• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERENTANAN SOSIALTERHADAP BANJIR DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO PASCA RELOKASI MANDIRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERENTANAN SOSIALTERHADAP BANJIR DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO PASCA RELOKASI MANDIRI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KERENTANAN SOSIALTERHADAP BANJIR DI BANTARAN SUNGAI

BENGAWAN SOLO PASCA RELOKASI MANDIRI

(Social Vulnerability to Flood on Bengawan Solo River Bank After Independent Relocation)

Agustina Setyaningrum1, Dyah Rahmawati H.2, Muh. Aris Marfai2

Institut Teknologi Yogyakarta (ITY-STTL YLH)1 Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada2

Jalan Janti Gedongkuning, Yogyakarta E-mail: agustinasetya@gmail.com

Diterima (received): 17 Agustus 2016; Direvisi (revised): 5 Maret 2017; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 5 Juli 2017 ABSTRAK

Banjir besar pada akhir tahun 2007 mengharuskan Pemerintah Kota Surakarta untuk melaksanakan program relokasi paska terjadinya banjir. Masyarakat pindah dan menempati lokasi relokasi namun tidak jauh dari bantaran Sungai Bengawan Solo. Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat kerentanan sosial masyarakat terhadap banjir pasca relokasi yang bertempat tinggal di sempadan Sungai Bengawan Solo. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengambilan sampel yaitu simple random sampling. Analisis data keruangan dilakukan dengan metode Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE). Penilaian kerentanan dengan menggunakan dua skenario yaitu skenario lingkungan dan skenario ekonomi. Hasil proses SMCE menunjukkan bahwa di lokasi relokasi, terdapat wilayah-wilayah yang masuk dalam kerentanan sosial tinggi dan sedang. Berdasarkan skenario lingkungan, menunjukkan bahwa seluruh kelurahan/desa lokasi relokasi memiliki kerentanan tinggi kecuali Kelurahan Mojosongo yang memiliki kerentanan sedang. Berdasarkan skenario ekonomi, menunjukan lokasi relokasi yang termasuk dalam kerentanan tinggi adalah Kelurahan Semanggi, Jebres, dan Desa Gadingan. Sedangkan lokasi relokasi yang termasuk dalam kerentanan sedang dalam skenario ekonomi adalah Kelurahan Mojosongo, Desa Laban, dan Desa Plumbon.

Kata kunci: kerentanan, banjir, relokasi

ABSTRACT

Great flood at the end of 2007 requires Government of Surakarta to implement the relocation program after the flood. The community moved and occupied the relocation site but not far from the banks of Bengawan Solo River. The aim of the study is to assess the level of social vulnerability after relocation. The data used in this study consist of primary data and secondary data. The sampling technique used in this study was simple random sampling. Spatial data analysis was conducted using Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE). The vulnerability assessment using two scenarios, the environmental scenario and economic scenario. Results of the SMCE showed that in relocation sites there are areas that fall into high and medium social vulnerability. Based on the environmental scenarios, the relocation areas have high vulnerability except for Mojosongo which have moderate vulnerability. Based on the economic scenarios, the relocation area that included in high vulnerability are Semanggi, Jebres, and Gadingan. While the relocation area that included in moderate vulnerability using economic scenario are Mojosongo, Laban, and Plumbon. Keywords: vulnerability, flood, relocation

PENDAHULUAN

Kota Surakarta merupakan salah satu kota di Pulau Jawa yang rentan terhadap terjadinya banjir. Curah hujan yang tinggi pada tahun 2007 telah menyebabkan banjir karena meluapnya Sungai Bengawan Solo di kawasan perkotaan Kota Surakarta dan telah menggenangi dua belas kelurahan di sepanjang aliran sungai serta menyebabkan ribuan rumah mengalami kerusakan (Pemerintah Kota Surakarta, 2012). Masyarakat yang bertempat tinggal di sepanjang aliran sungai sangat rawan terhadap terjadinya bencana banjir. Banjir telah membunuh lebih dari 100.000 orang di

seluruh dunia dan sekitar 1,4 milyar orang terkena dampak banjir hingga akhir abad 20 (Jonkman, 2005 dalam Shen, 2010). Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Semarang dan juga wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo dan DAS Benannain di Nusa Teggara Timur secara historis sering mengalami banjir (Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014). Menurut sejarahnya, pada tahun 1966 Kota Surakarta pernah mengalami banjir besar dan menggenang hingga alun-alun Kota Surakarta. Sejarah terjadinya banjir di Kota Surakarta antara lain pada Bulan Maret 1966, Maret 1968, Maret 1973, Februari 1974, Maret 1975, Januari 1985,

(2)

Februari 1993, Desember 2007, Maret 2008, Februari 2009, tahun 2012, dan Januari 2013 (Zein, 2010). Pasca terjadinya banjir akhir tahun 2007, Pemerintah Kota Surakarta memiliki program penanganan banjir yaitu program perbaikan rumah bagi masyarakat yang berada diluar kawasan sempadan sungai dan relokasi bagi warga yang berada di kawasan sempadan Sungai Bengawan Solo (Pemerintah Kota Surakarta, 2012). Relokasi masyarakat yang bertempat tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo Kota Surakarta memang harus dilakukan untuk menghindari munculnya korban jika terjadi banjir. Kawasan ini memiliki kerentanan dan ancaman banjir yang sewaktu-waktu dapat terjadi jika musim penghujan. Department for International Developmnet (DFID) (1999) menjelaskan terkait dengan konteks kerentanan yang meliputi trends, shocks dan seasonality. Masyarakat terkadang kurang menyadari ketika kehidupan mereka sangat rentan terhadap suatu hal. United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR) (2009) juga menyebutkan bahwa kerentanan menunjukkan keadaaan suatu individu atau kelompok yang rentan terhadap dampak dari kemungkinan bahaya yang akan terjadi. Kerentanan ditunjukkan pada bagaimana sekelompok masyarakat/individu dalam mempengaruhi kehidupan mereka, bagaimana kapasitas mereka dalam mengantisipasi, mengatasi, dan kembali pulih sebagai dampak dari terjadinya suatu bencana. Mereka juga bisa dikatakan rentan ketika mereka termasuk dalam kategori miskin dan sangat terbatas untuk mengakses sumber daya (Wisner et al., 2003). Sedangkan Cutter et al. (2003) menyebutkan bahwa Kerentanan dibagi menjadi dua kategori yaitu kerentanan biofisik yang merupakan karakteristik fisik yang menyebabkan kerugian dan kerentanan sosial yang dipengaruhi oleh karakter individu.

Hizbaron (2013) melakukan penelitian terkait dengan kerentanan masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan merapi dengan menggunakan 3 kriteria yaitu kriteria sosial, fisik, dan ekonomi. Ketiga kriteria tersebut dijadikan sebagai dasar dalam penentuan kelas kerentanan dan masing-masing kriteria memiliki faktor yang mempengaruhi.

Program relokasi mulai dilakukan sejak tahun 2008 hingga tahun 2015 (Pemerintah Kota Surakarta, 2012). Umumnya masyarakat memilih sendiri lokasi relokasi baik itu secara individu maupun kolektif yang tersebar di Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, dan sekitarnya. Relokasi ini dapat disebut sebagai relokasi mandiri karena masyarakat sendiri yang mencari lokasi relokasi. Mereka dapat melakukan relokasi secara individu maupun berkelompok. Mayoritas masyarakat melakukan relokasi secara berkelompok. Program ini juga mendukung program pemerintah lainnya yaitu mengembalikan fungsi utama dari kawasan sempadan sungai yang merupakan kawasan

lindung harus dikembalikan. Bagi masyarakat yang sudah direlokasi, mereka bertempat tinggal di lokasi yang baru. Berpindah lokasi dan bertempat tinggal di lokasi yang baru menyebabkan masyarakat mengalami perubahan kondisi penghidupan (livelihood) mereka.

Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat kerentanan sosial masyarakat terhadap banjir pasca relokasi yang umumnya berlokasi di sempadan Sungai Bengawan Solo. Peneliti mengacu kepada penelitian yang dilakukan oleh Hizbaron (2013) yang menggunakan beberapa kriteria untuk penentuan kelas kerentanan.

METODE

Penelitian kerentanan sosial dilakukan di lokasi relokasi di tiga kelurahan di Kota Surakarta dan tiga desa di Kabupaten Sukoharjo. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepala keluarga pada wilayah desa/kelurahan yang direlokasi. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Peralatan yang digunakan dalam pengambilan data di lapangan meliputi Global Positioning System (GPS), kamera, alat perekam, dan alat bantu kuesioner.

Gambar 1. Lokasi Penelitian.

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Jumlah populasi pada lokasi relokasi sebesar 727 Kepala Keluarga (KK) dan tersebar pada enam (6) desa/kelurahan yang ada di lokasi relokasi. Tingkat kepercayaan 90%, sehingga berdasarkan pada Nomogram Harry King maka jumlah sampel yang diambil sebanyak 73 sampel dan tersebar di berbagai desa/kelurahan penelitian. Sampel diambil pada masyarakat yang direlokasi. Jumlah sampel untuk masing-masing wilayah desa/kelurahan disajikan dalam Tabel 1. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini tergantung dari masing-masing tujuan penelitian. Tabel 2 menunjukkan variabel penelitian yang digunakan. Teknik yang digunakan adalah simpel random sampling karena sampel yang diambil dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi tersebut.

(3)

Tabel 1. Jumlah Sampel.

Desa/kelurahan Jumlah sampel

Kelurahan Jebres 4 Kelurahan Mojosongo 50 Kelurahan Semanggi 2 Desa Laban 10 Desa Gadingan 5 Desa Plumbon 2

Analisis data keruangan dilakukan dengan metode Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE) yang terdapat dalam software Ilwis. SMCE adalah metode yang digunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan sesuai dengan tujuan yang diharapkan dengan menggunakan kriteria ruang (Westen et al., 2011). Metode ini dipilih karena mampu menyajikan penilaian kerentanan suatu wilayah secara spasial. Metode SMCE ini didasarkan pada Analytical Hierarchy Process (AHP) yaitu suatu model untuk membantu pengambilan keputusan dengan menggunakan hierarki dan untuk memecahkan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam kelompok-kelompoknya (Saaty, 1980 dalam Westen et al., 2011). Metode SMCE terdiri dari empat tahapan yaitu analisis pohon masalah, standardisasi, pembobotan dan penyusunan skenario.

Klasifikasi Pohon Masalah (Problem Tree Analysis)

Proses awal dalam membuat pohon masalah adalah menentukan tujuan utama. Tujuan utama dalam penilaian ini adalah untuk mengetahui kerentanan total pada masing-masing wilayah relokasi. Penentuan kriteria/parameter yang digunakan dalam hal ini menggunakan empat (4) kriteria/parameter yaitu fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Masing-masing kriteria/parameter tersebut diisi dengan variabel/faktor yang mempengaruhi kerentanan. Berikut pohon masalah dalam proses SMCE seperti yang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses Pembuatan Pohon Masalah.

Tabel 2. Variabel Penelitian yang Digunakan.

Kriteria Variabel Deskripsi

Fisik Kepadatan bangunan

Semakin padat bangunan rumah maka semakin rentan

Tipe bangunan Dibedakan menjadi bangunan permanen, non permanen, dan semi permanen. Bangunan non permanen sangat mudah mengalami kerusakan sehingga lebih rentan Sosial Pendidikan Semakin rendah tingkat

pendidikan maka semakin rentan

Gender Jika lebih banyak wanita maka akan semakin rentan karena wanita cenderung lebih sukar proses pemulihannya dibanding laki-laki Usia Jika banyak penduduk

berusia muda dan tua maka kerentanan lebih tinggi

Jumlah penduduk Semakin tinggi jumlah penduduk maka semakin rentan

Jumlah

penyandang cacat

Semakin banyak jumlah penyandang cacat maka semakin rentan Ekonomi Pendapatan Semakin tinggi

pendapatan maka semakin tidak rentan Jenis pekerjaan Jika umumnya berkerja

sebagai manager atau pekerjaan professional lainnya maka tingkat kerentanan rendah Jumlah keluarga

miskin

Semakin banyak keluarga miskin maka semakin rentan

Lingkungan Sejarah bencana Semakin sering mengalami banjir maka semakin rentan Jarak permukiman

dengan sungai

Semakin dekat dengan sungai maka semakin rentan

Penggunaan lahan

Semakin banyak lahan terbangun maka semakin rentan

Ketinggian permukiman

Jika badan sungai lebih tinggi dari ketinggian permukiman maka semakin rentan Standardisasi

Standardisasi dilakukan untuk menyamakan ukuran data yang bervariasi menjadi memiliki nilai antara 0-1. Semua nilai dalam variabel harus disamakan sehingga akan memberikan hasil yang sama. Metode yang digunakan dalam standardisasi menggunakan metode cost dan benefit. Benefit berarti variabel/faktor tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap kerentanan dan sebaliknya jika memilih cost maka variabel/faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang besar bagi kerentanan. Dalam penelitian ini, salah satu variabel adalah tingkat pendidikan. Semakin rendah tingkat pendidikannya maka kerentanan akan semakin tinggi. Berikut standardisasi untuk variabel tingkat pendidikan disajikan pada Gambar 3.

(4)

Gambar 3. Standardisasi untuk Tingkat Pendidikan. Pembobotan

Proses selanjutnya adalah melakukan pembobotan antar varibel dan pembobotan antar parameter.

Gambar 4. Pairwise Comparisson dalam Proses Pembobotan Parameter Sosial.

Metode yang digunakan dalam pembobotan adalah metode pairwise comparisson yaitu membandingkan faktor-faktor yang dipasangkan berdasarkan pada konsistensi peneliti dan selanjutnya memberikan nilai terhadap faktor-faktor tersebut (Westen et al., 2011). Proses pembobotan disajikan Gambar 4. Proses pembobotan ini sangat berdasarkan pada inkonsistensi peneliti. Tingkat inkonsistensi peneliti dapat dilihat pada nilai inconsistency ratio, yakni sebesar 0,001 sehingga proses pembobotan konsisten.

Skenario

Skenario yang digunakan dalam penilaian kerentanan total ini menggunakan dua skenario. Skenario pertama yang digunakan adalah skenario lingkungan. Penggunaan skenario lingkungan ini didasarkan pada sejarah banjir yang selalu terjadi di bantaran Sungai Bengawan Solo dan jarak sungai yang dekat dengan permukiman. Aturan jarak sungai ini mengacu pada aturan bahwa sempadan sungai pada sungai besar adalah 100 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai (Permen PUPR No 28 tahun 2015). Skenario pembobotan kerentanan disajikan pada Tabel 3.

Penilaian kerentanan menggunakan rentang nilai 0-1, di mana 0 adalah nilai kerentanan terendah dan 1 adalah nilai kerentanan tertinggi. Setelah diperoleh nilai kerentanan selanjutnya diklasifikasikan menjadi 3 kelas yaitu kerentanan kelas rendah (0-0,33), kelas sedang (0,34-0,66) dan kelas tinggi (0,67-1).

Tabel 3. Skenario Pembobotan Kerentanan.

No. Kriteria dan Variabel Deskripsi Pembobotan

Skenario Lingkungan Pembobotan Skenario Ekonomi 1 Kriteria fisik 0,11 0,13

Kepadatan bangunan Semakin padat bangunan rumah maka semakin rentan 0,50 0,50 Tipe bangunan Dibedakan menjadi bangunan permanen, non permanen dan semi

permanen. Bangunan non permanen sangat mudah mengalami kerusakan sehingga lebih rentan

0,50 0,50

2 Kriteria sosial 0,12 0,13

Tingkat pendidikan Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tidak rentan 0,05 0,04 Gender (rasio laki-laki

dan perempuan)

Jika lebih banyak wanita maka akan semakin rentan karena wanita cenderung lebih susah untuk proses recovery daripada laki-laki

0,05 0,04

Usia non produktif Jika banyak penduduk berusia muda dan tua maka kerentanan lebih tinggi

0,28 0,15

Jumlah penduduk Semakin tinggi jumlah penduduk maka semakin rentan 0,33 0,61 Penyandang cacat Semakin banyak jumlah penyandang cacat maka semakin rentan 0,28 0,15

3 Kriteria ekonomi 0,12 0,63

Tingkat pendapatan Semakin tinggi pendapatan maka semakin tidak rentan 0,45 0,71 Jenis pekerjaan Jika umumnya berkerja sebagai manager atau pekerjaan

professional lainnya maka tingkat kerentanan rendah

0,09 0,14

Jumlah keluarga miskin Semakin banyak keluarga miskin maka semakin rentan 0,45 0,14

4 Kriteria Lingkungan 0,65 0,13

Sejarah bencana Semakin sering mengalami banjir maka semakin rentan 0,58 0,25 Jarak permukiman Semakin dekat dengan sungai maka semakin rentan 0,13 0,25 Penggunaan lahan Semakin banyak lahan terbangun maka semakin rentan 0,15 0,25 Ketinggian permukiman Jika badan sungai lebih tinggi dari ketinggian permukiman maka

semakin rentan

0,13 0,25

(5)

Skenario kedua yang digunakan adalah skenario ekonomi. Skenario ekonomi melihat bahwa variabel yang paling berkembang ke depan adalah variabel ekonomi. Pemilihan skenario ekonomi ini karena banyaknya jumlah KK miskin di lokasi penelitian. Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Hizbaron (2013) yang menyebutkan bahwa skenario ekonomi diberikan bobot yang lebih tinggi karena kondisi ekonomi menunjukkan ketidakmampuan wilayah dalam hal ekonomi. Apabila kerentanannya tinggi maka wilayah tersebut akan memiliki kemampuan yang lama dalam membangun kembali wilayahnya.

Hizbaron (2013) dalam penelitiannya memberikan bobot yang tinggi pada skenario ekonomi, hal ini disebabkan karena kriteria ekonomi memiliki faktor pengaruh yang cukup signifikan terhadap ketiga jenis kerentanan yang ada, maka kriteria ekonomi diberikan pembobotan yang lebih tinggi dibandingkan kriteria lainnya di semua skenario kerentanan. Berikut disajikan skenario pembobotan pada penelitian yang dilakukan oleh Hizbaron (2013) pada Tabel 4.

Tabel 4. Skenario Pembobotan Kerentanan.

No. Kriteria dan Variabel Pembobotan Skenario Ekonomi Pembobotan Skenario Equali 1 Kriteria sosial 0,26 0,33 2 Kriteria fisik 0,1 0,33 3 Kriteria ekonomi 0,64 0,33 Sumber: Hizbaron (2013)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil proses SMCE kerentanan sosial total pada skenario lingkungan menunjukkan bahwa seluruh desa/kelurahan yang menjadi lokasi relokasi memiliki kerentanan tinggi kecuali Kelurahan Mojosongo yang memiliki kerentanan sedang dengan nilai 0,59. Lokasi relokasi di Kelurahan Semanggi memiliki nilai paling tinggi dengan nilai kerentanan total 0,92. Selanjutnya adalah lokasi relokasi di Kelurahan Jebres yaitu 0,88, lokasi relokasi di Desa Gadingan memiliki nilai kerentanan lingkungan 0,71, lokasi relokasi di Desa Laban memiliki nilai kerentanan 0,72 dan lokasi relokasi di Desa Plumbon dengan nilai kerentanan lingkungan 0,76.

Lokasi relokasi di Kelurahan Semanggi adalah kelurahan yang masuk dalam klasifikasi kerentanan tinggi pada seluruh kriteria pada skenario lingkungan. Kriteria tersebut antara lain fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sejarah terjadinya banjir dan lokasi permukiman baru yang dekat dengan sungai menjadi salah satu faktor penyebabnya. Lokasi relokasi di Kelurahan Jebres memiliki klasifikasi tinggi pada kriteria fisik, ekonomi, lingkungan, dan total. Hal ini tidak telepas dari lokasi relokasi di Kelurahan Jebres yang berlokasi sangat dekat dengan Sungai

Bengawan Solo yaitu 30 m dari sungai sehingga masih sangat rawan ketika musim hujan. Penelitian persepsi risiko banjir yang dilakukan oleh Febrianti (2010) juga menyebutkan bahwa pada banjir yang terjadi pada tahun 2007, beberapa wilayah di Kecamatan Jebres tergenang hingga 3 sampai 5 hari.

Kondisi ini juga tidak terlepas dari sejarah wilayah tersebut yang selalu mengalami banjir saat musim hujan. Untuk lokasi relokasi di Desa Gadingan, desa ini memiliki kerentanan yang tinggi pada seluruh kriteria kecuali kriteria sosial. Masyarakat yang pindah ke lokasi relokasi di Desa Gadingan, tingkat pendidikannya relatif rendah. Meskipun demikian, lokasi relokasi ini yang memiliki jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah perempuan. Asumsi yang digunakan dalam penilaian kerentanan ini adalah jika jumlah perempuan lebih banyak dari pada jumlah laki-laki maka kondisi ini mendukung kerentanan yang ada pada wilayah tersebut. Sedangkan lokasi relokasi di Kelurahan Mojosongo, kelurahan ini memiliki kerentanan sedang. Lokasi relokasi di Kelurahan Mojosongo memiliki kondisi yang lebih baik dari desa/kelurahan lainnya karena kerentanannya yang sedang. Meskipun demikian, lokasi relokasi di Kelurahan Mojosongo memiliki kelemahan pada sisi transportasinya. Tidak banyak moda transportasi umum yang melewati wilayah ini sehingga cukup menyulitkan warga yang pindah ke lokasi relokasi di Kelurahan Mojosongo. Berikut pada Tabel 5 disajikan perbandingan seluruh nilai kerentanan, peta kerentanan kriteria fisik pada Gambar 5, dan Gambar 6 peta kerentanan pada kriteria sosial dengan skenario lingkungan, serta Gambar 7 peta kerentanan total dengan skenario lingkungan.

Tabel 5. Perbandingan Nilai Kerentanan pada Dua Skenario.

Kriteria fisik

Lokasi Relokasi Nilai kerentanan Skenario Lingkungan Nilai kerentanan Skenario Ekonomi Semanggi 1,00 1,00 Jebres 0,67 0,67 Mojosongo 1,00 1,00 Laban 0,67 0,67 Plumbon 1,00 1,00 Gadingan 0,67 0,67 Kriteria sosial

Lokasi Relokasi Nilai kerentanan Skenario Lingkungan Nilai kerentanan Skenario Ekonomi Semanggi 0,86 0.77 Jebres 0,48 0,43 Mojosongo 0,66 0,81 Laban 0,65 0,65 Plumbon 0,39 0,38 Gadingan 0,48 0,57

(6)

Kriteria ekonomi

Lokasi Relokasi Nilai kerentanan Skenario Lingkungan Nilai kerentanan Skenario Ekonomi Semanggi 0,70 0,71 Jebres 0,79 0,67 Mojosongo 0,52 0,43 Laban 0,55 0,67 Plumbon 0,55 0,48 Gadingan 0,70 0,90 Kriteria lingkungan

Lokasi Relokasi Nilai kerentanan Skenario Lingkungan Nilai kerentanan Skenario Ekonomi Semanggi 0,96 0,92 Jebres 1,00 1,00 Mojosongo 0,52 0,67 Laban 0,77 0,58 Plumbon 0,82 0,67 Gadingan 0,77 0,58 Kerentanan Total

Lokasi Relokasi Nilai kerentanan Skenario Lingkungan Nilai kerentanan Skenario Ekonomi Semanggi 0,92 0,78 Jebres 0,88 0,68 Mojosongo 0,59 0,58 Laban 0,72 0,65 Plumbon 0,76 0,55 Gadingan 0,71 0,79

Sumber: Analisis Data, 2014

Sumber: Analisis Data, 2014

Gambar 5. Peta Kerantanan Fisik dengan Skenario Lingkungan.

Penilaian kerentanan dengan skenario ekonomi memberikan hasil yang berbeda. Skenario ekonomi memberikan bobot yang lebih besar pada aspek ekonomi dengan asumsi setelah pindah kondisi ekonomi masyarakat menjadi semakin baik dan untuk aspek lainnya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Proses SMCE kerentanan sosial total skenario ekonomi diketahui bahwa lokasi relokasi di Desa Gadingan adalah desa yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dengan nilai kerentanan 0,79. Di lokasi ini, pendapatan masyarakat rata-rata sekitar Rp.

700.000,- per bulan dan mereka berkerja pada sektor informal serta beberapa tidak memiliki tabungan. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan sebelum relokasi. Kondisi ekonomi yang rendah menyebabkan tingginya keretanan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hizbaron terkait dengan kondisi ekonomi yang menyebutkan bahwa minimnya kepemilikan modal ekonomi menjadi salah satu atribut penyebab kerentanan dengan asumsi saat terjadi bencana aset mereka habis dan tidak memiliki simpanan dan lahan yang dapat dimanfaatkan kembali (Hizbaron et al, 2015).

Sumber: Analisis Data, 2014

Gambar 6. Peta Kerantanan Sosial dengan Skenario Lingkungan.

Sumber: Analisis Data, 2014

Gambar 7. Peta Kerantanan Total dengan Skenario Lingkungan.

Lokasi relokasi di Kelurahan Mojosongo memiliki nilai kerentanan 0,58, sedangkan lokasi relokasi di Desa Laban memiliki nilai kerentanan 0,65, dan yang memiliki tingkat kerentanan paling rendah adalah lokasi relokasi di Desa Plumbon

(7)

dengan nilai kerentanan 0,55. Tingkat pendapatan perbulan masyarakat yang pindah di lokasi relokasi Kelurahan Mojosongo dan lokasi relokasi di Desa Plumbon memiliki rata-rata pendapatan lebih dari Rp. 900.000,-. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata pendapatan di desa/kelurahan lainnya. Semakin rendah tingkat kerentanannya maka semakin tinggi kondisi ekonominya. Skenario ekonomi menunjukkan masyarakat yang pindah ke lokasi relokasi di Desa Plumbon memiliki kondisi yang lebih baik dari wilayah lainnya.Berikut Gambar 8 peta kerentanan sosial dan Gambar 9 peta kerentanan ekonomi dengan skenario ekonomi. Gambar 10 peta skenario kerentanan total dengan skenario ekonomi.

Sumber: Analisis Data, 2014

Gambar 8. Peta Kerantanan Sosial dengan Skenario Ekonomi.

Sumber: Analisis Data, 2014

Gambar 9. Peta Kerantanan Ekonomi dengan Skenario Ekonomi.

Sumber: Analisis Data, 2014

Gambar 10. Peta Kerentanan Total dengan Skenario Ekonomi

Berdasarkan pada penilaian kerentanan baik dengan menggunakan skenario lingkungan maupun skenario ekonomi maka wilayah yang termasuk dalam kerentanan sosial tinggi adalah lokasi relokasi di Kelurahan Semanggi, Kelurahan Jebres, dan Desa Gadingan. Variabel yang menyebabkan tingginya kerentanan sosial ini adalah kepadatan bangunan yang tinggi, jumlah penduduk usia non produktif yang banyak, banyaknya jumlah KK miskin, tingkat pendapatan yang rendah, jarak permukiman dari sungai yang dekat, serta sejarah terjadinya bencana.

Tingkat kepadatan bangunan tinggi pada lokasi relokasi di Kelurahan Semanggi dan Jebres. Lebih dari 50% masyarakat di lokasi relokasi Kelurahan Semanggi merupakan penduduk usia non produktif, dan rata-rata pendapatan mereka di tiga kelurahan/desa tersebut rendah. Faktor penyebab tingginya kerentanan di lokasi relokasi Kelurahan Jebres adalah sering mengalami banjir dan jarak permukiman dengan sungai juga sangat dekat sekitar 30-50 m. Meskipun demikian, masyarakat tetap bertempat tinggal disana. Beberapa contoh kejadian banjir di Indonesia terkadang dianggap sebagai kejadian yang normal. Masyarakat di Kampung Melayu Jakarta yang bertempat tinggal di bantaran Sungai Ciliwung, menganggap kejadian banjir sebagai hal yang normal, mereka cukup bersiap saja ketika terjadi banjir, saat banjir tiba mereka akan menuju ketempat yang lebih tinggi dan bertempat tinggal di lantai 2 (Marschiavelli M, 2008).

Kerentanan sosial dengan skenario ekonomi diberikan bobot yang besar karena kriteria ekonomi yaitu jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, dan jumlah KK miskin memiliki faktor yang berpengaruh terhadap kerentanan di sana. Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hizbaron (2013) yang juga memberikan bobot yang lebih tinggi dari pada kriteria ekonomi daripada kriteria yang lainnya. Meskipun demikian terdapat perbedaan penggunan kriteria ekonomi. Dalam penelitian

(8)

Hizbaron (2013) kriteria ekonomi yang digunakan adalah jumlah KK miskin, jumlah penduduk yang berkerja sebagai buruh, dan kepemilikan lahan pertanian. Perbedaan ini tidak terlepas dari wilayah kajian yang berbeda yang dilakukan di wilayah DAS Gendol-Opak dengan ancaman bencana Letusan Gunung Api Merapi. Penelitian Hizbaron (2013) dilakukan di wilayah perdesaan dengan mayoritas petani sedangkan penelitian ini dilakukan pada wilayah perkotaan dengan penduduk yang beragam jenis pekerjaan.

Relokasi telah menjadi pilihan yang terbaik, meskipun beberapa diantara mereka masih bertempat tinggal di wilayah yang memiliki kerentanan tinggi. World Bank (2010) menyebutkan alasan mengapa relokasi menjadi pilihan yaitu: 1) komunitas/individu telah kehilangan materi dan mengalami kerugian karena bencana, 2) tempat tinggal mereka yang terkena dampak bencana menjadi rawan dan tidak menentu, dan 3) relokasi menjadi pilihan yang terbaik untuk mengurangi risiko bencana di masa mendatang. Di lokasi relokasi yang masih memiliki kerawanan maka perlu ada upaya mitigasi baik itu struktural maupun non struktural untuk menghindari kemungkinan terjadinya bencana di masa mendatang. Upaya mitigasi struktural yang dapat dilakukan pada wilayah yang memiliki kerentanan tinggi adalah meninggikan tanggul sungai untuk menghindari luapan air sungai, bantuan alat pompa juga diperlukan ketika banjir terjadi. Upaya mitigasi non struktural yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pengetahuan dan mengajak masyarakat masyarakat agar mereka bisa mulai untuk menabung. Tabungan sangat penting sebagai aset apabila terjadi bencana.

KESIMPULAN

Hasil proses SMCE menunjukkan bahwa di lokasi relokasi, terdapat wilayah-wilayah yang masuk dalam kerentanan sosial tinggi dan sedang. Kerentanan dengan skenario ekonomi menunjukkan kelurahan/ desa yang termasuk dalam kerentanan sosial tinggi adalah Kelurahan Semanggi, Kelurahan Jebres, dan Desa Gadingan. Masyarakat pada lokasi tersebut memiliki kondisi ekonomi yang lebih rendah dari pada di wilayah lainnya. Kerentanan dengan menggunakan skenario lingkungan menunjukkan bahwa hanya masyarakat yang pindah ke Kelurahan Mojosongo yang memiliki kerentanan sedang, sedangkan desa/kelurahan lainnya memiliki kerentanan yang tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis persembahkan kepada Ibu Dyah Rahmawati dan Bapak Aris Marfai selaku pembimbing dalam penelitian, serta kepada Institut Teknologi Yogyakarta (ITY) sebagai lembaga tempat peneliti pertama bernaung.

DAFTAR PUSTAKA

Cutter, L., Boruff, J dan Shirley, W. (2003). Social Vulnerability to Environmental Hazard. Social Science Quarterly, 84( 2), 242-261.

Department for International Developmnet (DFID). (1999). Sustainable Livelihod Guidance Sheets.

Cited in

http://www.livelihoodscentre.org/documents/20720/ 100145/Sustainable+livelihoods+guidance+sheets/ 8f35b59f-8207-43fc-8b99-df75d3000e86. 18 April 2013.

Febrianti, F. (2010). Flood Risk Perception and Coping Mechanism of a Local Community (Kelurahan Sangkrah, Serengan dan Joyontakan). Thesis Geo Information for Spatial Planning and Risk Management Graduate School Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Hizbaron, D. (2013). Penelitian Kajian Faktor Pengaruh dan Pola Spasial Kerentanan di Kawasan Merapi Yogyakarta. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Hizbaron, D., Rahmat, P., Setyaningrum, A., Malawani,

M. (2015). Kajian Pola Spasial Kerentanan Sosial, Ekonomi dan Fisik di Wilayah Rawan Erupsi Gunung Api Merapi Yogyakarta. Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia, 1(1), 16-24.

Marschiavelli, M. (2008). Vurnerability Assessment and Coping Mechanism Related to Floods in Urban Areas: A Community-Based Case Study in Kampung Melayu, Indonesia. Thesis. Geo Information for Spatial Planning and Risk Management Graduate School Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Pemerintah Kota Surakarta. (2012). Program Relokasi Paska Banjir tahun 2007 bagi Warga Bantaran Sungai Bengawan Solo dan anak-anaknya di Kota Surakarta. Pemerintah Kota Surakarta. Surakarta RI (Republik Indonesia). (2015). Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik

Indonesia Nomor 28/PRT/M/2015 tentang

Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta Shen, X. (2010). Flood Risk Perception and

Communication within Risk Management Different Cultural Contexts. UNU-EHS. Germany.

UNISDR. (2009). UNISDR Therminology on Disaster Risk Reduction. UNISDR. Switzerland.

Westen., Alkema., Damen., Kerle, N., Kingma. (2011). Multi-Hazard Risk Assessment, Distance Education

Course Risk City Education Book 2011. Cited in http://www.ecapra.org/sites/default/files/documents /Book%20Multi%20Hazard%20Risk%20Assessme nt_0.pdf. [2 Januari 2014].

Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., dan Davis I. (2003).

At Risk Second Edition Natural Hazard, People’s Vulnerability and Disasters. Routledge. London. World Bank. (2010). Assessing Damage and Defining

Reconstruction Policy. Cited in

http://www.gfdrr.org/sites/gfdrr.org/files/Chapter_5_ To_Relocate_or_Not_to_Relocate.pdf. [8 April 2013]

Zein, M. (2010). A Community Based Approach to Flood Hazard and Vulnerability Assessment in Flood Phrone Area, A Case Study in Keluraha Sewu Surakarta City Indonesia. Tesis. Geo Information for Spatial Planning and Risk Management Graduate School Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Gambar

Gambar 1. Lokasi Penelitian.
Tabel 1. Jumlah Sampel.
Tabel 3. Skenario Pembobotan Kerentanan.
Tabel 5.  Perbandingan Nilai Kerentanan pada Dua  Skenario.
+3

Referensi

Dokumen terkait

´ SDVDO D\DW \DQJ PDQD ³VHJDOD EHQWXN ELD\D pengurusan dibebankan pada APBD, GHQJDQ NDWD ODLQ VHFDUD JUDWLV´ 8QWXN lebih mengoptimalkan pelayanan yang gratis tersebut, Dinas

Proses antrian ( queueing process ) adalah suatu proses yang berhubungan dengan kedatangan seorang pelanggan pada suatu fasilitas pelayanan, kemudian menunggu dalam suatu

Seseorang akan menjadi pemimpin yang baik apabila memilki kelebihan-kelebihan tersebut daripada para anggotanya, (b)teori Sifat yaitu sifat-sifat yang positif

Tingkat bagi hasil dan komunikasi pemasaran terpadu secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan nasabah untuk menabung pada Bank Muamalat

Prinsip kerja alat pendeteksi logam ini ialah pada saat konveyor yang berjalan mem- bawa atau melewatkan bahan makanan pada daerah kerja sensor, maka sensor akan

Dari Gambar 3 di atas dapat diketahui bahwa ada 6 variabel yang berpengaruh terhadap distribusi pelayanan air bersih di permukiman pesisir Utara Lamongan, yang mana

Dari uraian diatas maka dapat diuraikan masalah sebagai berikut : Apakah dengan menggunakan model pembelajaran Think-Pair-Share yang disertai dengan pemberian

Bahwa setelah diundangkanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), maka berdasarkan atas Pasal yang mengatur tentang Ketentuan-Ketentuan Konversi yaitu Pasal II sampai dengan