• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL UNTUK MEMBENTUK GENERASI BERKARAKTER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBELAJARAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL UNTUK MEMBENTUK GENERASI BERKARAKTER"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

101

PEMBELAJARAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL UNTUK

MEMBENTUK GENERASI BERKARAKTER

Rizkia Saputri1) & Sri Sumarti2) Universitas Muhammadiyah Purworejo

[email protected] ABSTRAK

Kearifan lokal adalah sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempat. Pendidikan nasional Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai masalah. Capaian hasil pendidikan masih belum memenuhi hasil yang diharapkan. Untuk meminimalisasi dan memperkecil, bahkan menghilangkan krisis multidemensional, terutama perilaku tak bermoral yang meluas di masyarakat, kita perlu menata konsep dan implementasi pendidikan nasional. Dalam menjamin pendidikan nasional yang mantap, perlu dijaga konsistensi pendidikan karakter sejak dari landasan filosofis, sistem pendidikan, sampai dengan praktik pendidikan. Pembelajaran di sekolah belum mampu membentuk secara utuh pribadi lulusan yang mencerminkan karakter dan budaya bangsa. Proses pendidikan masih menitikberatkan dan memfokuskan capaiannya secara kognitif. Sementara, aspek afektif pada diri peserta didik yang merupakan bekal kuat untuk hidup di masyarakat belum dikembangkan secara optimal. Karena itu, pendidikan karakter dan budaya bangsa merupakan satu keniscayaan untuk dikembangkan di sekolah. Sekolah sebagai pusat perubahan perlu mengupayakan secara sungguh-sungguh pendidikan yang berbasis karakter dan budaya bangsa. Karakter dan budaya bangsa yang dikembangkan di sekolah harus diselaraskan dengan karakter dan budaya lokal, regional, dan nasional. Sehingga perlu dikaji bagaimana peranan kearifan lokal untuk membentuk karakter.

Kata Kunci: Kearifan Lokal, Pembelajaran, dan Karakter

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Dalam penerapan kurikulum 2013 teridentifikasi bahwa pembelajaran di sekolah menekankan pada aspek pengalaman belajar yang sesuai dengan minat dan bakat peserta didik. Melihat bahwa karakteristik peserta didik di setiap wilayah di Indonesia berbeda satu dengan yang lainnya, maka perlu dilakukan identifikasi unsur budaya lokal (kearifan lokal) dalam sumber belajar siswa untuk menjadikan kelas aktif guna mencapai pengalaman belajar bermakna

(2)

102

(meaningfull) (Anderson & Krathwohl, 2001 dalam jurnal dek ngurah laba laksana).

Pembelajaran bermakna akan dapat diperoleh jika anak belajar sesuai dengan lingkungan sosialnya. Sehingga unsur budaya tidak bisa dilepaskan dalam merancang sebuah pembelajaran di sekolah. Selain itu, dalam kerangka kurikulum 2013 juga disebutkan bahwa dalam menyusun dan mengembangkan kegiatan pembelajaran harus memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan dan pengembangan sesuai dengan kondisi di satuan pendidikan baik kemampuan awal peserta didik, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik (Kemendikbud, 2013). Dunia pendidikan harus mampu berperan aktif menyiapkan sumberdaya manusia terdidik yang mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan, baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Ia tidak cukup hanya menguasai teori-teori, tetapi juga mau dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sosial. Sumberdaya manusia yang berkarakter sebagaimana diungkapkan di atas dapat dicapai melalui pendidikan yang berorientasi pada pembentukan jiwa entrepreneurship, yaitu jiwa keberanian dan kemauan menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar, jiwa kreatif untuk mencari solusi dan mengatasi problema tersebut, dan jiwa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Salah satu jiwa entrepreneurship yang perlu dikembangkan melalui pendidikan adalah karakter yang bersumber dari budaya bangsa.

Pendidikan yang berbasis karakter dan budaya bangsa adalah pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dan metodologi ke arah pembentukan karakter anak bangsa pada peserta didiknya melalui kurikulum terintegrasi yang dikembangkan di sekolah. Kerangka pengembangan karakter dan budaya bangsa melalui pembelajaran di kalangan tenaga pendidik dirasakan sangat penting. Sebagai agen perubahan, pendidik diharapkan mampu menanamkan ciri-ciri, sifat, dan watak serta jiwa mandiri, tanggung jawab, dan cakap dalam kehidupan kepada peserta didiknya. Di samping itu, karakter tersebut juga sangat diperlukan bagi seorang pendidik karena melalui jiwa ini, para pendidik akan memiliki

(3)

103

orientasi kerja yang lebih efisien, kreatif, inovatif, produktif serta mandiri.Pendidikan saat ini hanya mengedepankan penguasaan aspek keilmuan dan kecerdasan peserta didik. Jika peserta didik sudah mencapai nilai atau lulus dengan nilai akademik memadai/di atas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), pendidikan dianggap sudah berhasil. Pembentukan karakter dan nilai-nilaibudaya bangsa di dalam diri peserta didik semakin terpinggirkan. Rapuhnya karakter dan budaya dalam kehidupan berbangsa bisa membawa kemunduran peradaban bangsa. Padahal, kehidupan masyarakat yang memiliki karakter dan budaya yang kuat akan semakin memperkuat eksistensi suatu bangsa dan negara. Pengembangan pendidikan berbasis karakter dan budaya bangsa perlu menjadi program nasional. Dalam pendidikan, pembentukan karakter dan budaya bangsa pada peserta didik tidak harus masuk kurikulum. Nilai-nilai yang ditumbuhkembangkan dalam diri peserta didik berupa nilai-nilai dasar yang disepakati secara nasional. Nilai-nilai yang dimaksudkan di antaranya adalah kejujuran, dapat dipercaya, kebersamaan, toleransi, tanggung jawab, dan peduli kepada orang lain.

Era saat ini adalah era global. Untuk menghadapi era global ini, diperlukan insan bermoral, kompeten, dan unggul. Dalam hal ini, pendidikan merupakan upaya yang paling strategis. Sistem pendidikan nasional dalam batas tertentu telah menghasilkan insan yang berkualitas. Untuk meminimalisasi dan memperkecil, bahkan menghilangkan krisis multidemensional, terutama perilaku tak bermoral yang meluas di masyarakat, kita perlu menata konsep dan implementasi pendidikan nasional. Dalam menjamin pendidikan nasional yang mantap, perlu dijaga konsistensi pendidikan karakter sejak dari landasan filosofis, sistem pendidikan, sampai dengan praktik pendidikan. Tujuan pendidikan tidak hanya menjadikan insan berakal, insan kompeten dan berguna, insan well-adaptive, insan agent of change, dan insan bertaqwa, melainkan insan yang utuh (Wahab, 2010) dalam jurnal imam sanjaya.

Pendidikan karakter adalah dua kata yang mempunyai makna berbeda. Pendidikan adalah proses pendewasaan untuk memanusiakan manusia melalui proses pembelajaran, sedangkan karakter adalah “Identitas diri” (jati diri) yang

(4)

104

melekat pada sosok masyarakat bangsa dan negara, yang mempunyai sifat terbuka untuk menghadapi perubahan, dan untuk memilah-milah secara kritis. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.Di tengah pusaran pengaruh hegemoni global tersebut, fenomena yang terjadi juga telah membuat lembaga pendidikan serasa kehilangan ruang gerak. Selain itu, juga membuat semakin menipisnya pemahaman peserta didik tentang sejarah lokal serta tradisi budaya yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, pembelajaran dengan bentuk kearifan lokal inilah sebagai salah satu cara untuk menjaga kearifan lokal, tidak hanya itu saja tetapi dengan pembelajaran dengan terintegrasi kearifan lokal juga dapat membentuk karakter peserta didik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembelajaran (instruction) adalah suatu usaha untuk membuat peserta didik belajar atau suatu kegiatan untuk membelajarkan peserta didik (Warsita, 2008:85). Proses pembelajaran merupakan kegiatan yang didalamnya terdapat sistem rancangan pembelajaran hingga menimbulkan sebuah interaksi antara pemateri (guru) dengan pnerima materi (murid/siswa). Adapun beberapa rancangan proses kegiatan pembelajaran yang harus diterapkan adalah dengan melakukan pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran serta metode pembelajaran. 1. Pengembangan Bahan Ajar

Pengembangan bahan ajar hendaknya memerhatikan prinsip-prinsip pembelajaran. Adapun prinsip-prinsip dalam pembelajaran salah satunya yaitu memaparkan dari yang mudah ke sulit dan konkrit ke abstrak (Depdiknas, 2008). Belajar yang dimulai dari mudah ke sulit dan dari dekat ke jauh akan membuat siswa memahami pengetahuan secara bertahap. Proses pemahaman pengetahuan siswa ini akan lebih mudah apabila bahan ajar yang dikembangkan sesuai dengan konteks dimana siswa berada. Siswa bisa belajar tentang keadaan lingkungan daerahnya terlebih dahulu kemudian siswa akan belajar lebih lanjut dan mengenal lingkungan daerah selanjutnya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Sanjaya (2013:9) bahwa “proses pembelajaran pada hakikatnya diarahkan untuk

(5)

105

membelajarkan siswa agar dapat mencapai tujuan. Oleh karena itu, keputusan yang diambil dalam perencanaan dan desain pembelajaran disesuaikan dengan kondisi siswa yang bersangkutan”. Bahan ajar yang sesuai dengan lingkungan siswa berada mengarahkan guru mengajar dengan pembelajaran kontekstual (contexstual Teaching and Learning). Menurut Trianto dalam jurnal farid nurul anwar (2008:10) “pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan kondisi lingkungan dunia terdekat siswa serta mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka sehingga pembelajarannya menjadi bermakna”. Karakteristik bahan ajar kontekstual sebagai cara memudahkan siswa dalam belajar belum ditemukan pada buku siswa yang diterbitkan oleh pemerintah. Isi dan contoh-contoh dalam buku cenderung tidak kontekstual sehingga pembelajaran masih bersifat abstrak. Isi materi pembelajara kelas IV pada tema 8 subtema Lingkungan Tempat Tinggalku meyajikan materi cerita-cerita yang berasal dari berbagai indonesia, lagu tradisional.

Hal ini kurang sesuai dengan konsep belajar dari mudah ke sulit dan konkret ke abstrak sehingga perlu dilakukan pengembangan bahan ajar untuk mengkontekstualkan buku siswa. Menurut Utari dalam jurnal mustika wati (2016:40) “untuk mengontekstualkan pembelajaran salah satunya bisa dilakukan melalui penanaman nilai-nilai kearifan lokal dimana siswa berada”. Pengenalan kearifan lokal yang ada di sekitar penting sebagai bentuk pelestarian budaya lokal. Untuk mencintai NKRI, siswa terlebih dahulu diajari untuk mencintai budaya kearifan lokal daerahnya. Kemudian siswa akan mengetahui makna perbedaan ketika membandingkan kearifan lokal daerahnya dengan budaya di wilayah lain yang ada di Indonesia. Akbar (2015:9) menyatakan “bahwa semakin siswa paham makna perbedaan maka siswa akan paham makna kebersamaan sehingga timbuhlah sikap toleransi dalam diri siswa karena hasil tertinggi dari pendidikan adalah toleransi”. Proses pembelajaran tidak selalu harus berkelompok dan bekerja sendiri tetapi perlu dikombinasikan antara keduanya. Membentuk miniatur masyarakat kelas tentunya bagus untuk membangun jiwa sosial tetapi siswa juga

(6)

106

harus memiliki sikap mandiri. Menurut guru kelas IV siswa memiliki jiwa gotong royong, tetapi kemandirian siswa kurang. Oleh karena itu, pemilihan modul pembelajaran sangat cocok dikarenakan dengan menggunakan modul dapat melatih kemandirian siswa setelah dalam pembelajaran sebelumnya siswa selalu belajar secara berkelompok dengan menggunakan buku siswa.Modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistematis, didalamnya memuat seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan didesain untuk membantu peserta didik menguasai tujuan belajar yang spesifik. Jadi, bahan ajar yang akan dikembangkan dalam penelitian ini yaitu dalam bentuk modul. Modul yang dikembangkan merupakan hasil modifikasi buku siswa terbitan Kemendikbud revisi 2017 kelas IV tema 8 subtema 1 dengan cara memasukkan nilai-nilai kearifan lokal.modul bertujuan :

a. Memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal.

b. Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik siswa atau maupun guru.

c. Dapat digunakan secara tepat dan bervariasi, seperti d. Meningkatkan motivasi dan gairah belajar bagi siswa

e. Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya,

f. Memungkinkan siswa belajar mandiri sesuai kemampuan dan minatnya. g. Memungkinkan siswa dapat mengukur atau mengevaluasisendiri hasil

belajarnya.

Tabel Langkah–Langkah Model CTL

No. LANGKAH DEFINISI

1. Konstruktivisme proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif mahasiswa berdasarkan pengalaman.

2. Inquiri inkuiri, artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis.

3. Bertanya (Questioning)

Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu sedangkan menjawab

(7)

107

pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, pengajar tidak menyampaikan infomasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan senidirian, tetapi membutuhkan bantuan orang lain. Kerja sama saling memberi dan menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu persoalan. Jadi, konsep masyarakat belajar (learning community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain.

5. Pemodelan (Modeling)

modeling adalah proses pembelajaran dengan

memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap mahasiswa. Misalnya, pengajar memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan seuah kalimat asing dan sebagainya.

6. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya.

7. Penilaian Nyata (Authentic

Assessment)

Penilaian nyata (authentic assessment)adalah proses yag dilakukan pengajar untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan oleh mahasiswa.

2. Pendidikan Berbasis Karakter dan Budaya Bangsa

Pada hakikatnya, pendidikan karakter merupakan suatu sistem pendidikan yang berupaya menanamkan nilai-nilai luhur kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, semua komponen sekolah harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.

(8)

108

Dalam pendidikan karakter dan budaya bangsa ini, segala sesuatu yang dilakukan guru harus mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Sebagai pembentuk watak peserta didik, guru harus menunjukkan keteladanan. Segala hal tentang perilaku guru hendaknya menjadi contoh bagi peserta didik. Misalnya, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, cara guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak agar menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.

Kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum didasarkan pada nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dan budaya bangsa dalam konteks pendidikan adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang disebut sebagai kaidah emas (the golden rule).Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak pada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilainilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri (Sudrajad, 2010) dalam jurnal imam suyitno.

Dewasa ini, banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan, di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

(9)

109

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatanpendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun, juga terdapat perbedaan pendapat di antaranya mengenai pendekatan dan modus pendidikan. Berkaitan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development).

Menurut Foerster (Koesoema, 2010 dalam jurna imam suyitno), terdapat empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Keempat ciri tersebut sebagai berikut. a. Pertama adalah keteraturan interior. Setiap tindakan diukur berdasarkan

hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.

b. Kedua adalah koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombangambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang

c. Ketiga adalah otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi, tanpa terpengaruh atau desakan pihak

(10)

110

d. Keempat adalah keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior. Karakter inilah yang menentukan performansi seorang pribadi dalam segala tindakannya.

3. Membangun pendidikan karakter berbasis kearifan lokal

Era saat ini adalah era global. Untuk menghadapi era global ini, diperlukan insan bermoral, kompeten, dan unggul. Dalam hal ini, pendidikan merupakan upaya yang paling strategis. Sistem pendidikan nasional dalam batas tertentu telah menghasilkan insan yang berkualitas, misalnya sejumlah orang yang dipercaya untuk menduduki posisi strategis di semua sektor dan di tengah-tengah masyarakat. Namun, patut diakui bahwa masih banyak pernyataan yang mengindikasikan sistem pendidikan kita ikut andil akan rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan masih merebaknya dekadensi moral yang berdampak terhadap krisis multidimensional.

Untuk meminimalisasi dan memperkecil, bahkan menghilangkan krisis multidemensional, terutama perilaku tak bermoral yang meluas di masyarakat, kita perlu menata konsep dan implementasi pendidikan nasional. Dalam menjamin pendidikan nasional yang mantap, perlu dijaga konsistensi pendidikan karakter sejak dari landasan filosofis, sistem pendidikan, sampai dengan praktik pendidikan. Tujuan pendidikan tidak hanya menjadikan insan berakal, insan kompeten dan berguna, insan well-adaptive, insan agent of change, dan insan bertaqwa, melainkan insan yang utuh (Wahab, 2010) dalam jurnal imam suyitno.

Dalam proses pendidikan, peserta didik dipandang sebagai individu yang memiliki potensi moral, mental, fisik, sosial, dan emosional dengan keunikannya. Mereka sebagai co-subject-object yang memiliki kebebasan memilih. Karena itu, kurikulum pendidikan tidak hanya berupa kurikulum yang bererientasi pada peseta didik, masyarakat, atau pengetahuan dan teknologi, tetapi merupakan kurikulum

(11)

111

eklektik dan komprehensif yang mencakup keempat ranah tersebut (student, society, technology, and spiritual oriented curriculum).

Dalam membangun dan menanamkan budaya bangsa kepada peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan menjadi agen perubahan. Guru tidak hanya kompeten, tetapi juga menjadi teladan (sikap, pikiran, dan perilaku), kreatif, dan well adaftif (profesional yang utuh). Pengelolaan pendidikan perlu diupayakan prinsip keadilan, kebermaknaan, dan keberamahan pada lingkungan. Pengelolaan pendidikan yang demikian dapat diupayakan melalui pendidikan yang berbasis sekolah dan berbasis masyarakat (sadar nilai) dengan pertimbangan balanced centralization-decentralization yang tetap menempatkan kepentingan daerah. Proses pendidikan dilakukan secara terpadu dengan menjadikan spiritualitas sebagai ruhnya. Dalam pembelajaran, perlu dilakukan penambahan durasi waktu efektif belajar sebagai konsekuensi logis orientasi keluaran (output) yang unggul. Di samping itu, pengelolaan pendidikan harus dilakukan secara transparan, adil, dan akuntabel. Untuk itu, dalam proses pendidikan perlu dilibatkan orang tua dan masyarakat, baik dalam aspek akademik, maupun aspek nonakademik (terutama aspek moralitas).

Dalam penilaian pendidikan, tidak hanya difokuskan pada hasil pendidikan, tetapi juga kepada masukan (input) dan proses (penilaian komprehensif). Penilaian pendidikan tidak hanya pada aspek akademik, tetapi juga aspek nonakademik (terutama moral menjadi penentu). Karena itu, penilaian pendidikan sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh guru, melainkan juga peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, bahkan jika mungkin melibatkan orang tua. Dalam kegiatan penilaian, tidak hanya dilakukan hanya untuk kepentingan yang bersifat judgmental, tetapi juga bersifat apresiatif dan rekognitif.

Dalam membangun karakter budaya bangsa, lingkungan pendidikan harus mengarah pada penciptaan lingkungan keluarga yang sarat dengan nilai (agama, budaya, dan kebangsaan). Kehidupan di lingkungan sekolah harus mengupayakan lingkungan sekolah yang kondusif bagi pengembangan nilai. Dalam hal ini, sekolah harus mampu mengondisikan lingkungan masyarakat dengan nilai-nilai yang baik dan mengendalikannya dengan memainkan peran

(12)

112

filter terhadap nilai-nilai asing yang masuk. Di samping itu, pemangku kepentingan pendidikan harus dapat mengawal isi media masa yang memberikan manfaat bagi penyebaran nilai-nilai dan mengendalikan isi media masa yang berpotensi merusak kepribadian anak dan bangsa.

Dalam melaksanakan pendidikan berbasis karakter dan budaya bangsa, strategi pengembangan pendidikan perlu mengonseptualisasikan individu sebagai makhluk utuh dengan menekankan pentingnya aspek moral. Proses pendidikan harus diupayakan untuk pendidikan nilai sedini mungkin dan sepanjang hayat. Program pendidikan dan kurikulum harus dikembangkan secara terpadu sesuai dengan latar belakang sosial budaya dengan menempatkan nilai moral menjadi ruhnya. Aktivitas keseharian harus menempatkan pimpinan institusi dan pendidik menjadi model dan bertindak adil, amanah, dan kasih sayang. Pembelajaran hendaknya mampu menciptakan gerakan pendidikan nilai dan mengawalnya secara berkesinambungan, baik dalam konteks pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Proses pendidikan hendaknya memberikan orientasi peserta didik baru dan melepas lulusan setiap jenjang pendidikan dengan materi nilai-nilai yang dapat diterima di masyarakat. Agar peserta didik tidak tercerabut dari akar budayanya, pendidikan perlu menginternalisasikan nilainilai yang dijunjung tinggi di masyarakat selama dalam proses pembelajaran dan pendidikan dengan mengupayakan lingkungan fisik dan sosial yang bersih dan menarik.

SIMPULAN

Pengembangan pendidikan karakter, diperlukan pemahaman bersama antara pemerintah, lembaga pendidikan, pendidik (guru, orang tua), dan masyarakat mengenai pentingnya pembangunan karakter bangsa. Pembentukan karakter dimulai dari keinginan untuk mengetahui serta melakukan hal yang baik agar tercipta kebiasaan, baik di hati, pikiran, maupun perilaku. Dalam membentuk karakter positif, peserta didik perlu mengetahui alasan mengapa berbuat baik, merasakan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik.Oleh karena itu, keputusan yang diambil dalam perencanaan dan desain pembelajaran disesuaikan dengan kondisi siswa yang bersangkutan”. Bahan ajar yang sesuai dengan lingkungan

(13)

113

siswa berada mengarahkan guru mengajar dengan pembelajaran kontekstual (contexstual Teaching and Learning). Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan kondisi lingkungan dunia terdekat siswa serta mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka sehingga pembelajarannya menjadi bermakna.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, M. F. N., Ruminiati, R., & Suharjo, S. (2017). Pengembangan Modul Pembelajaran Tematik Terpadu Berbasis Kearifan Lokal Kabupaten Sumenep Kelas IV Subtema Lingkungan Tempat Tinggalku. Jurnal Pendidikan: Teori, Peneitian, dan Pengembangan, 2(10), 1291-1297.

Hartini, S., Misbah, M., & Resy, R. (2017). Pengembangan Modul Fisika Berintegrasi Kearifan Lokal Hulu Sungai Selatan. Jurnal Inovasi Dan Pembelajaran Fisika, 4(2), 157-162.

Mannan, M. N. (2015). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal Untuk Mengembangkan Karakter Positif Siswa SD. Jurnal Inovasi dan Pembelajaran Fisika. 2(20, 141-146.

Priyatna, M. (2017). Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal. Edukasi Islam: Jurnal Pendidikan Islam, 5(10). Laksana, D.N.L., Kurniawan, P.A.W.,& Niftalia,I. (2018). Pengembangan Bahan Ajar Tematik SD Kelas IV Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Ngada. Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti, 3(1), 1-10.

Rahdityanta, D. (2016). Tenik Penyusunan Modul. Artikel. (online) http:staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian /dr-dwi-rahdiyanta-mpd/20-teknik-penyusunan-modul.pdf.diakses.10.

Rahmawati, T. (2018). Penerapan Model Pembelajaran CTL untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar pada Mata Pelajaran IPA. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, ,2.1.

Rosala, D. (2017). Pembelajaran Seni Budaya Berbasis Kearifan Lokal dalam Upaya Membangun Pendidikan Karakter Siswa di Sekolah Dasar. Ritme, 2(1), 16-25.

Safitri, A. N., Subiki, S., & Wahyuni, S. (2018). Pengembangan Modul IPA Berbasis Kearifan lokal kopi pada Pokok Bahasan Usaha dan Energi di SMP. Jurnal Pembelajaran Fisika, 7(1), 22-29.

(14)

114

Susiloningsih, W. (2016). Model Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) dalam Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa PGSD Pada Mata Kuliah Konsep IPS Dasar. PEDAGOGIK: Jurnal Pendidikan, 5(1), 57-66. Utari, U., Degeng, I. N. S. & Akbar, S. (2016). Pembelajaran Tematik Berbasis

Kearifan Lokal di Sekolah Dasar Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Jurnal Teori dan Praksis Pembelajaran IPS, (Online), 1 (1):39— 44.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam jurnal ini tidak melakukan pengukuran secara langsung, jadi hanya menghitung berdasarkan ukuran utama mesin yaitu BHP ( Brake Horse Power ) sehingga di

Kemunglunan 2: Satu agen pemain i bertemu dengan agen penlain r pada tj,~, sedan- agen lain pemain i bertemu agen pemain s pada t,,). Kemungkinan 3: Hanya satu agen

Adapun sampel dalam penelitian ini peneliti mengambil dua kelas, yaitu kelas X IIS 2 sebagai kelas eksperimen dan kelas X Bahasa sebagai kelas kontrol.. Adapun

Sehubungan dengan inf ormasi mengenai NCD II PT BANK BNP PARIBAS INDONESIA THP I TH 2018 y ang tercatat di KSEI, maka bersama ini kami inf ormasikan bahwa Emiten akan melakukan

Perencanaan arah erection, penempatan bahan hasil fabrikasi, misalnya : Untuk kuda- kuda / kap baja vakwerk sesuai dengan kode-kode yang terdapat pada Shop drawing.. Erection kolom

Adapun tentang tauhid juga sangat beliau kedepankan agar supaya masyarakat banyak yang selalu menomorsatukan Allah Swt dimanapun berada, apalagi pada sat itu adalah

mengkerut. Rambut getar yang ada pada ujung saluran telur atau fimbria menghiang. Indung telur setelah wanita melewati akhir usia 30 an, produksi indung telur berangsur

Keberhasilan dakwah Sultan di kesultanan Banjar memang tidak bisa dicermati dari peran beliau semata, tetapi perlu ditelaah dari peran sultan sebagai penguasa yang ada