• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETIKA LINGKUNGAN SEBUAH TINJAUAN DALAM F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ETIKA LINGKUNGAN SEBUAH TINJAUAN DALAM F"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PAPER

TUGAS MATA KULIAH FALSAFAH SAINS

ETIKA LINGKUNGAN: SEBUAH TINJAUAN DALAM

FILSAFAT ISLAM

ODING AFFANDI

E.161140031

PROGRAM STUDI ILMU PENGELOLAAN HUTAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

i KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT., Tuhan sekalian alam, Yang Maha Besar, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang terhadap semua mahluk-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. sebagai manusia pilihan yang menjadi perantara Sang Pencipta sehingga Syariat-Nya sampai kepada kita dan kita (selalu berharap) menjadi orang-orang yang beretika.

Paper yang berjudul “ETIKA LINGKUNGAN: SEBUAH TINJAUAN DALAM FILSAFAT ISLAM” dibuat untuk menambah informasi bahwa dalam pengelolaan lingkungan diperlukan, bukan sekedar teknik-intelektual, namun juga diperlukan hal-hal terkait moral (etika)-spiritual. Oleh sebab itu, pemahaman masalah lingkungan hidup dan penanganannya perlu diletakkan di atas suatu fondasi moral dengan cara menghimpun dan merangkai sejumlah prinsip, nilai, dan norma serta ketentuan hukum yang bersumber dari ajaran agama.

Oleh karenanya ketika akan mengatasi krisis lingkungan, yang kini sedang melanda dunia, bukanlah melulu persoalan teknis, ekonomis, politik, hukum, dan sosial-budaya semata. Melainkan diperlukan upaya penyelesaian dari berbagai perspektif, termasuk salah satunya adalah perspektif fiqih. Mengingat, fiqih pada dasarnya merupakan "jembatan penghubung" antara etika (prilaku manusia) dan norma-norma hukum untuk keselamatan alam semesta (kosmos).

Makalah ini mencoba mengantarkan pemahaman dan penggalian rumusan Filsafat Islam tentang Etika Lingkungan sehingga dibagi menjadi bagian-bagian yaitu: (1) Fakta Kerusakan Lingkungan dan Dampaknya; (2) Perkembangan Mazhab Etika Lingkungan, (3) Tinjaun Filsafat Islam Terhadap Etika Lingkungan, dan (4) Fiqh Al-Bi'ah Sebagai Solusi Alternatif Terhadap Kerusakan Lingkungan.

Selanjutnya sebuah ungkapan terima kasih yang sedemikian besar kepada Bapak Prof. Sumardjo selaku Dosen pada Mata Kuliah Falsafah Sains, yang telah memberikan tugas makalah ini sehingga semakin menambah pengetahuan kami tentang etika lingkungan.

Akhirnya penulis berharap, semoga tulisan ini bermanfaat bagi berbagai pihak yang memerlukannya, khususnya penulis sendiri dalam rangka proses peningkatan kapasitas keilmuan. Tiada gading yang tak retak, mohon maaf apabila masih banyak terdapat kesalahan di dalam tulisan ini.

Bogor, Nopember 2014

(3)

ii DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA …...………....……….………...……....………... i

DAFTAR ISI …...…..….……….…………..…..………….... ii

1. PENDAHULUAN …………..………...……….. 1

2. FAKTA KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN DAMPAKNYA ... 2

A. Fakta Kerusakan Lingkungan ... 2

B. Dampak Kerusakan Lingkungan ... 3

3. PERKEMBANGAN MAZHAB ETIKA LINGKUNGAN …...………. 4

A. Etika Lingkungan ... 4

B.Mazhab Etika Lingkungan ... 5

4. TINJAUN FILSAFAT ISLAM TERHADAP ETIKA LINGKUNGAN ... 7

5. FIQH AL-BI'AH (LINGKUNGAN) SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN ... 9

A. Fiqih Lingkungan ………...…….. 9

B. Urgensi Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Islam ...…..…….. 11

6. PENUTUP... 15

(4)

1 1. PENDAHULUAN

Persoalan-persoalan krisis lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan dan mendapat perhatian besar dari hampir semua negara-negara di dunia. Hal ini terjadi mengingat manusia dihadapkan pada serangkaian masalah-masalah global yang membahayakan biosfer dan kehidupan makhluk hidup. Bencana alam seringkali menjadi berita di berbagai media massa.

Secara nasional, Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir, tidak henti-hentinya dirundung berbagai bencana lingkungan seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor, kekeringan, kerusakan hutan, maupun polusi yang seolah-olah merupakan fenomena yang akrab dengan kehidupan sehari-hari. Sementara itu, secara global telah terjadi perubahan drastis wilayah lingkungan hidup, mulai dari kerusakan lapisan ozon, pemanasan global, efek rumah kaca, perubahan ekologi, dan sebagainya. Belakangan ditemukan pula banyaknya kasus daratan pulau yang lenyap dari peta dunia karena naiknya permukaan laut serta kasus kepunahan spesies binatang tertentu.

Penyebab kerusakan lingkungan hidup secara umum bisa dikategorikan dalam dua faktor yaitu akibat peristiwa alam dan akibat ulah manusia. Letusan gunung berapi, banjir, abrasi, tanah longsor, angin puting beliung, gempa bumi, dan tsunami merupakan beberapa contoh bencana alam. Bencana-bencana tersebut menjadi penyebab rusaknya lingkungan hidup akibat peristiwa alam. Meskipun jika ditelaah lebih lanjut, bencana seperti banjir, abrasi, kebakaran hutan, dan tanah longsor bisa saja terjadi karena adanya campur tangan manusia juga.

Penyebab kerusakan lingkungan hidup yang kedua adalah akibat ulah manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh manusia ini justru lebih besar dibanding kerusakan akibat bencana alam. Ini mengingat kerusakan yang dilakukan bisa terjadi secara terus menerus dan cenderung meningkat. Kerusakan ini umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan seperti perusakan hutan dan alih fungsi hutan, pertambangan, pencemaran udara, air, dan tanah dan lain sebagainya.

Secara eksplisit, Al-Qur’an menyatakan bahwa segala jenis kerusakan yang terjadi di permukaan bumi ini merupakan akibat dari ulah tangan yang dilakukan oleh manusia dalam berinteraksi terhadap lingkungan hidupnya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum [30]: 41). Ayat ini sejatinya menjadi bahan introspeksi manusia sebagai makhluk yang diberikan oleh Allah mandat mengelola lingkungan serta bagaimana tata kelola lingkungan hidup yang seharusnya dilakukan agar tidak terjadi kerusakan alam semesta ini.

(5)

2 Dalam konteks ini, maka perumusan Filsafat Islam terkait Fikih Lingkungan (Fiqh al-Bii’ah)” menjadi penting dalam rangka memberikan pencerahan dan paradigma baru bahwa ajaran Islam tidak hanya berpusat pada masalah-masalah ibadah dan ritual saja, tetapi sebenarnya juga meliputi tata aturan yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama terhadap berbagai realita sosial kehidupan yang tengah berkembang seperti adanya kerusakan lingkungan ((INFORM/CI, 2006). Penanganannya secara teknik-intelektual sudah banyak diupayakan, namun secara moral-spiritual belum cukup diperhatikan dan dikembangkan. Oleh sebab itu, pemahaman masalah lingkungan hidup dan penanganannya perlu diletakkan di atas suatu fondasi moral dengan cara menghimpun dan merangkai sejumlah prinsip, nilai dan norma serta ketentuan hukum yang bersumber dari ajaran agama.

Singkatnya, upaya untuk mengatasi krisis lingkungan hidup yang kini sedang melanda dunia bukanlah melulu persoalan teknis, ekonomis, politik, hukum, dan sosial-budaya semata. Melainkan diperlukan upaya penyelesaian dari berbagai perspektif, termasuk salah satunya adalah perspektif fiqh. Mengingat, fiqh pada dasarnya merupakan "jembatan penghubung" antara etika (prilaku manusia) dan norma-norma hukum untuk keselamatan alam semesta (kosmos) ini (Heriyanto, 2007; Llewellyn, 2007).

Makalah ini mencoba mengantarkan pemahaman dan penggalian rumusan Filsafat Islam tentang Etika Lingkungan. Makalah ini dibagi menjadi bagian-bagian yaitu: (1) Fakta Kerusakan Lingkungan dan Dampaknya; (2) Perkembangan Mazhab Etika Lingkungan, (3) Tinjaun Filsafat Islam Terhadap Etika Lingkungan, dan (4) Fiqh Al-Bi'ah Sebagai Solusi Alternatif Terhadap Kerusakan Lingkungan.

2. FAKTA KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN DAMPAKNYA

A.Fakta Kerusakan Lingkungan

Universitas Adelaide mempublikasikan hasil penelitian terbarunya soal lingkungan. Empat negara, yakni Brazil, Amerika Serikat, China, dan Indonesia dinyatakan sebagai negara paling berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan di muka Bumi. Ada tujuh indikator yang digunakan untuk mengukur degradasi lingkungan, yakni penggundulan hutan, pemakaian pupuk kimia, polusi air, emisi karbon, penangkapan ikan, dan ancaman spesies tumbuhan dan hewan, serta peralihan lahan hijau menjadi lahan komersial -- seperti mal atau pusat perdagangan, dan juga perkebunan.

Ketujuh indikator ini digunakan untuk dua kriteria. Pertama, degradasi lingkungan secara global -- yang 'dipimpin' Brazil. Kedua, dampak kerusakan lingkungan terhadap suatu negara. Untuk kriteria kedua, lebih maju suatu negara, lebih berat kerusakan lingkungan yang akan ditanggungnya. Singapura jadi yang terburuk untuk kriteria ini. Krisis lingkungan yang kini mencengkeram Bumi adalah akibat konsumsi berlebihan manusia atas sumber daya alam. Ada cukup banyak bukti bahwa peningkatan degradasi lingkungan dan hilangnya habitat dan spesies hewan dan tumbuhan, pada akhirnya akan berpengaruh pada kelangsungan kualitas kehidupan yang menopang nasib milyaran orang di dunia (VIVAnews.com, 7 Mei 2010).

(6)

3 dengan laju kerusakan dua persen atau 1,87 juta hektare per tahun yang berarti setiap hari terjadi kerusakan hutan seluas 51 kilometer persegi. WWF dan Greenpeace menempatkan Indonesia di peringkat tertinggi pembabatan hutan dunia dengan rekor 1,6 juta hektare per hari di Kalimantan, Papua, dan Sumatra.( news.liputan6.com, 8 September 2012).

Beberapa fakta lain terkait tingginya kerusakan lingkungan di Indonesia akibat kegiatan manusia antara lain (Khan, 2010; Hidayat, 2011; Elias, 2013):

Laju deforestasi mencapai 1,8 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 21% dari 133 juta hektar hutan Indonesia hilang. Hilangnya hutan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, meningkatkan peristiwa bencana alam, dan terancamnya kelestarian flora dan fauna.

30% dari 2,5 juta hektar terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan. Kerusakan terumbu karang meningkatkan resiko bencana terhadap daerah pesisir, mengancam keanekaragaman hayati laut, dan menurunkan produksi perikanan laut.

Tingginya pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah, dan pencemaran laut di Indonesia. Bahkan pada 2010, Sungai Citarum pernah dinobatkan sebagai Sungai Paling Tercemar di Dunia oleh situs huffingtonpost.com. World Bank juga menempatkan Jakarta sebagai kota dengan polutan tertinggi ketiga setelah Beijing, New Delhi dan Mexico City.

Ratusan tumbuhan dan hewan Indonesia yang langka dan terancam punah. Menurut catatan IUCN Redlist, sebanyak 76 spesies hewan Indonesia dan 127 tumbuhan berada dalam status keterancaman tertinggi yaitu status Critically Endangered (Kritis), serta 205 jenis hewan dan 88 jenis tumbuhan masuk kategori Endangered, serta 557 spesies hewan dan 256 tumbuhan berstatus Vulnerable.

B. Dampak Kerusakan Lingkungan

Kajian terakhir yang juga dipublikasikan dalam jurnal Science menyebutkan bahwa sepanjang 2001-2013 Indonesia telah kehilangan 15,8 juta hektare hutan. Situasi yang terjadi Indonesia berbanding terbalik dengan yang terjadi di Brasil. Brasil mampu menekan laju penggundulan hutan dari 4 juta hektare di tahun 2003 sehingga menjadi di bawah 2 juta hektare pada tahun 2012. Sementara itu, laju penggundulan hutan Indonesia malah cenderung meningkat dari 1 juta hektare pada 2003 menjadi 2 juta hektare di tahun 2012 (tempo.co, 14 Mei 2014; nationalgeographic.co.id, Juli 2014).

Berdasarkan Laporan Keempat dari Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC akhir tahun 2007 menyebutkan perubahan suhu akhir-akhir ini telah berdampak kepada banyak sistem fisik dan biologis alam. Tingkat kemungkinan ancaman perubahan iklim disebutkan high confidence, memiliki angka prosentase kebenaran sekitar 80%.Laporan kelompok kerja yang bertanggung jawab atas pengetahuan dan teknologi (Scientific & Technology) bahkan memperkirakan akhir abad 21, suhu bumi akan naik sebesar 1,8–4oC, sedangkan permukaan air laut akan naik setinggi 28 – 43 cm, jika tidak ada upaya serius menurunkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) (dnpi.go.id, 02 April 2013).

Kualitas lingkungan buruk akibat dipinggirkankannya persoalan dan dampak lingkungan dalam pembangunan menjadi faktor utama bencana lingkungan yang berpengaruh pada kualitas sosial dan ekonomi. Ini menempatkan tingkat kerentanan wilayah terhadap bencana lingkungan semakin besar. Kondisi ini artinya perubahan iklim akan mendorong dan mempercepat bencana serta kerusakan lingkungan.

(7)

4 transportasi, perikanan, pertanian dan ekowisata serta perkampungan masyarakat pesisir. Laporan ini semakin memperkuat sinyalemen dari laporan keempat IPCC.

Kegagalan pengelolaan lingkungan, termasuk di dalamnya “marginalisasi” isu lingkungan oleh tiap sektor, misalnya tampak pada persoalan watershed management. Data menunjukkan bahwa persoalan air di kota–kota besar di Indonesia tidak saja akibat tingginya run off air sebagai dampak minimnya wilayah /daerah resapan dan tangkapan air tapi juga kualitas air akibat pencemaran industri, intrusi air laut, penurunan air tanah dan kekeringan. Persoalan banjir saat ini, tidak saja didominasi di wilayah perkotaan. Dalam lingkup perubahan iklim dan kegagalan manajemen lingkungan tadi, peningkatan curah hujan menjadi potensial ancaman banjir yang merusakan sarana dan prasarana serta lahan-lahan basah.

Persoalan-persoalan lingkungan tersebut mendapat perhatian besar dari hampir semua negara-negara di dunia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stokholm pada tanggal 5 Juni 1972. Konferensi ini kemudian dikenal dengan Konferensi Stokholm, dan pada hari dan tanggal itulah kemudian ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Di Indonesia, perhatian tentang lingkungan hidup telah muncul di media massa sejak tahun 1960-an. Suatu tonggak sejarah tentang lingkungan hidup di Indonesia ialah diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar itu merupakan seminar pertama tentang lingkungan hidup yang diadakan di Indonesia. Namun sayangnya hingga saat ini, lepas dari tiga dekade kemudian, walaupun jumlah lembaga dan aktivis environmentalism semakin bertambah dari tahun ke tahun, namun laju kerusakan lingkungan masih terus berlangsung. Kegagalan tersebut banyak diakui kalangan aktivis disebabkan karena kebijakan yang disusun tidak secara konsisten dilaksanakan (Soemarwoto, 2001).

3. PERKEMBANGAN MAZHAB ETIKA LINGKUNGAN

A. Etika Lingkungan

Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika yang rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui sungguh memiliki nilai dan berharga, tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan banyak pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini atau manusia sudah kehilangan rasa cinta pada alam? Bagaimanakah sesungguhnya manusia memahami alam dan bagaimana cara menggunakannya?

Etika secara etimologis berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Maksudnya, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri sendiri atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Etika digunakan dalam bentuk kaidah, aturan atau norma secara lisan oleh masyarakat, sehingga dikenal, dipahami dan dilaksanakan masyarakat (Keraf, 2002).

(8)

5 Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.

Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

B. Mazhab Etika Lingkungan

Sikap dan perilaku seseorang terhadap sesuatu sangat ditentukan oleh bagaimana pandangan seseorang terhadap sesuatu itu. Hal tersebut berlaku untuk banyak hal, termasuk mengenai hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Manusia memiliki pandangan tertentu terhadap alam, di mana pandangan itu telah menjadi landasan bagi tindakan dan perilaku manusia terhadap alam. Pandangan tersebut dibahas dalam tiga teori utama, yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmetal Ethics. Ketiga teori ini dikenal di Indonesia juga sebagai mazhab Antroposentisme, Biosentrisme, dan Ekosentrisme (Kerap, 2002).

Menurut Suhendang (2013), perbedaan mendasar dari ketiga mazhab tersebut terdapat pada cara pandang umat manusia dalam mengakui nilai yang melekat pada mahluk selain manusia, yaitu mahluk hidup (hayati) selain umat manusia dan mahluk tidak hidup (no hayati) atau benda mati yang selururhnya yang merupakan ciptaan Tuhan (Al-Khalik).

a. Antroposentrisme

Antroposentrisme berasalkan dari kata antropos yang berarti manusia, yaitu suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Pandangan ini berisi pemikiran bahwa segala kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup harus dinilai berdasarkan manusia dan kepentingannya. Karena pusat pemikiran adalah manusia, maka kebijakan terhadap alam harus diarahkan untuk mengabdi pada kepentingan manusia. Alam dilihat hanya sebagai objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia.

(9)

6 Antroposentrisme bersifat instrumentalis, di mana pola hubungan manusia dengan alam hanya terbatas pada relasi instrumental semata. Alam dilihat sebagai alat bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Kalaupun manusia bersifat perduli terhadapa alam, hal itu dilakukan semata-mata demi menjamin kebutuhan dan kepentingan hidup manusia, dan bukan atas pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Teori ini jelas bersifat egoistis karena hanya mengutamakan kepentingan manusia. Itulah sebabnya teori ini dianggap sebagai sebuah etika lingkungan yang dangkal dan sempit.

Antroposentrisme bersifat teologis karena pertimbangan yang diambil untuk perduli terhadap alam didasarkan pada akibat dari tindakan itu bagi kepentingan manusia. Teori antroposentisme telah telah dituduh sebagai salah satu penyebab bagi terjadinya krisis lingkungan hidup. Pandangan inilah yang telah menyebabkan manusia berani melakukan tindakan eksploitatif terhadap alam, dengan menguras kekayaan alam demi kepentingannya.Walau banyak kritik dilontarkan terhadap teori antroposentrisme, namun sebenarnya argumen yang ada di dalamnya cukup sebagai landasan yang kuat bagi pengembangan sikap kepedulian terhadap alam. Manusia membutuhkan lingkungan hidup yang baik, maka demi kepentingan hidupnya, manusia memiliki kewajiban memelihara dan melestarikan alam lingkungannya. Pemahaman ini terpusat kepada manusia sebagai pemegang seutuhnya alam. Dalam pemikiran ini alam akan mendapatkan perhatian hanya ketika mempunyai fungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kepentingan manusia dianggap segalanya tanpa memperhatikan prioritasnya. Alam hanya dipandang sebagai “piranti” pemenuh kebutuhan manusia. Kalaupun manusia melakukan pengelolaan dan penjagaan alam dengan baik, itu semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhannya semata agar terjamin kehidupannya.

b. Biosentrisme

Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar moral, atau dengan kata lain kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Dalam biosentrisme setiap kehidupan dipandang begitu berarti dan sangat bernilai entah hal itu bermanfaat bagi kehidupan manusia ataupun tidak. Dengan kata lain pemikiran biosentrisme sangat menentang/berlawanan dengan antroposentrisme yang memandang bahwa yang perlu diperlakukan secara moral iru hanya manusia saja. Biosentrisme berpandangan bahwa mahluk hidup bukan hanya manusia saja. Ada banyak hal dan jenis mahluk hidup yang memiliki kehidupan.

Pandangan biosentrisme mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau pada mahluk hidupnya. Karena yang menjadi pusat perhatian dan ingin dibela dalam teori ini adalah kehidupan, maka secara moral berlaku prisip bahwa setiap kehidupan dimuka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Oleh karena itu, kehidupan setiap mahluk hidup pantas diperhitungkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari pertimbangan untung rugi bagi kepentingan manusia. Secara garis besar dalam biosentrisme terdapat beberapa poin penting yang perlu digaris bawahi yaitu:

Memacu dan menjaga pertumbuhan kehidupan. Alam dan isinya mempunyai nilai yang sangat berarti bagi dirinya sendiri. Mereka mempunyai nilai karena mereka hidup, sehingga mereka perlu diperlakukan sevcara moral.

(10)

7 Teori biosentrisme, yang disebut juga intermediate environmental ethic, harus dimengerti dengan baik, khususnya menyangkut kehidupan manusia dan mahluk-mahluk hidup yang lain di bumi ini. Teori ini memberi bobot dan pertimbangan moral yang sama kepada semua mahluk hidup. Disini dituntut bahwa alam dan segala kehidupan yang terkandung didalamnya haruslah masuk dalam pertimbangan dan kepedulian moral. Manusia tidak mengorbankan kehidupan lainnya begitu saja atas dasar pemahaman bahwa alam dan segala isinya tidak bernilai dalam dirinya sendiri.

c. Ekosentrisme

Jika di dalam antroposentrisme lingkungan hidup manusia bukan merupakan hal yang pantas diperlakukan secara moral, kemudian di dalam biosentrisme terjadi perubahan total pandangan bahwa segala kehidupan yag ada di bumi ini adalah objek moral dan pantas diperlakukan secara moral. Sekilas pandang biosentrisme sudah cukup menampung ke hidupoan yang ada di bumi ini. Namun, apabila kita memandang secara luas bahwa ikan hidup karena ada air, dan burung dapat terbang karena ada udara, dan peristiwa lainya maka kita akan tersadar bahwa kita masih melupakan satu hal penting yaitu lingkungan. Kita tidak dapat memisahkan kehidupan kyang ada dengan lingkungan kerena lingkungan merupakan suber kehidupan dan tempat untuk hidup.

Pembaruan pandangan ini kemudian memunculkan teori baru penyerpunaan dari teori biosentris yang disebut dengan ekosentris. Di dalam ekosentris perhatian dari teri ini bukan hanya berpusat pada manusia melainkan pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dalam upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral.

Aldo Leopold dalam bukunya “The land ethics “ menyatakan bahwa masalah lingkungan sebenarnya berakar pada filsafat alam dan sepenuhnya membutuhkan pemecahan secara filosofis pula. Bagi etika lingkungan, filsafat barat rupanya tidak selalu mendukung apa yang menjadi asumsi dasar etika lingkungan. Memang, refleksi tentang alam sudah muncul sejak Filsuf dari Melitus yaitu Thales, Anaximander dan Anaxagoras.

Bahkan dalam mencari arkhai mereka menjadikan alam sebagai unsur dasarnya. Lihat

pendapat Thales yang melihat bahwa segala sesuatu berasal dari air, di dalam benda-benda di bumi terdapat dewa. Heraclitos berpendapat bahwa api adalah awal dari segala sesuatu, Xenophanes melihat tanah sebagai arkhe, Empedocles mengajukan empat element yaitu : tanah, udara, api dan air. Walaupun menolak beberapa pemikiran Parmenides, umumnya para filsuf pra sokratik ini menerima konsep bahwa dunia mempunyai “ rational structure “ , tidak berubah, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat digerakkan (List, 2000).

4. TINJAUN FILSAFAT ISLAM TERHADAP ETIKA LINGKUNGAN

(11)

8 Al-qur’an diturunkan oleh pencipta alam semesta dengan secara bertahap. Ayat pertama dimulai dengan bacalah. Bacalah bermakna bahwa persoalan kehidupan dan lingkungan itu adalah persoalan keilmuan. Tetapi ayat itu dilanjutkan dengan: “Bacalah dengan nama tuhan yang Maha Menciptakan”. Pesan di sini adalah bahwa membaca juga harus dengan kaca mata iman. Bahwa semua di dunia ini ada yang menciptakan. Ayat itu dilanjutkan dengan: “Yang menciptakan manusia dari yang berkait/menggantung”. Ini bermakna luas. Manusia itu diciptakan dari sesuatu yang sifatnya menggantung atau berkait. Tentu salah satunya berarti bahwa manusia itu bahan dasarnya adalah sesuatu yang berkait. Artinya manusia akan hidup dengan baik bila dia berada di lingkungan yang beranekaragam –misalnya hayati. Selengkapnya lihat Q.S Al-alaq [36] : 1-5.

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang berkait juga bermakna bahwa manusia selama-lamanya dimaksudkan untuk menciptakan semua di sekitar dia selalu dalam keadaan berkait. Jadi dengan begitu akan ada semangat atau gerakan berkomunikasi, berpasukan dan berfikir kritis. Islam mengatur supaya manusia beriman, beramal shaleh, saling memberi nasehat – baik tentang kebenaran maupun tentang kesabaran. Dengan begitu maka manusia akan mewarisi surga firdaus – dunia yang apik, rapi dan indah serta sejahtera – untuk selanjutnya akhirat yang abadi-abadi. Semua ajaran islam mengatur etika dengan tuhannya, dengan dirinya, dan dengan lingkungannya tidak saja manusia tetapi alam secara menyeluruh.

Islam adalah Agama (Diin) yang Syaamil (Integral), Kaamil (Sempurna) dan Mutakaamil (Menyempurnakan semua sistem yang lain), karena ia adalah sistem hidup yang diturunkan oleh Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana kepada utusan-Nya (Rasulullah Muhammad SAW), hal ini didasarkan pada firman ALLAH SWT : "Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku cukupkan atasmu nikmatku, dan Aku ridhai Islam sebagai aturan hidupmu." (QS. Al Maidah [5]: 3). Oleh karena itu aturan Islam haruslah mencakup semua sisi yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya. Demikian tinggi, indah dan terperinci aturan Sang Maha Rahman dan Rahim ini, sehingga bukan hanya mencakup aturan bagi sesama manusia saja, melainkan juga terhadap alam dan lingkungan hidupnya. Lywellyn (2007) menyebutkan bahwa Islam pada dasarnya suatu agama hukum, sehingga aturan-aturannya (baca syariah-nya) mencakup setiap perbuatan manusia, termasuk pesembahan keagmaan dan masalah etika murni juga berbagai bidang hukum yang dikenal di dunia modern seperti hukum konstitusional dan internasional.

Pelestarian alam dan lingkungan hidup ini tak terlepas dari peran manusia, sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana yang disebut dalam QS Al-Baqarah [2]: 30 (“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”…). Arti khalifah di sini adalah: “seseorang yang diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama, akal dan budayanya terpelihara”. Allah telah memberikan tuntunan dalam Al-Quran tentang lingkungan hidup. Karena waktu perenungan, hanya beberapa dalil saja yang diulas sebagai landasan untuk merumuskan teori tentang lingkungan hidup menurut ajaran Islam. Itulah salah satu tujuan penciptaan lingkungan hidup yaitu agar manusia dapat berusaha dan beramal sehingga tampak diantara mereka siapa yang taat dan patuh kepada Allah.

(12)

9 hidup sebagai bagian dari ciptaan Allah yang mengandung dan terus menerus melahirkan kehidupan baru, juga mengandung nilai-nilai spiritual yang patut untuk dihargai oleh manusia.

Krisis lingkungan hidup memang harus dipandang sebagai panggilan agama atau lebih sebagai panggilan dari Allah SWT. Pandangan tersebut perlu mendapatkan penegasan demi mengoreksi dan memperbarui sikap yang mendorong perlakuan buruk terhadap lingkungan hidup. Kesatuan antara Allah SWT dengan manusia dan perlunya relasitas yang mutualistis antara manusia dengan lingkungan hidup sangat ditekankan sebagai pengejawantahan nilai-nilai spiritual. Sehingga spiritualitas lingkungan hidup dalam konteks hidup beragama berarti pengakuan dan perlakuan terhadap lingkungan hidup sebagai ciptaan Allah yang mencerminkan kesucian, kekudusan Allah. Jangkauannya pun selalu dihubungkan dengan masalah etis dan agama. Dengan menghargai dan memperlakukan lingkungan hidup sebagai bagian dari kehidupan yang suci, maka usaha pemeliharaan lingkungan hidup menjadi ibadah sejati. Inilah panggilan agama terhadap lingkungan hidup yang ada di depan mata.

Panggilan agama terhadap lingkungan hidup tidaklah terlalu muluk. Ia dapat dimulai dari kehidupan kita yang paling sederhana, dalam kedisiplinan membuang sampah, memelihara makhluk hidup secara wajar dan bersikap adil terhadap sesama. Atau mungkin seperti yang dilakukan oleh paguyuban tani lestari yang mengupayakan kelestarian alam dan keselamatan sesama dengan menggunakan pupuk organik sebagai penyubur tanah garapan mereka. Praktek hidup semacam itu, yang mungkin selama ini dianggap tidak ada kaitannya dengan soal spiritual haruslah dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan iman kita.

5. FIQH AL-BI'AH (LINGKUNGAN) SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN

A. Fiqih Lingkungan

Dalam bahasa arab fikih lingkungan hidup dipopulerkan dengan istilah fiqhul bi`ah, yang terdiri dari dua kata (kalimat majemuk; mudhaf dan mudhaf ilaih), yaitu kata fiqh dan al-bi`ah. Secara bahasa “Fiqh” berasal dari kata Faqiha-Yafqahu-Fiqhan yang berarti al-‘ilmu bis-syai`i (pengetahuan terhadap sesuatu) al-fahmu (pemahaman). Sedangkan secara istilah, fikih adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil tafshili (terperinci).

Adapun kata “Al-Bi`ah” dapat diartikan dengan lingkungan hidup, yaitu: Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Dari sini, dapat kita berikan pengertian bahwa fikih lingkungan adalah ketentuan-ketentuan Islam yang bersumber dari dalil-dalil yang terperinci tentang prilaku manusia terhadap lingkungan hidupnya dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dan menjauhkan kerusakan (Muhammad, dkk., 2006).

(13)

10 untuk orang lain), hukum-hukum terkait dengan jual beli dan kepemilikan air, api dan garam, hak-hak binatang peliharaan dan pembahasan-pembahasan lainnya yang terkait dengan lingkungan hidup yang ada di sekitar manusia

Fiqih Isalam juga sangat memperhatikan pemeliharaan lingkungan dalam upaya untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudharatan. Hal ini sejalan dengan maqāsid al-syarī’ah (tujuan syariat agama) yang terumuskan dalam kulliyāt al-khams, yaitu: hifzu al-nafs (melindungi jiwa), hifzu al-aql (melindungi akal), hifzu al-māl (melindungi kekayaan/property), hifzu al-nasb (melindungi keturunan), hifzu al-dīn (melindungi agama). Menjaga kelestarian lingkungan hidup menurut beliau, merupakan tuntutan untuk melindungi kelima tujuan syari’at tersebut. Dengan demikian, segala prilaku yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan hidup semakna dengan perbuatan mengancam jiwa, akal, harta, nasab, dan agama.

Oleh karena itu pemahaman masalah lingkungan hidup (fiqh al-Bi'ah) dan penanganannya (penyelamatan dan pelestariannya) perlu diletakkan di atas suatu pondasi moral untuk mendukung segala upaya yang sudah dilakukan dan dibina selama ini yang ternyata belum mampu mengatasi kerusakan lingkungan hidup yang sudah ada dan masih terus berlangsung. Fiqh lingkungan hidup berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia yang beriman dan merupakan amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi alam yang dikaruniakan Sang pencipta yang Maha pengasih dan penyayang sebagai hunian tempat manusia dalam menjalani hidup di bumi ini.

Menurut Yafie (2006), ada dua landasan dasar dalam fiqh al-Bi'ah yaitu. Pertama, pelestarian dan pengamanan lingkungan hidup dari kerusakannya adalah bagian dari iman. Kualitas iman seseorang bisa diukur salah satunya dari sejauh mana sensitivitas dan kepedulian orang tersebut terhadap kelangsungan lingkungan hidup. Kedua, melestarikan dan melindungi lingkungan hidup adalah kewajiban setiap orang yang berakal dan baligh (dewasa). Melakukannya adalah ibadah, terhitung sebagai bentuk bakti manusia kepada Tuhan. Sementara penanggung jawab utama menjalankan kewajiban pemeliharaan dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup ini terletak di pundak pemerintah. Ia telah diamanati memegang kekuasaan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup, bukan sebaliknya mengeksploitasi dan merusaknya.

(14)

11 B. Urgensi Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Islam

Islam sebagai agama yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan manusia dengan sesama makhluk (termasuk lingkungan hidupnya) sebenarnya telah memiliki landasan normatif baik secara implisit maupun ekplisit tentang pengelolaan lingkungan ini.

Kata ‘lestari’ dapat diartikan sebagai tetap seperti keadaannya semula, tak berubah atau kekal. Jadi, pelestarian adalah pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (Darusman, 2012).

Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya (Nasution, 1992).

Dalam konteks ajaran Islam, jauh sebelum persoalan-persoalan lingkungan hidup muncul dan menghantui penduduknya, Islam telah lebih dahulu memberi peringatan lewat ayat-ayat al-Qur'an. Urusan lingkungan hidup adalah bagian integral dari ajaran Islam. Seorang Muslim justru menempati kedudukan strategis dalam lingkungan hidup yang diciptakan sebagai khalifah di bumi ini sesuai dengan Surat Al-Baqarah [2]: 30 yang artinya:

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”

Sebagai khalifah, sudah tentu manusia harus bersih jasmani dan rohaninya. Inilah inti dari kebersihan jasmani merupakan bagian integral dari kebersihan rohani. Jelaslah bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup). Oleh karena itu, dalam memanfaatkan bumi ini tidak boleh semena-mena, dan seenaknya saja dalam mengekploitasinya. Pemanfaatan berbagai sumber daya alam baik yang ada di laut, didaratan dan didalam hutan harus dilakukan secara proporsional dan rasional untuk kebutuhan masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta menjaga ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam surat al'-A'raf [7]: 56 yang artinya:

" Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut tidak diterima dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik".

(15)

12 "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan(dengan) dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". (Q.S.an-Nahl [16]:112)

Dalam ayat-ayat tersebut diatas Allah SWT secara tegas menjelaskan tentang akibat yang ditimbulkan kerena perbuatan manusia yang mengekploitasi lingkungan yang berlebihan. Ayat-ayat Al-Qur'an ini sekaligus juga menjadi sebuah terobosan paradigma baru untuk melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi, sehingga hak atas lingkungan adalah hak bagi setiap umat di dunia. Selain itu, hak atas lingkungan sebagai hak dasar manusia juga telah menjadi kesepakatan internasional yang telah diratifikasi sebagai kesepakatan bersama. Dalam hal ini termasuk baik yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun dalam undang-undang lain yang bersifat parsial. Pentingnya upaya pengelolaan lingkungan hidup sudah sangat jelas implikasi yang akan ditimbulkannya apabila tidak dikelola secara baik, yaitu munculnya bencana, baik secara langsung maupun secara jangka panjang.

Dalam Islam di kenal tiga macam bentuk pelestarian lingkungan yaitu: (1). Hima - kawasan yang dilindungi untuk kemaslahatan umum dan pengawetan habitat alami. Termasuk di dalamnya adalah al-Haramaan, yakni daerah sekitar Mekah dan Madinah yang merupakan kawasan cagar yang terlarang untuk menebang pohon/tumbuhan serta berburu binatang, (2). Al-Harim - zona larangan lindung, dan (3) Ihya al-mawaat - menghidupkan lahan yang terlantar dengan cara reklamasi atau memfungsikan kawasan tersebut agar menjadi produktif (Onrizal, 2010).

Hima

Islam mengajarkan umatnya untuk melindungi dan menjaga alam dan lingkungan. Pada masa kekhalifahan, peradaban Islam di Semenanjung Arab memiliki dan menjaga kawasan konservasi yang disebut Hima. Hima merupakan zona yang tak boleh disentuh atau digunakan untuk apapun bagi kepentingan manusia. Tempat tersebut digunakan sebagai konservasi alam, baik untuk kehidupan binatang liar maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelum ajaran Islam turun, masyarakat Arab juga telah mengenal hima. Para era pra-Islam, hima sering digunakan untuk melindungi suku-suku nomaden tertentu dari musim kemarau yang panjang. Hima yang cenderung subur karena mengandung banyak air dan rumput digunakan sebagi tempat menggembala ternak. Para pemimpin suku-suku nomaden yang cerdik menggunakan hima untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Murut al-Shafi‘i, seorang ilmuwan Muslim di era keemasan, pada masa pra-Islam, hima digunakan sebagai alat untuk melakukan penindasan terhadap suku-suku lain.

(16)

13 gangguan manusia. Setelah datangnya agama Islam, konsep hima sebagai tempat perlindungan binatang dan tumbuhan tetap dilestarikan. Para khalifah terus menyerukan dan mempraktikkan perlindungan terhadap hima . Pada masa kejayaan Islam, para khalifah kerap mengatakan, setiap spesies binatang memiliki bangsanya sendiri.

Pada masa itu, menjaga hima menjadi sebuah kewajiban relijius dibandingkan kewajiban komunitas. Bahkan para ulama juga sering menyerukan pentingnya hima. Agar sesuai dengan hukum Islam, sebuah hima itu harus memenuhi beberapa syarat yang telah dipraktikkan Nabi dan para khalifah. Syarat hima itu antara lain; pertama, harus berada di bawah perlindungan kekuasaan pemerintah Islam. Kedua, hima harus dikembangkan sesuai dengan jalan Allah SWT untuk kesejahteraan umat manusia. Ketiga, area yang dijadikan sebagai hima tidak boleh terlalu luas. Keempat, hima harus lebih menguntungkan bagi masyarakat dari pada merugikan masyarakat.

Jadi hima ditetapkan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan umum. Dalam konteks dulu, hima difungsikan untuk tempat penggembalaan kuda-kuda milik negara, hewan, zakat dan lainnya. Setelah pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai hima, maka lahan tersebut menjadi milik negara. Tidak seorang pun dibenarkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya (melakukan ihya'), apalagi sampai merusaknya.

Al-Harim

Dalam hukum Islam terdapat berbagai zona larangan (al-harim) yang didalamnya pembangunan terlarang atau sangat terbatas untuk mencegah terjadinya kerusakan atau menurunnya manfaatdan sumberdaya alam. Beberapa bentuk al harim adalah:

1) Dalam hukum Islam, setiap kota atau perkampungan harus dikelilingi oleh zona larangan yang merupakan kawasan penyangga yang tidak boleh didirikan bangunan atau sangat terbatas. Lahan-lahan tersebut umumnya dikelola bersama oleh masyarakat yang bermukim dekat kawasan tersebut untuk mendapatkan berbagai kebutuhan yang mereka perlukan dalam jumlah terbatas, seperti makanan, dan kayu bakar atau sejenisnya, dan untuk menjamin kehidupan yang lebih kondusif serta untuk mencapai kesejahteraan dalam jangka panjang.

2) Berdasarkan hukum Islam, sumber-sumber air, misalnya danau, laut, sungai, mata air, aliran air dan sumur merupakan zona larangan (al-harim) agar manfaatnya selalu didapatkan dalam jangka panjang. Demikian juga dengan sarana umum seperti jalan dan perempatan juga merupakan zona larangan untuk mencegah kerusakan, dan untuk menjamin pemanfaatan dan pemeliharaannya, serta untuk mencegah gangguan atau bahaya.

Terkait dengan penetapan batas-batas tentang zona larangan (harim), Islam menetapkan sebagai berikut:

1) Kawasan terlarang (harim) untuk sebuah sungai adalah meliputi ukuran setengah dari lebar sungai pada kedua tepinya.

(17)

14 3) Untuk sumur ditetapkan kawasan zona larangan sekurangnya sejauh 20 meter

keliling.

4) Kawasan terlarang (harim) untuk mata air didasarkan pada keadaan air dengan memberikan pertimbangan yang memadai tentang saluran, ukuran kolam yang akan dibuat, tempat yang dibutuhkan bagi orang dan binatang untuk bergerak di sekitarnya dan tipe tanah dimana air itu mengalir

Ihya al Mawaat

“Islam adalah agama yang mengajarkan untuk selalu produktif, selalu melakukan perbaikan (ishlah) dan menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia. Dalam fiqh klasik, tanah kosong itu disebut dengan al-mawat. Ulama berselisih paham ketika mendefinisikan tanah mawat ini. Sebagian mereka mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah tanah yang tidak ada pemiliknya. Karena itu, tanah yang sudah lama ditinggalkan oleh pemiliknya, masih digolongkantanah mawat. Yang lain mengartikannya dengan tanah yang tidak pernah dikelola oleh seorangpun. Tanah yang sudah pernah dimanfaatkan, lalu ditinggalkan oleh pemiliknya, tidak disebut tanah mawat.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat memperoleh hak mengelola tanah ini, yakni apa yang disebut dengan cara ihya’. Yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini, seseorang mematok lahan untuk dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah melakukannya dapat memiliki lahan tersebut. Karena itu, orang lain tidak dibenarkan untuk mengambil alihnya. Dalam masalah ini, terjadi perbedaan pendapat diantara pakar fiqh.

Madzhab Syafi’i menyatakan siapapun berhak mengambil manfaat atau memilikinya, meskipun tidak mendapat izin dari pemerintah. Beda halnya dengan Imam Abu Hanifah. Beliau berpendapat, ihya’ ‘boleh dilakukan dengan catatan mendapat izin dari pemerintah yang sah. Imam Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah. Cuma, beliau menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakandari Ietak daerahnya. Jika tanah tersebut berada di daerah yang tidak terlalu penting bagi manusia, maka tidak perlu idzin Imam. Misalnya berada didaerah padang pasir yang tidak dihuni oleh manusia. Tapi bila berada didaerah yang dekat dengan pemukiman, atau daerah strategis yang menjadi incaran setiap orang, untuk melakukan ihya’ idzin imam sangat dibutuhkan.

(18)

15 Selanjutnya, secara khusus, Ihya al mawaat memiliki pengertian luas mencakup penghijauan, pemanfaatan, pemeliharaan dan penjagaan. Penghijauan yang dimaksud adalah usaha memproduktifkan lahandengan cara menanam bagi lahan subur sesuia karakternya (jenis tanah untuktanaman atau pohon tertentu), dan upaya pengolahanbagi lahan tandus tanpa mengubah karakter dasarnya. Kemudian, yang dimaksud pemanfaatan adalah memanfaatkan lahan dan atau hasilnya sesuai kebutuhan secara seimbang, tidak berlebihan dan tidak pula kurang. Pemeliharaan yang dimaksudkan adalah pemeliharaan lahandan segala yang ada padanya termasuk hasil kandungan lahan itu sesuai aturan yang patut dibenarkan oleh syari’at dan undang-undang. Selanjutnya, yang dimaksud penjagaan adalah jaminan atas lahan dan semua yang terkait berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diakui secara nasional maupun internasional”

Dari uraian-uraian serta wacana-wacana di atas, sekiranya sudah mencukupi untuk dijadikan sebagai kerangka teoritik guna mendapatkan analisis terhadap pandangan hukum Islam tentang pelestarian lingkungan.

PENUTUP

Dari paparan di atas, dapat penulis simpulkan beberapa hal: Pertama, Konsep Fikih lingkungan pada hakikatnya adalah konsep aturan-aturan yang dirumuskan oleh Islam dalam rangka mengatur pemanfaatan yang berorientasi pada kelestarian lingkungan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis. Kedua, Hubungan manusia sebagai khalifah di muka bumi terhadap lingkungan hidupnya harus berdasarkan atas asas pemanfaatan yang benar dan menghindarkan kerusakan. Ketiga, Kesadaran akan tata kelola lingkungan hidup sebagaimana yang sudah digariskan oleh fikih Islam perlu ditanamkan kepada setiap pribadi muslim, dan menjadi tanggung jawab bersama, lebih-lebih pemerintah sebagai pemegang regulasi dalam rangka menjaga dan melestarikan lingkungan hidup dan mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan.

PUSTAKA ACUAN

Buku dan Jurnal

Bakhtiar, A. 2009. Filsafat Ilmu. Rajawali Pers. Jakarta

Darusman, D. 2012. Kehutanan Demi Keberlanjutan Indonesia. IPB Press. Bogor Elias. 2013. Menatap Masa Depan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Indonesia dalam

Mewujudkan Kehutanan Indonesia Baru dalam D. Suhardjito dan H.R. Putro (Editor). 2013. Pembangunan Kehutanan Indonesia Baru: Refleksi dan Inovasi Pemikiran. IPB Press. Bogor

FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch

(19)

16 Kiamat. Islam, Ekologi, dan Gerakan Lingkungan Hidup. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Hidayat, H. 2011. Politik Lingkungan. Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Masa Reformasi. Yayasan Pusaka Obor Indonesia. Jakarta

Khalid, FM. 2006. Al Qur’an Ciptaan Dan Konservasi. Conservation International Indonesia

Khan, A. 2010. Kebijakan Usaha Kehutanan Indonesia: Sebuah Analisis Diskursus. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XVI, (2): 101-111, Agustus 2010. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor

List, P.C. 2000. Environmental Ethic and Forestry. Temple University Press, Philadelphia

Lywellyn, O.A.R. 2007. Disiplin Dasar Hukum Lingkungan Islam dalam F.M. Mangunjaya, H. Heriyanto, dan R. Gholami (Editor). 2007. Menanam Sebelum Kiamat. Islam, Ekologi, dan Gerakan Lingkungan Hidup. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Miri, S.M. 2007. Prinsip-Prinsip Islam dan Filsafat Shdra Sebagai Basis Etis dan Kosmologis Lingkungan Hidup dalam F.M. Mangunjaya, H. Heriyanto, dan R. Gholami (Editor). 2007. Menanam Sebelum Kiamat. Islam, Ekologi, dan Gerakan Lingkungan Hidup. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Muhammad, A.S., Muhammad, H., Mabrur, R., Abbas, A.S., Firman, A., Mangunjaya, F., Pasha, K.IB., Andriana, M. 2006. Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi’ah). Conservation International Indonesia

Nasution, H. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan.

Nugroho, B. 2013. Reformasi Kelembagaan dan Tata Kepemerintahan: Faktor Pemungkin Menuju Tata Kelola Kehutanan Yang Baik dalam H. Kartodihardjo (Editor). 2013. Kembali Ke Jalan Lurus. Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. FORCI DEVELOPMENT dan Tanah Air Beta. Yogyakarta Onrizal. 2010. Ayat-Ayat Konservasi. Menghimpun dan Menghidupkan Khazanah Islam

Dalam Konservasi Hutan Leuseur. Yayasan Orangutan Sumatera Lestari –

Orangutan Information Centre (YOSL-OIC). Medan

Soemarwoto, O. 2001. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pengembangan. Djambatan Jakarta

Suriasumantri, J.S. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Yafie, A. 2006. Merintis Fiqh Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Amanah

Inernet

Hamdi, F. 2012. FIKIH LINGKUNGAN DALAM PERPEKTIF ISLAM (Sebuah Pengantar). Sumber:

http://kalsel.muhammadiyah.or.id/artikel-fikih-lingkungan-dalam-perpektif-islam1-sebuah-pengantar-detail-289.html (Diunduh 30 Oktober

2014)

Planologi Dephut, 2003 seperti dikutip oleh WALHI, dalam berita online, Hutan

Indonesia Menjelang Kepunahan,

http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/hut_punah/ (Diunduh 30 Oktober 2014)

(20)

17

http://www.tempo.co/read/news/2014/05/14/173577714/Dalam-Satu-Tahun-2-Juta-Hektar-Hutan-Dibabat (Diunduh 30 Oktober 2014)

http://alamendah.org/2014/08/01/kerusakan-lingkungan-hidup-di-indonesia-dan-penyebabnya/ (Diunduh 01 Nopember 2014)

http://www.menlh.go.id/ringkasan-berita-media-massa-ii-269/ (Diunduh 01 Nopember

2014)

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/149597-indonesia__rangking_empat_perusak_lingkungan (Diunduh 01 Nopember 2014)

http://www.tempo.co/read/news/2014/05/14/173577714/Dalam-Satu-Tahun-2-Juta-Hektar-Hutan-Dibabat (Diunduh 01 Nopember 2014)

http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/07/laju-kerusakan-hutan-indonesia-mengalahkan-brasil (Diunduh 01 Nopember 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Data kualitatif diperoleh dari hasil observasi dimaksudkan untuk mengetahui kekurangan dan kelbihan dari pembelajaran yang dilakukan, data kualitatif diperoleh dari

Untuk mengevaluasi hasil aplikasi yang telah dibangun, penulis melakukan survey dengan metode kuesioner yang melibatkan 20 orang responden untuk melihat apakah aplikasi Mobile

Hanya saja, jika dibandingkan dengan masa Orde Lama, kehidupan kritik sastra Indonesia pada masa Orde Baru lebih menunjukkan perkembangan yang berarti walau

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 40 ibu didapatkan hasil bahwa sikap ibu tentang ketepatan imunisasi polio pada bayi di Posyandu RW 10 Kampung Banteng Kota

Harga minyak turun hampir dua persen pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), karena investor fokus pa- da pembengkakan pasokan minyak mentah global, yang meningkat lebih

a) Syariah samawiyyah terdahulu meraikan keperluan dan masalahah umat pada zaman tersebut. Syariah-syariah yang datang selepas itu diturunkan dan mengalami beberapa

Ajaran Gṛhastha Aśrama yang tertuang dalam penokohan Sang Hyang Smara dan Dewi Ratih menunjukkan bahwa pasangan suami istri harus mampu menjaga hubungan supaya tetap berlandaskan

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan untuk peneliti selanjutnya untuk men- eliti waktu kematian tercepat dari ekstrak kulit buah jeruk nipis ( Citrus