• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMODIFIKASI AUDIENS DALAM PROGRAM TELEV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOMODIFIKASI AUDIENS DALAM PROGRAM TELEV"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KOMODIFIKASI AUDIENS DALAM PROGRAM TELEVISI (Diskursus atas Program Acara Televisi di Indonesia)

Dewasa ini, program acara televisi tidak (lagi) diposisikan sebagai media fungsional dalam berkomunikasi secara an sich, namun lebih jauh telah dipandang sebagai industri tersendiri. Dalam kacamata pengalaman historis, Gordon (1991) menyebut perkembangan program TV tersebut sebagai pengejawentahan 3 (tiga) karakteristik suatu industrialisasi, yakni: customer requirements, competitive enviroment, dan societal expectation. Ketiganya, memiliki dimensi yang menggambarkan realitas, representasi, dan ideologi pada program acara TV.

Pada sisi realitas, program acara TV diaktualisasikan melalui belbagai pertistiwa, seperti: kecelakaan, kriminalitas, kekerasan, dan lain sebagainya. Sementara sisi representasi disajikan dalam sebuah video dari peristiwa-peristiwa tersebut yang menjadi sebuah objek tontonan yang dinikmati oleh audiens. Hingga pada akhirnya terbentuk menjadi sebuah ideologi (perspektif) yang berujung pada penilaian dan manfaat (positif atau negatif) oleh audiens. Bagi McQuail (1997) program acara TV terdapat beberapa scene yang dapat dimaknai sebagai komodifikasi audiens, mulai dari proses pertukuran nilai guna (use value) ke nilai tukar (exchange value).

(2)

audiens menjadi krusial dan memiliki potensi finansial (perekonomian) yang tidak terelakkan dalam industri media.

Setidaknya ada relasi segitiga dalam tradisi kritis studi ini, yakni: media, audiens, dan pengiklan. Sebagaimana DeFleur (2010) utarakan dalam teori normatif sistem media bahwa kaitan posisi audiens setidaknya memiliki hubungan dengan variabel-variabel the major needs and interest, social categories, dan the social relationship yang saling bergantungan, terdiri dari: audiences, research organizations, distributors, producers and their sponsors, advertising agencies, dan subsystems of control. Kesemuanya memiliki kebutuhan utama dan kepentingan yang direpresentasikan audiens dan hubungan sosial antar kahalayak melalui mekanisme perilaku, seperti: pola perhatian, penafsiran, dan respon audiens berkaitan dengan isi dari jenis program TV.

Tinjauan lebih jauh melihat bagaimana ketiganya bekerja di dalam sebuah rerangka program TV secara komersial. Menurut tataran Napoli (2011) rerangka tersebut dapat ditelaah melalui sistem rating yang diterapkan oleh media TV pada khususnya. Dalam hal ini, sistem rating terdapat suatu korelasi positif yang sesungguhnya tidak lebih dari bentuk jual beli audiens bagi program media TV untuk mendatangkan iklan sebanyak-banyaknya. Semakin banyak audines menonton suatu program acara TV, semakin tinggi rating program tersebut, maka semkin banyak iklan yang didapatkan. Hal demikian, yang menjadi survival media (program) TV yang merefleksikan sebuah proses komodifikasi audiens itu sendiri.

(3)

public sphere. Manifestasi public sphere berkaitan dengan pembentukan kesadaran publik, tepatnya kesadaran yang bukan sekesar prinsip abstrak, melainkan sesuatu yang sifatnya inheren secara kultural. Melalui cara ini, audiens dapat dicerdaskan karena memiliki banyak alternatif pemikiran yang bebas dari kontrol, sensor, dan dominasi.

Oleh karenanya, menarik untuk dikritisi lebih jauh bagaimana program acara TV dalam mengkomodifikasi audiens sehingga dapat dijual kepada para pengiklan dan bagaimana implikasi dari sebuah sistem rating sebagai instrumen komodifikasi audiens terhadap public sphere. Asumsi dasar yang digunakan dalam telaah kritis ini adalah audience analysis yang merujuk pada praktik pertukaran ruang opini dimana setiap wacana (masalah-masalah sosial) dapat muncul secara bebas. Konsep ini berhubungan dengan sebuah realitas yang diisi dan dikonstruksi oleh benturan kepentingan pelbagai pihak, dimana komodifikasi audiens merupakan pengejawentahan (proses)-nya.

Rating dan Komodifikasi Audiens

Signifikansi dari ranah industi TV yang tercipta melalui serangkaian program acara memiliki invisible hand yang komersialisasi membuat paket bisnis semakin menguntungkan. Terbukti skala dan spesivitas (spsifity) yang dikeluarkan AGB Media Nielsen Media Reserarch (2014) menunjukkan konsumsi program acara TV sangat tinggi signifikan. Angka data merefleksikan secara jelas bahwa jumlah rata-rata audiens yang menonton program puncak mencapai 94% atau 18 juta audiens tiap harinya.

(4)

secara otomatis dan online per-daily rating di 10 (sepuluh) kota besar, yakni Kota Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Makassar, Yogyakarta, Palembang Depansar, dan Banjarmasin. Perhitungan ini memakan jumlah populasi (audiens) mencapai 49 juta audiens berusia 5 (lima) tahun ke atas.

Sebagaimana dilansir AGB Media Nielsen Media Reserarch (2014), rating program acara di Indonesia, per bulan Desember 2014 yang menjadi tontonan favorit adalah acara pencarian bakat, musik, atau permainan dengan perolehan rating sebesar 2,3% atau 1,2 juta penonton. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan perolehan program acara hiburan (komedi) dan sinetron. Namun demikian, perlu diketahui bahwa audiens TV di Indonesia masih menghabiskan 24% (197 jam) dari total jam menonton program acara selama setahun terakhir untuk menyaksikan sinetron. Sedangkan, program acara seperti pencarian bakat, musik, dan permainan memperoleh porsi jam menonton terbesar kedua dari audiens, yakni sekitar 20% (196 jam selama setahun).

Bercermin dari realitas data tersebut, dapat dikemukakan bahwa audiens telah membentuk komoditasnya atau program acara TV tersebut telah mampu mengkomodifikasi audiens melalui komoditas hiburan sekaligus komoditas industri pengiklan atau audiens pada akhirnya mengonsumsi pesan iklan untuk membeli produk yang diiklankan. Dalam hal ini, konsep struktur media market yang diutarakan Barret & Newbold (1995) berlaku hukum kebutuhan akan seputar audiens, mulai dari kuantitas jumlah, kualitas psikografi atau gaya hidup, sampai dengan perilaku menyimak program acara, telah menjadi kebutuhan absolut bagi para pengiklan maupun media buyer.

(5)

acara TV seringkali diabaikan tanpa mengedepankan selera audiens (pasar). Banyak program acara TV saat ini lebih mengedepankan profit yang dapat diraup sebesar-besarnya, khususnya dari pemasukan iklan.

Hakikat sistem rating adalah terhubungnya dan dilanggengkannya media (TV), audiens, dan pengiklan sebagai market population circle. Yakni, ketika sebuah program acara tertentu mendapat respon yang tinggi dari audiens, maka program acara TV bersangkutan dengan mudak akan menjualnya kepada pengiklan. Sebaliknya, apabila sebuah stasiun TV dipandang tidak prospektif, dalam arti tidak berpotensi ekonomi, maka pihak pengelola program pun tidak segan menghilangkannya. Dalam hal ini, Nugroho (2008) mengeksplanasikan sebagai manifestasi program acara TV yang harus melakukan modifikasi peran audiens, dimana pada produksi program acara TV semata-mata hanya ditujukan untuk menarik perhatian audiens, sehingga perilaku menonton pada audiens dapat dijual kepada pengiklan dalam bentuk poin rating yang setinggi-tingginya.

Kendati demikian, Burton (2008) dalam bab tersendiri, menawarkan cara untuk berhasil dalam mengkonstruksi audiens, dimana audiens harus dilihat dari spesifikasi berikut menerjemahkan audiens sebagai komoditas ensensial, diantaranya:

a. Status sosio-ekonomi adalah deskriptor yang lazim dimana pendapatan dan pekerjaan atau status para audiens menjadi target. Audiens dinilai atas pa yang dapat mereka belanjakan.

b. Pemeringkatan TV adalah khas bagi TV dan merupakan ukuran prosentase dari audiens target tertentu yang menonton saluran tertentu selama periode waktu tertentu

(6)

d. Proses pembuatan acara (programming) menunjukkan deskripsi yang serupa dan penempatan acara pada waktu tertentu. Hal demikian lebih menunjukkan definisi audiens berdasarkan genre.

e. Gaya hidup merupakan cara populer untuk mendeskripsikan audiens bagi suatu industri stasiun TV, khususnya pada program acara-nya. Profil dari tipe-tipe ini mendeskripsikan para audiens dikaitkan dengan tempat tinggalnya, barang-barang yang mereka konsumsi, hubungan audiens dan kebiasaan waktu senggangnya.

f. Profil psikografis mendefinisikan audiens dikaitkan dengan pemahaman terhadap identitas dan nilai-nilai audiens tersebut. Jelas, bahwa deskripsi psikologis dan sosial audiens dikonstruksikan dari riset agar materi media (TV) tersebut dapat dikonstruksikan untuk memiliki daya tarik bagi kelompok ini.

Jelas kiranya, bahwa suatu program acara TV tidak hanya menciptakan konsumen (audiens) sebagai pasar, namun juga mengkonstruksi audiens sebagai sebuah komoditas yang dapat dijual dan mendatangkan profit. Sebagaimana McQuail (2010) tuturkan, bahwa ...they are (audience) are a critical component in the media’s ability to make money, and frequently determine whether a particular media operator succeeds or fails..’, yang pada intinya adalah audience sebagai komoditas yang berharga, yakni memiliki sifat-sifat yang sama dengan komoditi lainnya: dibeli, dijual, perishable – sewaktu-waktu dapat menghilangkan, atau disingkirkan, ketika dinilai tidak lagi berpotensi ekonomi.

Implikasi

(7)

untuk memperebutkan dan menguasai sumber-sumber ekonomi, baik itu ekonomi finansial maupun ekonomi budaya dan juga politik sekaligus. Kendati demikian, penulis mencoba menelaah lebih lanjut melalui konsep yang merujuk pada diskusi kesadaran audiens yang sifatnya inheren secara kultural dalam aktivitas sehari-hari.

Menyadur konsepsi McQuail (2010), dimana program acara yang diselenggarakan oleh stasiun TV adalah pengejawentahan atas public sphere, yakni ...a free market place of ideas, dimana diasumsikan terciptanya ruang opini publik, khususnya bagi audiens akibat masalah politik media (TV) melalui pencerdasan secara bebas dari kontrol, sensor, dan dominasi. Nugroho (2008) menambahkan bahwa ranah penyiaran program acara TV seyogyainya mampu menciptakan public sphere yang sehat dan ideal. Tersebab, audiens selama ini dijadikan komoditi akibat media (TV) yang telah bertindak selaku kelas kapitalis yang bertujuan mengeksploitasi perilaku budaya audiens tanpa kompensasi yang adil.

(8)

Maka dari itu, gambaran bahwa audiens sama sekali tidak secara penuh mendapatkan kebebasan untuk mendapatkan alternatif program acara TV yang tujuannya lebih mencerdaskan berikut telah mengancam adanya diversity of ownership dan diversity of content, Gloria Tristani dalam FCC Commissioner pada Tahun 1998 (dalam Croteau & Hoynes, 2001) menuturkan bahwa eksistensi TV secara mendasar berupaya memiliki pendekatan melalui program-program yang ditayangkan kepada audiens. Di samping, ada batasan ini mengacu pada siaran TV yang menyelaraskan programming bagi audiens. Beberapa batasan tersebut dapat dijadikan referensial bagi program acara TV di Indonesia untuk mengudara sebagai TV local wisdom, diantaranya:

a. Penggunaan bahasa, yakhi kesesuaian kelembagaan untuk menggunakan bahasa dalam tiap-tiap program yang ditayangkan. Jika menggunakan bahasa yang formal merupakan tingkatan bahasa tinggi akan mengalami kendala banyak pemirsa yang sudah mulai lupa karena bukan merupakan bahasa percakapan sehari-hari. Selain itu juga jika ada pemilihan diksi yang kurang tepat, ada sebagian pemerhati budaya yang mengkritisinya sebagai merusak pakem bahasa.

b. Pementasan seni budaya, yakni program acara TV diharapkan mampu menjadi wahana ekspresi bagi kesenian yang terpinggirkan. Misalnya, acara budaya unggulan antara lain Langen Budaya dan Mocopatan di Jawa Tengah. Acara Langen Budaya disiarkan 2 kali dalam seminggu dengan durasi 1 jam pada Senin dan Kamis malam. Konten acara Langen Budaya meliputi wayang kulit, ketoprak, dan wayang orang yang ditayangkan secara bergantian.

(9)

kepuasan dan membangun keterikatan emosional antara pemirsa dengan stasiun TV. Strategi lainnya adalah dengan menggandeng komunitas-komunitas musik untuk mengisi acara seperti yang dilakukan pada pencinta musik nostalgia. Jenis-jenis musik yang banyak diangkat antara lain musik dangdut, campur sari, gending jawa, dan tembang kenangan.

d. Destinasi pariwisata dan potensi daerah, dimana unsur budaya di Indonesia tidak selalu berupa seni musik atau pertunjukkan. Kebudayaan juga meliputi tata bangunan, destinasi wisata, maupun kuliner. Misalnya, pada wilayah Jawa Tengah terdiri dari 35 kota/kabupaten yang tentu saja memiliki destinasi pariwisata dan potensi-potensi unggulan daerah. Potensi tersebut merupakan salah satu unsur program acara diversity of content yang juga perlu diangkat atau dipromosikan melalui media penyiaran.

Terlepas dari paparan di muka, maka dapat dikemukakan bahwa memberdayakan audiens melalui diversity of content merupakan suatu keniscayaan untuk memperluas dan memperkuat public sphere sebagaimana dicita-citakan Habermas (dalam Cox, 2013) yang menyebutkan bahwa program acara TV hendaknya berprinsip teguh pada bagaimana mengoptimlakan potensi audiens sebagai komponen komodifikasi audiens (konsumen sekaligus komoditas). Jika demikian, komdifikasi audiens sesungguhnya bukan program atau rating yang dijual, melainkan ‘kelayakan’ distribusi dan produksi program acara TV sebagai penghambaan media pada konstruksi market.

DAFTAR BACAAN

Barret, O. B., & Newbold, C. (1995). Approach to The Media: A Reader. London: Arnold Publishing.

Burton, G. (2008). Media dan Budaya Populer. Joygyakarta: Jalasutra. Cox, R. (2013). Environmental Communication and the Public Sphere.

(10)

DeFleur, M. L. (2010). Mass Communication Theories: Explaining Origins, Processes, and Effects. Boston: USA: Allyn & Bacon Publication.

Ghazali, E. (2003). Konstruksi Sosial Industri Penyiaran . Jakarta: GPU. Gordon, G. (1991). Industry Determinants of Organizational Culture. USA:

Academy of Management .

McQuail, D. (1997). Audience Analysis. California:USA: SAGE Publication. _________. (2010). McQuail's Mass Communication Theory (6th Edition).

London: SAGE Publication.

Napoli, P. M. (2011). Audience Evolution: New Technologies and the Transformation of Media Audiences. New York: Chichester, West Sussex: Columbia University Press.

Nielsen. (2014). Advertising & Audiences: State of The Media. USA: Nielsen .

Referensi

Dokumen terkait

tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 2 MST, tetapi berpengaruh nyata pada umur 3-5 MST dan berpengaruh nyata pada umur 6 MST dan perlakuan

Pegawai Negeri Sipil Kementerian Perhubungan yang diperbantukan pada Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelengga-ra Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia dan

e) Hasil OJK checking tidak termasuk dalam kategori pembiayaan non lancar. 15 Fachrur Razi,Kepala Warung Mikro Bank Syariah Mandiri KCP Perbaungan, wawancara pribadi, Perbaungan,

[r]

Relationship marketing dapat diimplementasikan melalui dimensi- dimensinya seperti kepercayaan, komitmen, hubungan timbal balik, ketergantungan, komunikasi dua arah,

Melalui dasar pemikiran tersebut, peneliti mencoba mengangkat penelitian dengan tema etika komunikasi dalam perspektif al-Qur’an dengan memperbandingkan dua tafsir

Perusahaan distributor sebagai sebuah badan usaha tentunya juga memerlukan suatu pemeriksaan internal atas persediaan barang dagang yang memadai untuk menunjang efektivitas

Kombinasi proses hidrolisis secara enzimatis dan fermentasi dapat digunakan untuk pembuatan kecap ikan dengan waktu yang relatif singkat dan menghasilkan ke- cap ikan dengan