MAKALAH
HUKUM PERDATA 1
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata 1
Dosen Pengampu:
M.Misbahul Mujib
Disusun oleh:
Zainal Arifin (13340034)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
Pengantar
Terbentuknya suatu keluarga itu karena adanya perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Sehingga Keluarga dalam arti sempit artinya yaitu sepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, tetapi tidak mempunyai anak juga bisa dikatakan bahwa suami istri merupakan suatu
keluarga. Dan juga telah di atur dalam KUHPerdata
Ketentuan mengenai hukum perdata ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau lebih dikenal dengan BW (Burgelijke Wetboek).
Sistematika Hukum Perdata menurut BW terdiri atas 4 buku:
BUKU I : Tentang orang (van personen)
Yaitu memuat hukum tentang diri seseorang dan hukum keluarga.
BUKU II : Tentang benda (van zaken).
Yaitumemuat hukum kebendaan serta hukum waris.
BUKU III : Tentang perikatan (van verbintenissen)
Yaitu memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
BUKU IV : Tentang pembuktian dan daluarsa (van bewijs en verjaring)
Yaitu memuat ketentuan alat-alat bukti dan akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum
Pembahasan
Hukum Keluarga adalah bagian dari hukum perorangan, adapun hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan [perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir].
Pengertian perkawinan menurut UU no.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang laki” dan perempuan untuk membentuk sebuah keluarga/ rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan tuhan yang maha esa.
Menurut Sholthen adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.
Menurut hukum islam DR.Anwat Harjono ,pernikahan adalah suatu perjanjian suci seorang prian dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia
Ini juga mengatur tentang hukum Keluarga dalam KUHPerdata (BW). Adapun pendapat-pendapat lain mengenai hukum keluarga, yaitu:
1. Van Apeldoorn
Hukum keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga 2. C.S.T Kansil
Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan
3. R. Subekti
Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan
4. Rachmadi Usman
Hukum kekeluargaan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan antar pribadi alamiah yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan 5. Ali Affandi
Mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai “Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir)1
Asas Hukum Keluarga menurut UU no.1 tahun 742 tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
Asas persatuan bulat, yakni suatu asas dimana antara suami-istri terjadi persatuan harta
benda yang dimilikinya.(Pasal 119 KUHPerdata)
Asas proporsional,yaitu suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan masyarakat.( Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
poligami, satu suami banyak istri
harus sudah matang jiwa dan raganya untuk bisa melakukan suatu perkawinan
Asas perkawinan sipil, asas yang mengandung makna bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pencatat sipil (kantor catatan sipil), perkawinan secara agama belum berakibat sahnya suatu perkawinan
memperkuat /mempersulit terjadinya suatu perceraian
Asas perkawinan agama, asas yang mengandung makna suatu perkawinan hanya sah
apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.( Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)monogamy, satu istri satu suami
antara suami dan istri seimbang hak dan kewajibannya
Sumber Hukum Keluarga
Sumber hukum keluarga dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
(1) hukum keluarga tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum yang bersumber dari UU, yurisprudensi, dan traktat.
(2) hukum keluarga tidak tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat (hukum adat). Dalam hukum keluarga tidak tertulis, hukum yang dianut adalah hukum yang berada di kehidupan masyarakat sekitar daerah tempat tinggalnya Menurut Soejono Soekanto mengatakan bahwa, hukum adat
hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das sein das sollen)
Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan berikut ini :
1. Kitab undang – undang hukum perdata (KUHPerdata)
2. Peraturan perkawinan campuran Stb. 1898 Nomor 158
3. Indonesia, Kristen, jawa, minahasa, dan Ambon, Stb. 1933 Nomor 74
4. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
(beragama Islam)
5. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6. PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kedudukan Anak “Sah” dalam Hukum Keluarga
KUHPerdata membedakan antara anak sah dan anak tidak sah atau anak luar kawin. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, sedangkan anak yang tidak sah atau anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya.
Hal ini dinyatakan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Menurut Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut lahir dari perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya kurang dari enam bulan lamanya sejak ia menikah resmi.
Masalah anak sah diatur di dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 pada pasal 42, 43 dan 44. 3
Pasal 42 :
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Pasal 43 :
“(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Pasal 44 :
“(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan”.
Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, Undang-undang Perkawinan di dalam pasal 55 menegaskan:
Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang
dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi Pencatat
Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Di dalam pasal-pasal di atas ada beberapa hal yang diatur. Pertama, anak sah adalah yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan: 1. Anak sah lahir akibat perkawinan yang sah
2. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam asal-usul anak diatur dalam Pasa1 99, Pasal 100, Pasal 101 Pasal 102 dan Pasal 103. 4
Pasal 99 :
Anak sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Pasa1100 :
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Pasal 101 dan 102 menyangkut keadaan suami yang mengingkari sahnya anak dan proses yang harus ditempuhnya jika ia menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan oleh isterinya.
Pasal 101 :
“Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.”
Pasal 102 :
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada
Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima. Pasal 103 :
1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
2. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka
Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
3. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2) maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut yang mengeluarkan akta
kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Dalam hukum Islam seseorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikanya, untuk menguatkan penolakannya suami harus dapat membuktikan bahwa:5
a. Suami belum pernah menjima' istrinya, akan tetapi istri tiba-tiba melahirkan.
b. Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima' istrinya, sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur.
c. Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak dijima' suaminya
Kemudian dalam pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatakan bahwa “Tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya”.
Hilman Hadikusuma menegaskan dari ketentuan tersebut, bahwa wanita yang hamil kemudian ia kawin sah dengan seorang pria, maka jika anak itu lahir, anak itu adalah anak sah
dari perkawinan wanita dengan pria tersebut tanpa ada batas waktu usia kehamilan.10
Muhammad Irfan Idris dalam tulisannya yang berjudul “Problematika Materi Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Analisa Perbandingan)”. Menyebutkan :
“Anak yang di dalam kandungan dianggap mempunyai hubungan darah dan hubungan hukum dengan pria yang mengawini ibunya. Anggapan ini didasarkan nilai hukum adat yang menetapkan asas “setiap tanaman yang tumbuh di ladang seorang dialah pemilik tanaman meskipun bukan dia yang menanam”.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahawa Hukum Perkawinan & Hukum keluarga itu diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargaan karena perkawinan. Akan tetapi
anak yang sah dalam UU no.1 thun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu “adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”
Anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil menurut hukum Islam apabila anak tersebut dilahirkan lebih dari enam bulan masa kehamilan dari perkawinan sah ibunya atau dimungkinkan adanya hubungan badan
Sedangkan menurut hukum positif di Indonesia bahwa anak yang lahir dari
perkawinan wanita hamil adalah anak sah dari kedua orang tuanya, sehingga ia memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi oleh kedua orang tuanya yaitu kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan, sebagai wali dalam perkawinan, hak nasab dan hak kewarisan.
DAFTAR PUSTAKA
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana: 2004 Jakarta
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku Ke-1 Perorangan (PersonalRecht) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan