• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rasionalisasi Religius dalam Diskursus Keagamaan di Indonesia:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rasionalisasi Religius dalam Diskursus Keagamaan di Indonesia:"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Rasionalisasi Religius

dalam Diskursus Keagamaan di Indonesia:

Kasus

Parmalim

Batak Toba

1

Irwansyah Harahap

(Universitas Sumatera Utara)

The Toba Batak, the followers of Parmalim (a local religion), have tried their best to preserve this local religion throughout the long oppression years by the Dutch and Christian missionary. The Parmalim practitioners did this up to recent times, in the midst of current ideas and assumptions about the civil-state religion based on ‘monotheistic’ belief. In this article, the author discusses the use of the concept ‘religious rationalization’ to refer to what the Parmalim followers have done in reconstructing their beliefs and religious practices. The author first examines the concept of ‘religious rationalization’ among anthropologists. He examines further the recent phenomenon of the civil-state religion, the Indonesian government’s policies, its implications on the socio-religious-political situation among the Toba Batak, in particular among the Parmalim community, and the various existing interpretations.

Pengantar

Masyarakat tradisional Batak Toba yang berdiam di wilayah Sumatera Utara, khususnya yang masih menganut kepercayaan asli, mengalami berbagai kesulitan dalam menghadirkan atau melaksanakan kepercaya-annya di tengah kehidupan keagamaan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh cukup lamanya opresi maupun restriksi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda maupun misionaris Kristen pada masa lalu.2

Selain itu, para pemeluk kepercayaan asli harus berhadapan dengan ide dan asumsi agama sipil-negara (civic-state religion) yang ada di Indonesia, yang berlandaskan pada ‘monoteistik’. Para pemeluk Parmalim, sebuah religi lokal pemeluknya, berjuang untuk mempertahankan keberadaan religinya. Proses rasionalisasi religius merupakan salah satu cara bagaimana para pengikut Parmalim mengomunikasikan dan menghadirkan kepercayaan mereka, tidak hanya pada sesama

1Tulisan ini merupakan ringkasan daripaper M.A saya

berjudul ‘Parmalim, A Local Toba-Batak Religion within the Indonesian “Civic” Religious Discourse: An Interpretation of the Process of Religious Rational-ization’ (University of Washington, Seattle USA 1994). Naskah tersebut disajikan dalam Sesi tentang ‘Kesukubangsaan dan Negara’ dalam Seminar ‘Menjelang Abad ke-21: Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya’, 6-8 Mei 1999, Pusat Studi Jepang, Kampus Universitas Indonesia, Depok.

2 Saya sering mendengar pernyataan seperti ini muncul

di tengah diskursus masyarakat Batak Toba, baik di lingkup perkotaan maupun di pedesaan. Ketika saya menghadiri upacara Parmalim Si Paha Lima’ yang dilaksanakan di Huta Tinggi pada tahun 1989, pernyataan seperti ini juga ditegaskan berulang kali oleh pemimpin upacara; terutama ketika ia berbicara tentang opresi yang dihadapi oleh para pengikut

(2)

komunitas3 warganya, tetapi juga pada

orang-orang di luar komunitasnya.

Selanjutnya, dengan timbulnya gerakan ‘preservasi atau pelestarian budaya’ yang dimotori oleh pemerintah Indonesia awal 1980-an4, muncul semacam kesadaran yang kuat di

tengah masyarakat Batak Toba dan tumbuh berbagai keinginan untuk meredefinisi dan merekonstruksi kembali kebudayaan mereka. Kesadaran ini dalam tingkat tertentu, telah memunculkan varian suatu bentuk rasionalisasi religius yang berkembang di dalam diskursus masyarakat Batak Toba saat itu.

Tulisan ini mendiskusikan secara singkat pandangan antropologi terhadap isu religi-agama beserta pendekatan yang ada. Akan dibahas pula fenomena agama sipil-negara di Indonesia, dampak kebijakan politis, serta pengaruhnya terhadap keberadaan kepercayaan lokal di Indonesia. Ide dan konsep yang melatarbelakangi kebijakan politis yang berkembang akan didiskusikan untuk mengkaji bagaimanakah pemerintah Indonesia memposisikan keberadaan religi-religi lokal minoritas yang ada di Indonesia; a.l. kelompok

Parmalim Batak Toba. Bagian terakhir tulisan ini akan membahas situasi sosio-religius-politis yang terjadi di antara warga Batak Toba, khususnya pada komunitas Parmalim dengan mengkaji pula berbagai implikasi dari adanya

proses serta usaha rasionalisasi religius5 yang

dilakukan warga Parmalim itu sendiri.

‘Rasionalisasi religius’ di dalam

antropologi: dinamika serta

problema definisi

Salah satu isu penting di dalam perkembangan antropologi religi adalah munculnya argumentasi seputar evaluasi tentang berbagai model analitis dari pengategorian dan penginterpretasian berbagai religi dunia (world religions) yang ditawarkan oleh para ilmuwan sosial, sekaligus juga proses perubahan religi (religious change). Berbagai bentuk religi di dunia telah sering diklasifikasikan secara dikotomis sebagai ‘tradisional/lokal-primitif, atau kurang rasional (less rational) ’ s e b a g a i s e s u a t u y a n g dibedakan dari, atau berlawanan dengan bentuk dari religi-religi ‘dunia-modern-rasional’. Paham teori klasifikasi dikotomis ini, yang awalnya diperkenalkan oleh Max Weber6 dan

dilanjutkan para pengikutnya, telah dikembangkan dan juga ditentang oleh para antropolog akhir-akhir ini. Robert Bellah (dalam Hefner 1993:8-9), sebagai contoh, mengembangkan pandangan Weber dengan menyatakan,

... primitive religions are so thoroughly this-wordly in orientation as to be incapable of

chal-3 Pengertian komunitas dalam tulisan ini mengacu pada

pandangan Turner, yakni: ‘...an intense community spirit, a feeling of great social solidarity, equality, and

togetherness (lihat Kottak 1991:243).’

4 Gerakan preservasi budaya yang diprakarsai oleh

pemerintah Indonesia (khususnya di masa rezim Orde Baru) dengan motto ‘Pelestarian dan Pengembangan’ telah menjadi wacana akademik dan publik pada saat itu. Berbagai pertentangan maupun perdebatan mengenai isu tersebut masih berkepanjangan hingga saat ini. Pandangan terhadap kebudayaan (terutama kesenian) lokal-tradisional yang harus ‘dikembangkan’—sejalan dengan ide ‘puncak-puncak kebudayaan’ sebagai acuan ‘identitas’ kebudayaan nasional—telah menjadi bagian dari kebijakan nasional.

5 Penggunaan istilah ‘rasionalisasi religius’ dalam tulisan

ini mengacu pada perspektif serta wacana yang berkembang dalam memahami dan, lebih dari itu, usaha m e ’ r a s i o n a l i s a s i k a n ’ / m e n g o m u n i k a s i k a n (‘menyesuaikan’) gagasan maupun kompleksitas nilai-nilai spiritual/religius yang ada.

6Max Weber berargumentasi bahwa ‘perbedaan kunci

antara religi-religi tradisional dengan [religi-religi] dunia adalah superioritas rasional dari yang terakhir... . Religi-religi tradisional sangat dangkal dalam menjawab-jelaskan berbagai problema makna ..., religi-religi dunia memformulasikan jawaban yang komprehensif terhadap berbagai tantangan etik, emosi, dan intelektual dari kehidupan manusia .... (Lihat Hefner 1993:8).’

(3)

lenging the status quo. Providing little inde-pendent or rationalized doctrine, they are es-sentially conformist toward social conventions. ... over time, religious ideas tend to evolve toward ‘more differentiated, comprehensive, and in Weber’s sense, more rationalized for-mulations.

Sehubungan dengan argumen yang dikemukakan Bellah, Hefner (1993:8-9) memberi tanggapannya dengan mengatakan,

Bellah’s account was subtler than Weber’s in its treatment of traditional religions and more balanced in its assesment of the varieties of modern religion. It nonetheless echoed Weber in its stark characterization of traditional so-ciety as unreflectively conformist and historic religion as an agent of dynamic reform. ... how-ever, recent historical and ethnographic re-search makes such a ‘simple polarity’ hard to sustain. The model overlooks the tension and developmental vitality internal to many tradi-tional societies and the organic potentialities of local variants of world religions.

Hefner (1993:10) menyatakan bahwa sekalipun Geertz secara eksplisit menolak model evolusioner dan berbagai varian pendekatan unilinear evolusionisme, namun ia percaya bahwa,

... the primary difference between traditional and world religions is that the former are or-ganized around a ‘rigidly stereotyped ... clut-tered arsenal of myth and magic,’ but the lat-ter ‘are more abstract, more logically coher-ent, and more generally phrased.’ In other words, world religions show ‘greater conseptual generalization, tigher formal inte-gration, and more explicit sense of doctrine’

Hefner kembali mempertanyakan pandangan Geertz di atas, khususnya dalam melihat bagaimana konteks pemahaman serta proses dari rasionalisasi religius itu diletakkan. Geertz serta pendahulunya Weber dan Bellah menyatakan bahwa tekanan pendorong di balik religi-religi dunia, dan yang menjadi daya tarik bagi penganutnya adalah ‘rasionalisasi religius’. Akan tetapi terdapat sejumlah pertanyaan yang tidak mampu dipecahkan oleh Geertz, khususnya ‘apa makna rasionalisasi

bagi para penganutnya, kapan dan mengapa itu terjadi’. Hefner (1993:15) selanjutnya mengemukakan pendapatnya mengenai rasionalisasi religius dengan menempatkan secara khusus dua teks, serta konteks terminologi ‘rasionalitas’ (rationality) dan ‘rasionalisasi’ (rationalization) s e b a g a i berikut,

‘... we must distinguish cultural rationaliza-tion—the enunciation, sytematization, and for-malization of cultural truths in light of a par-ticular value or ideal, equality of sociocultural systems—from the broader concept of ratio-nality, or the efectiveness of certain ideas at making sense of individual or group’s life-world, again with reference to some underly-ing value complex.’

Dari sejumlah perspektif maupun wacana rasionalisasi religius terhadap berbagai fenomena religi dunia tersebut, dapat disimpulkan bahwa Hefner (1993) berusaha menawarkan sebuah kesadaran baru dan alternatif cara pandang, pendekatan maupun wawasan terhadap kajian antropologi religi. Fenomena rasionalisasi religius selayaknya lebih ditempatkan pada: sejauhmana kita mampu memahami efektivitas ide tertentu dari seorang individu maupun kelompok masyarakat dalam memaknai kehidupan spiritualitasnya, dengan latar belakang berbagai kompleksitas nilai-nilai yang melingkupinya (rationality) .

Agama negara (s

tate/civic religion

) di

Indonesia: teks dan konteks

Dasar ideologi maupun filosofi religi negara di Indonesia pada dasarnya mengacu pada tiga sumber, tempat setiap warga Indonesia meletakkan atau menempatkan pemahaman religiusnya. Ketiga sumber tersebut adalah: 1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjadi dasar konsepsi dari hukum-hukum sipil; 2) Naskah Pedoman dan 3) Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa); dan

(4)

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Meskipun UUD 1945 menjamin kebebasan/kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing (pasal 29) dengan catatan harus berlandaskan monoteisme (sila pertama Pancasila), dan terdapat aturan atas kesadaran-perilaku beragama antarsesama yang diungkap dalam GBHN, masih terdapat perbedaan di tengah masyarakat dalam memperoleh persamaan hak dan tanggung jawab.

Rahmat Subagya (1976:42-43) menjelaskan bahwa masih terdapat fenomena stratifikasi yang bersifat politis di dalam kelompok-kelompok agama di Indonesia, khususnya bagi kelompok-kelompok religi minoritas/lokal, meski semuanya telah dikategorikan sebagai ‘monoteisme’. Terminologi ‘agama’, yang sepanjang sejarah digunakan untuk menyebutkan semua bentuk religi, diubah konteks pengertiannya secara ekslusif, yakni hanya berlaku untuk menyebut agama-agama besar (sebagai agama negara) di Indonesia, seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, dan Hindu. Akhirnya, pengunaan istilah ‘aliran-kepercayaan/kebatinan’ muncul dalam diskursus sosial-politik keagamaan untuk mengategorikan berbagai bentuk religi di luar kategori agama negara.

Wongsonegoro (dalam Subagya 1976:42) mengemukakan pendapatnya mengenai dikotomi di atas sebagai berikut,

Agama dan Kebatinan [Kepercayaan]: kedua-duanya mempunyai unsur yang sama, ialah satu Panembah (kebaktian kepada Tuhan Yang Mahaesa) dan budi luhur. Perbedaan hanya terdapat pada pemberian stress atau tekanan. Bagi agama stressnya diberikan pada Panembah, sedang pada kebatinan memberi tekanan k e p a d a t e r c a p a i n y a b u d i l u h u r d a n kesempurnaan hidup.

Argumen lain mengenai model dikotomi agama versus kepercayaan (lokal/minoritas) ini disinggung oleh Kuntjaraningrat (1985:149) dalam bukunya ‘Kebudayaan, Mentalitas, dan

Pembangunan’:

... Memang kini ada kecondongan untuk membedakan antara dua istilah tersebut [agama dan kepercayaan]. Istilah agama dipakai untuk menyebut agama-agama yang resmi diakui oleh negara kita, dan kepercayaan untuk semua sistem yang berada di luar kategori itu. Saya sendiri seandainya diperkenankan memberi saran, akan membedakan akan adanya tiga konsep beserta istilahnya, ialah: agama yang bisa kita pakai untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi dalam negara kita yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu-Dharma, Buddha-Dharma, religi yang bisa kita pakai kalau kita bicara tentang sistem-sitem yang tidak atau belum diakui secara resmi, seperti Konghucu, Sevent Day Advent, Gereja Pinkster, Hindu, dan segala macam gerakan kebatinan, dan sebagainya; kepercayaan yang mempunyai arti yang khas, yaitu komponen kedua dalam tiap agama maupun religi [yakni] komponen sistem kepercayaan, komponen sistem upacara dan kelompok-kelompok religius yang menganut sistem kepercayaan dan menjalankan upacara-upacara religius, jelas merupakan ciptaan dan hasil akal manusia.

Menelusuri pengertian dari kedua teks dan konteks kata ‘agama’ dan ‘kepercayaan’ sesungguhnya menarik, setidaknya untuk menjelaskan kembali arah dan pemahaman dari kedua kata tersebut. Mengacu pada konsepsi antropologis serta proses vernakularisasi, kata agama (baca:religi) merupakan adopsi dari kata Inggris, religion7; yang pada dasarnya tidak

dibedakan dari kata ‘kepercayaan’ yang diambil-terjemahkan dari kata Inggris faith, be-lief. Di samping itu, konteks linguistik dari kata dan pengertian ‘agama’, hampir tidak dapat ditemukan dalam vokabulari bahasa suku-suku bangsa yang terdapat di wilayah Indonesia. Karena itu, tidak ada satu acuan lokal-kultural yang dapat dijadikan referensi.

Kata ‘agama’ dalam konteks pengertian umum, sering dianggap berasal dari bahasa

7 Menurut Winthrop (1991:238), ‘Religion [is] a

cul-turally patterned system of beliefs and practices con-cerned with the transcendent or sacred.’

(5)

Latin ‘a-gamos’ (‘tidak-kacau’). Hadikusuma (1983:16-17) mencoba merasionalisasi teks dan konteks kata ‘agama’ dengan mengacu pada bahasa Sansekerta (Sanskrit) dan mengatakan: (a) A berarti ‘tidak’, GAM berarti ‘pergi’ atau ‘berjalan’ dan sufiks ‘A’ berarti bentuk kata sifat untuk menguatkan yang abadi. Lantas, kata ‘Agam’ atau ‘Agama’ berarti ‘tidak pergi’ atau ‘tidak berjalan’ alias ‘statis’ (abadi), selanjutnya, kata A-GAM atau AGAMA pada umumnya berarti jalan abadi dari kehidupan. ... (b) Menurut buku ‘Sunarigama’, terminologi Agama berasal dari kata A-GA-MA; A berarti ‘kosong’ atau ‘vakum’, Ga berarti ‘tempat’, dan MA berarti ‘Matahari’; Agama berarti pengajaran tentang cara-cara yang misterius, sebab Tuhan adalah misterius. ... (c) Igama merupakan singkatan dari bahasa Sansekerta I-GA-MA, kata ‘I’ adalah ‘iswara’, ‘GA’ adalah ‘tubuh’ dan ‘MA’ adalah ‘Amartha’ (‘kehidupan’); dalam hal ini, Igama berarti pengajaran tentang ‘Kebatinan’.

Meskipun Hadikusuma menjelaskan bahwa sumber kata ‘agama’ dapat ditemukan dalam bahasa Sansekerta, Margaret dan James Stutley (1977) mendeskripsikan teks dan konteks kata tersebut secara berbeda. Menurut mereka, kata ‘agama(s)’ di dalam terminologi Sansekerta berarti ‘Sesuatu yang turun ke bawah’ (‘That which has come down’). Contohnya: pengajaran religi tradisi berisi teks-teks non-Veda yang dibedakan dari teks-teks-teks-teks Veda dari lain ajaran/sekolah Brahman. Teks-teks awal dari sekte Saiva disebut Agamas (dari J.S. Stutley 1977:4). Sehubungan dengan definisi dari kata-kata seperti ‘a-gam’ dan ‘a’ dan ‘gama’, M. dan J. Stutley (1977) tidak memberikan penjelasan mengenai kata-kata tersebut, kecuali untuk ‘a’. ‘A’ [adalah] huruf pertama dari alphabet Sansekerta yang dianggap sebagai huruf yang sempurna, kekal/ abadi, bunyi/suara pertama dan selanjutnya awal dari segala pengetahuan. Itu merupakan esensi dari Veda dan disejajarkan dengan

brahman (M. dan J. Stutley 1977:1).

Mengacu pada problema persoalan definisi

dan pengertian linguistik di atas, kelihatannya penggunaan dikotomi ‘agama’ dan ‘kepercayaan’ hanya dapat dimaknai dalam konteks eksklusivitas sosio-politis negara. Namun masih terbuka perdebatan terhadap kedua istilah tersebut di atas dalam wacana antropologis. Dalam antropologi linguistik, kekaburan batas hubungan antara definisi maupun makna dari sebuah kata merupakan salah satu fenomena menarik yang dikaji (lihat Zdenek Salzman 1993 dengan isu ‘fuzzy edge term/meaning’).

Parmalim

: diskursus kesejarahan

dan proses rasionalisasi religius

Secara historis, religi Parmalim pertama kali diprakarsai oleh seorang datu bernama Guru Somaliang Pardede (Horsting 1914; Tichelman 1937; Helbig 1935), seorang yang sangat dekat dengan Sisingamangaraja XII (raja terakhir dari dinasti Sisingamangaraja). Menurut beberapa penulis Barat, ajaran ini dijalankan oleh para pengikut Sisingamangaraja (khususnya oleh dua orang pemimpin perangnya, Guru Somaliang dan Raja Mulia Naipospos), dengan tujuan untuk melindungi kepercayaan dan kebudayaan tradisional Batak Toba dari pengaruh Kristen, Islam, dan kolonialis Belanda (Sidjabat 1983:326)8. Masashi Hirosue

(1988:75-76) berpendapat bahwa gerakan Parmalim merupakan ‘gerakan anti mesianis-kolonial’ yang ingin menghancurkan kerajaan

8 Sidjabat (1983:326) percaya bahwa Sisingamangaraja

sendiri sebagai penemu/pendiri sekte Parmalim. Sitor Situmorang (1993) menjelaskan sebuah interpretasi historis mengenai munculnya sekte Parmalim dengan sedikit berbeda. Ia (Situmorang 1993:63) mengatakan bahwa Somaliang telah datang kepada Raja Sisingamangaraja XII dan menyatakan mengenai ‘visi’nya untuk mendirikan sekte Parmalim masyarakat Batak Toba, namun ‘Raja Sisingamangaraja menjadi marah dan menolak Somaliang’. Dan pada suatu ketika, Sisingamangaraja telah ditanya oleh seseorang mengenai agamanya; ia kemudian menjawab, ‘Agamaku adalah agama di atas segala agama.’

(6)

Sisingamangaraja. Ia selanjutnya menjelaskan, ‘gerakan religi baru’ dari Somaliang pada umumnya bisa dipahami sebagai gerakan mesianis yang mengantisipasi kemunculan kembali dari Si Singamangaraja, dan sekaligus juga merupakan sebuah reaksi terhadap pemerintah kolonial Belanda dan Kristenisasi terhadap masyarakat Batak Toba.

Di dalam kehidupan masa lalunya Somaliang Pardede pernah bertemu dengan Dr. Modigliani—seorang pendeta Katolik, sekaligus juga seorang ahli tumbuhan, berkebangsaan Itali—yang bekerja di tanah Toba sejak 1889 hinga 1891. Ia telah menjadi pemandu Modigliani selama periode waktu itu. Pada saat bersamaan, Somaliang juga mempunyai kontak dengan warga Muslim Aceh di timur Sumatera. Hubungan Somaliang dengan orang Aceh pada dasarnya merupakan suatu kolaborasi untuk menghadapi opresi kolonial Belanda di wilayah utara Sumatera. Karena Somaliang telah diasumsikan oleh Belanda sebagai seorang ekstrimis yang berbahaya, ia akhirnya ditangkap dan dibuang ke Pulau Jawa pada tahun 1896. Namun demikian, ajaran Parmalim tetap dipraktekkan oleh murid-murid Somaliang dan pengikutnya yang lain setelah pengasingannya. Tetapi mereka menghadapi opresi yang baru, yakni berbagai tekanan dari misionaris Kristen (Horsting 1914:163).

Tichelman (1937:27-28) menyatakan bahwa terjadinya kontak kebudayaan telah mempengaruhi terbentuknya ajaran Parmalim, dan menghasilkan produk religi ‘sinkretis’ sebagai contoh dapat ditemukan beberapa elemen Katolik di dalamnya, seperti ‘Jahowa’ (Jehovah, nama Tuhan dalam ajaran Katolik), ‘Maria, Yesus’, dan nama-nama orang suci dalam ajaran Katolik. Pengaruh Islam juga terdapat di dalam ajaran tersebut. Nama ‘parmalim’ itu sendiri berasal dari kata ‘malim’, yakni dari kata Melayu ‘malim’ yang berarti

“ahli dalam pengetahuan agama’ (dalam bahasa Arab, ‘muallim’). Tidak seperti Tichelman, interpretasi Horsting (1914) terhadap historiografi religi Parmalim sedikit berbeda. Ia menyatakan, religi Parmalim merupakan percampuran (blend) dari ajaran Jahudi, Katolik, Islam dan ajaran Sipelebegu9. Tuhan mereka

adalah Jehowah yang mengirim/menghadirkan Si Singamangaraja untuk menggantikan diriNya. Setelah kematiannya, para pengikut

Parmalim percaya bahwa jiwanya mendapat tempat ‘di sisi tangan kanan dari Jahowa’ (Horsting 1914:1963-164; lihat juga Helbig 1935). Pendapat dan pandangan mengenai keberadaan religi Parmalim juga banyak dibicarakan oleh para peneliti penduduk asli Batak Toba sendiri; di antaranya Nurmasita R. Gultom (1990), Bernard Purba (1986); dan Gerfarius Aritonang (1991). Gultom (1990) menyatakan bahwa ‘agama’ tradisional Batak Toba dikombinasikan dalam beberapa organisasi religius yang di antaranya disebut

Parmalim, Si Raja Batak, dan kelompok masyarakat tradisional yang tidak memeluk satu pun dari keduanya. Setelah agama Kristen dan Islam masuk ke tanah Batak, sebagian masyarakat menerima dan berpindah ke salah satu dari kedua agama tersebut. Meskipun mereka telah menganut salah satu agama, berbagai konsep berasal dari kepercayaan

9 Sipelebegu adalah terminologi Batak Toba yang secara

literal mengandung arti ‘pemuja roh’. Term ini telah digunakan khususnya oleh para misionaris Kristen untuk menandakan segala tipe dari kepercayaan tradisional Batak Toba dalam kesan religius yang negatif sebagai ‘pemuja setan/hantu’. Namun, beberapa dari konsultan penduduk asli yang pernah saya wawancarai menolak pendapat tersebut dan menyatakan bahwa sipelebegu, di dalam konsepsi dan pemahaman religius mereka adalah sebutan untuk orang-orang yang mempraktekkan ajaran ilmu hitam

(black magic). Religi Parmalim berbeda dengan hal

semacam itu. Seperti apa yang sering mereka katakan, ‘kolonial Belanda dan misionaris Kristen tidak dapat serta tidak ingin untuk memisahkan antara kedua hal tersebut sebab untuk kepentingan politis mereka.’

(7)

tradisional tetap dipraktekkan, khususnya pada masyarakat yang berdiam di pedesaan. Kebanyakan masyarakat menganggap, konsep maupun perilaku tradisional tersebut hanya sebagai ‘adat’. Kenyataannya, sulit untuk membedakan/memisahkan antara ‘adat’ dan ‘religi’ dalam kehidupan orang Batak Toba. Kedua aspek tersebut menyatu di dalam kebudayaan spiritualnya (Gultom 1990:31; lihat juga Pelly 1986/87:2).

Interpretasi lain dari religi Parmalim datang dari Aritonang10, seorang penduduk asli Batak

Toba yang sedang melakukan penelitian intensif di tengah masyarakatnya. Ia menduga bahwa Parmalim berasal atau bersumber dari berbagai kepercayaan tradisional Batak Toba yang ‘secara ritual dan politis diorganisasi/ diformulasikan’, sebagai suatu reaksi terhadap situasi sosial politis yang terjadi. Ia menyatakan bahwa terdapat kesamaan antara tonggo (satu upacara religius-tradisional persembahan)— khususnya di dalam upacara S a e m (lit.: ‘penyembuhan’)—dengan ritual yang terdapat di dalam religi Parmalim. Meskipun dalam kepercayaan tradisional Batak Toba, tiap upacara memiliki cara tersendiri dalam pelaksanaannya, di dalam Parmalim, para anggotanya telah mengakumulasi upacara-upacara yang berbeda-beda tadi ke dalam ritual-ritual ‘khusus’ yang ‘baku’ dengan cara-cara dan terminologi tersendiri.

Sehubungan dengan kata ‘parmalim’ itu sendiri, Aritonang menolak berbagai asumsi yang dikemukakan terutama oleh para ilmuwan seperti Tichelman, Horsting, dan Helbig. Ia berpendapat bahwa kemungkinan besar kata

parmalim’ berasal dari vokabuler bahasa BatakToba sendiri. Setelah meneliti dan menganalisis gambaran linguistik (linguistic features) dari konsep dan penggunaan bahasa Batak Toba, ia memunculkan hipotesa bahwa kata ‘parmalim’ dapat disarikan berasal dari beberapa fonem, ‘par-mala-ham’ (lit.: ‘orang yang baik’) yang memiliki akar kata ‘mala’ (lit.: ‘sesuatu yang ditanyakan/diminta, itu akan diberikan’).

Parmalim

: religi lokal versus agama

negara

Mengacu pada asumsi serta kebijakan pemerintah bahwa dalam beberapa hal, kebudayaan lokal-tradisional harus ‘dipreservasi’ dan ‘dikembangkan’—sejalan dengan idealisasi terhadap apa yang disebut ‘kebudayaan nasional Indonesia’—pemerintah Indonesia mempromosikan ‘riset dan penelitian’ terhadap berbagai kebudayaan lokal-tradisional melalui sensus yang langsung berada di bawah koordinasi program Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam gerakan nasional ini, riset terhadap kepercayaan/religi tradisional pun diikut-sertakan sebagai bagian dari program. Pada kenyataannya, religi Parmalim telah menjadi salah satu dari 6 (enam) kepercayaan-kepercayaan lokal yang akan diteliti oleh pemerintah sejak tahun 1985 (lihat Pelly 1986/ 1987).

Parmalim sebenarnya telah terdaftar secara formal empat tahun sebelumnya sebagai salah satu ‘aliran kepercayaan’ melalui sebuah surat yang dilegitimasi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1980. Tetapi, untuk mendapatkan status/pengakuan ‘religius’ tersebut, para pengikut Parmalim

harus mengisi berbagai kriteria-tertulis yang ‘disyaratkan’ oleh pemerintah Indonesia. Kriteria-prasyarat yang harus dipenuhi oleh

10 Aritonang adalah mahasiswa Jurusan Etnomusikologi

Fak. Sasra USU yang sedang melakukan penelitian intensif di tengah masyarakat Batak Toba, khususnya memfokuskan pada analisis terhadap tonggo-tonggo

(teks-teks religius tradisional) di dalam beberapa upacara

Saem yang berbeda. Data yang saya kemukakan di atas merupakan hasil komunikasi pribadi saya dengannya, 9 Oktober 1994.

(8)

para pengikut Parmalim, sesuai tuntutan pemerintah, ialah adanya ‘pedoman dasar’ dan ‘pedoman pelaksanaan’ dari religi yang ada. Hal yang harus mampu direfleksikan di kedua pedoman tersebut adalah di antaranya kesimpulan dari nama religi, tujuan, latar belakang ideologis, fungsi dan hak-hak dari para pengikut, dukungan keuangan, dan konstruksi dari sistem kepercayaan-religiusnya. Salah seorang dari informan warga Parmalim

memberikan komentarnya atas kebijakan/ tuntutan pemerintah ini, ‘...semua kriteria itu tidak masuk akal sama sekali, itu terlalu institusional dan politis, ... namun, sepanjang kriteria itu dipenuhi tanpa ada hal yang tidak sesuai [bertentangan] dengan hukum dan peraturan pemerintah Indonesia, tidak akan ada masalah; kami (kepercayaan kami) akan diterima’.

Cara pengikut Parmalim menghadirkan dan mengonstruksi religi mereka dalam memenuhi kebutuhan/kepentingan ‘standardisasi agama-negara’ dapat dilihat sebagai berikut:

‘... Kepercayaan UGAMO MALIM adalah salah satu kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai perwujudan sila pertama PANCASILA, dan diatur dalam UUD-1945. Karenanya warga Penghayat UGAMO MALIM bertanggungjawab serta berkewajiban menghayati, mengamalkan PANCASILA, serta melestarikan dan menjaga kemurniannya secara utuh sebagai Dasar Negara dan Falsafah hidup bangsa Indonesia’ (Naipos-pos 1987:1).’ [Teks diambil dari proposal Parmalim, ‘Pedoman Dasar dan Pedoman Pelaksanaan: Kelompok Warga Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Ugamo Malim” (Parmalim)’].

Sehubungan dengan ide monoteisme, pengikut Parmalim secara sadar menempatkan di depan figur supernatural Mulajadi Na Bolon

(lit.: ‘Yang Besar, Yang Mengawali’) untuk ‘menyesuaikan’ konsep tradisional mengenai keTuhanan (divinity) dengan konsep monoteistik negara. Di dalam kepercayaan

Parmalim, sesungguhnya terdapat kompleksitas figur supernatural yang memiliki peran dan kepentingan religius yang dapat ditemukan di berbagai praktek-praktek ritual maupun seremonial Parmalim.

Meskipun Parmalim telah diakui oleh pemerintah Indonesia sebagai satu ‘aliran kepercayaan’ yang sah, namun (seperti apa yang dikatakan Raja Marnakkok Naipospos/ Pemimpin Parmalim di Huta Tinggi, Tapanuli Utara), amat sulit bagi pengikut Parmalim

untuk mendapatkan kesempatan yang sama di berbagai bidang kehidupan. Beberapa restriksi yang sering dialami meliputi kesulitan untuk mendapatkan posisi tertentu di dalam pekerjaan, memasuki perguruan tinggi, terutama di universitas-universitas negeri, menjadi tentara, dan terkadang juga untuk mendapatkan surat tanda kawin atau kelahiran dari instansi pemerintah terkait. Alasan mengapa ini terjadi, kembali Naipos-pos menyatakan, ‘...sedikit sekali pengetahuan orang Indonesia mengenai keberadaan dari ragam sistem kepercayaan tradisional yang mereka miliki; lebih buruk lagi, masyarakat kelihatannya kurang memahami esensi dari makna religius’. Menanggapi keadaan dan situasi ini, Naipos-pos selanjutnya mengatakan, ‘...kami gembira karena kepercayaan kami telah diakui pemerintah Indonesia, tidak seperti banyak kepercayaan lain yang masih dianggap “ilegal”. Kami percaya bahwa persepsi masyarakat akan berubah di dalam kehidupan religius masyarakat Indonesia mendatang’.

Di dalam menanggapi keberadaan agama-agama negara, seperti Islam, Kristen dan Budha dan lainnya, para pengikut Parmalim memiliki cara dan interpretasi tersendiri. Bagian dari dasar interpretasi terkait dengan salah satu

11Terima kasih kepada Aritonang yang telah membagi

pengalaman lapangannya, khususnya mengenai konsep maupun pemahaman dari kepercayaan Parmalim.

(9)

konsep dasar ajaran Parmalim, yakni

hagogoton11. Hagogoton, secara

literal-religius bermakna ‘jika terjadi sesuatu/kejadian yang tidak benar di suatu tempat tertentu di dunia, Mulajadi Nabolon akan mengutus seorang yang baik yang mampu mengatasi kejadian yang ada’. Dengan konsep dan kesadaran tersebut, para pengikut Parmalim

percaya bahwa setiap agama akan melahirkan pemimpinnya masing-masing. Jadi, mereka percaya Musa, Yesus, Muhammad, dan lainnya, muncul untuk kepentingan bangsanya, sama dengan Sisingamangaraja bagi orang Batak-Toba.

Gerakan pelestarian budaya yang diprakarsai oleh pemerintah Indonesia, dalam tingkat tertentu, juga telah mempengaruhi diskursus religius Batak Toba, terlebih dalam menginterpretasikan isu tersebut. Sebagian dari masyarakat Batak Kristen berpendapat bahwa memlestarikan kebudayaan Batak Toba atau ‘adat’ adalah bagian dari menegakkan kembali (re-establihsing) identitas etnis maupun kultural mereka. Hal ini bukan berarti harus kembali pada kepercayaan tradisional yang ada. Sebagian yang lain ternyata berpendapat berbeda. Memisahkan adat dari berbagai aspek yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat Batak Toba (termasuk aspek religius) adalah suatu hal yang mustahil. Perdebatan pandangan semacam ini kelihatannya terus berlangsung di tengah masyarakat Batak Toba hingga kini.

Hal yang menarik dari adanya fenomena pertentangan ini, terutama bagi masyarakat Kristen Batak Toba yang masih memiliki keinginan atau perasaan yang kuat dan terikat dengan kepercayaan tradisionalnya, adalah upaya mereka untuk mencoba merekonstruksi

satu konsep religius tradisional apa yang disebut ‘hahomion’12 (lit.: ‘rahasia’) menjadi

bagian dari praktek keagamaan. Karena para misionaris Kristen melarang berbagai tipe upacara, terutama yang berbau kepercayaan tradisional, masyarakat akan menggunakan

hahomion untuk menyembunyikan aktivitas ritual seperti ini dari pandangan publik. Kelihatannya, masyarakat Batak Toba sangat memperhatikan dan saling memaklumi akan kebutuhan itu. Seperti komentar sebagian besar informan penduduk asli yang saya temui di lapangan, ‘…memberi penghargaan/ persembahan kepada roh leluhur sebagai bagian penting dari kehidupan spiritual orang Batak Toba, kelihatannya sama pentingnya bagi yang telah menganut Kristen atau tidak’. Dalam pandangan saya, telah terjadi dualisme kepercayaan di tengah kehidupan masyarakat Batak Toba, terutama yang bermukim di pedesaan.

Kesimpulan

Pandangan maupun kesadaran masyarakat Indonesia, khususnya mengenai penilaian terhadap isu agama-religi-kepercayaan—dalam beberapa tingkatan—telah terbentuk secara politis oleh persepsi maupun asumsi yang dikembangkan oleh pemerintah, baik secara eksplisit maupun implisit. Di satu sisi, idea ‘monoteisme’, sebagai dasar filosofi ‘agama negara’, kelihatannya hanya sekedar bermakna politis, tanpa usaha untuk memahami berbagai esensi, terutama berkaitan dengan kompleksitas dinamika keagamaan yang terjadi di Indonesia. Berbagai permasalahan yang dihadapi komunitas warga pengikut Parmalim

telah menjadi contoh. Di sisi lain, peran ilmuwan sosial dalam ‘menegaskan’ dan ‘meligitimasi’

12Hahomion merupakan kepercayan tradisional yang

mengharuskan seorang individu, sekelompok keluarga atau pun m a r g a ( k l e n ) m e m p e r s i a p k a n d a n melaksanakan upacara untuk mendapat anugerah dari

para arwah leluhur. Upacara dilaksanakan secara khusus dan bersifat rahasia, dilakukan hanya oleh para pemrakarsa perencana upacara.

(10)

kepentingan politis negara/pemerintah merupakan hal yang sangat ‘berbahaya’, sebab sifat nature dari berbagai kajian keilmuan yang terus berkembang tidak semata sesuai dengan kebutuhannya. Kekhawatiran ini sesungguh-nya telah disinggung dan dikemukakan oleh Hefner (1993), terutama ketika ia mencoba mempertanyakan kembali pemahaman teks dan konteks rasionalisasi kultural (cultural ratio-nalization) yang ‘sempit’ dengan konsep rasionalisasi yang lebih luas. Setidaknya, dengan konsep rasionalisasi itu kita tidak mudah terjebak pada penilaian-penilaian ideologis yang subyektif.

Dari sisi pandang linguistik, kekaburan batas antara definisi ‘agama, religi’, dan ‘kepercayaan’ dapat dipahami. Hal itu menjadi wajar saat kita melihat penggunaan kata tidak hanya terbatas pada eksklusivitas pengertian yang kaku, tetapi menempatkanya pada konteks kompleksitas makna-makna yang lain. Dengan sendirinya, ideologi kebebasan beragama tidak hanya dipahami sebatas hal yang ideal-normatif, tetapi lebih merupakan sesuatu yang

muncul dari kesadaran kemanusiaan yang fun-damental.

Berbagai kompleksitas persoalan maupun permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini sedikit banyak diakibatkan oleh minimnya kesadaran para ilmuwan sosial di In-donesia untuk menempatkan serta mensosialisasikan wawasan keilmuan berdasarkan tuntutan dan realitas obyektif di lapangan. Kecenderungan orientasi disiplin Antropologi di Indonesia (setidaknya, menurut saya) lebih mengarah pada penyesuaian terhadap berbagai kepentingan rezim pemerintah. Berbagai isu maupun persoalan etnisitas, identitas, multikulturalisme, dan religi di Indonesia mendapat perhatian yang relatif kurang dalam kajian-kajian antropologis, pal-ing tidak sepanjang 32 tahun kekuasaan Orde Baru di Indonesia. Padahal, semua point d i atas merupakan bagian dari persoalan yang mendasar yang harus dipahami bangsa yang multi kompleks ini.

Kepusatakaan

Aritonang, G.

1991 Transkripsi Teks Upacara Gondang Saem. Manuskrip. Medan: Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Geertz, C.

1973 The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. Gultom, N.R.

1990 Suatu Studi Deskriptif dan Musikologis Upacara Gondang Saem di Desa Paraduan. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Hadikusuma, H.H.

1993 Antropologi Agama. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hefner, R.W.

1993 ‘World Building and the Rationality of Conversion’ dalam R.W. Hefner (peny.) Christian Conversion in Cultural Context. Berkeley and Los Angeles: California Press. Hal. 3-44. Helbig, K.

1935 ‘Der Singa Mangaraja und die Sekte der Parmalims bei der Batak’, Zeitschrift fur Ethnologie

(11)

Hiroshue, M.

1988 Prophets and Followers in Batak Millenarian Responses to the Colonial Order: Parmalim, Nasiak Bagi, and Parhudamdam, 1890-1930. Tesis Ph.D. tidak dipublikasikan. Canberra: The Australian National University.

Horsting, L.H.C.

1914 ‘Een en under over de Parmalims van Noord-Habinsaran’, Jaarverslag van den

Topographischen Dienst in Ned-Indie XI(4):163-170. (Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Pastor Johann).

Koentjaraningrat

1985 Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Kottak, C.P.

1991 Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill, Inc. Naipospos, R.M.

1987 Pedoman Dasar dan Pedoman Pelaksanaan: Kelompok Warga Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ‘Ugamo Malim’ (Parmalim). Hutatinggi-Laguboti-Tapanuli Utara.

Pelly, U.

1986/87 Hasil Penelitian Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Propinsi Sumatera Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Purba, B.

1986 Sistem Pukat dalam Mengembangkan Zending Kristen di Daerah Batak Toba. Skripsi sarjana tidak dipublikasikan. Medan: Universitas Sumatra Utara.

Sidjabat, W.

1983 Ahu Si Singamangaraja. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Situmorang, S.

1993 Guru Somaliang dan Modigliani ‘Utusan Raja Rom’. Jakarta: Grafindo Mukti. Salzmann, Z.

1993 Language, Culture, and Society: An Introduction to Linguistic Antropology. Boulder, CO: Westview Press.

Stutley, M. dan J. Stutley

1977 Harper’s Dictionary of Hinduism: Its Mythology, Folklore, Philosophy, Literature, and History. San Francisco: Harper & Row.

Subagya, R.

1976 Kepercayaan dan Agama. Yogyakarta:Yayasan Kanisius. Tichelman, G.L.

1937 ‘De Bataksche Sekte Der Parmalims in Mededeelingen van Vereniging van Gezaghebbers,’

Nederlandsch-Indie:27-32. (Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Pastor Johann). Winthrop, R.H.

Referensi

Dokumen terkait

Annual Working Plan and Company's Budgeting is a management contract between directors and the commissioners as the supervisory body, in order to protect interests

Dari grafik lama waktu penyelesaian KTI mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan tingkat akhir di STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta didapatkan hasil dengan presentase

Penghargaan bonus untuk manajer unit bisnis dapat ditentukandengan menggunakan rumus yang ketat, seperti persentase dari laba operasi unit bisnis, atau dengan penilaian yang

padatan.. b) Sebelum digunakan, encerkan bagian larutan tersebut dengan akuades, dengan perbandingan 1: 5. b) Larutan dapat diawetkan dengan penambahan (2-3) mL HNO 3 untuk tiap

III. Perbedaan dan Persamaan Budaya dalam Perkembangan Kognitif.. Perkembangan kognitif adalah spesialiasasi dalam psikologi yang mempelajari bagaimna kemampuan berpikir

Pendapatan rata-rata responden dari hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh responden yang diambil dari TNLL pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada

Kontingensi merupakan suatu kejadian yang disebabkan oleh kegagalan atau pelepasan dari satu atau lebih transmisi atau generator. Istilah ini berhubungan dengan

[r]