• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN BURUNG DI PULAU GELEANG D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEANEKARAGAMAN BURUNG DI PULAU GELEANG D"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN BURUNG DI PULAU GELEANG DAN PULAU BURUNG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

SKRIPSI

Diajukan dalam Rangka Menyelesaikan Studi Strata I untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains

Oleh:

Nama : Arif Setyo Nugroho

Nim : 4450403015

Prodi : Biologi

Jurusan : Biologi

(2)

PENGESAHAN

Skripsi dengan judul: Keanekaragaman Burung di Pulau Geleang dan Pulau Burung Taman Nasional Karimunjawa

Telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang pada,

Hari : Rabu

Tanggal : 30 Januari 2008

Panitia Ujian

Ketua Sekretaris

Dr. Kasmadi Imam S., M.Si Dra. Aditya Marianti, M.Si

NIP. 130781011 NIP. 132046851

Pembimbing I Anggota Penguji

Margareta R., S.Si., M.Si. 1. Drs. Nugroho Edi K., M.Si NIP. 132173340 NIP. 131863778

Pembimbing II 2. Margareta R., S.Si., M.Si. NIP. 132173340

Drs. Bambang Priyono, M.Si 3. Drs. Bambang Priyono, M.Si

(3)

ABSTRAK

Pulau Geleang dan Pulau Burung termasuk dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis, membandingkan tingkat kesamaan jenis, dan penyebaran burung berdasarkan stratifikasi tajuk vegetasi di Pulau Geleang dan Pulau Burung. Penelitian dilakukan selama tiga periode yaitu Juni 2006, November 2006 dan Juni 2007. Pengambilan data dilakukan dengan metode Indeks Point Abundance (IPA). Hasil penelitian menemukan sebanyak 18 jenis burung di P. Geleang dan 15 jenis burung di P. Burung. Indeks keanekaragaman jenis burung di P. Geleang tergolong rendah dengan sebaran populasi tidak merata. Nilai indeks keanekaragaman jenis berkisar antara 1,37 hingga 1,77 sedangkan nilai kemerataan berkisar antara 0,4 sampai 0,75. Indeks keanekaragaman jenis burung di P. Burung tergolong tinggi dengan sebaran populasi cukup merata. Nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 1,58 hingga 1,91 sedangkan nilai kemerataan berkisar antara 0,76 sampai 0,83. Burung yang paling dominan pada kedua pulau adalah Zosterops chloris. Indeks similaritas diantara kedua pulau sebesar 50%, dengan 11 jenis burung yang menghuni keduanya. Penggunaan ruang habitat secara vertikal pada stratifikasi tajuk vegetasi selalu berubah berdasarkan manfaat vegetasi bagi burung (mencari makan, istirahat, bersarang atau berlindung). Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa di P. Geleang burung lebih banyak menggunakan tajuk atas, sedangkan di P. Burung vegetasi tumbuhan bawah atau tanah lebih banyak digunakan.

(4)

(Mas Ranggasasmita, 1815)

Siang malam, dengan curahan hat i membaca Para karya simpanan mulia Supaya menj adi misal Masalahnya wangsit , j angan samar

Meski t elah t ersohor ahli ilmu Namun masih mempelaj ari Karya simpanan mulia para wali Dan simpanan mulianya Guru Sempurna

(5)

Teruntuk Ibu dan Ayah

yang menautkan cinta

(6)

KATA PENGANTAR

“ Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Alloh memperbaikinya” (QS.7:56). Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke kehadirat Allah SWT, atas izin-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul: Keanekaragaman Burung di Pulau Geleang dan Pulau Burung Taman Nasional Karimunjawa. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan oleh Ibu Margareta Rahayuningsih.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Negeri Semarang.

2. Dekan FMIPA Universitas Negeri Semarang.

3. Ketua Jurusan Biologi yang telah memberikan kemudahan administrasi dalam penyusunan skripsi.

4. Ibu Margareta Rahayuningsih, S.Si., M.Si, yang banyak membantu dan membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi.

5. Bapak Drs. Bambang Priyono, M. Si, atas kesabaran dalam mendampingi penulis dalam menyusun skripsi.

6. Bapak Drs. Nugroho Edi K., M.Si. yang memberikan saran, masukan dan motivasi dalam penyusunan skripsi.

7. Balai Taman Nasional Karimunjawa yang telah memberikan izin melakukan penelitian.

(7)

9. Ibu, Ayah, dik Bayu dan dik Enda yang senantiasa mendoakan dan memberikan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

10.Kang Doel, Dani, Fian, Mey, Aim, Aa’ Kin, rekan-rekan Green Community dan Pelatuk BSC yang telah membantu dalam penelitian.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Saran dan kritik dari berbagai pihak, sangat penulis harapkan demi perbaikan di kemudian hari. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Salam lestari !

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

ABSTRAK.. ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR.. ... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR… ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 5

C. Penegasan Istilah.. ... 6

D. Tujuan Penelitian... 7

E. Manfaat Penelitian... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung ... 9

B. Manfaat Burung... 10

C. Habitat ... 12

(9)

E. Ancaman Terhadap Burung... 16

BAB III.METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

B. Alat dan Bahan... 18

C. Prosedur Penelitian ... 19

D. Analisa data... 23

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kekayaan Jenis... 27

B. Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan... 35

C. Dominansi... 42

D. Tingkat Kesamaan Jenis antara P. Geleang dan P. Burung .... 49

E. Penyebaran Burung dan Penggunaan Stratifikasi Tajuk Vegetasi... 51

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan... 64

B. Saran ... 65

Daftar Pustaka ... 66

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1 Keanekaragaman Jenis dan Status Burung yang Ditemukan di P.

Geleang ... 31 2 Keanekaragaman Jenis dan Status Burung yang Ditemukan di P.

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1 Lokasi P. Geleang dan P. Burung TN. Karimunjawa... 18 2 Klasifikasi strata tajuk pohon secara vertikal... 26 3 Histogram Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Setiap Penelitian di

P. Geleang... 28 4 Histogram Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Setiap Penelitian di

P. Burung... 32 5 Grafik Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan Burung

di P. Geleang... 35 6 Grafik Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan Burung

di P. Burung... 38 7 Histogram Nilai Frekuensi Burung yang Ditemukan di P.

Geleang... 52 8 Histogram Nilai Frekuensi Burung yang Ditemukan di P.

Burung... 53 9 Penyebaran Burung Berdasar Stratifikasi Tajuk Vegetasi di P.

Geleang... 55 10 Penyebaran Burung Berdasar Stratifikasi Tajuk Vegetasi Di P.

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1 Frekuensi dan Frekuensi Relatif Burung di P. Geleang... 68

2 Frekuensi dan Frekuensi Relatif Burung di P. Burung... 68

3 Kehadiran, Kelimpahan, Indeks Keanekaragaman, Indeks

Kemerataan dan Dominansi Burung di P. Geleang... 69

4 Kehadiran, Kelimpahan, Indeks Keanekaragaman, Indeks

Kemerataan dan Dominansi Burung di P. Burung... 70

5 Histogram Dominansi Burung di P. Geleang pada Setiap Periode

Penelitian... 71

6 Histogram Dominansi Burung di P. Burung pada Setiap Periode

Penelitian... 72

7 Tally Sheet Data Pengamatan Lapangan... 73

8 Penyebaran Burung di P. Geleang... 74

9 Penyebaran Burung di P. Burung... 75

10 Foto burung yang dijumpai di P. Geleang dan P. Burung... 76

11 Kondisi habitat P. Geleang dan P. Burung... 80

12 Foto Peralatan dan Kegiatan Penelitian... 82

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keanekaragaman hayati Indonesia cukup tinggi, terdiri dari 10% spesies tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan amfibia, 17% burung, 25% ikan, dan 15% serangga, walaupun luas daratan Indonesia hanya 1,32% seluruh luas daratan yang ada di dunia (Primack, 1998). Burung merupakan bagian dari keanekaragaman hayati Indonesia yang harus dijaga kelestariannya. Burung telah banyak dimanfaatkan manusia, baik untuk kesenangan, maupun untuk memenuhi kebutuhan pangan. Burung dapat dijadikan sebagai indikator kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati lainnya. Indonesia saat ini tercatat memiliki sekitar 1599 jenis burung (IdOU, in prep). Menurut Cahyadin dalam (Anonim 2006.d) ada sekitar 101 jenis burung di Indonesia yang terancam punah secara global. Diantara jumlah yang terancam punah tersebut 17%-nya adalah jenis endemik di Indonesia.

Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu wilayah kepulauan di Laut Jawa, yang terdiri dari 27 pulau. Secara umum Kepulauan Karimunjawa memiliki tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah, padang lamun, algae, hutan pantai, hutan bakau, dan terumbu karang. Kawasan Karimunjawa ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui SK Menteri Kehutanan No.78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Februari 1999. Kawasan Taman Nasional Karimunjawa (TN. Karimunjawa) mencakup 22 pulau dengan luas total 111.625 Ha meliputi perairan seluas

(14)

110.117,30 Ha dan daratan seluas 1.507,70 Ha (Balai TN. Karimunjawa, 2004). Pulau Geleang (P. Geleang) dan Pulau Burung (P. Burung) merupakan pulau yang terletak di TN Karimunjawa. Secara administratif P. Geleang dan P. Burung termasuk wilayah Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah.

(15)

terhadap keberadaan satwa liar. Menurut Saleh (1998) salah satu cara untuk menghindari terjadinya penurunan populasi satwa, termasuk burung adalah dengan mempertahankan setiap habitat dan populasi satwa yang ada pada suatu daerah tertentu sebagai kantong perlindungan populasi dan keanekaragaman spesies.

(16)

lapangan (Primack, 1998). Selama ini, kegiatan konservasi yang dilakukan hanya sebatas pada inventarisasi burung saja, sehingga belum mempelajari aspek ekologi untuk kepentingan konservasi.

Berdasarkan laporan inventarisasi burung tahun 2005, jenis burung Junai mas (Caloenas nicobarica) tercatat pernah dijumpai di P. Burung (BTN. Karimunjawa, 2005). Catatan tersebut sangat penting mengingat Junai mas adalah salah satu jenis burung yang termasuk dalam The IUCN Red List Categories (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dengan kategori near threatened (mendekati terancam). Selain Junai mas, beberapa jenis burung Dara laut pernah teramati berada di gosong laut sekitar P. Burung. Dara laut termasuk burung yang dilindungi oleh UU RI No 5 Th 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem serta PP No.7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Burung adalah makhluk dengan tingkat mobilitas tinggi. Kemampuan terbang burung sangat memungkinkan untuk keluar dari P. Burung ke pulau lainya. Secara geografis pulau yang terdekat dari P. Burung adalah P. Geleang. Mengingat ukuran P. Geleang lebih luas dari P. Burung dan jarak keduanya relatif berdekatan sangat memungkinkan terjadinya aliran migrasi pada kedua pulau tersebut. P. Geleang sangat penting untuk dikonservasi mengingat pada pulau tersebut terdapat sarang aktif Elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster) yang termasuk CITES Apendiks II.

(17)

tersebut. Studi keanekaragaman jenis burung di P. Geleang dan P. Burung merupakan langkah awal dalam menyediakan data dasar yang sangat bermanfaat dalam pengelolaan potensi keanekaragam hayati avifauna (burung) di P. Geleang dan P. Burung TN. Karimunjawa.

B. Permasalahan

Seiring dengan peningkatan laju kerusakan alam dewasa ini, maka konservasi keanekaragaman hayati, dalam konteks ini adalah keanekaragaman jenis burung, menjadi sangat penting. Natural history dan pemahaman tentang spesies kunci akan sangat mendukung keberhasilan pengelolaan konservasi, termasuk di dalamnya adalah studi keanekaragaman jenis burung. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. bagaimanakah keanekaragaman jenis burung di P. Geleang dan P. Burung, Taman Nasional Karimunjawa?

2. bagaimanakah tingkat kesamaan jenis burung di P. Burung dan P. Geleang?

(18)

C. Penegasan Istilah 1. Burung

Burung dapat dideskripsikan sebagai hewan vertebrata yang mempunyai bulu, tungkai atau lengan depan termodifikasi untuk terbang, tungkai belakang teradaptasi untuk berjalan, berenang dan hinggap, paruh tidak bergigi, jantung memiliki empat ruang, rangka ringan, memiliki kantong udara, berdarah panas, tidak memiliki kandung kemih, dan bertelur (Welty, 1982). Burung yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jenis burung-burung diurnal, yaitu burung-burung yang beraktivitas pada siang hari.

2. Keanekaragaman Jenis

Menurut Magurran (1998) kajian keanekaragaman avifauna meliputi tiga aspek yaitu keanekaragaman jenis, interaksi, dan wilayah makan (guild). Pada penelitian ini kajian dibatasi hanya pada keanekaragaman jenis saja. Dengan demikian metode pengukuran atau penghitungan keanekaragaman jenis meliputi kekayaan jenis (richness species), indeks keanekaragaman (diversity indices), indeks kemerataan (evenness indices), dan dominansi (Magurran 1998, 2004).

3. Pulau Geleang

(19)

kelapa. Berdasarkan pengamatan, di pulau ini terdapat sarang aktif Elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster).

4. Pulau Burung

P. Burung termasuk dalam kawasan TN. Karimunjawa. Secara geografis P. Burung terletak pada 50 53’ 45,5’’ LS dan 1100 20’ 56,6’’ BT dengan luas ± 1 ha. Memiliki vegetasi hutan pantai dengan didominasi cemara laut, terdapat pula ficus dan sawo kecik. Salah satu jenis burung yang pernah tercatat di P. Burung adalah Junai emas (Caloenas nicobarica) yang statusnya terancam punah dan dimasukan dalam kategori CITES Apendiks I (BTN. Karimunjawa, 2005).

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. mengetahui keanekaragaman jenis burung yang meliputi kekayaan jenis (richness species), indeks keanekaragaman (diversity indices), dan indeks kemerataan (evenness indices), dan dominansi burung di P. Geleang dan P. Burung.

2. membandingkan tingkat kesamaan jenis antara P. Burung dan P. Geleang. 3. mengetahui penyebaran burung berdasarkan penggunaan ruang habitat

(20)

E. Manfaat Penelitian

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keanekaragaman Burung

Keanekaragaman hayati meliputi berbagai jenis flora, fauna, mikroorganisme, dan ekosistem dengan segala prosesnya. Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman organisme yang hidup di berbagai kawasan baik daratan, lautan, dan ekosistem perairan lainnya, dimana di dalamnya terdapat berbagai keanekaragaman yang mencakup keanekaragaman dalam satu spesies, keanekaragaman antar spesies, dan keanekaragaman ekosistem atau kawasan (Santosa, 2004).

Berdasarkan perbedaan skala geografik, kajian keanekaragaman jenis di bagi dalam 3 tingkatan yaitu: diversitas alfa, diversitas beta, dan diversitas gamma. Diversitas Alfa atau keanekaragaman alfa merupakan jumlah jenis di dalam suatu habitat atau komunitas tunggal (Primack, 1998). Dalam diversitas alfa dikelompokkan menjadi dua komponen yang berbeda yaitu kekayaan jenis (species richness) dan kemerataan jenis (evenness) yang berdasarkan kelimpahan relatif dan tingkat dominansi jenis (Magurran, 1998). Indeks yang menggabungkan kedua komponen tersebut menjadi satu nilai tunggal disebut indeks keanekaragaman. Dengan demikian metode pengukuran atau penghitungan keanekaragaman jenis meliputi indeks kekayaan jenis (richness species), indeks keanekaragaman (diversity indices), dan indeks kemerataan (evenness indices) (Magurran 1998, 2004).

(22)

Keanekaragaman jenis burung di suatu tempat berbeda dengan tempat lainnya tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian yang telah dilakukan oleh Idris (2002) dan Kurnia (2003) menunjukkan bahwa tipe habitat mempengaruhi keanekaragaman burung. Selain tipe habitat dan faktor-faktor lainnya, yang mempengaruhi keanekaragaman burung di suatu tempat meliputi: luas wilayah, derajat keterpencilan dari habitat lainnya, keanekaragaman tipe habitat dalam wilayah tersebut, kualitas habitat secara umum, dan luas daerah ekoton.

B. Manfaat Burung

Satwa liar mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, baik ditinjau dari segi ekonomi, penelitian, pendidikan dan kebudayaan, maupun untuk kepentingan rekreasi dan pariwisata (Alikodra dalam Saleh 1998). Burung telah memberikan banyak manfaat dalam kehidupan manusia. Beberapa jenis burung seperti ayam, kalkun, angsa, dan bebek telah didomestikasi sejak lama dan merupakan sumber protein yang penting, baik daging maupun telurnya. Burung juga dipelihara untuk kesenangan dan perlombaan, sebagai contoh adalah burung merpati, perkutut, murai batu dan lain-lain. Jenis-jenis burung elang kerap dipelihara untuk prestige dan untuk olahraga berburu. Banyak jenis burung telah semakin langka di alam, karena diburu manusia untuk kepentingan perdagangan (Anonim, 2006.e).

(23)

Burung memiliki nilai estetika dan rekreasi tinggi. Burung memiliki bentuk dan warna yang indah dan beraneka ragam, tingkah laku yang menarik dan suaranya yang merdu merupakan nilai estetika yang dapat dinikmati oleh manusia (Saleh, 1998). Kegiatan pengamatan burung dapat memberikan sumbangan penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Melalui kegiatan pengamatan kehidupan burung, berbagai ilmu pengetahuan yang dapat di pelajari antara lain ethiologi, ekologi, evolusi, biogeografi pulau, demografi, serta pemantauan terhadap kondisi dan perubahan lingkungan hidup (MacKinnon, 1993).

Burung memiliki peranan penting dalam ekologi. Burung sangat peka terhadap polusi. Burung berada pada urutan akhir dalam tingkatan rantai makanan, sehingga cukup peka dengan penurunan kondisi makanannya. Oleh sebab itu, burung dapat digunakan sebagai indikator perubahan kualitas lingkungan (Buckley & Buckley, dalam Anonim, 2006.b)

Burung perlu dilestarikan karena mempunyai manfaat yang sangat besar. Menurut Hernowo dan Prasetyo (dalam Anonim, 2006.d) mengatakan bahwa burung berperan dalam mengendalikan serangga hama, membantu proses penyerbukan bunga, mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, memiliki suara yang khas sehingga dapat menimbulkan suasana menyenangkan, dapat digunakan sebagai rekreasi, sebagai sumber plasma nutfah, dan sebagai objek untuk pendidikan dan penelitian.

(24)

dinamika produktivitas pada lahan basah. Burung air menyediakan sejumlah pupuk alami bagi vegetasi pantai dan daerah-daerah yang lebih tinggi, dan vegetasi tersebut berfungsi sebagai stabilisator lingkungan pantai terhadap pengaruh erosi. Dengan cara demikian, kehadiran burung air tersebut juga dapat mempercepat suksesi yang terjadi di lahan basah (Wibowo dkk. dalam Anonim, 2006.b). Burung air dijadikan sebagai salah satu kriteria penentu untuk memasukkan sebuah ekosistem lahan basah ke dalam “Daftar Ramsar”, karena burung air mempunyai peranan yang penting pada ekologi lahan basah (Wibowo dkk. dalam Anonim, 2006.c).

C. Habitat

Habitat merupakan tempat hidup bagi suatu organisme, yang berarti sebagai tempat tinggal atau tempat mencari makan. Dalam hal ini tempat hidup bukan hanya berarti sebagai tempat tinggal saja, tetapi tempat tersebut harus menyediakan makanan, dan juga memenuhi syarat sebagai tempat berlindung, bermain, istirahat, berkembang biak, mengasuh, dan membesarkan anak-anaknya (Alikodra dan Soedargo dalam Yudhistira, 2002).

(25)

Setiap makhluk hidup mempunyai habitat yang sesuai dengan kebutuhannya. Habitat yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat yang dibutuhkan oleh suatu spesies selama musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat menurut Baeley (dalam Yudhistira, 2002) terdiri dari berbagai jenis makanan, perlindungan, dan faktor-faktor lain yang diperlukan oleh spesies untuk bertahan hidup dan bereproduksi secara berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa habitat merupakan hasil interaksi antar berbagai komponennya, baik komponen biotik maupun abiotiknya. Di dalam habitat semua komponen membentuk suatu sistem yang disebut ekosistem, dimana terjadi interaksi antar komponennya, antar spesies saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.

Di dalam suatu kawasan, habitat yang ada merupakan bagian penting bagi distribusi dan jumlah burung. Bagi habitat yang tidak dilindungi, habitat mungkin berubah, contohnya akibat penebangan hutan. Pengelolaan yang memadai sangat bergantung pada pemahaman mengenai saling keterkaitan antara burung dan habitatnya (Bibby et al., 2000). Burung merasa betah tinggal di suatu tempat apabila terpenuhi tuntutan hidupnya antara lain habitat yang mendukung dan aman dari gangguan.

D. Komunitas Tumbuhan

(26)

asosiasi yang biasa diberi nama komunitas biotik. Dalam suatu bentang alam tertentu jenis–jenis tumbuhan berkecenderungan untuk berkelompok membentuk masyarakat tumbuhan atau komunitas tumbuhan yang sering disebut juga dengan vegetasi. Komunitas tumbuhan didefinisikan sebagai spesies tumbuhan yang menempati tempat tertentu dan mengalami interaksi antar spesies. Terdapat hubungan yang khas antara lingkungan dan organisme, sehingga komunitas di suatu lingkungan bersifat spesifik (Anonim, 2006.a). Seringkali suatu komunitas bergabung atau tumpang tindih dengan komunitas lain. Perubahan di suatu habitat cenderung mengakibatkan perubahan komposisi komunitas. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tanggapan setiap spesies terhadap perubahan kondisi fisik, kimia, maupun biotik.

Habitat burung berhubungan erat dengan keadaan struktur vegetasi yang menunjang dalam memenuhi sumber pakan. Satwa liar akan lebih sering ditemukan pada habitat yang menyediakan sumber daya melimpah, sebaliknya akan jarang ditemukan pada habitat yang kurang menguntungkan (Wayne dan Edward, 1982). Penggunaan habitat oleh burung tergantung pada penampakan habitat yang menyediakan makanan. Perubahan vegetasi dalam suatu habitat dapat mempengaruhi burung-burung yang hidup di dalamnya, baik mengenai komposisi komunitas maupun kebiasaan hidupnya.

(27)

spesies burung akan mengalami perubahan strata tempat mencari makan dan luas daerah jelajahnya bertambah.

Peranan dan manfaat kehadiran burung dalam suatu ekosistem perlu dipertahankan, tidak hanya mempertahankan jenis dan populasinya saja tetapi juga memelihara habitat dan ekosistemnya. Kerusakan habitat sangat mengancam kelestarian burung. Kerusakan habitat yang berupa berkurangnya jumlah vegetasi atau kehilangan jenis vegetasi sebagai sumber pakan dan tempat bersarang akan menyebabkan penurunan populasi burung (vanBalen, 1984).

Beberapa jenis burung sangat membutuhkan pohon sebagai tempat mencari makan maupun sebagai tempat bersarang dan bertelur. Pohon kaliandra disenangi burung pengisap madu karena banyak menyediakan nektar. Pohon jenis lain disenangi oleh burung, karena berulat banyak yang dapat dimakan. Menurut Ballen (dalam Anonim, 2006.d) beberapa jenis tumbuhan yang banyak didatangi burung antara lain:

1. Kiara, Caringin dan Loa (Ficus sp.) Ficus benjamina, Ficus variegata, dan Ficus glaberrima buahnya banyak dimakan oleh burung seperti Punai (Treron sp.).

2. Dadap (Erythrina variegata) bunganya menghasilkan nektar. Beberapa jenis burung yang banyak dijumpai pada tanaman dadap yang tengah berbunga antara lain: Betet (Psittacula alexandri), Serindit (Loriculus sp.), jenis Jalak dari famili Sturnidae dan beberapa jenis burung madu.

(28)

4. Aren (Arenga pinnata). Ijuk dari batangnya sering dimanfaatkan oleh burung sebagai bahan untuk pembuatan sarangnya.

5. Bambu (Bambusa sp.). Burung Blekok sawah (Ardeola speciosa) dan Manyar (Ploceus sp.) bersarang di pucuk bambu. Sedangkan jenis burung lainnya seperti: Burung Sikatan cacing (Cyornis banyumas), Celepuk (Otus bakkamoena), Kipasan belang (Rhipidura javanica), Kepala tebal bakau (Pachycephala cinerea) dan Perenjak kuning (Abroscopus superciliaris) bertelur pada pangkal cabangnya, di antara dedaunan dan di dalam batangnya.

E. Ancaman Terhadap Burung

Menurut Noor dan Alikodra (dalam Anonim, 2006.b) menyatakan bahwa beberapa faktor yang dapat mengancam kehidupan burung antara lain: peralihan peruntukan habitat, perburuan dan perdagangan satwa, serta pencemaran lingkungan. Gangguan ini akan sangat mempengaruhi keberadaan dan populasi burung di alam.

(29)

1999). Pulau dalam konteks ini dapat berarti pulau di tengah lautan, tetapi dapat juga berupa sebuah habitat di tengah wilayah yang mempunyai sifat lain.

Sozer et al. (dalam Darmawan, 2006) mengungkapkan bahwa perdagangan burung dan bagian-bagiannya (daging, telur, tulang, opset, dan bulu) merupakan penyebab dari langkanya suatu jenis burung. Indikasi langkanya suatu jenis burung di alam adalah langka di pasaran, sehingga harganya mahal. Keadaan semacam itu akan memicu penangkapan di alam sehingga akan menambah jumlah jenis langka.

(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di P. Burung dan P. Geleang, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Adapun waktu pelaksanaan penelitian adalah pada bulan Juni 2006, November 2006, dan Juni 2007.

Gambar 1. Lokasi Penelitian di P. Geleang dan P. Burung Taman Nasional Karimunjawa (Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Jateng, 2003)

B. Alat dan Bahan

Teropong binokuler maupun monokuler untuk pengamatan burung, tape recorder untuk merekam suara atau kicauan burung, jam tangan digital untuk mengukur waktu awal dan akhir penelitian dan mencatat waktu perjumpaan

P. Geleang

(31)

dengan jenis burung, kamera dan handycam untuk dokumentasi burung yang dijumpai, Global Positioning System (GPS) untuk menentukan posisi koordinat pada titik hitung, alat tulis menulis dan tallysheet untuk mencatat data, kompas untuk penunjuk arah, meteran untuk mengukur keliling batang setinggi dada, tali dan pancang untuk membuat plot profil vegetasi, busur untuk mengukur derajat posisi cabang pohon, plastik untuk tempat preparat tumbuhan yang belum teridentifikasi, kertas label untuk menandai preparat tumbuhan, buku indentifikasi jenis burung: Seri Panduan Lapangan (field guide) Burung-burung di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali (MacKinnon et al., 1993) untuk membantu identifikasi jenis burung, Buku Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia (Rusilanoor, 1999) dan buku Kenalilah Flora Pantai Kita (Soegianto, 1983) untuk membantu identifikasi jenis tumbuhan.

C. Prosedur Penelitian

Prosedur atau langkah kerja penelitian ditempuh dalam dua tahap, yaitu: 1. Persiapan

a. Pengumpulan pustaka yang memuat berbagai informasi tentang burung dan habitatnya.

(32)

2. Pelaksanaan

Seluruh data burung diambil dengan menggunakan metode Indeks Point Abundance (IPA) atau lebih dikenal dengan metode titik hitung. Metode ini dipilih mengingat kondisi P. Burung dan P. Geleang merupakan habitat rapat. Menurut Bibby et al., (2000) metode titik hitung lebih sesuai untuk penelitian burung yang tidak terlalu banyak berpindah dan juga lebih memungkinkan untuk dilakukan di habitat yang rapat. Selain itu, tujuan penelitian untuk mempelajari penyebaran burung berdasarkan penggunaan ruang stratifikasi tajuk vegetasi sehingga data tersebut dapat diambil dari pencatatan keadaan disekitar masing-masing titik hitung dan lebih mudah diasosiasikan dengan kehadiran atau ketidakhadiran individu suatu jenis burung. Keuntungan lain atas penggunaan metode titik hitung adalah tersedianya waktu yang cukup bagi pengamat untuk mengidentifikasi burung yang dijumpai.

(33)

Dalam pengambilan sampel jarak saat mencatat dan menghitung burung bahwa semua burung yang berjarak 0 meter harus dideteksi. Selebihnya, pencatatan dan penghitungan dilakukan sampai batas kemampuan pengamat, tetapi harus memperhatikan jarak pendeteksian mendekati kepastian untuk jarak-jarak tertentu dari titik hitung lainya. Batas radius pengamatan sekit 20 m dari titik pengamat berdiri. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penghitungan ganda dari titik hitung sebelumnya. Lama pencatatan pada setiap titik hitung adalah 15 menit. Jika periode penghitungan terlalu lama akan memperbesar peluang terjadinya penghitungan ganda atau tidak terdeteksinya burung dari luar yang masuk. Burung-burung yang melintas jauh, ditemukan diluar titik hitung atau ditemukan diluar waktu pengamatan dapat dicatat tetapi tidak dimasukan dalam analisis data.

Beberapa jenis burung yang hanya terdengar suaranya harus dimasukan dalam pencatatan. Pengukuran jumlah individu dihitung berdasarkan tingkat frekuensi suara. Ketika terdengar lebih dari satu sumber suara, pengamat perlu memperhatikan waktu dan jarak antar sumber suara untuk memastikan sumber suara adalah individu yang sama atau individu berbeda.

(34)

pengukuran jarak harus dilakukan secara akurat. Metode IPA dapat dilaksanakan secara teknis berdasarkan tahapan berikut ini:

a. menentukan titik awal sebagai titik hitung 1 secara acak. b. melakukan pencatatan dan penghitungan selama 15 menit.

c. berjalan secara acak sejauh 150 meter (di P. Geleang) dan 100 meter (di P. Burung) untuk menentukan lokasi titik hitung 2 kemudian melakukan pencatatan dan penghitungan.

d. pencatatan dan penghitungan dilakukan sampai tidak ditemukan jenis baru atau telah mewakili area penelitian.

Data-data yang yang perlu dicatat dalam penelitian ini antara lain:

a. jenis, jumlah individu, dan aktivitas burung yang diamati baik secara langsung maupun tidak langsung (suara).

b. tipe kontak, misalnya melalui visual, suara, atau saat terbang.

c. waktu awal dan akhir pencatatan serta waktu kontak setiap jenis burung. d. jenis tumbuhan yang ditempati.

e. ketinggian burung atau pengunaan ruang pada stratifikasi tajuk tumbuhan. f. posisi koordinat lokasi titik hitung yang diambil dengan GPS.

g. jenis-jenis burung yang dilindungi, endemik, langka dan termasuk dalam daftar CITES.

(35)

D. Analisis Data

1. Analisa Data Burung

a. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)

Untuk menentukan nilai indeks keanekaragaman jenis burung digunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Bibby et al., 2000) dengan rumus:

b. Indeks Kemerataan (E)

Untuk mengetahui kemerataan penyebaran individu suatu spesies dalam komunitas digunakan indeks kemerataan. Indeks kemerataan dihitung dengan menggunakan rumus Bibby et.al., (2000) yaitu:

Keterangan : E = indeks kemerataan (nilai antara 0-1)

H’ = indeks keanekaragaman Shannon – Wiener S = jumlah jenis

c. Analisis Penyebaran Burung

(36)

Menentukan jenis burung yang dominan di dalam kawasan penelitian, ditentukan dengan menggunakan rumus menurut Helvoort (1973):

Di = indeks dominansi suatu jenis burung’ ni = jumlah individu suatu jenis

N = jumlah individu dari seluruh jenis Kriteria:

Di = 0-2% jenis tidak dominan Di = 2-5% jenis sub dominan Di = > 5% jenis dominan

e. Indeks Kesamaan Jenis Burung

%

Komunitas tumbuhan sangat mempengaruhi komposisi jenis burung dalam suatu komunitas. Indek kesamaan jenis (Similarity index) digunakan untuk mengukur perubahan komposisi P. Burung dan P. Geleang. Indeks similaritas yang digunakan adalah indeks similaritas Jaccard (Magguran, 1998) :

(37)

Keterangan:

SI = Indeks similaritas

j = jumlah jenis yang terdapat pada kedua komunitas yang dibandingkan a = jumlah jenis pada komunitas A

b = jumlah jenis pada komunitas B 2. Analisa Data Vegetasi

a. Tingkat Penggunaan Jenis Tumbuhan

Nilai ini digunakan untuk mengetahui pemanfaatan vegetasi oleh burung, menggunakan rumus modifikasi dari frekuensi (Darmawan, 2006)

%

Ft = Fungsi tumbuhan bagi burung

St = Jumlah jenis burung yang menggunakan vegetasi

Sp = Jumlah keseluruhan jenis burung yang ada di lokasi penelitian b. Profil Vegetasi

Pembuatan profil habitat dengan menggunakan plot berukuran 40m X 20m. Data yang diambil adalah: kedudukan vegetasi, penutupan tajuk, arah tajuk, tinggi tajuk, tinggi bebas batang cabang, dan diameter batang setinggi dada. Profil habitat bermanfaat untuk pemodelan penggunaan ruang habitat secara vertikal oleh burung.

(38)

Tanah dan tumbuhan bawah

(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kekayaan Jenis

Penelitian burung di P. Geleang dan P. Burung dilakukan sebanyak tiga periode. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, November 2006 dan Juni 2007 untuk mengakomodasi perbedaan musim (musim kemarau dan musim penghujan) serta musim migrasi burung. Hasil pengamatan dianalisa secara terpisah berdasarkan periode waktu penelitian.

Di P. Geleang tercatat sebanyak 18 jenis burung (species) dari 11 suku (familia) dan 6 bangsa (ordo) (Tabel 1). Berdasarkan penggolongannya, burung-burung yang ditemui sebagian besar merupakan burung-burung terestrial (landbirds), kecuali Famili Ardeidae merupakan burung air (waterbirds) dan famili Laridae merupakan burung laut (seabirds). Dari 18 jenis yang teramati, 9 diantaranya merupakan burung dilindungi Undang–undang. Burung–burung tersebut adalah Nectarinia jugularis, Egretta garzetta, Egretta sacra, Todirhampus chloris, Haliaeetus leucogaster, Accipiter sp., Sterna anaethetus, Sterna sumatrana dan Sterna bergii. Satu jenis yang dilindungi dan termasuk daftar CITES Apendiks II adalah Haliaeetus leucogaster. Pada umumnya burung–burung penghuni P. Geleang merupakan jenis burung penetap (residen) kecuali Accipiter sp. yang diduga kuat sebagai burung migran. Pendugaan jenis Accipiter sp. sebagai burung migran berdasar pada fakta-fakta berikut ini: burung tersebut hanya terbang melintasi P. Geleang dan tidak menempati P. Geleang, jenis ini tidak dijumpai pada periode sebelum dan sesudah perjumpaan dan hanya dijumpai pada satu

(40)

periode penelitian, waktu dijumpai jenis Accipiter sp. merupakan rentang waktu musim migrasi burung, serta diketemukannya jenis burung migran yaitu Accipiter soloensis di pulau lainya.

10 10 10

Gambar 3. Grafik Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Setiap Periode Penelitian di P. Geleang

(41)

habitat dalam arti habitat sebagai tempat tinggal, tempat bersarang, tempat mengasuh anak-anaknya serta tempat mencari makan. Hal ini terkait dengan pembagian relung dalam suatu komunitas. Agar jenis-jenis burung dapat hidup bersama dalam suatu habitat maka perlu pembagian relung yang jelas, meliputi: jenis makanan, tempat mencari makan hingga pembagian ruang habitat serta penggunaan tajuk vegetasi. Keberadaan Haliaeetus leucogaster yang bersarang di tajuk atas dan hampir menguasai seluruh tajuk atas di P. Geleang sangat menentukan komposisi penyusun jenis burung di P. Geleang. Kebanyakan jenis penetap P. Geleang adalah jenis burung penghuni tajuk bawah antara lain: Todirhampus chloris dan Nectarinia jugularis serta burung-burung penghuni semak dan tanah antara lain: Zosterops chloris dan Butorides striatus. Satu jenis burung penghuni tajuk atas yang mampu berbagi ruang habitat dengan Haliaeetus leucogaster adalah Artamus leucorhynchus. Burung ini adalah salah satu jenis burung yang sangat kuat dalam mempertahankan wilayah teritorinya. Jika merasa terancam karena kehadiran jenis burung lain dalam wilayah teritorinya, burung ini dengan agresif akan mengusir jenis burung lain yang mencoba masuk dalam wilayah teritorinya.

(42)

2006 jumlah individu yang ditemui menunjukkan jumlah paling sedikit diantara periode lainya (Gambar 3). Hal ini dikarenakan pada bulan tersebut merupakan musim kemarau. Suhu lingkungan berkisar antara 380 C hingga 400 C. Vegetasi P. Geleang yang didominasi alang-alang tidak menyediakan pakan yang cukup. Kondisi demikian mendorong burung untuk bermigrasi temporal ke pulau lain yang memiliki daya dukung lingkungan untuk kelanjutan hidupnya.

(43)

Ordo/Familia/Nama ilmiah Nama daerah

4 Rhinomyias umbratilis Sikatan rimba dada kelabu tdl R 5 Rhinomyias olivacea Sikatan rimba dada coklat tdl R

Familia 5 : Silviidae

6 Orthotomus ruficeps Cinenen kelabu tdl R

Familia 6 : Hirundinidae

7 Hirundo tahitica Layang-layang batu tdl R

Ordo 2 : Ciconiformes tdl = tidak dilindungi

A = UU RI No 5 Th. 1990 (Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem) B = PP No 7 Tahun 1999 (Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa)

C = PP No 8 Tahun 1999 (Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar) D = SK No 412/Kpts/Um/8/8/1970

E = SK Menteri Pertanian No. 66/Kpts/Um/2/1979 F = CITES Apendiks II

R = Residen (penetap)

(44)

Berbeda dengan P. Geleang, penelitian burung di P. Burung menemukan jumlah jenis, jumlah individu dan komposisi jenis yang selalu berbeda pada setiap periode penelitian. Jumlah jenis terbanyak ditemui pada periode Juni 2007 sebanyak 10 jenis burung. Pada periode Juni 2006 ditemukan sebanyak 9 jenis burung, sedangkan jumlah jenis paling sedikit ditemui pada periode November 2006 sebanyak 8 jenis burung. Jumlah individu terbanyak ditemui pada periode Juni 2006 sebanyak 79 individu, sedangkan paling sedikit ditemui pada periode November 2006 sebanyak 46 individu (Gambar 4). Diantara jenis yang ditemui, hanya lima jenis yang selalu ditemui dalam setiap periode penelitian. Jenis-jenis tersebut adalah Nectarinia jugularis, Artamus leucorhynchus, Zosterops chloris, Egretta sacra dan Todirhampus chloris.

9 8 10

Juni 2006 November-06 Juni 2007

periode penel n

(45)

Perbedaan jumlah jenis dan jumlah individu pada setiap periode penelitian lebih disebabkan oleh faktor musim (musim kemarau dan musim penghujan) daripada musim migrasi burung. Bulan Juni termasuk dalam rentang waktu musim migrasi burung, meskipun demikian kehadiran burung migran di P. Burung tidak signifikan pada pertambahan jenis maupun jumlah individu. Burung migran yang teramati hanya sekedar melintas (flying over) dan jumlahnya hanya satu ekor. Biasanya raptor migran akan bermigrasi bersama-sama dalam kelompok berjumlah banyak. Meskipun demikian, catatan keberadaan raptor migran yang melintas di P. Burung adalah catatan menarik bahwa di Kepulauan Karimunjawa dilalui jalur migrasi. Kemungkinan burung-burung tersebut singgah di P. Karimunjawa atau di P. Kemujan yang lebih luas dan menyediakan daya dukung yang cukup memadai.

(46)

Ordo/Familia/Nama ilmiah Nama daerah

4 Rhinomyias umbratilis Sikatan rimba dada kelabu tdl R

Ordo 2 : Ciconiformes

15 Amaurornis phoenicurus Kareo padi tdl R

Keterangan:

tdl = tidak dilindungi

A = UU RI No 5 Th. 1990 (Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem) B = PP No 7 Tahun 1999 (Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa)

C = PP No 8 Tahun 1999 (Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar) D = SK No 412/Kpts/Um/8/8/1970

E = SK Menteri Pertanian No. 66/Kpts/Um/2/1979 F = CITES Apendiks I

R = Residen (penetap)

(47)

B. Indeks Keanekaragaman Jenis dan Indeks Kemerataan

Keanekaragaman jenis dan struktur komunitas burung berbeda dari suatu wilayah dengan wilayah yang lainnya (Karr dalam Johnsingh dan Joshua, 1994). Keanekaragaman jenis di suatu wilayah ditentukan oleh berbagai faktor. Keanekaragaman jenis mempunyai sejumlah komponen yang dapat memberi reaksi secara berbeda-beda terhadap faktor geografi, perkembangan, dan fisik (Odum, 1993). Jenis burung yang banyak dijumpai dalam suatu komunitas adalah burung yang mempunyai densitas, dominansi, dan frekuensi yang besar. Nilai-nilai tersebut akan mempengaruhi Nilai-nilai penting suatu jenis burung dalam komunitas tersebut.

Juni 2006 Nov-06 Juni 2007

periode penelitian

(48)

indeka keanekaragaman jenis burung di P. Geleang berkisar antara 1,37 hingga 1,77 (Gambar 5). Nilai ini menunjukkan keanekaragaman yang tergolong rendah dalam suatu kawasan. Menurut Odum (1993) keanekaragaman jenis tergolong tinggi bila kemerataan jenis (E’) mencapai nilai 0.8. Hasil penelitian di P. Geleang menunjukkan nilai kemerataan di bawah 0.8, sehingga dapat dikatakan keanekaragaman jenis burung di P. Geleang tergolong rendah. Nilai indeks kemeraaan berkisar antara 0,41-0,75. Nilai indeks kemerataan ini tergolong rendah, menunjukkan bahwa penyebaran individu jenis burung di P. Geleang tidak merata.

Dari ketiga periode penelitian yang dilakukan, nilai indeks keanekaragaman tertinggi terjadi pada periode November 2006, namun ternyata memiliki indeks kemerataan paling rendah sebesar 0,41. Hal ini dikarenakan pada periode itu kelimpahan individu setiap jenis tidak berimbang atau kemerataan jenis individunya rendah. Diantara jenis-jenis penyusun komunitas terjadi dominasi oleh jenis-jenis tertentu., sehinga distribusi jumlah tidak merata pada setiap populasi dalam komunitas. Jumlah individu Zosterops chloris mencapai 36% dari jumlah total individu, 26% Nectarinia jugularis, 14% Artamus leucorhynchus sedangkan 24% sisanya ditempati oleh tujuh jenis burung lainya (Lampiran 3).

(49)

yaitu sebesar 0,59. Hal ini dikarenakan adanya dominasi dari salah satu jenis. Zosterops chloris mendominasi sebesar 61% dari jumlah total individu (Lampiran 3). Dengan adanya dominansi salah satu jenis tertentu akan menyebabkan kemerataan individu jenis burung rendah.

Para ilmuwan mempunyai keserupaan pengertian bahwa pulau-pulau kecil mendukung lebih sedikit jenis kehidupan dibandingkan pulau yang lebih besar. Secara umum penurunan luas kawasan pulau sampai sepersepuluh akan mengurangi setengah dari jumlah jenis (Whitten et.al , 1999). Namun pada penelitian burung, selain memperhatikan luas wilayah, kita perlu memperhatikan vegetasinya, baik komposisi maupun struktur vegetasi. Hal ini berkaitan dengan kemampuan penyediaan makanan bagi burung dan ketersediaan ruang sebagai habitat burung.

(50)

nilai 0.8. Hasil penelitian di P. Burung pada periode Juni 2007 menunjukkan nilai kemerataan diatas 0.8, sehingga dapat dikatakan keanekaragaman jenis burung di P. Burung tergolong tinggi. Nilai indeks kemerataan yang tergolong tinggi dapat diartikan bahwa penyebaran individu jenis burung pada komunitas tersebut sangat merata.

Indeks keanekaragaman jenis burung di P. Burung pada periode Juni 2006 tergolong tinggi yaitu sebesar 1,77 dengan nilai indeks kemerataan sebesar 0,8. Nilai indeks kemerataan yang cukup tinggi menunjukkan bahwa penyebaran individu jenis burung sangat merata. Indeks keanekaragaman yang tinggi dapat diartikan bahwa komunitas yang ada di P. Burung sangat mendukung keberadaan jenis burung dalam habitat tersebut. Tingginya nilai keanekaragaman mmberikan indikasi bahwa keseimbangan antar jenis juga tinggi, sebagai tolok ukur stabilitas suatu komunitas. Keseimbangan jenis burung di habitat P. Burung pada periode Juni 2006 dan Juni 2007 dapat dikatakan cukup tinggi.

0.8 0.76 0.83

Juni 2006 Nov-06 Juni 2007

periode penelitian

(51)

Nilai indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan paling rendah terjadi pada periode November 2007. Hal ini disebabkan oleh kelimpahan individu setiap jenis tidak berimbang atau kemerataan jenis individunya rendah. Rendahnya kemerataan jenis indiividu dipengaruhi oleh dominansi suatu jenis tertentu. Mungkin suatu jenis jumlahnya sangat banyak, tetapi jenis yang lain jumlahnya sangat terbatas atau sedikit. Pada periode November 2007 terjadi penurunan jumlah total individu yang cukup signifikan sebesar 60%-63% dari periode lainya. Jumlah total jenis yang ditemui pada periode ini paling sedikit, yaitu sebanyak 8 jenis burung. Dari jumlah total individu tersebut didominasi oleh Zosterops chloris sebesar 41%, Todirhampus chloris sebesar 21,75%, Artamus leucorhynchus sebesar 15%, Nectarinia jugularis sebesar 13% sedangkan 4 jenis lainya sangat sedikit jumlah individu yang ditemui, yaitu satu individu tiap jenis (Lampiran 4).

(52)

tumbuhan semak. Tumbuhan khas pantai yang ditemui antara lain Gabusan, Lakok-lakok, Pongamia sp, Excoecarea agalocha, Cemara laut, Terminalia cattapa, dan Jati pasir. Tumbuhan lainnya yang berpotensi sebagai penyedia bahan makanan bagi burung diantaranya Lempeni dan Sawo kecik.

Burung memerlukan ruang atau strata tajuk pohon sebagai tempat tinggal, beraktivitas, maupun istirahat. Startifikasi tajuk vegetasi pada arsitektur pohon juga mempengaruhi kehadiran burung pada habitat tersebut. Vegetasi P. Burung sebagian besar merupakan pohon dengan stratifikasi tajuk bervariasi. Hal ini yang diduga kuat pulau ini lebih disukai burung untuk dikunjungi. Beberapa burung tidak menetap di P. Burung, hal ini terlihat dari jumlah terbanyak spesies yang dijumpai pada setiap periode pengamatan, yaitu sebanyak 10 spesies dengan jumlah total akumulasi spesies yang mencapai 15 spesies. Faktor lainya adalah suhu lingkungan, dimana suhu lingkungan P. Geleang berkisar antara 350C hingga 400C sedangkan di P. Burung hanya berkisar antara 250C hingga 280C.

(53)

agak dalam ditumbuhi oleh Ingas, Jati pasir, dan Kudho, sedangkan bagian tengah ditumbuhi Alang-alang dan semak belukar.

Meskipun hasil penelitian menunjukkan nilai keanekaragaman jenis burung di Pulau Geleang termasuk rendah, tetapi dari beberapa jenis burung yang ditemukan termasuk dalam jenis burung yang dilindungi. Pada saat pengamatan ditemukan dua ekor anak burung Haliaeetus leucogaster yang berumur sekitar 3 bulan. Anak burung tersebut masih berada di dalam sarang yang terletak di pohon Lannea grandis. Di P. Burung juga dijumpai Sterna sumatrana dan Caloenas nicobarica yang sedang berbiak. Ditemukanya burung yang berbiak pada pulau-pulau tersebut menandakan bahwa pulau-pulau itu merupakan habitat yang sesuai bagi perkembangbiakan burung. Dengan terdapatnya spesies burung langka dan dilindungi ini, maka diperlukan perhatian khusus agar spesies tersebut benar-benar dapat hidup dan berkembangbiak secara optimal sehingga sisa populasi yang ada dapat terhindar dari kepunahan.

(54)

konservasi tidak hanya melibatkan masyarakat, tetapi menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama, biasa disebut sebagai konsep pengelolaan berbasis komunitas atau masyarakat. Konsep ini menegaskan bahwa masyarakat bukan lagi menjadi obyek konservasi dan pembangunan tetapi sebagai penentu konservasi dan pembangunan itu sendiri. Penyusunan perencanaan dalam skala lokal merupakan syarat awal dalam upaya membangun konservasi berbasis komunitas. Perencanaan skala lokal yang dimaksud dapat dalam bentuk rencana induk konservasi desa. Dalam perencanaan tersebut sudah tercantum tugas dan tanggungjawab para pelaku, sumber pendanaan, insentif dan disinsentif serta sanksi-sanksi hukum lainya. Pengelolaan secara buttom up oleh masyarakat berarti pengelolaan dari, oleh dan untuk masyarakat. Pengelolaan sistem ini dinilai mampu mengakomodasi semua kebutuhan dalam kerangka tujuan jangka pendek, menengah dan panjang. Perencanaan disusun oleh masyarakat melalui dialog dengan semua pihak yang berkepentingan bagi konservasi dan pembangunan di daerah tersebut. Balai TN Karimunjawa hendaknya bertindak sebagai fasilitator dan pendamping masyarakat dalam menjalankan konsep pengelolaan kawasan berbasis masyarakat lokal.

C. Dominansi

(55)

Berdasarkan kriteria dominansi Helvoort (1973), bahwa suatu jenis dikategorikan dominan jika kelimpahan relatifnya lebih besar dari 5%, burung dikategorikan subdominan jika kelimpahan relatifnya 2%-5%, serta dikategorikan sebagai tidak dominan jika kelimpahan relatifnya 0-2%. Berdasarkan kriteria tersebut burung-burung yang ditemui di P. Geleang selama periode penelitian dikelompokkan dalam tabel berikut:

Tabel 3. Dominansi Burung di P. Geleang Pada Setiap Periode Penelitian

Periode Penelitian

Kategori Jun-06 November 2006 Jun-07

Dominan Nectarinia jugularis Haliaeetus leucogaster Sterna bergii

Sterna sumatrana Egreta sacra Artamus leucorhynchus

Ducula rosacea Todirhampus chloris Nectarinia jugularis

Sterna anaethatus Artamus leucorhynchus Zosterops chloris

Zosterops chloris Nectarinia jugularis

Zosterops chloris

Artamus leucorhynchus Hirundo tahitica Haliaeetus leucogaster

Sub

Dominan Haliaeetus leucogaster Accipiter sp. Todirhampus chloris

Rhinomyias umbratilis

Tidak

Dominan Butorides striatus Butorides striatus Orthotomus ruficeps Egretta garzetta Rhinomyias olivacea Butorides striatus

Todirhampus chloris Ducula bicolor

(56)

dominan meliputi Zosterops chloris, Nectarinia jugularis, Artmus leucorhynchus, Haliaeetus leucogaster Todirhampus chloris dan Egretta sacra. Hirundo tahitica dan Accipiter sp. termasuk dalam kategori sub dominan sedangkan Butorides striatus dan Rhinomyias olivacea termasuk kategori tidak dominan. Pada periode Juni 2006 burung-burung yang dikategorikan sebagai burung dominan meliputi Zosterops chloris, Nectarinia jugularis, Artamus leucorhynchus dan Sterna bergii. Haliaeetus leucogaster, Todirhampus chloris dan Rhinomyias umbratilis termasuk kategori subdominan sedangkan Orthotomus ruficeps, Ducula bicolor dan Butorides striatus termasuk kategori tidak dominan (Tabel 3 dan Lampiran 5).

Dari ketiga periode tersebut, Zosterops chloris selalu memiliki nilai dominansi tinggi. Pada periode November 2006 dan Juni 2007, Nectarinia jugularis dan Artamus leucorhynchus mendominsi setelah Zosterops chloris. Nilai dominansi keduanya tertinggi pada periode November 2006 karena pada periode itu jumlah individu Nectarinia jugularis dan Artamus leucorhynchus paling banyak diantara periode lainnya. Dominansi tertinggi Zosterops chloris terjadi pada periode Juni 2007 sebesar 61%.

(57)

perlu diperhatikan karena akan memberikan pengaruh interaksi antar spesies dalam sebuah komunitas.

Dominansi Zosterops chloris di P. Geleang cukup tinggi sebesar 61% adalah indikasi ketidakseimbangan suatu komunitas. Ketidakseimbangan ini muncul akibat ekosistem yang terganggu. Kondisi habitat yang ekstrim menyebabkan beberapa jenis vegetasi tertentu saja yang mampu bertahan hidup, sehingga hanya satwa tertentu saja yang mampu bertahan pada habitat tersebut. Salah satu faktor pembatas pada habitat P. Geleang adalah suhu yang cukup tinggi, berkisar antara 350C hingga 400C. Vegetasi yang dominan adalah Alang-alang, semak dan tumbuhan bawah lainya. Kondisi ini menyediakan habitat yang cocok bagi Zosterops chloris. Perilaku khas Zosterops chloris adalah bergerak lincah dalam kelompok kecil dan terbang diantara pepohonan dan semak–semak di semua bagian pohon, khususnya di hutan semak pantai (MacKinnon, 1993).

(58)

bahan makanan, burung ini berpotensi sebagai hama tanaman termasuk tanaman budidaya. Perubahan semacam ini tentu akan menjadikan permasalahan sosial. Untuk kepentingan konservasi hal ini perlu diperhatikan, karena selain berpotensi mengakibatkan kepunahan jenis lainnya, ledakan populasi Zosterops chloris dapat menganggu keseimbangan ekosistem.

Sterna anaethatus mendominansi kedua setelah Zosterops chloris pada periode Juni 2006, tetapi jenis ini tidak ditemui lagi pada periode berikutnya. Burung ini tidak memanfaatkan P. Geleang sebagai habitat pokok. Sterna anaethatus mempunyai kebiasaan hidup di tengah laut. Mendatangi tepi pantai hanya saat cuaca buruk atau pada saat musim berbiak (MacKinnon, 1993).

(59)

Tabel 4. Dominansi Burung di P. Burung Pada Setiap Periode Penelitian

Periode Penelitian

Kategori Jun-06 November 2006 Jun-07

Dominan Egretta sacra Nectarinia jugularis Caloenas nicobarica

Sterna bergii Artamus leucorhyncus Nectarinia jugularis

Nectarinia jugularis Todirhampus cloris Zosterops chloris

Artamus leucorhyncus Zosterops chloris Ducula bicolor

Zosterops chloris Sterna sumatrana

Sterna sumatrana

Sub

Dominan Fregata minor Egretta sacra Artamus leucorhyncus

Fregata ariel Butorides striatus Todirhampus cloris

Todirhampus cloris Accipiter sp. Sterna bergii

Amaurornis phoenicurus

tidak ada tidak ada Egretta sacra

Tidak Dominan

Rhinomyias umbratilis

(60)

sedangkan Rhinomyias umbratilis dan Egretta sacra termasuk dalam kategori tidak dominan (Tabel 4 dan Lampiran 6).

Nilai dominansi terbesar pada periode Juni 2006 dan Juni 2007 adalah Sterna sumatrana. Hal ini dikarenakan Sterna sumatrana mempunyai jumlah individu terbesar, yaitu 29 individu pada periode Juni 2006 dan 19 individu pada periode Juni 2007, tetapi jenis ini tidak ditemui pada periode November 2006. Habitat yang paling disukai burung ini adalah pantai-pantai berkarang dan berpasir (MacKinnon, 1993). Burung ini berkembangbiak di pulau-pulau kecil lepas pantai. Saat ditemui di P. Burung, burung ini terlihat sedang berkembangbiak. Untuk kepentingan konservasi jenis, habitat P. Burung perlu dilestarikan terutama kondisi yang menyebabkan Sterna sumatrana memilih P. Burung untuk berkembangbiak. Biasanya burung ini bertelur di gosong pantai atau diatas pohon tumbang yang menjorok ke pantai.

(61)

Pada periode Juni 2007 Ducula bicolor mempunyai nilai dominansi yang cukup tinggi setelah Sterna sumatrana yaitu sebesar 25%. Burung ini tidak teramati pada periode Juni 2006 dan November 2007. Ducula bicolor tidak menggunakan P. Burung sebagai habitat pokok. Burung ini hanya singgah sementara waktu untuk mencari makan atau mencari variasi bahan makanan. Ducula bicolor mempunyai kemampuan terbang yang kuat dan seringkali terbang diantara pulau-pulau kecil lepas pantai untuk mencari makanan (MacKinnon, 1993).

(62)

Perubahan komposisi suatu habitat atau perubahan musim pada tumbuhan berimplikasi langsung terhadap ketersediaan pakan. Ketersediaan pakan ataupun ketidaktersediaan pakan akan turut merubah komposisi jenis burung maupun jumlah populasi burung yang mendiami habitat tersebut. Kelimpahan dari kebanyakan burung dibatasi oleh jenis pakannya, oleh karena itu untuk dapat hidup bersama dalam suatu komunitas burung-burung tersebut harus berbeda dalam jenis atau tipe pakan, cara atau teknik mendapatkannya dan berbeda pula dalam preferensi habitat.

D. Tingkat Kesamaan Jenis antara P. Geleang dan P. Burung

(63)

tidak ditemui di P. Geleang adalah Caloenas nicobarica, Fregata minor, Fregata ariel dan Amaurornis phoenicurus. Kesamaan jenis ini didukung oleh letak antara P. Geleang dan P. Burung yang tidak terlalu jauh, sehingga masih memungkinkan adanya pertukaran (imigrasi dan emigrasi) diantara kedua pulau tersebut.

Faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kemiripan komposisi jenis penyusun komunitas burung di P. Geleang dan P. Burung dikarenakan letak kedua pulau tersebut berdekatan. Letak geografis yang berdekatan dan sama-sama jauh dari pulau utama (main land) sebagai sumber jenis, memungkinkan terjadinya pertukaran jenis, imigrasi, dan emigrasi diantara kedua pulau tersebut. Karakteristik habitat dan tipe vegetasi antara P. Geleang dan P. Burung sangat berbeda, namun justru fakta tersebut yang rasional untuk menghubungkan kesamaan jenis antara kedua habitat tersebut. P. Burung menyediakan struktur vegetasi yang rapat dan kompleks. Vegetasi ini berpotensi untuk menyediakan bahan makanan bagi burung. Luas wilayah P. Burung yang sangat sempit tidak memungkinkan sebagai habitat pokok semua jenis burung. Untuk memenuhi kebutuhan akan habitat/tempat tinggal, burung memilih P. Geleang yang jauh lebih luas dan letaknya relatif lebih dekat. Faktor kebutuhan pakan dan habitat yang dapat dipenuhi oleh kedua pulau tersebut menyebabkan tingginya kesamaan jenis komponen penyusun komunitas burung pada P. Geleang dan p. Burung.

(64)

habitat yang paling sesuai untuk kehidupannya. Menurut Krebs dan Davis (1978) tidak ditemukannya suatu jenis burung di suatu habitat disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketidakcocokan habitat, perilaku (seleksi habitat), kehadiran jenis lain (predator, parasit dan pesaing) dan faktor kimia-fisika lingkungan yang berada di luar kisaran toleransi jenis burung yang bersangkutan.

P. Burung didukung oleh struktur vegetasi yang rapat dan komplek. Kondisi vegetasi merupakan faktor penting bagi kelangsungan hidup burung. Vegetasi merupakan sumber makanan dan tempat berlindung dari predasi. Ketersediaan pakan dalam habitat yang ditempati merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung. Burung tidak memanfaatkan seluruh habitatnya, melainkan ada seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat tersebut yang digunakan sesuai dengan kebutuhannya (Wiens, 1992). Hal ini memberikan gambaran bahwa keanekaragaman jenis burung suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh luas wilayah, tetapi juga kondisi vegetasi dan kondisi lingkungan. Kemampuan adaptasi setiap jenis burung juga akan menetukan keberadaannya.

E. Penyebaran Burung dan Penggunaan Stratifikasi Tajuk Vegetasi

(65)

0.78

Gambar 7. Grafik Nilai Frekuensi Burung yang Ditemukan di P. Geleang

(66)

kemampuan terbangnya, burung ini mampu mengitari hampir suluruh wilayah P. Geleang. Persebaran tidak lepas dari pemenuhan kebutuhan akan makanan. Haliaeetus leucogaster dan jenis burung pemangsa lainnya mempunyai kebiasaan soaring atau terbang berputar-putar diangkasa untuk mencari mangsa. Home range atau daerah jelajah burung ini cukup luas.

1

(67)

yang sangat sedikit. Perilaku dan kebiasaan burung ternyata sangat berpengaruh pada pola penyebarannya. Caloenas nicobarica lebih memilih pulau-pulau kecil lepas pantai yang bebas dari pemangsa sebagai habitat. Waktu aktif burung ini hanya pada senja hari, sedangkan pada siang hari lebih menyukai tempat-tempat gelap dan terlindung. Hal ini merupakan salah satu faktor yang membatasi penyebarannya.

Pengukuran diversitas spesies burung pada area studi dan menghubungkan pada aspek vegetasi keanekaragaman jenis tumbuhan dan keanekaragaman lapisan tumbuhan yang dilakukan MacArthur (1967) menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis burung tidak berkorelasi dengan keanekaragaman jenis tumbuhan saja melainkan pada keanekaragaman lapisan tumbuhan dan kompleksitas struktur vegetasi. Stratifikasi vegetasi yang bervariasi akan memberikan relung atau bahkan mikrohabitat bagi burung. Perbedaan relung dapat menghindari kompetisi dalam memperoleh makanan. Mikrohabitat adalah ruang spesifik yang paling cocok sebagai tempat hidup burung. Di ruang inilah burung akan beraktivitas, mencari makanan, istirahat, berkembangbiak, bersarang, dan mengasuh anak-anaknya.

(68)

Gambar 9. Penyebaran Burung Berdasar Stratifikasi Tajuk Vegetasi di P. Geleang

(69)

Strata tajuk atas turut mewakili keberadaan burung yang hanya terbang melintas (flying over) pada habitat tersebut, seperti Sterna bergii, Sterna sumatrana dan Sterna anaeethatus. Habitat yang spesifik dari burung ini adalah gosong laut di sekitar pantai. Meskipun demikian, burung-burung ini sering pula memanfaatkan tajuk atas pohon di sepanjang garis pantai. Burung tidak selalu menggunakan satu strata tajuk tertentu karena mobilitas burung yang cukup tinggi. Tumbuhan bawah dan tanah merupakan strata khusus yang terpisah dari arsitektur pohon. Pada strata ini lebih banyak dihuni burung semak dan burung penghuni strata lainnya yang mencari makan sampai di semak-semak. Burung yang hampir konsisten hanya ditemui di habitat ini adalah Orthotomus ruficeps.

(70)

Vegetasi P. Burung mempunyai kerapatan dan struktur stratifikasi yang komplek (Gambar 10). Struktur stratifikasi semacam ini lebih banyak menyediakan habitat bagi burung. Zosterops chloris menggunakan hampir semua strata tajuk vegetasi di P. Burung. Strata tajuk atas lebih didominasi oleh Accipiter sp. dan beberapa burung pantai yang melintas seperti Fregata minor dan Fregata ariel. Tajuk tengah banyak dihuni burung pemakan serangga, burung pemakan buah-buahan dan burung pemakan nektar. Burung yang menghuni strata ini adalah Nectarinia jugularis, Artamus leucorhynchus, Zosterops chloris, Rhinomyias umbratilis dan Ducula bicolor. Pada tajuk bawah lebih didominasi oleh Todirhampus chloris dan Butorides striatus (Gambar 10).

Caloenas nicobarica lebih banyak beraktivitas dan mencari makan di permukaan tanah, terutama tanah yang terlindung oleh semak tumbuhan bawah. Burung ini menggunakan tajuk bawah pohon untuk istirahat, perlindungan, dan bersarang saat musim kawin. Pada periode Juni 2007 Caloenas nicobarica sedang berkembangbiak. Hal ini ditandai dengan ditemukannya individu immature. Burung ini merupakan burung pengunjung terbatas di pulau-pulau kecil lepas pantai dan umumnya jarang ditemukan. Termasuk burung krepuskular yang mencari makan diatas permukaan tanah. Pada siang hari hanya aktif di tempat-tempat gelap dan terlindung. Burung ini tercatat berkembangbiak di pulau-pulau kecil Laut Jawa, termasuk kepulauan Karimunjawa (MacKinnon, 1993).

(71)

hanya sesekali keluar tempat terbuka untuk mencari makan. Sterna sumatrana dan Sterna bergii lebih banyak beraktivitas di gosong laut, atau disekitar pohon tumbang yang menjorok kelaut. Pada waktu tertentu burung ini memanfaatkan tajuk atas pohon disepanjang bibir pantai untuk beristirahat. Pada periode Juni 2006 Sterna sumatrana teramati sedang berkembangbiak. Dalam memilih pohon untuk sarang, Sterna sumatrana lebih menyukai pohon yang tumbang menjorok ke tepi pantai. Telur – telur diletakan pada kayu tumbang. Tidak ada sarang yang jelas, hanya sedikit pembatas dari serpihan kayu untuk menjaga agar telur tersebut tidak menggelinding. Biasanya tiap sarang terdapat dua buah telur. Sterna sumatrana berkembangbiak dan mengasuh anak-anaknya di P. Burung. Makanan utama burung ini adalah ikan-ikan kecil dipermukaan air laut. Seperti burung-burung lainnya, Sterna sumatrana juga melakukan migrasi temporal untuk mencari makan. Hal inilah yang menyebabkan burung tersebut tidak ditemui saat pengamatan periode November 2006.

(72)

Tabel 5. Pemanfaatan Pohon Oleh Burung di P. Geleang

no Jenis Vegetasi Jenis Burung Pengguna Vegetasi Σ

Ft (%)

1 Kudho

Todirhampus chloris, Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis , Rhimomyias olivacea, Haliaeetus

leucogaster 5 27,78

2 Gabusan

Todirhampus chloris, Zoosterops chloris, Nectarinia

jugularis , Butorides striatus 4 27,78

3 Ketapang

Todirhampus chloris, Zoosterops chloris, Artamus

leucorinchus 3 16,67

4 Semak

Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis, Artamus

leucorinchus 3 16,67

5 Cemara laut Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis 2 16,67

6 Singkil Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis 2 11,11

7 Pongamia sp. Nectarinia jugularis, Egretta sacra 2 11,11 8 Morinda sp. Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis 2 11,11

9 Tembelekan Zoosterops chloris 1 5,56

(73)

dimaksudkan untuk mengusir lalat dan serangga yang akan menganggu anakannya. Burung ini bergantung pada satu jenis pohon untuk bersarang, sehingga sangat rentan terhadap perubahan lingkungan, terutama dengan keberadaan Lanea grandis. Untuk kepentingan konservasi jenis, keberadaan pohon Kudho perlu dilestarikan karena akan mempengaruhi kelangsungan hidup Haliaeetus leucogaster di P. Geleang. Kesuksesan perkembangbiakan suatu satwaliar adalah bentuk mekanisme pertahanan diri dari kepunahan.

Gabusan biasa dimanfaatkan burung pada bagian bunga, sedangkan Cemara laut dan Ketapang digunakan untuk bertengger, istirahat dan perlindungan. Zoosterops chloris dan Nectarinia jugularis memanfaatkan tumbuhan bawah (semak) untuk mencari makan, istirahat, dan bersarang sedangkan Artamus leucorhynchus memanfaatkan semak untuk mencari makanan terutama serangga. Beberapa jenis burung memanfaatkan lebih dari satu jenis pohon. Zosterops chloris hampir memanfaatkan semua jenis pohon yang ada. Dengan memanfaatkan bunga, burung ini telah membantu proses penyerbukan tumbuhan serta menjalankan fungsi ekologis lainnya. Burung ini tidak tergantung pada satu jenis pohon sehingga memiliki toleransi yang cukup luas dengan perubahan lingkungan dan komposisi vegetasi. Kemampuan semacam ini akan mendukung burung tersebut untuk dapat bertahan hidup lebih lama pada semua tipe habitat.

(74)

bersarang, burung ini lebih menyukai tebing atau vegetasi yang berdekatan dengan perairan. Sarang terbuat dari tanah dan tidak jarang menggunakan sisa rumah rayap yang menempel di batang pohon.Gabusan dimanfaatkan burung ini untuk bertengger mengincar mangsa, karena vegetasi ini banyak terdapat di tepi pantai.

Egretta sacra adalah burung air yang sebagian besar hidupnya berada di perairan. Burung ini lebih banyak menggunakan vegetasi tepi pantai dan mangrove. Pongamia sp. Adalah salah satu vegetasi mangrove (mangrove ikutan) yang dimanfaatkan Egretta sacra untuk bertengger (roosting tree). Burung ini tidak tergantung pada satu jenis vegetasi tetapi justru membutuhkan habitat berkarang dan pantai dangkal.

Tabel 6. Pemanfaatan Pohon Oleh Burung di P. Burung

no Jenis Vegetasi Jenis Burung Pengguna Vegetasi Σ Ft (%)

1 Cemara laut

Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis,

Artamus leucorinchus, Sterna sumatrana 4 26,67

2 Lako-lako

Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis,

Artamus leucorinchus 3 20,00

3 Sawo kecik Zoosterops chloris, Caloenas nicobarica 2 13,33

4 Bergat Egretta sacra, Ducula bicolor 2 13,33

5 Jambon Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis 2 13,33

6 Semak Zoosterops chloris, Artamus leucorinchus 2 13,33

7 Lempeni Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis 2 13,33

8 Gabusan Zoosterops chloris, Nectarinia jugularis 2 13,33

9 Kudho Ducula bicolor 1 6,67

10 Waru laut Caloenas nicobarica 1 6,67

11 Ingas Caloenas nicobarica 1 6,67

12 Sentolok Artamus leucorinchus 1 6,67

(75)

juga dimanfaatkan antara lain Kudho, Waru laut, Ingas dan Sentolok. Cemara laut adalah pohon yang paling diminati burung di P. Burung. Pohon ini digunakan sebagai roosting tree atau pohon tempat bertengger. Karakter pohon yang tinggi dan besar sangat bermanfaat untuk perlindungan burung dari serangan pemangsa ataupun cuaca yang kurang baik. Pohon lainnya yang banyak dimanfaatkan burung adalah Lako-lako dan Gabusan. Bagian yang dimanfaatkan oleh burung adalah bunganya. Pohon yang biasa dimanfaatkan bunga dan buahnya antara lain Sawo kecik, Jambon, dan Lempeni.

Caloenas nicobarica memanfaatkan Waru laut, Ingas, dan Sawo kecik untuk berlindung dan bersarang. Biasanya, burung ini memilih pohon yang rimbun dan terlindung dari sinar matahari. Jenis vegetasi yang disukai Caloenas nicobarica adalah jenis pohon dengan klasifikasi tiang, mempunyai percabangan yang rapat, dan rimbun daunnya. Vegetasi semacam ini digunakan untuk berlindung, karena Caloenas nicobarica sangat sensitif dengan pemangsa/predator termasuk dengan aktifitas manusia.

Nectarinia jugularis cenderung menggunakan hampir semua jenis vegetasi. Burung ini biasa memanfaatkan bunga untuk diambil madunya. Nectarinia jugularis adalah salah satu jenis burung yang dilindungi Undang-undang pada tingkat familia, karena burung tersebut berperan dalam membantu penyerbukan tanaman. Semak dan tumbuhan bawah yang sedang berbunga juga sering dikunjungi.

(76)

menyukai tempat-tempat panas yang tidak terlindung oleh tajuk vegetasi. Salah satu vegetasi yang biasa digunakan untuk bertengger adalah Cemara laut. Artamus leucorhynchus seringkali terlihat bertengger di tajuk atas bagian luar. Burung ini juga mengunjungi vegetasi berbunga seperti Sentolok, Lako-lako, dan semak untuk mencari serangga. Biasanya vegetasi yang sedang berbunga banyak terdapat serangga.

Gambar

Gambar 1. Lokasi Penelitian di P. Geleang dan P. Burung  Taman Nasional        Karimunjawa (Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Jateng, 2003)
Gambar 3. Grafik Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Setiap
Gambar 4. Grafik Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Setiap
Gambar 6. Grafik Indeks Keanekaragaman dan     Indeks Kemerataan Burung di P. Burung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilakukan uji normalitas diketahui bahwa sampel kedua kelas adalah sampel berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen maka dilakukan pengujian

Selama proses belajar mengajar berlangsung juga diadakan pengamatan (observasi) terhadap tindakan, kata-kata, prilaku atau apa saja yang dilakukan mahasiswa di kelas. Hal

Sumbawa dan Lombok Barat, jumlah jam kerja ternak hanya berkisar 3 — 4 jam kerja per hari. Untuk menjamin ketersediaan beberapa pakan yang mengandung nilai nutrisi yang

Strategi yang dapat dilakukan untuk mempercepat hilirisasi bioplastik berbasis PHA dari industri kelapa sawit meliputi: (1) penggunaan teknologi pengolahan

Penelitian ini dilakukan karena terdapat beberapa permasalahan yaitu rendahnya tingkat pemahaman siswa kelas V SD Negeri 01 Gantiwarno Matesih pada mata pelajaran

Berdasarkan uraian yang tertulis pada latar belakang masalah, maka fokus penelitian dalam penelitian yang berjudul “Analisis Pengembangan Wisata Syariah Berbasis

Perkembangan teknologi selalu terbaharui sesuai dengan kebutuhan manusia dalam berbagai aspek kehidupan yang tidak ada habisnya. Salah satu teknologi yang kini hampir digunakan

Mekanisme aksi dari metformin yaitu menstimulasi glikolisis langsung pada jaringan perifer dengan peningkatan pengeluaran glukosa dari darah, mengurangi