BAB I PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG A. Sistem Evaluasi
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengedalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara ( UU No 20 tahun 2003). Definisi ini menunjukkan bahwa pendidikan mencakup ranah pengetahuan, keterampilan, dan afektif, yang kuncinya adalah mengembangkan potensi peserta didik menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat.
Pendidikan berlangsung pada suatu sistem pendidikan, yang didalamnya ada komponen masukan, proses, dan hasil. Komponen masukan meliputi semua ketentuan tentang pendidikan, peserta didik, pendidik, bahan ajar, sarana prasarana pendidikan, dan pengelolaannya. Semua komponen tersebut bekerja dalam suatu sistem, yang pemeran utamanya adalah kepala sekolah dan pendidik bila di sekolah. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh sistem dan pelaksananya. Sistem akan beroperasi secara optimal apabila komponen pelaksana memanfaatkan semua komponen yang ada secara optimal. Untuk itu semua pengembang dan pelaksana pendidikan harus bekerja secara sinergis dan serempak untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermasyarakat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala (PP 19 tahun 2005).
Untuk mengetahui pencapaian tujuan pendidikan perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan. Evaluasi terhadap sistem pendidikan mencakup semua komponen pendidikan dan pelaksanaannya. Beroperasinya komponen pendidikan ditentukan oleh pengelola pendidikan. Pada tingkat pusat adalah Menteri pendidikan dan kebudayaan, di tingkat provinsi adalah gubernur, di tingkat kabupaten/kota adalah bupati dan walikota, di tingkat satuan pendidikan adalah kepala sekolah. Selain itu untuk menjamin beroperasinya sistem pendidikan nasional dibentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (PSDMP PMP), Badan Akreditasi Sekolah/ Madrasah (BANSM), Badan Akreditasi Perguruan Tinggi, Dewan Pendidikan di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten/kota, Komite sekolah di tingkat satuan pendidikan. Perangkat untuk melaksanakan pendidikan yang bermutu tampak cukup lengkap. Permasalahannya adalah apakah tugas pokok dan fungsi badan dan lembaga tersebut sudah sinkron satu dengan yang lain, dan bagaimana koordinasi kegiatan di semua badan dan lembaga tersebut. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan nasional.
B. Isu Sekitar Ujian Nasional
Pemerintah telah menetapkan untuk tetap melaksanakan Ujian Nasional (UN) bagi satuan pendidikan dasar dan menengah pada tahun pelajaran 2011/2012 ini. Bahkan Kementerian Nasional telah menetapkan sistem penyelenggaraan UN sama dengan tahun lalu, termasuk pembobotan nilai kelulusannya. Perubahan akan dilakukan hanya pada upaya untuk meniadakan atau meminimalisir kecurangan dalam manajemen penyelenggarannya.
Kebijakan pemerintah ini, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, telah melahirkan pro kontra dengan berbagai sudut pandang. Pihak yang pro, pada dasarnya memandang UN sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Sementara yang kontra, pada intinya menganggap UN merupakan kebijakan yang kredibilitasnya masih diragukan dan mempersoalkan fungsinya sebagai penentu kelulusan bagi peserta didik.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, termasuk mengatur tentang evaluasi untuk peningkatan mutu pendidikan. Evaluasi tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan pada Bab X tentang Standar Penilaian Pendidikan. Standar penilaian tersebut kemudian diperjelas lagi dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Dalam PP dan Permendiknas itu, ditegaskan bahwa penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh pendidik satuan pendidikan dan pemerintah. UN merupakan bentuk penilaian yang dilakukan oleh pemerintah. Bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyelenggaraannya dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Penyelenggaraan UN dilaksanakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk melakukan pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Kebijakan UN yang selalu menjadi fokus pembicaraan yang melahirkan pro kontra adalah terletak pada penyelenggaraannya yang belum sesuai dengan apa yang diamatkan oleh peraturan tertulis tersebut, yang harus diselenggarakan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Selain itu, isi PP dan Permendiknas yang selalu mendapat sorotan tajam dari masyarakat adalah adanya ketentuan yang mengatur bahwa hasil UN merupakan penentu kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan.
UN jelek dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pemerintah daerah secara langsung, maupun tidak langsung telah memberikan tekanan agar penyelenggaraan UN sesuai dengan garis kebijakannya. Tekanan (intervensi) politis ini menyebabkan pelaksanaan UN di satuan pendidikan tidak sesuai dengan rambu-rambu (pedoman) yang telah ditetapkan. Mencari keselamatan diri dan kelompok menjadi pilihan, dengan cara yang tidak sesuai aturan baku.
Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan UN belum mencerminkan prinsip keadilan. Ketidakadilan tersebut juga terlihat dari adanya persamaan soal UN untuk semua sekolah. Hal ini menjadi sebuah ironi, mengingat satuan-satuan pendidikan di setiap wilayah, kota sampai desa tidak memiliki sarana fisik yang sama, dan kualitas tenaga pendidikan yang berbeda. Di kota-kota pada umumnya satuan pendidikan memiliki fasilitas pendukung yang lengkap dan tenaga guru dengan kualitas yang baik melimpah. Sementara satuan pendidikan di pelosok-pelosok kondisi fasilitas dan tenaga pendidiknya kekurangan. Bahkan ada sekolah yang kondisinya teramat parah dan memperihatinkan, sehingga mati enggan hidup pun tak mau. Fakta ini apabila disamakan dalam pelaksanaan UN, maka keadilan itu tidak pernah ada.
Dengan munculnya kasus-kasus kebocoran dokumen UN, serta tidak meratanya falisitas dan tenaga pendidik untuk semua satuan pendidikan, maka akuntabilitas penyelenggaraan UN patut dipertanyakan. Alangkah tidak ironisnya nilai UN peserta didik yang ada di kota lebih rendah dengan yang ada di pelosok pedesaan. Alangkah lucunya satuan pendidikan yang proses pembelajarannya Senin Kamis (tidak efektif) mendapatkan peringkat sepuluh besar hasil UN, daripada sekolah yang proses pembelajarannya tidak diragukan. Hasil UN menjadi kurang dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya, apabila kita melihat kenyataan bahwa lulusan dari satuan pendidikan yang memperoleh nilai UN rata-rata tinggi dan mampu meluluskan 100 % tidak bisa diterima di sekolah-sekolah favorit atau tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi. Keraguan ini bisa juga timbul dari cara pembobotan nilai kelulusan peserta didik, yang ditetapkan dengan rasio 60 % UN dan 40 % Ujian Sekolah (US). Ini akan mendorong terjadinya manipulasi nilai peserta didik, sehingga yang bodoh pun bisa lulus. Dengan cara ini, satuan pendidikan bisa jadi akan menaikkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) secara serampangan, tanpa didasarkan pada kenyataan yang ada di satuan pendidikan.
tidak lulus, mendorong mereka untuk mencari cara agar bisa lulus, walaupun cara tersebut bertentangan dengan aturan yang berlaku. Seharusnya hasil UN tidak ikut menentukan kelulusan peserta didik, tetapi dijadikan sebagai alat untuk melihat, memetakan dan meningkatkan mutu pendidikan. Mengingat pula bahwa yang paling mengetahui keadaan siswa, baik prestasi maupun kepribadiannya adalah guru-guru yang ada di setiap satuan pendidikan. Seharusnya guru dan satuan pendidikan diberikan hak penuh untuk menentukan kelulusan sesuai dengan fungsi dan tanggungjawabnya.
Berangkat dari kenyataan di atas, maka sistem penyelenggaraan UN yang sekarang perlu dievaluasi secara menyeluruh, dan bila perlu diganti dengan sistem yang lain, misalnya kembali menggunakan sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) di era tahun 1980-an dan 1990-an. Kita belum terlambat untuk merubah kebijakan yang telah ditetapkan, mengingat penyelenggaraan UN masih cukup panjang. Perlu kita ingat kembali, bahwa pada saat pemberlakuan sistem EBTANAS, tidak pernah seheboh seperti sistem penyelenggaraan UN dewasa ini. Sistem lama ini tidak mengebiri hak-hak guru dan sekolah, mereka diberikan hak yang besar untuk menyelenggarakannya, hak penuh dalam mengoreksi hasilnya, dan memiliki hak penuh pula dalam menentukan kelulusan peserta didik, berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan. Sedangkan hasil EBTANAS yang murni tidak dijadikan penentu kelulusan, tetapi dijadikan sebagai syarat untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan begitu penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi lebih obyektif, berkeadilaan dan akuntabel.
II. BATASAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi batasan masalah dalam penulisan makalah ini adalah :
a. Sistem evaluasi pendidikan yang ada di Indonesia dan pelaksanaannya. b. Isu-isu yang berkembang dalam pelaksanaan ujian nasional.
III. RUMUSAN MASALAH
Maka rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah :
a. Bagaimanakah sistem evaluasi pendidikan yang ada di Indonesia dan pelaksanaannya?
BAB II PEMBAHASAN
SISTEM EVALUASI DAN ISU SEPUTAR UJIAN NASIONAL I. STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN
Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas : Penilaian hasil belajar oleh pendidik,
Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan
Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas: Penilaian hasil belajar oleh pendidik, dan
Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi.
Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud di atas diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berikut ini akan dipaparkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan :
A. Pengertian
1. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. 2. Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk
menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.
3. Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan, melakukan perbaikan pembelajaran, dan menentukan keberhasilan belajar peserta didik.
4. Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih.
6. Ulangan akhir semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut.
7. Ulangan kenaikan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik di akhir semester genap untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester genap pada satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan KD pada semester tersebut.
8. Ujian sekolah/madrasah adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan. Mata pelajaran yang diujikan adalah mata pelajaran kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan dalam ujian nasional dan aspek kognitif dan/atau psikomotorik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian yang akan diatur dalam POS Ujian Sekolah/Madrasah.
9. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan.
10. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas ambang kompetensi.
B. Prinsip Penilaian
Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur.
3. Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
4. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
5. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
6. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.
7. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.
8. Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan.
9. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.
C. Teknik dan Instrumen Penilaian
1. Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik.
2. Teknik tes berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja.
3. Teknik observasi atau pengamatan dilakukan selama pembelajaran berlangsung dan/atau di luar kegiatan pembelajaran.
4. Teknik penugasan baik perseorangan maupun kelompok dapat berbentuk tugas rumah dan/atau proyek.
6. Instrumen penilaian yang digunakan oleh satuan pendidikan dalam bentuk ujian sekolah/madrasah memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, dan bahasa, serta memiliki bukti validitas empirik.
7. Instrumen penilaian yang digunakan oleh pemerintah dalam bentuk UN memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, bahasa, dan memiliki bukti validitas empirik serta menghasilkan skor yang dapat diperbandingkan antarsekolah, antardaerah, dan antartahun.
D. Mekanisme dan Prosedur Penilaian
1. Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah.
2. Perancangan strategi penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat penyusunan silabus yang penjabarannya merupakan bagian dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
3. Ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas dilakukan oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
4. Penilaian hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan pada UN dan aspek kognitif dan/atau aspek psikomotorik untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui ujian sekolah/madrasah untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan.
5. Penilaian akhir hasil belajar oleh satuan pendidikan untuk mata pelajaran kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan ditentukan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh pendidik.
6. Penilaian akhir hasil belajar peserta didik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh pendidik dengan mempertimbangkan hasil ujian sekolah/madrasah. 7. Kegiatan ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan langkah-langkah : (a)
(d) mengolah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah, dan (e) melaporkan dan memanfaatkan hasil penilaian.
8. Penilaian akhlak mulia yang merupakan aspek afektif dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, sebagai perwujudan sikap dan perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, dilakukan oleh guru agama dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan.
9. Penilaian kepribadian, yang merupakan perwujudan kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga masyarakat dan warganegara yang baik sesuai dengan norma dan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, adalah bagian dari penilaian kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian oleh guru pendidikan kewarganegaraan dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan.
10. Penilaian mata pelajaran muatan lokal mengikuti penilaian kelompok mata pelajaran yang relevan.
11. Keikutsertaan dalam kegiatan pengembangan diri dibuktikan dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh pembina kegiatan dan kepala sekolah/madrasah.
12. Hasil ulangan harian diinformasikan kepada peserta didik sebelum diadakan ulangan harian berikutnya. Peserta didik yang belum mencapai KKM harus mengikuti pembelajaran remedi.
13. Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan disampaikan dalam bentuk satu nilai pencapaian kompetensi mata pelajaran, disertai dengan deskripsi kemajuan belajar.
14. Kegiatan penilaian oleh pemerintah dilakukan melalui UN dengan langkah-langkah yang diatur dalam Prosedur Operasi Standar (POS) UN.
15. UN diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerjasama dengan instansi terkait.
16. Hasil UN disampaikan kepada satuan pendidikan untuk dijadikan salah satu syarat kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dan salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.
pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
E. Penilaian oleh Pendidik
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut :
1. Menginformasikan silabus mata pelajaran yang didalamnya memuat rancangan dan kriteria penilaian pada awal semester.
2. Mengembangkan indikator pencapaian KD dan memilih teknik penilaian yang sesuai pada saat menyusun silabus mata pelajaran.
3. Mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan teknik penilaian yang dipilih.
4. Melaksanakan tes, pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang diperlukan. 5. Mengolah hasil penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil belajar dan kesulitan
belajar peserta didik.
6. Mengembalikan hasil pemeriksaan pekerjaan peserta didik disertai balikan/komentar yang mendidik.
7. Memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran.
8. Melaporkan hasil penilaian mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada pimpinan satuan pendidikan dalam bentuk satu nilai prestasi belajar peserta didik disertai deskripsi singkat sebagai cerminan kompetensi utuh.
9. Melaporkan hasil penilaian akhlak kepada guru Pendidikan Agama dan hasil penilaian kepribadian kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan sebagai informasi untuk menentukan nilai akhir semester akhlak dan kepribadian peserta didik dengan kategori sangat baik, baik, atau kurang baik.
F. Penilaian oleh Satuan Pendidikan
1. Menentukan KKM setiap mata pelajaran dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, karakteristik mata pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik.
2. Mengkoordinasikan ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
3. Menentukan kriteria kenaikan kelas bagi satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket melalui rapat dewan pendidik.
4. Menentukan kriteria program pembelajaran bagi satuan pendidikan yang menggunakan sistem kredit semester melalui rapat dewan pendidik.
5. Menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik.
6. Menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik dan nilai hasil ujian sekolah/madrasah.
7. Menyelenggarakan ujian sekolah/madrasah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah sesuai dengan POS Ujian Sekolah/Madrasah bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.
8. Melaporkan hasil penilaian mata pelajaran untuk semua kelompok mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada orang tua/wali peserta didik dalam bentuk buku laporan pendidikan.
9. Melaporkan pencapaian hasil belajar tingkat satuan pendidikan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota.
10. Menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik sesuai dengan kriteria:
a. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran.
b. Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran estetika; dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan. c. Lulus ujian sekolah/madrasah.
11. Menerbitkan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) setiap peserta didik yang mengikuti Ujian Nasional bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.
12. Menerbitkan ijazah setiap peserta didik yang lulus dari satuan pendidikan bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.
G. Penilaian oleh Pemerintah
1. Penilaian hasil belajar oleh pemerintah dilakukan dalam bentuk UN yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. UN didukung oleh suatu sistem yang menjamin mutu dan kerahasiaan soal serta pelaksanaan yang aman, jujur, dan adil.
3. Dalam rangka penggunaan hasil UN untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, Pemerintah menganalisis dan membuat peta daya serap berdasarkan hasil UN dan menyampaikan ke pihak yang berkepentingan.
4. Hasil UN menjadi salah satu pertimbangan dalam pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. 5. Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan kelulusan
peserta didik pada seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
6. Hasil UN digunakan sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan yang kriteria kelulusannya ditetapkan setiap tahun oleh Menteri berdasarkan rekomendasi BSNP.
(http://www.bsnp-indonesia.org)
Evaluasi sebagai Media Pendidikan dan Sarana Umpan Balik
Hampir tidak ada orang yang menolak bahwa diselenggarakannya suatu sistem pendidikan adalah dapat dihasilkannya manusia terdidik yang dewasa secara intelektual, moral, kepribadian, dan kemampuan. Namun yang sering disoroti orang seperti yang akhir-akhir ini berlangsung adalah dimensi penguasaan pengetahuan peserta didik yang belum tentu berdampak kepada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, kematangan moral dan karakter.
Adalah keyakinan profesional dan akademik bahwa sistem evaluasi yang diterapkan akan menentukan keberhasilan kita mencapai tujuan pendidikan nasional. Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar yang dilakukan pada akhir jenjang satuan pendidikan seperti UAN (Ujian Akhir Nasional) tidak dapat diharapkan dapat berdampak terhadap efektifitas tercapainya tujuan pendidikan nasional. Tidak lain karena menurut hasil penelitian Benyamin Bloom tingkah laku belajar peserta didik akan dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik tentang apa yang akan diujikan.
Dengan demikian kalau yang akan diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihafal, dengan sendirinya peserta didik hanya akan belajar menguasai materi yang akan diujikan. Akibatnya peserta didik akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar meneliti, belajar menulis makalah, belajar mengapresiasi karya sastra, belajar berdemokrasi dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya. Agar peserta didik sejak memasuki suatu jenjang pendidikan secara terus menerus dan intensif melakukan proses pembelajaran yang bermakna bagi tercapainya berbagai tujuan pendidikan, perlu dikembangkan dan dilaksanakan evaluasi secara komprehensif, terus-menerus dan obyektif.
Model evaluasi yang merupakan bagian dari strategi pembelajaran ini dari sudut pandang teori belajar sosial (social learning theory) akan dapat menumbuhkan sikap dan kemampuan yang diharapkan, seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, belajar secara terus menerus, dan yang sukar untuk dikembangkan melalui model evaluasi hasil belajar yang tradisional yang dilakukan pada akhir satuan jenjang atau kelas seperti "ulangan umum" pada akhir semester dan hasilnya, tanpa dipengaruhi hasil dan kegiatan belajar harian dimasukkan ke dalam rapot atau Ujian Akhir Nasional (UAN) yang dilakukan pada akhir jenjang pendidikan dan hasilnya menentukan kelulusan seseorang. Model terakhir ini dari sudut pandang teori belajar sosial, dampak negatifnya lebih banyak daripada dampak positifnya.
Untuk kepentingan pengelolaan pendidikan secara nasional disadari perlunya secara periodik diadakan evaluasi hasil belajar tingkat nasional atau lebih tepat disebut "National Assesment". Fungsinya sebagai bagian dari manajemen pendidikan secara nasional adalah untuk memperoleh gambaran tentang peta mutu pendidikan nasional sebagai alat umpan balik guna mendiagnosis faktor- faktor penyebab dari keberhasilan dan ketidakberhasilan suatu sekolah atau daerah dalam membantu peserta didik dalam mencapai tingkatan hasil belajar yang diharapkan. Kegiatan semacam ini sangat penting dan bermakna bila dimanfaatkan untuk melakukan tindak lanjut berupa upaya perbaikan, pembaharuan, dan berbagai kegiatan untuk meratakan mutu pendidikan nasional sesuai dengan standar yang ditetapkan. Kedua model evaluasi yang diuraikan dalam makalah ini adalah yang secara langsung terkait dengan kurikulum dan proses pembelajaran. Disamping itu kita mengenal dua lainnya, jenis evaluasi konteks, dan evaluasi masukan yang secara menyeluruh perlu dilakukan dalam proses pengambilan keputusan pendidikan. (Soedijarto, 2004)
II. ISU SEPUTAR UJIAN NASIONAL A. Sosialisasi UN
Kementerian Agama, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten/Kota, dan wartawan. Materi sosialisasi meliputi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 tahun 2011 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional, Prosedur Operasional Standar (POS) UN, kisi-kisi UN, dan daya serap UN tahun 2011. (http://www.bsnp-indonesia.org)
Djemari Mardapi anggota BSNP sekaligus sebagai Ketua Penyelenggara UN Tingkat Pusat mengatakan bahwa tolak ukur kesuksesan penyelenggaraan UN adalah kualitas, kredibilitas, dan aksebtabilitas. UN merupakan suatu proses yang harus dilewati oleh anak didik.
Kisi-kisi UN, lanjut Djemari, merupakan bagian yang penting untuk diketahui guru-guru dan peserta UN. "Untuk mensinergikan antara kurikulum yang diajarkan di sekolah/madrasah dan materi yang diujikan maka dibuat kisi-kisi UN", ungkap Djemari Mardapi. Oleh karena itu, tambah Djemari Mardapi, perlu dipastikan setiap satuan pendidikan telah menerima kisi-kisi UN tersebut.
Direktorat SMP, SMA, dan SMK telah melakukan sosialisasi UN dengan target yang lebih luas lagi karena sosialisasi yang dilakukan BSNP hanya terbatas sampai Dinas Pendidikan Provinsi. Dari Direktorat Pembinaan SMA dan Direktorat Pembinaan SMP dilaporkan bahwa informasi tentang UN telah diupload di website kedua direktorat tersebut sehingga dapat diakses oleh guru, siswa, sekolah/madrasah dan masyarakat umum.
Direktorat Pembinaan SMA telah melakukan pembinaan kepada 60 sekolah untuk persiapan UN, sedangkan Direktorat Pembinaan SMP selain memuat kisi-kisi UN di website, juga mengirimkannya ke 1.800 sekolah. Selain itu Direktorat Pembinaan SMP dengan mempertimbangkan hasil UN tahun lalu dan daerah yang terisolir, telah melakukan pelatihan kepada guru-guru SMP, dan bedah soal UN tahun lalu. Informasi dari Direktorat Madrasah Kemenag mengatakan sosialisasi dilaksanakan akhir Desember 2011 dengan mengundang BSNP dan Puspendik dan dihadiri oleh Kanwil Kemenag dari 33 provinsi. Pada saat pemantauan UN, pihak Kemenag memohon BSNP juga turut memantau pelaksanaan UN di madrasah (tidak hanya di sekolah saja).
nilai UN, tidak ada UN Ulangan, lima paket soal untuk setiap ruang ujian, dan kisi-kisi UN", ungkap Sukemi.
Masih bagian dari sosialisasi, tambah Sukemi, adalah pembacaan ikrar UN yang dikemas dalam acara apel atau upacara di lapangan/alun-alun. Peserta apel/upacara adalah pimpinan perguruan tinggi, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, Kanwil Kemenag, Kepala sekolah/madrasah, guru, siswa, tenaga kependidikan, kepolisian, dan orang tua (Komite Sekolah/Madrasah). "Pelaksanaan kegiatan ini direncanakan dari tanggal 11 - 25 Februari 2012 dengan menyesuaikan jadwal kegiatan Menteri, Wakil Menteri, Kepala Balitbang, dan para Dirjen dalam lingkungan Kemdikbud", ungkap Sukemi seraya menambahkan acara tersebut dilaksanakan di delapan wilayah, yaitu Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Barat.
B. Perbaikan Sistem
Ujian Nasional tahun ini sudah mengalami perbaikan yang sangat signifikan. Perbaikan ini dilakukan karena pemerintah mendengar masukan dari masyarakat, dan juga karena kebutuhan sistem secara internal agar UN bisa berjalan dengan baik sehingga bisa menilai dan mengukur apa yang seharusnya dinilai dan atau diukur. Dengan menggunakan terminologi ilmiah, perbaikan itu semua dilakukan agar UN memiliki reliabilitas yang tinggi, serta memiliki validitas internal dan eksternal yang baik. Perbaikan itu meliputi antara lain :
a. Sejak jumlah mata pelajaran yang diujikan, dari hanya tiga mata pelajaran : Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, menjadi lebih dari tiga, bahkan lima dan/atau enam mata pelajaran yang ada pada kurikulum sekolah.
b. Sejak dari penentuan kelulusan yang hanya menggunakan nilai tunggal UN itu sendiri, akhirnya menggabungkan nilai UN (60%) dan nilai Ujian Sekolah (40%) sebagai syarat kelulusan.
Terkait dengan penggandaan naskah soal UN, Muhammad Nuh mengatakan bahwa mulai tahun 2012 penggandaan naskah soal UN akan dilakukan secara sentralisasi. "Tahun yang lalu penggandaan naskah soal diserahkan ke masing-masing penyelenggara UN tingkat provinsi, tetapi pada tahun 2012 pencetakan naskah soal UN akan disentralisasikan", ungkap Mendikbud pada saat peluncuran UN di Jakarta (29/11/ 2011) dengan memberikan alasan semakin banyak jumlah percetakan, semakin susah melakukan pengawasannya.
Untuk menjaga kerahasiaan dan memastikan pendistribusian naskah soal UN tepat waktu, penyelenggara UN Tingkat Pusat bersama Perguruan Tinggi Negeri Koordinator UN melakukan pengawasan selama proses pencetakan dan pendistribusian naskah soal UN. "Keterlibatan Dinas Pendidikan Provinsi terbatas dalam penyediaan data peserta UN dan tidak dalam pengawasan proses pencetakan", ungkap Djemari Mardapi dalam rapat Pleno BSNP di Jakarta (31/1/2012) seraya menambahkan Polri tetap dilibatkan dalam pengamanan naskah soal UN. (Vol. VII/No. 1/Maret 2012 Buletin BSNP )
Data yang ada di Balitbang Dikbud per 26 Februari 2012, telah menunjukkan sebanyak 18.042 sekolah SMA/MA dengan jumlah siswa sebanyak 1.538.539 dari jurusan IPA, IPS, Bahasa, dan Agama, yang akan mengikuti UN tahun ini. Tidak itu saja. Untuk SMK sudah terdata sebanyak 9.098 sekolah dengan jumlah siswa 1.052.973 anak. Belum lagi yang ada di jenjang SMP/MTs, sebanyak 49.418 sekolah yang mencakup siswa sebanyak 3.732.649 anak. Jika sekolah dan siswa kita jumlahkan tanpa memperhatikan jenjang dan jenis pendidikan, maka UN tahun ini akan diikuti oleh 76.558 sekolah, dengan jumlah siswa sebanyak 6.324.611 anak. Sungguh merupakan kegiatan yang raksasa, mirip jumlahnya dengan kegiatan pilkada sebuah Kabupaten/Kota. Oleh karena itu semua kepala dinas pendidikan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota harus memiliki persiapan yang baik dan matang dengan berkoordinasi secara efisien dan efektif dengan institusi terkait seperti kepolisian, Kemdikbud, perguruan tinggi, dan sekolah sekolah di daerahnya masing masing.
C. Jujur dan Berprestasi
merupakan nilai universal yang patut dan harus dimiliki oleh semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan UN, antara lain: siswa, guru, pengawas, orangtua, penyelenggara, dan pemerintah daerah sekalipun. Kementerian Dikbud memiliki data yang sangat menarik mengenai indeks kejujuran masing masing sekolah, yang kalau diagregatkan mencerminkan jujur tidaknya suatu pemerintah daerah dalam melaksanakan UN. Sangat masuk akal dan merupakan ketegori imperatif jika kejujuran menjadi pilar penting dalam penyelenggaraan UN, karena mulai tahun ini ada perbaikan signifikan dalam penyelenggaraan UN terkait dengan integrasi pendidikan menengah dengan pendidikan tinggi, nilai UN akan dan bisa digunakan sebagai tiket untuk memasuki perguruan tinggi. Jumlah mahasiswa yang direkrut di peguruan tinggi negeri tahun ini, paling tidak sebanyak 60% dari mahasiswa baru itu harus didasarkan pada nilai UN para siswa. Oleh karena itu UN tahun ini harus jujur agar dalam jangka panjang tidak merusak kualitas perguruan tinggi kita.
Karena harus menjunjung tinggi kejujuran, maka pemerintah daerah juga harus ikut bertanggung jawab dan mengkampanyekan pentingnya kejujuran dalam pelaksanaan UN di daerahnya masing masing-masing. Sudah bukan jamannya lagi jika seorang kepala daerah memberi instruksi dan tekanan kepada Dinas Pendidikan agar berbuat apa saja demi tingkat kelulusan 100%, yang berakibat pada ketidakjujuran penyelenggaraan di tingkat sekolah dengan menempuh berbagai cara seperti: menyediakan joki, mengubah lembar jawaban, mebocorkan kunci jawaban, dsb. Begitu juga di tingkat ujian sekolah, juga harus menjamin nilai kejujuran. Jangan melakukan mark up nilai ujian sekolah, dengan motif negatif, agar jika digabungkan bersama nilai UN memiliki tingkat kelulusan yang tinggi. Kalau hal ini terjadi, maka kejujuran kurang bisa ditegakkan di sekolah itu sendiri. Data di tingkat nasional memiliki kecenderungan sekolah menilai terlalu longgar terhadap ujian sekolah. Buktinya selalu ada perbedaan nilai secara signifikan antara ujian sekolah dan UN. Terlebih-lebih sekolah yang kurang bermutu selalu suka "mentraktir" nilai lebih banyak dibandingkan dengan sekolah yang bermutu. Praktek seperti ini harus segera ditinggalkan mulai tahun ini. Sekolah yang baik ialah sekolah yang berani tidak meluluskan para siswanya yang memang tidak lulus. Inilah makna kejujuran dalam praksis pendidikan di tingkat sekolah. Tahun ini sekolah dengan kepemimpinan kepala sekolahnya masing-masing harus melaksanakan UN dengan semangat: Jujur dan Prestasi.
D. Pro dan Kontra atas Ujian Nasional
Ramainya pemberitaan atas ujian nasional (UN) saat ini menandakan adanya permasalahan didalamnya. Sebagai negara yang menerapkan sistem standar nasional, pemerintah sangat berkepentingan dengan penilaian kemampuan siswa terhadap konten standar, sebagai paket what student need to know and be able to do.
Meskipun Departemen Pendidikan Nasional telah menerapkan aturan yang ketat dalam teknis pelaksanaan, dalam praktiknya, problem demi problem bermunculan sehingga memunculkan keraguan banyak pihak akan efektivitas alat pengukur kemampuan tersebut. Selain teknis pelaksanaan, permasalahan sebenarnya juga terletak pada adanya ketidaksepakatan tentang ujian nasional sebagai penentu kelulusan, yang mengundang sikap pro dan kontra. (Toto Sudarmongi, 2012)
1. Mengapa muncul kelompok yang menolak keberadaan UN?
Telah muncul berbagai tanggapan dan pendapat yang beragam dari berbagai kalangan tentang UN yang dilansir oleh sejumlah media masa. Di antara mereka ada yang secara tegas menolak keberadaan UN dalam bentuk apapun dan mengantinya dengan ujian sekolah. Argumentasi yang dapat dikemukakan sebagai penolakan UN antara lain:
a. Dilihat dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 8 ayat 1: "Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemampuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan".
b. Karena sifat ujiannya nasional, maka bidang kajian yang di-UN-kan dianggap lebih penting daripada pelajaran lain, sehingga sebagian besar upaya sekolah hanya ditujukan untuk mengantarkan peserta didik mencapai keberhasilan dalam UN. Padahal materi UN hanya mencakup aspek intelektual, belum mampu mengukur seluruh aspek pendidikan secara utuh. Dalam hal ini telah terjadi malpraktik dengan kesan penyempitan terhadap makna dan hakekat pendidikan yang utuh menjadi hanya menyangkut aspek kognitif untuk beberapa pelajaran yang diujikan. Kecakapan motorik, sosial, emosional, moral atau budi pekerti, dan aspek spiritual dianggap diabaikan.
tetapi tidak lulus dalam UN yang hanya dilaksanakan dalam beberapa menit dan beberapa mata pelajaran. Padahal seharusnya pemerintah introspeksi diri bahwa ketidaklulusan anak didik adalah cerminan dari ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Jangan kesalahan itu dibebankan kepada para siswa.
d. Kenyataannya sekarang ini di lapangan, di sekolah-sekolah ada yang mulai berkiblat pada bimbingan les. Para siswa lebih percaya pada bimbingan les daripada kepada guru mereka sendiri, yang mengajar selama tiga tahun. Guru mata pelajaran yang di-UN-kan saja merasa terabaikan, bagaimana dengan guru mata pelajaran yang non-UN? Tidak sedikit ada yang mendatangkan guru bimbingan belajar atau bentuk-bentuk kersa jama antara lembaga bimbingan belajar dengan sekolah. Ada yang beranggapan bahwa dunia pendidikan berkiblat pada UN, sehingga telah mengerdilkan makna pendidikan. Menurut Ketua Komi si X DPR RI Heri Ahmadi (Pikiran Rakyat, 19 Desember 2007) mengungkapkan bahwa "Pelaksanaan UN ini mengakibatkan fungsi sekolah sebagai tempat belajar semakin kehilangan makna, sebab yang terpenting bagaimana sekolah dapat meluluskan siswanya". Hal ini memang benar, karena sering terdengar adanya berita-berita yang negatif yang dilakukan oleh oknum guru atau sekolah dalam pelaksanaan UN.
e. Belum lagi tentang disvaritas mutu sekolah, efisiensi anggaran, belum memberikan jaminan kualitas lulusan meningkat. Sebagai contoh penulis pernah menemukan suatu sekolah di suatu kabupaten terpencil yang hanya mengajarkan mata pelajaran yang di-UN-kan saja untuk para siswa di kelas tiga. Kemudian menurut hasil penelitian di ITB, ternyata lebih banyak mahasiswa yang drop out yang pada waktu di SMA-nya mengikuti bimbingan belajar daripada mereka yang tidak mengikuti bimbingan belajar.
2. Mengapa muncul kelompok yang mendukung keberadaan UN?
Namun tentu saja wajar kalau ada pula kelompok yang mendukung untuk tetap dilaksanakannya UN. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan alasan mengapa UN perlu tetap dipertahankan, antara lain:
pasal 58, dan pasal 59. Berdasarkan pasal-pasal dan ayat-ayatnya serta kaitannya satu sama lain, maka dapat ditarik suatu pemahaman seperti berikut ini :
1. Terhadap hasil belajar peserta didik perlu dilakukan evaluasi oleh pendidik dengan tujuan utama untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (pasal 58, ayat 1).
2. Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidikan, dan program pendidikan untuk memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan evaluasi pendidikan) (pasal 35, ayat 1).
3. Evaluasi terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidkan, dan program pendidikan untuk memantau atau menilai pencapaian standar nasional dilakukan oleh suatu lembaga mandiri (pasal 58, ayat 2), dapat berupa badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan (pasal 35, ayat 3) dan/atau lembaga yang diselenggarakan oleh masyarakat dan/atau yang diselenggarakan oleh organisasi profesi.
4. Pasal 35, 57, dan 58 mengamanatkan bahwa evaluasi perlu dilakukan untuk (a) pengendalian mutu pendidikan secara nasional (pasal 57, ayat 1), dan (b) memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan.
5. Pasal 59 berisi tentang lembaga yang harus melakukan evaluasi dan membentuk lembaga evaluasi yang mandiri disertai beberapa spesifikai tentang apa dan siapa yang dievaluasi, yaitu pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 59, ayat 1). Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana ynag dimaksud dalam pasal 58 (pasal 59, ayat 2).
b. Tidak sedikit pula pendapat yang mendukung dilaksanakan UN terutama didasarkan pada argumentasi tentang pentingnya UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional dan pendorong atau motivator bagi peserta didik dan penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
kepada masyarakat tentang prestasi yang dicapai oleh setiap peserta didik, sekolah, lembaga pendidikan kabupaten/kota, provinsi, dan prestasi nasional secara keseluruhan. Informasi ini dapat digunakan untuk membandingkan prestasi belajar antar sekolah, kabupaten/kota, dan antar provinsi. Dalam konteks ini UN merupakan instrumen yang potensial untuk menyediakan informasi penting dalam menegakkan akuntabilitas. (Karso, FPMIPA UPI)
BAB III KESIMPULAN
Dari pemaparan tentang sistem evaluasi dan isu seputar ujian nasional di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Walaupun standar penilaian pendidikan (Permen No 20 Tahun 2007) sudah ditetapkan tetapi dalam pelaksanaannya tetap mengalami hambatan. Berdasarkan implementasi di lapangan, masalah pada sistem pendidikan adalah:
a. Sinkronisasi tugas pokok dan fungsi.
b. Sinkronisasi dan sinergitas dalam melaksanakan tugas.
c. Sosialisasi peraturan menteri diantaranya adalah tentang standar nasional pendidikan.
d. Dukungan dari pemerintah daerah dalam melaksanakan semua ketentuan dalam bidang pendidikan, termasuk peraturan menteri tentang standar nasional pendidikan.
e. Kemampuan satuan pendidikan yang heterogen.
f. Motivasi untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan pelaksanaan pendidikan di tingkat satuan pendidikan.
semua dilakukan agar UN memiliki reliabilitas yang tinggi, serta memiliki validitas internal dan eksternal yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Buletin BSNP (2012) Vol. VII/No. 1/Maret 2012Buletin BSNP
Karso. Pro Kontra Ujian Nasional. Bandung : FPMIPA UPI
Mardapi, Djemari (2012). Evaluasi Sistem Pendidikan. Makalah disampaikan pada seminar nasional Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Yogyakarta, 20 Januari 2012. From http://pps.uny.ac.id/files/evaluasi%20sistem%20pendidikan.pdf
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 Tanggal 11 Juni 2007 Standar Penilaian Pendidikan
Soedijarto (2004). Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Pengajaran Nasional. Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004. www.bpkpenabur.or.id/.../hal%20089-107%20Kurikulum
Sudarmongi, Toto (2012). Penilaian Kemampuan Siswa dan Ujian Nasional.
Suyanto (2012). Ujian Nasional 2012: Jujur dan Berprestasi. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemdikbud. From www.dikdas.kemdikbud.go.id
http://www.bsnp-indonesia.org