyai pengaruh pencegahan juga harus mempunyai pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh pada hukum”. ( Andeneas, 1988 : 9) 6)

(8)

Berbicara mengenai masalah tujuan pidana yaitu untuk mencegah terjadinya tindak pidana yang mana seperti apa yang diungkapkan oleh Van Bemmelen sebagai berikut :

“Selain mempunyai pengaruh prevensi special dan prevensi general pidana itu hendaknya mempunyai daya pengaman, khususnya pidana pencabutan kemerdekaan dapat lebih mengamankan masyarakat terhadap kejahatan selama penjahat tersebut berada dalam penjara”. ( Bemmelen, 1984 : 19).7)

Tujuan pemidanaan yang termuat dalam pasal 47 rancangan KUHP, yang berbunyi sebagi berikut :

a. Pemidanaan bertujuan untuk :

1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikan orang yang baik dan berguna;

3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

6) Atmasasmita, Romli,1984, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, Bandung hal 19 7) Atmasasmita, Romli,1984, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, Bandung hal 9

(9)

b. Pemidanaan tidak bermaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan meremehkan martabat manusia.

Pandangan bahwa pidana di Indonesia harus bersumber dan berdasarkan Pancasila kiranya tidak perlu dipersoalkan lagi namun in concerto masih memerlukan penjabaran dan penganalisaan pembahasan lebih lanjut dengan didasarkan atas dasar teoritis yang kuat dan mendalam, karena pengkajian masalah pidana dan pemidanaan tanpa suatu pengetahuan dasar teoritis yang kuat dan mendalam, khususnya dalam bidang “sosiologi kriminologi” tidak akan berarti, sama saja dengan meletakkan permasalahan pidana dan pemidanaan dalam tangan- tangan yang tidak cakap dan tidak ahli.

Menurut hukum pidana positif, di Indonesia ini terhadap klasifikasi sistem pemidanaan dapat dilihat baik berdasarkan KUHP dan dalam konsep rancangan KUHP sebagai dasar perbandingannya. Maksudnya tiada lain untuk lebih mengetahui, bentuk pidana apa yang patut diberikan pada mereka yang melanggar aturan- aturan hukum pidana.

1. Dalam KUHP, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 10 KUHP ( Kitab Undang- Undang Hukum Pidana), pidana terdiri atas :

a. Pidana Pokok 1) Pidana Mati

(10)

3) Pidana kurungan 4) Denda

5) Pidana Tutupan ( UU No.20/ 1946 ) b. Pidana Tambahan

1) Pencabutan beberapa hak yang tertentu

2) Perampasan beberapa barang yang tertentu 3) Pengumuman putusan hakim

Ad.a. Pidana Pokok 1) Pidana Mati

Menurut ketentuan Pasal 11 KUHP

“pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak mati, menurut ketentuan- ketentuan dalam undang- undang No.2 (Pnps) tahun 1964”.

Sebelum adanya ketentuan- ketentuan dalam undang- undang No.2 (Pnps) tahun 1964, hukuman mati dilaksanakan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan serta menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.

Tetapi karena ketentuan itu tidak lagi sesuai dengan perkembangan serta jiwa revolusi Indonesia, maka pelaksanaan hukuman

(11)

mati itu dilaksanakan dengan ditembak sampai mati disuatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.

2) Pidana Penjara

Merupakan pidana hilang kemerdekaan sebagai pelaksanaan dari pasal 29 KUHP. Pidana penjara dilakukan dengan memasukkan terpidana dalam sebuah penjara dengan mewajibkan orang tersebut mantaati semua tata tertib yang berlaku di dalam penjara. Pidana penjara ini sementara minimal 1 hari dan maksimal 15 tahun.

3) Pidana Kurungan

Pidana kurungan berupa pembatasan kemerdekaan seseorang, kurungan biasanya dijatuhkan oleh hakim sebagai pemidanaan pokok atau denda.

Pidana kurungan lebih ringan jika dibandingkan dengan pidana penjara. Sifatnya lebih ringan Nampak dari pelaksanaannya dan tidak boleh diangkat ketempat lain diluar daerah terpidana kecuali permintaannya.

4) Pidana Denda

Denda oleh pembentuk undang-undang suatu pidana yang dijatuhkan kepada harta benda orang. Denda oleh

(12)

pembentuk undang- undang ditentukan satu batas minimal umum, karena jumlah denda di dalam WvS maupun dalam ketentuan pidana yang lain dikeluarkan sebelum tanggal 17 agustus 1945 adalah sudah tidak sesuai lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, maka keluarlah peraturan pemerintah pengganti undang- undang ini ancaman denda yang termuat dalam WvS maupun dalam ketentuan- ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, harus dibaca dalam mata rupiah dilipat gandakan menjadi lima belas kali.

5) Pidana Tutupan

Sebelum tanggal 31 oktober 1946, pidana tutupan tersebut no.5 dari hukuman pokok itu tidak ada. Tetapi sejak dikeluarkannya UU No.20/1946 tanggal 31 oktober 1946, maka selain pidana mati,pidana penjara,pidana kurungan dan denda, ada lagi pidana tutupan.

Ad.b. Pidana Tambahan

1. Pencabutan hak- hak tertentu

Pencabutan hak-hak tertentu ini tidak dapat dilakukan terhadap semua hak, artinya orang tidak mungkin akan dijatuhkan pencabutan semua haknya. Dengan demikian

(13)

ia akan dapat hidup seperti manusia lainnya. Hak- hak yang dapat dicabut menurut Pasal 35 KUHP adalah: a. Hak untuk mendapat segala jabatan atau jabatan

yang tertentu.

b. Hak untuk menjadi militer

c. Hak menjadi penasehat atau penguasa dan menjadi wali, wali pengawas,pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain, bukan anaknya sendiri.

d. Hak untuk dipilih maupun memilih dalam pemilihan umum yang diadakan berdasarkan aturan- aturan umum.

2. Perampasan Barang- barang Tertentu

Mencabut hak milik suatu barang dari orang yang mempunyai dan barang itu dijadikan milik pemerintah. Barang- barang yang dirampas dibagi kedalam dua golongan yaitu :

a. Barang- barang yang diperoleh karena kejahatan seperti uang palsu yang diperoleh dari kejahatan, pemalsuan uang,

(14)

b. Barang- barang yang sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan.

3. Pengumuman Keputusan Hakim:

Publikasi ekstrim hakim bebas untuk menentukan tempat publikasi artinya adalah mencegah orang tertentu atau golongan tertentu melakukan beberapa jenis tindak pidana yang sering dilakukan, seperti menghindarkan diri dari membayar pajak.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk mencapai tujuan pembinaan melalui program-program pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dibina dan diamankan untuk jangka waktu tertentu agar nantinya dapat hidup kembali di tengah- tengah masyarakat sebagaimana disebut dalam undang- undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Pasal 3 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan:

“Sistem Pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat,sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab”

Sedangkan tujuan memasyarakatkan narapidana berarti antara lain :

(15)

1. Berusaha agar narapidana atau anak didik tidak melanggar hukum lagi dimasyarakat kelak.

2. Menjadikan narapidana atau anak didik sebagai peserta yang aktif dan kreatif dalam pembangunan,

3. Membuat narapidana atau anak didik kelak berbahagia di dunia dan akhirat.

Usaha untuk mencapai tujuan tersebut tidaklah mudah karena banyak sekali hambatan sebab orang- orang yang dikenakan tindakan Institusionalisasi pada umumnya akan mengalami beberapa kehilangan antara lain kehilangan kemerdekaan, kehilangan rasa aman,kehilangan otonomi dan kehilangan hubungan seks. Tindakan Institusionalisasi akan potensial menimbulkan bahaya prisonisasi (terkontaminasinya mental penghuni dengan budaya penjara) dan stigmanisasi ( pemberian label atau cap kepada seseorang bahwa ia itu jahat dan akan menghayati predikat itu sehingga mengakibatkan penyimpangan perilaku jahat atau resedivis).

Dalam Sistem Pemasyarakatan, orang walaupun akan dikenakan tindakan institusiolisasi masih diberikan hak- hak yang tercantum dalam undang- undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14 ayat (1). Salah satu hak yang dimiliki oleh narapidana tersebut adalah remisi.

Dari apa yang dijabarkan diatas maka dapat disimpulkan Negara berhak memperbaiki setiap pelangar hukum yang melakukan suatu tindak pidana melalui sesuatu pembinaan. Agar pembinaan dapat berjalan dengan baik maka salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Direktorat Pemasyarakatan dengan cara pemberian

(16)

remisi kepada Narapidana yang dinyatakan telah memenuhi syarat substantif dan administraif. Pemberian remisi di Negara Republik Indonesia sudah sejak Negara Indonesia mendapat kemerdekaan dari tangan penjajah, sehingga Hak Asasi Manusia, dapat tetap diberikan walaupun dia masih berstatus sebagai narapidana. Pemberian remisi menurut Undang-undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merupakan hak bagi setiap Narapidana.

Dalam sejarah Republik Indonesia pemerintah telah 5(lima) kali mengeluarkan keputusan tentang ini dan ini menunjukkan adanya perkembangan politik dalam penyelenggaraan hukum yang menyangkut perlakuan kepada narapidana di Indonesia. Sejak akhir tahun 1999 Indonesia mengenal remisi khusus yakni remisi yang diberikan kepada narapidana pada hari raya yang paling diagungkan sesuai dengan agama yang dianut oleh pemeluknya.

Berikut ini perkembangan ketentuan yang mengatur tentang remisi.

a. Keppres No. 156 Tahun 1950

Keputusan Presiden ini dikeluarkan pada masa presiden Soekarno di dalam Keppres tersebut diatur ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

1. Pengurangan Hukuman

Pasal 1 ayat 1

Orang hukuman penjara, hukuman tutupan atu kurungan, termasuk hukuman pengganti denda, berhak mendapat pengurangan hukuman

(17)

2. dibebaskan dari semua hukuman, jika mereka berkelakuan baik.

2. Syarat-Syarat Pengurangan Hukuman

Pasal 1 ayat 2

Syarat-syarat ayat 1 diatas adalah

1. Orang yang bersangkutan telah berjasa besar terhadap negara.

2. orang yang bersangkutan dihukum karena perbuatannya melanggar peraturan Hindia Belanda atau Peraturan Jepang, yang sekarang tidak diancam lagi dengan hukuman.

3. Orang yang bersangkuatan tersebut diatas dianggap patut dibebaska dari hukumannya atau sebagaian dari hukuman itu disebabkan lain-lain hal yang penting sekali bagi negara.

- Pengurangan hukuman tidak berlaku kepada :

Pasal 2

Ketentuan pasal 1 tidak berlaku

1. Terhadap orang hukuman kurang dari 3(tiga) bulan

2. Untuk membebaskan dari segala hukuman, jika ia belum menjalankan sepertiga dari hukuman itu.

Pasal 3 ayat 1

(18)

1. Orang yang berkelakuan baik sekali, yaitu palind sedikit tidak mendapat hukuman disilin (Register F), yaitu pelanggaran pasal 69 Reglemen Penjara

2. Berjasa pada negara, antara lain dalam menjalani hukuman terbukti telah melakukan pekerjaan yang luar biasa bagi keselamatan negara.

3. Lain-lain hal yang penting bagi negara ialah perbuatan atau pikiran luar biasa bagi keselamatan negara.

4. Orang hukuman ialah orang yang menjalani hukuman penjara tutupan atau kurungan, termasuk juga kurungan pengganti denda yang lamanya tidak kurang dari 3 bulan. 5. Pembantu Pegawai dari orang-orang hukuman ialah orang

hukuman yang pekerjaannya membantu pegawai dengan mendapat “surat pengangkatan dari Kepala Penjara”

Adapun penjelasan mengenai pasal-pasal diatas adalah sebagai berikut.

Pasal 3 ayat 2

Yang disebut dalam keputusan ini : 1. Pembebasan hukuman, yaitu

a. Pembebasan hukuman sama sekali.

b. Pembebasan hukuman sebagian atau peringanan c. Perubahan hukuman seumur hidup menjadi hukuman terbatas

(19)

2. Negara yaitu Negara Indonesia Serikat

3. Hari peringatan kemerdekaan yaitu tiap-tiap 17 Agustus Pasal 3 ayat 3 :

1. Menghitung lamanya hukuman dimaksudkan juga waktu tahanan bilamana waktu itu menurut putusan hakim terhitung sebagai hukuman dan langsung mendahului saat mejalankan hukuman 2. Untuk menjaankan keputusan ini, maka masa menjalankan

hukuman tidak dianggap terputus (tertunda) walaupun oleh yang berkepentingan mengajukan permohonan pengampunan (grasi). 3. Bilamana seseorang menjalankan lebih dari satu hukuman

berturut-turut maka untuk menjalankan keputusan ini, semua hukumna dianggap sebagai satu hukuman.

3. Perhitungan lamanya menjalani hukuman

Pasal 4

Untuk menghitung lamanya hukuman yang telah dijalani, maka yang diambil sebagai pangkal perhitungan ialah Hari Peringantan Kemerdekaan (17 Agustus), kecuali jika berdasarkan alasan luar biasa patut menyimpang dari aturan dalam pasal ini.

Pasal 5 ayat 1

Orang-orang hukuman yang memenuhi syarat-syarat, seperti tersebut dalam pasal 1ayat 1,dapat pembebasan dari sebagian dari hukumannya menurut aturan sebagai berikut :

(20)

1. narapidana yang telah menjalani hukuman tiga bulan sampai sampai dengan enam bulan memperoleh remisi : 1 bulan

2. Narapidana yang telah menjalani satu enam bulan sampai dengan satu tahun memperoleh remisi 2 bulan.

3. Narapidana yang telah menjalani satu tahun dalam tahun pertama memperoleh 2(dua) bulan remisi.

4. Pada tahun kedua dan ketiga memperoleh 3(tiga) bulan

5. Pada tahun keempat dan kelima memperoleh remisi 6 (enam) bulan

6. Tahun keenam dan seterusnya memperoleh remisi 9 (sembilan) bulan.

Pasal 5 ayat 2 :

Jika orang itu didalam suatu tahun tidak mendapat pembebasan,maka buat memberi pembebasan lagi, seterusnya didasarkan pada pembebasan paling akhir. Pasal 5 ayat 3 :

Pembantu pegawai memperoleh tambahan 1/3 dari remisi yang diterimanya pada tahun yang berjalan.

Pasal 6

Hukuman seumur hidup bagi yang telah menjalani hukumannya lima tahun dan memenuhi syarat-syarat pasal 1 dapat diubah menjadi hukuman sementara sehingga lamanya sisa hukumannya yang masih harus dijalaninya menjadi selama-lamanya lima belas tahun.

(21)

b. Keppres No. 5 tahun 1987 :

Keputusan Presiden ini dikeluarkan pada masa Presiden Soeharto yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1987 Tentang “pengurangan masa menjalani pidana(remisi)”, Keppres No.5 tahun 1987 dalam konsiderannya memberi pertimbangan : dalam rangka pelaksanaan Pemasyarakatan, pemerintah memberikan remisi kepada narapidana dengan rincian sebagai berikut :

1. Kepada setiap Narapidana yang menjalani pidana penjara sementara diberikan pengurangan menjalani pidana apabila selama menjalani pidana ia berkelakua baik.

2. Pengurangan masa menjalani pidana sebagaimana dimaksud dapat ditambah apabila selama menjalani pidana narapidana yang bersangkutan :

a. Berbuat jasa kepada negara.

b. Melakukan Perbuatan yang bermanfaat bagi Negara atau kemanusiaan

c. Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan dinas Lembaga Pemasyarakatan.

3. Pengurangan masa menjalani pidana tidak diberikan kepada : a. Narapidana yang dikenakanpidana kurungan dari 6 (enam)

bulan.

b. Napi kambuhan 4. Besarnya Remisi :

(22)

a. Narapidana yang telah menjalani 6(enam) sampai 12(dua belas) bulan mendapat remisi sebesar satu bulan.

b. Menjalani dua belas bulan atau lebih mendapat dua bulan c. Remisi kedua 3 (tiga) bulan.

d. Remisi ketiga 4( empat) bulan

e. Remisi keempat dan kelima 5 (lima) bulan.

f. Remisi yang keenam dan seterusnya 6(enam) bulan.

g. Seumur hidup tidak dirubah melalui remisi, tetapi melalui permintaan Grasi hal ini sesuai dengan keppres No. 5 tahun 1987 bahwa remisi tidak diberikan kepada :

1. narapidana yang kurang dari 2 bulan 2. narapidana kambuhan

3. Remisi seumur hidup menjadi pidana sementara.

Selebihnya Keppres No. 5 Tahun 1987 adalah sama dengan keppres No. 156 Tahun 1950. Bila diteliti secara mendalam nampak dengan jelas bahwa Keppres No. 5 Tahun 1987 Menunjukkan ciri-ciri kurang manusiawi jika dibsndingksn dengan Keppres No. 156 Tahun 1950, khususnya tentang penekanan terhadap narapidana residivis dan narapidana seumur hidup jelas hal tersebut tidak sesuai dengan jiwa Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

(23)

c. Keppres No. 69 Tahun 1999

pada tanggal 5 juli 1999 Presiden Habibie mengeluarkan Keppres baru tentang remisi yakni Keppres No. 69 tahun 1999 atas dasar pertimbangan bahwa Keppres No. 69 tahun 1987 kurang manusiawi dan menunjukkan ciri-ciri balas dendam keppres No. 69 Tahun 1999 tentang pengurangan masa pidana ( Remisi) mempunyai etentuan-ketentuan sebagai berikut :

Narapidana/anak pidana, termasuk pidana kurungan berhak memperoleh remisi. Yang tidak boleh menerima remisi adalah : 1. narapidana yang dipidana kurang dari enam bulan

2. narapidana yang tercatat di register f

3. Narapidana yang sedang Menjalani cuti menjelang bebas(CMB) 4. Pidana kurungan pengganti denda (dalam Keppres 156 Tahun

1950 narapidana seperti itu mendapat remisi.

Keppres No. 69 tahun 1999 menentukan remisi besarnya sebagai berikut :

1. Narapidana enam bulan sampai dua belas bulan memperoleh remisi 1 bulan

2. Narapidana lebih dari dua belas bulan memperoleh remisi 2 bulan

3. Pada tahun kedua memperoleh remisi 3 bulan 4. Pada tahun ketiga memperoleh remisi 4 bulan

(24)

6. Pada tahun keenam memperoleh remisi 6 bulan Remisi tambahan (Keppres No. 05 Tahun 1987 )

Perhitungan untuk mendapat remisi dimulai sejak masa penahanan. Narapidana seumur hidup yang selama lima tahun berturut-turut berkelakuan baik dapat dirubah menjadi pidana sementara paling lama 15 tahun (sama dengan Keppres No. 56 tahun 1950) Melalui keputusan Menteri Kehakiman dan HAM.

d. Keppres RI No. 174 tahun 1999

Pada tanggal 23 Desember 1999 Presiden KH Abdul Rahman Wahid mengeluarkan ketentuan baru tentang remisi melalui Keppres RI No. 174 Tahun 1999 tentang remisi. Keppres tersebut memberikan warna baru dalam pengurangan masa pidana bagi narapidana di Indonesia imana penjelasan tentang remisi umum hampir sama dengan Keppres No. 69 Tahun 1999. Keppes tersebut memunculkan aturan baru yakni pemberian remisi khusus berupa pengurangan masa pidana bagi setiap narapidana pada hari besar keagamaan yang paling diagungkan.

Perbedaan ketentuan tentang Keppres No. 69 Tahun 1999 dengan Keppres No 174 Tahun 1999 terletak pada ketentuan kewenangan mengenai perubahan pidana seumur hidup menjadi pidana sementara yang keputusannya ada ditangan Presiden bukan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

(25)

Adapun penjelasan mengenai Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 adalah sebagai berikut.

1. Remisi Khusus

Remisi khusus adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana pada hari besar agama yang paling diagungkan penganutnya yaitu :

a. Bagi narapidana yang menganut agama Islam diberikan pada hari Raya Idul Fitri

b. Bagi narapidana yang menganut agama Kristen /Khatolik diberikan pada tanggal 25 Desember ( Natal).

c. Bagi Agama Hindu pada saat perayaan Nyepi d. Bagi penganut agama Budha pada hari Waisak.

2. Besarnya remisi khusus berdasarkan Keppres No. 174/1999 tersebut adalah sebagai berikut :

a. (1) 15 hari untuk narapidana yang menjalani pidana 6 bulan sampai 12 bulan

(2) 1 bulan untuk narapidana yang menjalani 12 bulan atau lebih

b. Tahun pertama besarnya 1 bulan

c. Tahun kedua dan ketiga masing-masing diberikan 1 bulan d. Pada tahun keempat dan kelima diberikan 1 bulan 15 hari e. Pada tahun keenam dan seterusnya 2 bulan

(26)

a. ½ dari remisi khusus untuk yang berjasa pada negara b. 1/3 dari remisi khusus untuk yang membantu negara.

Perhitungan untuk memperoleh remisi dihitung sejak masa penahanan.

B. Tinjauan tentang Remisi Khusus a. Pengertian Remisi

Remisi atau pengurangan masa pidana adalah hal yang sangat didambakan oleh setiap narapidana untuk memperolehnya. Sebelum lahirnya Undang-undang No. 12 Tahun 1995 pemberian remisi kepada narapidana merupakan anugrah negara namun, sesuai perkembangan politik Hukum di Indonesia sejak diundangkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 remisi adalah Hak, hak yang akan diperoleh narapidana setelah memenuhi syarat-syarat subtantif dan administratif.

Adanya pemberian remisi khusus merupakan langkah positif yang harus kita syukuri, sebagai sesuatu bukti bahwa negara Indonesia adalah Negara yang sangat mengagungkan kuasa Tuhan Yang Maha Esa.

b. Dasar hukum Pemberian Remisi Khusus

Peraturan pokok yang dijadikan dasar hukum dalam rangka pemberian remisi khusus adalah :

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi

Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang remisi merupakan sebagai pengganti keputusan Presiden Republik Indonesia

(27)

No. 69 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa disamping pemberian remisi umum setiap tanggal 17 Agustus, diberikan pula remisi khusus, sebagai wujud dari kepedulian Negara pada hak-hak narapidana, terutama yang menyangkut kepada pembentukan watak dan sikap dari setiap narapidana yang dicapai melalui jalur pembinaan keagamaan demi tercapainya tujuan dari Sistem Pemasyarakatan.

Hal-hal yang diatur dalam keputusan presiden ini yaitu :

a. Perhitungan lamanya menjalani masa pidana sebagai dasar untuk menetapkan besarnya pemberian remisi, baik remisi umum, remisi khusus, ataupun remisi tambahan, kepada setiap narapidana yang telah memenuhi persyaratan.

b. Narapidana, anak pidana dan residivis dalam keputusan presiden ini diperbolehkan untuk mendapatkan remisi dengan catatan bahwa mereka telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan remisi, seperti yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa ada sedikit keringanan yang diberikan oleh negara, yaitu dengan diperbolehkannya seorang residivis untuk mendapatkan remisi setelah memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hal ini berarti bahwa negara benar-benar memberi perhatian yang serius kepada orang-orang yang telah gagal mengimplementasikan makna dari pembinaan yang telah diberikan sebelumnya. Secara jelas mengenai besarnya remisi yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana bedasarkan

(28)

kepada keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 tentang remisi adalah sebagai berikut :

1. Remisi Umum

Dalam pasal 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 tentang remisi meyatakan bahwa besarnya remisi umum adalah :

a. 1 (satu)bulan bagi narapidana dan anak pidana yang telah menjalani masa pidananya selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan

b. 2 (dua) bulan bagi Narapidana dan anak pidana yang telah menjalani masa pidana selama 12 ( dua belas) bulan atau lebih. c. 3 (tiga) bulan bagi Narapidana dan anak pidana yang menjalani

masa pidananya pada tahun kedua

d. 4 (empat) bulan bagi narapidana dan anak pidana yang menjalani masa pidananya pada tahun ketiga.

e. 5 (lima) bulan bagi narapidana dan anak pidana yang menjalani masa pidananya pada tahun keempat dan tahun kelima

f. 6 (enam) bulan bagi narapidana dan anak pidana yang menjalani masa pidananya pada tahun keenam dan seterusnya.

2. Remisi Khusus

Dalam pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi menyatakan bahwa besarnya remisi khusus adalah :

(29)

a.15 (lima belas) hari bagi narapidana dan anak pidana yang telah menjalani masa pidananya selama 6(enam) sampai 12(dua belas) bulan.

b. 1(satu) bulan bagi narapidana dan anak pidana yang telah menjalani masa pidananya selama 12(dua belas) bulan atau lebih.

c. Pada tahun kedua dan ketiga, masing-masing diberikan remisi sebesar 1(satu) bulan.

d. Pada tahun keempat dan kelima, masing-masing diberikan remisi sebesar 1(satu) bulan 15(lima belas) hari.

e. Pada tahun keenam, masing-masing diberikan remisi sebesar 2(dua) bulan.

3. Remisi Tambahan

Berdasarkan pada pasal 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 tentang remisi, menyatakan bahwa besarnya remisi tambahan adalah :

a. ½ ( satu perdua) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun bersangkutan bagi narapidana dan anak pidana yang telah berbuat jasa bagi negara atau yang telah melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan.

b. 1/3 (satu pertiga) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun bersangkutan bagi narapidana dan anak pidana yang telah melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai pemuka

(30)

2). Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor M. 09.HN.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi

Guna melaksanakan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang remisi Tersebut, Khusunya dalam hal pemberian remisi khusus kepada narapidana dan anak pidana, Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Mengeluarkan Keputusannya Nomor M.09. HN.02.01 Tanggal 23 Desember 1999, yang menegaskan bahwa :

a. Dalam hal pemberian Remisi, Menteri Hukum dapat mendelegasikan pelaksanaanya kepada Kepala Kantor Wilayah (pasal 2 ayat 1)

b. Perubahan pidana seumur hidup menjadi pidana sementara diusulkan kepada Menteri oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah.

c. Apabila selama menjalani masa pidananya narapidana dan anak pidana yang bersangkutan berpindah agama, maka pemberian remisi khusus kepada narapidana dan anak pidana tersebut dilakukan berdasarkan agama yang dianut oleh yang bersangkutan pada saat pendaftaran pertama kali.

(31)

3). Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor M. 10.HN.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Remisi Khusus Pada Hari Natal 1999 dan Pada hari Raya Idul Fitri 1940 Hijriyah Tahun 2000.

Surat Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Nomor M.10.HN.02.01 Tanggal 23 Desember 1999 dilakukan mengingat bahwa waktu pemberian remisi bagi narapidana/anak pidana yang beragama Kristen Protestan dan Kristen Khatolik hanya tinggal dua hari lagi yaitu pada tanggal 25 Desember 1999 serta Hari raya Idul Fitri pada tahun berikutnya yang hanya berkisar dua minggu lagi. Pada tahun-tahun berikutnya pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut kembali sebagaimana biasanya.

4. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.UM.01.10-130 Tahun 2001 Tentang Penjelasan Remisi Khusus Yang Tertunda dan Remisi Khusus Bersyarat Serta Remisi Tambahan

Dalam surat edaran ini, dibahas tentang : a. Remisi Khusus Tertunda

Penjelasan mengenai pemberian remisi ini yaitu apabila Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan telah memenuhi syarat subtantif pada saat hari besar agama. Pada saat tersebut yang bersangkutan masih berada dalam status sebagai seorang tahanan

(32)

yang mengakibatkan dirinya tidak berhak menerima remisi khususnya pada saat itu. Remisi khusus yang menjadi haknya tersebut akan diusulkan ketika statusnya sebagai seorang narapidana telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan telah dieksekusi oleh jaksa Penuntut Umum.

b. Remisi Khusus Bersyarat.

Remisi khusus bersyarat diberikan kepada narapidana dan anak pidana pada saat hari besar agama yang dianutnya. Ketentuan dalam pengusulan remisi khusus ini adalah apabila narapidana dan anak pidana yang akan diusulkan tersebut belum genap enam bulan menjalani masa pidananya yang terhitung mulai tanggal penahanannya pada tingkat penyidik.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan data-data berbasis satelit bisa digunakan untuk mengkalibrasi model hidrologi dan memprediksi potensi kejadian banjir dan

Sometimes, a root word needs to add an affix so that can be used. This affixes can change the meaning, kind, and function of words becomes other words that different function

Harga grosir jenis beras IR di PIBC naik disebabkan meningkatnya permintaan di wilayah Jabodetabek dan tingginya permintaan dari para pedagang antar pulau sedangkan kenaikan harga

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan fenomenologis (yang berusaha mengerti dan memahami kejadian/peristiwa

Misi penting dari inisiatif Nabi membuat Piagam Madinah adalah satu sisi Nabi berhasil menyatukan penduduk Madinah dalam perjanjian damai, sedang sisi lain menguntungkan Nabi

Mendesain sebuah jam tangan kayu dengan material yang sesuai dengan karakteristik masing-masing material tersebut yang nantinya akan digunakan untuk bagian tertentu

B. aconitus dan Cx.. Uji ooba strain lokal bacillus thuringiensis. Kedalam mangkok plastik, selanjutnya dimasukkan 20 ekor jentik nyamuk instar I11 yang diuji. Masing-masing

- Mynälahdella alkutalvesta jäältä edellisvuotta hieman paremmin kuhaa, kuorekausi erit- täin lyhyt, koska samea vesi lämpeni hyvin nopeasti, kuoreen koko ei ole enää