• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUK SAMPING TANAMAN DAN PENGOLAHAN BUAH KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN DASAR PAKAN KOMPLIT UNTUK SAPI: Suatu Tinjauan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUK SAMPING TANAMAN DAN PENGOLAHAN BUAH KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN DASAR PAKAN KOMPLIT UNTUK SAPI: Suatu Tinjauan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUK SAMPING TANAMAN DAN PENGOLAHAN BUAH

KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN DASAR PAKAN

KOMPLIT UNTUK SAPI: Suatu Tinjauan

I-WAYAN MATHIUS1, DAPOT SITOMPUL2, B.P. MANURUNG3danAZMI3 1Balai Penelitian Ternak, PO BOX 221, Bogor 16002 2PT Agricinal, Putri Hijau, Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu

3Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

ABSTRAK

MATHIUS, I.W.M., D.M. SITOMPUL, B.P. MANURUNG, dan ASMI. 2003. Produk Samping Tanaman Dan Pengolahan Buah Kelapa Sawit Sebagai Bahan Dasar Pakan Komplit Untuk Sapi: Suatu Tinjauan. Pergeseran fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian merupakan salah satu penyebab rendahnya laju peningkatan populasi ternak, khususnya ternak ruminansia. Oleh karena itu pendekatan yang perlu ditempuh adalah melakukan integrasi pemanfaatan lahan tanaman tahunan, misalnya diversifikasi usaha perkebunan dengan peternakan, khususnya ternak ruminansia. Pemanfaatan pakan alternatif yang dapat menjadi pakan hijauan andalan di masa mendatang perlu ditingkatkan dengan mengoptimalkan fungsi lahan perkebunan yang ada. Dengan tatalaksana yang baik dan benar terhadap pemanfaatan produk samping tanaman kelapa sawit akan sangat membantu para pekebun dalam penyediaan pakan hijauan. Pelepah kelapa sawit yang belum dimanfaatkan seoptimal mungkin merupakan salah satu bahan pakan hijauan alternatif yang perlu dikerjakan, di samping produk samping hasil pengolahan minyak sawit, seperti lumpur sawit, serat perasan, bungkil dan tandan kosong. Biomasa yang dapat dihasilkan dari satu luasan tanaman kelapa sawit dapat mencapai 10 ton per ha per tahun. Jumlah tersebut sangat potensial untuk dijadikan pakan komplit berbasis produk samping kelapa sawit. Sebagai konsekuensinya tingkat produktivitas ternak ruminansia, khususnya sapi, dapat ditingkatkan.

Kata kunci: Perkebunan, pelepah kelapa sawit,pakan hijauan, sapi potong

PENDAHULUAN

Untuk memenuhi permintaan daging Nasional yang meningkat dari tahun ke tahun, pemerintah cq. pihak swasta mendatangkan daging atau ternak bakalan untuk dipotong dari negara produsen. Ternak sapi yang semula merupakan pemasok daging Nasional tertinggi (53%) berangsur-angsur turun sumbangannya menjadi 24% pada akhir PJP I. Di sisi lain dilaporkan bahwa laju pertumbuhan populasi sapi cenderung lambat, dan hal tersebut merupakan salah satu penyebabnya dan mempunyai kaitan erat dengan penyusutan lahan pertanian yang beralih fungsi ke non pertanian. Untuk mengejar ketinggalan pengadaan daging Nasional, maka upaya meningkatkan produksi sapi potong Nasional melalui pendekatan kualitatif (produktivitas per unit ternak) dan kuantitatif (peningkatan populasi) harus dilakukan. Pendekatan kualitatif sedang dilakukan melalui perbaikan mutu genetik sapi lokal dengan mempergunakan teknik inseminasi buatan (IB). Perbaikan potensi genetik telah dilakukan dan sedang berjalan dengan menggunakan teknik inseminasi buatan (IB). Namun demikian, untuk mencapai hasil yang diharapkan, yaitu tingkat produksi yang tinggi, maka perbaikan mutu genetik sapi, terutama sapi potong lokal harus diimbangi dengan perbaikan pakan dan pola pemberian pakan yang memenuhi kebutuhan ternak (JALALUDIN et al., 1991b). ZARATE (1996) melaporkan bahwa program pemuliaan ternak akan sangat bergantung pada aspek tatalaksana dan ketersediaan pakan yang berkelanjutan. Ditambahkan bahwa keberhasilan perbaikan

(2)

performans ruminansia besar membutuhkan kondisi yang stabil dalam artian tatalaksana yang memadai, ketersediaan pakan yang berkelanjutan sepanjang tahun dan kesehatan lingkungan. Pola dan pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan ternak, dilaporkan merupakan faktor utama rendahnya tingkat produktivitas ternak di daerah tropis (CHEN et al., 1990). Dengan perkataan lain, problem utama upaya peningkatan produksi ternak ruminansia adalah sulitnya penyediaan pakan yang berkesinambungan baik dalam artian jumlah yang cukup dan kualitas yang baik, sebagai yang dikatakan CHEN et al. (1990). Di lain sisi, pemanfaatan lahan untuk tujuan padang penggembalaan ternak makin tersisih oleh pemanfaatan lahan untuk pertanian, termasuk perkebunan. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan penyediaan pakan, baik melalui integrasi dan diversifikasi lahan pertanian, termasuk perkebunan. Dengan demikian, efisiensi pemanfaatan lahan dapat ditingkatkan, sekaligus dapat memberi nilai tambah pada petani.

Minyak sawit merupakan sumber minyak nabati yang cukup penting setelah minyak nabati yang berasal dari biji kedelai, dan menyumbangkan lebih dari 27% pengadaan minyak nabati dunia (FOLD, 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke dua terbesar penghasil minyak kelapa setelah Malaysia. Luas tanam kelapa sawit di Indonesia dilaporkan mencapai 2.014.000 ha pada tahun 2000, dengan laju pertumbuhan setiap tahunnya mencapai 12,6% (LIWANG, 2003), sementara Malaysia memiliki luas tanam 2.941.000 ha dengan laju pertumbuhan sebesar 5,5%. Diperkirakan pada masa mendatang, Malaysia akan berada pada posisi stagnant sebagai akibat ketersediaan dan keterbatasan lahan yang dimiliki serta diperberat dengan ketersediaan tenaga kerja yang terbatas dan biaya tenaga kerja yang cukup tinggi. Sementara di Indonesia, (bila “kondisi stabil”) diperkirakan akan terus mengembangkan luas tanam kelapa sawit, khususnya perkebunan swata dan perorangan. Problem utama perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah terbatasnya mesin/pabrik pengolahan produk tanaman kelapa sawit berskala kecil sampai menengah, khususnya pada perkebunan swasta dan perorangan (LIWANG, 2003). Sebagai konsekuensi makin meningkatnya luas tanam kelapa sawit, adalah makin meningkatnya pula produk samping hasil olahan kelapa sawit yang sedikit banyak akan menimbulkan problem baru dan perlu diantisipasi. Salah satu cara pemecahannya adalah dengan memanfaatkan ternak (CORLEY, 2003), khususnya ternak ruminansia sebagai pabrik hidup yang dapat memanfaatkan produk samping tersebut sebagai pakan, sekaligus dapat dijadikan mesin hidup untuk dapat menyediakan pupuk organik.

Di Indonesia, tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) telah dikenal sejak tahun 1848 (pertama kali di tanam di kebun Raya Bogor) (CORLEY, 2003), sementara pengembangannya sebagai penghasil minyak kelapa sawit yang sangat dibutuhkan umat manusia dimulai pada tahun 1911. Keseimbangan asam lemak jenuh dan tidak jenuh dalam minyak kelapa sawit memperkuat posisi minyak sawit sebagai bahan pangan umat manusia. Demikian penting arti minyak nabati asal kelapa sawit, menyebabkan luas wilayah pengembangannya hingga saat ini sangat pesat. Produk samping tanaman kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah yang banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepah daun, lumpur sawit dan bungkil kelpa sawit (MOHAMED et al., 1986), khususnya sebagai bahan dasar ransum ternak ruminansia (JALALUDINet al., 1991b). Dengan pola integrasi ataupun diversifikasi tanaman dan ternak (khususnya ternak ruminansia) diharapkan dapat merupakan bagian integral dari usaha perkebunan, sebagai yang disarankan oleh ABU HASSANet al. (1991). Oleh karena itu, pemanfaatan produk samping tanaman kelapa sawit (pelepah) pada wilayah perkebunan sebagai basis pengadaan pakan ternak diharapkan banyak memberikan nilai tambah, baik secara langsung maupun tidak langsung (STUR, 1990). Hal yang sama juga dilaporkan oleh ZAINUDIN dan ZAHARI (1992), bahwa integrasi usaha peternakan di bawah tanaman perkebunan memberikan dampak yang sangat besar artinya.

(3)

POTENSI DAN NILAI NUTRISI PRODUK SAMPING TANAMAN DAN PENGOLAHAN BUAH KELAPA SAWIT

Ketersediaan lahan yang terbatas untuk sub-sektor peternakan, khususnya komoditas sapi, dan disertai dengan terus menigkatnya permintaan akan protein hewani, memaksa/mendorong para pelaku produksi peternakan untuk dapat memanfaatkan segala kesempatan untuk tetap berupaya meningkatkan produktivitas peternakan. Salah satu peluang yang harus dimanfaatkan secara optimal adalah melakukan pengembangan peternakan melalui pola integrasi ternak dengan perkebunan, seperti perkebunaan kelapa sawit.

Areal di bawah tanaman kelapa sawit kurang dapat ditumbuhi vegetasi alam karena rendahnya intensitas sinar matahari sebagai akibat naungan daun dari tanaman kelapa sawit yang cukup padat, khususnya tanaman yang telah berproduksi. Oleh karena itu, ketersediaan pakan hijauan, berupa vegetasi alam yang dapat tumbuh di areal perkebunan kelapa sawit sangat terbatas dan tidak cukup untuk mendukung penyediaan pakan hijauan. Namun demikian, produk samping yang dihasilkan, baik yang berasal dari tanaman (ISHIDA dan HASSAN, 1997) maupun pengolahan kelapa sawit (WAN ZAHARIet al., 2003) berpotensi untuk dapat dioptimalkan sebagai bahan pakan ternak, khususnya ternak ruminansia. Produk samping dimaksud adalah pelepah, daun, batang (KAWAMOTO et al., 2001), janjang kosong, serat perasan, lumpur sawit/solid dan bungkil kelapa sawit.

Produk samping tanaman kelapa sawit

Pola tanam kelapa sawit dengan jarak tanam antar pohon 9 x 9 m dapat menampung 143 tanaman untuk setiap hektar. Namun pada kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jumlah pohon kelapa sawit untuk setiap ha areal perkebunan hanya dapat mencapai 130 pohon. Hal ini dimungkinkan karena kondisi wilayah yang berbeda-beda. Hasil pengamatan yang dilakukan di PT Agricinal menunjukkan bahwa untuk setiap pohon dapat menghasilkan 22 pelepah per tahun dengan rataan bobot pelepah per batang mencapai 2,2 kg (setelah dikupas dan siap disajikan). Jumlah ini setara dengan 6.292 kg (22 pelepah x 130 pohon x 2,2 kg) pelepah segar yang dihasilkan untuk setiap ha dalam setahun. Jumlah ini lebih rendah dari potensi yang seharusnya dapat dimanfaatkan, karena pemanfaatan pelepah pada kondisi saat ini belum optimal. Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa total bahan kering pelepah yang dihasilkan dalam setahun untuk setiap ha adalah 1.640 kg. Dengan asumsi bahwa luasan perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah 2.014.000 ha merupakan tanaman sedang berproduksi, maka jumlah bahan kering pelepah yang tersedia untuk dimanfaatkan adalah sejumlah 3.302.000 ton.

Perolehan data lapangan menunjukkan bahwa untuk setiap pelepah dapat menyediakan daun kelapa sawit sejumlah 0,5 kg. Nilai tersebut setara dengan bahan kering sejumlah 658 kg/ha/tahun. Selain pelepah dan daun, perkebunan kelapa sawit dapat juga menyediakan bahan pakan yang dapat dipergunakan sebagai pengganti hijauan dalam bentuk batang kelapa sawit. Material ini dapat diperoleh pada saat tertentu, yakni pada saat peremajaan tanaman dilakukan. Oleh karena itu, penyediaan bahan pakan asal batang kelapa sawit bersifat sementara dan tidak berkelanjutan.

Produk samping pengolahan kelapa sawit

Proses ekstrai buah sawit akan menghasilkan produk utama dalam bentuk minyak sawit (palm oil), sementara produk samping yang diperoleh berbentuk tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit/solid dan bungkil kelapa sawit. LIWANG (2003) melaporkan bahwa produksi minyak sawit (palm oil) yang dapat dihasilkan untuk setiap ha adalah 4 ton per tahun. Jumlah tersebut dapat

(4)

dihasilkan dari + 16 ton tandan buah segar (JALALUDINet al., 1991a). Selanjutnya dikatakan bahwa dari setiap 1.000 kg tandan buah segar dapat diperoleh produk utama berupa minyak sawit sejumlah 250 kg dan produk samping sejumlah 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil kelapa sawit dan 180 kg serat perasan. Jumlah tersebut dapat disetarakan dengan 1.223 kg lumpur sawit, 509 kg bungkil kelapa sawit dan 2.678 kg serat perasan dan 3.386 kg tandan kosong untuk setiap ha/tahun. Atas dasar nilai tersebut maka dapat diketahui bahwa produk samping pengolahan buah kelapa sawit yang dapat dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia mencapai 2.463.000 ton lumpur sawit, 1.026.000 ton bungkil kelapa sawit, 5.394.000 ton serat perasan dan 6.818.000 ton tandan kosong.

Nilai nutrien produk samping tanaman dan olahan buah kelapa sawit

Kandungan nutrien yang terdapat dalam produk-produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit telah dilaporkan para peneliti di Malaysia (JALALUDIN et al., 1991a) dan Indonesia (ARITONANG, 1984). Produk samping pengolahan buah kelapa sawit antara lain tandang kosong, lumpur/solid, serat perasan dan bungkil kelapa sawit. Dari Tabel 1, terlihat bahwa kandungan dan kualitas nutrien produk samping tanaman kelapa sawit cukup rendah. Keadaan tersebut dapat digambarkan dengan tingginya kandungan serat kasar, namun mengandung karbohidrat dalam bentuk gula mudah larut (soluble sugars) yang cukup. Secara umum, kandungan nutrien yang terdapat dalam produk samping tanaman kelapa sawit setara dengan pakan hijauan yang terdapat di daerah tropika. Produk samping pengolahan kelapa sawit dilaporkan juga mengandung serat kasar yang cukup tinggi, namun untuk lumpur/solid dan bungkil kelapa sawit mengandung protein kasar (Tabel 1) yang berpotensi untuk dapat dijadikan bahan ransum berkualitas. Sebagaimana pada produk samping pertanian lainnya, produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit perlu diperlakukan secara khusus agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Perlakuan dimaksud dapat dilakukan dengan ketersediaan teknologi, baik secara fisik, kimia, biologis maupun kombinasi di antaranya.

KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK SAMPING

Untuk dapat dimanfaatkan secara optimal, maka produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit sebaiknya diberi perlakuan. Tujuan perlakuan tersebut adalah untuk meningkatkan nilai nutrien produk samping tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan secara fisik (cacah, giling, tekanan uap), kimia (NaOH, urea), biologis (fermentasi) ataupun kombinasi dari padanya.

Tabel 1. Komposisi nutrien produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit

Abu PK SK L BETN Ca P

Bahan/produk

samping BK % ---% BK--- GE (kal/g) Daun tanpa lidi (5)

Pelepah (4) Solid (4) Bungkil (2) Serat perasan(5) Tandan kosong (3) 46,18 26,07 24,08 91,83 93,11 92,10 13,40 5,10 14,40 4,14 5,90 7,89 14,12 3,07 14,58 16,33 6,20 3,70 21,52 50,94 35,88 36,68 48,10 47,93 4,37 1,07 14,78 6,49 3,22 4,70 46,59 39,82 16,36 28,19 -- -- 0,84 0,96 1,08 0,56 -- -- 0,17 0,08 0,25 0,84 -- -- 4461 4841 4082 5178 4684 --- ( ) jumlah contoh

(5)

Perlakuan sacara kimia dengan menggunakan 8% sodium hidroxida (NaOH), dilaporkan dapat meningkatkan kecernaan bahan kering serat perasan dari 43,2 menjadi 58% (JALALUDIN et al., 1991b). Selanjutnya juga dilaporkan bahwa penggunaannya, baik dengan sodium hidroxida hingga 12% (12 g NaOH/100g bahan) maupun dengan perlakuan fisik (tekanan uap), atupun kombinasi perlakuan NaOH dengan tekanan uap menurunkan tingkat kecernaan bahan kering serat perasan dan batang kelapa sawit (oil palm trunk). Tidak diperoleh alasan yang cukup, mengapa perlakuan tersebut dapat menurunkan tingkat kecernaan bahan kering serat perasan. Upaya mempertahankan dan meningkatkan kualitas nutrien pelepah kelapa sawit melalui proses amoniasi, pemberian molasses, perlakuan alkali, pembuatan silase, tekanan uap tinggi, peletisasi dan secara enzimatis telah dilakukan oleh para peneliti di Malaysia (WAN ZAHARIet al., 2003). Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan pendekatan-pendekatan tersebut kandungan nutrien pelepah dapat ditingkatkan.

Lumpur sawit diketahui merupakan hasil ikutan proses ekstraksi minyak sawit yang mengandung air cukup tinggi. Produk samping ini diketahui menimbulkan masalah lingkungan, sehingga upaya untuk mengatasinya telah dilakukan dengan mengurangi kandungan air lumpur sawit untuk selanjutnya dapat dipergunakan sebagai bahan pakan ternak, khususnya ternak ruminansia (WEBB et al., 1976). Produk hasil pemisahan lumpur sawit dari sebagian besar kandungan airnya dikenal dengan solid. Solid diketahui mengandung protein kasar sejumlah 14% (dasar bahan kering). Usaha untuk meningkatkan kandungan nutrien solid telah pula dilakukan dengan pendekatan fermentasi secara aerobik dan hasilnya dilaporkan meningkatkan kandungan protein kasar menjadi 43,4% dan energi menjadi 2,34 kkal EM/g (dikutip oleh YEONGet al., 1983). Hasil fermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger, telah pula dilakukan oleh para peneliti Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor, dan dilaporkan bahwa kandungan protein kasar hasil fermentasi tersebut dapat meningkatkan kandungan protein kasar dari 12,21 menjadi 24,5% (dasar bahan kering), sementara kandungan energi termetabolis meningkat dari 1,6 Kkal/g menjadi 1,7 Kkal/g (SINURAT et al., 1998). Selanjutnya dikatakan, teknologi fermentasi tersebut masih membutuhkan penyempurnaan untuk terus dapat meningkatkan nilai nutrien produk hasil fermentasi.

Tabel 2. Produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap ha

Biomasa Segar (kg) Bahan kering (%) Bahan kering (kg) Daun tanpa lidi

Pelepah Tandan kosong Serat perasan Lumpur sawit, solid Bungkil kelapa sawit

1.430 6.292 3.680 2.880 4.704 560 46,18 26,07 92,1 93,11 24,07 91,83 658 1.640 3.386 2.681 1.132 514 Total biomasa 10.011

Asumsi: * 1 ha, 130 pokok pohon

1 pohon dapat menyediakan sejumlah 22 pelepah per tahun 1 pelepah, bobot 2,2 kg (hanya 1/3 bagian yang dimanfaatkan) bobot daun per pelepah, 0,5 kg

Tandan kosong 23 % dari TBS

Prod minyak sawit 4 ton per ha per tahun (LIWANG 2003)

1000 kg TBS menghasilkan: 250 kg minyak sawit, 294 kg lumpur sawit, 180 kg serat perasan dan 35 kg bungkil kelapa sawit (JALALUDINet al., 1991a)

(6)

Bungkil kelapa sawit merupakan produk samping yang mengandung nutrien dan nilai biologis yang tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatannya tidak diragukan. Tandan kosong dan serat perasan merupakan produk samping yang berpotensi, meskipun belum banyak dimanfaatkan. Hal ini disebabkan kedua produk samping tanaman kelapa sawit mengandung serat kasar yang cukup tinggi. Upaya peningkatan nilai nutrien produk samping tersebut belum banyak dilakukan, khususnya sebagai pakan ruminansia. Hingga saat ini kedua produk tersebut masih dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos untuk dikonsumsi oleh pihak perkebunan.

PEMANFAATANNYA UNTUK TERNAK RUMINANSIA

Sebagian besar, kalau tidak dapat dikatakan seluruh produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit mengandung serat kasar yang cukup tinggi. Keadaan yang demikian mengindikasikan bahwa apabila produk samping dimanfaatkan/diberikan kepada ternak ruminansia dapat dipastikan akan menyebabkan ternak mengalami kekurangan nutrien, baik untuk kebutuhan hidup pokok maupun produksi. Menyadari kondisi tersebut, para peneliti berupaya untuk dapat meningkatkan nilai nutrien produk samping tersebut dengan berbagai cara sebagai yang dilaporkan JALALUDINet al. (1991a).

Produk samping tanaman dan olahan buah kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah yang banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepah daun, lumpur sawit dan bungkil kelapa sawit (MOHAMED et al., 1986), khususnya sebagai bahan dasar ransum ternak ruminansia (JALALUDINet al., 1991b; OSMANN, 1998; NOEL, 2003).

ABU HASSAN dan ISHIDA (1991) melaporkan bahwa pelepah kelapa sawit dapat dipergunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia, sebagai sumber pengganti hijauan atau dapat dalam bentuk silase yang dikombinasikan dengan bahan lain atau konsentrat sebagai campuran. Ditinjau dari kandungan nutrien, terlihat bahwa pelepah kelapa sawit dapat dipergunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan yang umum diberikan sebagai bahan dasar pakan. Studi awal yang dilakukan oleh ABU HASSAN dan ISHIDA (1992) pada sapi Kedah Kalantan menunjukkan bahwa tingkat kecernaan bahan kering pelepah dapat mencapai 45%. Hal yang sama juga berlaku untuk daun kelapa sawit yang secara teknis dapat dipergunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan. Namun demikian, dalam perlakuan pemanfaatan daun kelapa sawit sebagai pakan hijauan memiliki kekurangan dalam penyediaannya. Hal ini disebabkan adanya lidi daun yang dapat menyulitkan ternak untuk mengkonsumsinya. Hal tersebut dapat diatasi dengan pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan, digiling untuk selanjutnya dapat diberikan dalam bentuk pellet. WAN ZAHARI et al. (2003) telah melakukan upaya untuk dapat meningkatkan nilai nutrien dan biologis pelepah. Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan upaya pembuatan silase dengan penambahan urea atau molasses belum memberikan hasil yang signifikan, walaupun kencenderungan adanya peningkatan nilai nutrien mulai nampak. Pemanfaatanya sebagai bahan pakan ruminansia, disarankan tidak melebihi 30%, dan untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat dilakukan dengan penambahan produk samping lain dari kelapa sawit. Penampilan sapi yang diberi pelepah segar atau silase dalam bentuk kubus, cukup menjanjikan. Pemberian tepung pelepah dalam bentuk pellet tidak disarankan dengan alasan ukuran yang terlalu kecil menyebabkan waktu tinggal partikel tersebut dalam saluran pencernaan menjadi singkat. Konsekuensinya tepung tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Untuk mengoptimalkan penggunaan pelepah kelapa sawit, maka bentuk kubus (1 - 2 cm3) lebih disarankan. Selanjutnya dikatakan, bahwa pemberian pelepah sebagai bahan ransum dalam jangka waktu yang panjang menghasilkan kualitas karkas yang baik.

(7)

Pemanfaatan tandan kosong yang diketahui mengandung serat kasar tinggi dan diindikasikan dengan kandungan serat deterjen asam (ADF) sejumlah 61% memiliki nilai biologis yang rendah. Namun demikian, dalam pemanfaatannya disarankan agar dicampur dengan bahan pakan lain yang berkualitas. Jumlah yang dapat diberikan dalam ransum sapi antara 30- 50%, dengan catatan produk samping tandan kosong tersebut harus terlebih dahulu diberi perlakuan fisik seperti dicacah untuk mendapat ukuran yang layak untuk dapat dikonsumsi (+ 2 cm).

Serat perasan (palm press fiber) merupakan hasil ekstrasi munyak sawit. Kandungan protein kasar serat perasan + 6% dan serat kasar 48%. ABU HASSAN et al. (1991) melaporkan bahwa kemampuan ternak untuk mengkonsumsi cukup rendah sebagai akibat rendahnya nilai kecernaan serat perasan tersebut, yakni hanya mencapai 24 – 30%. Sebagai yang terjadi pada tandan kosong, upaya untuk meningkatkan nilai nutrien dan biologis serat perasan, berbagai upaya seperti perlakuan kimia (alkali) dan fisik (tekanan tinggi) tidak banyak memberikan manfaat yang berarti. Keadaan yang demikian menyebabkan upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan serat perasan belum dapat disarankan.

Lumpur sawit mengandung protein kasar berkisar 12-14%. Kandungan air yang tinggi menyebabkan produk samping ini kurang disenangi ternak. Kandungan energi yang rendah dengan abu yang tinggi menyebabkan lumpur sawit tidak dapat dipergunakan secara tunggal. Oleh karena itu, penggunaanya harus disertai dengan produk samping lainnya. Upaya untuk meningkatkan kandungan nutrien dan biologis melalui proses fermentasi akan memberi peluang tersendiri bagi ternak ruminansia untuk dapat memanfaatkannya secara optimal. Belum diketahui dengan pasti jumlah lumpur sawit yang cukup aman untuk dapat dimanfaatkan sebagai pakan ruminansia. Pemberian yang dilakukan dengan kombinasi bungkil kelapa sawit dapat memberikan respon yang positif terhadap ternak sapi yang mengkonsumsinya (JALALUDINet al., 1991b).

Bungkil kelapa sawit, merupakan produk samping yang berkualitas karena mengandung protein kasar cukup tinggi, yakni 16 – 18%, sementara kandungan serat kasar mencapai 16%. Pemanfaatannya yang disertai dengan produk samping lainnya perlu dilakukan untuk dapat mengoptimalkan penggunaan bungkil bagi ternak sapi.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa hampir seluruh produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan, khususnya untuk ternak ruminansia. Kelemahan salah satu produk samping dapat dilengkapi dengan menyertakan kelebihan produk samping lainnya. Seberapa banyak setiap bagian produk samping dapat dipergunakan dalam pakan lengkap, belum diketahui dengan pasti. Hasil penelitian awal yang sedang dilakkan pada ternak sapi Bali belum mampu menjawab permasalahan tersebut. Ternak sapi muda (umur + 1 thn) yang dipergunakan pada kegiatan tersebut merupakan ternak yang baru didatangkan dari daerah yang bukan berbasis perkebunan kelapa sawit. Oleh karena itu, kondisi studi saat ini baru dapat menunjukkan bahwa ternak sapi dapat memanfaatkan pelepah, solid dan bungkil kelapa sawit, sebagai bahan utama pakan dengan fase adaptasi yang cukup lama (+ 3 bulan). Hal tersebut tercermin penampilan ternak yang pada awalnya menurun untuk bulan pertama dan untuk selanjutnya kembali pada kondis semula. Mengacu pada data awal, diyakini bahwa ternak sapi dapat dikembangkan dengan mengandalkan produk samping sawit. Dengan perkataan lain pemberian pakan yang berbasis produk samping kelapa sawit dapat diandalkan sebagai sumber utama pakan sapi.

Mengacu pada nilai yang telah diuraikan di atas, maka produk samping yang dihasilkan dari tanaman dan pengolahan kelapa sawit untuk setiap satu satuan luas tanaman kelapa sawit (ha) dalam setahun adalah 10.011 kg bahan kering (Tabel 1). Dengan perkataan lain, dalam setahun jumlah produk samping/biomasa yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia

(8)

adalah 20.327.000 ton. Jika diasumsikan seluruh produk samping dari perkebunan kelapa sawit dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak ruminansia, khususnya sapi, maka jumlah ternak sapi yang dapat ditampung mencapai 6.364.618 UT (1 unit ternak/UT setara dengan 250 kg, dan konsumsi setiap 1 UT + 3,5% dari bobot hidup). Dengan perkataan lain, perkebunan kelapa sawit dapat menyediakan pakan sapi sejumlah 9.092.311 ekor sapi dewasa (1 ekor sapi dewasa setara dengan 0,7 UT).

PENUTUP

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa produk samping perkebunan kelapa sawit berpotensi untuk dapat dijadikan bahan pakan. Ketersediaan produk samping tersebut berpotensi dan dengan upaya mengoptimalkan pemanfaatannya, diyakini bahwa pemeliharaan sapi di perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan melalui pola pemeliharaan intensif (dikandangan). Untuk mendapatkan hasil yang optimal, monitoring dan evaluasi penampilan yang mendapat pakan berbasis produk samping kelapa sawit perlu terus dilakukan, utamanya pada berbagai status fisilogis yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

ABU HASSAN, O. S. ISMAEL, A.R. MOHD JAAFAR, D.NAKANISHI, N. DAHLAN and S.H. ONG. 1991. Experience and challenges in processing, treatments, storage and feeding or oil palm trunks based diets for beef production. Proc. Sem. on Oil Palm Trunks and Others Palmwood Utilization, MSAP. Kuala Lumpur, Malaysia, 231-245.

ABU HASSAN O. and M. ISHIDA. 1991. Effect of water, mallases and urea addition on oil palm frond silage quality. Fermentation, characteristics and palatability to Kedah-kelantan bulls. Proc. 3rd Int. Symp. On

The Nutrition of Herbivores. WAN ZAHARI M., Z. A.TAJUDDIN, N. ABULLAH andH.K. WONG (Eds). Penang. Malaysia. p. 94.

ABU HASSAN O. and M. ISHIDA. 1992. Status of utilization of selected fibrous crop residues and animal performance with special emphasis on processing of oil palm frond (OPF) for ruminant feed in Malaysia. Trop. Agric. Res. Series 24 :135-143.

ARITONANG, D. 1984. Pengaruh penggunaan bungkil inti sawit dalam ransum babi yang sedang tumbuh. Disertasi. Fak. Pasca Sarjana IPB. Bogor.

CHEN, C.P. 1990. Management of Forage for Animal Production under Tree Crops. In: Proc. Integrated Tree Croping and Small ruminat Production system. INIQUES L.C. and M.D. SANCHEZ (Eds). SR-CRSP. Univ. California Davis, USA. pp. 10 - 23.

CORLEY, R.H.U. 2003. Oil Palm: A major Tropical Crop. Burotrop 19: 5-7. FOLD, N. 2003. Oil Palm: Market and Trade. Burotrop. 19: 11-13

ISHIDA, M. and O. A. HASSAN. 1997. Utilization of oil palm frond as cattle feed. JARQ 31: 41-47.

JALALUDIN, S., Y.W. Ho, N. ABDULLAH and H. KUDO. 1991a. Strategies for Animal Improvement In Southeast Asia. In: Utilization of Feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop. Agric. Res. Series 25 pp. 67-76.

JALALUDIN, S., Z.A. JELAN, N. ABDULLAH and Y.W. HO. 1991b. Recent Developments in the Oil Palm By-Product Based Ruminant Feeding System. MSAP, Penang, Malaysia pp. 35-44.

(9)

KAWAMOTO, H., M WAN ZAHARI, N.I. S. MOHD M.S. MOHD ALI, Y ISMAIL and S. OSHIO. 2001. Palatability, digestibility and voluntary intake of Processed oil palm fronds in cattle. JARQ. 35 (3):195-200.

LIWANG, T. 2003. Palm Oil mill effluent management. Burotrop Bull., 19: 38.

MOHAMAD, H., H.A. HALIM and T.M. AHMAD. 1986. Availability and potential of oil palm trunks and fronds up to the year 2000. Palm Oil Research Institute of Malaysia (PORIM) 20:1-17.

NOEL, J.M. Processing and by-products. Burotrop Bull. 19:8.

SASAKI, M. 1992. The Advancement of Livestock Production with Special Reference to Feed Resources Development in the Tropics -Current Situation and Future Prospects. In: Utilization of Feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop. Agric. Res. Series 25: 67-76. SINURAT A.P., T. PURWADARIA, J. ROSIDA, H. SURACHMAN, H. HAMID dan I.P. KOMPIANG. 1998. Pengaruh

suhu ruang fermentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi Lumpur sawit. JITV 3: 225-229.

STUR, W.W. 1990. Methodology for Establishing Selection Criteria for Forage Species valuation. In: Proc. Integrated Tree Croping and Small Ruminat Production System. INIQUES L.C. and M.D. SANCHEZ (Eds). SR-CRSP. Univ.California Davis, USA. pp. 3 - 9.

YEONG S.W., T.K. MUKHERJEE, M. FAIZAH and M.D. AZIZAH. 1983. Effect of palm oil by-product-based diets on reproductive performance of layers including residual effect on offspring. Phil. J. Vet. Anim.Sci. 9(14): 93-100.

ZAINUDIN, A.T. and M.W. ZAHARI. 1992. Research on nutrition and feed resources to enhance livestock production in Malaysia. Proc. Utilization of feed resources in relation to nutrition and physiology of ruminants in the tropics. Trop. Agric. Res. Series 25: 9-25.

ZARATE, A.V. 1996. Breeding strategies for marginal regions in the tropics and subtropics. Res. Dev. 43/44: 99-118.

WAN ZAHARI, M., O.A. HASSAN, H.K. WONG and J.B. LIANG. 2003. Utilization oil palm frond-based diet for beef cattle production in Malaysia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 16 (4): 625-634.

WEBB, B.H, R.I. HUTAGALUNG and S.T. CHEAM 1976. Palm oil mill waste as animal feed-processing and utilization. Int. Symp. Palm Oil Processing and Marketing, Kuala Lumpur. pp. 125-146.

DISKUSI Pertanyaan:

1. Mungkinkah ternak kambing/domba diintegrasikan dengan perkebunan kelapa sawit

Jawaban:

1. Sebagai ternak ruminansia, mungkin sekali. Namun demikian beberapa aspek teknis manajemen dalam perkebunan kelapa sawit perlu mendapat pertimbangan tersendiri. Pada areal tanaman kelapa sawit yang masih muda atau belum berproduksi, tersedia vegetasi alam yang cukup banyak. Untuk menghilangkan vegetasi alam tersebut biasanya dilakukan pemberantasan dengan herbicida. Oleh karena itu, bila pemeliharaan ternak dilakukan dengan system penggembalaan, keadaan tersebut harus dipertimbangkan disamping akan merusak tanaman

(10)

utama. jika tidak dilakukan dengan tata laksana yang benar. Dalam keadaan yang demikian sistem pemeliharaan ‘cut and carry’, disarankan.

Gambar

Tabel 1. Komposisi nutrien produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit
Tabel 2. Produk samping tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap ha

Referensi

Dokumen terkait

Jika Carry Flag = 0, maka program akan melompat ke alamat yang disebutkan dalam perintah; jika tidak, maka program akan melanjutkan ke baris berikutnya (tidak terjadi

Keluarga Tn! ) mengatakan bahwa Tn! ) (kepala keluarga# terkena darah tinggi dan 9ertigo! Tn ) tidak boleh makan terlalu  ban$ak garam jeroan jengkol dan kopi! Keluarga

ada. Namun, penyelesaian tersebut tetap dilaksanakan guna mencapai keadilan restoratif. Dari dua karya tulis di atas, maka penelitian yang dilakukan oleh penulis secara

Madrasah diniyah yang selama ini menjadi lembaga formal pesantren sangat membantu dalam memberikan pemahaman keagamaan dan pembentukan ahklak yang karimah dengan kurikulum yang

Untuk interval 3 jam yang ke 27 sample 3 O.AT yang ditunjukkan pada gambar 4.32, perubahan yang terjadi yaitu semen sedikit berwarna lebih gelap, butiran semen dan

< 80 Lapisan 7 Pasir kerakalan berwarna abu-abu gelap masif, terdiri atas fragmen andesit berwarna kehitam-hitaman dan berstruktur skoria, berbentuk agak

Para penumpang yang memiliki tiket dan/atau telah membeli melalui sistem online dapat check- in melalui telepon dengan Call Center Garuda Indonesia. Mobile Check-in saat ini