A. Struktur Tegakan
Pengertian struktur tegakan dapat berlainan tergantung pada tujuan penggunaan istilah tersebut. Beberapa ahli memberikan arti yang berbeda-beda. Istilah struktur digunakan untuk menjelaskan sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk. Struktur vegetasi didefinisikan sebagai organisasi dalam ruang dari individu-individu pembentuk tegakan dalam sebuah hutan, kanopi pohon dan tumbuhan herba menempati tingkat yang berbeda dan dalam hutan tropika akan ditemukan 3 sampai 5 strata.
Suhendang (1985), berpendapat bahwa struktur tegakan hutan merupakan hubungan fungsional antara kerapatan pohon pada berbagai kelas diameternya, apabila dugaan parameter struktur tegakan dan jumlah pohon secara total dapat diketahui. Selanjutnya digambarkan model struktur tegakan hutan alam hujan tropis dataran rendah di Bengkunat Provinsi Lampung, berbentuk kurva J terbalik, gambar untuk struktur tegakan ini dapat dilihat pada Gambar 2. Disimpulkan bahwa model terbaik bagi struktur tegakan untuk semua jenis, jenis komersial dan non komersial dengan sebaran lognormal. Struktur yang terbentuk berdasar dari pola-pola pemanfaatan ruang oleh tanaman dalam hutan. Pada dasarnya struktur hutan hujan tropika primer di seluruh dunia adalah sama (Richards, 1964)
Sumber : Davis (1987) dalam Meyer (1943)
Gambar 2 Hubungan jumlah pohon dengan kelas diameter.
0 4 8 12 16 20 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 Jumlah po h o n per he ktar Kelas diameter (cm)
Salah satu ciri hutan yang seringkali ingin diketahui oleh pengelola hutan adalah diameter pohon. Hal ini memberikan kepada pengelola suatu gambaran tentang kualitas dan macam produk yang ia dapat harapkan, dan secara tidak langsung merupakan suatu petunjuk tentang umur tegakan. Diameter tajuk merupakan pengukuran foto yang paling dekat hubungan dengan diameter setinggi dada suatu pohon. Diameter tajuk saja dapat digunakan untuk memperkirakan diameter pohon (Paine, 1992, Howard, 1996).
Untuk penelitian dengan mengunakan citra satelit SPOT 5 yang dilakukan oleh Jaya (2007) pada hutan tropis di pulau Sulawesi menyimpulkan bahwa diamater tajuk pohon rata-rata di lapangan dan pada citra juga menunjukkan hasil yang cukup konsisten dengan koefisien determinasi 51.15 %, dengan bentuk persamaan regresi adalah D = 0.8399 (DS) -0.076 untuk hutan lahan kering, hubungan antara diameter tajuk pada citra SPOT 5 (Ds) dengan diameter tajuk di lapangan (D) disajikan pada Gambar 3.
Sumber : Jaya (2007)
Gambar 3 Hubungan antara diameter tajuk pada citra SPOT 5 (Ds) dengan diameter tajuk di lapangan (D).
D = 0.839(Ds) - 0.076 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 D (m) Ds (m)
B. Dimensi Tegakan
Davis dan Johnson (1987) mendefinisikan tegakan sebagai gabungan dari pohon-pohon atau tumbuhan lain yang terdapat dalam suatu daerah tertentu dan cukup seragam dalam komposisi jenis, susunan umur dan keadaannya yang dapat dibedakan dengan tumbuhan lain yang berada di sekitarnya. Istilah tegakan ini dipakai untuk menerangkan sebidang lahan yang secara geografis berdekatan, seragam dan mempunyai luas minimum yang ditentukan dan dipakai untuk mengadakan pengkelasan hutan menjadi tipe-tipe tertentu. Dalam penelitian ini tegakan diartikan sebagai kumpulan pohon-pohon yang memiliki keadaan tempat tumbuh (iklim, fisiografi lapangan), komposisi jenis dan tingkat pertumbuhan yang sama dan berada pada satu kesatuan areal tertentu.
Potensi tegakan antara lain dapat dicirikan dengan dimensi tegakan. Bruce dan Schumackker (1950), serta Loetsch, et al (1973), dalam Suhendang (1990) mengemukakan beberapa macam dimensi tegakan, yaitu : volume per hektar, peninggi, tinggi pohon rata-rata, diameter pohon rata-rata dan kualitas batang pohon. Dimensi tegakan yang akan diduga dalam penelitian ini adalah volume pohon per hektar (m3/ha), yaitu volume pohon bebas cabang dengan kulit untuk pohon-pohon yang berdiameter 20 cm atau lebih.
C. Kerapatan Pohon
Kerapatan pohon adalah jumlah pohon yang terdapat pada satuan luas tertentu, biasanya dinyatakan dalam hektar, sehingga dikenal istilah kerapatan pohon per hektar. Kerapatan pohon pada hutan tanaman biasanya teratur, oleh karena disesuaikan berdasarkan tuntutan ruang yang dibutuhkan oleh setiap jenis pohon yang ditanam. Kerapatan pohon pada hutan alam tidak teratur, sehingga sulit untuk mendapatkan kerapatan seperti yang diinginkan. Pada tegakan hutan alam, biasanya kerapatan pohon akan tinggi pada kelas diameter kecil dan akan menurun pada kelas diameter yang makin besar. Hal ini terjadi oleh karena adanya kompetisi yang tinggi baik antar individu dalam satu jenis, maupun antar berbagai jenis, sehingga tidak setiap individu mendapatkan kesempatan untuk tumbuh secara wajar, walaupun tidak mati (Suhendang, 1985).
Kecenderungan penurunan kerapatan pohon pada kelas diameter yang lebih tinggi seperti ini ternyata tidak sama untuk semua jenis, terutama sifat toleransinya terhadap naungan. Lebih jauh dikemukakan bahwa untuk jenis pohon yang tidak tahan terhadap naungan (intoleran), maka kerapatan pohonnya tidak akan secara drastis berkurang dengan bertambah tingginya kelas diameter, bahkan biasa terjadi kerapatan pohonnya akan rendah pada kelas diameter yang rendah, kemudian naik sampai pada kelas diameter tertentu tetapi selanjutnya turun kembali pada kelas diameter yang lebih besar lagi. Pada jenis pohon yang tahan terhadap naungan (toleran), kerapatan pohon akan menurun secara drastis dengan bertambahnya tinggi kelas diameter.
Walaupun terdapat bermacam-macam tipe sebaran kerapatan pohon, terdapat dugaan yang kuat bahwa pada umumnya terdapat hubungan yang kuat antara kerapatan pohon dengan diameter, baik pada jenis pohon yang toleran maupun pada jenis pohon yang intoleran, sehingga akan terdapat hubungan fungsional antara kelas diameter dengan kerapatan pohonnya. Atas dasar ini maka struktur tegakan hutan akan dapat dipakai sebagai alat untuk menduga besarnya kerapatan pohon pada setiap kelas diameternya.
D. Diameter pohon
Diameter pohon merupakan salah satu dimensi pohon yang penting, oleh karena selain secara langsung menentukan volume pohon juga akan berperan sebagai penggantinya dimensi umur pada hutan alam. Umur pohon pada hutan alam hujan tropika secara pasti tidak dapat ditentukan oleh karena tidak dapat diketahui kapan pohon tersebut mulai tumbuh (berkecambah). Atas dasar ini maka dalam setiap pembicaraan mengenai hutan alam tropika, dimensi umur tidak pernah dipakai sebagai ciri. Diameter pohon biasanya dipakai untuk pengganti umur, walaupun tidak selamanya pohon dengan diameter kecil menunjukkan umur pohon yang masih rendah (Suhendang, 1985).
Diameter pohon dibatasi sebagai panjang garis lurus yang menghubungkan dua buah titik pada garis lingkaran luar pohon dan melalui titik pusat penampang melintangnya. Besarnya diameter ini dalam suatu
pohon akan berpariasi oleh karenanya maka struktur tegakan ini akan dapat dipakai untuk menduga kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter, apabila dugaan parameter struktur tegakan dan jumlah pohon secara total diketahui.
Diameter batang pohon tidak hanya dapat diduga dengan diameter tajuknya, namun bila ditambah dengan tinggi pohon sebagai peubah bebas lainnya, maka ada kemungkinan akan dapat meningkatkan ketelitian hasil dugaan yang diperoleh. Tinggi pohon berbanding lurus dengan diameter batang pohon yang bersangkutan. Dengan kata lain pohon yang tinggi akan mempunyai diameter batang yang besar pula. Sebagai contoh, perbedaan tinggi pohon pinus putih di Amerika sebesar 10 kaki menunjukkan adanya perbedaan diameter batang sebesar 1 (satu) kaki dan diameter tajuk 2 (dua) kaki (Spurr, 1960 dalam Jaya, 2006).
Hasil penelitian ditemukan pula adanya korelasi antara diameter tajuk dengan diameter batang pohon yang diukur/diamati. Hubungan tersebut pada umumnya berbentuk garis lengkung (curvilinear) yaitu berbentuk sigmoid
(huruf-S). Menurut Spurr (1960 dalam Jaya 2007), hubungan yang berbentuk
sigmoid tersebut telah dibuktikan dari hasil penelitian Zieger (1928) di Jerman, Ilvessalo (1950) di Finlandia terhadap pohon pinus; Ferree (1953) di Amerika Serikat terhadap jenis pohon berdaun lebar (hardwood); Dilworth (1951) terhadap jenis pohon cemara Douglas; Minor (1951) terhadap jenis pinus bagian Selatan Douglas; Hollerwoger (1954) terhadap jenis kayu jati di Indonesia; dan dari hasil penelitian para ahli lainnya terhadap berbagai jenis di berbagai tempat. Bentuk-bentuk kurva hubungan antara diameter batang dan diameter tajuk berbeda-beda untuk setiap jenis dan lokasi pohon bersangkutan. Menurut Eule (1959) dalam Spurr (1960), penjarangan tidak banyak mempengaruhi bentuk-bentuk hubungan tersebut.
E. Inventarisasi
Inventarisasi hutan diperlukan untuk mengetahui kekayaan yang terkandung di dalam suatu hutan pada saat tertentu. Hutan sebagai asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dengan dominasi pohon-pohonan selalu
mengalami perubahan setiap waktu. Oleh karena itu jumlah kekayaan yang terkandung di dalam hutan juga selalu berubah.
Sejak pemanfaatan teknologi penginderaan jauh berkembang pesat, pada prinsipnya inventarisasi hutan dapat dilakukan dengan 3 (tiga) macam cara dan pendekatan (Jaya, 2002a), yaitu : (1) Inventarisasi hutan secara terestris; (2) Inventarisasi hutan dengan penginderaan jauh; (3) Inventarisasi hutan kombinasi terestris dan penginderaan jauh.
Inventarisasi hutan secara terestris adalah kegiatan pengukuran dan pengamatan langsung dilakukan di lapangan, baik dilakukan bila luasan yang relatif kecil. Metode ini akan memberikan hasil penaksiran lebih akurat, kerena kontak langsung dengan obyeknya, sehingga dapat melihat situasi dan kondisi sebenarnya obyek. Untuk luasan besar metode ini memerlukan waktu dan dana yang besar. Selain itu, kemungkinan akan mendapatkan banyak jenis kesalahan, salah satu diantaranya adalah kesalahan ukur yang cenderung lebih besar akibat kelelahan tenaga ukurnya.
Sedangkan Inventarisasi hutan dengan penginderaan jauh, dimana kegiatan pengukuran dan pengamatan dilaksanakan secara tidak langsung menggunakan sarana bantu berupa citra permukaan bumi, baik potret udara maupun citra satelit. Jika dibandingkan dengan metode terestris, ketelitian yang didapat relatif lebih rendah terutama apabila hanya menggunakan teknik penginderaan jauh, tetapi metode ini cocok untuk luasan yang besar, pengukuran lebih cepat. Karena pengukuran dilakukan di atas meja dan sedikit tenaga, maka human error dapat dikurangi.
F. Cara Pengambilan Contoh.
Cara pengambilan contoh dapat dilakukan dengan : (a) Systematic
sampling, pada cara ini setiap anggota atau individu dalam populasi tidak mempunyai peluang atau kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai contoh; (b) Random sampling, pada cara ini setiap anggota atau individu dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk terpilih menjadi contoh (Simon, 2007).
Anggota atau individu dalam populasi tersebut dapat bersifat individual ataupun dapat berupa unit (sekumpulan anggota atau individu dari populasi
tersebut). Populasi yang dimaksud dalam inventarisasi sumberdaya hutan ini adalah tegakan hutan.
Teknik pengambilan contoh secara sistematik tersebut diatas, dalam kegiatan inventarisasi sumberdaya hutan, jarang atau tidak digunakan. Biasanya cara sistematik tersebut dimodifikasi dengan menggunakan cara
random sampling (cara pengambilan contoh secara acak), yaitu pada pemilihan contoh yang pertama dilakukan secara acak dan pada pemilihan contoh berikutnya ditentukan secara sistematik. Cara ini dikenal sebagai
systematic sampling with random start (Simon, 2007). G. Pengelompokan Contoh
Atas dasar pengelompokan contohnya, dapat dibedakan menjadi dua macam (Paine, 1992; Simon, 2008) yaitu : (a) Stratified sampling, yaitu dimana unit-unit contoh dikelompokan agar setiap kelompok diusahakan dalam kondisi yang homogen atau seragam; (b) Cluster sampling, yaitu dimana unit-unit contoh dikelompokkan dalam keadaan yang beragam atau
heterogen (Paine, 1992; Simon, 2007).
Cara pengambilan contoh dapat dilakukan pada populasi yang telah
dilakukan pengelompokan-pengelompokan pada contohnya, sehingga cara
pengambilan contoh tersebut dikenal dengan sebutan sesuai pengelompokannya, antara lain adalah stratified random sampling, cluster random sampling, stratified systematic sampling with random start.
H. Tingkatan Pengambilan Contoh.
Tingkat pengambilan contoh dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : (1) Pengambilan contoh dengan dua tahap/phase (Double sampling), misal contoh tingkat pertama diambil pada potret udara sebanyak n unit contoh dan contoh tingkat kedua (sub sample) memilih m unit contoh dari n unit contoh pada potret udara untuk di ukur di lapangan, dimana dalam hal ini m < n. Analisa data dapat dilakukan dengan metoda regresi linier; (2) Pengambilan contoh bertingkat (Stage sampling). Unit contoh dibagi kedalam unit contoh tingkat pertama pada tingkat penarikan contoh yang pertama. Pada unit
contoh tingkat pertama yang terpilih, dilakukan pemilihan unit contoh tingkat kedua, menghasilkan unit contoh tingkat kedua. Selanjutnya pada unit contoh tingkat kedua yang terpilih, dilakukan pemilihan unit contoh tingkat ketiga dan menghasilkan unit contoh tingkat ketiga, dan seterusnya (Simon, 2007). I. Estimasi Volume Tegakan Melalui Citra Potret Udara
Peubah yang dianggap dapat memberi hasil yang sesuai dengan harapan adalah volume tegakan (VT). Jenis peubah penduga terhadap volume tegakan ini yang diestimasi atau diperkirakan dapat diukur atau ditafsir secara langsung melalui citra potret udara adalah persen penutupan tajuk (C); diameter tajuk (D); jumlah pohon (N) (Jaya, 2002a).
Model-model penduga potensi tegakan yang menyatakan hubungan antara volume tegakan dengan peubah-peubah tegakan yang ditafsir langsung melalui citra potret udara tersebut dapat dinyatakan dengan bentuk : (1) Persamaan matematis atau persamaan regresi; (2) Tabel volume; (3) Grafik. Analisis Regresi yang dibuat akan sangat berguna dalam inventarisasi hutan selanjutnya. Sedangkan jenis peubah yang digunakan untuk menyusun persamaan regresi dapat dihimpun dengan teknik pengambilan contoh berganda (double sampling).
Regresi untuk menduga volume tegakan dapat menggunakan sebuah atau lebih peubah bebas. Regresi dengan sebuah peubah pada umumnya menggunakan tinggi rata-rata atau diameter tajuk rata-rata. Namun demikian, pada keadaan-keadaan tertentu peubah bebas persen penutupan tajuk rata-rata ternyata lebih baik. Untuk itu perlu melakukan pengujian terhadap korelasi antara peubah-peubah dalam regresi (Howard, 1996; Jaya ,2007).
Beberapa contoh persamaan regresi untuk pendugaan volume tegakan di Indonesia hasil beberapa penelitian menggunakan potret udara dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan pendugaan volume tegakan mengunakan citra Spot 5 Supermode dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1 Beberapa model penduga volume tegakan menggunakan peubah potret udara
No. Tipe Hutan Lokasi Persamaan Regresi dan Koefisien Diterminasi
1. Hutan Jati Cikampek,
Purwakarta (Suar, 1993)
V = -10,2 + 0,169 N + 8,20 D (R2= 53,8%)
2. Hutan Jati Jawa dan Jawa Timur {Madiun, Nganjuk dan Jombang ; Hadjopra-jitno, dkk. (1996a), dan Hardjoprajitno, dkk. (1996)} Bonita ≤ 3 Ln V= -1,65 + 0,798 Ln C + 1,58 Ln D (R2 =74,5%) Bonita ≥ 4 Ln V= -0,713 + 1,206 Ln C + 0,219 Ln D (R2 =64,90%)
3. Hutan Jati KPH Jombang
(Effendi, 1998)
V = 0,0013182 C0.989 D2,50 (R2 = 85,90%)
4. Hutan Pinus KPH Pekalongan (Hidayatullah, 1996)
V = 0,000147 H1,42D0,35N2,21 (R2 = 81,00%)
5. Hutan Pinus Jawa (Lawu DS, Kediri, Malang, Sukabumi dan Cianjur ; Hardjoprajitno, dkk., 1996b) Bonita ≤ 3
Log V= 0,598 + 0,728 Log C + 0,387 Log D (R2 = 42,59%)
Bonita ≥ 4
Log V= 0,955 + 0,513 Log C + 0,526 Log D (R2 = 76,80%)
6. Hutan Pinus - Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur) Bonita ≤ 3 Ln V= 2,11 + 0,496 Ln C + 0,629 Ln D (R2 = 56,5%) Bonita ≥ 4 Ln V= 7,56 + 0,184 Ln C - 1,23 Ln D (R2 = 98,6%) - Jawa Timur (Kediri, Lawu DS, Malang) (Hardjoprajitno, dkk., 1996) Bonita ≤ 3 Ln V= 3,61 + 0,525 Ln C - 0,434 Ln D (R2 = 39,3%) Bonita ≥ 4 Ln V= 2,49 + 0,570 Ln C + 0,230 Ln D (R2 = 57,9%)
7. Hutan Pinus KPH Pekalongan (Somad, 1997) V = 13,6 + 0,000040 D2 (R2 = 77,7%) 8. Hutan Alam Tropis Penajam, Kaltim (Santoso, 1991) V = -219,13 + 11,07 C + 5,82 D + 0,963 H (R2 =45,09%) 9. Hutan Alam Tropis Muarakaman, Kaltim (Atmosoemarto, 1993 dalam Jaya, 2002a) LnV = -5,577+0,427 Ln N+2,591 Ln H (R2 = 67,4%) 10. Hutan Alam Tropis HPH Sura Asia, Riau (Budi, 1998)
Log V = 0,60+1,11Log C+0,133 Log D (R2 = 69,2%)
11 Hutan Alam Tropis PT. Batasa Kalbar (Yamin, 1996 dalam Sujiatmoko, 1998) V = 14+1,11C+0,583 H+5,77 D (R2 = 71,5%) V = 0,393C0,555H0,158D0,503 (R2 = 67,9%) V = 621,1+1,25 C+0,0120 D2H (R2 = 73,8%) 12 Hutan Alam Tropis
Hutan Penajam & Bongen Hulu, Kaltim (Santoso, 1991 dalam Sujiatmoko, 1998) V = 20,7205C0,5443D-1,7398H1,2745 (R2 = 23,63%) V= -219,1344+11,0713 C+5,8119 D+0,9627 H (R2= 45,09%) Sumber : Jaya 2007
Tabel 2 Beberapa model penduga volume tegakan menggunakan peubah citra Spot 5 Supermode
No Tipe Hutan Lokasi Persamaan Regresi R2 (%)
1 Hutan lahan
kering
Kalimantan (Jaya, 2006)
Vbc =2,245+0,012 (Dsp)2+0,478 Cps 59,55
2 Hutan rawa Kalimantan
(Jaya, 2006) Vbc=19,72+1,128Dsp+0,513Csp 69,83 3 Hutan mangrove Kalimantan (Jaya 2006) Vbc =0,596(Dsp)0,771(Csp)0,271 70,72 4 Hutan lahan kering Sulawesi (Jaya 2007) Vbc=5,479Dsp0,753Csp0,578 53,36 5 Hutan mangrove Sulawesi (Jaya 2007) Vbc=-205.16+4.808Csp 50,44 6 Hutan lahan kering Bengkulu (Santoso,2008) Vbc= 0,019Csp2‐0,833Csp+16,963 60,93 7 Hutan lahan kering Kabupaten Pasaman (Anwar, 2008) Vbc= -11,9+0,0118Csp2 67,00
Keterangan : Vbc = volume bebas cabang ; Csp = persen penutupan tajuk
Dsp = diameter tajuk diliat pada citra Spot
J. Citra satelit SPOT 5 1. Sejarah satelit SPOT
Satellite Pour I’Observation de la Terre (SPOT) adalah satelit milik Perancis yang merupakan satelit sumber daya bumi pertama yang diluncurkan oleh Eropa yang telah meluncurkan 5 satelit sejak tahun 1986. SPOT dikelola oleh Centre National de’Etudes Spatiales (CNES) atau Pusat Nasional Studi Antariksa Perancis yang bekerja sama dengan Belgia dan Swedia. SPOT 1 telah diluncurkan pada tanggal 22 Februari 1986 dan menyusul SPOT 2 yang diluncurkan tanggal 21 Januari 1990. Program SPOT adalah suatu teknik penginderaan jauh yang menggunakan sistem optik, yang mempunyai misi untuk mengindera permukaan bumi.
2. Karakteristik SPOT 5
Dalam perkembangannya, satelit SPOT terus melakukan perbaikan-perbaikan, hingga diluncurkan satelit SPOT terbaru yang menawarkan
tampilan dan inovasi baru yang akan membedakan dengan satelit SPOT sebelumnya. Pada tanggal 4 Mei 2002, satelit tersebut diberi nama SPOT 5 (Educnet Education, 2004). Sedangkan SPOT 5 Supermode adalah citra hasil rekaman sensor satelit SPOT 5 band panchromatic yang mempunyai resolusi 2,5 m x 2,5 m. Konsep ini memproses dua citra 5 meter yang direkam secara simultan untuk menghasilkan citra tunggal dengan resolusi 2,5 m x 2,5 m. Konsep ini telah dipatenkan oleh The French Space Agency CNES. Karaktetistik SPOT 5 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik citra SPOT 5
Waktu Peluncuran 4 Mei 2002
Resolusi Spasial Pankromatik : 5 m (2,5 m dalam
supermode)
Multispektral : 10 m (5 m dalam supermode)
Akurasi Alokasi (Location Accuracy) 50 m tanpa titik kontrol
Lebar Cakupan Wilayah (Swath) 120 km dalam couple mode
Ketinggian pada equator (Altitudes) 822 km
Inklinasi (Inclination) 98,7 derajat
Frekuensi Pengulangan (Revisit Frequency) 5 hari Sumber : Educnet Education, 2004
3. Manfaat SPOT
Dari data SPOT dapat diperoleh informasi terestris land use (penggunaan lahan), land cover (tutupan lahan), daerah khusus seperti penggundulan hutan, erosi, daerah urban, perencanaan regional, sumberdaya air, serta akibat dari pekerjaan-pekerjaan utama pada lingkungan seperti tambang dan aplikasi SIG. SPOT 4 memiliki resolusi spasial 10 m x 10 m untuk mode Pankromatik (PAN) dan 20 m x 20 m untuk mode Multispektral (XS). Satelit SPOT mengorbit selaras dengan posisi matahari ( sun-synchronous orbit) dengan tinggi 822 km, periode perekaman ulang selama 26 hari dan mempunyai lebar sapuan wilayah (Swath) 60 km ~ 80 km tergantung sudut pencitraannya. Sensor HRV dapat beroperasi dalam dua mode yaitu dalam cahaya tampak dan sinar infrared (infra merah) dengan pembagian band yaitu :
(1) Mode Pankromatik (PAN) SPOT 4
Mode pankromatik, yaitu mode pengamatan yang dilakukan dengan satu band spektral tunggal. Mode ini memberikan tampilan warna hitam putih dengan resolusi spasial sebesar 10 m x 10 m yang merupakan bagian dari spektrum elektromagnetik dengan kisaran panjang gelombang dari 0,51 µm ~ 0,73 µm. Band ini digunakan untuk aplikasi dengan hasil detail geometrik yang baik.
(2)Mode Multispektral (XS) SPOT 4
Mode multispektral, yaitu pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan tiga band yaitu :
a. Band XS1 terdiri dari warna hijau (0,50 ~ 0,59 µm). b. Band XS2 terdiri dari warna merah (0,61 ~ 0,68 µm). c. Band XS3 yang berada pada near infrared (0,79 ~ 0,89 µm). Dengan mode multispektral dapat dibuat warna komposit yang merupakan penggabungan band-band data yang terekam dalam citra. Resolusi spasial dari mode multispektral adalah 20 m x 20 m. (3)Kelebihan Citra Satelit SPOT 5
SPOT 5 memiliki beberapa kelebihan antara lain, yaitu:
a. Mengalami pengembangan resolusi, menjadi 2,5 m ~5 m~10 m
dan merupakan kombinasi citra multi resolusi. b. Mempunyai akurasi lokasi: 50 m tanpa titik kontrol. c. Cakupan Lahan yang luas, yaitu : 60 ~120 km. d. Kemampuan akuisisi mencapai 50 M km² / thn.