• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH FIX CAPD.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH FIX CAPD.docx"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAHN SISTEM PERKEMIHAN

CAPD (CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS)

DISUSUN OLEH : KELOMPOK V

1. ABDULLAH TAMIM SAIDU (001 STYC13 ) 2. ARTADRINIA ZIKRUL LAELI (009 STYC 13)

3. DIAN EFITAYANTI (018 STYC 13 )

4. FIRMAN SAPUTRA (029 STYC 13 )

5. HELMI YATI ASRI (035 STYC 13 )

6. RAMANDA SATRIA (079 STYC 13 )

7. SITI KHADIJAH (092 STYC 13 )

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1 MATARAM

(2)

2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas limpahan dan rahmat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Sistem Perkemihan CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Disease )”. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Sistem Perkemihan. Karena makalah ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa bantuan dari pihak-pihak tertentu, maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Zulkahfi, SST., S.Kep., Ners., M.Kes., selaku Ketua STIKES YARSI Mataram.

2. Indah Wasliah, Ners., M.Kep., Sp.Anak., selaku Ka. Prodi S1 Keperawatan STIKES YARSI Mataram.

3. Bq. Nur’ainun Apriani Idris, Ners., selaku dosen pembimbing akademik. 4. Ruly Fatmawati, S. Kep., Ners., selaku dosen Mata Kuliah Sistem

Perkemihan.

5. Semua pihak yang ikut membantu dalam penyusunan makalah ini.

Penulis membuat makalah ini dengan seringkas-ringkasnya dan bahasa yang jelas agar mudah dipahami. Karena penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar pembuatan makalah penulis yang berikutnya dapat menjadi lebih baik.

Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Mataram, 12 Juni 2016

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1 1 Latar Belakang... 1 2 Rumusan Masalah... 3 3 Tujuan Penulisan... 3 4 Manfaat Penulisan... 3 5 Ruang Lingkup... 4 6 Metode Penulisan... 4 7 Sistematika Penulisan... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 5

1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik... 5

1 Sejarah dan Perkembangan... 5

2 Definisi CAPD... 6

3 Anatomi Membran Peritonium... 8

4 Tujuan CAPD... 8

5 Indikasi CAPD... 8

6 Kontraindikasi CAPD... 9

7 Cara Kerja CAPD... 9

8 Prosedur CAPD... 11

9 Pemasangan Kateter Peritonial Dialisis... 13

10 Cairan Dialisat... 15

11 Penggantian Cairan Dialisat... 16

12 Prinsip-prinsip CAPD... 17

13 Efektifitas CAPD... 19

14 Keuntungan CAPD dibandingkan HD... 20

15 Kelemahan CAPD... 21

16 Komplikasi CAPD... 21

(4)

18 Penatalaksanaan Keperawatan... 26 19 Penatalaksanaan Diet... 26 BAB 3 PEMBAHASAN JURNAL... 27 1 Gambaran Karakteristik Pasien Yang Menjalani CAPD.... 27 2 Gambaran Kualitas Hidup Pasien Yang Menjalani CAPD 31 BAB 4 PENUTUP ... 36 4.1. Simpulan... 36 4.2. Saran... 36 DAFTAR PUSTAKA

(5)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebuah penelitian di Indonesia mengungkapkan bahwa sebanyak 6,2% dari populasi penduduk Indonesia menderita gagal ginjal. Para penderita itu harus menjalani terapi dan pengobatan yang memerlukan biaya besar. Dari angka 6,2% tersebut, banyak penderita yang mengalami gagal ginjal kronik tahap lima. (Suhardjono, 2008).

Gaya hidup modern yang gemar melahap makanan dengan kadar garam, gula, lemak serta kebiasaan merokok dan minum alkohol, juga menjadi pemicu penyakit gagal ginjal. Transplantasi ginjal dan peritonial dialisis merupakan pilihan terapi pengganti ginjal yang dapat dijadikan alternatif pengobatan. Saat ini, terdapat teknologi baru yang hadir sebagai terapi bagi penderita gagal ginjal, yaitu Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Terapi pengganti ginjal ini sesuai sebagai metode pengobatan yang diberikan kepada pasien gagal ginjal yang tidak mungkin lagi diobati secara konservatif dengan diet dan obat-obatan. (Suhardjono, 2008) Peritonial dialisis dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaitu Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) yang menggunakan Twinbag CAPD System, serta Automated Peritoneal Dialysis (APD) yang menggunakan mesin khusus. CAPD merupakan dialisis mandiri yang bisa dilakukan sendiri oleh penderita, sedangkan APD dilakukan dengan mesin khusus di rumah sakit (Situmorang, 2004). Dengan demikian, penggunaan metode CAPD dapat dijadikan pilihan selain hemodialisis dan transpalansi ginjal. CAPD dapat menciptakan kualitas hidup yang lebih baik bagi penderita, sebab mereka dapat menjalani hidupnya dengan normal, tanpa banyak batasan untuk mengkonsumsi makanan (Erlan, 2007).

Kualitas hidup bisa dipandang dari segi subyektif dan obyektif. Dari segi subyektif merupakan perasaan enak dan puas atas segala sesuatu secara

(6)

umum, sedangkan secara obyektif adalah pemenuhan tuntutan kesejahteraan materi, status sosial, dan kesempurnaan fisik secara sosial atau budaya (Trisnowati, 2002).

Menurut Kunmartini (2008), pasien penyakit ginjal kronik (PGK) seringkali dihadapi dengan berbagai komplikasi yang mengikuti penyakit yang dideritanya yang berakibat semakin menurunnya kualitas hidup orang tersebut. Menurut Cella (1994), penilaian kualitas hidup penderita gagal ginjal dapat dilihat pada aspek kesehatan fisik, kesehatan mental, fungsi sosial, role function dan perasaan sejahtera.

Pada masa yang akan datang, semua jenis pelayanan kesehatan, pemantauan terhadap efikasi pengobatan harus mempertimbangkan kualitas hidup penderita disamping status klinis dan status ekonominya (Ganz, 1994).

Jumlah pasien yang tetap hidup dengan terapi dialisis di Amerika Serikat terus meningkat dari tahun ke tahun. Di negara ini mortalitas pasien dengan dialisis mendekati 18% per tahun. Kematian ini disebabkan karena masalah penyakit kardiovaskuler dan infeksi1. Lima puluh persen populasi

dialisis di dunia menggunakan cara peritoneal dialisis. Peritoneal dialisis digunakan hampir 12% pada populasi dialisis di Amerika Serikat. Di negara-negara berkembang populasi pasien dengan peritoneal dialisis ini cenderung naik. Angka ketahanan hidup pada pasien yang menggunakan hemodialisis dibandingkan dengan peritoneal dialisis adalah hampir sama. Perkecualian pada pasien diabetik usia tua yang mendapatkan terapi CAPD dimana mereka mempunyai resiko relatif kematian 1,26 kali dibandingkan mereka yang diterapi dengan hemodialisis. Faktor-faktor komorbid yang tidak diukur mungkin dapat menjelaskan terjadinya perbedaan ini atau mungkin juga karena adanya bias yang tidak terdiskripsi.

Karena angka ketahanan hidup pada pasien yang menggunakan hemodialisis dibandingkan dengan peritoneal dialisis adalah hampir sama, dan adanya beberapa kelebihan peritoneal dialisis anatara lain lebih fleksibel, lebih efektif dalam segi biaya dan tehnik yang lebih sederhana, maka

(7)

penggunaan CAPD di Indonesia cenderung lebih disukai. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian secara deskriptif mengenai CAPD.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah CAPD ( Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis ) ? 2. Bagaimana Definisi ( Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis ) ? 3. Bagaimana prinsip kerja, indikasi, kontraindikasi, komplikasi, keuntungan

serta kerugian CAPD? 1.3. Tujuan Penulisan

Berkaitan dengan rumusan masalah diatas, diharapkan memberikan tujuan dan manfaat sebagai berikut :

1.3.1. Tujuan Umum

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Perkemihan, serta para mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang CAPD ( Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis ).

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mahasiswa memahami konsep tentang CAPD ( Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis ).

2. Mahasiswa memahami prinsip kerja, indikasi, kontraindikasi, komplikasi keuntungan, serta kerugian CAPD

1.4. Manfaat 1.4.1. Bagi Mahasiswa

Dapat memberikan manfaat dalam menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi pembaca dan penulis dan untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama pendidikan.

1.4.2. Bagi Pendidikan

Sebagai kerangka acuan dalam pembuatan makalah dan menambah pengetahuan dan informasi tentang CAPD.

1.5. Ruang Lingkup

Dalam penulisan makalah ini penulis membatasi masalah pada CAPD ( Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis , prinsip kerja, indikasi, kontraindikasi, komplikasi keuntungan, serta kerugian CAPD).

(8)

1.6. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah adalah metode Deskrisif dan teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik studi kepustakaan yang mengambil materi dari berbagai sumber buku, jurnal penelitian, dan media internet.

1.7. Sistematika Penulisan

BAB 1 : Pendahuluan meliputi : Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan, Manfaat, Ruang Lingkup, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB 2 : Tinjauan Pustaka BAB 3 : Pembahasan Jurnal

BAB 4 : Penutup meliputi : Kesimpulan dan Saran

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar CAPD ( Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis ) 2.1.1. Sejarah dan Perkembangan

(9)

Kemajuan teknologi kedokteran yang berkembang pesat saat ini memungkinkan para penderita gagal ginjal menjalani rutinitas cuci darah (dialisa) sambil bekerja, cuci mata di mall, bahkan sambil bercinta dengan pasangan! Padahal di masa lalu, kegiatan dialisa harus dilakukan di rumah sakit sambil terbaring lemah selama 5 jam, sebanyak tiga kali seminggu. Belum lagi perasaan gatal di sekujur tubuh sebagai dampak dari terapi cuci darah tersebut.

Terapi cuci darah yang begitu praktis itu bernama Continuous Ambulatory Peritoneal Dyalisis/CAPD atau dialisis tanpa mesin dan dapat dilakukan secara mandiri oleh penderita gagal ginjal. Metode ini merupakan metode alternatif dengan menggunakan membran semipermiabel yang berfungsi sebagai ginjal buatan, sehingga mampu menyerap cairan pembersih ke dalam rongga ginjal. Dalam waktu 4 sampai 6 jam dengan frekuensi 4 kali sehari, terjadi proses difusi serta ultrafiltrasi dalam ginjal, sehingga zat racun yang ada di dalamnya terserap ke luar dan diganti cairan baru.

Karena masih tergolong teknologi baru, biaya CAPD masih tergolong mahal. Umumnya, biaya yang dikeluarkan peserta terapi CAPD saat ini masih sebesar Rp 4,2-Rp 5 juta setiap bulannya. Namun, biaya sebesar itu menjadi tak berarti, jika melihat kondisi tubuh penderita yang bugar dan tetap produktif seperti sebelum terkena gagal ginjal.

Karena pasien tetap bisa bekerja dan melakukan segala aktivitas seperti biasa, layaknya orang sehat. Bedanya, peserta CAPD punya kantong kecil di perutnya untuk pergantian cairan dialisat itu.

Pada harian Kompas dikatakan bahwa terdapat pengalaman ”Karyono (45), karyawan swasta yang telah menjalani terapi CAPD selama tiga tahun ini agaknya bisa jadi pelajaran. Karyono mengaku, kualitas hidupnya makin membaik setelah ikut terapi CAPD. Selain itu, ia bisa kembali bekerja dan sama produktifnya seperti sebelum sakit.

(10)

2.1.2. Definisi CAPD

CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode pencucian darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru (Surya Husada, 2008). Peritoneal Dialisis

Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan dibuang.

Peritoneal dialisis merupakan suatu proses dialisis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialisis dan peritoneum sebagai membran semipermeabel yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan dan solute yang berisi racun ureum yang akan dibuang. Peritoneal dialysis ini secara prinsip mirip dengan hemodialisis. Keduanya sama-sama tergantung pada pergerakan pasif dari air dan solute melewati membrane semipermeabel. Proses ini disebut sebagai difusi. Arah dari aliran solute ini ditentukan oleh konsentrasi masing-masing sisi membrane, sehingga solute bergerak dari sisi dengan konsentrasi tinggi ke sisi yang konsentrasinya lebih rendah. Pada zaman dulu peritoneal dialisis dilakukan secara intermiten, dimana pasien harus melakukan pergantian cairan secara rutin setiap 8 jam atau lebih (biasanya sepanjang malam), 3 atau 4 kali seminggu. Sejumlah mesin otomatis

(11)

telah dikembangkan untuk membantu agar proses dialisis menjadi lebih sederhana dan lebih mudah.

Kemudian pada tahun 1976 diperkenalkan salah satu tehnik peritoneal dialisis yaitu continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), dan langsung dapat diterima sebagai terapi alternative untuk pasien dengan gagal ginjal.Continuous pada CAPD ini berarti bahwa cairan dialisat selalu berhubungan dengan membrane peritoneum, kecuali pada saat penggantian cairan dialisat

Gambar 1. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) 2.1.3. Anatomi Membran Peritoneum

Rongga peritoneum adalah bagian dari perut yang membungkus organ-organ, seperti lambung, ginjal, usus, dan lain-lain. Di dalam rongga perut ini terdapat banyak pembuluh darah kecil (kapiler) yang berada pada satu sisi dari membran peritoneum dan cairan dialysis pada sisi yang lain.

(12)

Rongga peritoneum berisi sekitar 100ml cairan yang berfungsi untuk lubrikasi / pelicin dari membran peritoneum.Pada orang dewasa normal, rongga peritoneum dapan mentoleransi cairan > 2 liter tanpa menimbulkan gangguan.Membran peritoneum merupakan lapisan tipis bersifat semi permeable. Luas permukaannya kurang lebih 1,55m2 yang terdiri dari 2 bagian, yaitu:

a. Bagian yang menutupi / melapisi dinding rongga perut (parietal peritoneum), merupakan 20% dari total luas membran peritoneum. b. Bagian yang menutup organ di dalam perut (vasceral peritoneum),

merupakan 80% dari luas total membran peritoneum. Total suplai darah pada membran peritoneum dalam keadan basal adalah 60 – 100 ml/mnt.

2.1.4. Tujuan CAPD

Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta limbah metabolik, mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan mengeluarkan cairan yang berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit.

2.1.5. Indikasi CAPD

a. pasien yang tidak mampu atau yang tidak mau menjalani hemodialisa

b. Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat (hemodinamik yang tidak stabil)

c. Penyakit ginjal stadium terminal yang terjdai akibat penyakit diabetes

d. Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara sistemik

e. Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia) f. Adanya penyakit CV yang berat

g. Disamping itu, hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.

(13)

a. Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)

b. Adhesi abdominal

c. Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainanpada discus intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialis dalam abdomenyang kontinyu

d. Pasien dengan imunosupresi 2.1.7. Cara Kerja CAPD

a. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal

Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat keluar masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam rongga perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter yang “ditanam” di dalam rongga perut dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar. Lokasi dimana sebagian kateter muncul dari dalam perut disebut “exit site”.

b. Pemasukan Ciran Dialisat

Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut

(14)

melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat.

Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi.

Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.

2.1.8. Prosedur CAPD

Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu singkat (± 30 menit). Terdiri dari 3 langkah: 1. Pengeluaran cairan

Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.

(15)

2. Memasukkan cairan

Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui kateter. Proses ini hanya berlangsung selama 10 menit.

3. Waktu tinggal

Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter.

(16)

Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4 kali sehari), 7 hari dalam seminggu.

2.1.9. Pemasangan Kateter Peritoneal Dialisis

Keberhasilan penempatan kateter adalah hal yang paling utama, karena alat tersebut bersifat permanen. Komplikasi yang berhubungan dengan kateter termasuk infeksi exit site dan tunel telah diidentifikasi sebagai kegagalan tehnik yang diperkirakan 1/3 dari kegagalan peritoneal dialisis dan harus kembali ke hemodialisa. Penanganan yang baik, penempatan kateter yang tepat dan perawatan kateter awal akan mengurangi komplikasi tersebut.

Sehari sebelum operasi pasien menjalani hemodialisis terlebih dahulu. Letak exit site sebaiknya ditentukan lebih dulu serta diberi tanda. Letak exit site sebaiknya pada posisi lateral dan ditempatkan di atas atau di bawah garis pinggang dan sebaiknya tidak pada bekas luka atau di bawah lipatan lemak. Satu jam sebelum operasi disarankan pemberian antibiotika 1 gram cephalosporin generasi pertama dan 2x0,5 gram yang masing-masing diberikan 8

(17)

jam dan 12 jam kemudian. Alternatif lain dapat juga diberikan 1 gram vancomycin intra vena 24 jam sebelum operasi. Anestesi diberikan secara lokal dengan lidocain 2% subkutan tanpa epinefrin. Meskipun anestesi lokal sudah cukup, namun perlu menghubungi dokter anestesi untuk mencegah komplikasi.

Jarak 2 cm dari bawah umbilikus arah ke kanan atau ke kiri dibuat insisi transverse paramedian 3 cm sampai ke rektus fascia anterior. Kemudian rektus fascia anterior disayat secara transversal untuk mendapatkan otot rektus. Setelah didapatkan rektus fascia posterior dan menyayatnya akan didapatkan selaput peritoneum dimana selaput peritoneum ini harus dijaga agar tidak terjadi robekan. Kemudian ditempatkan 2 klem di atas rectus fascia posterior pada daerah sayatan sehingga terbentuk lobang selebar diameter kateter. Kateter dimasukkan secara kaudal ke arah pelvik minor untuk memungkinkan terjadinya gravitasi pada waktu drain. Pergerakan kateter selama dialisa sangat diharapkan karena posisi tersebut mengoptimalkan pada waktu cairan masuk atau keluar. Cuff internal ditempatkan di dalam setara dengan otot rektus. Dengan tehnik Purse string peritoneum ditutup dengan pas menggunakan benang yang dapat diserap di bawah cuff.

Untuk mengurangi insiden terjadinya infeksi dibuat tunnel dengan menggunakan tunneller, dimana sebaiknya tunel ini berada di dinding abdomen di bawah kulit. Selanjutnya kateter akan melalui tunel dan keluar pada exit site dan mengarah ke bawah. Cuff eksternal sebaiknya ditempatkan sedalam jaringan lemak di bawah fascia scarpa minimal 2 cm di bawah exit site. Penempatan ini akan membantu mencegah infeksi serta ekstrusi cuff eksternal. Setelah kateter keluar pada exit site, luer lock adaptor dipasang dan dihubungkan dengan ekstension line dan dicek fungsi kateter yaitu dengan mencoba memasukkan sejumlah cairan dialisat untuk mengetahui posisi kateter serta ada tidaknya kebocoran. Jika kateter telah terpasang dengan tepat, pemasukan cairan tidak akan memberikan rasa sakit serta cairan

(18)

dapat keluar dengan lancar. Setelah letak kateter dianggap tepat, luka operasi dijahit lapis demi lapis. Untuk meminimalkan pergerakan kateter dari exit site sebaiknya difiksasi. Hal ini juga berguna untuk mencegah ekstrusi cuff eksternalserta mempercepat proses penyembuhan. Pemberian antibiotika pada exit site tidak diperlukan karena dikhawatirkan akan terjadi resistensi. Perawatan luka operasi yang tepat merupakan metode terbaik pencegahan infeksi.

Meskipun proses dialisa dapat segera dilakukan, namun lebih baik menundanya untuk 1-3 hari dengan tujuan agar terjadi proses penyembuhan luka operasi yang lebih baik. Jika dialisa mendesak untuk dilakukan, dapat dikerjakan pada pasien dengan posisi terlentang serta volume minimal (500 mL). Idealnya CAPD ditunda sampai 10-14 hari setelah pemasangan kateter. Pada masa ini pasien perlu dilakukan hemodialisa atau intermiten peritoneal dialisa.

Gambar 3. Letak kateter Tenchkoff dan exit site pada pasien CAPD 2.1.10. Cairan Dialisat

Ada 3 macam konsentrasi cairan dialisat dalam CAPD, yaitu dekstrose 1,5%, dekstrose 2,5% (hipertonik), dan dekstrose 4,25% (hipertonik). Dekstrose 1,5% dapat menarik cairan sebanyak 200-400 mL dan digunakan untuk pasien dehidrasi atau pasien dengan berat badan turun. Dialisat ini mengandung 110 kalori. Dekstrose 2,3% yang mengandung 180 kalori dapat menarik cairan sebanyak 400-600

(19)

mL dan umumnya digunakan pada pasien overload atau kelebihan cairan, sedangkan dekstrose 4,25 % dapat menarik cairan sebanyak 600-800 mL dan juga digunakan untuk pasien overload. Dialisat dengan konsentrasi 4,25% ini mengandung 250 kalori.

Komposisi cairan dialisat terdiri dari natrium 132 meq/L, kalium 0 meq/L, klorida 96 meq/L, kalsium 3,5 meq/L, magnesium 0,5 meq/L, laktat 40 meq/L dan pH berkisar 5,2. Sebelum digunakan sebaiknya cairan dialisat dihangatkan terlebih dahulu secara pemanasan kering misalnya dengan cara diletakkan di atas bantalan atau selimut listrik atau dibungkus di dalam selimut dengan tujuan agar mencapai suhu normal atau sama dengan suhu tubuh pasien. 2.1.11. Penggantian Cairan Dialisat

Pada saat proses penggantian cairan dialisat pasien harus ditempatkan pada tempat yang tenang dan bersih untuk mencegah kemungkinan kontaminasi. Setelah cuci tangan dengan bersih dan menyiapkan beberapa alat, pasien mulai untuk mengalirkan solute lama yang sudah berada di rongga peritoneum secara gravitasi keluar dari rongga abdomennya. Proses ini disebut sebagai drain dan biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 menit.

Langkah selanjutnya adalah melepas tube dari kantong dialisat lama dan menghubungkan tube ke kantong dialisat yang baru. Proses ini dapat dilakukan secara manual dimana dibutuhkah koordinasi yang baik antara mata dan tangan dan juga fisik yang kuat. Setelah tube terhubung ke kantong dialisat yang baru, kantong tersebut harus diletakkan di atas abdomen pasien sehingga dialisat yang baru dapat mengalir ke dalam rongga peritoneum pasien secara gravitasi. Proses ini dikenal dengan istilah infusion. Setelah semua cairan dialisat masuk ke rongga peritoneum pasien melepaskan tube dari kantong dialisat tersebut dan pasien bisa beraktifitas seperti biasa. Keseluruhan proses penggantian cairan dialisat ini membutuhkan waktu sekitar 20 sampai 30 menit.

(20)

Penggantian cairan dialisat ini pada umumnya berlangsung 4 kali sehari, yaitu pada pagi hari, kemudian siang hari, sore hari dan sebelum waktu tidur. Untuk efisiensi yang maksimum, dwell time yaitu waktu saat cairan dialisat berada di abdomen, sebaiknya paling sedikit 4 jam. Selama dialisat berada dalam abdomen, pasien selalu dalam kondisi didialisis. Oleh karena itu, pembuangan waste product dan air berlangsung secara gradual dan kontinu. Proses ini hampir mendekati fungsi ekskresi dari ginjal normal.

2.1.12. Prinsip-prinsip CAPD

CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis lainnya, yaitu: difusi dan osmosis.

a. Difusi

Membrane peritoneum menyaring solute dan air dari darah ke rongga peritoneum dan sebaliknya melalui difusi. Difusi adalah proses perpindahan solute dari daerah yang berkonsentrasi tinggi ke daerah yang berkonsentrasi rendah, dimana proses ini berlangsung ketika cairan dialisat dimasukkan ke dalam rongga peritoneum. Konsentrasi cairan CAPD lebih rendah dari plasma darah, karena cairan plasma banyak mengandung toksin uremik.Toksin uremik berpindah dari plasma ke cairan CAPD. b. Osmosis

Osmosis adalah perpindahan air melewati membrane semi permeable dari daerah solute yang berkonsentrasi rendah (kadar air tinggi) ke daerah solute berkonsentrasi tinggi (kadar air rendah). Osmosis dipengaruhi oleh tekanan osmotic dan hidrostatik antara darah dan cairan dialisat. Osmosis pada peritoneum terjadi karena glukosa pada cairan CAPD menyebabkan tekanan osmotic cairan CAPD lebih tinggi (hipertonik) dibanding plasma, sehingga air akan berpindah dari

(21)

kapiler pembuluh darah ke cairan dialisat (ultrafiltrasi) Kandungan glucose yang lebih tinggi akan mengambil air lebih banyak. Cairan melewati membrane lebih cepat dari pada solute. Untuk itu diperlukan dwell time yang lebih panjang untuk menarik solute.

1) Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi : a) Kualitas membrane

b) Ukuran & karakteristik larutan c) Volume dialisat

2) Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan : a) Tekanan osmotic

b) Konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan plasma darah dalam pembuluh kapiler

Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam peritoneum, air akan diultrafiltrasi dari plasma ke dialisat, sehingga meningkatkan volume cairan intra peritoneal. Peningkatan volume cairan intraperitoneal berbanding lurus dengan konsentrasi glukosa dari cairan dialisat. 3) Standar konsentrasi elektrolit cairan CAPD:

a) Na (132 meq /lt) b) Cl ( 102 meq /lt) c) Mg (0,5 meq /lt) d) K (0 meq /lt)

CAPD merupakan terapi dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil. Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih tersisa, volume dialisa setiap hari, dan kecepatan produk limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten karena proses dialysis

(22)

berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada dalam kisaran normal.

Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang semakin baik.Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang signifikan.Dengan CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis daripada molekul berukuran sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml sehingga memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar gradient osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.

Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung secara kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari (misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00 malam).Dan dapat tidur pada malam harinya. Setipa pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau lebih; lamanya proses ini tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan cairan

(23)

dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan waktu rentensi selama 10 menit, 30 menit atau lebih.

2.1.13. Efektifitas CAPD

Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD lebih hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih tersisa dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD adalah cara penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui rongga peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah selaput/membran. Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam rongga perut melalui selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut. Teknik ini memanfaatkan selaput rongga perut untuk menyaring dan membersihkan darah. Ketika cairan dialisis berada dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan dibersihkan, juga kelebihan air akan ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di rumah oleh pasien bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang menyakitkan, fungsi ginjal yang tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap saa, dan pasiennya lebih bebas atau dapat bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).

2.1.14. Keuntungan CAPD dibandingkan HD :

Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal: 1. Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti

diketahui sebenarnya saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di samping untuk membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai hormon seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-fungsi tersebut.

2. Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun

(24)

pada akhirnya, semua mempunyai usia juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.

3. Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk tenaga/fasilitas kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004). Keuntungan tambahan yang lain yaitu:

1. Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja

2. Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri 3. Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.

4. Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD

5. Pembuangan cairan dan racun lebih stabil 6. Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas

7. Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung

8. Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama

2.1.15. Kelemahan CAPD : 1. Resiko infeksi

Peritonitis

2. BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi.

3. Lebih banyak protein yang hilang dari tubuh selama berlangsungnya proses dialisis peritoneal (Iqbal et al, 2005). 2.1.16. Komplikasi CAPD

Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada CAPD adalah : 1. Peritonitis

Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan paling serius, yaitu antara 60-80 % dari pasien yang menjalani peritoneal dialisis. Hal ini disebabkan oleh adanya kontaminasi dari Staphylokokus epidermidis yang bersifat aksidental,

(25)

dan Staphylococcus aureus dengan angka morbiditas tinggi, prognosis lebih serius serta lebih lama. Manifestasi dari peritonitis yaitu cairan dialisat yang keruh, nyeri abdomen yang difus, hipotensi serta tanda-tanda syok lainnya, hal ini jika penyebabnya S. Aureus. Pemeriksaan cairan drainage untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan Gram, dan pemeriksaan kultur untuk tahu penyebab mikroorganisme dan arahan terapi.

Penatalaksanaan Peritonitis di rumah sakit apabila pasien dalam kodisi parah dan tak mungkin melakukan terapi pertukaran dirumah, dengan menjalani dialisis peritoneal intermitten selama 48 jam atau lebih atau sepenuhnya dihentikan selama dapat terapi suntikan antibiotik. Jika gejalanya ringan ditangani secara rawat jalan dan terapi antibiotik ditambahkan dalam cairan dialisat serta dapat AB peroral selama 10 hari. Infeksi akan menghilang dalam waktu 2-4 hari . AB harus diberikan dengan cermat dan tidak bersifat nefrotoksik agar tidak memperparah fungsi ginjal yang tersisa. Intervensi bedah mungkin diperlukan jika peritonitis akibat adanya kebocoran dari usus.

Pada infeksi persisten di tempat keluar kateter pelepasan kateter permanen diperlukan untuk mencegah peritonitis. Peritonitis dengan hasil kultur cairan peritoneal positif juga merupakan indikasi pelepasan kateter. Untuk sementara menggunakan HD selama satu bulan sampai dilakukan pemasangan kateter yang baru. Pasien dengan peritonitis akan kehilangan protein melalui peritoneum dalam jumlah besar, malnutrisi akut, serta kelambatan penyembuhan

(26)

Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui luka insisi atau luka pemasangan kateter setelah kateter terpasang. Kebocoran akan berhenti spontan jika terapi dialisis ditunda selama beberapa hari sampai luka insisi dan tempat keluarnya kateter sembuh. Faktor yang dapat memperlambat kesembuhan adalah aktifitas abdomen yang tidak semestinya atau mengejan pada saat buang air besar. Kebocoran dapat dihindari dengan memulai infus cairan dialisat dengan volume kecil (100-200 ml) dan secara bertahap meningkatkan volume mencapai 2000 ml 3. Perdarahan

Cairan drainage dialisat yang mengandung darah dapat terlihat khususnya pada wanita yang sedang haid. Hal ini disebabkan karena cairan hipertonik menarik darah dari uterus lewat orificium tuba falopii yang bermuara ke dalam kavum peritoneal. Kejadian ini dapat terjadi selama beberapa kali penggantian cairan mengingat darah akibat prosedur tersebut tetap berada pada rongga abdomen.

Penyebab lain adanya perdarahan karena pergeseran kateter dari pelvis serta pada pasien yang habis menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma. Adapun intervensi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pertukaran cairan lebih sering untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah 4. Komplikasi lainnya adalah

a. Hernia abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen yang terus menerus. Tipe hernia yang terjadi adalah insisional, inguinal, diafragmatik, dan umbilikal. Tekanan intra abdomen yang persisten meningkat juga dapat memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.

(27)

b. Hipertrigliseridemia sehingga memberi kesan dapat mempermudah aterogenesis. Penyakit Kardiovaskuler tetap merupakan penyebab utama kematian pada populasi pasien ini.

c. Nyeri Punggung bawah dan anoreksia karena cairan dalam rongga peritoneum selain rasa manis yang selalu tarasa pada indra pengecap juga berkaitan dengan absorpsi glukose.

d. Pembentukan bekuan dalam kateter peritoneal dan konstipasi. 2.1.17. Fase persiapan sebelum dilakukan CAPD

1. Persiapan Bagi Klien yang akan menjalani CAPD

Persiapan bagi klien dan keluarga yang menjalani CAPD tergantung dari status fisik dan psikologis klien, tingkat kesadaran, pengalaman sebelumnya tentang terapi dialysis dan pemahaman serta adaptasi klien terhadap prosedur tersebngut. Mungkin klien yang akan menjalani hemodialis peritoneal berada dalam kondisi akut sehingga memerlukan terapi jangka pendek untuk memperbaiki kondisi yang berat pada status cairan dan elektrolit.

Prosedur dialisi peritoneal perlu dijelaskan terlebih dahulu kepada pasien dan surat persetujuan (inform consent) yang sudah ditandatangani harus sudah diperoleh sebelum prosedur tersebut dilaksanakan. data dasar mengenai tanda-tanda vital, berat badan dan kadar elektrolit serum harus dicatat. pengosongan kandung kemih dan usus diperlukan untuk memperkecil resiko tertusuknys organ-organ internal. perawat juga harus mengkaji rasa cenas klien dan memberikan dukngan serta petunjuk mengenai prosedur yang akan dilaksanakan. Kateter untuk dialysis peritoneal harus dipasang di kamar operasi, sehingga hal ini harus dijelaskan kepada klien dan keluarganya.

(28)

Disamping merakit peralatan untk dialysis peritoneal, perawat harus berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan konsentrasi larutan dialisat yang akan digunakan dan obat-obatan yang akan ditambahkan pada dialisat tersebut. Heparin dapat ditambahkan untk mencegah pembentukan bekuan fibrin yang dapat menyembut kateter peritoneal.Kalium klorida dapat diresepakn untk mencegah hipokalemia.antibiotic dapat diberikan untk mengobati peritonitis.

sebelum menambahkan obat-obatan ini, larutan dialisat dihangatkan hingga mencapai suhu tubuh untuk mencegah gangguan rasa nyaman nyeri dan nyeri abdomen, selain itu tindakan-tindakan ini dapat menyebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh darah peritoneum sehingga meningkatkan klierens ureum. Larutan yang terlalu dingin menyebabkan nyeri dan vasokonstriksi dan menurunkan klirens.larutan yang terlalu panas dapat membakar peritoneum. peralatan yang digunakan untuk menghangatkan larutan dialisat harus dipantau dengan cermat untuk menjamin suhu yang diinginkan.

Sesaat sebelum dialysis dimulai, peralatan dan selang untuk dialysis dirakit.selang tersebut diisi dengan larutan dialisat yang sudah dipersiapkan untuk mengurangi jumlah udara yang masuk kedalam kateter serta kavum peritoneal, yang dapat menyebabkan gangguan rasa nyaman pada abdomen dan mengganggu penetesan serta pengaliran keluar cairan dialisat tersebut.

3. Pemasangan Kateter untuk Dialysis Peritoneal

Idealnya, kateter peritoneal dipasang dalam kamar operasi untuk mempertahankan teknik aseptic dan memperkecil kemungkinan kontaminasi.sebuah kateter stylet dapat digunakan jika diperkirakan dialisi peritoneal akan dilakukan dalam waktu singkat. Sebelum prosedur ini dilakukan, kulit abdomen dibersihkan dengan larutan aseptic lokal untuk mengurangi

(29)

jumlah bakteri pada kulit dan untuk mengurangi resiko kontaminasi seta infeksi pada lokasi pemasangan kateter. Dokter melakukan penyuntikan infiltrasi anestesi local ke dalam kulit dan jaringan subkutan pasien sebelum prosedur pemasangan keteter dilakukan.Insisi kecil atau sebuah tusukan dilakukan pada abdomen bagian bawah, 3 hingga 5 cm dibawah umbilicus, di daerah ini relative tidak mengandung banyak pembuluh darah besar sehingga perdarahan yang terjadi tidak begitu besar. Sebuah trokar (sebuah alat yang berujung tajam) digunakan untk menusuk peritoneum sementara pasien mengencangkan otot abdomennya dengan cara menganggkat kepalanya. Keteter dimasukkan melalui trokar dan kemudian diatur posisisnya.caiaran yang sudah disiapkan diinfuskan ke dalam cavum peritoneal dengan mendorong omentum (lapisan peritoneal yang membentang dari organ-organ abdomen) menjauhi kateter. sebuah jahitan dapat dibuat untuk mempertahankan kateter pada tempatnya

2.1.18. Penatalaksanaan Keperawatan

a.Hitung intake dan output yaitu cairan : 500 cc ditambah urine dan hilangnya cairan dengan cara lain (kasat mata) dalam waktu 24 jam sebelumnya.

b. Elektrolit yang perlu diperhatikan yaitu natrium dan kalium. Natrium dapat diberikan sampai 500 mg dalam waktu 24 jam.

2.1.19. Penatalaksanaan Diet

a.Kalori harus cukup : 2000 – 3000 kalori dalam waktu 24 jam. b. Karbohidrat minimal 200 gr/hari untuk mencegah

terjadinya katabolisme protein c.Lemak diberikan bebas.

d. Diet uremia dengan memberikan vitamin : tiamin, riboflavin, niasin dan asam folat.

(30)

e.Diet rendah protein karena urea, asam urat dan asam organik, hasil pemecahan makanan dan protein jaringan akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat gagguan pada klirens ginjal. Protein yang diberikan harus yang bernilai biologis tinggi seperti telur, daging sebanyak 0,3 – 0,5 mg/kg/hari.

BAB 3

PEMBAHASAN JURNAL

3.1. Gambaran Karakteristik Sosio-Demografi Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi CAPD

Gambaran karakteristik sosio-demografi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi CAPD. Penelitian ini melibatkan 47 pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi CAPD di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Responden penelitian berdasarkan jenis kelamin terdiri dari responden perempuan 40,42% dan responden laki-laki 59,57%, maka jenis kelamin responden paling banyak pada penelitian ini adalah berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sesuai dengan data dari USRDS bahwa pasien gagal ginjal kronik terbanyak adalah laki-laki. Secara umum gagal ginjal kronik memiliki resiko yang sama besar kejadiannya terhadap jenis kelamin perempuan dan laki-laki.

(31)

multifaktorial yaitu yang pertama adalah pekerjaan salah satu contohnya orang yang memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia, apabila bahan-bahan kimia terpapar dan masuk kedalam tubuh akan dapat mempengaruhi ginjal dan menyebabkan penyakit ginjal. Selanjutnya gaya hidup yang tidak sehat misalnya kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji dan makanan yang mengandung karbohidrat tinggi tetapi rendah serat, kurangnya melakukakan aktivitas olahraga, kebiasaan merokok serta meminum minuman yang beralkohol dapat menimbulkan penyakit ginjal kronik, dan berikutnya adalah faktor genetika yaitu penyakit ginjal dapat berupa keturunan atau bawaan seperti kelainan struktural, kelainan fungsi yang menimbulkan penyakit ginjal. Terdapatnya kecendurungan laki-laki lebih rentan terkena gagal ginjal kronik dikarena faktor pekerjaan pada laki-laki lebih berat baik dari segi beban fisik maupun beban mental yang dialaminya daripada perempuan dan faktor kebiasaan merokok lebih tinggi terjadi pada laki-laki di bandingkan perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Perakis memaparkan jumlah pasien CAPD di Yunani tahun 1990-2007 sebagian besar (57,90%) adalah laki-laki. Penelitian lain yang dilakukan oleh Chan tentang profil kesehatan pasien gagal ginjal terminal yang menjalani peritoneal dialysis di hongkong menunjukkan juga jumlah responden laki-laki lebih banyak yaitu sebanyak 83 orang. Sedangkan penelitian yang di lakukan di rumah sakit denpasar menunjukkan bahwa responden laki-laki (52%) lebih banyak dibandingkan responden perempuan.

Hasil penelitian menunjukkan rentang usia responden pada penelitian ini adalah 18-64 tahun, meningkatnya usia seseorang memberikan dampak pada penurunan fungsi –fungsi tubuh sehingga semakin rentan terhadap penyakit. Umur pasien yang semakin meningkat juga berkaitan dengan prognosis suatu penyakit dan harapan hidup. Pada penderita yang berusia di atas 55 tahun lebih mudah untuk terjadinya suatu komplikasi yang dapat memperberat fungsi ginjal untuk bekerja dibandingkan dengan penderita yang usianya di bawah 40 tahun. Dalam penelitian ini didapatkan

(32)

responden dengan rentang usia 18-44 tahun berjumlah 24 responden (51,08%) dan responden dengan rentang usia 45-65 tahun berjumlah 23 responden (48,93%).

Hal ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan di unit hemodialisa RSPAD Gatot Soebroto yang menyatakan bahwa responden yang menderita gagal ginjal kronik banyak pada kelompok usia produktif yaitu berjumlah (71,7%). Kecenderungan bertambahnya penderita gagal ginjal kronik dan bergesernya usia responden 10 tahun lebih muda dari 30-40 tahun terjadi dikarenakan gagalnya pencegahan primer seperti menghindari faktor resiko, sehingga hal ini dapat menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit seperti diabetes mellitus dan hipertensi, dan salah satunya pencegahan primer yang dilakukan adalah dengan menghindari kebiasaan merokok karena kebiasaan merokok tersebut dapat memperbesar resiko terjadinya penyakit yang berhubungan dengan terjadinya penyempitan pada pembuluh darah, termasuk pembuluh darah di ginjal, serta angka kejadian penyakit seperti diabetes mellitus dan hipertensi juga meningkat kejadiannya pada usia reproduktif. Hal itulah yang menjadi alasan banyaknya pasien usia produktif yang mengidap penyakit ginjal kronik atau gagal ginjal kronik.

Berdasarkan data yang diperoleh , responden penelitian terbanyak berasal dari suku melayu (31,91%) kemudian diikuti oleh suku batak (23,40%), suku jawa (21,27%), suku minang dan suku tionghoa (10,63%) serta suku aceh (2,12%). Pada dasarnya hal ini lebih dikarenakan kondisi demografi penduduk di provinsi Riau. RSUD Arifin ahmad merupakan rumah sakit rujukan yang menerima pasien dari rumah sakit pemerintah lainnya dari daerah maupun kabupaten se-Provinsi Riau. Populasi suku terbanyak di provinsi Riau ini adalah suku melayu.

Latar belakang budaya dan suku seseorang mengajarkan bagaimana cara sehat, cara mengenali sakit, dan cara merawat orang sakit dan efek penyakit dan interprestasinya berbeda menurut kultur masing-masing suku. Perbedaan suku dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil sebuah

(33)

keputusan tentang penggunaan layanan kesehatan. Pada dasarnya penyakit yang berhubungan dengan suku berkaitan dengan faktor genetik atau faktor lingkungan. Misalnya cara merawat orang sakit, cara menjaga kesehatan dan pemilihan makanan pada orang yang sakit.

Dalam penelitian ini diperoleh responden terbanyak memiliki status pendidikan terakhir sebagai lulusan D1/D2/D3/S1 (53,19%) dan paling sedikit merupakan lulusan SD (6,38%) . Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Batubara yang menunjukkan jumlah respondennya mayoritas adalah pendidikan terakhirnya perguruan tinggi. Status pendidikan terakhir berperan penting dalam menentukan status kesehatan dan kualitas hidup seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka kesadaran tentang pentingnya kesehatan dan pengobatan akan masalah kesehatanya yang dihadapinya juga akan semakin tinggi dan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka individu tersebut akan cenderung untuk lebih berpikir positif.Status pendidikan terakhir juga berpengaruh terhadap sumberdaya ekonomi dan sosial yang dicapai, sehingga muncul paradigma bahwa tingkat pendidikan yang rendah mengakibat suatu individu memiliki pengetahuan yang rendah terhadap kesehatan dirinya dan dapat jatuh pada keadaan streesfull, sehingga hal ini dapat menyebabkan meningkatnya resiko penyakit ginjal kronik.

Data dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa mayoritas responden telah menikah (93,61%). Besar atau tidaknya dukungan yang diterima oleh seorang responden yang sudah menikah sangat menentukan perjalanan penyakit dari gagal ginjal kronik. Dukungan yang diberikan pada pasangan dapat berupa motivasi, penghargaan, perhatian, dan pemberian solusi terhadap masalah yang dihadapi oleh pasangannya. Didapatkannya dukungan yang lebih dari pasangan akan dapat mempengaruhi emosional dari pasien gagal ginjal kronik dan dapat menimbulkan perbaikan pada perjalanan penyakitnya.

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa pasien yang telah memakai CAPD dalam kurun waktu <1 tahun sebanyak 19,14%, pasien

(34)

yang memakai CAPD dalam kurun waktu 1-5 tahun sebanyak 72,34% dan pasien yang memakai CAPD >5 tahun sebanyak 8,51%. Responden dengan jangka waktu memakai CAPD terpendek adalah 1 bulan dan terlama adalah 80 bulan. Komplikasi yang terjadi pada responden yaitu hipoalbumin, infeksi exit site/tunnel, peritonitis dan kebocoran cairan dialisat terjadi pada maupun pada responden yang lebih dari 5 tahun menjalani CAPD, responden jarang kontrol ke tenaga medis dan banyak responden telah lupa melakukan prosedur standar dalam perawatan CAPD. Penelitian yang dilakukan oleh Noph yang mengamati pasien yang menjalani terapi CAPD pada 3 tahun pertama ditemukan terjadinya infeksi exit site, catheter replacement dan peritonitis. Menurut penelitian Pollock juga menemukan terjadinya peritonitis pada 2-3 tahun pertama pemakaian CAPD di Australia, sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Szeto et all menyatakan bahwa rata-rata lama responden menjalani terapi CAPD adalah 63,7 bulan dan terdapat 23% yang mengalami peritonitis.

Hasil penelitian didapatkan mayoritas responden bekerja sebagai IRT, pensiunan dan tidak bekerja (36,17%), sedangkan yang bekerja sebagai wiraswasta berjumlah (34,08%) dan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil berjumlah (29,78%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asri dkk menyatakan bahwa 2/3 pasien yang menjalani terapi dialisis tidak pernah dapat kembali pada aktivitas atau pekerjaan semula sehingga pasien dapat kehilangan pekerjaannya. Rendahnya aktivitas seseorang dapat berpengaruh terhadap perburukan kesehatan baik dari segi fisik maupun psikis individu, sehingga dapat mengakibatkan seseorang sakit.

3.2. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi CAPD

Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik merupakan salah satu hal penting untuk menilai efek samping dari sebuah terapi pengobatan. Kualitas hidup dapat menggambarkan suatu beban seorang penderita akibat penyakit yang dideritanya dan terapi yang diperolehnya. Ketepatan dalam melakukan pengukuran kualitas hidup bermanfaat untuk mengetahui proses penyakit

(35)

dan efek terapi yang diberikan kepada penderita, dengan demikian pasien yang menderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi CAPD perlu diteliti kualitas hidupnya.

Pada penelitian ini dengan menggunakan kuesioner KDQOL-SFTM didapatkan sebanyak 76,59% pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi CAPD memiliki kualitas hidup yang baik dan 23,40% termasuk dalam kategori buruk. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatayati yang menilai kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi CAPD dengan menggunakan kuesioner kualitas hidup dari Spitzer di dapatkan hasil bahwa 68,75% responden termasuk dalam kategori baik, sedangkan sisanya sebanyak 31,25% termasuk dalam kategori sedang.

Karakteristik seseorang berpengaruh terhadap pola dan kualitas kehidupan seseorang. Karakteristik dapat dilihat dari beberapa sudut pandang misalnya yang pertama usia yaitu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nofitri menemukan adanya hubungan usia dalam aspek-aspek kehidupan individu dalam meningkatkan kualitas hidup. Saat memasuki usia tua kualitas hidup seseorang menjadi lebih baik karena individu tersebut telah melewati masa-masa dalam perubahan hidupnya dan individu yang berusia tua lebih memiliki kemampuan untuk mengarahkan dan mengevaluasi dirinya kearah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa kelompok usia 45-64 tahun sebanyak 82,60% memiliki kualitas hidup dalam kategori baik.

Berikutnya pendidikan merupakan Pasien yang memiliki status pendidikan yang lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang luas sehingga memungkinkan pasien tersebut dapat mengontrol dirinya terhadap masalah yang sedang dihadapinya, mempunyai perkiraan yang tepat dalam mengatasi kejadian, mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan, mempunyai pengalaman serta percaya diri yang tinggi serta pasien tersebut dapat mengurangi kecemasan yang dirasakannya sehingga individu tersebut dapat mengambil keputusan yang tepat.

(36)

menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hal penting untuk melakukan suatu tindakan, prilaku yang didasarkan atas pengetahuan akan lebih baik hasilnya dibandingkan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Berikutnya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nofitri menyatakan bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu dan ditemukannya adanya pengaruh positif dari pendidikan terhadap kualitas hidup secara subjektif.

Pada prosedur CAPD, pasien yang menjalani terapi CAPD sebelumnya akan mendapatkan pelatihan tentang CAPD, perawatan serta penggantian cairan CAPD dirumah oleh perawat bersertifikat CAPD. Keberhasilan dalam pelatihan ini akan tergantung dari kemampuan pasien dalam menyerap informasi yang diberikan perawat selama pelatihan tersebut berlangsung.

Dari uraian di atas maka ditarik kesimpulan bahwa, status pendidikan terakhir pasien gagal ginjal kronik yang terbanyak adalah D1/D2/D3/S1 dengan kualitas hidup dalam kategori baik sebanyak 80% sedangkan yang termasuk dalam kategori buruk berjumlah 20%, hal ini bisa juga terjadi disebabkan karena kurangnya informasi tentang pelayanan kesehatan yang didapatkan atau pendidikan pasien mungkin cukup tinggi tetapi sikap dan tindakan responden terhadap kesehatan kurang atau dalam arti lain responden kurang memanfaatkan pendidikannya untuk mencari informasi tentang kesehatan. Serta walaupun seseorang memiliki pendidikan tinggi tetapi pengalaman atau pengetahuan seseorang tersebut dalam menjaga kesehatannya masih kurang.

Berikutnya status pernikahan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Moons et all menyebutkan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara individu yang tidak menikah, individu yag bercerai dan janda, serta individu yang menikah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Myers menyatakan bahwa disaat kebutuhan akan hubungan dekat dengan orang lain terpenuhi, baik hubungan pertemanan yang saling mendukung maupun hubungan pernikahan, manusia akan memiliki kualitas hidup yang lebih

(37)

baik secara fisik maupun emosional. Zapt et all juga menyatakan bahwa status pernikahan merupakan salah satu prediktor terbaik dari kualitas hidup secara keseluruhan.

Dari data penelitian juga didapatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menikah dalam kategori baik sebanyak 75% dan kualitas hidup dalam kategori buruk pada responden yang menikah sebanyak 25%. Hal dapat terjadi di karenakan pada masa sekarang ini baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah pada usia produktif lebih mementingkan karir/pekerjaan serta aktivitas sosial sehingga perhatian terhadap suami atau istri berkurang, akibatnya dukungan yang diberikan juga berkurang. Salah satu efek yang dirasakan oleh pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi dialysis adalah penurunan libido akibat penurunan hormon reproduksi, sehingga hubungan suami istri akan terganggu dan berdampak juga pada keharmonisan rumah tangga, berkurangnya semangat dan motivasi dari pasangan sehingga menimbulkan masalah emosional yang berdampak terhadap kesehatan responden.

Pekerjaan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahl mengemukakan bahwa status pekerjaan berhubungan dengan kualitas hidup, baik pada laki-laki ataupun perempuan. Serta Moons menyatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara penduduk yang berstatus sebagai pelajar, bekerja,tidak bekerja, dan tidak mampu bekerja. Berdasarkan uraian tersebut maka apapun pekerjaan responden akan berhubungan dengan kualitas hidupnya. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kualitas hidup dalam kategori baik banyak terdapat pada responden yang bekerja sebagai wiraswasta (31,91%) dan responden yang kualitas hidupnya dalam kategori buruk banyak terdapat pada IRT/pensiunan/tidak bekerja (14,89%). Perbedaan kualitas hidup pada pekerjaan terjadi karena perbedaan beban kerja, lingkungan, dan seberapa puas responden menikmati aktivitasnya.

Serta lama terapi menjalani CAPD berperan dalam menentukan kualitas hidup yaitu Semakin lama pasien telah menggunakan terapi CAPD maka akan meningkat pengetahuan dan wawasan tentang CAPD yang. Hal

(38)

tersebut akan mempengaruhi kemampuan pasien dalam mencegah berbagai komplikasi yang dapat terjadi dalam penggunaan CAPD dilakukan dan hal ini akan meningkatkan kualitas hidupnya.

Disamping karakteristik pasien yang mempengaruhi kualitas hidup, hal lain seperti keseriusan dari individu untuk menjaga kesehatannya akan berpengaruh terhadap kualitas hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik individu dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang terutama yang menderita penyakit ginjal kronik.

Angka kualitas hidup didapatkan cukup tinggi pada pasien gagal ginjal kronik ini terjadi dikarenakan pasien merasa lebih nyaman menggunakan CAPD sebab pasien dapat melakukan dialisis secara sendiri di rumah atau di tempat kerja dengan jadwal yang fleksibel tanpa ketergantungan terhadapat rumah sakit, serta pasien menjadi mandiri dan dapat meningkatkan kepercayaan dirinya.

Kelebihan CAPD yang lainnya adalah pada dialisis ini pembuangan cairan dan racun lebih stabil sehingga dapat mempertahankan keadaan klinis yang baik, serta terapi ini dapat mempertahankan residualrenal function. Dalam hal diet tidak ada pembatasan ketat yang harus dilakukan oleh pasien CAPD namun perlu ditekankan untuk menyeimbangkan antara intake dan output keseimbangan cairan dan elektrolit dan pengambilan produk metabolic oleh dialysis. Untuk itu maka dianjurkan untuk diet tinggi protein untuk mencegah terjadinya balans negative karena kehilangan protein. Hal inilah yang menyebabkan angka kualitas hidup cukup tinggi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi CAPD.

(39)

BAB 4 PENUTUP

1.1. Simpulan

CAPD (Continuius Ambulatory Peritoneal Dialysis)

Merupakan metode pencucian darah dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru.

1.2. Saran

Perkembangan teknologi di era globalisasi ini kian menuntut manusia untuk selalu berevolusi dan berinovasi, khususnya dibidang teknologi kesehatan. Berbagai penemuan-penemuan terkait dengan terapi pengobatan dan metode pengobatan terbaru pun telah ditemukan. Salah satunya adalah metode dialysis tanpa mesin yaitu metode CAPD. Kita sebagai mahasiswa perawat, sebagai bibit yang nantinya akan meneruskan pembangunan di bidang kesehatan sudah sepatutnya untuk membekali diri dengan segala dan setiap perkembangan yang terjadi di masyarakat. Hal ini penting karena dapat membantu mahasiswa nantinya dalam menjalankan profesinya di bidang keperawatan. Dengan memiliki jiwa yang sensitive

(40)

akan perkembangan teknologi, maka ilmu pun akan selalu diperoleh guna profesionalisme kerja yang juga nantinya akan bermanfaat dalam memberikan asuhan keperawatan melalui pendekatan proses keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

Iqbal et al. Outcome of Peritoneal Dialysis and Hemodialysis in Elderly Patients with Diabetes: Early Experience from Bangladesh. Advances in Peritoneal Dialysis 2005;21:85-9.

Ardaya. 2003. Manajemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik, tatalaksana Gagal ginjal Kronik. Palembang: Perhimpunan Nefrologi Indonesia Keane WF, Baillie GR, Boeschoeten, E, Gokal R, Adult Peritoneal

Dialysisi-Related Peritonitis Treatment Recomendations : 2000 Update Peritoneal Dyalisis International 2000,20396-411

Haryanti E et al. Kejadian Peritonitis Pada Pasien Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis : Identifikasi mikroorganisme dan sensitifitas antibiotik. Divisi Ginjal Dan Hipertensi Bagian/SMF Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Risqina P, Sembiring LP, Bebasari E, Gambaran Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis Di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Dengan Menggunakan Kuesioner KDQOL-SF. Penulis untuk korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Riau

Gambar

Gambar 3. Letak kateter Tenchkoff dan exit site pada pasien CAPD

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mencapai tujuan pengembangan ekowisata di Laboratorium Lapangan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Hutan Pendidikan Unhas, disarankan untuk melakukan penelitian

Selain itu, prinsip piercing the veil ini dapat ditemukan pula pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (6) UU PT yang menyatakan bahwa “dalam hal jangka waktu

“Batik berasal dari bahasa Jawa kuno “ mbatik ”, artinya membatik. Batik merupakan hasil karya kerajinan tangan masyarakat Indonesia yang dituangkan dalam selembar kain

Dalam aplikasi ini juga disertakan kuis guna menambah pemahaman pengguna dalam mengenal alat musik gamelan.Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan

'empat tidur terbuka adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk memasang perlengkapan tempat tidur tanpa sprei penutup. 'indakan ini dilakukan ika ada pasien baru dan

Pengertian budaya sangat luas dan kompleks, berikut dikemukakan beberapa unsur budaya yang dapat mempengaruhi perilaku konsumen dalam pembelian suatu

Hasil analisis menunjukkan bahwa t hitung sebesar 1,952 dengan p = 0,043 &lt; 0,05, hal ini dapat diketahui bahwa ada perbedaan yang signifikan motivasi kerja karyawan yang

Orang di sebelah kiri robot, error karena sebelum sensor selesai menyensing sensor sudah tidak mendeteksi adanya orang sehingga robot berputar seperti tidak.