• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH BELANJA MODAL DAN BELANJA OPERASI TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROVINSI JAWA TENGAH ( )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH BELANJA MODAL DAN BELANJA OPERASI TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROVINSI JAWA TENGAH ( )"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGARUH BELANJA MODAL DAN BELANJA OPERASI TERHADAP LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROVINSI JAWA TENGAH

(2005 – 2008)

Norista Gathama Putra (C2B006047)

Dosen Pembimbing oleh Drs. Y Bagio Mudakir MSP Fakultas Ekonomi

Universitas Diponegoro Semarang

ABSTRACT

Government expenditure or regional spending is a form of invesment made by local government. It aims to stimulate the regional economy. The government expenditure is divided into 2 (two) forms, there are capital spending and operational spending. According to the researchs of Jamzani Sodik (2007), Siti Aisyah Tri Rahayu (2004), Mesghena Yasin (2002), and Shantayanan Devarajan, Vinaya Swaroop, and Heng-fu Zou (1996) showed the different correlation between capital spending and operational spending to the economic growth. This study is aimed to verify the behavior of capital spending and operational spending toward economic growth in 35 Regencies / Cities in Central Java Prov ince during 2005 – 2008 period.

The operational variables were economic growth (GR) as the dependent variable, and the ratio of capital spending to the PDRB (GIR) with the ratio of operational spending to the PDRB (GCR) as the independent variable, this research also employed Least Square Dummy Variable (LSDV) to enrich the recommendation of this study.

The results showed that ratio of capital spending has probability value of 0,0108 which less than α 5%, also the coeficient of 7,2382, it means this variable has positively and significant correlation to the economic growth in 35 Regencies / Cities in Central Java Province. Likewise to the ratio of operational spending which it has probability value of 0,0128 less than α 5%, also the coeficient of 3,7010, it means this variable has positively and significant correlation to the economic growth in 35 Regencies / Cities in Central Java Province. In the same level of credibility in 95%, shown the effect of capital spending is more than the effect of operational spending, so as the policy implication that local government supposed to do is give more concern to the capital spending as the booster of economic growth.

Keywords : Economic, Growth, Spending, Central Java, Least-Square-Dummy-Variabel.

(2)

2

1. PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi sebuah negara pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kemakmuran masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan output yang dibentuk oleh berbagai sektor ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang telah dicapai oleh sektor ekonomi tersebut pada suatu periode waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi juga menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor – faktor produksi untuk menghasilkan output, maka proses ini pada saatnya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat sebagai pemilik faktor produksi juga akan turut meningkat.

Begitu juga di daerah, sasaran utama pembangunan daerah adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan, termasuk didalamnya pemerataan pendapatan antar daerah. Untuk mencapai sasaran pembangunan tersebut diperlukan perencanaan pembangunan ekonomi yang baik. Hal tersebut disebabkan karena pada umumnya pembangunan ekonomi suatu daerah berkaitan erat dengan potensi ekonomi dan karakteristik yang dimiliki dimana pada umumnya berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya.

Setelah dilaksanakannya otonomi daerah melalui Undang-Undang No 32 dan 33 tahun 2004 yaitu mengenai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan mengelola pembangunan daerahnya masing-masing berdasarkan potensi dan permasalahan yang ada di wilayah bersangkutan, banyak daerah yang mengalami kesulitan dalam pembangunan daerahnya. Kesulitan –

(3)

3 kesulitan tersebut merupakan tantangan besar yang harus dihadapi serta ditangani oleh pemerintah daerah dengan kembali memikirkan mengenai strategi – strategi pembangunan yang harus dilakukan. Strategi pembangunan tersebut menyangkut peranan pemerintah dalam perekonomian di luar pasar. Karena kekuatan pasar sendiri tidak akan berjalan sempurna apabila tidak mengikutsertakan campur tangan pemerintah (Mangkoesoebroto, 2001).

Tantangan yang dihadapi suatu daerah terutama untuk daerah otonom yang baru adalah peningkatan pendapatan daerah dan kemandirian dalam pembangunan dengan kendala ketersediaan sumber daya di daerah yang terbatas. Dengan demikian penentuan kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi yang tepat sangatlah diperlukan. Arah penentu kebijakan dan strategi tersebut adalah tercapainya kriteria – kriteria prioritas pembangunan salah satunya berupa peningkatan investasi

disuatu daerah, dengan

meningkatnya investasi maka

dampaknya akan mendorong pertumbuhan pada segala sektor dan akan memicu peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Pembangunan di Propinsi Jawa Tengah yang berlangsung

secara menyeluruh dan

berkesinambungan telah

meningkatkan perekonomian masyarakat. Pencapaian hasil-hasil pembangunan yang sangat dirasakan masyarakat merupakan agregat

pembangunan dari 35

Kabupaten/Kota di Jawa Tengah yang tidak terlepas dari usaha keras bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat Namun di sisi lain

berbagai kendala dalam

memaksimalkan potensi sumber daya manusia dan sumber modal masih dihadapi oleh penentu kebijakan di tingkat propinsi maupun di kabupaten/kota.

Seperti yang terlihat pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa selama periode 2005 – 2008 pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Tengah mengalami rata – rata pertumbuhan hanya sebesar 5,43 persen, sedikit di bawah

(4)

4 pertumbuhan ekonomi nasional sebesar rata-rata 5,46 persen. Provinsi Jawa Tengah juga merupakan provinsi dengan rata – rata pertumbuhan ekonomi paling rendah di banding dengan provinsi di pulau jawa lainnya selama periode 2005 – 2008.

Tabel 1

Laju Pertumbuhan Ekonomi Pada 6 Provinsi di Pulau Jawa

Tahun 2005 – 2008 (persen) Provinsi 2005 2006 2007 2008 Rata - rata Banten 6,01 5,95 6,04 5,89 5,97 DKI Jakarta 5,60 6,02 6,44 6,19 6,06 Jawa Barat 5,35 5,33 6,41 5,90 5,75 Jawa tengah 5,35 5,33 5,59 5,46 5,43 DI Yogyakarta 5,84 5,80 4,57 5,68 5,47 Jawa Timur 5,84 5,80 6,11 5,90 5,91 Indonesia 5,38 5,18 5,67 5,59 5,46 Sumber : BPS, 2009

Dalam teori ekonomi makro, dari sisi pengeluaran, pendapatan regional bruto adalah penjumlahan dari berbagai variabel termasuk di dalamnya adalah pengeluaran pemerintah (G). Pengeluaran pemerintah atau belanja daerah merupakan bentuk rangsangan yang

dilakukan oleh pemerintah terhadap perekonomian daerah.

Perekonomian Jawa Tengah sangat dipengaruhi oleh keberadaan Kabupaten / Kota yang berada pada wilayah Provinsi tersebut. Provinsi Jawa Tengah terdiri dari 35 Kabupaten / Kota yang tersebar di wilayah administratifnya, dimana Jawa Tengah terdiri dari 29 Kabupaten dan 6 (enam) Kota. Berdasarkan data BPS, PDRB atas dasar harga berlaku tanpa migas pada 4 tahun terakhir, terdapat 6 Kabupaten / Kota yang mempunyai besaran dan peranan cukup dominan dalam pembentukan PDRB jawa Tengah, yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kudus, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Semarang, Kota Pekalongan. Sementara itu, untuk Kabupaten / Kota yang lain memiliki sumbangan terhadap total PDRB Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah relatif rendah, yaitu kurang dari 4 persen (BPS, 2009). PDRB inilah yang akan membentuk laju pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah.

(5)

5 Berdasarkan data di Provinsi Jawa Tengah, pertumbuhan ekonomi di tiap – tiap daerah berfluktuatif, hanya terdapat 5 (lima) daerah saja yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat tiap tahunnya, yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Pekalongan. Namun pertumbuhan ekonomi kedua wilayah tersebut berada dibawah rata – rata seluruh pertumbuhan ekonomi regional Kabupaten / Kota Provinsi Jawa Tengah periode tahun 2005 – 2008 yaitu sebesar 4,48 persen dengan standar deviasi sebesar 0,84. Selain kedua wilayah tersebut terdapat 18 wilayah lainnya yang berada di bawah rata – rata pertumbuhan 4,48 persen. Wilayah yang memiliki pertumbuhan ekonomi paling tinggi pada periode tahun 2005 – 2008 adalah Kota Semarang, Kota Surakarta, dan Kabupaten Karanganyar, meskipun ketiga wilayah tersebut bukan merupakan wilayah dengan PDRB yang tergolong tinggi.

Hubungan antara

pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah, atau lebih umumnya adalah ukuran dari sektor publik, adalah pengeluaran pemerintah dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang (Sodik, 2007). Pengeluaran pemerintah pada sektor publik ini dapat dilihat dari jumlah belanja modal yang terdapat di realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah di masing – masing daerah. Belanja modal meliputi belanja modal tanah, belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan serta belanja modal fisik lainnya (BPS, 2009). Keseluruhan belanja modal tersebut merupakan infrastruktur yang digunakan oleh daerah. Ketersediaan infrastruktur tersebut penting bagi suatu daerah untuk menarik investor masuk, karena seringkali hambatan investasi terjadi bukan karena terbatasnya pasar atau kekurangan bahan mentah ataupun tenaga kerja melainkan karena terbatasnya jenis prasarana atau infrastruktur yang ada di daerah tersebut (Sukirno, 1985).

(6)

6

Selain pengeluaran

pemerintah daerah pada sektor publik yang bersifat investasi juga terdapat pengeluaran pemerintah untuk keperluan konsumsi yang dicerminkan oleh belanja operasi, walaupun belanja operasi dampaknya tidak langsung terhadap pembangunan, melainkan melalui multipliernya yang akan berdampak pada pembangunan. Baik belanja operasi maupun belanja modal, keduanya sama – sama memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena jika perekonomian hanya ditopang oleh konsumsi saja atau investasi saja, maka pertumbuhan ekonomi tidak akan maksimal. Oleh karena itu diperlukannya sinergi dari kedua jenis pengeluaran pemerintah tersebut agar pertumbuhan ekonomi dapat maksimal (Purba, 2006).

Kondisi perekonomian secara keseluruhan di tiap – tiap daerah salah satunya dapat dilihat dari seberapa besar jumlah belanja daerah pada daerah bersangkutan. Seperti yang sudah di bahas, belanja daerah sendiri dapat dibedakan menjadi 2

(dua) yaitu belanja operasi dan belanja modal. Yang membedakan kedua jenis belanja daerah tersebut adalah sifatnya, belanja operasi lebih bersifat konsumsi dari pemerintah daerah bersangkutan pada kurun waktu tertentu, sedangkan belanja operasi lebih bersifat investasi dalam hal ini berkaitan dengan sektor publik pada daerah bersangkutan dan pada periode waktu tertentu (Bastian, 2006).

Berdasarkan data di Provinsi Jawa Tengah, daerah yang memiliki jumlah belanja modal paling tinggi adalah Kabupaten Cilacap, dimana dilihat dari kondisi perekonomian, Kabupaten Cilacap termasuk pada 6 (enam) besar Kabupaten / Kota yang memilik peranan penting / dominan terhadap pembentukan PDRB Jawa Tengah (BPS, 2009). Selain itu terlihat belanja modal tiap – tiap wilayah memiliki tren yang berbeda – beda. Hal ini terkait dengan kebutuhan di masing – masing daerah yang juga berbeda – beda. Daerah yang memilik belanja daerah yang tergolong besar adalah Kabupaten Cilacap, Kabupaten

(7)

7 Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kendal, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Semarang. Secara teori kenaikan pengeluaran pemerintah untuk belanja modal ini akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi, mengingat belanja modal mempunyai dampak langsung terhadap perekonomian suatu wilayah, namun pada Provinsi Jawa Tengah selama kurun waktu 2005 – 2008 tidak semua pertambahan atau pengurangan belanja modal Kabupaten / Kota seiring dengan pertumbuhan ekonomi daerahnya masing – masing. Hanya terdapat 1 (satu) wilayah saja yang kenaikan jumlah belanja modalnya selaras dengan kenaikan laju pertumbuhan ekonominya yaitu Kabupaten Wonosobo. Selain di daerah tersebut hubungan antara belanja modal dengan laju pertumbuhan ekonomi cenderung fluktuatif dan tidak ada tren yang tetap untuk kenaikan

jumlah belanja modal dan pertumbuhan ekonomi.

Berbeda halnya pada belanja modal yang cenderung fluktuatif, tren dari belanja operasi selama periode 2005 – 2008 cenderung meningkat. Hanya terdapat empat wilayah saja yang trennya fluktuatif selama periode tersebut, yaitu Kabupaten Rembang, Kabupaten

Temanggung, Kabupaten

Pekalongan, dan Kota Magelang. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan – kebutuhan konsumtif pemerintah daerah yang terus meningkat tiap tahunnya. Namun jika di bandingkan dengan besarnya belanja modal, jumlah belanja operasi ini jauh lebih besar daripada jumlah belanja modal, menurut Siti Aisyah Tri Rahayu (2004) semakin besarnya penggunaan anggaran untuk keperluan konsumtif pemerintahan, maka akan semakin besar pula kemungkinan terjadinya inefisiensi dalam penggunaan anggaran.

Penelitian yang dilakukan oleh Jamzani Sodik (2007) diperoleh hasil bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah dipengaruhi oleh

(8)

8 investasi pemerintah, konsumsi pemerintah, tenaga kerja dan tingkat keterbukaan ekonomi. Sedangkan untuk investasi swasta tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti Aisyah Tri Rahayu (2004) yang menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan antara investasi pemerintah daerah yang di lihat dari rasio antar belanja modal dengan PDRB daerah bersangkutan dengan laju pertumbuhan ekonomi. Sedangkan untuk variabel konsumsi pemerintah yang dilihat dari rasio antar belanja operasi dengan PDRB daerah bersangkutan dan variabel tenaga kerja menunjukkan hubungan yang positif akan tetapi tidak signifikan dampaknya terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Tidak signifikannya konsumsi pemerintah terhadap laju pertumbuhan ekonomi kemungkinan bisa disebabkan karena dalam pengeluaran pemerintah untuk konsumsi terjadi inefisiensi dalam penggunaan anggaran sejalan dengan semakin besarnya pos pengeluaran pemerintah.

Sebaliknya dengan penelitian yang dilakukan oleh Shantayanan Devarajan, Vinaya Swaroop, dan Heng-fu Zou (1996) yang menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan antara rasio pengeluaran rutin terhadap PDB terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Sedangkan hubungan antara rasio pengeluaran pembangunan terhadap PDB dengan laju pertumbuhan ekonomi adalah negatif. Penelitian yang dilakukan Mesghena Yasin (2002) menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan antara rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB dan laju pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan penjelasan diatas mengenai keadaan perekonomian Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2005 – 2008 khususnya pada masalah laju pertumbuhan ekonomi, belanja modal, dan belanja operasi, serta adanya penelitian – penelitian terdahulu yang memiliki hasil yang berbeda – beda (research gap) mengenai hubungan belanja modal dan belanja operasi terhadap laju pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah melatar belakangi penulis

(9)

9 untuk mengadakan penelitian mengenai sejauh apa pengaruh belanja modal dan belanja operasi terhadap laju pertumbuhan ekonomi pada 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah selama periode 2005 – 2008

2. TELAAH TEORI

2.1 Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan teori

pertumbuhan endogen, fungsi produksi sederhana dari teori ini adalah (Mankiw, 2003) :

... (2.1)

Dimana Y adalah output, A adalah konstanta yang mengukur jumlah output yang diproduksi untuk setiap unit modal, sedangkan K adalah persediaan modal. Fungsi produksi ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi.

Modifikasi fungsi produksi Cobb-Douglas dalam Barro dan Sala-i-Martin (1995) dinyatakan sebagai berikut:

...(2.2)

Persamaan ini menunjukkan bahwa produksi yang dilakukan pada constant return to scale pada input

dan . Asumsinya adalah angkatan kerja agregat (L) adalah konstan. Pengeluaran pemerintah (G) berada pada deminishing return untuk modal agregat (K). Oleh karena itu, perekonomian berada pada kondisi pertumbuhan ekonomi endogen.

Barro dan Sala-i-Martin (1995) menyatakan bahwa kegiatan pemerintah mempunyai efek terhadap pertumbuhan ekonomi. Aktivitas pemerintah adalah pengadaan jasa – jasa infrastruktur, perlindungan hak kepemilikan dan pengenaan pajak terhadap aktivitas ekonomi. Perubahan – perubahan pada aktivitas pemerintah akan menyebabkan pergeseran pada fungsi produksi.

2.2 Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi

(10)

10 Salah satu komponen dalam permintaan agregat (aggregate demand / AD) adalah pengeluaran pemerintah. Secara teori dinyatakan bahwa jika pengeluaran pemerintah meningkat maka AD akan meningkat. Selain itu, peranan pengualaran pemerintah di negara sedang berkembang sangat signifikan mengingat kemampuan sektor swasta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi relatif terbatas sehingga peranan pemerintah sangat penting. Peningkatan AD berarti terjadi pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) maka peningkatan PDB berarti peningkatan pendapatan.

Menurut Samuelson dan Nordhaus (1995) bahwa ada empat faktor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor tersebut adalah (1) sumberdaya manusia, (2) sumberdaya alam, (3) pembentukan modal, dan (4) teknologi. Dalam hal ini pengeluaran pemerintah berperan dalam pembentukan modal melalui pengeluaran pemerintah di berbagai bidang seperti sarana dan prasarana.

Pembentukan modal di bidang sarana dan prasarana ini umumnya menjadi social overhead capital (SOC) yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. SOC ini sangat penting karena pihak swasta tidak akan mau menyediakan berbagai fasilitas publik, namun tanpa adanya fasilitas publik ini maka pihak swasta tidak berminat untuk menanamkan modalnya. Dengan adanya berbagai fasilitas publik ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan.

Peningkatan pendapatan berarti peningkatan kemampuan masyarakat untuk membayar pajak. Sebagaimana diketahui bahwa pajak merupakan salah satu sumber

penerimaan negara yang

diperuntukkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah maka peningkatan pajak berarti peningkatan pengeluaran pemerintah. Keadaan ini membuat suatu siklus yang saling terkait dan saling

mempengaruhi. Kenaikan

pengeluaran pemerintah akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pertumbuhan

(11)

11 ekonomi akan meningkatkan kemampuan keuangan pemerintah yang diperuntukkan bagi pembangunan (Alliasuddin dan Dawood, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Jamzani Sodik (2007) menunjukkan investasi pemerintah dan konsumsi pemerintah yang ditunjukkan oleh jumlah belanja modal dan belanja operasi memiliki hubungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

2.3 Penelitian Terdahulu

Studi mengenai faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi telah banyak dilakukan. Berbagai macam studi empiris yang mencakup berbagai macam sampel daerah dan negara, periode penelitian, dan metode penelitian. Penelitian terdahulu yakni telah dilakukan oleh Jamzani Sodik pada tahun 2007, Siti Aisyah Tri Rahayu pada tahun 2004, Mesghena Yasin pada tahun 2002, dan Shantayanan Devarajan, Vinaya Swaroop, dan Heng-fu Zou pada tahun 1996.

Jamzani Sodik dalam penelitiannya yang berjudul

Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional : Studi Kasus Data Panel di Indonesia, dengan mengambil sampel di 26 provinsi di Indonesia selama periode 1993 – 2003. Penelitian ini mengidentifikasi pengaruh investasi swasta, investasi pemerintah, konsumsi pemerintah, tenaga kerja, dan tingkat keterbukaan ekonomi daerah / provinsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Hasilnya untuk semua variabel memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional kecuali untuk variabel investasi swasta yang tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Siti Aisyah Tri Rahayu dalam penelitiannya yang berjudul Peranan Sektor Publik Lokal dalam Pertumbuhan Ekonomi Regional di Wilayah Surakarta (1987 – 2000) mengambil sampel 7 Kabupaten / Kota di Eks-Karesidenan Surakarta selama periode 1987 – 2000. Penelitian ini mengidentifikasi pengaruh investasi pemerintah daerah, laju pertumbuhan angkatan kerja, pengeluaran (konsumsi)

(12)

12 pemerintah daerah, dan penerimaan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional dengan menggunakan teknik data panel. Secara garis besar hasil estimasi persamaan menunjukkan bahwa selama periode pengamatan peranan sektor publik lokal mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Mesghena Yasin dalam penelitiannya yang berjudul Public Spending and Economic Growth : Empirical Investigation of Sub Saharan mengambil sampel di 26 daerah di Sub-Saharan Afrika selama periode 1987 – 1997. Penelitian ini mengidentifikasi pengaruh pengeluaran pemerintah, bantuan pembangunan, liberalisasi perdagangan, investasi swasta, dan tingkat pertumbuhan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan teknik pengolahan data panel. Hasilnya pengeluaran pemerintah, bantuan pembangunan, liberalisasi perdagangan, investasi swasta, dan tingkat pertumbuhan penduduk memiliki tanda yang positif dan

signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Shantayanan Devarajan, Vinaya Swaroop, dan Heng-fu Zou dalam penelitiannya yang berjudul The Composition of Public Expenditure and Economic Growth mengemukakan bahwa di 43 negara berkembang selama kurun waktu 1970 – 1990 menunjukkan peningkatan pengeluaran rutin dan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sebaliknya pengeluaran

pembangunan menunjukkan

pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

2.4 Hipotesis

Berdasarkan landasan teoritis, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Rasio pengeluaran

pemerintah untuk investasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi.

2. Rasio pengeluaran

(13)

13 berpengaruh positif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi.

3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh berdasarkan informasi yang telah disusun dan dipublikasikan oleh instansi tertentu.

Penelitian ini menggunakan data panel yang merupakan penggabungan data time series dan cross-section. Data time series dimulai dari tahun 2005 sampai tahun 2008 dan data cross-section yaitu 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah. Teknik data panel dengan menggabungkan jenis data time series dan cross-section, memberikan beberapa keunggulan dibandingkan dengan pendekatan standar time series dan cross-section. Untuk menggambarkan data panel secara singkat, misalkan pada data cross-section, nilai dari satu variabel atau lebih dikumpulkan untuk beberapa unit sampel pada suatu waktu. Dalam data panel, unit

cross-section yang sama disurvei dalam beberapa waktu. (Gujarati dan Porter, 2009 dalam Firmansyah, 2009).

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa sumber, antara lain:

1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi – Provinsi di Indonesia menurut lapangan usaha, publikasi Badan Pusat Statisti Indonesia.

2. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi, publikasi Badan Pusat Statistik Indonesia.

3. Ringkasan Pertanggung Jawaban Pelaksanaan APBD Kabupaten / Kota, publikasi Sekretariat Daerah Jawa Tengah.

4. Jawa Tengah Dalam Angka, Publikasi Badan Pusat Statistik Jawa Tengah.

5. PDRB Kabupaten / Kota Provinsi Jawa Tengah, publikasi Badan Pusat Statistik Jawa Tengah.

3.2 Definisi Operasional Variabel

(14)

14 a. Laju Pertumbuhan Ekonomi

Laju pertumbuhan ekonomi didekati dengan laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDRB atas dasar harga konstan tahun dasar 2000 dalam jutaan rupiah.

Laju pertumbuhan PDRB merupakan laju pertumbuhan dari tahun ke tahun (yoy) yang dihitung dengan formula: x 100 ... (3.1) Dimana: GR : Laju pertumbuhan ekonomi (persen) : PDRB tahun t : PDRB tahun t-1

b. Rasio Pengeluaran Pemerintah untuk Investasi (GIR)

Pengeluaran pemerintah didekati dengan jumlah belanja modal yang tercantum pada realisasi

Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) kemudian

dirasiokan dengan PDRB di tahun tersebut. APBD yang digunakan pada penelitian ini merupakan realisasi anggaran tiap – tiap daerah penelitian dalam jutaan rupiah.

Rasio pengeluaran

pemerintah untuk investasi dihitung dengan formula:

... (3.2)

Dimana:

GIR : Rasio pengeluaran pemerintah untuk investasi (GI/Y)

: Pengeluaran pemerintah untuk investasi pada tahun n

: PDRB tahun n

c. Rasio Pengeluaran Pemerintah untuk Konsumsi (GCR)

Pengeluaran pemerintah didekati dengan jumlah belanja operasi yang tercantum pada realisasi

(15)

15 Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) kemudian

dirasiokan dengan PDRB di tahun tersebut. APBD yang digunakan pada penelitian ini merupakan realisasi anggaran tiap – tiap daerah penelitian dalam jutaan rupiah.

Rasio pengeluaran

pemerintah untuk konsumsi dihitung dengan formula:

... (3.3)

Dimana:

GCR : Rasio pengeluaran pemerintah untuk konsumsi (GC/Y)

: Pengeluaran

pemerintah untuk konsumsi pada tahun n

: PDRB tahun n

d. Dummy Wilayah (D)

Model regresi variabel tak bebas Y dan variabel penjelas X bersifat bilangan kuantitatif. Namun hal ini tak selalu berlaku, dan ada

kalanya variabel – variabel penjelas bisa bersifat kualitatif. Variabel kualitatif ini sering dikenal dengan variabel buatan atau variabel dummy atau variabel boneka (Gujarati, 2009). Variabel dummy ini ditunjukan dengan angka 0 dan 1. Penggunaan dummy wilayah dalam penelitian ini untuk melihat perbedaan pertumbuhan antara daerah satu dengan daerah lainnya.

3.3 Spesifikasi Model

Untuk mengukur pengaruh pengeluaran pemerintah untuk investasi (GIR), pengeluaran pemerintah untuk konsumsi (GCR) terhadap laju pertumbuhan ekonomi (GR), maka digunakan analisis regresi dengan metode Fixed Effect Model (FEM) atau Least Square Dummy Variable (LSDV) dengan menggunakan program Eviews 6.0. Data yang digunakan dalam analisis ini berupa data panel. Adapun persamaan yang digunakan dibentuk berdasarkan teori sebagai berikut (Mankiw, 2003):

(16)

16 ... (3.4)

Dimana:

Y = Tingkat output

K = Persediaan modal fisik

A = Konstanta yang mengukur jumlah output yang diproduksi untuk setiap unit model

Berdasarkan persamaan (3.4) dapat diketahui bahwa modal mempengaruhi tingkat output. Asumsi yang diberikan pada persamaan (3.4) adalah constant return to scale, maka K dapat digantikan oleh G, dimana G adalah pengeluaran pemerintah, sehingga persamaan (3.4) dapat dituliskan kembali sebagai berikut:

... (3.5)

Pengeluaran pemerintah dibedakan menjadi dua, yaitu pengeluaran pemerintah untuk investasi (GI) dan konsumsi (GC). Kemudian persamaan (3.5) dapat

diturunkan terhadap Y, sehingga akan menghasilkan persamaan sebagai berikut:

... (3.6)

Dimana:

= Marginal produk dari pengeluaran pemerintah untuk investasi

= Marginal produk dari pengeluaran pemerintah untuk konsumsi

Arah hubungan semua penurunan parsial terhadap output diasumsikan positif, dan untuk

pengujian empiris, notasi =

dan . Variabel – variabel dalam persamaan ini dinotasikan

, dan = GCR. Sehingga persamaan baru yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat ditulis sebagai berikut (Rahayu, 2004):

(17)

17 ... (3.7)

Dimana:

GR = Laju pertumbuhan ekonomi (Growth Rate)

GIR = Rasio pengeluaran pemerintah untuk investasi terhadap PDRB (Government Investment Ratio)

GCR = Rasio pengeluaran pemerintah untuk konsumsi terhadap PDRB (Government Consumption Ratio)

= Nilai autonomous tingkat pertumbuhan ekonomi = Koefisien variabel – variabel independen = Variabel pengganggu i = 1, 2, ..., 35 t = 2005, 2006, 2007, 2008

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Wilayah Provinsi Jawa Tengah

Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua provinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Letaknya antara 5ᴼ40’ dan 8ᴼ30’ Lintang Selatan dan antara 108ᴼ30” dan 111ᴼ30’ Bujur

Timur (termasuk Pulau

Karimunjawa). Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 263 km dan dari Utara ke Selatan adalah 226 km (tidak termasuk Pulau Karimunjawa).

Luas wilayah provinsi Jawa Tengah tercatat sebesar 3.254.412 hektar atau sekitar 25,04 persen dari luas pulau Jawa dan 1,70 persen dari luas Indonesia. Luas wilayah tersebut terdiri dari 991.000 hektar (30,45 persen) lahan sawah dan 2,26 juta hektar (69,55 persen) bukan lahan sawah.

Provinsi Jawa Tengah dengan pusat pemerintahan di Kota Semarang, secara administrattif terbagi dalam 35 Kabupaten / Kota (29 Kabupaten dan 6 Kota) dengan

(18)

18 565 Kecamatan yang meliputi 7872 desa dan 622 kelurahan. Secara administratif Provinsi Jawa Tengah berbatasan oleh :

Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Timur : Jawa Timur Sebelah Selatan: Samudra Hindia Sebelah Barat : Jawa Barat

Jumlah penduduk yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS tahun 2007 tercatat sebesar 16 juta jiwa penduduk laki – laki dan 16,29 juta jiwa penduduk perempuan, dengan total penduduk sebesar 32,24 juta jiwa. Provinsi Jawa Tengah adalah Provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga setelah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Kota Semarang sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah berada pada posisi ketiga terbesar jumlah penduduknya di Provinsi Jawa Tengah yaitu sebesar 1,5 juta jiwa setelah Kabupaten Brebes (1,77 juta jiwa) dan Kabupaten Cilacap (1,61 juta jiwa).

Berdasarkan jumlah

penduduk tersebut, 48 persen diantaranya merupakan angkatan kerja. Mata pencaharian yang paling banyak terdapat pada sektor pertanian (36,84 persen), sektor perdagangan (21,05 persen), dan sektor industri (17,48 persen). Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Provinsi Jawa Tengah, dimana hampir separuh jumlah angkatan kerja berada pada sektor ini.

Kawasan hutan meliputi 29 persen dari total lahan non-sawah di Provinsi Jawa Tengah, terutama di Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan. Dimana kedua daerah tersebut dikenal sebagai daerah penghasil kayu jati. Di Provinsi Jawa Tengah juga terdapat sejumlah industri besar maupun menengah, kawasan industri utama di Provinsi Jawa Tengah adalah Kota Semarang, Kabupaten Cilacap, dan Kota Surakarta. Kabupaten Cilacap merupakan Kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah, luas wilayahnya sekitar 6,6 persen dari total wilayah di Provinsi Jawa

(19)

19 Tengah. Tiga Kabupaten yang menyumbang PDRB non migas terbesar adalah Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kudus, dan Kota Semarang.

4.2 Pengeluaran Pemerintah pada 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang dijalankan pemerintah daerah untuk menentukan arah dan tujuan pembangunan. Kebijakan pemerintah daerah dalam menjalankan APBD merupakan gambaran langkah konkret pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Pemerintah daerah masih perlu melakukan penanganan gejolak ekonomi dan politik yang masih terjadi beberapa tahun terakhir. Pemerintah dituntut menjadi motor utama dalam menggerakkan perekonomian yang lesu agar dapat kembali ke posisi sebelum krisis. Perekonomian yang lesu ini dapat diatasi dengan kebijakan yang tepat pada sisi pengeluaran (belanja) pemerintah.

Pengeluaran pemerintah biasanya mencerminkan kebijakan pemerintah dalam penentuan anggarannya. Pengeluaran pemerintah terus berkembang seiring dengan meningkatnya aktivitas pemerintah dalam perekonomian yang antara lain disebabkan oleh adanya perubahan – perubahan dalam suatu perekonomian seperti pertumbuhan ekonomi, perubahan demografi, dan perubahan kegiatan sektor swasta. Dengan demikian, pemerintah harus dapat memainkan peranannya dalam mengatur tingkat alokasi penggunaan sumber – sumber daya serta distribusi pendapatan diantara konsumen sehingga dapat mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, dan tingkat stabilitas harga, serta laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Menurut Budiono (1992) pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pertama, pembelian faktor-faktor produksi (input) dan pembelian produk (output). Kedua, untuk pengeluaran konsumsi pemerintah (belanja rutin / belanja operasi) serta

(20)

20 untuk investasi pemerintah (belanja pembangunan / belanja modal). Pengeluaran pemerintah yang diukur dari belanja modal dan belanja operasi mempunyai peranan dan fungsi cukup besar mendukung sasaran pembangunan dalam menunjang kegiatan pemerintah serta peningkatan jangkauan dan misi pelayanan yang secara langsung berkaitan dengan pembentukan modal untuk tujuan peningkatan produksi. Layaknya pengeluaran masyarakat maka pengeluaran pemerintah akan memperbesar permintaan aggregat melalui multiplier effect dan selanjutnya akan meningkatkan produksi atau penawaran aggregat sehingga PDRB akan meningkat.

Perkembangan penduduk pada 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah menuntut adanya pengeluaran pembiayaan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Pembiayaan tersebut berupa pengeluaran pemerintah daerah baik belanja modal maupun belanja operasi. Dengan adanya peningkatan pengeluaran pemerintah diharapkan

kemampuan dalam menciptakan sarana dan prasarana pembangunan yang meningkat dan pada akhirnya juga akan mendorong aggregate demand untuk meningkat, sehingga dapat merangsang kegiatan produksi daerah yang selanjutnya dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi.

Peran masing – masing belanja dalam pembentukan PDRB Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2005 – 2008 menunjukkan belanja operasi mempunyai rasio terhadap PDRB lebih besar daripada belanja modal, yaitu sebesar 14,71 persen sedangkan belanja modalnya sebesar 3,88 persen. Begitu juga jika dilihat per Kabupaten / Kota, semua daerah menunjukkan rasio belanja operasi terhadap PDRB yang lebih besar dari pada rasio belanja modal terhadap PDRB. Besarnya belanja operasi ini lebih disebabkan oleh keperluan masing – masing daerah untuk membiayai keperluan konsumtifnya, seperti pembayaran gaji pegawai dan belanja barang kebutuhan operasional. Selain itu besarnya belanja operasi juga digunakan untuk

(21)

21 pembayaran bunga hutang. Pada belanja modal, keperluan yang paling banyak menggunakan anggaran adalah kebutuhan pembelanjaan infrastruktur seperti pembelanjaan gedung dan bangunan, dan pembelanjaan jalan, irigasi, dan bangunan, dan pembelanjaan peralatan dan mesin.

Besarnya nilai rasio anggaran pengeluaran pemerintah / belanja daerah terhadap PDRB merupakan salah satu indikator peran pemerintah daerah dalam pembentukan PDRB. Semakin besar nilai rasio anggaran pengeluaran pemerintah terhadap PDRB berarti semakin besar peranan pemerintah dalam perekonomian daerah (pembentukan PDRB).

4.3 Pertumbuhan Ekonomi pada 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah

Salah satu hal yang penting dalam pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi yang positif dan tinggi. Tiap – tiap daerah menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan menjadikan pertumbuhan ekonomi menjadi salah

satu sasaran dalam pembangunan daerahnya.

Provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari 35 Kabupaten / Kota dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi antar daerah telah menghasilkan pencapaian yang berbeda – beda. Hal ini berhubungan dengan keunggulan komparatif masing – masing daerah yang

sekaligus menggambarkan

karakteristik perekonomiannya. Berdasarkan data, PDRB pada 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah terdapat 3 daerah yang memiliki PDRB yang menonjol, yaitu Kota Semarang, Kabupaten Kudus, dan Kabupaten Cilacap. Selain ketiga daerah tersebut, terdapat beberapa daerah yang PDRBnya berada di atas rata – rata PDRB pada 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah selama kurun waktu 4 tahun, yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Pati, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Brebes, dan Kota Surakarta.

(22)

22 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kantor Pusat Bank Indonesia mengenai dampak krisis keuangan global yang terjadi pada pertengahan tahun 2007 terhadap perekonomian daerah Jawa Tengah, didapati hasil bahwa penurunan nilai PDB Amerika Serikat yang merupakan salah satu tujuan ekspor utama Jawa Tengah berdampak pada ekspor Jawa Tengah turun hingga 26,74 persen. PDRB, impor, investasi, dan konsumsi mengalami penurunan sebesar 12,53 persen, 10,3 persen, 5,54 persen, dan 1,58 persen. Ekspor menjadi imbas krisis ini karena merupakan sisi yang langsung besentuhan dengan luar negeri, dan menjadi transmission channel ke variabel makro ekonomi yang lain. Secara umum penurunan PDRB ini

menyebabkan penurunan

pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Tetapi apabila dilihat secara khusus per Kabupaten / Kota maka tidak ada pengaruh yang signifikan dari adanya krisis global terhadap pertumbuhan ekonomi pada 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah, hanya ada 2 daerah yang mengalami penurunan

pertumbuhan ekonomi yaitu Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Rembang. Jadi krisis keuangan global tidak terlalu berpengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah.

Rata – rata perumbuhan ekonomi Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah tidak memiliki tren yang tetap tiap tahunnya, hanya ada 5 daerah saja yang trennya selalu naik sejak tahun 2005 hingga tahun 2008, yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Pekalongan. Sedangkan untuk daerah yang pertumbuhan ekonominya paling tinggi adalah Kota Semarang, Kota Surakarta, dan Kabupaten Karanganyar. Pada tahun 2005 – 2008 Kota Semarang memiliki pertumbuhan ekonomi sebesar 5,14 persen, 5,71 persen, 5,98 persen, dan 5,59 persen, dengan rata – rata pertumbuhan selama 4 tahun tersebut sebesar 5,60 persen, dimana merupakan rata – rata pertumbuhan tertinggi pada 35

(23)

23 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah. Diikuti oleh Kota Surakarta yang merupakan salah satu kawasan industri utama di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki rata – rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,52 persen, kemudian Kabupaten Karanganyar yang memiliki rata – rata pertumbuhan ekonomi juga sebesar 5,52 persen.

4.3 Estimasi Fixed Effect Model

Hasil regresi persamaan dengan estimasi fixed effect model diselesaikan dengan Eviews 6.0 adalah sebagai berikut :

... (4.2)

Persamaan regresi tersebut merupakan persamaan utama yang belum memasukkan koefisien variabe dummy, sebagai pembeda

persamaan tiap – tiap daerah. Intersep dalam persamaan ini bervariasi sepanjang individu (dalam hal ini adalah 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah), dan tidak bervariasi sepanjang waktu, yang disebut time invariant. Berdasarkan model FEM, diasumsikan bahwa koefesien slope dari regresor tidak bervariasi antar individu maupun waktu. Bentuk model fixed effect adalah dengan memasukan variabel

dummy untuk menyatakan

perbedaaan intersep yakni dengan mengurangkan (negatif) atau menambahkan (positif) konstanta dengan parameter variabel dummy. Akibat dari efek dummy tersebut adalah perbedaan pada setiap persamaan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Persamaan

yang berbeda – beda

tersebutmenyebabkan laju pertumbuhan ekonomi yang berbeda pula untuk setiap daerahnya.

(24)

24

Tabel 2

Persamaan Regresi Tiap Kabupaten / Kota

Dummy Kabupaten /

Kota Persamaan Regresi

1 Cilacap 4,582481 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 2 Banyumas 3,769432 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 3 Purbalingga 4,148207 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 4 Banjarnegara 3,606565 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 5 Kebumen 3,164278 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 6 Purworejo 4,604400 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 7 Wonosobo 2,150997 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

8 Kab. Magelang 4,144863 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

9 Boyolali 3,414475 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 10 Klaten 2,806742 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 11 Sukoharjo 4,111212 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 12 Wonogiri 3,526208 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 13 Karanganyar 5,008371 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 14 Sragen 4,366996 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 15 Grobogan 3,564953 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 16 Blora 3,176184 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 17 Rembang 3,434546 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 18 Pati 3,843919 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 19 Kudus 3,188208 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 20 Jepara 3,729405 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR 21 Demak 3,223451 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

22 Kab. Semarang 3,467440 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

23 Temanggung 2,957552 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

24 Kendal 3,114385 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

25 Batang 2,246590 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

26 Pekalongan 3,637931 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

27 Pemalang 3,461306 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

28 Kab. Tegal 4,281205 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

29 Brebes 4,104406 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

30 Kota Magelang 2,856485 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

31 Kota Surakarta 4,987671 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

32 Kota Salatiga 3,203284 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

33 Kota Semarang 5,374022 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

34 Kota Pekalongan 2,799900 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

35 Kota Tegal 3,916456 + 7,238157 GIR + 3,700973 GCR

(25)

25

4.4 Intepretasi Hasil dan Pembahasan

Dari data yang diperoleh dilakukan pengolahan data menggunakan model fixed effect untuk mengetahui hubungan antara belanja modal dan belanja operasi terhadap laju pertumbuhan ekonomi pada 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 – 2008. Variabel dependen yang digunakan adalah laju pertumbuhan ekonomi, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah rasio pengeluaran pemerintah untuk investasi (GIR), rasio pengeluaran pemerintah untuk konsumsi (GCR), dan variabel dummy wilayah.

Sebagai akibat dari penambahan variabel dummy maka dapat di lihat dari persamaan hasil regresi pada Tabel 4.8 menunjukkan konstanta persamaan tiap – tiap daerah yang berbeda – beda, hal ini menyebabkan hasil regresi yang berbeda – beda pula untuk tiap daerahnya. Apabila diasumsikan semua variabel independen sama dengan nol, maka

laju pertumbuhan ekonomi adalah sebesar konstanta masing – masing daerah. Apabila asumsi tersebut dipenuhi maka daerah yang laju pertumbuhan ekonominya paling tinggi adalah Kota Semarang (5,37%), Kabupaten Karanganyar (5,01%), dan Kota Surakarta (4,99).

Model fixed effect dalam penelitian ini mengasumsikan bahwa koefisien slope dari regresor tidak bervariasi antar individu dan waktu, sehingga dalam 35 persamaan pada Tabel 4.9 intepretasinya sama untuk tiap – tiap variabel independennya. Variabel rasio pengeluaran pemerintah untuk investasi (GIR) yang diukur dari rasio realisasi belanja modal pemerintah terhadap PDRB, memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilita sebesar 0,0108 lebih kecil dari nilai α 5%. Rasio pengeluaran pemerintah untuk investasi memiliki koefisien sebesar 7,238157, artinya bahwa setiap kenaikan 1 satuan dalam meningkatkan 7,24% pertumbuhan

(26)

26 ekonomi regional. Apabila rasio pengeluaran pemerintah untuk investasi terhadap PDRB naik sebesar 0,01 satuan atau 1% maka akan meningkatkan 0,0724% pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan hubungan rasio pengeluaran pemerintah untuk investasi memiliki hubungan yang postif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Pengaruh yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Siti Aisyah Tri Rahayu (2004) dan Jamzani Sodik (2007).

Variabel rasio pengeluaran pemerintah untuk konsumsi (GCR) yang diukur dari rasio realisasi belanja operasi pemerintah terhadap PDRB, memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilita sebesar 0,0128 lebih kecil dari nilai α 5%. Rasio pengeluaran pemerintah untuk investasi memiliki koefisien sebesar 3.700973, artinya bahwa setiap kenaikan 1 satuan dalam

meningkatkan 3,70% pertumbuhan ekonomi regional. Apabila rasio pengeluaran pemerintah untuk konsumsi terhadap PDRB naik

sebesar 0,01 satuan atau 1% maka akan meningkatkan 0,0370% pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan hubungan rasio pengeluaran pemerintah untuk investasi memiliki hubungan yang postif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Pengaruh yang sama juga diitunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Shantayanan Devarajan, Vinaya Swaroop, dan Heng-fu Zou (1996) dan Jamzani Sodik (2007).

5 SIMPULAN,

KETERBATASAN, DAN

SARAN

5.1 Kesimpulan

Selama periode penelitian ditemukan bahwa secara garis besar pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi regional. Untuk komponen pengeluaran pemerintah yang pertama yaitu

(27)

27 belanja modal, menurut hasil analisis menunjukkan hubungan yang sesuai dengan hipotesis awal yaitu positif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti bahwa alokasi anggaran untuk belanja modal yang dilakukan pemerintah dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Begitu juga dengan alokasi anggaran yang dilakukan pemerintah untuk belanja operasi, menurut hasil analisis juga menunjukkan hubungan yang sesuai dengan hipotesis awal yaitu positif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti bahwa alokasi anggaran untuk belanja operasi yang dilakukan pemerintah juga dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.

5.2 Keterbatasan

Keterbatasan dalam

penelitian ini adalah jumlah tahun penelitian yang relatif singkat (4 tahun). Selain itu, model yang dikembangkan dalam penelitian ini masih terbatas pada pengaruh belanja modal dan belanja operasi terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Masih

banyak faktor-faktor lainnya yang juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi seperti investasi swasta, tenaga kerja, aglomerasi, pengangguran, netto ekspor dan prasarana perhubungan guna menunjang mobilitas barang. Oleh karenanya diperlukan studi lanjutan yang lebih mendalam dengan data dan metode yang lebih lengkap sehingga dapat melengkapi hasil penelitian yang telah ada dan hasilnya dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan berbagai pihak yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi.

5.3 Saran

Berdasarkan hasil

pembahasan dan kesimpulan yang telah diberikan, maka dapat diberikan beberapa saran yaitu sebagai berikut :

Pertama, pemerintah daerah agar lebih mengoptimalkan segala potensi penerimaan daerahnya, sehingga penerimaan daerah akan meningkat kemudian hasilnya dapat digunakan untuk menambah jumlah alokasi untuk belanja daerah

(28)

28 khususnya pada belanja modal, diharapkan penambahan jumlah alokasi ini akan berdampak langsung pada pembangunan daerah melalui pembangunan infrastruktur, sehingga akan menarik lebih banyak investor swasta untuk masuk. Dengan catatan penambahan jumlah alokasi ini juga harus disesuaikan dengan sasaran – sasaran pembangunan yang ingin dicapai oleh suatu daerah, sehingga penambahan jumlah alokasi pada belanja modal ini akan berjalan efektif sesuai dengan sasaran pembangunan suatu daerah. Oleh karena itu diperlukan studi lebih lanjut mengenai penerimaan daerah apa saja yang dapat berpotensi meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi disuatu daerah.

Kedua, pemerintah daerah agar meningkatkan kualitas dari sumber daya manusia, agar pengalokasian anggaran pemerintah untuk belanja pegawai dapat terhindar dari inefisiensi penggunaan anggaran, sehingga diharapkan dampak multipliernya dapat berimbas pada pembangunan daerah. Usaha peningkatan kualitas sumber

daya manusia tersebut dapat berupa pelatihan – pelatihan meliputi pelatihan hard-skill berupa penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis dan pelatihan soft-skill khususnya pada usaha untuk memberantas korupsi.

Ketiga, pemerintah daerah agar lebih banyak memberikan stimulus kepada perekonomian daerahnya terutama bagi daerah yang laju pertumbuhan ekonominya masih cenderung rendah seperti Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Batang, dan Kota Pekalongan. Bagi daerah – daerah tersebut juga sebaiknya tidak hanya menggantungkan kepada pemerintah pusat melainkan lebih menggali potensi daerahnya masing – masing agar perekonomian daerahnya dapat terangkat.

Keempat, • Bagi daerah yang memiliki potensi laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti Kota Semarang, Kabupaten Karanganyar, Kota Surakarta, agar

mengimbangi pertumbuhan

ekonominya dengan perbaikan perekonomian masyarakat. Usaha

(29)

29 perbaikan perekonomian masyarakat ini ditunjukkan dengan ikut berkembangnya sektor – sektor perekonomian yang berhubungan langsung dengan masyarakat luas,

seperti sektor pertanian dan sektor industri

(30)

30

DAFTAR PUSTAKA

Alliasuddin dan Dawood, Taufiq C. 2008.” Pertumbuhan Ekonomi dan

Pengeluaran Pemerintah”. Makalah disampaikan pada seminar Universitas Syiah Kuala, Universitas Bengkulu dan Universitas Kebangsaan Malaysia, Banda Aceh, 27 - 28 Oktober 2008.

Arsyad, Lincolyn. 1997. Ekonomi Pembangunan. Edisi Ketiga.Yogyakarta: BP STIE YKPN.

Arsyad, Lincolyn. 1999. Pengantar dan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: BPFE.

Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun. Jawa Tengah dalam Angka. Semarang: Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi

di Indonesia. Jakarta:

Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten / Kota Provinsi Jawa Tengah. Semarang:

Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi. Semarang:

Bakir, Zainab dan Manning, Chris. 1984. Angkatan Kerja di Indonesia : Partisipasi, Kesempatan dan Pengangguran. Jakarta: Rajawali.

Bank Indonesia. 2007. Pemetaan Peraturan Daerah dan Potensi Dampaknya terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Tengah. Semarang: LSKE.

Barro dan Sala-i-Martin. 1995. Economic Growth. New York: McGraw-Hill,inc. Bastian, Indra. 2006. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah

di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

Biro Keuangan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah. Berbagai Tahun. Ringkasan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kabupaten / Kota Provinsi Jawa tengah. Semarang:

Boediono. 1992. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE .

Deliarnov, 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Devarajan, Shantayanan, Vinaya Swaroop, dan Heng-fu Zou. 1996. “The

(31)

31

Department, The World Bank. Journal of Monetary Economics, Vol. 37, Page 313 – 344.

Dronbusch, Fischer, dan Startz. 2004. Makroekonomi. Jakarta: PT. Media Global Edukasi.

Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Firmansyah. 2009. “Modul Praktek Regresi Data Panel dengan EViews6”. Modul disajikan dalam Seri 13 Pelatihan LSKE FE Universitas Diponegoro,

Semarang, 29 Mei 2009.

Ghozali, Imam. 2006. Analisis Multivariate lanjutan dengan Program SPSS. Semarang : Undip.

Gujarati, Damodar N. 2009. Basic Econometric International Edition. New York: McGraw-Hill,inc

Jhingan. 1993. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Alih Bahas oleh D. Guritno SH. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Kuncoro, Mudrajad. n.d. Pengolahan Data Panel, Kuliah Ekonometri IESP FE UGM. Yogyakarta:

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Erlangga

Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan : Teori, Masalah, dan Kebijakan. Edisi Keempat. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Mangkoesoebroto, Guritno. 2001. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE. Mankiw, N Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Jakarta : Erlangga.

Musgrave, Richard A and Peggy B Musgrave. 1991. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Alih Bahasa oleh Drs. Alfonsus Sirait AK. Jakarta: Erlangga.

Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: PT. Grasindo.

Purba, Adearman. 2006. “Analisis Faktor - faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Simalungun”. Tesis Tidak

(32)

32

Rahayu, Siti Aisyah Tri. 2004. “Peranan Sektor Publik Lokal dalam Pertumbuhan Ekonomi Regional di Wilayah Surakarta (1987 – 2000)”. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kinerja, Vol. 8, No. 2, Hal 135 – 150.

Samuelson, Paul A dan Nordhaus. 1995. Makro Ekonomi. Alih Bahasa : Drs Haris Munandar, dkk. Jakarta: Erlangga.

Sasana, Hadi. 2005. “Analisis Dampak Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Antar Wilayah, Antar Sektor di Kabupaten / Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (2001 – 2003)”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, Vol. 12, No. 2, Hal 249 – 268.

Septiana, Denada. 2010. “Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Mendukung Otonomi Daerah di Kabupaten Kudus”. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Program Sarjana Fakultas Hukum USM. Sinaga, Enidarwati R.A. 2009. “Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah pada

Sektor Publik terhadap Pertumbuhan Ekonomi pada 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah Periode Tahun 2004 – 2007”. Skripsi Tidak

Dipublikasikan, Universitas Diponegoro Semarang.

Simanjuntak, Payaman J. 1998. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: LPFE-UI.

Sjoberg, Peter. 2003. “Government Expenditures Effect on Economic Growth : The Case of Sweden (1960 – 2001)”. Tesis Tidak Dipublikasikan. Social Science and Business Administration Programmes of LULBA University of Technology.

Sodik, Jamzani. 2007. “Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Kasus Data Panel di Indonesia ”. UPN Veteran Yogyakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 12, No. 1, Hal 27 – 36.

Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan. Jakarta: LPFE UI dengan Bina Grafika.

Sukirno, Sadono. 2004. Pengantar Teori Makroekonomi. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Suparmoko. 1994. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Edisi Keempat. Yogyakarta: BPFE.

(33)

33

Suparmoko. 2001. Ekonomi Publik untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah. Edisi Pertama. Yogyakarta: ANDI.

Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Edisi 7. Alih Bahasa oleh Drs. Haris Munandar MA. Jakarta: Erlangga.

Winarno, Wing Wahyu. 2009. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. Edisi 2. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Yasin, Mesghena. 2002. “Public Spending and Economic Growth : Empirical Investigation of Sub Saharan”. Morehead State University.

(34)

34

LAMPIRAN Hasil Analisis Data

Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Probability

C 3,6564 0,1848 19,7893 0,0000

GIR 7,2382 2,7864 2,5977 0,0108

GCR 3,7010 1,4616 2,5322 0,0128

R-squared (R2) 0,7072

Mean dependent variables 4,4816

S.D. dependent variables 0,8360

F-tabel 3,0622

Cross-section Random Probability (Hausman Test) 0,0424 Uji Asumsi Klasik (Uji Normalitas)

Auxiliary Regression GIR=f(GCR) t-statistic = 10,82448

Durbin-Watson Stat. 2,2331

Obs*R-squared (white-test) 59,5023

Obs*R-squared (LM-test) 27,8539

χ2

Referensi

Dokumen terkait

Progressive Tool atau perkakas tekan adalah perkakas yang dirancang untuk melakukan sejumlah operasi pemotongan atau pembentukan dalam beberapa stasiun kerja

180 ml santan ½ sdm ragi instan 60 ml air hangat 3 butir telur ayam 100 g gula pasir 150 g tepung terigu..

Nilai hasil ujian tersebut akan dianalisis dengan uji Kolmogorov Smirnov untuk mencari nilai rata-rata dari 4 kelas yang mendekati atau dengan menguji

Hasil Evaluasi Program Terpadu Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2W-KSS) Tingkat Kabupaten Bantul Tahun 2016, sebagaimana tersebut

Saxony-Anhalt Eight subjects are required to be considered equivalent to the Saxony-Anhalt Secondary Level Qualification (Realschulabschluss): First Language, Second

Beberapa uraian tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang adanya pengaruh dari pemberian informasi tentang informed consent pada

Semakin banyak unit barang yang dikonsumsi oleh seseorang per periode waktu, semakin besar kepuasan total yang diterima dan pada suatu tingkat konsumsi tertentu, kepuasan

Kepada peserta Seleksi yang keberatan atas Penetapan Hasil Kualifikasi tersebut diberikan kesempatan untuk menyampaikan sanggahan secara tertulis , selambat-lambatnya dalam waktu