• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cetakan pertama, Februari 2017 xiv hlm. ; 18 cm ISBN:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Cetakan pertama, Februari 2017 xiv hlm. ; 18 cm ISBN:"

Copied!
278
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

TENGOKLAH KE DALAM

Ziarah Diri melalui Pengetahuan dan Cinta demi Kebahagiaan Puncak

© M. Subhi-Ibrahim Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa seizin tertulis dari penulis. Cetakan pertama, Februari 2017

xiv + 264 hlm. ; 18 cm ISBN: 978-602-8917-76-6

Diterbitkan oleh: AYNAT PUBLISHING

Jl. Wonosari Km 7, Tegal Sampangan Yogyakarta E-mail: aynatpublishing@yahoo.com

Lay out dan Sampul: MN. Jihad Dicetak oleh: CV. Arti Bumi Intaran Isi di luar tanggung jawab percetakan

(5)

Akhirnya,

Sebagaimana kelahiranku,

demikian pula kematianku.

Kehendak-Mu, terjadilah.

(6)
(7)

• vii

Kata Pengantar

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Puja dan syukur pada Allah SWT. Shalawat dan salam untuk baginda Rasulullah

Muhammad SAW dan keluarganya.

Saya pencinta sophia, kebijaksanaan dari siapa pun, dari mana pun, dalam bentuk apa pun. Sebagai pencinta Kebijaksanaan, saya mengembara tiada akhir. Beragam bentuk ekpresi kebijaksaan telah saya jumpai. Saya coba melampaui bentuk-bentuk kebijaksanaan itu. Saya meniti jalan menuju Kebijaksanaan tanpa bentuk. Dalam perjalanan itu, saya tertolong oleh salah satu buku tasawuf terbaik di jaman kita: The Garden of Truth: The Vision and

(8)

viii • Kata Pengantar

Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition karya Seyyed Hossein Nasr. Inilah buku yang secara tak langsung melahirkan buku “Tengoklah ke Dalam: Ziarah Diri Melalui Pengetahuan dan Cinta Demi Kebahagiaan Puncak“

Buku ini adalah kumpulan catatan saya di Facebook (FB) selama kurun 2013-2016, khususnya pada Ramadhan 1437 H /2016 M. Judul “Tengoklah ke Dalam” buku ini sendiri diambil dari salahsatu bait lirik lagu “Untuk Kita Renungkan” karya Ebiet G. Ade. Judul tersebut menggambarkan bahwa, jalan ruhani, juga jalan kebahagiaan, dimulai dari menengok jati diri kita terlebih dahulu.

Isi buku “Tengoklah ke Dalam” adalah ajakan penulis untuk berjalan bersama, menziarahi diri melalui pengetahuan dan cinta, disertai tindakan, demi meraih kebahagiaan sejati. Dalam menulis, saya meminjam kaca mata perennialisme dalam refleksi-ruhani dalam sekujur teks. Karena itu, pembaca bukan hanya menemukan percah ajaran ruhani dalam Islam (tasawuf), tetapi juga berbagai percikan ruhani dari tradisi ruhani yang lain, seperti Advaita Vedanta, atau mistisisme Kristen.

(9)

Kata Pengantar • ix

Sebetulnya, isi buku ini “berat”, namun saya upayakan ditulis secara populer, dan ringan. Harapannya, siapa pun yang membaca bisa mengunyah, menikmati, sekaligus menyicipi aroma dunia ruhani secara santai. Serius tapi santai.

Selanjutnya, secara detil, buku ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi refleksi-teoritis tentang jalan ruhani. Pada hakikatnya, jantung jalan ruhani adalah bagaimana mengenal diri, membangkitkan kesadaran ruhani. Dalam tasawuf, mistisisme Islam, jalan ruhani melalui dua gerbang utama, yakni pengetahuan (ma’rifah), dan cinta (mahabbah), disertai dengan tindakan, melakukan kebajikan (makhafah). Bagian inilah yang ditulis selama Ramadhan 1437 H. Karena itu, nuansa Ramadhan sangat kental. Sebagian besar materi tulisan berasal dari buku “The Garden of Truth” karya Seyyed Hossein Nasr. Jadi, dapat dikatakan, bagian ini merupakan edisi ringkas (mukhtashar) dari salahsatu masterpiece Nasr tersebut.

Bagian kedua, berisi kutipan-kutipan hikmah yang tercecer selama kurun waktu 2013-2016. Secara umum, kutipan-kutipan itu pun mengungkap seputar jalan ruhani pula. Pada bagian ini, saya

(10)

x • Kata Pengantar

beri sub-judul: “Percikan Hikmah Abadi”, yang dikategorisasi menjadi empat bagian. Pertama, pengantar perjalanan; Kedua, Pengetahuan, Cinta, dan Kebahagiaan; Ketiga, Kebajikan-Kebajikan; keempat, kehidupan dan kematian.

Saya bersyukur punya sejumlah sahabat yang setia menemani, “mantengi” proses penulisan catatan harian di FaceBook. Sahabat-sahabat, terimakasih! Meskipun sebagian banyak belum pernah bersua di dunia “nyata”, namun interaksi di dunia “maya” cukup hangat. Dan itu sungguh berarti bagi saya. Selanjutnya, saya haturkan banyak terimakasih kepada Prof. Firmanzah, Ph.D (Rektor Universitas Paramadina), Prof. Dr. Abdul Hadi WM (guru besar filsafat dan agama Universitas Paramadina, budayawan, dan penyair sufi) Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA (Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta), dan M. Nur Jabir (Direktur Rumi Institute) yang berkenan memberi endorsement untuk buku sederhana ini. Tak lupa, rekan kinasih, DR. Abdul Muid Nawawi yang telah membantu penerbitan buku ini.

Catatan-catatan ini pun tak mungkin mewujud tanpa kehangatan cinta keluarga kecil saya. Istri terkasih,

(11)

Kata Pengantar • xi

Rosani Yasminullah dan putera-puteriku, dua sayap kebahagiaanku: Ahmad Ruhullah Haydari dan Syahzanan Khanza al-Azkia. Terimakasih, syukur tak berhingga.

Bi ‘aunika ya Lathif

(12)

xii •

Daftar Isi

Kata Pengantar vii

Daftar Isi xii

PROLOG: SIKLUS HIDUP 1

Kelahiran 3

Melampaui Tubuh dan Jiwa 8

Peningkatan Kesadaran 11

Diagnosa Tingkat Kesadaran 14

Cara Kerja Kesadaran 17

Sebongkah Karang pun adalah Kesadaran 21 Maukah Kita Bangun dari Mimpi? 23 Perjalanan Turun, Perjalanan Naik 27

Menjadi Manusia Universal 32

Mendengar, Melihat, dan Terbakar Kebenaran 35

Visi Pembebasan 38

Pengetahuan yang Membebaskan 41

Mungkinkah Allah Diketahui dan Dijelaskan? 43

Aku dan Aku 46

Kesatuan Wujud 49

Membaca Buku Kosmik 53

Kreativitas Allah 56

(13)

Daftar IsI • xiii

Makrokosmos dan Mikrokosmos 62

Metafisika Cinta 65

Makna Batin Cinta Manusia 69

Cinta Allah 72

Estetika Ruhani 74

Lailah Al-Qadr Perspektif Metafisika 85

“Melampaui” Baik dan Buruk 87

Tindakan, Jiwa dan Hukum Ilahi 90

Ikhlas dan Ksatriaan Ruhani 93

Membaca Al-Quran 95

Bertindak dengan Pengetahuan dan Cinta 100

Welas-Kasih 103

Kembali pada Tuhan Lewat Doa 105 Pasrah Diri Mengikuti Kehendak-Nya 111

EPILOG: KEBAHAGIAAN RUHANI 115

Kebahagiaan Ruhani 117

PERCIKAN HIKMAH ABADI 129

Pengantar Perjalanan 130

Pengetahuan, Cinta, dan Kebahagiaan 143

Kebajikan-Kebajikan 207

Kehidupan dan Kematian 239

(14)
(15)

Prolog

(16)
(17)

• 3

Kelahiran

Manusia terdiri dari tiga unsur: tubuh, jiwa, dan ruh. Karena itu, manusia mengalami tiga kelahiran. Pertama, kelahiran tubuh. Dalam keseharian, bila kita ditanya: kapan kita lahir (tempat tanggal lahir) kita, maka yang dimaksud adalah kelahiran tubuh-wadag, fisik-biologis yang tunduk pada hukum material. Kedua, kelahiran jiwa. Bagaimana melacak kelahiran jiwa kita? Mudah saja. Salahsatu daya jiwa adalah mengingat (memori). Tanyakan pada diri kita, sejak kapan kita bisa “mengingat” sesuatu, atau peristiwa saat kanak-kanak. Pada dasarnya, kita tak tahu, kapan dan di mana kita lahir. Kita diberitahu oleh orang-orang sekeliling kita. Artinya, bayi belum dapat mengingat. Jiwa belum lahir. Mungkin, kita mampu mengingat sesuatu saat umur kita 4 tahun, atau mungkin juga ada orang yang hanya bisa mengingat sesuatu setelah umur 5 atau 6 tahun.

(18)

4 • Prolog: sIKlus HIDuP

Kelahiran ego, aku-psikologis. Itulah kelahiran jiwa. Ketiga, kelahiran ruh. Kelahiran ruh terjadi saat kita menyadari tentang siapakah diri kita yang sesungguhnya yang tak lain adalah ruh itu sendiri.

Pertumbuhan dan Kematian

Setelah mengalami kelahiran tubuh, kita tumbuh: anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Pertumbuhan

tubuh-fisikal kita mengikuti perkembangan

biologis-material. Perkembangan tersebut bersifat deterministik. Artinya, kita tak bisa melawan “takdir-material” kita sebagai makhluk-biologis. Seperti halnya mesin, semakin lama tubuh kita semakin aus. Fungsi-fungsi organ tubuh semakin menurun. Penuaan terjadi, dan tak bisa dihindari. Suatu saat, tubuh kita mengalami dis-fungsi total. Itulah kematian tubuh. Tubuh dikubur, atau diper-abu-kan, menyatu dengan “ibunda” alam semesta. Pertumbuhan jiwa lebih dinamis. Kelahiran ego, aku-psikologis (selanjutnya disebut: keakuan) berlanjut dengan munculnya daya-daya, seperti daya mengingat, daya imajinasi, daya nalar (berfikir logis-rasional). daya-daya tersebut melambangkan pertumbuhan jiwa. Awalnya, pada masa kanak-kanaknya, jiwa mampu mengingat sesuatu atau

(19)

Prolog: sIKlus HIDuP • 5

peristiwa. Ini daya paling elementer, pondasi. Dalam psikologi Modern, terutama psiko-analisa, sebagian banyak perilaku dibentuk oleh memori. Karena itu, psikolog Modern melacak perilaku kekinian seseorang dengan merunut pada memori masa lalu yang terpendam, yang disimpan, yang oleh mereka disebut: alam bawah sadar. Selanjutnya, jiwa masuk pada masa remaja yang ditandai dengan daya imajinasi: kemampuan membayangkan “sesuatu yang diIngat tidak sebagaimana sesuatu itu.” Misalnya, saya terlahir di Banten, lalu saya membayangkan Banten itu ada di Planet Mars. Imajinasi lebih kompleks dibanding memori. Selanjutnya, kedewasaan jiwa terlihat saat seseorang mampu bernalar, berfikir logis-rasional. Proses pendewasaan jiwa ini dicapai melalui pembelajaran. Pembelajaran bisa dilakukan dimana pun, bukan hanya di sekolah. Nah, berbeda dengan pertumbuhan tubuh yang berjalan secara objektif, jiwa tumbuh secara “subjektif”. Subjektif dalam arti, setiap orang berbeda-beda dalam pertumbuhannya. Bisa jadi ada orang yang pertumbuhannya hanya sampai anak-anak atau remaja saja, tidak melalui tahap dewasa. Jadi, pertumbuhan jiwa tidak deterministik, tetapi melalui proses pembentukan yang diusahakan. Dalam keseharian kita kerap

(20)

6 • Prolog: sIKlus HIDuP

mendengar perkataan,”kamu ini sudah dewasa tapi seperti anak-anak”. Dewasa secara fisik-biologis, tapi kanak-kanak secara psikis. Nah, daya menalar, pada gilirannya, melahirkan kemampuan melakukan refleksi, termasuk refleksi-diri. Refleksi diri berujung pada kelahiran ruh: mempertanyakan diri. Ketika seseorang mempertanyakan dirinya (Siapakah aku, dari amana aku berasal, ke mana aku akan pergi, apa yang harus aku lakukan kini), lalu menyaksikan bahwa ternyata, aku-psikis (jiwa), bukanlah hakikatku, saat itulah terjadi kematian aku: matinya ego. Kematian ego berbarengan dengan kelahiran ruh kita. Kematian ego terjadi karena proses refleksi diri, perenungan mendalam, tafakkur. Tafakkur lebih baik daripada ribuan rakaat ibadah-ritual yang sekedar demi pemuas keakuan.

Seperti telah dikemukakan di atas, kelahiran ruh kita terjadi ketika kita merefleksikan diri kita, sampai pada titik di mana kita menyaksikan dengan pasti: bukan hanya aku-biologis, tapi aku-psikis pun adalah ilusi. Seperti halnya jiwa, ruh tumbuh tidak secara deterministik. Ruh tumbuh melalui upaya, melalui olah-batin, dan bila diilustrasikan seperti sebuah perjalanan, pengembaraan. Dalam pengembaraan tersebut, dibutuhkan bekal. Bekal terpenting adalah rute yang harus kita lalui. Rute itu kita ketahui,

(21)

Prolog: sIKlus HIDuP • 7

kita peroleh dari cerita orang-orang yang telah melaluinya. Buku ini merupakan salinan dari cerita orang-orang yang telah melakoni pengembaraan ruhani itu.

Akhir al-kalam, bisa jadi, ada orang yang dewasa secara fisik dan psikis, tapi ruhnya belum terlahir, atau masih kanak-kanak. Ciri ruh yang telah dewasa adalah: apa pun yang terjadi (suka atau duka) tidak akan memengaruhinya, jiwa pun tenang. Ruh yang telah dewasa mengakibatkan jiwa jadi tenang. Allah pun menyambut,“Wahai jiwa yang tenang, kembali pada Pemeliharamu dengan ridha dan diridhai. Masuklah dalam (golongan) para pelayan-Ku, dan masuklah ke surga-Ku.” (QS. Al-Fajr [89]:27-30) Wa Allah a’lam bi al-shawab

(22)

8 •

Melampaui Tubuh dan Jiwa

Puasa adalah peristiwa ruhani. Peristiwa berisi rentetan moment. Moment apa yang terjadi dalam puasa? Pengambilan jarak (distansiasi, transendensi). Puasa mengajarkan pengambil-jarakkan, transendensi dari dua ikatan-eksistensial: tubuh dan jiwa. Kebutuhan dasar tubuh: makan, minum, seks, bukan dimatikan, tapi ditunda pemenuhannya. Proses penundaan ini, seharusnya, memproduksi kesadaran: aku bukan tubuh ini. Aku tak identik dengan tubuh. buktinya, aku bisa berjarak dengan tubuhku sedemikian rupa. Aku secara sadar melaparkan diri, menghauskan diri. Aku tidak secara total terdeterminasi oleh tubuh. Tubuh hanya salahsatu faktor dalam cara mengadaku di dunia ini. Sayangnya, dalam cerita sosial kita, bulan puasa menjadi bulan dimana sebagian banyak kita memanjakan tubuh dengan ragam konsumsi

(23)

Prolog: sIKlus HIDuP • 9

penganan yang lezat-lezat di fase “berbuka” hingga sahur. Cerita sosial kita pun mengabarkan bagaimana toko-toko baju, pakaian, dan pernak-pernik yang memperindah tubuh mendulang keuntungan lebih di penghujung bulan Ramadhan ini.

Nah, bukan hanya tubuh yang diambil-jaraki, jiwa juga. Kita mengenal jiwa melalui gejala-gejalanya yang lahir dari daya-daya jiwa yang, diwakili, oleh daya berfikir. Dalam puasa, kita mengambil-jarak dari gejala berfikir. Dalam keseharian, kita begitu dikontrol, dikendalikan oleh pikiran kita. Saking tenggelamnya kita dalam lapis kedua eksistensi manusia ini, kita beranggapan: aku adalah pikiran. Kita diombang- ambingkan oleh pikiran yang menyeret kita ke masa lalu, ke masa depan, ditekan oleh target-target, rencana-rencana yang sesungguhnya diciptakan oleh pikiran kita sendiri. Kita pun terhuyung-huyung, mudah stress, bahkan depresi. Penyebabnya, bukan sesuatu yang di luar diri kita, tapi karena kita tak mampu mengendalikan pikiran kita sendiri. Pikiran adalah anak kandung jiwa yang kemudian menjajah jiwa, diri kita. Puasa tak mengajarkan anti-pikiran, tapi melampaui-pikiran. Pikiran penting untuk menata kesemerawutan informasi yang hadir di hadapan kesadaran, memetakan persoalan hidup dan seterusnya. Tapi,

(24)

10 • Prolog: sIKlus HIDuP

hati-hati. Pikiran bisa jadi penjajah diri kita. Dengan puasa, kita ditarik, mengambil jarak dari pikiran kita. Merasakan hening sejenak. Dan, perhatikan apa yang hadir dalam pikiran kita. Sekali lagi, apa yang berseliweran dalam pikiran kita: ide, bayangan dan sebagainya. Apakah semua yang hadir itu telah tunduk pada titah Ilahi. Atau masih liar, usil, tak terkendali, dan bahkan mengendalikan kita. Pikiran itulah yang memprovikasi kita dengan segala bentuk keinginan-keinginan. Buang! Buang saja! Lampaui pikiran. Aku bukan pikiran. Pikiran (jiwa) hanya salahsatu elemen pembentuk cara mengadaku. Bila kita telah melampaui ketubuhan dan kejiwaan, maka kita akan memasuki satu keadaan: hening. Puasa melahirkan keheningan. Keheningan disimbolisasi dengan “malam”. Dalam keheningan lahir kejernihan. Saat itulah, kita menatap diri sendiri dengan jernih, dan sekaligus menyadari secara penuh siapakah aku ini sebenarnya. Kesadaran diri, itulah titik penentuan perjalanan hidup seseorang. Malam penentuan, lailah al-qadr. Ironisnya, dalam cerita sosial kita, bulan puasa selalu menjadi saat semua media informasi digaduhi oleh ragam acara dan informasi “cekikikan” yang memecah keheningan diri kita. (Cilegon, 1 Ramadhan 1437 H/6 Juni 2016)

(25)

• 11

Peningkatan Kesadaran

Seperti disinggung pada catatan pertama, puasa mengajak kita mentransendensikan diri dari ketubuhan dan kejiwaan. Kita menziarahi diri kita sendiri dengan mengupasi lapis-lapis diri. Tubuh dan jiwa harus dilampaui bila kita “serius” ingin tahu siapa diri kita. Inilah kunci pengenalan diri. Gerbang perjalanan ruhani. Seperti puasa, ritual-ritual lain pun merupakan wahana bentuk untuk peningkatan kesadaran. Karena itu, beragama berarti upaya peningkatan kesadaran. Kesadaran apa?

Kesadaran melibatkan aku yang menyadari (subjek) dan sesuatu yang disadari (objek) yang terhubung melalui aktifitas menyadari. Struktur subjek, objek, dan aktivitas kesadaran ini merupakan produk pikiran. Pikiran merefleksikan kesadaran dan menemukan pola tersebut. Namun sebetulnya,

(26)

12 • Prolog: sIKlus HIDuP

secara hakiki, ketiga elemen tersebut merupakan satu-kesatuan. Aku, kamu, dan alam ini adalah satu, tunggal. Secara metafisik, kenyataan, realitas adalah tunggal. Lalu, apa yang tunggal itu? Singkatnya, yang tunggal itu adalah Allah, Sang Kesadaran. Tak ada wujud, kecuali Sang Wujud. Jadi, siapakah aku ini sebenarnya? Saya tak perlu jawab. Anda bisa simpulkan sendiri. Bagaimana Sang Kesadaran itu “kita sadari”? Kita hanya perlu menarik diri. Temukan keheningan. Istirahatkan diri. Relax. Tarik nafas dan keluarkan. Perhatikan segala bayang, ide atau apa pun itu yang hilir mudik di depan kesadaran kita. Buang semuanya. Perhatikan. Hanya kekosongan. Hening. Itulah aku semu, ilutif itu. Singkirkan. Ternyata aku adalah Kesadaran itu sendiri. Ini sekedar penyederhanaan dari proses panjang pengembaraan diri kita untuk menemukan jalan kembali.

Dalam keseharian, mencari Sang Kesadaran, yang merupakan jawaban atas pertanyaan: siapakah aku, jati diri, kerap diabaikan, diacuhkan. Meskipun proyek eksistensial ini ditinggalkan, namun kita semua akan mendapatkan “pengetahua suci”, scientia sacra ini secara pasti dan terang benderang saat kita berdiri di hadapan Sang Maut. Sang Maut akan menyentak. Kita pun terbangun dari labirin mimpi,

(27)

Prolog: sIKlus HIDuP • 13

terjaga, dan sadar akan jati diri kita ini. Bila saat itu tiba, terlambat. Karena itu, para sufi mengajak kita untuk menjawab pertanyaan tentang siapakah aku. Menyelesaikan proyek eksistensial kita, di sini dan sekarang. Bukan nanti. Tentu, bulan suci yang terberkati adalah salahsatu waktu yang tepat untuk sungguh-sungguh menemukan keheningan, menyadari jati diri kita. (Jakarta, 2 Ramadhan 1437 H/ 7 Juni 2016 M)

(28)

14 •

Diagnosa Tingkat Kesadaran

Puasa meningkatkan kesadaran. Meningkatkan berasal dari kata tingkat. Dan memang, kesadaran itu bertingkat. Pada dasarnya, kesadaran itu energi, seperti aliran listrik. Ia adalah listrik yang memungkinkan seluruh operasi organik manusia. TV tak bisa berfungsi tanpa listrik. Begitu pula, dengan tubuh dan jiwa kita tak dapat berfungsi bila tanpa kesadaran.

Seperti listrik, kesadaran kita pun memiliki tingkatan. Tingkat rendah, menengah, dan tinggi. Tingkat rendah: kesadarannya tenggelam dalam kebertubuhan, dan arus kejiwaan. Identifikasi diri dengan tubuh dan jiwa. Terikat oleh tubuh. Kesenangan diperoleh dari pemuasan kebutuhan tubuh. Terjerat oleh jiwa. Jiwa, dengan pikiran, imajinasi, dan rasanya, menjerat diri dengan ragam

(29)

Prolog: sIKlus HIDuP • 15

ide, bayangan, dan emosi. Suka-duka, senang-tidak senang dan seterusnya memenjara diri. Akibatnya, orang dengan kesadaran tingkat ini mudah terseret, terombang-ambing, tertekan karena ia mengikuti hukum tubuh-jiwa, yakni perubahan. Makna hidup dilandaskan pada sesuatu yang berubah, yang bisa rusak. Selanjutnya, tingkat menengah: kesadarannya mampu mengambil-jarak, mampu membedakan dirinya dengan tubuh dan jiwa. Pada tingkat ini, seseorang sadar bahwa, aku adalah kesadaran itu sendiri. Dalam menjalani hidup, ia selalu dalam kesadaran penuh. Ia seperti penonton yang menilai pertunjukan hidup. Kemampuan mengambil-jarak tersebut membuatnya bisa mencandra realitas secara utuh, dapat menjelaskan sekaligus mengubah realitas. kemudian, tingkat tinggi: tak ada apa-apa lagi. Kosong. Aku lenyap (fana). Hening. Bahasa yang digunakan adalah diam. Situasi ini seperti jika kita tidur tanpa mimpi. Kesunyian abadi.

Tingkat kesadaran hirarkis ini bersifat fluktuatif. Naik-turun. Sebagian besar manusia, hidup dengan kesadaran rendah, sedikit yang berkesadaran menengah, dan sedikit sekali yang berkesadaran tinggi. Orang dengan kesadaran tinggi sulit dipahami oleh orang berkesadaran rendah dan menengah sebab mereka bicara dengan keheningan, diam. Karena itu,

(30)

16 • Prolog: sIKlus HIDuP

secara sadar, mereka menurunkan kesadaran mereka ke kesadaran tingkat menengah. Mereka disebut: orang yang terjaga (budha), yang turun (avatar), para pengabar (nabi) dan sebagainya.

Puasa menggembleng pelaku-puasa untuk

meningkatkan kesadaran dengan meloloskan diri dari penjara tubuh dan jiwa, mengambil jarak dengan menunda pemenuhannya. Moment penundaan itu menunjukkan bahwa kita mampu mengontrol tubuh, jiwa kita. Bila kita sukses melakukan ini, diharapkan, kekuatan ruhani kita pun bangun, sadar, terjaga. Keterjagaan kesadaran disebut ihsan. Berbuatlah sedemikian rupa seolah-olah Kalian melihat Allah, dan bila tidak, yakinlah bahwa Allah melihat kalian. Kesadaran ini hanya diperoleh oleh mereka yang terjaga, sadar akan kehadiran Sang Kesadaran, Ilahi itu sendiri yang sesungguhnya adalah listrik yang mengaliri diri kita. (Cilegon, 3 Ramadhan 1437 H/ 8 Juni 2016)

(31)

• 17

Cara Kerja Kesadaran

Pada dasarnya, kesadaran tak bisa dideskripsikan secara utuh karena (1) kesadaran adalah diri kita sendiri (Aku). Meskipun kita punya kemampuan

mengambil-jarak, transendensi-diri, namun

sesungguhnya kita tak pernah betul-betul berjarak dengan Aku, Kesadaran. Bagaimana mungkin berjarak, melepas, kesadaran yang merupakan dasar eksistensi kita. (2) Pengambilan-jarak, transendensi-diri dilakukan melalui refleksi. Refleksi adalah kerja pikiran. Pikiran bekerja dengan memilah-milah, lalu melihat sesuatu dari sebuah sudut pandang tertentu. Karena itu, pikiran hanya mampu melihat sesuatu sebagai fragmen, salahsatu, atau beberapa aspek, tidak dalam keutuhannya.

Sesungguhnya, Kesadaran adalah spirit, ruh, percikan Sang Kesadaran. Kesadaran merupakan

(32)

18 • Prolog: sIKlus HIDuP

hembusan nafas Sang Kesadaran. Kesadaran bersifat Ilahi. Dalam konteks Islam, Kesadaran adalah ruh. “Mereka bertanya tentang ruh. Katakanlah, ruh adalah urusan pemeliharaku. Tidak diberikan pengetahuan tentangnya kecuali sedikit saja”. Begitu firman Allah.

Berdasar paparan dari para mistikus, kita bisa tahu sedikit tentang cara kerja kesadaran. Cara kerja kesadaran dapat dilustrasikan sebagai berikut.

(1) Kesadaran seperti listrik. listrik adalah energi, daya yang memungkinkan suatu perangkat berfungsi. TV, komputer, kulkas, AC tak akan bekerja, berfungsi tanpa dialiri listrik. Tubuh dan jiwa kita pun demikian. keduanya tidak akan berfungsi: bergerak, mencandra dan lain-lain (tubuh), merasa, berfikir, berimajinasi dan lain-lain (jiwa) tanpa kesadaran. Ketika perangkat tubuh dan jiwa telah aus, kesadaran memisahkan diri. Itulah kematian.

(2) Kesadaran seperti penonton. Kesadaran atau Aku kita menonton permainan hidup. Permainan tubuh, permainan pikiran, permainan rasa. Semua permainan ditampilkan di hadapan kesadaran, aku, kita. Perhatikan kalau kita

(33)

Prolog: sIKlus HIDuP • 19

sedang makan. Tangan mengambil makanan, memasukkannya ke mulut, gigi mengunyah, lidah merasa, lalu makanan masuk ke perut, digiling jadi energi, yang tidak dibutuhkan dibuang... menarik sekali permainan tubuh kita bukan? Kaki melangkah, tangan memegang, mata melihat dan seterusnya. Semuanya permainan. Semuanya menarik. Tertarik tapi jangan terikat. Makan itu menyenangkan. Tapi jangan terlalu larut dalam kesenangan makan. Keterlarutan menyebabkan keterikatan. Inilah awal penderitaan. Ingat, kita adalah penonton. Lebih canggih lagi permainan yang pentaskan oleh pikiran, emosi, dan imajinasi kita. Biasanya, kesadaran mudah terlibat dalam permainan jiwa. Ya, boleh sajalah. Terlibat. Tapi ingat, permainan selalu punya akhir. Kesadaran yang harus memutuskan akhir dari permainan. Bukan jiwa. Sebab, jiwa, seperti anak-anak yang senang ditemani bermain. Jiwa ingin melibatkan kesadaran terus-menerus dalam permainannya. Bermain tanpa akhir. Permainan jiwa seperti mimpi. Kesadaran sesekali terlibat, tapi tak boleh terikat. Kesadran harus selalu terjaga, tidak tidur, larut dalam mimpi permainan yang digelar oleh tubuh dan jiwa. Kemampuan terlibat tapi tak terikat inilah yang diajarkan para manusia suci,

(34)

20 • Prolog: sIKlus HIDuP

mistikus, para nabi, avatar budha dan sebagainya. Bila kesadaran tak terikat oleh permainan, ia bisa menikmati sandiwara hidup.

(3) Kesadaran laksana aliran air. Aku adalah kesadaran. Kesadaran mengalir, bergerak terus menyusuri sungai hidup. Tak ada yang mampu menghentikannya. Karena itu, yang bisa dilakukan adalah: ikuti aliran hidup, maknai setiap tempat dan peristiwa yang dilalui dengan pasrah diri. Pasrah diri melahirkan ikhlas. Apa sich yang kita cari. Tak perlu dipikirkan, tak perlu diambil hati segala yang pernah dilalui sebab bila kita, kesadaran terikat pada sesuatu: yang menyenangkan atau yang menyakitkan dalam mengarungi sungai kehidupan ini, maka hal itu akan menunda persatuan kita dengan sang lautan, sang samudera. Semuanya akan mengalir ke satu muara, yakni kematian. Dan setelah itu menyatu dengan lautan, samudera.

Paparan ini hanyalah penyederhana dari sesuatu yang, sesungguhnya, lebih rumit untuk dijelaskan dengan kata-kata yang terbatas. (Cilegon, 5 Ramadhan 1437 H / 10 Juni 2016 M)

(35)

• 21

Sebongkah Karang pun

adalah Kesadaran

“Pada Mulanya adalah Kesadaran.” Demikian tulis Seyyed Hossen Nasr. Dalam semua agama, asal kosmos dan manusia adalah Realitas yang sadar, penentu kesadaran, transenden, sumber semua kesadaran di dunia kosmik, termasuk kesadaran kita. Bicara tentang Tuhan, Tao, Firman, Brahman, sesungguhnya bicara tentang kesadaran. Ini kebenarannya. Tradisi Hindu mengeksplisitkan kebenaran sebagai sat (wujud)-chit (kesadaran)-ananda (Kebahagiaan). Para Filsuf Timur dan Barat Tradisional bicara tentang kebenaran yang sama: To Agathon Plato bukan hanya berarti Kebaikan Tertinggi tetapi juga bermakna Kesadaran Tertinggi dari Kebaikan. Nous atau intelek, dalam tradisi filsafat Yunani, tak terpisahkan dari kesadaran. Para filsuf Muslim menyinggung wujud yang tak terpisahkan

(36)

22 • Prolog: sIKlus HIDuP

dari pengetahuan. Pengetahuan berhubungan erat dengan kesadaran. Oleh sebab itu, level-level kosmik jadi level-level pengetahuan dan kesadaran. “Bahkan sebongkah karang pun merupakan a state of consciousness. Demikian sedikit cuplikan pendapat Nasr.(Lihat: Seyyed Hossein Nasr,”In the Beginning was Consciousness”, dalam Wiliam C. Chittick (Ed.), The Essential Seyyed Hossein Nasr, Bloomington: World Wisdom, 2007). (Cilegon, 5 Ramadhan 1437 H/ 9 Juni 2016)

Salam. Catatan hari 1-5 Ramadhan, sengaja saya isi dengan paparan tentang kesadaran. Inti yang ingin saya katakan sebenarnya adalah: Beragama merupakan proses penyadaran diri, meningkatkan Kesadaran. Lalu, bagaimana kita menemukan Kesadaran, yang sesungguhnya Kebenaran itu sendiri, yang merupakan jati diri kita. Mulai hari ke-6 Ramadhan, saya akan membuat catatan bagaimana tradisi Islam menjelaskan perjalanan mencari jati diri itu. Mari kita mulai perjalanan abadi, peziarahan diri ini. Semoga bermanfaat.

(37)

• 23

Maukah Kita Bangun

dari Mimpi?

“Siapakah kita, darimana kita datang, apa yang kita lakukan di sini, dan ke mana kita akan pergi”. Deretan pertanyaan eksistensial ini tak terelakkan hadir. Bisa jadi, ia begitu intens hadir sekarang, nanti, atau bahkan menjelang kita mati. Ada yang acuh, masa bodoh dengan pertanyaan tersebut. Namun, tak sedikit yang serius mencari jawabannya. Mengapa serius? Karena jawaban dari pertanyaan tersebut menentukan bagaimana kita bertindak, berfikir, dan mengembangkan potensi laten kita.

Tasawuf menawarkan jawaban bagi siapapun yang serius mencari jawaban. Jalan sufi merupakan jalan pencarian jati diri, inti dari pertanyaan eksistensial tersebut. Tawasuf adalah dimensi batin, eksoterik,

(38)

24 • Prolog: sIKlus HIDuP

jantung Islam. Memang, Islam menyingkap hakikat diri kita. “Sesungguhnya kita datang dari Allah dan kepada-Nya kita akan kembali” (QS. Al-Baqarah: 156). Dialah yang Nyata, semua keberadaan memancar dari-Nya, termasuk kita, dan Dia pula yang menunjukkan jalan kembali kepada-Nya. Dialah Yang Esa, Awal dan akhir, Tuhan. Dialah Allah. Menjawab pertanyaan eksistensial di atas, berarti merupakan titik awal perjalanan kembali pada asal, ke pusat hakikat diri kita. Perjalanan itu bukan perjalanan ke luar diri kita, namun ke dalam diri kita. Islam memperkenalkannya dengan tiga istilah kunci: syariah, thariqah, dan haqiqah.

Syariah berarti jalan. Jalan yang wajib dilalui semua Muslim jika ingin mati dalam keadaan terberkati. Syariah adalah aspek eksoterik, dimensi lahir Islam, dasar beragama. Syariah terkait dengan iman atas eksistensi Allah, dan amal shalih. Inilah tuntutan minimal. Karena itu, mayoritas Muslim berada pada lapis ini. Nah, bagi para pencari. Syariah “belum cukup”. Perjalanan menuju Haqiqah, Kebenaran, Realitas Sejati, yang merupakan sumber syariah, mestilah melangkah lebih jauh melalui setapak jalan ruhani, yakni thariqah. Bila diilustrasikan sebagai sebuah lingkaran, syariah merupakan garis

(39)

Prolog: sIKlus HIDuP • 25

tepi dari lingkaran, haqiqah adalah pusat lingkaran, sedangkan thariqah merupakan jari-jari yang menghubungkan tepi lingkaran ke pusat lingkaran. Inilah paket jalan keselamatan.

Bila penziarahan kita telah sampai pada pusat diri kita, maka kita mengenal jati diri kita. “Barangsiapa mengenal dirinya, pastilah akan mengenal Tuhannya.” Pengetahuan diri akan mengantar pada pengetahuan tentang Tuhan.

Sebenarnya, kita telah tahu siapa hakikat diri kita yang berakar pada Yang Ilahi sendiri. Bahkan, secara primordial, kita telah mengikat perjanjian dengan-Nya di alam alastu, alam pra-eksistensi, sebelum kita hadir di dunia ini. (QS. Al A’raf: 172). Pertanyaan tentang siapakah kita ini terkait dengan Realitas akhir, Allah, sebuah kenyataan yang kita lupakan sebagai akibat dari kejatuhan kita dari keadaan asali dan primordial kita. Kita jadi makhluk pelupa: lupa siapakah diri kita, tak tahu apa tujuan kita dalam hidup ini. Karena itu, kita hanya perlu mengingat kembali, menyadari, menginsafi diri, bangun dari tidur dan mimpi semu, karena sesungguhnya pengetahuan primordial tentang hakikat diri kita tersebut tersimpan rapih dalam ruang paling dalam diri kita. Tak semua orang mau bangun dari mimpi,

(40)

26 • Prolog: sIKlus HIDuP

hidup keseharian yang semu,, banal, dan ilutif. Namun, ada pula yang mau, dan mencari jawaban dari pertanyaan eksistensial, dan berniat untuk melakukan perjalanan, penziarahan diri. Kata Seyyed Hossein Nasr, bila Anda termasuk orang yang mau tersebut, maka tasawuf memiliki pesan untuk Anda. Sebuah pesan abadi ! (Cilegon, 6 Ramadhan 1437 H/10 Juni 2016)

Catatan ini bukan berasal dari wujud saya. Catatan ini lahir dari memori, dan ragam pengetahuan yang saya serap dari bacaan dan guru-guru spiritual. Saya faqir dalam hal ini. Karena itu, saya akan sangat senang, bila ada rekan-rekan yang urun catatan, mendampingi catatan yang compang-camping dalam menjelaskan samudera dunia ruhani.

(41)

• 27

Perjalanan Turun,

Perjalanan Naik

Tulisan ini hanya tertuju pada para pencari jati diri, termasuk saya sendiri. Tulisan ini ditulis oleh saya, sekaligus tertuju untuk saya. Begitu kira-kira. Kembali ke persoalan pencarian jati diri. Tugas eksistensial inilah kehidupan para pencari. Karena itu, bagi para pencari, hidup adalah perjalanan. Bagaimana perjalanan itu?

Titik berangkat kita adalah bahwa, kita berasal dari Atas. Inilah perjalanan menurun kita dari Sumber. Lalu, setelah kita sadar, terbangun, baru kita melakukan perjalanan naik kembali ke Sumber, Asal kita. Kita telah melalui perjalanan turun. Sekarang, kita tengah bersiap-siap melakukan perjalanan naik. Perjalanan naik hanya dilakukan oleh “yang mau” (murid) saja. Perjalanan ini dimulai dari kelahiran

(42)

28 • Prolog: sIKlus HIDuP

spiritual kita. Kelahiran spiritual, setelah kelahiran biologis dan psikologis, merupakan moment munculnya kesadaran-diri setelah pengupasan-eksistensial. Pengupasan eksistensial menyadarkan kita bahwa, aku bukanlah tubuh dan jiwa. Aku adalah kesadaran. Kesadaran inilah cahaya penuntun perjalanan naik kita. Kesadaran sendiri tidak berawal karena Ia Tak berpermulaan, sebab pada mulanya segala sesuatu adalah Kesadaran. Kesadaran pun tak bertujuan karena pada akhirnya adalah Kesadaran. Kesadaran lolos dari determinasi waktu. Karena waktu pun adalah kesadaran.

Dalam perjalanan naik, kita semakin jelas, benderang, tentang siapa diri kita. Yang paling mudah untuk diidentifikasi sebagai bukan Aku adalah tubuh dan indera. Tubuh dan indera adalah salahsatu unsur, bukan satu-satunya unsur. Tubuh dibutuhkan selama kita hidup di alam material. Aku tak bisa berinteraksi dengan dunia tanpa tubuh. Namun, sekali lagi, tubuh bukanlah Aku itu sendiri. Ia adalah alat. Alat yang bisa aus, rusak. Kita memiliki kesadaran tentang tubuh. Artinya, tubuh adalah isi kesadaran. Bukan kesadaran itu sendiri.

Selanjutnya, jiwa. Bagaimana kita tahu bahwa, jiwa bukanlah Aku. Kita mulai dari kalimat: Aku

(43)

Prolog: sIKlus HIDuP • 29

harus mengendalikan perangaiku. Kalimat ini menunjukkan, ada dua agen dalam diri kita, yakni: pertama yang berusaha mengendalikan perangai. Itulah Aku. dan kedua, yang berperangai (emosi marah, misalnya). Inilah jiwa. Kita mengalami emosi, tetapi kita tak identik dengannya. Fakultas jiwa yang lain: imajinasi yang memproduksi gambaran, bentuk-bentuk imajinal. Lagi-lagi, meskipun kita mengalaminya, tapi kita tak identik dengan bentuk-bentuk imajinal tersebut. Lalu, ada pula memori, gudang penyimpanan gambar, bentuk, dan segala pengalaman kita. Kita bisa mengendalikan, bahkan mengevalusasi imajinasi dan memori. Kita ingat tentang pengalaman, pengetahuan kita. Namun, kita pun bisa lupa. Kelupaan kita tak membuat kita kehilangan kemanusiaan kita, tetap sebagai manusia. Karenanya, kita bukanlah imajinasi dan memori. Inilah proses pengupasan kulit Aku, pembebasan spiritual, pengosongan-diri, takhalli.

Mari kita lanjutkan perjalanan. Kini, kita di depan altar Aku, Kesadaran, atau intellectus, atau nous, atau hati. Inilah pusat diri kita. Bagi yang telah sampai pada tahap ini, mereka disebut ahli hati. Mereka menemukan diri mereka, sekaligus Kekasih mereka. Frase ini tampak dualistik. Diri mereka dan Kekasih mereka. Rumi berkata,”di dalam hati hanya

(44)

30 • Prolog: sIKlus HIDuP

ada ruang bagi satu Aku, yang merupakan akar diri kita, sekaligus Diri itu sendiri. hanya ada satu yang bisa berkata: Aku. Hanya Dia sendiri yang Nyata, yang sungguh-sungguh ada. Ana al-Haq, begitu seru al-Hallaj. Mulailah tahap: tahalli, menghias diri. Menghias diri dalam arti: transformasi lapis-lapis diri agar mencerminkan Realitas sejati itu.

Dengan peniadaan, Aku menyatakan: aku bukan siapa-siapa, aku bukan apa-apa. Keakuan-semu diluluhlantakkan. Tanah keakuan digemburkan, dilembutkan melalui praktek ruhani sehingga memancarkan cahaya yang menerangi jiwa: pikiran, emosi, imajinasi,, memori, sekaligus tubuh kita. Inilah pencerahan eksistensial. Pikiran tercerahkan. Pikiran tak lagi terombang-ambing oleh konsep, akrobat ide dan lain-lainnya. Pikiran tertuntun untuk mampu membedakan Yang Nyata dengan Ilusi (seolah-olah ada), Kebenaran dengan Kepalsuan, substansi dan aksiden, keniscayaan dan kemungkinan, Yang Mutlak dan yang relatif, serta memahami tingkat-tingkat manifestasi dari Yang Mutlak itu. Pikiran jadi penolong, bukan perusak dalam proses realisasi ruhani. Imajinasi pun demikian. Imajinasi memproduksi bentuk-bentuk imajinal yang lebih tinggi, bukan bentuk-bentuk rendahan, yang memudahkan kontelasi teofanik terhadap

(45)

bentuk-Prolog: sIKlus HIDuP • 31

bentuk sakral. Emosi menjadi energi positif yang dihiasi oleh: cinta,kasih, empati, dan sifat utama, kebajikan lainnya. Memori menjelma jadi ruang penyimpanan untuk mengingat sang Kekasih, bukan gudang gelap penyimpan sampah-sampah psikis. Bila yang di dalam telah mentransformasi diri, maka tubuh pun mengikutinya. Tubuh tidak nista. Tubuh terpancari, tercerahkan oleh cahaya dari dalam diri. Tubuh menjadi berkah, rahmat. Tubuh menjadi bentuk luar pemelihara ruh. “Tubuh jadi kuil ruh”, tulis Seyyed Hossein Nasr. Inilah tajalli. Menjadi manusia berarti menjadi Ilahi karena hakikat diri manusia adalah Ilahi. Ingat pesan Ali Shariat: silahkan jadi dokter, insinyur, atau apa pun. Tapi jangan lupa jadi manusia. (Cilegon, 7 Ramadhan 1437 H/ 11 Juni 2016 M)

Rekan-rekan yang baik, selama satu pekan ini, saya menulis catatan seputar Kesadaran, pengenalan diri, perjalanan hidup (turun dan naik). Hari ini, saya akan menyinggung sepintas tentang insan kamil. Catatan hari 1-8 Ramadhan ini merupakan pengantar masuk ke perbincangan seputar tiga jalan ruhani: ma’rifah, mahabbah, dan makhafah. Semoga bermanfaat.

(46)

32 •

Menjadi Manusia Universal

Pada catatan yang lalu, kita mencandra manusia dengan tiga elemen dasarnya: Tubuh (corpus, soma, jism), jiwa (anima, psyche, nafs yang berisi pikiran, imajinasi, sentimen, memori, dan kehendak), dan Ruh (spirit, intellectus, nous, atau Kesadaran). Kita pun telah menyinggung perjalanan turun dan perjalanan naik. Orang yang telah melalui semua perjalanan itu, yang telah memanifestasikan hakikat dirinya, keilahiaannya disebut: manusia sempurna, insan kamil, atau manusia universal (term Seyyed Hossein Nasr).

Apa itu manusia universal? Dalam tradisi mistik Islam, manusia universal adalah: Pertama, kenyataan yang berisi seluruh tingkat eksistensi selain Allah; Kedua, prototype androginik manusia, sekaligus alam semesta; Ketiga, mencerminkan

(47)

Prolog: sIKlus HIDuP • 33

nama-nama dan sifat-sifat Allah, melihat segalanya dengan “mata” Allah.

Contoh manusia universal: para nabi dan manusia-manusia suci. Fungsi manusia-manusia universal adalah sebagai penyingkap sekaligus inisiasi. Bila kita ingin menjadi manusia berarti yang dimaksud adalah, menjadi manusia universal, dibantu Realitas manusia universal (fungsi inisiatik). Menjadi manusia universal bermakna, kembali pada keadaan primordial (fitrah), melalui bimbingan manusia universal juga. Realisasi manusia universal itu berarti kita menjadi hamba Allah, sekaligus wakil Allah, fana, meniadakan ego, hingga berujung pada afirmasi: hanya Dialah yang nyata. Al-Hallaj bercerita. Aku telah bertemu Tuhan. Aku bertanya,”siapakah Dikau?” Ia menjawab,”Engkau.”

Hanya manusia universal yang “betul-betul” manusia. Merekalah raja dunia bermahkota kefakiran (taj-I faqr) karena mereka telah kosong semesta keinginan. Merekalah yang berkata: aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Merekalah rijal: orang-orang yang terus-menerus melakukan pertarungan ruhani, jihad akbar melawan gerombolan nafsu destruktif. Rijal bukan dalam arti gender maskulin. Di hari akhir, Allah berkata,” Rijal maju ke depan”. Tahukah, siapa

(48)

34 • Prolog: sIKlus HIDuP

yang ke depan? Maryam. (Cilegon, 8 Ramadhan 1437 H/ 13 Juni 2016 M)

Puasa Ramadhan adalah salahsatu bagian dari olah ruhani, “membakar” diri dengan Kebenaran. Diri habis, tak bersisa. Tinggallah Kebenaran. Nah, pada catatan ini akan mengantar kita untuk mempersiapkan diri dalam perjalanan ruhani, pembakaran diri. Dalam semua tradisi ruhani, selalu ada doktrin dan metode. Apa pentingnya doktrin dan metode dalam membantu ziarah abadi menuju Kebenaran?

(49)

• 35

Mendengar, Melihat,

dan Terbakar Kebenaran

Perolehan hidupku

Terkandung hanya dalam tiga kata: Aku mentah

Aku dimatangkan Dan Aku terbakar (Rumi)

Dalam tasawuf, tujuan tertinggi hidup manusia adalah mencapai Kebenaran. Karena itu, Allah disebut al-Haq. Al-Haq bermakna dua: Kebenaran dan Kenyataan. Lalu, dalam arti apa mencapai kebenaran itu?

(50)

36 • Prolog: sIKlus HIDuP

Dalam al-Quran dikisahkan:

“Ingatlah ketika Musa berkata pada

keluarganya,’sesungguhnya aku melihat api. Aku kelak akan membawa kepadamu kabar darinya, atau aku membawa kepadamu suluh api supaya kamu dapat berdiang.’” (QS. Al-Naml: 7). Dalam ayat tersebut ada tiga frase kunci: membawa kabar dari api, melihat suluh api, dan berdiang atau dibakar oleh api.

Ketiganya adalah simbolisasi dari tiga bentuk pengetahuan: pertama, membawa kabar dari api adalah simbol dari ‘ilm al-yaqin, pengetahuan pasti yang didasarkan pada deskripsi yang dapat dipercaya. Kedua, melihat suluh api adalah simbol dari ‘ain al-yaqin, penglihatan kepastian, melihat langsung Kebenaran. Terakhir, ketiga dibakar api adalah simbol dari haqq al-yaqin, kebenaran meyakinkan dengan menjadi Kebenaran. Kehidupan ruhani merupakan penaikan tangga kepastian hingga terbakar oleh Kebenaran. Terbakar dalam arti, realisasi Kebenaran (tahaqquq). Karenanya, orang yang matang secara ruhani disebut muhaqqiq. Seluruh doktrin tasawuf (‘ilm al-yaqin) berasal dari pengalaman terbakarnya sang guru oleh kebenaran (haqq al-yaqin).

(51)

Prolog: sIKlus HIDuP • 37

Dalam prakteknya, doktrin disajikan, lalu Kebenaran direalisasikan. Namun, yang memungkinkan adanya doktrin (rumusan ajaran), dan bimbingan ruhani adalah realisasi Kebenaran dari para guru ruhani. Theoria, visi Kebenaran lahir dari pembakaran oleh Kebenaran. Pencari Kebenaran tidak pernah boleh berhenti pada doktrin. Ia harus berolah-ruhani (metode), merealisasi Kebenaran agar “terbakar” oleh Kebenaran. Karena itu, tasawuf bukan perbincangan tentang Kebenaran an sich, tetapi juga “menjadi” Kebenaran itu sendiri. Bicara tentang Kebenaran, dalam arti ilm al-yaqin, cukup mudah. Sudah banyak pakar, ahli tentang hal ini. Namun, jelas, merealisasikan Kebenaran tidak semudah lidah diucapkan atau tinta digoreskan. (9 Ramadhan 1437 H/ 14 Juni 2016 M)

(52)

38 •

Visi Pembebasan

Saya suka filsafat. Filsafat adalah dunia saya. Awalnya, saya suka eksistensialisme, terutama Jean Paul Sartre. Sartre menyeret saya sampai di bibir jurang “kehampaan makna”. Rumi menyelamatkan saya ! Lalu, secara perlahan, saya suka pemikiran kiri, sosialis. Saya suka visi pembebasannya, tapi tidak pada materialismenya. Di wilayah ini, saya berdampingan dengan gugus gagasan Ali Shariati. Islam kiri, begitu kira-kira orang melabeli. Imam Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran, yang menampilkan Islam sebagai ideologi pembebasan, pun jadi idola. Saat masih mahasiswa, saya menempel poster Imam Khomeini di dinding kamar kos. Bahkan, saking nge-fansnya, saya menamai putra saya dengan nama asli Imam Khomeini: Ahmad Ruhullah. Lalu,apa yang menarik dari seorang Khomeini?

(53)

Prolog: sIKlus HIDuP • 39

Dalam tradisi ruhani, Imam Khomeini dipandang telah melalui empat perjalanan ruhani (asfar al-arba’ah) Shadra. Dalam banyak kesempatan, Imam Khomeini menegaskan bahwa, puncak spiritualitas, kehidupan ruhani, bukan pada titik dimana seseorang “menyatu” dengan Allah, tetapi ketika seseorang dengan visi penyatuannya itu membebaskan masyarakat dari segenap belenggu penindasan, kezaliman. Sufi sejati adalah mereka yang berteriak-lantang di depan trinitarianisme sosial: penguasa penindas, para pemodal tamak, dan para agamawan palsu. Tak ada lagi yang ditakutinya selain Allah. Semua sikap tersebut lahir dari pengetahuan puncak tentang dirinya. Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan apa-apa. Tak ada lagi cita-cita keduniawian. Ia telah melampauinya. Sufi seperti ini akan menunjukkan bahwa, agama bukanlah obat bius yang melenakan masyarakat dari kesadaran akan ketertindasan mereka. Visi pembebasan ini penting dalam situasi dimana agama kadang dimanipulasi sebagai alat kekuasaan kelas-kelas sosial untuk menindas. Selanjutnya, saya melihat, tantangan dunia saat ini bukan hanya soal penindasan (yang diperhalus dengan ragam teori), tetapi juga adanya krisis kemanusiaan dan lingkungan hidup. Melihat hal tersebut, saya pun gandrung dengan perennialisme.

(54)

40 • Prolog: sIKlus HIDuP

Bagi saya, Perennialisme membuat filsafat (dalam arti philosophia) bukan hanya sekedar olah-pikir, akrobat mental saja, tetapi sebagai jalan hidup. Perennialisme menginjeksikan: Pembedaan dan Penyatuan yang merupakan jantung dari semua ajaran-ajaran agama ortodoks. Kenali Yang Nyata dan manifestasinya, bedakan Yang Nyata dengan Yang ilusi, lalu menyatulah dengan Yang Nyata. Begitu kira-kira imperatif kaum perennialis. Pandangan holistik dalam melihat realitas akan menjadi obat penyembuh sakit peradaban kita saat ini. Ini pun visi pembebasan, sesungguhnya. Pengetahuan yang menyelamatkan. Menyelamatkan jiwa manusia modern dari labirin ketakbermaknaan hidup, dan menyelamatkan alam dari destruksi lebih lanjut tangan-tangan manusia yang kehilangan jati diri, visi primordialnya. (10 Ramadhan 1437 H/ 15 Juni 2016 M)

(55)

• 41

Pengetahuan

yang Membebaskan

Tradisi tasawuf mengenal tiga jalan ruhani : pengetahuan, cinta, tindakan. Dalam Islam, Allah adalah Kebenaran. Kebenaran diketahui dengan daya intelektual. Yang memungkinkan manusia mengetahui Allah adalah intelek, percikan Ruh Ilahi yang tertanam dalam ruang diri manusia. Yang sama akan mengetahui sesamanya. Demikian prinsip identitas. Mengapa kita dapat melihat, mengetahui warna kuning, karena pada mata kita terdapat unsur warna kuning.

Oleh sebab itu, Islam begitu kuat menekankan

pengetahuan. Pengetahuan tertinggi adalah

pengetahuan tentang Realitas Tertinggi, Kebenaran itu sendiri. Pengetahuan tentang Kebenaran bukan pemahaman teoritis, konsep-konsep, yang diperoleh

(56)

42 • Prolog: sIKlus HIDuP

bukan hanya dengan indra, pikiran, tapi juga dengan hati, pusat diri kita. Pengetahuan tersebut digapai, dibantu iman, melibatkan keseluruhan diri. Manfaat pengetahuan ini adalah: transformasi diri, wujud. Realisasi spiritual, tahaqquq adalah proses “mendarah dagingkan” Kebenaran, “menjadi” Kebenaran”.

Pengetahuan tentang Kebenaran ini berfungsi emansipatif, membebaskan, yakni: pembebasan dari keterbatasan eksistensi kita, dan kebodohan kita. Kita terbatas karena Aku sejati terkurung dalam tubuh. Kita bodoh karena amnesia akan jati diri. Pengetahuan ini menyingkap tabir keterpisahan penyebab amnesia; Menghapus kealpaan akan Realitas Ilahi, Sang Sumber, yang bersemayam di tengah-temgah wujud kita. Memahami Kebenaran berarti: meninggalkan tubuh kita yang sekarang, menjadi diri kita yang sebenarnya, kini dan di sini dalam Realitas Ilahi. Mengetahui berarti mengada. Pada catatan selanjutnya akan disinggung tentang detil Kebenaran yang dimaksud. Insya Allah. Semoga bermanfaat. (11 Ramadhan 2014 H/16 Juni 2016 H)

(57)

• 43

Mungkinkah Allah

Diketahui dan Dijelaskan?

Dalam tradisi tasawuf, Allah disebut sebagai al-Haq. Al-Haq berarti: Kebenaran dan Realitas. Realitas bersifat mutlak, Tak Terbatas. Ketakterbatasan menyiratkan ketunggalan karena bila ada dua atau lebih yang terbatas, maka ia akan saling membatasi, sehingga lenyaplah sifat ketakterbatasannya.

Ada dua persoalan yang muncul: mungkinkah kita, manusia yang terbatas ini mengetahui yang tak terbatas? Bila mungkin diketahui, maka mungkinkah pengetahuan itu dikatakan? “Mana mungkin aku menyembah sesuatu yang tidak bisa aku ketahui?” Kata Imam Ali ibn Abi Thalib. Ada dua cara mengetahui: pertama, wahyu. kita mengetahui Allah karena Allah memperkenalkan dirinya. Al-Quran banyak berisi nama-nama (asma) dan sifat-sifat Allah

(58)

44 • Prolog: sIKlus HIDuP

yang merupakan modus Allah memperkenalkan diri-Nya pada manusia. Kedua, pengosongan diri. Kita bisa mengetahuinya, asalkan kita tidak jadi “subjek penahu”; kita fana’, lenyap. Ketika aku lenyap, maka hanya ada Aku. Selama kita menegaskan eksistensi kita sebagai “seseorang”, maka kita tak akan pernah mengetahuinya. Jelas, ungkapan saya ini tak mencukupi untuk mendeskripsikan hal ini. Butuh syarah.

Persoalan kedua, bila memang Allah dapat diketahui, maka mungkinkah kita mampu mengungkapkannya dengan kata-kata? Tidak mungkin dan mungkin, jawabannya. Tidak mungkin, karena mustahil sebuah gayung menampung samudera raya. Oleh sebab itu, kita hanya bisa bicara tentang Allah, Realitas, al-Haq, via negativa, dengan cara apofatik. Allah tak terjangkau oleh semua yang dapat kita katakan tentang-Nya. Kita diam di hadapan Allah. Kalaupun terpaksa, kita hanya bisa berkata: Allah itu bukan ini, bukan itu, bukan…Dialah Sang Bukan. Jawaban kedua, mungkin. Kita bisa berkata tentang Allah sebab Allah berkenan menyipratkan Cahaya Ruhnya dalam diri manusia. Itulah intelek. Intelek menyinari jiwa berfikir (rasio) yang memproduksi kata-kata. Masalah lanjutannya: kata-kata adalah manifestasi lahiriyah, ekteriorisasi dari pikiran.

(59)

Prolog: sIKlus HIDuP • 45

Pikiran lebih kaya dibanding apa yang diungkapkan oleh kata-kata. Kata-kata memiskinkan apa yang kita pikirkan dan yang kita alami. Walaupun begitu, dengan segenap keterbatasannya, kata-kata mampu sedikit mengilustrasikan pikiran dan pengalaman kita. Karena itu, kata-kata mewakili, sekaligus tak mewakili. Konsekuensinya, ketika kita bicara, berkata tentang Allah via positiva, dengan cara katafatik, maka kita menggunakan analogi. Sama tapi berbeda. Allah adalah Maha Pengasih seperti yang kita bayangkan tentang rasa kasih. Tetapi Rasa Kasih Allah melampaui rasa kasih yang pernah terbayangkan oleh kita. Allah adalah ada. Manusia adalah ada. Allah dan manusia sama-sama ada. Namun, cara mengada Allah melampaui (untuk tidak mengatakan berbeda sama sekali) dengan cara mengada manusia. (13 Ramadhan 1437 H/ 18 Juni 2016 M)

(60)

46 •

Aku dan Aku

Pada kesempatan ini, saya akan cuplikan perbincangan saya dengan Kang Risna.

Kang Risna menulis:

1. Mohon berkenan menjelaskan mengenai “aku yang sejati” atau “jati diri” atau “diri kita yang sebenarnya” yg dimaksud dalam tulisan tersebut? 2. Mohon dijelaskan juga mengenai kalimat “Realitas Ilahi, sang sumber yang bersemayam di tengah-tengah wujud kita”?

Mohon diluruskan, karena saat membacanya saya jadi berpandangan ada dua entitas, yaitu wujud manusia dan wujud Tuhan/Allah. Sedangkan di ending pembahasan menunjukan adanya “fana” dan “realitas” Ilahi...

(61)

Prolog: sIKlus HIDuP • 47

Terkadang di situ saya merasa bingung...mohon pencerahannya Bapa.

Terimakasih

Respons saya:

...catatan di atas tidak bisa lepas dari konsep Kesatuan Wujud (wahdah al-wujud). Serta soal hirarki wujud. Mari kita mulai dari titik berangkat: tak ada wujud selain Wujud (Allah). Konsekuensinya, tak ada yang “di luar” Wujud. Ini prinsip metafisik. Selanjutnya, Wujud, Realitas Sejati, Mutlak itu memanifestasikan diri (tajalli). Manifestasi diri itu berjenjang, yang membentuk suatu tatanan hirarkis. Tatanan hirarkis itu bertingkat-tingkat bergantung intensitas kedekatan dengan Wujud, Allah, Realitas Sejati, Sang Kesadaran. Lalu, terciptalah dunia yang relatif. Jadi, semuanya adalah manifestasi-Nya. Kemudian, hirarki wujud itu berbanding lurus dengan kesadaran. Ada hirarki kesadaran. Semakin jauh intensitas kedekatan dengan Asal Primordial, semakin kabur, semakin lupa akan Asalnya, hakikat dirinya, semakin tak sadar. Kelupaan itulah yang membuat kita bisa berkata “aku”. Padahal, keakuan kita ini hanyalah “seolah-olah” aku. Kita terlempar dalam alam relatif, bentuk-bentuk, maya, ilusi.

(62)

48 • Prolog: sIKlus HIDuP

Nah, setelah kelahiran spiritual kita, kita pun ingin kembali ke Asal kita. kita mulai meniti jalan kembali. Dalam meniti jalan kembali itu, kita masih merasa: “aku” menuju Asal. Aku-ku masih ada. Karena itu, ungkapannya: aku menuju pusat diri, Allah, Asalku. Seolah-olah keduanya adalah dua entitas yang berbeda. Itu awal perjalanan. Namun, pada level yang lebih tinggi, “aku” kita perlahan luntur, menghilang, lenyap. Yang ada Aku (dengan a besar)...

Demikian, Kebenarannya. Semoga bermanfaat. Wa Allahu a’lam bi al-shawab

(63)

• 49

Kesatuan Wujud

Yang awal adalah Realitas Tertinggi, yang Melampaui Wujud (Beyond-Being), kadang disebut juga Non-Being, yakni kenyataan yang mentransendensi Wujud. Itulah dark light, aspek Keilahiaan yang “di atas” sekaligus “di dalam” aspek kreatif Allah, tak berpartisipasi dalam tindak penciptaan. Hampa, sunyata (Budhisme), Tao tertinggi, yang tak bisa dinamai menurut doktrin Timur Jauh. Lalu, determinasi awal dari Yang Melampaui-Wujud adalah Wujud (Being), Allah sebagai Person dan Pencipta, yang biasa disebut sebagai: Engkau, Tuhan kami. Setelah itu, Logos in divinis yang dibedakan dari Logos yang diciptakan (the created Logos). Logos in divinis adalah asal-usul eksistensi universal, sekaligus dari fungsi kenabian. Karena itu, dalam tasawuf, Firman adalah Logos. Secara batin, Nabi diidentikkan dengan Logos, sebagai al-haqiqat

(64)

50 • Prolog: sIKlus HIDuP

al-muhammadiyah. Sampai di sini, kita telah menyinggung: Yang Melampaui-Wujud, Wujud, Logos. Selanjutnya, “Jadilah”, kun ! Maka segala sesuatu dalam kosmos menjadi ada. Kemajemukan muncul, meski secara batin, terdapat jejak ketunggalan. Ya, Kebenarannya adalah ketunggalan, semuanya satu wujud.

Kebenaran tentang ketunggalan wujud diketahui dengan mengalaminya secara ruhani. Tirai ego lenyap, maka percikan Ilahi dalam batin melihat Dia di mana-mana, di balik selubung kemajemukan. Allah jadi mata yang dengannya manusia melihat, dan manusia menjadi mata yang dengannya Allah melihat dunia. Allah adalah cahaya yang dengannya kita melihat segalanya. Namun, Mengapa kita tidak dapat melihat-Nya dengan cara biasa? Dalam Gulshan-i Raz, Mahmud Syabistari bersyair:

Engkau bagaikan mata Dia cahaya matanya

Siapakah yang mampu melihat dengan mata yang dengannya mata melihat ?

Kebenaran ini pun bisa dicapai dengan partisipasi intelektual, yang pasti dengan persiapan metafisik yang cukup. Jadi, diperlukan intuisi dan persiapan

(65)

Prolog: sIKlus HIDuP • 51

intelektual sekaligus Kasih sayang-Nya. Manusia-manusia suci telah mencapainya. Ibn Arabi bernyanyi:

Kita adalah huruf- huruf, dimuliakan ! Namun belum diucapkan,

Mengambang dalam naungan Puncak Tertinggi, Aku di dalam Engkau, dan kami adalah Engkau, Dan Engkau adalah Dia,

Dan Semua di dalam Dia adalah Dia Tanyalah siapa pun yang telah tiba di sana Sekali lagi, Allah adalah al-Haqq: Kebenaran Mutlak sekaligus Realitas Mutlak atau Wujud Mutlak yang mencakup Yang Melampaui-Wujud dan Wujud. Kemutlakan mengimplikasikan bahwa Dia adalah Tunggal (Ahad) sebab mustahil ada dualisme dalam kemutlakan. Oleh sebab itu, seluruh wujud berasal dari, dan pada akhirnya tiada lain kecuali Wujud. Yang menarik, Seyyed Hossein Nasr mengatakan, tiap makhluk punya dua wajah: Pertama, wajah yang berpaling pada Tuhan yang sekaligus adalah wajah Allah yang berpaling pada makhluk itu, dan kedua, wajah yang berpaling pada dunia dan esensi dirinya yang memungkinkannyaa menjadi dirinya sendiri. Secara metafisik, wajah kedua ini adalah

(66)

52 • Prolog: sIKlus HIDuP

“tiada”, tak memiliki keberadaan pada dirinya. Tiap makhluk adalah manifestasi wajah Allah, pantulan-Nya melalui pola dasar, aktetipe kekal (‘ain tsabit) di atas cermin ketiadaan.

“Segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya (QS. Al-Qashash: 88). Bagi kaum sufi, Kebenaran tentang ayat ini “bukan” terjadi secara eskatologis nanti, tapi kini dan di sini. Saat ini, semuanya tiada, musnah dalam diri kita kecuali Wajah Allah. kemana pun kita palingkan wajah kita, di situ Wajah-Nya. Inilah Kenyataan, inilah Kebenaran dari Kesatuan wujud. Nah, hidup ruhani adalah pembebasan diri dari kemajemukan menuju ketunggalan. Bukan penafian akan kemajemukan atau Allah adalah dunia dan dunia adalah Allah (panteistisme). Bukan ! Bukan bahwa Allah adalah dunia, tetapi dunia secara misterius “tenggelam di dalam” Allah. Demikian kata Frithjof Schuon. (14 Ramadhan 1437 H/19 Juni 2016 M)

Catatan ini adalah hasil “pengunyahan” saya atas buku the Garden of Truth, karya Seyyed Hossein Nasr. Jadi, bagi rekan-rekan yang ingin penjelasan lebih jauh, silahkan merujuk pada buku tersebut.

(67)

• 53

Membaca Buku Kosmik

Pengetahuan yang membebaskan bukan hanya berisi pengetahuan tentang Realitas, tetapi juga manifestasi. Pengetahuan tentang manifestasi Realitas dibutuhkan sebagai objek perenungan, kontemplasi sekaligus memberi peta perjalanan dari kosmos ke yang melampaui kosmos.

Alam adalah wahyu, kitab Allah. Al-Quran terdiri dari ayat-ayat. Alam pun demikian. Semua fenomena alam adalah ayat-ayat. Tiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Dalam konteks kosmos, fenomena alam adalah fakta dan simbol. Sains modern melihat alam hanya sebagai fakta, tidak sebagai simbol nomena, seperti halnya literalisme dalam interpretasi kitab suci. Jadi, ada literalisme sains dan literalisme agama yang merupakan akar saintisme dan fundamentalisme agama. Keduanya ditolak oleh

(68)

54 • Prolog: sIKlus HIDuP

tasawuf karena mengakibatkan manusia menjadi perusak.

Para sufi merenungkan alam, bentuk-bentuk kehidupan, dan ritmenya. Perhatikan pemaknaan berikut ini:

Setiap pohon adalah cermin pohon Surga gunung sebagai simbol transendensi air merupakan simbol rahmat Ilahi angin sebagai simbol ruh

Elang melambangkan jiwa manusia yang disempurnakan melalui praktik ruhani menuju Arsy Ilahi

Ikan berenang di lubuk merupakan simbol jiwa yang membenamkan dirinya dalam samudera ketakterbatasan.

Jadi, alam semesta terdiri dari deretan teofani. Kosmos merupakan serangkaian simbol untuk direnungkan, sarana mencapai Yang Disimbolkan. Alam adalah buku untuk dibaca, dipahami makna lahir dan batinnya. Setelah seseorang khatam baca buku kosmik tersebut, dia bisa menyingkirkannya, kemudian berdiri di hadapan Sang Pengarang Buku Eksistensi. Setelah selesai baca kitab kosmik, berarti juga melewatinya, disitulah makna: kematian di

(69)

Prolog: sIKlus HIDuP • 55

dunia, dan bangkit dalam Ruh. Itulah kiamat bagi diri kita sendiri. (Cilegon, 15 Ramadhan 1437 H/ 20 Juni 2016 M )

(70)

56 •

Kreativitas Allah

Mengapa Yang Tunggal mewujud pada yang banyak? Dengan bahasa teologis, mengapa Tuhan menyiptakan dunia? Untuk menjawab soal ini, para sufi mengutip hadits qudsi sebagai berikut:

Aku adalah Khazanah Tersembunyi. Aku ingin dikenali

maka Aku ciptakan dunia agar Aku dikenal

Ada tiga unsur ontologis dalam hadits ini: Pertama, Pengenalan Diri Allah sebagai tujuan penciptaan. Pengenalan Diri itu melalui manifestasi-Nya, pengungkapan diri-Nya melalui pantulan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya pada “cermin ketiadaan.” Cermin adalah permukaaan yang memantulkan sesuatu di hadapannya, sedangkan “permukaan”

(71)

Prolog: sIKlus HIDuP • 57

sendiri tak punya bentuk, atau tidak ada. Kosmos tak lain adalah pantulan Nama dan Sifat-Nya atas apa yang secara ontologis “tidak ada”, seperti sebuah cermin. Tujuan penciptaan adalah pengetahuan. Karena itu, kita mengenal Allah berarti: Allah yang ada “dalam” diri kita mengenali diri-Nya sendiri— pemenuhan tujuan penciptaan. Kedua, Allah cinta (ahbabtu) untuk dikenali. Karena itu, hub, cinta mengaliri nadi semesta. aKetiga, Khazanah Tersembunyi. Penciptaan bukan hanya “oleh” Allah, tetapi juga “di dalam” Allah. Semua ciptaan berada dalam Khazanah Tersembunyi. Tak ada sesuatu pun yang tak memiliki realitas pra-eksistesial dalam Khazanah Tersembunyi. Dunia merupakan ciptaan, sekaligus manifestasi batin, Pengungkapan-Diri dari Prinsip Ilahi. Dunia bukan hanya hasil Kehendak Ilahi, tapi juga “aliran” manifestasi dari Hakikat Ilahi.

Penciptaan merupakan teofani, tajalliyat dari Nama-Sifat Allah dalam ragam kombinasinya. Setelah Allah memanifestasi-diri dengan nama dan sifat-Nya, lalu Nama dan Sifat itu mengentintifikasi-diri dalam pola dasar atau arketip abadi (al-a’yan al-tsabitah) dari semua ciptaan. Inilah al-faidh al-aqdas. Kemudian, Allah meniupkan nafas al-Rahman pada arketip

(72)

58 • Prolog: sIKlus HIDuP

abadi. Inilah al-faidh al-muqaddas. Selanjutnya, muncullah semua yang ada.

Menariknya, proses penciptaan, tindak kreatif Allah di atas tergambar dalam proses pembicaraan manusia. Kita punya kata-kata dalam pikiran kita. Saat bicara, nafas kita meniup pita suara kita, lalu mewujudlah kata-kata dalam pengucapan. Alam semesta merupakan hasil nafas al-Rahman. Subtansi segala sesuatu adalah nafas Ilahi, memuji Ilahi. Alam bicara dalam keheningan misteri eksistensi. Sebagian banyak kita tak mampu mendengar pembicaraan mereka. Rumi berkata,”andai segala yang ada memiliki lidah, maka akan tersingkap tirai dari segala yang ada.”

Misteri terbesar eksistensi adalah, seperti dikatakan Ibn Arabi,”kemuliaan bagi Dia yang menyembunyikan Diri dengan sesuatu yang tak lain adalah Dirinya sendiri.” Ciptaan menyelubungi Allah dengan sesuatu yang tak lain adalah Allah sendiri. Dalam konteks ini, kita bicara tentang Allah Yang Zahir sekaligus Yang Batin.

“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin. Dan Dia Maha Tahu segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid: 3). Seorang murid bertanya pada gurunya.

(73)

Prolog: sIKlus HIDuP • 59

“Aku paham bahwa Allah adalah Yang Batin. Tetapi, bagaimana Allah bias jadi Yang Zahir?” Sang Guru, berkata,”berkhalwatlah, sebut Nama Allah sampai kebenaran tentang hal tersebut nyata dan jelas bagimu.” Sang murid mengikuti petunjuk gurunya. Setelah dua pekan, sang Murid kaget karena dinding tempat dia khalwat menyebut nama Allah, begitu pula sekelilingnya. Yang ingin disampaikan dari kisah ini adalah, Kebenaran bahwa, Allah menyelubungi Dirinya sendiri dengan sesuatu yang tak lain adalah Allah sendiri hanya bisa diraih melalui realisasi spiritual.

Tindak pencipataan, “jadilah” bukan hanya peristiwa “di awal”, tetapi terjadi terus-menerus. Nafas yang kita ambil meremajakan, memungkinkan kita hidup. Nafas Ilahi hadir sebagai kemungkinan eksistensi semesta raya, termasuk hidup kita. Allah Sang Pemelihara melakukan tindak kreatif, penciptaan abadi-Nya. Segala sesuatu mewujud berkat tindak penciptaan Allah itu. (Cilegon, 16 Ramadhan 1437 H/21 Juni 2016 M)

(74)

60 •

Nuzul Al-Qur’an

Segala yang ada adalah manifestasi Allah: Alam, manusia, juga al Quran. Quran merupakan manifestasi verbal. Manifestasi verbal berbentuk kata kata. Kata-kata merupakan aspek lahir, eksterior dari pengetahuan. Pengetahuan sendiri merupakan kulit luar dari Kebenaran. Jadi, manifestasi verbal, sesungguhnya, adalah manifestasi Kebenaran. Dengan kata lain, kehadiran Kebenaran atau Kebenaran yang hadir.

Agar dapat diterima oleh yang relatif: manusia, karena itu, Kebenaran hadir melalui bentuk-relatif juga: kata kata. Kebenaran itu tampil apa adanya. Untuk itu, Kebenaran, kata-kata suci, Firman memakai wadah murni, bersih dan suci dari segala pengetahuan-rendah. Dalam konteks pengetahuan,

(75)

Prolog: sIKlus HIDuP • 61

penerima Firman haruslah murni. Kemurnian itulah “ummi”, tak bisa baca & tak bisa menulis.

Jadi, hakikat nuzul al-Quran adalah Kehadiran Kebenaran dalam diri yang murni, suci. Peristiwa ini pun bisa terjadi pada kita dengan intensitas yang lebih sedikit, rendah tergantung tingkat kemurnian diri kita. Ketika diri kita murni, bersih, jernih, maka kita akan mudah menerima kehadiran Kebenaran. Puasa memurnikan diri kita dengan melepas ikatan-ikatan fisik-biologis dan psikis agar kita bisa menerima Kebenaran. Pada dasarnya, Kebenaran selalu hadir dalam diri kita, tapi kabut ketidakmurnian akibat pikiran & tindakan kita yang menggelapkan diri sehingga kita tak sadar akan kehadiran-Nya. (Cilegon, 17 Ramadhan 1437 / 22 Juni 2016)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Padahal, jika kita jujur, banyak hal yang mempengaruhi kebebasan berekspresi: konvensi bahasa, konvensi sastra, nilai-nilai, pemilik modal, selera pasar,

Hukum Pascal adalah hukum yang berhubungan dengan sifat benda cair atau fluida sehingga Hukum Pascal adalah hukum yang berhubungan dengan sifat benda cair atau fluida sehingga

Program utama pengembangan agribisnis komoditas unggas sangat terkait dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai. Guna menjamin penyediaan pasokan d.o.c. ayam ras yang

Diferensiasi fungsi majemuk  diferensiasi untuk fungsi-fungsi yang mengandung lebih dari satu macam variabel bebas.

Saia um pouco do mundo da Biblioteconomia, para entender o mundo lá fora, e depois poder voltar para a Biblioteconomia de forma diferente, daí talvez a lupa não seja mais

Karena perjanjian pembiayaan bagi hasil merupakan perjanjian yang dirancang oleh perusahaan modal ventura, artinya perusahaan pasangan usaha hampir tidak mungkin untuk

MARKET VALUE ADDED PADA PERUSAHAAN MAKANAN DAN MINUMAN YANG TERDAFTAR DI BURSA

Hal yang sering berada di benak kita adalah bahwa orang-orang yang menjalani pendidikannya dengan baik di sekolah atau di universitas dapat