Halaman 91 Lestari Kurniawati
Politeknik Keuangan Negara STAN [email protected]
INFORMASI ARTIKEL
Diterima Pertama [14 Juli 2017]
Dinyatakan Diterima [13 November 2017]
KATA KUNCI:
Cash Transfer, CO2 Emission, Fuel Subsidy, Social Accounting Matrix, Theil Index
ABSTRAK
Fuel subsidies create a heavy burden for state budget, ineffective as poor social protection, and creating environmental problem. This study using Social Accounting Matrix to analyze the impact of fuel subsidies removal and cash transfer policies to Indonesian economy, household income distribution, and the level of CO2 emission. As the results, fuel subsidy decreased with cash transfer compensation, in short term, it will give better effect than non-cash transfer compensation. Another finding was that subsidy removal with sector targeted policy gives better impact for the sector which had direct relation to the fuel subsidy sector than the sector indirect related. Furthermore, diesel subsidy decreased gives better affects to decrease emission and income distribution gap than gasoline and kerosene subsidy decreased.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Beban berat subsidi BBM membatasi ruang gerak
fiskal sehingga alokasi APBN untuk sektor-sektor
pembangunan yang lain menjadi terbatas. Isu
tentang subsidi BBM terhadap tekanan fiskal telah banyak dibahas, seperti studi yang telah dilakukan
oleh Lestari (2003), Adi (2004), Widodo et.al., (2008), dan Mourougene (2010). Namun demikian dampak
lanjutan seperti dampak distribusi pendapatan dan
dampak lingkungan hidup dari subsidi BBM belum
banyak dieksplorasikan dalam studi yang sistematis. Penelitian ini menggunakan simulasi SNSE
Indonesia Tahun 2008 dengan tujuan menganalisis dampak penurunan subsidi BBM terhadap perekonomian, distribusi pendapatan rumah tangga,
dan tingkat emisi CO2. Penelitian dilaksanakan dengan
membuat simulasi dalam enam skenario yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama merupakan simulasi penurunan subsidi BBM dengan kompensasi berupa cash transfer dan non cash transfer yang dialokasikan untuk sektor konstruksi dan angkutan darat. Simulasi kelompok pertama ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak penurunan subsidi BBM dengan mekanisme pemberian kompensasi berupa cash transfer dan non cash transfer. Simulasi pertama juga dimaksudkan untuk lebih mengetahui bagaimana dampak penurunan subsidi BBM dengan mekanisme
non cash transfer terhadap sektor yang terkait/tidak
terkait dengan BBM. Pada kelompok kedua, simulasi dilakukan dengan menurunkan subsidi salah satu jenis BBM dengan tetap memberikan subsidi terhadap dua jenis BBM lainnya dan kompensasi diberikan dalam bentuk cash transfer. Simulasi kelompok kedua ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak
yang optimal (baik positif ataupun negatif) apabila
Pemerintah berencana menurunkan subsidi hanya untuk salah satu jenis BBM.
Penelitian ini juga mencoba menguji dua
hipotesa, yaitu: 1) kebijakan penurunan subsidi BBM dengan kompensasi berupa cash transfer
akan berdampak lebih baik terhadap pendapatan
dan tingkat pemerataan pendapatan rumah tangga
Indonesia dibanding dampak kebijakan penurunan subsidi BBM dengan kompensasi non-cash transfer;
2) kebijakan penurunan subsidi BBM non-cash
transfer dengan alokasi pada sektor produksi yang
terkait langsung dengan sektor BBM berdampak lebih baik dibanding dampak kebijakan penurunan subsidi BBM dengan alokasi kompensasi pada sektor-sektor
yang tidak terkait.
2.
KERANGKA TEORI
2.1. Subsidi BBM
Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah mengurangi harga atau menambah keluaran/output (Hermawan, 2012). Subsidi mempunyai fungsi yang berkebalikan dengan pajak. Pemberian subsidi akan membuat harga menjadi lebih murah dan dapat menambah pendapatan nyata baik kepada konsumen maupun produsen.
Pemerintah Indonesia memberikan subsidi
energi untuk produk-produk seperti gas, listrik, dan
bahan bakar minyak (BBM). Secara teori, subsidi dapat dilaksanakan jika mampu meningkatkan kesejahteraan sosial secara menyeluruh. Namun para ahli berpendapat subsidi BBM berdampak
negatif baik bagi masyarakat di negara tersebut
maupun secara global (Von Molke et.al., 2008 dalam Ellis, 2010). UNEP (2003), menggambarkan dampak pemberian subsidi energi dalam sebuah kerangka terintegrasi yang memotret hubungan dampak dari segi ekonomi, lingkungan, dan sosial. Mourougene (2010) juga mengungkapkan pemberian subsidi energi menimbulkan dampak dan memunculkan biaya yang
mencakup biaya ekonomi, biaya fiskal, biaya sosial,
dan biaya lingkungan.
Dalam dua dekade ini, banyak negara anggota OECD yang telah menghapus atau mengurangi
subsidi BBM baik subsidi langsung maupun tidak
langsung (Varangu and Morgan, 2002 dalam Ellis, 2010). Penghapusan subsidi BBM mempunyai dampak berkebalikan dengan dampak pemberiannya. Dampak langsung kebijakan penghapusan subsidi BBM adalah kenaikan harga dan berkurangnya akses penduduk miskin terhadap pemenuhan kebutuhan
BBM. Dampak tidak langsungnya adalah efek domino
karena penggunaan BBM dalam proses produksi, distribusi, dan transportasi (Lestari, 2003).
Pelaksanaan kebijakan penghapusan subsidi
BBM harus memperhatikan kondisi penduduk miskin.
Kenaikan harga BBM berdampak langsung terhadap menurunnya akses masyarakat miskin terhadap
pemenuhan kebutuhan energi. Efek inflasi BBM
juga menaikkan harga kebutuhan pokok yang akan menurunkan pendapatan riil masyarakat. Masyarakat miskin paling rentan menderita karena pendapatannya
relatif tetap sementara harga kebutuhan pokok meningkat. Pemerintah dapat memitigasi kerugian
masyarakat miskin tersebut dengan melaksanakan kebijakan pengalihan subsidi BBM atau sering disebut sebagai dana kompensasi subsidi BBM.
Secara konseptual, dana kompensasi adalah dana yang disiapkan pemerintah sebagai kompensasi
bagi masyarakat miskin agar tidak terkena dampak
yang terlalu berat dari kenaikan harga BBM (Lestari,
Adam, Sambodo, Purwanto, Ermawati, 2007). Hanya
yang berhak mendapatkan dana kompensasi tersebut. Survei tentang peruntukan dana kompensasi telah dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hasil survei tersebut menyatakan 62,3% responden mengharapkan pengalihan dana subsidi ke sektor pendidikan dan kesehatan. Sementara 23,3% responden mengharapkan pengalihan subsidi BBM untuk sektor angkutan umum, sebesar 5% mengharapkan pengalihan subsidi BBM untuk bantuan langsung tunai (BLT), dan sebanyak 9,4%
responden mengharapkan untuk selain ketiga opsi
tersebut (Purwanto et.al., 2008).
Dana kompensasi subsidi BBM untuk sektor transportasi diharapkan mampu mengurangi dampak kenaikan harga BBM di sektor transportasi. Breisinger
(2010, dalam Widodo et.al., 2012), menyoroti kaitan
antara sektor BBM dengan sektor transportasi. Dalam hipotesisnya, Breisinger menyatakan penurunan subsidi BBM secara langsung akan berdampak pada sektor transportasi. Dampak langsung tersebut sering
direspon dengan cepat, seperti kenaikan tarif. Namun pada sektor yang tidak terkait langsung, dampak penurunan subsidi BBM terjadi secara tidak langsung
sehingga respon yang muncul cenderung lebih lambat.
Respon dari sektor yang terkena dampak
langsung penurunan subsidi BBM, seperti kenaikan
tarif angkutan, menyebabkan turunnya pendapatan riil masyarakat. Selain itu, kenaikan tarif juga memicu peningkatan biaya produksi sektor lain yang menjadi konsumennya. Dengan demikian, sektor yang terkena dampak langsung akan mempengaruhi turunnya pendapatan riil masyarakat melalui kenaikan harga produknya dan kenaikan harga dari sektor lain selaku pengguna sektor yang terkena dampak langsung. Oleh karena itu, penanganan dampak penurunan subsidi pada sektor yang terkait langsung dengan
BBM menjadi penting untuk meredam dampak jangka
pendek.
Selain kebijakan pada sektor yang terkait langsung, penanganan dampak penurunan subsidi BBM dalam jangka pendek juga dapat diberikan dalam bentuk cash transfer berupa bantuan langsung tunai (BLT). Pemberian dana kompensasi berupa BLT
diharapkan dapat mengantisipasi peningkatan jumlah
rumah tangga hampir miskin (yang rentan terhadap gejolak ekonomi dan force majeur lain) menjadi kelompok miskin, bahkan sangat miskin. Kerentanan masyarakat miskin terhadap kenaikan harga BBM
lebih disebabkan efek inflasi akibat kenaikan harga BBM. Laju inflasi berpotensi meningkatkan defisit
pendapatan penduduk miskin. Pemberian BLT menambah pendapatan masyarakat miskin sehingga kesejahteraannya dapat meningkat.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin melalui pemberian BLT (cash transfer) dapat dijelaskan dengan perilaku konsumen melalui
indifference curve. Seperti dapat dilihat dalam
Gambar 1.1., garis anggaran P-D merupakan garis anggaran rumah tangga pada saat harga BBM disubsidi. Konsumsi BBM pada garis anggaran ini
adalah sebesar B0 dengan utilitas u. Pada saat terjadi
penurunan subsidi BBM, pendapatan riil masyarakat berkurang dan garis anggaran bergeser menjadi P-F. Pada garis anggaran ini, konsumsi BBM juga berkurang
menjadi B1 dan utilitasnya menjadi u1. Pemerintah
kemudian memberikan cash transfer sebagai mitigasi
dampak penurunan subsidi BBM. Dengan adanya
cash transfer, pendapatan rumah tangga bertambah
dan garis anggaran bergeser menjadi P’-E. Pada garis anggaran ini konsumsi BBM dapat bertambah menjadi
B2 dan utilitas bergeser menjadi u2. Pergeseran garis
anggaran akibat adanya cash transfer memungkinkan
rumah tangga meningkatkan belanja agar tingkat
kesejahteraan rumah tangga bertambah. Hal ini
tidak berlaku jika dana kompensasi diberikan dalam
bentuk barang. Pemberian kompensasi dalam bentuk barang hanya dapat meningkatkan konsumsi rumah
tangga terhadap barang tersebut namun tidak dapat
menggeser garis anggaran.
Gambar 1. Kurva Indifference Perilaku Konsumen Terhadap Penurunan Subsidi BBM
2.2. Distribusi Pendapatan
Ketimpangan pendapatan merupakan
gambaran perbedaan pendapatan atau standar hidup di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu.
Ketimpangan distribusi pendapatan yang tinggi
mengimplikasikan adanya pemborosan sumber daya manusia dalam bentuk besarnya populasi pengangguran atau terjebak di dalam pekerjaan dengan upah yang rendah dan pekerjaan yang low skilled.
Terdapat tiga alasan yang mendasari pemerintah untuk memperhatikan ketimpangan
distribusi pendapatan (Todaro, 2006 hal 248-249).
bagian populasi yang memenuhi syarat mendapatkan
pinjaman atau sumber kredit lain. Kedua, ketimpangan
pendapatan yang ekstrem melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas karena dapat mengokohkan
kekuatan politis golongan kaya dan kekuatan tawar
menawar ekonomi mereka. Kekuatan ini kemudian dapat digunakan untuk memanfaatkan berbagai
hasil pembangunan demi kepentingan sendiri
serta dapat mengarah pada upaya mempermudah
“pemburuan rente” yang meliputi tindakan seperti lobi, sumbangan politis yang besar, penyuapan, dan kroniisme. Ketiga, ketimpangan pendapatan yang ekstrem pada umumnya dipandang tidak adil.
Beberapa metode yang umum dipergunakan
untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan adalah: 1) Koefisien Gini, 2) Generalized
entropy measures, 3) Atkinson’s inequality measures,
4) Decile dispersion ratio. Penelitian ini menggunakan
generalized entropy measures (Indeks Theil) untuk
mengukur ketimpangan distribusi pendapatan. Koefisien ini memenuhi enam kriteria yang seharusnya dimiliki oleh metode pengukuran ketimpangan
pendapatan, yaitu: 1) Mean independence, 2)
Population size independence 3) Symmetry, 4)
Pigou-Dalton Transfer sensitivity, 5) Decomposability, 6)
Statistical testability.
Indeks Theil merupakan ukuran ketimpangan yang dapat didekomposisi menjadi ketimpangan
dalam kelompok rumah tangga itu sendiri dan
ketimpangan antarkelompok rumah tangga. Indeks
Theil dapat diukur dengan rumus (Akita, Lukman, dan Yamada, 1999):
(1.1)
Dalam hal ini, Yij merupakan total pendapatan rumah tangga dalam kelas pendapatan j untuk kelompok i, Y adalah total pendapatan untuk semua
rumah tangga (ƩƩYij), nij adalah jumlah rumah tangga
dalam kelas pendapatan j untuk kelompok i, dan terakhir n menunjukkan jumlah seluruh rumah tangga
(ƩƩnij). Indeks Theil bisa didekomposisi menjadi komponen dalam kelompok dan antarkelompok dengan rumus:
Ketimpangan total = ketimpangan kelompok + ketimpangan antarkelompok
(1.2)
dengan:
(1.3)
2.3. Eksternalitas: Emisi Karbon
Harga BBM yang rendah memicu inefisiensi
penggunaan energi dan menyebabkan pertumbuhan
konsumsi BBM melebihi ekspansi penawaran.
Pertumbuhan konsumsi yang tinggi berkontribusi terhadap masalah lingkungan baik di tingkat lokal, regional, maupun global. Pada tingkat lokal, tingginya
konsumsi BBM memicu peningkatan laju polusi udara yang menimbulkan masalah kesehatan. Di
tingkat global, penggunaan bahan bakar fosil yang
berlebihan meningkatkan gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan pemanasan global. Polusi udara menurunkan kualitas udara dan mengakibatkan masalah kesehatan. Timbulnya masalah kesehatan membuat masyarakat harus mengalokasikan proporsi yang lebih besar dari pendapatannya untuk biaya perawatan kesehatan (Bappenas, 2007 dalam World Bank, 2009).
Rangkaian dampak tersebut menjadi
penyebab timbulnya biaya eksternal (external cost) untuk mengatasinya. Eksternalitas terjadi bila satu
aktivitas pelaku ekonomi (baik produksi maupun
konsumsi) mempengaruhi kesejahteraan pelaku
ekonomi lain dan peristiwa di luar mekanisme pasar
(Fisher [1996] dalam Mukhlis, [2009]). Sedangkan
eksternalitas negatif, dalam konteks biaya, dapat diartikan sebagai biaya terhadap pihak ketiga, selain
pembeli dan penjual, pada satu macam barang
yang tidak direfleksikan dalam harga pasar. Ketika terjadi eksternalitas negatif, harga barang atau jasa tidak menggambarkan biaya sosial tambahan
(marginal social cost) secara sempurna pada sumber daya yang dialokasikan dalam produksi. Dengan demikian produsen maupun konsumen akan bersikap underestimate terhadap biaya eksternal
dari aktivitasnya. Hal ini memungkinkan produsen
maupun konsumen menghasilkan output dengan
kuantitas melebihi kondisi output efisien namun mengakibatkan pihak ketiga menderita kerugian yang lebih besar dibanding ketika output diproduksi dalam
tingkat efisien (Mukhlis, 2009). 2.4. Penelitian Terdahulu
Para ahli telah banyak melakukan berbagai
penelitian mengenai penerapan subsidi energi dan
dampak kebijakan tersebut. Kajian oleh Lestari (2003) menyimpulkan bahwa kenaikan harga energi
memiliki dampak negatif dan positif. Dampak negatif
diasosiasikan dengan perlambatan perekonomian
karena naiknya harga BBM membawa efek inflasi bagi besaran-besaran makro, seperti kenaikan inflasi
dan penurunan pertumbuhan ekonomi. Dampak
positif kenaikan harga BBM, terutama dalam
jangka panjang, terkait lepasnya ketergantungan terhadap minyak dan berkurangnya subsidi BBM yang membebani APBN yang memberikan jaminan terhadap sustainable development. Sementara itu
penelitian lain menyebutkan bahwa penghentian
subsidi bahan bakar dan listrik dapat mengurangi
tingkat pengeluaran emisi CO2 nasional sebesar 6,71%
Sementara itu Hamilton (2001), IMF (2001), dan Penn (2006) menyatakan kenaikan harga BBM akan menurunkan output nasional secara signifikan
namun penurunan harga BBM tidak berdampak
hebat bagi perekonomian. Lebih lanjut IMF (2001) menekankan kombinasi antara penurunan daya beli dan kenaikan harga mendorong perusahaan untuk menurunkan produksi yang secara makro akan menurunkan output nasional. Namun dampak
inflasioner kenaikan harga BBM bersifat sementara
dan akan kembali pada kondisi semula dalam satu kuartal ke depan (IMF, 2001, dalam Sambodo, 2009). Gever et.al. (1991) dalam studinya menyatakan
kenaikan harga minyak akan berdampak positif bagi
pembangunan bekelanjutan, yaitu kenaikan harga minyak akan mendorong sektor industri dan rumah
tangga untuk mengefisienkan konsumsi energi dan mendorong perkembangan energi alternatif.
3.
DATA DAN METODE PENELITIAN
3.1. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis Sistem
Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang mempunyai kerangka dasar sama dengan Social Accounting
Matrix (SAM). SNSE merupakan suatu kerangka data
yang disusun dalam bentuk matriks yang merangkum berbagai variabel sosial dan ekonomi secara kompak dan terintegrasi sehingga dapat memberikan gambaran umum mengenai perekonomian suatu negara dan keterkaitan antara variabel-variabel ekonomi dan sosial dalam kurun waktu tertentu
(BPS, 2008). Pyatt dan Round (1979) dan Hartono dan Resosudarmo (2006) mendefinisikan SAM sebagai
sebuah neraca ekonomi masukan ganda tradisional
berbentuk matriks partisi yang mencatat segala
transaksi ekonomi antara agen, terutama antara sektor-sektor di dalam blok produksi, sektor-sektor
di dalam blok institusi (termasuk rumah tangga), dan
sektor-sektor di dalam blok faktor produksi di suatu perekonomian.
Penggunaan SAM dengan tujuan analisis
multisektoral diharuskan mempunyai basis data
yang konsisten dan lengkap untuk semua transaksi
antarsektor dan institusi. Konsisten berarti setiap
pendapatan harus terkait dengan belanja dan data
harus lengkap, yaitu setiap transaksi harus dapat diidentifikasi semua pelaku transaksi baik penerima
maupun pengirim transaksi. SAM berbentuk matriks bujursangkar dengan kolom yang menyatakan pembayaran/belanja dan baris yang menyatakan
pendapatan. Setiap kolom dan baris yang saling terkait
harus mempunyai jumlah yang sama. Kerangka dasar SNSE terlihat pada tabel 1. Kerangka Dasar SNSE
Penyajian SNSE mempunyai format yang berbeda dengan format dasar SAM. Dalam SNSE Indonesia, neraca endogen terdiri dari enam blok,
yaitu faktor produksi, institusi, sektor produksi, komoditas domestik, komoditas impor, dan margin.
Sedangkan dalam kerangka dasar SAM, neraca
endogen hanya terdiri dari tiga blok, yaitu faktor produksi, institusi, dan sektor produksi. Agar sesuai
dengan metode SAM, maka diperlukan penyatuan keenam blok tersebut.
SNSE yang telah disesuaikan dengan format SAM kemudian diagregasi dan didisagregasi untuk
sektor-sektor tertentu yang sesuai dengan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan data yang telah
diagregasi dan didisagregasi yang dikembangkan oleh Endriana dan Hartono (2013). Data tersebut selanjutnya disebut SAM Energi 2008. Lebih lanjut, proses agregasi dan disagregasi sektor-sektor dalam
penelitian ini mengacu pada Endriana (2013). Untuk tujuan analisis perubahan tingkat CO2,
data SAM dikembangkan lagi menjadi Environmentally
Extended Social Accounting Matrix (ESAM). ESAM
disajikan dengan memberikan tambahan sejumlah baris dan kolom dari SAM. Tambahan baris dan kolom tersebut berisi akun-akun yang terkait dengan
lingkungan seperti polutan (emisi), deplesi sumber
daya alam termasuk tanah, dan degradasi lingkungan
seperti efek gas rumah kaca (Pal, Pohit, 2012). ESAM
mempunyai konsep dasar yang sama dengan SAM yaitu penjumlahan kolom merepresentasikan supply atau asal emisi dan penjumlahan baris merepresentasikan jumlah serapan suatu sektor terhadap emisi.
Pada penelitian ini, pengembangan ESAM
dilakukan untuk memperoleh nilai pengganda emisi yang akan digunakan dalam simulasi. Nilai emisi
dalam penelitian ini, dibatasi hanya pada emisi
CO2 yang dihasilkan dari penggunaan premium, minyak tanah, dan solar. Data jumlah emisi CO2 yang
dihasilkan ketiga produk tersebut berasal dari Pusat
Data dan Informasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM).
Untuk memperoleh nilai pengganda emisi,
terlebih dahulu dilakukan estimasi emisi CO2 yang
dihasilkan oleh tiap sektor. Langkah selanjutnya adalah menghitung matriks koefisien emisi (D).
Matriks D merupakan matriks diagonal yang
elemennya berisi koefisien emisi (Endriana, 2013). Dalam hal ini koefisien emisi (eij) hanya ditentukan
untuk institusi dan sektor produksi sebagai pengguna
BBM (premium, minyak tanah, dan solar). Penentuan
koefisien emisi untuk institusi dilakukan dengan
membuat rasio antara jumlah emisi yang dihasilkan
institusi dengan total pengeluaran. Sementara untuk sektor produksi, koefisien emisi dihitung dengan
membuat rasio antara jumlah emisi yang dihasilkan sektor produksi dengan total outputnya. Matriks
koefisien emisi dapat dirumuskan sebagai berikut: D= [eij] (1.4)
0 untuk i≠j, dan bernilai eij untuk i=j. Sedangkan
penyusunan matriks pengganda emisi dilakukan
dengan membuat perkalian antara koefisien emisi
(D) dengan matriks pengganda neraca (Ma) yang bisa dirumuskan sebagai:
E = D . Ma (1.5)
Setelah mendapatkan nilai pengganda
accounting multiplier dan pengganda emisi,
penelitian dilanjutkan dengan simulasi. Simulasi
dilakukan dengan melakukan shock pada variabel
eksogen. Simulasi dalam penelitian ini dibagi menjadi
dua kelompok. Masing-Masing kelompok terdiri dari
tiga skenario. Simulasi ini juga dilandasi sejumlah asumsi yang melekat pada model SAM. Penelitian ini
juga mengabaikan pengaruh perubahan harga BBM, penurunan konsumsi BBM, dan konversi.
Setelah dilakukan simulasi, penelitian
dilanjutkan dengan melakukan analisis hasil simulasi. Analisis hasil simulasi dilakukan dengan membandingkan kondisi awal (baseline) sebelum dan setelah simulasi. Analisis yang dilakukan
meliputiaspek ekonomi, yang dilihat dari perubahan
PDB, aspek sosial yang dilihat dari perubahan indeks
ketimpangan distribusi pendapatan, dan aspek lingkungan, yang dilihat dari perubahan tingkat emisi
CO2 sebelum dan setelah simulasi.
Untuk memperkuat hasil analisis, digunakan pula alat analisis SAM berupa accounting multiplier
dan structural path analysis (SPA). Accounting
multiplier dapat memberikan penjelasan mengenai
besaran perubahan pada masing-masing sektor. Sementara SPA dapat memberikan penjelasan jalur dan arah perubahan dari suatu sektor yang diberi
shock terhadap sektor lain yang terkena dampaknya.
Accounting multiplier merupakan besaran
angka pengganda dari masing-masing sektor yang menunjukkan peran sektor tersebut dalam perekonomian. Besaran angka pengganda diperoleh dari pemrosesan SAM Energi 2008 dengan software MATS. Analisis multiplier dilakukan untuk mengetahui peranan sektor-sektor dalam perekonomian melalui telaah peranan sektor terhadap penciptaan nilai tambah, pendapatan rumah tangga, penerimaan pemerintah, penerimaan sektor-sektor produksi, dan total perekonomian secara menyeluruh. Analisis multiplier dilakukan dengan melihat nilai
sel multiplier dan kemudian menjumlahkan isi sel
multiplier secara vertikal sesuai kelompok indikator
makro yang akan dilihat. Kelompok indikator makro yang umum dilihat adalah Value Added Multiplier
(VAM), Household Induced Income Multiplier (HIIM), Government Income Multiplier (GIM), Own Income Mutiplier (MPS), Other Linkage Sector Multiplier
(OLSM), Production Mutiplier (PROM), dan Gross
Output Multiplier (GOM).
Analisis dampak pengganda sangat berguna
dalam menilai dan mengestimasi dampak penerapan
sebuah kebijakan ekonomi (shock eksogen). Namun
dekomposisi dampak pengganda tidak mampu
menguraikan multiplier ke dalam komponen transaksi
atau mengidentifikasi urutan keterkaitan transaksi
(Defourney dan Thorbecke, 1988). Dekomposisi dampak pengganda hanya mampu menguraikan pengaruh-pengaruh dalam neraca endogen atau antarneraca endogen. Dalam analisis dampak
kebijakan, sangat penting untuk mengetahui dan
melacak jalur perubahan sebagai dampak kebijakan agar kebijakan yang diterapkan selanjutnya lebih
efisien. Oleh karenanya, banyak penelitian yang
kemudian menerapkan SPA sebagai alat untuk
mengidentifikasi dan melacak jalur perubahan
tersebut.
SPA merupakan sebuah metode untuk
mengidentifikasi seluruh jaringan yang berisi jalur
yang menghubungkan pengaruh suatu sektor pada sektor lainnya dalam suatu sistem ekonomi. Pengaruh dari suatu sektor ke sektor lainnya dapat melalui jalur dasar (elementary path) atau sirkuit (Haryanto
dan Hafizrianda, 2010). Metode SPA juga mampu
menunjukkan pengaruh transmisi dari satu sektor ke sektor lainnya secara bersambungan dalam suatu gambar.
Metode SPA dimulai dengan menentukan
titik awal dan akhir dari jalur tersebut kemudian
menghubungkannya dengan anak panah. Anak panah menunjukkan unit satuan, sementara jalur terdiri dari beberapa anak panah. Analisis SPA menggunakan dua macam jalur yaitu jalur dasar dan jalur sirkuit. Jalur
dasar merupakan jalur yang tidak melewati sebuah
sektor lebih dari satu kali. Pengaruh ini dapat terjadi secara langsung namun dapat pula melalui sektor lain. Sementara sebuah sirkuit merupakan jalur dengan
titik awal jalur juga merupakan titik akhir/tujuan jalur. Dalam metode SPA terdapat tiga tipe pengaruh, yaitu:
1) Pengaruh langsung (DI(i->j)), yaitu perubahan pendapatan atau produksi sektor j yang disebab-kan perubahan satu unit pada sektor i.
2) Pengaruh total (TI(iàj)), yaitupenjumlahan dari DI (iàj) ditambah seluruh pengaruh tidak langsung yang terjadi karena terbentuknya jalur sirkuit. Pengaruh langsung dapat terjadi secara langsung dalam satu sektor atau dalam bebera-pa sektor (hubungan antar jalur dabebera-pat memben-tuk sirkuit).
3) Pengaruh global (GI(iàj)), mengukur keseluruhan pengaruh pada pendapatan atau produksi j yang disebabkan oleh satu unit perubahan i.
3.2. Gambaran umum Subsidi BBM di Indonesia
Sampai dengan tahun 2014, produk BBM yang mendapatkan subsidi dari pemerintah adalah
premium, minyak tanah dan solar. Ketiga jenis produk
BBM juga mempunyai harga yang berbeda. Pada tahun 2008, harga keekonomian minyak tanah berada pada kisaran antara Rp6.600,- s.d. Rp11.700,-. Sementara harga keekonomian premium berada pada kisaran antara Rp7.600,- s.d. Rp9.600,-. Sedangkan harga keekonomian solar berada pada kisaran Rp6.600,- s.d. Rp 11.700,-.
Meski harga eceran domestik ditetapkan pemerintah di bawah harga pasar, namun fluktuasi juga terjadi pada harga eceran domestik. Hal ini dipicu oleh kekhawatiran fluktuasi harga minyak di pasar
internasional. Pada tahun 2008, produk-produk BBM bersubsidi mengalami kenaikan harga pada bulan Mei dengan kisaran 25%-33%. Sementara pada bulan Desember, harga premium dan solar turun masing-masing sebesar 16% dan 13%.
Jumlah konsumsi masing-masing produk BBM bersubsidi juga berbeda. Pada tahun 2008, dari 39,2 juta liter jumlah konsumsi BBM bersubsidi di Indonesia, konsumsi premium mencapai 50%, sedangkan solar sebanyak 30%, dan minyak tanah
sebesar 20%. Pada tahun 2012, perubahan tidak
hanya terjadi pada jumlah konsumsi tetapi juga proporsi konsumsi pada masing-masing produk BBM bersubsidi. Pada tahun ini, konsumsi BBM bersubsidi mencapai 45 juta kilo liter dengan konsumsi premium mencapai 61%, sementara konsumsi solar mencapai 35%. Namun demikian konsumsi minyak tanah mengalami penurunan baik jumlah maupun persentase konsumsi menjadi 1,2 juta kiloliter atau sebesar 4,25% dari total konsumsi BBM bersubsidi pada tahun 2012.
Dilihat dari kelompok pengguna, baik premium maupun solar lebih banyak digunakan pada kelompok rumah tangga dengan pengeluaran 30% teratas (Wikarya, 2012). Pada tahun 2011, dari 37,6 juta rumah tangga pengguna premium, sebanyak 40,63% merupakan rumah tangga dengan pengeluaran 30% teratas. Sedangkan jumlah rumah tangga dengan pengeluaran 30% terbawah yang mengonsumsi BBM premium hanya sebesar 15,83%. Untuk konsumsi solar, sebanyak 48% dikonsumsi oleh rumah tangga dengan pengeluaran 30% teratas dan rumah tangga dengan pengeluaran 30% terbawah yang mengonsumsi solar sebesar 15%.
3.2.2. Kebijakan Subsidi BBM di Indonesia
Indonesia telah menerapkan mekanisme subsidi untuk menekan harga eceran bahan bakar sejak tahun 1967 (Bulman et.al., 2008). Pada masa
itu, Indonesia merupakan eksportir minyak dengan
penerimaan minyak menyumbang 30% APBN. Fakta tersebut menjadikan subsidi BBM lebih terjangkau bagi pemerintah. Krisis keuangan global pada tahun
1997/1998 membuat subsidi BBM naik drastis dari
Rp2,9 triliun pada tahun anggaran 1996/1997 menjadi Rp18,5 triliun pada tahun anggaran 1997/1998. Jumlah subsidi ini terus meningkat hingga pada tahun anggaran 1999/2000 jumlah subsidi BBM yang harus diberikan pemerintah mencapai Rp38,1 triliun. Pada saat yang bersamaan, produksi minyak Indonesia
turun hingga sepertiga jumlah sebelumnya.
Pemerintah menaikkan harga BBM rata-rata sebesar 12% yang diberlakukan mulai tanggal 1 Oktober 2000. Kenaikan harga minyak mendorong turunnya permintaan BBM bersubsidi yang kemudian berefek pada turunnya jumlah subsidi pada tahun 2001 dan 2002. Pada tahun 2003, harga minyak dunia kembali naik. Pada tahun ini, pemerintah berniat mengurangi beban subsidi BBM, namun rencana tersebut mendapat protes keras dari masyarakat. Pada tahun 2005, harga minyak menjadi $55 per barel, naik hampir dua kali lipat dari harga minyak tahun 2003, sebesar $30 per barel. Pada kondisi ini, subsidi BBM naik sangat tajam dan mencapai $15 miliar atau hampir setara 5% PDB Indonesia. Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah kembali menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga BBM bersubsidi, pada tahun 2005, dilaksanakan pada bulan Maret sebesar 29% dan bulan Oktober sebesar 114%.
Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia mengalami situasi serupa dengan kondisi pada
tahun 2005. Hanya saja, pemerintah saat itu tidak
hanya berhadapan dengan kenaikan harga minyak melainkan juga dengan kenaikan konsumsi BBM bersubsidi. Pada tahun ini, harga minyak naik hampir dua kali lipat dan konsumsi BBM bersubsidi 20% lebih
tinggi dari proyeksi pemerintah. Dengan asumsi harga
minyak $95 per barel, pada tahun 2008 pemerintah memberikan subsidi BBM sebesar Rp15 triliun.
Jumlah konsumsi BBM bersubsidi secara umum mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data APBN tahun 2011 menunjukkan bahwa realisasi konsumsi BBM bersubsidi mencapai 40,331 juta kiloliter. Jumlah ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2010 yang hanya berjumlah 38,221 juta kiloliter atau dibanding tahun 2009 yang hanya berjumlah 37,011 juta kiloliter. Kenaikan jumlah konsumsi ini terutama jenis premium yang merupakan bahan bakar kendaraan bermotor.
Pesatnya kenaikan jumlah konsumsi premium menjadi indikasi bahwa subsidi BBM jenis ini lebih
banyak dinikmati oleh masyarakat mampu. Hal ini berarti bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi lebih
berpengaruh pada masyarakat mampu. Namun demikian, golongan rumah tangga berpenghasilan rendah rentan menjadi miskin atau makin miskin
karena efek inflasi kenaikan harga BBM bersubsidi.
pengurangan subsidi BBM di Indonesia diantaranya bantuan langsung tunai (BLT), Beras untuk rakyat miskin (raskin), Biaya Operasional Sekolah, peningkatan prasarana, dana bergulir, dan kredit usaha rakyat.
Program bantuan langsung tunai (cash
transfer) telah dilaksanakan sejak tahun 2000 dengan
alokasi dana sebesar Rp200 miliar. Program tersebut dilaksanakan dengan memberikan dana tunai kepada rumah tangga miskin sebesar Rp10.000,- per bulan per keluarga dengan target 6,67 juta rumah tangga miskin pada tahun 2000. Program cash transfer diberikan dalam kerangka kebijakan perlindungan sosial (social
protection) untuk mengatasi dampak pengurangan
subsidi BBM. Mekanisme yang dilakukan merupakan asistensi sosial (social assistance) untuk membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar, mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi, dan meningkatkan tanggung jawab sosial bersama.
Program cash transfer seperti BLT dapat
meningkatkan pendapatan dan konsumsi rumah tangga miskin sehingga diharapkan mampu
mengurangi kemiskinan, setidaknya dalam jangka
pendek. Sebagai program perindungan sosial, cash
transfer dinilai lebih efisien dan efektif dibanding
program transfer lainnya. Hal ini karena cash transfer
tidak membutuhkan ruang penyimpanan yang besar, tidak memerlukan biaya transportasi, memberikan
pilihan bagi masyarakat dalam membelanjakan uangnya, mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dan membuka lapangan kerja melalui multiplier perdagangan. Kelemahan cash transfer adalah adanya kemungkinan penerima cash transfer membelanjakan
uangnya untuk barang-barang yang tidak menunjang kesejahteraan, seperti rokok dan minuman keras
(Febriany dan Suryahadi, 2012).
Hasil kaji cepat pelaksanaan BLT 2008 dan evaluasi penerima program BLT 2005 di Indonesia yang dilakukan SMERU pada tahun 2011 menyebutkan bahwa program BLT 2008 masih relevan dan dapat membantu masyarakat miskin dalam mengatasi guncangan akibat kenaikan harga BBM. BLT juga
tidak mengakibatkan kemalasan dan perubahan jam
kerja RTS karena jumlah dana yang diterima terbatas dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam jangka pendek sehingga masyarakat miskin harus tetap bekerja untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
4.
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
4.1. Analisis Multiplier
a. Analisis Accounting Multiplier (Ma)
Hasil analisis multiplier untuk SAM Energi 2008
menunjukkan minyak tanah mempunyai nilai angka
pengganda tertinggi untuk VAM, HIIM, GIM, OLSM,
PROM, dan GOM. Minyak tanah mempunyai nilai
VAM sebesar 6,56, yang artinya penambahan atau
penurunan sebesar Rp1 miliar pada sektor ini akan mengakibatkan naik/turunnya nilai tambah sebesar Rp6,56 miliar. Dibanding sektor lainnya, minyak tanah
juga mempunyai angka pengganda tertinggi untuk
PROM sebesar 8,95 yang merupakan penjumlahan dari angka pengganda OLSM sebesar 7,93 dan MPS sebesar 1,02. Tingginya angka pengganda OLSM
berarti minyak tanah mempunyai kaitan tinggi dengan
sektor lain sehingga injeksi atau shock terhadap sektor ini juga akan berakibat besar bagi sektor lainnya. Tabel 2. menyajikan besaran angka pengganda berdasarkan kelompok indikator makro untuk sektor-sektor yang diinjeksi/shock dalam penelitian ini.
Tabel 2. Analisis Multiplier Berdasarkan Kelompok Indikator Makro Sektor Tertentu
Pr
emium
Min
yak
Tanah Solar Kons
truk
VAM 2,85 6,56 2,48 1,58 1,88
HIIM 2,03 4,35 1,73 1,14 1,44
GIM 0,46 1,20 0,42 0,25 0,26
MPS 1,03 1,02 1,04 1,03 1,09
OLSM 4,50 7,93 3,63 2,66 2,99
PROM 5,52 8,95 4,67 3,69 4,08
GOM 11,89 23,82 10,25 7,21 8,24
Sumber: Hasil pengolahan
Penghitungan nilai VAM berbasis faktor-faktor produksi (tenaga kerja dan bukan tenaga kerja/modal) memberikan makna bahwa injeksi/shock terhadap sektor tertentu akan mengakibatkan kenaikan atau penurunan terhadap penerimaan tenaga kerja dan modal sebesar angka pengganda faktor produksi pada sektor tersebut. Hasil analisis multiplier menunjukkan bahwa pada kelima sektor (premium, minyak tanah, solar, konstruksi, dan angkutan darat), faktor produksi yang mempunyai angka pengganda terkecil adalah faktor produksi kepemimpinan, ketatalaksanaan, militer, profesional, dan teknisi bukan penerima upah/gaji. Sedangkan nilai pengganda terbesar untuk semua sektor, kecuali sektor premium, terdapat pada tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual, dan buruh kasar penerima upah/gaji.
Pada hasil penghitungan nilai HIIM, nilai terbesar terdapat pada sektor minyak tanah dan nilai terkecil terdapat pada sektor konstruksi. Proporsi nilai
multiplier untuk kelima sektor ini lebih banyak berasal
keseluruhan, nilai pengganda terbesar untuk masing-masing golongan rumah tangga desa dan kota terdapat
pada rumah tangga dengan penghasilan tertinggi yaitu
rumah tangga desa desil 10 dan rumah tangga kota desil 10. Sedangkan angka pengganda terkecil untuk seluruh sektor terdapat pada rumah tangga desa desil 1 yaitu rumah tangga dengan penghasilan terendah.
Besarnya nilai HIIM rumah tangga berpendapatan
tinggi pada kelima sektor menandakan rumah tangga golongan pendapatan tinggi tersebut akan terkena
dampak paling besar dari adanya shock atau injeksi pada kelima sektor tersebut.
b. Analisis Pengganda Emisi (E)
Angka pengganda emisi merupakan nilai kepekaan perubahan emisi terhadap perubahan satu unit moneter. Besaran angka pengganda emisi suatu sektor berhubungan erat dengan keterkaitan sektor tersebut dengan sektor penghasil emisi.
Dalam penelitian ini, sektor penghasil emisi dibatasi
pada emisi CO2 yang dihasilkan sektor premium, minyak tanah, dan solar. Sektor dengan input utama sektor penghasil emisi cenderung mempunyai angka pengganda emisi besar. Namun besarnya emisi
yang dihasilkan tidak terbatas pada pemakaian
sektor penghasil emisi sebagai input, tetapi juga penggunaan sektor-sektor lain yang menggunakan sektor penghasil emisi sebagai input.
Emisi yang dihasilkan dari penggunaan sektor penghasil emisi sebagai input disebut emisi langsung. Sedangkan emisi yang dihasilkan dari penggunaan sektor-sektor lain yang menggunakan sektor penghasil emisi sebagai input disebut emisi
tidak langsung. Dengan demikian total emisi yang
dihasilkan oleh suatu sektor merupakan penjumlahan
dari emisi langsung dan emisi tidak langsung.
Hasil analisis angka pengganda emisi menunjukkan bahwa sektor dengan nilai pengganda emisi langsung terbesar adalah sektor angkutan darat
sebesar 0,20826. Hal ini berarti, potensi peningkatan
jumlah emisi CO2 dari sektor angkutan darat adalah 208,26 ton, apabila sektor angkutan darat diinjeksi sebesar Rp1 miliar. Angkutan darat merupakan sektor yang menggunakan produk-produk BBM sebagai
input utama dalam aktivitasnya. Hasil analisis angka
pengganda emisi juga menunjukkan bahwa terdapat
sektor-sektor produksi yang tidak mempunyai nilai
emisi langsung. Namun demikian, sektor tersebut
dapat menghasilkan emisi tidak langsung akibat
penggunaan sektor lain sebagai input. Misalnya
institusi perusahaan yang tidak mempunyai nilai
untuk jumlah emisi langsung namun menghasilkan
emisi tidak langsung meski dalam jumlah kecil.
4.2. Analisis Dampak Kebijakan Penurunan
Subsidi BBM dengan Alokasi Kompensasi
cash transfer dan non-cash transfer.
Penelitian ini terdiri dari dua kelompok
simulasi. Kelompok pertama dan kelompok kedua,
masing-masing terdiri dari tiga simulasi. Namun
sebelum melakukan simulasi, terlebih dahulu dilakukan penghitungan besaran subsidi BBM yang akan dihemat yang sekaligus merupakan besaran kompensasi. Penghitungan besaran subsidi BBM
dalam penelitian ini menggunakan proporsi jumlah
subsidi yang diberikan pemerintah terhadap harga keekonomian BBM per liter. Penghitungan jumlah subsidi yang diberikan pemerintah menggunakan metode price gap yang lebih sederhana dan transparan. Metode price gap merupakan metode penghitungan jumlah subsidi dengan menghitung selisih antara harga keekonomian BBM dan harga
BBM yang ditetapkan (administered). Namun
sayangnya harga BBM berfluktuasi, baik untuk
harga keekonomian maupun harga yang ditetapkan pemerintah. Sementara, penggunaan metodologi SAM sebagai alat analisis hanya memungkinkan
digunakannya satu titik harga. Oleh karena itu, untuk mendapatkan satu titik besaran subsidi BBM dalam penelitian ini, dilakukan penghitungan
rata-rata baik untuk harga yang ditetapkan pemerintah
maupun harga keekonomian dari setiap jenis produk
BBM bersubsidi. Data harga keekonomian dan harga eceran dalam negeri (administered) diperoleh dari Kementerian ESDM. Selanjutnya, penghitungan jumlah penurunan subsidi BBM tahun 2008 yang dijadikan shock dalam penelitian ini disajikan dalam
Tabel 3.
Tabel 3. Penghitungan Jumlah Penurunan (shock) Subsidi BBM tahun 2008
Pr
7.693,73 9.015,07 8.972,68
Rata-rata Subsidi produk per liter (Rp)
2.353,73 6.635,07 3.980,68
% subsidi/harga
keekonomian 0,31 0,74 0,44
Output Produk dalam SNSE 2008 (Rp miliar)
39.298,74 9.193,19 51.536,79
Jumlah subsidi
(Rp Miliar) 12.022,59 6.766,16 22.864,00 41.652,80 Sumber: Hasil Penghitungan
Selain menghitung penurunan jumlah subsidi
BBM, penelitian ini juga melakukan penghitungan
jumlah alokasi cash transfer yang akan diberikan
kepada setiap rumah tangga. Alokasi cash transfer
rumah tangga dengan jumlah pendapatan per kapita terendah, yaitu rumah tangga desa desil 1 (HHD1), rumah tangga desa desil 2 (HHD2), rumah tangga desa desil 3 (HHD3), rumah tangga kota desil 1 (HHK1), dan rumah tangga kota desil 2 (HHK2).
Menurut data BPS, jumlah rumah tangga Indonesia, pada tahun 2008 adalah 57.716.100 rumah tangga. Dari jumlah tersebut, rumah tangga desa berjumlah 29.657.233 dan rumah tangga kota berjumlah 28.058.867. Pembagian rumah tangga
ke dalam desilpada penelitian ini,membuat jumlah rumah tangga setiap desil berjumlah sama untuk masing-masing kelompok kota maupun desa. Setiap
desil dalam rumah tangga desa sejumlah 2.965.723,
sedangkan setiap desil dalam rumah tangga kota
sejumlah 2.805.886 rumah tangga. Pada skenario 1, alokasi kompensasi penurunan subsidi BBM dalam bentuk cash transfer diberikan kepada lima golongan rumah tangga targeted dengan jumlah seluruh rumah tangga sebesar 14.508.943 rumah tangga atau setara 25% total rumah tangga Indonesia. Berdasarkan hasil penghitungan, pada skenario 1, jumlah cash transfer
untuk masing-masing rumah tangga adalah sebesar Rp2.870.833,81. Jumlah ini merupakan jumlah seluruh
dana kompensasi yang diberikan kepada setiap rumah
tangga selama periode program berlangsung. Periode pelaksanaan program beragam sesuai rencana pemerintah. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia telah melaksanakan program cash transfer berupa program BLT (Bantuan Langsung Tunai) pada tahun 2008 untuk 19,1 juta rumah tangga sasaran dengan periode program selama tujuh bulan dalam bentuk uang tunai sebesar Rp100.000,- per bulan.
Setelah menghitung penurunan jumlah subsidi dan alokasi cash transfer pada masing-masing
golongan rumah tangga, penelitian dilanjutkan
dengan menjalankan simulasi sesuai skenario yang telah ditetapkan. Tiga skenario dalam simulasi kelompok pertama terdiri dari:
1) Skenario 1: Subsidi premium, solar, dan min-yak tanah dihapuskan (Rp41.652,80 miliar), dengan kompensasi seluruhnya untuk cash transfer.
2) Skenario 2: Subsidi premium, solar, dan min-yak tanah dihapuskan (Rp41.652,80 miliar), dengan kompensasi seluruhnya untuk in-vestasi di sektor konstruksi.
3) Skenario 3: Subsidi premium, solar, dan min-yak tanah dihapuskan (Rp41.652,80 miliar), dengan kompensasi seluruhnya untuk in-vestasi di sektor angkutan darat.
Hasil simulasi menunjukkan, bahwa semua
simulasi berdampak pada penurunan PDB pada tingkat yang berbeda-beda. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Clement, et.al., (2007, disebutkan
dalam Widodo et.al., 2012) yang menyatakan
penghapusan subsidi BBM akan menurunkan PDB riil
sebesar 2% dalam jangka pendek. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Widodo, et.al.,
(2012) yang menunjukkan penghapusan subsidi BBM sebesar Rp1 miliar akan menurunkan PDB sebesar
Rp0,888 miliar. Namun demikian hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan
IEA (1999, disebutkan dalam Mourougane, 2010) yang menunjukkan penghapusan subsidi BBM akan meningkatkan PDB Indonesia sebesar 0,24%.
Hubungan positif kenaikan harga minyak dengan perekonomian juga dicatat dalam penelitian
Gever et.al. (1991, disebutkan dalam Lestari, et.al., 2007). Kenaikan harga minyak akan mendorong sektor
industri dan rumah tangga mengefisienkan konsumsi
energi dan mendorong pengembangan energi
alternatif. Namun dampak negatif kenaikan harga
minyak terhadap perekonomian juga dapat ditelusuri
melalui efek inflasioner kenaikan harga BBM. Dari
sisi konsumen, kenaikan harga BBM berjalan melalui peningkatan harga-harga yang akan menurunkan daya beli masyarakat dan menurunkan pendapatan riil masyarakat, yang berakibat pada penurunan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu dari sisi produsen, kenaikan harga umum akan menyebabkan kenaikan biaya produksi yang kemudian direspon dengan penurunan produksi atau kenaikan harga beli. Kombinasi penurunan daya beli dan kenaikan harga akan mendorong perusahaan untuk menurunkan produksi, yang secara makro akan menurunkan
output nasional (Lestari, 2007). Namun IMF (2000,
dalam Lestari et.al., 2007), menyatakan bahwa
dampak inflasioner kenaikan harga BBM bersifat
sementara dan akan kembali pada kondisi semula pada satu kuartal ke depan, kecuali untuk kasus-kasus ekstrem. Pada kasus Indonesia, meski telah beberapa kali terjadi penurunan subsidi BBM, namun PDB tetap meningkat meski pertumbuhannya melamban.
Tabel 4 menunjukkan bahwa penurunan subsidi BBM sebesar Rp41.652,80 miliar akan mengakibatkan penurunan PDB sebesar 1,32% jika kompensasi dialokasikan sepenuhnya untuk
cash transfer. Penurunan output yang lebih besar
terjadi jika penghematan subsidi BBM dialokasikan untuk investasi di sektor konstruksi yaitu sebesar 1,35%. Penurunan PDB terkecil terjadi pada simulasi S3 dengan alokasi hasil penghematan subsidi BBM diberikan untuk sektor angkutan darat. Hal ini dimungkinkan karena sektor angkutan darat merupakan sektor yang terkait langsung dengan subsidi BBM sehingga shock pada sektor BBM dapat
diantisipasi melalui injeksi pada sektor ini. Hal ini
sesuai dengan hipotesis Breisinger (2010) bahwa ada sektor yang terkena dampak langsung dari shock
eksogen, dalam hal ini berupa penurunan subsidi BBM dan dialokasikan untuk sektor angkutan darat.
Hasil simulasi ini sekaligus menjadi bukti atas hipotesa
non-cash transfer dengan alokasi pada sektor produksi yang terkait langsung sektor BBM berdampak lebih baik dibanding dampak kebijakan penurunan subsidi BBM dengan alokasi kompensasi pada sektor-sektor
yang tidak terkait.
Tabel 4. Dampak Penurunan Subsidi BBM terhadap PDB
Baseline 5.165.299,93 -
-S1 5.096.914,70 (68.385,23) -1,32%
S2 5.095.673,24 (69.626,69) -1,35%
S3 5.108.350,39 (56.949,54) -1,10%
Sumber: Hasil Pengolahan
Dampak terkecil penurunan PDB pada simulasi S3 terjadi karena adanya tambahan pendapatan yang diterima oleh faktor produksi tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual, dan buruh kasar bukan penerima upah dan gaji. Tenaga kerja yang termasuk dalam kategori ini salah satunya adalah tenaga kerja pengemudi alat-alat angkutan. Hasil SPA menunjukkan sektor ini terkait langsung dengan sektor angkutan darat dengan nilai GE sebesar 0,201 dengan persentase GE 78,8%.
Pada simulasi S2, dengan persentase penurunan pendapatan faktor produksi terbesar,
tidak terlihat ada peningkatan pendapatan di semua
lini faktor produksi. Sedangkan pada simulasi S1, peningkatan pendapatan faktor produksi terlihat pada tenaga kerja pertanian penerima upah/gaji dan tenaga kerja pertanian bukan penerima upah/ gaji. Peningkatan kedua faktor produksi tenaga kerja pertanian tersebut diindikasikan karena kedua faktor produksi ini mempunyai efek pancar yang kuat terhadap rumah tangga desa desil 1, rumah tangga desa desil 2, dan rumah tangga desa desil 3, serta rumah tangga kota desil 1 dan rumah tangga kota desil 2 yang merupakan lima golongan rumah tangga penerima cash transfer. Sehingga ketika dilakukan injeksi pada kelima golongan rumah tangga tersebut, pendapatan faktor produksi pertanian juga mengalami peningkatan.
Dampak penurunan subsidi BBM dan kompensasinya terhadap pendapatan rumah tangga diperlihatkan pada Tabel 5. Hasil simulasi menunjukkan adanya penurunan total pendapatan rumah tangga untuk semua skenario yang dijalankan.
Hasil penelitian ini senada dengan Widodo et.al.,
(2012), yang menunjukkan penghapusan subsidi BBM sebesar Rp1 miliar akan menurunkan total pendapatan rumah tangga sebesar Rp0,576 miliar.
Dalam hasil penelitian ini, simulasi penurunan
subsidi BBM dengan alokasi dana kompensasi berupa
cash transfer menghasilkan dampak penurunan
total pendapatan rumah tangga terkecil dibanding alokasi sector targeted. Dampak terkecil penurunan total pendapatan rumah tangga pada simulasi S1 merupakan dampak pemberian cash transfer pada simulasi tersebut. Sementara simulasi S2 dan S3 mengalami penurunan pendapatan yang besar
karena tidak ada kompensasi kepada masyarakat yang
berdampak langsung terhadap pendapatan rumah tangga.
Tabel 5. Dampak Penurunan Subsidi BBM
Terhadap Total Pendapatan Rumah Tangga
Output (Rp
Baseline 3.826.444,62 0 0
S1 3.825.943,93 -500,69 -0,013%
S2 3.780.529,51 -45.915,11 -1200%
S3 3.792.915,41 -33.529,21 -0,876%
Sumber: Hasil Pengolahan
Dampak penurunan pendapatan rumah tangga terbesar terjadi pada simulasi S2, yaitu penurunan subsidi BBM dengan kompensasi dialokasikan untuk
sektor konstruksi. Sektor konstruksi tidak terkait
langsung dengan produk BBM bersubsidi sehingga
injeksi pada sektor ini tidak mampu meredam dampak
dalam angka yang lebih besar. Sedangkan pada simulasi S3, yaitu penurunan subsidi BBM dengan kompensasi dialokasikan untuk sektor angkutan darat, mampu memberikan penurunan total pendapatan rumah tangga dalam jumlah yang lebih kecil. Hal ini terjadi karena sektor angkutan darat terkait langsung dengan produk BBM bersubsidi sehingga injeksi pada sektor ini mampu mengurangi dampak penurunan pendapatan rumah tangga.
Dari seluruh skenario, rumah tangga yang terkena dampak paling besar penurunan subsidi BBM
ini adalah rumah tangga berpendapatan tinggi desa
maupun kota. Pada simulasi S1 (penurunan subsidi BBM dengan kompensasi berupa cash transfer), rumah tangga desa yang mengalami penurunan pendapatan melebihi 1% terjadi pada rumah tangga desa desil 10, sedangkan rumah tangga kota seluruhnya mengalami penurunan pendapatan rumah tangga lebih dari 1%, kecuali rumah tangga kota desil 1 dan rumah tangga kota desil 2 yang mengalami peningkatan pendapatan rumah tangga. Pada simulasi S2 (penurunan subsidi BBM dengan alokasi kompensasi pada sektor konstruksi), semua rumah tangga baik desa maupun kota mengalami penurunan pendapatan rumah tangga lebih dari 1%. Sementara pada simulasi S3 (penurunan subsidi BBM dengan alokasi kompensasi pada sektor angkutan darat), seluruh pendapatan rumah tangga mengalami penurunan dengan kisaran 0,67% hingga 1%.
pendapatan rumah tangga Indonesia. Seperti diuraikan sebelumnya, penelitian ini menggunakan Indeks Theil untuk mengukur angka ketimpangan distribusi
pendapatan. Tingkat pemerataan pendapatan yang
baik adalah jika Indeks Theil mendekati nol dan
pemerataan distribusi pendapatan sempurna adalah
ketika Indeks Theil bernilai nol. Dalam penelitian ini, analisis dampak terhadap indeks ketimpangan distribusi pendapatan tidak hanya melihat besarannya tetapi juga arah perubahannya (negatif atau positif)
sehingga perubahan sekecil apa pun layak dibahas. Hasil simulasi dampak penurunan subsidi BBM dengan alokasi cash transfer dan tanpa alokasi cash
transfer terhadap ketimpangan pendapatan rumah
tangga Indonesia disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Dampak Penurunan Subsidi BBM terhadap
Angka Distribusi Pendapatan
Tw Tb T
Baseline 0,0949222 0,0059829 0,1009051
S1 %
Peruba-Seperti terlihat dalam Tabel 6, semua simulasi mempengaruhi perbaikan angka ketimpangan distribusi pendapatan pada tingkat yang berbeda-beda. Perbaikan angka ketimpangan distribusi
pendapatan ditandai dengan penurunan Indeks
Theil mendekati angka nol. Penurunan angka Indeks Theil tertinggi terlihat pada hasil simulasi
S1 sebesar 5,93%. Sementara hasil simulasi S2 dan S3, meski menunjukkan hasil penurunan indeks
ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga,
namun jumlahnya jauh lebih kecil dibanding simulasi
S1. Hasil simulasi ini sekaligus menjadi bukti atas
hipotesa pertama bahwa kebijakan penurunan subsidi BBM dengan kompensasi berupa cash transfer
akan berdampak lebih baik terhadap pendapatan
dan tingkat pemerataan pendapatan rumah tangga
Indonesia dibanding dampak kebijakan penurunan subsidi BBM dengan kompensasi non-cash transfer.
Pada simulasi S2, Indeks Theil turun sebesar 0,20%, sedangkan pada simulasi S3 terjadi penurunan indeks sebesar 0,29%. Hasil ini sejalan dengan dampak pada pendapatan rumah tangga yaitu hasil simulasi S3 yang menunjukkan penurunan pendapatan rumah tangga yang lebih kecil sehingga penurunan Indeks Theil lebih besar. Sementara pada simulasi S2, penurunan pendapatan rumah tangga lebih besar dibanding S3 dan penurunan Indeks Theil pun lebih kecil dibanding simulasi S3. Sementara itu, hasil penghitungan Indeks Theil Tw dan Indeks Theil
Tb juga menunjukkan hal yang sama. Pada simulasi S1 terjadi penurunan indeks terbesar sebesar 7,44% untuk Indeks Theil Tb dan 5,84% untuk Indeks Theil
Tw. Hal ini membuktikan pemberian cash transfer
pada simulasi S1 mampu menghasilkan angka pemerataan pendapatan yang lebih baik dibanding simulasi tanpa pemberian cash transfer pada simulasi S2, dan S3.
Pada semua simulasi, tampak penurunan
indeks ketimpangan antara kelompok (Tb) lebih besar dibanding penurunan indeks ketimpangan within (Tw). Hal ini mengindikasikan penurunan subsidi BBM cukup
mampu menjembatani ketimpangan pendapatan
antara golongan rumah tangga desa dan golongan
rumah tangga kota. Seperti diketahui, golongan
rumah tangga kota mempunyai jumlah pendapatan
yang lebih tinggi dibanding golongan rumah tangga
desa pada kelompok desil yang sama. Hal ini terjadi karena golongan rumah tangga kota mempunyai akses lebih besar terhadap berbagai fasilitas publik, sumber energi, dan keragaman lapangan pekerjaan. Akses yang lebih besar membuat golongan rumah tangga kota terkena dampak penurunan subsidi BBM lebih besar dibanding golongan rumah tangga desa sehingga jumlah penurunan pendapatan yang lebih
besar membuat penurunan angka ketimpangan desa
dan kota menjadi lebih besar.
Penurunan indeks Theil Tw dalam jumlah yang lebih besar pada sektor angkutan darat, terjadi karena adanya keterkaitan langsung sektor angkutan darat dengan sektor BBM, sehingga injeksi pada sektor ini mampu mengatasi dampak langsung kenaikan harga BBM dengan lebih baik.Sementara alokasi pada sektor konstruksi menurunkan Indeks Theil Tw dalam nilai yang lebih kecil karena panjangnya jalur yang harus dilalui sehingga hasil yang diperoleh
tidak maksimal. Untuk memotong jalur panjang
tersebut pemerintah dapat menggunakan kebijakan pembangunan infrastruktur padat karya. Program pembangunan infrastruktur padat karya, baik di pedesaan maupun perkotaan, akan dapat memberi tambahan penghasilan bagi masyarakat golongan pendapatan terendah. Tambahan penghasilan pada masyarakat golongan pendapatan rendah akan menambah pendapatan rumah tangga golongan
pendapatan rendah sehingga indeks ketimpangan
dalam kelompok juga bisa menurun dalam nilai yang lebih besar.
Dampak kebijakan penurunan subsidi BBM
terhadap tingkat emisi dapat dilihat dari perubahan tingkat emisi sebelum dan setelah simulasi. Hasil simulasi menunjukkan pengurangan tingkat
emisi untuk simulasi S1 dan S2. Pada simulasi S3, penurunan subsidi BBM berakibat peningkatan emisi CO2. Secara umum kebijakan penurunan subsidi BBM
akan berdampak pada penurunan tingkat emisi CO2
Namun kebijakan penurunan subsidi BBM juga dapat meningkatkan jumlah emisi CO2 jika hasil penurunan subsidi BBM dialokasikan untuk sektor penghasil emisi CO2 seperti ditunjukkan pada hasil simulasi S3.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan subsidi BBM dengan dana kompensasi berupa
cash transfer dapat menurunkan tingkat emisi CO2
sebesar 1,142%. Jumlah penurunan ini lebih besar dibanding hasil penurunan subsidi BBM dengan dana kompensasi untuk sektor konstruksi yaitu penurunan emisi sebesar 1,006%. Namun penurunan subsidi BBM dengan dana kompensasi yang dialokasikan pada sektor angkutan darat berakibat peningkatan emisi CO2 sebesar 3,989%. Peningkatan emisi terjadi karena sektor angkutan darat merupakan sektor yang menggunakan sektor BBM sebagai masukannya. Sektor angkutan darat merupakan penghasil emisi CO2 sehingga injeksi pada sektor angkutan darat akan mendorong peningkatan emisi CO2.
Pada simulasi penurunan subsidi BBM dengan alokasi kompensasi untuk sektor angkutan darat, dampak kenaikan emisi CO2 seluruhnya berasal dari peningkatan emisi CO2 sektor angkutan darat sebesar 13,928%. Pada simulasi penurunan subsidi BBM dengan alokasi kompensasi untuk sektor konstruksi, meski menghasilkan penurunan pada total emisi CO2 yang dihasilkan, namun terdapat peningkatan emisi CO2 untuk sektor kayu dan barang dari kayu, industri kertas, percetakan, alat angkutan, dan barang dari logam, serta sektor industri kimia, pupuk, dan lain-lain dengan nilai di bawah 1%. Pada simulasi penurunan subsidi BBM dengan bentuk kompensasi berupa cash
transfer, terjadi peningkatan emisi CO2 pada rumah
tangga desa desil 1, rumah tangga desa desil 2, rumah tangga desa desil 3, rumah tangga kota desil 1, dan rumah tangga kota desil 2. Peningkatan emisi CO2 pada sektor-sektor rumah tangga tersebut karena kelima sektor rumah tangga mendapatkan injeksi berupa tambahan pendapatan dari cash transfer yang diberikan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM.
4.3. Analisis Dampak Kebijakan Penurunan
Subsidi BBM Jenis Tertentu dengan Alokasi Kompensasi berupa cash transfer
Simulasi kelompok kedua ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak jika dilakukan kebijakan penurunan subsidi BBM untuk jenis tertentu dengan tetap memberikan subsidi untuk dua jenis produk
BBM lainnya. Simulasi ini merupakan alternatif
pilihan kebijakan penurunan subsidi BBM secara bertahap melalui penurunan subsidi BBM untuk satu jenis BBM tertentu. Penurunan subsidi untuk satu jenis BBM tertentu memungkinkan pemerintah lebih fokus untuk mengatasi dampak yang timbul. Simulasi
kelompok kedua ini terdiri dari tiga skenario, yaitu:
1) Skenario 4: Subsidi premium (Rp12.022,60 mil-iar) dihapuskan, subsidi solar dan minyak tanah tetap diberikan dengan kompensasi seluruhnya untuk cash transfer.
2) Skenario 5: Subsidi solar (Rp22.864,00 miliar) dihapuskan, subsidi premium dan minyak tanah tetap diberikan dengan kompensasi seluruhnya untuk cash transfer.
3) Skenario 6: Subsidi minyak tanah (Rp6.766,165 miliar) dihapuskan, subsidi premium dan solar tetap diberikan dengan kompensasi seluruhnya untuk cash transfer.
Berdasarkan hasil penghitungan, pada simulasi penurunan subsidi premium (S4), jumlah cash transfer
yang diberikan untuk setiap rumah tangga adalah
sebesar Rp828.633,74. Sementara pada simulasi penurunan subsidi solar (S5), jumlah cash transfer
yang diberikan untuk setiap rumah tangga adalah
sebesar Rp1.575.855,63. Sedangkan pada simulasi penurunan minyak tanah (S6), jumlah cash transfer
yang diberikan untuk setiap rumah tangga adalah
sebesar Rp466.344,44. Jumlah tersebut merupakan
keseluruhan dana kompensasi yang diterima setiap
rumah tangga sasaran selama periode program.
Hasil simulasi S4, S5, dan S6 ini konsisten dengan hasil simulasi S1, S2, dan S3 yaitu adanya penurunan nilai PDB. Dampak penurunan subsidi BBM terhadap PDB pada simulasi S4, S5, dan S6 dapat dilihat dalam Tabel 7. Hasil simulasi menunjukkan
penurunan nilai PDB tertinggi yaitu sebesar 0,65%
terjadi pada simulasi S6 (penurunan subsidi minyak tanah). Sedangkan penurunan nilai PDB terendah sebesar 0,29% terjadi pada simulasi S4 (penurunan subsidi BBM jenis premium). Hasil simulasi ini sesuai
dengan besaran VAM dari ketiga sektor. Nilai VAM
minyak tanah, sebesar 6,56 merupakan yang terbesar
di antara ketiga jenis produk. Nilai VAM minyak tanah
yang besar berakibat besarnya dampak penurunan PDB akibat adanya shock pada sektor minyak tanah. Meski jumlah shock pada minyak tanah lebih kecil dibanding dua sektor lainnya namun mampu membuat nilai PDB turun dalam jumlah yang lebih besar dibanding dua sektor lainnya.
Pada simulasi penurunan subsidi premium dan solar, terjadi peningkatan pendapatan untuk faktor produksi tenaga kerja pertanian baik penerima upah/ gaji maupun bukan penerima upah/gaji. Analisis SPA
menunjukkan bahwa sektor premium dan solar tidak
memberikan efek pancar kepada faktor produksi tenaga kerja pertanian baik penerima upah/gaji maupun bukan penerima upah/gaji. Tidak adanya efek pancar dari sektor solar dan premium menuju tenaga kerja pertanian membuat faktor produksi ini
tidak mengalami dampak akibat shock pada sektor solar dan premium. Di sisi lain, faktor produksi ini mempunyai pengaruh kuat terhadap pendapatan rumah tangga desa desil 1, desil 2, dan desil 3. Sehingga pemberian cash transfer pada golongan rumah tangga tersebut secara langsung berdampak pada meningkatnya pendapatan faktor produksi pertanian.
Penurunan subsidi BBM jenis premium dan solar berdampak pada peningkatan total pendapatan rumah tangga. Pada simulasi penurunan subsidi solar, jumlah cash transfer yang diterima rumah tangga sasaran lebih besar dibanding pada simulasi penurunan subsidi premium. Hal ini dapat terlihat dari
lebih tingginya persentase peningkatan pendapatan
rumah tangga penerima cash transfer pada simulasi penurunan subsidi solar dibanding simulasi penurunan subsidi premium. Besarnya penggunaan produk dapat dilihat pada lebih rendahnya penurunan pendapatan rumah tangga desa bukan penerima
cash transfer, kecuali golongan rumah tangga desa
desil 10. Pada golongan rumah tangga desa desil 4, 5, 6, 7, 8, 9, terlihat bahwa persentase penurunan pendapatannya lebih kecil dibanding golongan rumah tangga yang sama pada simulasi penurunan subsidi premium.
Sementara itu, penurunan subsidi BBM jenis minyak tanah berdampak pada penurunan total pendapatan rumah tangga. Pada simulasi ini, peningkatan pendapatan rumah tangga terjadi pada rumah tangga penerima cash transfer namun dalam jumlah yang kecil. Sedangkan pada rumah tangga bukan penerima cash transfer, persentase penurunan
pendapatannya lebih tinggi dibanding rumah tangga
yang sama pada dua simulasi lainnya.
Pada tabel 8 terlihat bahwa untuk semua simulasi, persentase kenaikan pendapatan rumah
tangga tertinggi terjadi pada rumah tangga desa desil
1, yaitu rumah tangga dengan pendapatan paling rendah. Pemberian cash transfer dengan jumlah
yang sama untuk setiap rumah tangga berdampak pada tingginya persentase kenaikan pendapatan
rumah tangga golongan ini. Hal yang sama berlaku bagi golongan rumah tangga penerima cash transfer
lainnya. Pembagian cash transfer dalam jumlah yang sama untuk semua rumah tangga beresiko pada
perspektif masyarakat. Sebagian masyarakat dapat
menganggap jumlah cash transfer yang diberikan tidak
mencukupi padahal sebagian yang lain menganggap jumlah tersebut cukup besar untuk menutupi
kebutuhan. Perbedaan persepsi timbul karena kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang berbeda. Rumah tangga penerima cash transfer dengan pendapatan
yang lebih tinggi dapat menganggap jumlah cash
transfer terlalu kecil. Sebaliknya rumah tangga
penerima cash transfer dengan penghasilan rendah dapat menganggap jumlah tersebut telah mencukupi.
Sejalan dengan dampak yang timbul pada
pendapatan rumah tangga, dampak penurunan
subsidi BBM terhadap indeks ketimpangan distribusi
pendapatan juga dipengaruhi oleh pemberian cash
transfer. Dalam simulasi ini, pemberian cash transfer
mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus memperbaiki pemerataan distribusi pendapatan rumah tangga Indonesia. Hal ini
dibuktikan dengan turunnya Indeks Theil mendekati
nol untuk simulasi S4, S5, dan S6. Simulasi penurunan subsidi BBM bersubsidi jenis solar menghasilkan
penurunan indeks ketimpangan distribusi pendapatan dengan nilai tertinggi dibanding hasil simulasi pada
premium dan minyak tanah. Penurunan Indeks Theil terkecil terjadi pada simulasi penurunan subsidi minyak tanah. Hal ini terjadi karena besarnya
multiplier sektor minyak tanah dan kecilnya jumlah
cash transfer yang diberikan dalam simulasi ini.
Dekomposisi Indeks Theil T, yaitu Indeks Theil
Tw (Theil within) dan Indeks Theil Tb (Theil between),
juga mengalami penurunan. Secara keseluruhan, Indeks Theil Tb mengalami penurunan yang lebih besar dibanding Indeks Theil Tw untuk semua
simulasi. Hal ini berarti penurunan subsidi BBM efektif untuk menurunkan ketimpangan distribusi
pendapatan antara desa dan kota. Sedangkan pada persentase penurunan Indeks Theil within
(Tw), nilai penurunannya hampir setara dengan persentase penurunan Indeks Theil (T). Hal ini
dapat diartikan penurunan Indeks Theil (T) berjalan
seiring dengan Indeks Theil within (Tw). Indeks Theil
within menyatakan angka ketimpangan distribusi
pendapatan di dalam kelompok, yaitu dalam kelompok desa dan dalam kelompok kota. Dampak penurunan
subsidi BBM terhadap indeks ketimpangan distribusi
pendapatan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Dampak Penurunan Subsidi BBM Jenis
Tertentu Terhadap Indeks Ketimpangan Pendapatan
Rumah Tangga
T Tw Tb
Baseline 0,1009051 0,0949222 0,0059829 S4 % Perubahan -1,74% -1,72% -2,10% S5 % Perubahan -3,28% -3,24% -3,89% S6 % Perubahan -1,05% -1,03% -1,30%