i
DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN
BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA FISKAL
DAN PENDAPATAN NASIONAL
DISERTASI
FREDDY WANGKE
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :
”Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
terhadap Kinerja Fiskal dan Pendapatan Nasional”
merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas sumbernya dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2012
iii
FREDDY WANGKE. The Impact of Oil Fuel Price Subsidy Policy on Fiscal and National Income Performance (BONAR M. SINAGA as Chairman, MANGARA TAMBUNAN and HERMANTO SIREGAR as Members of the Advisory Committee)
The objectives of this study was to analyze the impact of oil fuel price subsidy policy on fiscal and national income performance. A simultaneous equestions econometric model of oil fuel price subsidy was estimated using Two – Stage Least Squares (2SLS) method and SYSLIN procedure for the data set period of 1987-2005. The validation model of the oil fuel price subsidy policy used NEWTON method and SIMNLIN procedure. The government policy to increase oil fuel price subsidy showed that surplus of balance of trade was decreased, and the economic growth was decreased. However, the number of poor people was decreased because the inflation rate was decreased. The government policy to decrease oil fuel price subsidy showed that surplus of balance of trade was increased, fiscal deficit was decreased, and the economic growth was increased. However, the number of poor of people was decreased because inflation rate was decreased and income was increased. As the conclusion, the government policy to decrease oil fuel price subsidy was need to increase the surplus of balance of trade, decrease the deficit fiscal, increase the economic growth, and decrease the number of poor people.
iv
RINGKASAN
FREDDY WANGKE. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Fiskal dan Pendapatan Nasional (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, MANGARA TAMBUNAN dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Kebijakan subsidi harga bahan bakar minyak dalam negeri telah dilakukan pemerintah selama lebih dari tiga puluh tahun. Kebijakan tersebut diterapkan sejak Tahun Anggaran (TA) 1975 / 1976 dengan sasaran untuk peningkatan perekonomian masyarakat yang kurang mampu. Kenyataannya, subsidi harga bahan bakar minyak tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang kurang mampu, tetapi dinikmati juga oleh masyarakat yang mampu (kaya) baik secara individu maupun sebagai kelompok dalam rumahtangga konsumen, perusahaan-perusahaan fasilitas ekspor, serta warga negara asing
yang berdomisili di dalam negeri yang seharusnya tidak layak untuk menerima subsidi harga bahan bakar minyak. Kenaikan pengeluaran negara
karena subsidi bahan bakar minyak mendorong kenaikan defisit fiskal.
Sub-sektor industri pengilangan bahan bakar minyak solar, sub-sektor industri pengilangan gas alam, sektor industri pengilangan kerosene, sub-sektor perusahaan penangkapan ikan, sub-sub-sektor sarana transportasi angkutan jalan raya, sub-sektor perusahaan pengolahan batubara, dan sub-sektor Perusahaan Listrik Negara (PLN) masing-masing sebagai sub-sektor yang sangat bergantung pada pemakaian bahan bakar minyak solar. Produk kilang bahan bakar minyak solar berada pada tingkat proporsi terbesar diantara produk kilang jenis lain, tetapi pasokannya belum mampu mengimbangi permintaan dan pemakaian dalam negeri, sehingga pemerintah mengimpor bahan baku minyak mentah dan bahan bakar minyak solar.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menganalisis dampak kebijakan subsidi harga bahan bakar minyak terhadap neraca perdagangan energi, (2) menganalisis dampak kebijakan subsidi harga bahan bakar minyak terhadap defisit fiskal, dan (3) menganalisis dampak kebijakan subsidi harga bahan bakar minyak terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan.
v tahun 1987-2005.
Terdapat 70 persamaan yang dikembangkan dalam model dan dari persamaan tersebut ada 55 persamaan (73 %) mempunyai nilai RMSPE di bawah 30 %. Di lihat dari nilai U, terdapat 68 persamaan (99 %) mempunyai nilai di bawah 0.20 dan 2 persamaan (1 %) mempunyai nilai U di atas 0.20. Dengan demikian, berdasarkan hasil validasi model yang dibangun cukup baik digunakan untuk menganalisis simulasi kebijakan historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model yang dibangun mampu menganalisis neraca perdagangan energi, defisit fiskal, serta pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan.
Hasil simulasi kenaikan subsidi harga bahan bakar minyak solar 27 %, bensin 30 %, dan kerosene 25 % yaitu : (1) surplus neraca perdagangan energi menurun ; (2) defisit fiskal meningkat ; dan (3) Produk Domestik Bruto dan pertumbuhan ekonomi menurun, tetapi dengan penurunan laju inflasi mengakibatkan jumlah penduduk miskin menurun. Hasil simulasi kenaikan sumber pembiayaan untuk subsidi bahan bakar bakar minyak yang berasal dari penerimaan pemerintah dari pajak dan bukan pajak sebesar Rp 7 686 468 (juta rupiah) yaitu : (1) surplus neraca perdagangan energi menurun ; (2) defisit fiskal menurun ; dan (3) Produk Domestik Bruto meningkat, tetapi upah dan gaji menurun, sehingga jumlah penduduk miskin meningkat. Hasil simulasi penurunan subsidi harga bahan bakar minyak solar 27 %, bensin 30 %, dan kerosene 25 % yaitu : (1) surplus neraca perdagangan energi meningkat ; (2) defisit fiskal menurun ; dan (3) Produk Domestik Bruto dan pertumbuhan ekonomi meningkat serta jumlah penduduk miskin menurun. Hasil simulasi realokasi anggaran dari penghematan subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 8 715 255 (juta rupiah) untuk investasi pemerintah yaitu : (1) surplus neraca perdagangan energi meningkat ; (2) defisit fiskal meningkat ; (3) Produk Domestik Bruto, pertumbuhan ekonomi, dan upah dan gaji meningkat, sehingga jumlah penduduk miskin menurun.
vi
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
vii
BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA FISKAL
DAN PENDAPATAN NASIONAL
Oleh :
FREDDY WANGKE
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
viii Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc
Staf Pengajar di Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi IPB
2. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS.
Staf Pengajar di Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi IPB
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Thalim Sudaryanto, MS. Staf Pengajar di IPB
2. Dr. Ir. Widhyawan Prawiraatmadja, MSc.
ix
Minyak terhadap Kinerja Fiskal dan Pendapatan Nasional
Nama Mahasiswa : Freddy Wangke Nomor Pokok : P01600007
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
x
Segala puji dan rasa syukur yang tak terhingga dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat kasih, anugerah, dan tuntunanNya, penulis dapat menimbah ilmu pengetahuan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, melaksanakan penelitian, serta menyusun dan merampungkan hasil penelitian dalam tulisan disertasi dengan judul : “ Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Fiskal dan Pendapatan Nasional”. Disertasi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA., selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang secara intensif telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan membina penulis dengan penuh kesabaran, pengertian, dan rasa tanggung jawab sejak penulis menimbah ilmu di Sekolah Pascasarjana IPB, dalam perencanaan penelitian, dalam tahap membangun model dan tahap pengolahan data sampai dengan penulisan serta perampungan disertasi.
xi
kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh tanggung jawab telah membimbing, memberikan petunjuk, masukan, arahan secara teoritis kepada penulis sejak dari perencanaan penelitian, pelaksanaan penelitian, sampai dengan penulisan dan perampungan disertasi.
Pada kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf, Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA., selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) dan seluruh Staf Pengajar pada Program Studi EPN atas kebijakannya telah menerima penulis untuk menimbah ilmu di Sekolah Pascasarjana IPB.
2. Bapak Prof. Dr. F.G. Winarno selaku Rektor UNIKA Atma Jaya, Bapak Dr. Eddy Haryadi, SE., MTMI. selaku Dekan Fakultas Ekonomi UNIKA Atma Jaya, dan Pengurus Yayasan Atma Jaya yang telah memberikan kesempatan, rekomendasi serta bantuan biaya pendidikan kepada penulis selama masa studi di Sekolah Pascasarjana IPB.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Purnomo Yusgiantoro yang telah memberikan motivasi dan berbagai kemudahan untuk memperoleh sumber data dan bahan pustaka di Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral serta Perusahaan Pertambangan Minyak Nasional.
xii
Nuryartono, MS., yang telah bersedia menjadi penguji pada Ujian Disertasi (Sidang Tertutup).
6. Bapak Prof. Dr. Ir. Thalim Sudaryanto, MS. dan Bapak Dr. Ir. Widhyawan Prawiraatmadja, MSc. yang telah bersedia menjadi penguji pada Ujian Disertasi (Sidang Terbuka).
7. Dr. Ir. Adolf B. Heatubun, MS. dan rekan-rekan pada Program Studi Ekonomi Pertanian (EPN) serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian disertasi.
8. Ibunda terkasih Ibu Fredrika Wangke-Tulong serta seluruh keluarga besar, yaitu : Kel. H. Lotulung, Kel. E. Tular, Kel. C. Wangke-Kalempouw, Kel. R. Wangke-Soepijo, atas doa restu dan motivasi untuk keberhasilan penulis.
9. Istri tercinta Dr. Ir. Jeanne Martje Paulus, MS., dan anak-anak tersayang Jessica dan Jefferson, ungkapan terima kasih tak terhingga kepada kalian atas cinta kasih, perhatian, kesabaran, doa restu, motivasi, dan segala pengorbanan baik moril maupun materil yang tak ternilai harganya, sehingga dapat menjadi sumber kekuatan dan inspirasi untuk keberhasilan penulis.
Akhirnya, kiranya Bapa di Sorga akan melimpahkan berkat dan anugerah-Nya atas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih ada kekurangannya, namun harapan penulis kiranya dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu, khususnya di bidang Ilmu Ekonomi.
xiii
Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 6 September 1959 sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Engelbert Wangke (Alm.) dan Ibu Fredrika Tulong. Penulis menikah dengan Jeanne Martje Paulus pada tanggal 7 Juli 1990 dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Jessica Wangke (20 tahun) dan Jefferson Engelbert Wangke (15 tahun).
Pendidikan Sekolah Dasar (SDN) dan Sekolah Menengah Pertama (SMPN) diselesaikan di desa Sawangan Kecamatan Airmadidi Kabupaten Minahasa, Pendidikan Lanjutan Tingkat Atas di SMA Negeri 36 Jakarta dan lulus pada tahun 1978. Pada tahun 1979 penulis melanjutkan Pendidikan Sarjana (S1) pada Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi di Manado dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi tahun 1985. Pada tahun 1988 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Pengembangan dan Pengerahan Sumberdaya Ekonomi dan Sosial Masyarakat dan memperoleh gelar Magister Sains pada tahun 1992. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan studi Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) dengan bantuan dana pendidikan dari Yayasan Atma Jaya Jakarta.
xiv
Halaman DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR GAMBAR ... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Kegunaan Penelitian ... 11
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 12
II. PERANAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK ... 16
2.1. Perkembangan Subsidi Bahan Bakar Minyak ... 16
2.2. Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak ... 25
2.3. Pengadaan Bahan Bakar Minyak ... 31
III. TINJAUAN PUSTAKA ... 34
3.1. Penghapusan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak ... 35
3.2. Minyak Bumi serta Negara ... Anggaran Pendapatan dan Belanja 37
3.2.1. Minyak Bumi dan Penerimaan Dalam Negeri ... 37
3.2.2. Minyak Bumi dan Pengeluaran Negara ... 41
3.2.3. Tabungan Pemerintah ... 43
3.3. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Antar Sektor Pemakai Bahan Bakar Minyak (Solar) ... 45
3.4. Perdagangan Minyak Bumi ... 48
IV. KERANGKA TEORITIS KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK ... 51
4.1. Kejutan Eksternal Harga Minyak Mentah terhadap Pendapatan Nasional ... 51
xv
4.1.2. Kejutan Eksternal Harga Minyak Rendah terhadap Tabungan, Investasi, dan Neraca Pembayaran ... 55
4.1.3. Kejutan Eksternal Harga Minyak Tinggi terhadap
4.3.2. Dampak Kenaikan Defisit Fiskal karena Kenaikan Subsidi Bahan Bakar Minyak terhadap Pendapatan Nasional, Neraca Pembayaran, dan Nilai Tukar... 68
4.4. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Fiskal dan Produk Domestik Bruto ... 71
4.5. Persamaan Pendapatan Nasional, Fiskal, dan Neraca Pembayaran... 76
4.5.1. Persamaan Pendapatan Nasional ... 76
4.5.2. Persamaan Fiskal ... 82
4.5.3. Persamaan Neraca Pembayaran... 90
4.6. Kerangka Pemikiran ... 92
V. KONSTRUKSI MODEL KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK DAN PROSEDUR ANALISIS ... 98
xvi
5.4. Simulasi Model ... 118
5.4.1. Periode Simulasi ... 118
5.4.2. Analisis Simulasi ... 120
5.4.3. Skenario Simulasi ... 121
VI. PENDUGAAN MODEL KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK ... 125
6.1. Hasil Pendugaan Model Secara Umum ... 125
6.2. Perilaku Harga, Permintaan, Perdagangan, Nilai Tambah, Fiskal, dan Pendapatan Nasional ... 126
6.2.1. Blok Harga ... 126
6.2.2. Blok Permintaan ... 136
6.2.3. Blok Perdagangan ... 143
6.2.4. Blok Nilai Tambah ... 148
6.2.5. Blok Fiskal ... 152
6.2.6. Blok Pendapatan dan Kemiskinan ... 158
6.3. Sintesis dari Hasil Pendugaan Model ... 161
VII. DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK ... 166
7.1. Validasi Model ... 166
7.2. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Fiskal dan Pendapatan Nasional ... 7.2.1. Simulasi 1 : Kenaikan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen ... 169 171 7.2.2. Simulasi 2 : Kenaikan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen ... 176
7.2.3. Simulasi 3 : Kenaikan Harga Impor Minyak 35 Persen serta Kenaikan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen ... 180
xvii
Mentah 35 Persen ... 190
7.2.6. Simulasi 6 : Penurunan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen ... 194
7.2.7. Simulasi 7 : Penurunan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen serta Penurunan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen ... 199
7.2.8. Simulasi 8 : Penurunan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen dan Penurunan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen serta Alokasi Penghematan Subsidi BBM ... 204
7.3. Sintesis Skenario Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak ... 208
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 224
8.1. Kesimpulan ... 224
8.2. Implikasi Kebijakan ... 226
8.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 228
DAFTAR PUSTAKA ... 231
xviii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perkembangan Subsidi Bahan Bakar Minyak di
Indonesia Tahun 1972/1973 – 2004/2005 ... 22 2. Produksi, Pemakaian, dan Volume Impor Bahan Bakar
Minyak Solar Tahun 1987 – 2005 ………... 31 3. Bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Indonesia Tahun 2003 ………...…….……… 40 4. Volume Perdagangan Minyak Mentah Indonesia
Tahun 1987 – 2005 … ………...……….... 49 5. Persamaan dan Variabel dalam Model Kebijakan Subsidi
Harga Bahan Bakar Minyak ... 98 6. Penerimaan Dalam Negeri dan Subsidi Tahun 2000 - 2004 122 7. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas dalam Blok
Harga ... 127 8. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas dalam Blok
Permintaan ... 138 9. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas dalam Blok
Perdagangan ... 144 10. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas dalam Blok
Nilai Tambah ... 149 11. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas dalam Blok
Fiskal ... 153 12. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas dalam Blok
Pendapatan dan Kemiskinan ... 160 13. Hasil Pengujian Daya Prediksi Model Kebijakan Subsidi
Harga Bahan Bakar Minyak Tahun 2000 – 2005 ... 167 14. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
xix
15. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak Kenaikan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen
terhadap Defisit Fiskal ... 173 16. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Kenaikan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan... 174 17. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Kenaikan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen terhadap Neraca
Perdagangan Energi ... 176 18. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Kenaikan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen terhadap terhadap Defisit Fiskal ...
178 19. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Kenaikan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen terhadap Pertumbuhan
Ekonomi dan Kemiskinan ... 180 20. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Kenaikan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen serta Kenaikan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen terhadap Neraca
Perdagangan Energi ... 181 21. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Kenaikan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen serta Kenaikan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen terhadap Defisit Fiskal ...
183 22. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Kenaikan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen serta Kenaikan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen terhadap Pertumbuhan
Ekonomi dan Kemiskinan ... 185 23. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Kenaikan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen dan Kenaikan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen serta Sumber Pembiayaan Subsidi dari Pajak dan Bukan Pajak Sebesar Rp 7 686 468
xx
Kenaikan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen dan Kenaikan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen serta Sumber Pembiayaan Subsidi dari Pajak dan Bukan Pajak Sebesar Rp 7 686 468 (Juta Rupiah) terhadap Defisit Fiskal ...
188 25. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Kenaikan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen dan Kenaikan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen serta Sumber Pembiayaan Subsidi dari Pajak dan Bukan Pajak Sebesar Rp 7 686 468 (Juta Rupiah) terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan
Kemiskinan ... 189 26. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Penurunan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen terhadap
Neraca Perdagangan Energi ... 190 27. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Penurunan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen terhadap Defisit Fiskal ...
192 28. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Penurunan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen
terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan ... 194 29. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Penurunan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen terhadap Neraca
Perdagangan Energi ... 195 30. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Penurunan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen terhadap Defisit Fiskal ...
197 31. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Penurunan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen terhadap Pertumbuhan
Ekonomi dan Kemiskinan ... 198 32. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Penurunan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen serta Penurunan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen terhadap Neraca
Perdagangan Energi ... 200 33. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
xxi
Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen terhadap Defisit
Fiskal ... 202 34. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Penurunan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen serta Penurunan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan ... 203 35. Hasil Simulasi Historis Data 2000-2005 : Dampak
Penurunan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen serta Penurunan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen serta Alokasi Penghematan Subsidi BBM terhadap Neraca Perdagangan
Energi ... 205 36. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Penurunan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen serta Penurunan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen serta Alokasi Penghematan Subsidi BBM terhadap Defisit Fiskal ...
206 37. Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak
Penurunan Harga Impor Minyak Mentah 35 Persen dan Penurunan Subsidi Harga BBM Solar 27 Persen, Bensin 30 Persen, dan Kerosene 25 Persen serta Alokasi Penghematan Subsidi BBM terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan
Kemiskinan ... 207
Hasil Simulasi Historis Data Tahun 2000-2005 : Dampak Skenario Harga Impor Minyak Mentah, Subsidi Harga BBM, Sumber Pembiayaan Subsidi BBM, dan Realokasi Anggaran Penghematan Subsidi BBM terhadap Neraca Perdagangan Energi ...
xxii
Skenario Harga Impor Minyak Mentah, Subsidi Harga BBM, Sumber Pembiayaan Subsidi BBM, dan Realokasi Anggaran Penghematan Subsidi BBM terhadap Harga, Permintaan, dan Subsidi BBM ...…...
221 42.
Data untuk Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Tahun 1987 – 2005 (1996 = 100) ... 239
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Hasil Kilang Minyak Solar, Bensin, dan Kerosene Dalam
Negeri Tahun 1990 - 2005 ... 2 2. Hasil Kilang, Penjualan, dan Volume Impor BBM Solar
Tahun 1990 - 2005 ... 4 3. Penerimaan Dalam Negeri, Pengeluaran Negara, dan
Jumlah Alokasi Anggaran Subsidi untuk Bahan Bakar Minyak Solar, Bensin, dan Kerosene untuk Rumahtangga
Tahun 1996 - 2005 ...….……..………….... 7
4. Kejutan Eksternal Harga Minyak terhadap Tabungan,
Investasi, dan Neraca Pembayaran………. 52 5. Barang yang tidak dapat Diperdagangkan dan yang dapat
Diperdagangkan serta Neraca Pembayaran ...… 57 6. Dampak Kenaikan Subsidi Bahan Bakar Minyak terhadap
Pendapatan Nasional ……….. 65 7. Dampak Kenaikan Subsidi Bahan Bakar Minyak untuk
Peningkatan Investasi terhadap Pendapatan Nasional…… 67 8. Dampak Kenaikan Defisit Fiskal karena Kenaikan
Subsidi Bahan Bakar Minyak terhadap Pendapatan
Nasional, Neraca Pembayaran, dan Nilai Tukar ... 69 9. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
terhadap Fiskal dan Produk Domestik Bruto………. 72 10. Kerangka Pemikiran Kebijakan Subsidi Harga Bahan
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data yang Digunakan untuk Model Kebijakan Subsidi
Harga Bahan Bakar Minyak Periode 1987–2005 ………... 239 2. Program Estimasi Model Kebijakan Subsidi Harga Bahan
Bakar Minyak Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur
SYSLIN dengan Software SAS/ETS Versi 12.0 ………… 253 3. Hasil Estimasi Model Kebijakan Subsidi Harga Bahan
Bakar Minyak Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur
SYSLIN dengan Software SAS/ ETS Versi 12.0………… 259 4. Program Validasi Model Kebijakan Subsidi Harga Bahan
Bakar Minyak Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS Versi
12.0 ………. 279
5.
6.
Hasil Validasi Model Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS Versi 12.0 ………. Program Simulasi Kenaikan Subsidi Harga Bahan
289
293 Bakar
Minyak Kerosene 25 %, Solar 27 %, dan Bensin 30 % Menggunakan Metode NEWTON dan Prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS Versi 12.0 ... 7. Hasil Simulasi Kenaikan Subsidi Harga Bahan
302 Bakar
1.1. Latar Belakang Penelitian
Kebijakan subsidi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri
telah dilakukan pemerintah selama lebih dari tiga puluh tahun. Kebijakan
tersebut diterapkan sejak Tahun Anggaran (TA) 1975 / 1976 dengan sasaran
untuk peningkatan perekonomian masyarakat yang kurang mampu. Namun,
subsidi harga BBM kenyataannya tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang
kurang mampu, tetapi dinikmati juga oleh masyarakat yang mampu (kaya)
baik secara individu maupun sebagai kelompok dalam rumahtangga
konsumen, perusahaan-perusahaan fasilitas ekspor, serta warga negara asing
yang berdomisili di dalam negeri yang seharusnya tidak layak untuk menerima
subsidi harga BBM. Kenaikan anggaran subsidi untuk BBM mendorong
kenaikan pengeluaran negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang mengakibatkan defisit (kesenjangan) fiskal meningkat.
Subsidi harga BBM juga telah memicu terjadinya intensitas permintaan
dan pemakaian BBM dalam negeri. Padahal kapasitas produksi minyak
mentah, produk kilang PERTAMINA, dan jumlah penyimpanan minyak
mentah dan BBM belum mampu mengimbangi kenaikan permintaan tersebut.
Dengan demikian, diperlukan kebijakan yang mampu mengatasi kenaikan
permintaan BBM dan anggaran subsidi untuk BBM tanpa mengabaikan
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tersebut juga dimaksudkan sebagai usaha
untuk meningkatkan diversifikasi dan konversi energi, karena Indonesia
Statistik (2005a), menyajikan data energi alternatif selain batubara juga gas
alam, panas bumi, dan energi terbarukan lainnya.
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2001), menyatakan
bahwa selama BBM dijual pada tingkat harga yang rendah menyebabkan
nilai ekonomi (harga) dari energi alternatif tersebut tidak mampu bersaing
secara sehat dengan BBM bersubsidi, akibatnya hingga kini dan bahkan pada
masa mendatang investasi di bidang energi alternatif kurang diminati investor,
sehingga mengakibatkan tidak berkembang.
0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2005b
Gambar 1. Hasil Kilang Minyak Solar, Bensin, dan Kerosene Dalam Negeri Tahun 1990 – 2005
Gambar 1 menunjukkan perkembangan hasil (produk) kilang dari tiga
jenis BBM dalam negeri masing-masing, yaitu: BBM solar, bensin, dan
kerosene. Badan Pusat Statistik (2005b), menyajikan data tentang hasil kilang
minyak dalam negeri bahwa rata-rata untuk jenis BBM solar meningkat 40 %,
2005. Produksi BBM solar merupakan proporsi terbesar diantara berbagai
jenis hasil kilang BBM lainnya. Namun, pasokannya belum mampu
mengimbangi permintaan dan pemakaian dalam negeri dan untuk memenuhi
kebutuhannya harus mengimpor minyak mentah sebagai bahan bakunya dan
BBM solar. Hampir seluruh sub-sektor atau sektor ekonomi dalam negeri
memakai BBM solar sebagai bahan bakar utama, termasuk industri
pengilangan BBM solar.
Badan Pusat Statistik (2005b), menyajikan data pemakaian BBM solar
oleh sub-sektor industri pengilangan BBM solar, sub-sektor industri
pengilangan gas alam, dan sub-sektor industri pengilangan kerosene. Badan
Pusat Statistik (2005c), menyajikan data pemakaian BBM solar oleh
sub-sektor perusahaan penangkapan ikan. Badan Pusat Statistik (2005d),
menyajikan data pemakaian BBM solar oleh sub-sektor sarana transportasi
angkutan jalan raya. Demikian juga disajikan pemakaian BBM solar oleh
sub-sektor Perusahaan Listrik Negara (Badan Pusat Statistik, 2005e). Hal tersebut
menunjukkan bahwa setiap sektor ekonomi sangat memerlukan BBM solar.
Gambar 2 menunjukkan perkembangan hasil kilang, penjualan dalam
negeri, serta volume impor BBM Solar. Gambar tersebut juga memperlihatkan
perbedaan antara produk kilang BBM solar dengan penjualan BBM solar,
sehingga diperlukan kebijakan impor. Hal tersebut sebagai usaha untuk
menjaga keseimbangan antara permintaan dan pasokan BBM solar dalam
negeri. Pada bagian lain setiap kenaikan penjualan BBM solar dalam negeri
selalu diikuti oleh kenaikan impor, bahkan pada masa mendatang diperkirakan
0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2005f
Gambar 2. Hasil Kilang, Penjualan, dan Volume Impor BBM Solar Tahun 1990 – 2005
pertumbuhan ekonomi nasional seperti yang ditargetkan pemerintah. Dengan
demikian, konsumsi energi (BBM solar) pada tingkat yang efisien memiliki
hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi (Yusgiantoro, 2000).
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (2005), menyajikan data
hasil kilang selama tahun 1990 – 2005. Menurutnya rata-rata hasil kilang
BBM solar dan volume impor BBM solar meningkat, masing-masing 57 %
dan 43 %. Selama peningkatan tersebut P.T. Pertamina, Tbk (sub-sektor
industri pengilangan BBM solar) harus mengimpor bahan baku yaitu minyak
mentah dan hasil kilang BBM solar dari berbagai negara, diantaranya Arab
Saudi, Iran, Australia, dan Malaysia.
Apabila kenaikan pemakaian BBM solar bersubsidi semakin besar,
maka anggaran subsidi BBM untuk solar yang dialokasikan dari APBN
fiskal. Padahal dalam keadaan defisit APBN, semakin besar alokasi anggaran
subsidi untuk BBM akan mempengaruhi jumlah alokasi anggaran untuk
sektor-sektor atau bidang-bidang usaha lain yang sebenarnya mampu
menyediakan lapangan kerja yang lebih banyak yang dapat memberikan
pendapatan untuk menunjang kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Kenaikan pemakaian BBM yang melampaui hasil kilang mendorong
kenaikan permintaan bahan baku minyak mentah dari produksi dalam negeri
serta dari impor, sehingga menyebabkan penurunan penerimaan devisa yang
semestinya diperoleh dari minyak bumi. Bank Indonesia (2003), memaparkan
tentang perkembangan nilai transaksi perdagangan ekspor dan impor minyak
bumi Indonesia dengan beberapa negara pengimpor masing-masing untuk
tahun 1998 (0.0 %), tahun 1999 (0.0 %), tahun 2000 (0.0 %), tahun 2001
(- 0.9 %), dan tahun 2002 (- 1.7 %).
Warr dalam Booth (1994), menjelaskan tentang biaya pilihan
(opportunity cost) penggunaan devisa, apakah digunakan untuk mengimpor
minyak mentah dan BBM bersubsidi atau mengimpor barang-barang modal.
Menurutnya penggunaan devisa untuk mengimpor barang-barang modal lebih
efisien, karena akan menunjang kegiatan di bidang-bidang produksi (sektor
riil) yang dapat memproduksikan komoditi ekspor (komoditi / barang yang
dapat diperdagangkan) yang selanjutnya mendatangkan devisa.
Terdepresiasinya nilai rupiah selain mempengaruhi kemampuan
pemerintah mengembalikan cicilan hutang dan bunga pinjaman, juga
berdampak buruk terhadap usaha perminyakan di Indonesia yang menganut
sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract). Hasil minyak mentah
keuntungan yang lebih besar kepada pihak investor asing melalui transaksi
perdagangan. Alasannya jelas, karena ketika volume minyak mentah yang
diperoleh dari share kemudian diekspor, juga bersamaan dilakukan transaksi
impor minyak mentah pada saat nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar
AS. Kenaikan volume impor minyak mentah diakibatkan oleh kenaikan
permintaan bahan baku minyak mentah oleh industri pengilangan BBM serta
penurunan produksi minyak mentah dalam negeri.
1.2. Perumusan Masalah
Kebijakan subsidi harga BBM oleh pemerintah banyak menimbulkan
penafsiran yang berbeda di kalangan masyarakat. Namun, ditinjau dari
tujuannya bahwa kebijakan tersebut erat hubungannya dengan usaha untuk
menurunkan defisit fiskal (kesenjangan APBN). Gambar 3 menampilkan
perkembangan alokasi anggaran subsidi untuk BBM sejak tahun 1995 - 2005.
Gambar tersebut menunjukkan perkembangan kenaikan defisit fiskal yang
disebabkan oleh kenaikan anggaran subsidi untuk BBM. Sejak tahun 2004
kenaikan anggaran subsidi untuk BBM terus meningkat. Kenaikan tersebut
lebih besar daripada kenaikan sumber penerimaan dalam negeri. Kebijakan
subsidi harga BBM juga belum memberikan perbaikan ekonomi sesuai dengan
yang diharapkan oleh masyarakat terutama dari mereka yang kurang mampu,
sehingga dipandang tidak memberikan keadilan, bahkan hingga sekarang
kebijakan subsidi harga BBM dinilai tidak efisien.
Yusgiantoro (2000), menjelaskan bahwa konsep penetapan harga BBM
di Indonesia secara umum mengacu dari tiga metode, yaitu: (1) harga pokok
0 50000000 100000000 150000000 200000000 250000000 300000000 350000000 400000000 450000000
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Nila
i
SUBBBM PDN PEN
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2005g
Gambar 3. Penerimaan Dalam Negeri, Pengeluaran Negara, dan Jumlah Alokasi Anggaran Subsidi untuk Bahan Bakar Minyak Solar, Bensin, dan Kerosene untuk Rumahtangga Tahun 1996-2005
penjualan diperoleh dari selisih penerimaan hasil penjualan BBM dalam negeri
dengan biaya-biaya yang dikeluarkannya, kemudian dibagi dengan besarnya
volume BBM. Yusgiantoro dan Wahyuputro (1999), mengatakan bahwa
selama berlakunya subsidi harga BBM, harga pokok penjualan selalu lebih
kecil dibandingkan dengan harga BBM di pasar internasional, tetapi lebih
besar dari harga BBM patokan APBN. Menurutnya harga pokok penjualan
adalah harga yang memperhitungkan pembelian minyak mentah (impor
minyak mentah), biaya produksi / pengilangan, biaya transportasi, asuransi,
dan bunga. Apabila harga minyak mentah di pasar internasional menurun,
berarti harga pokok penjualan mendekati harga BBM patokan APBN dan
jumlah subsidi menurun. Namun, jika harga minyak mentah di pasar
BBM patokan APBN dan akibatnya subsidi harga BBM meningkat. Pada
bagian lain, jika rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS (US $) dan secara
nominal masih lebih tinggi dari nilai tukar patokan APBN, maka hal tersebut
mengakibatkan subsidi BBM meningkat.
Penetapan harga BBM menurut metode border price mengacu pada
harga BBM hasil kilang Singapore (Mids Oil Platts of Singapore / MOPS)
yang kompetitif, dan harga BBM hasil kilang tersebut dianggap mendekati
harga efisien. Selain mengacu pada harga kompetitif, harga jual BBM di
Indonesia ditambahkan dengan beberapa komponen biaya seperti biaya
transportasi dan pajak, sehingga harga jual BBM akan melebihi harga pasar.
Harga BBM patokan APBN adalah harga yang didasarkan pada
ketetapan pemerintah yang diberlakukan untuk konsumsi nasional. Harga
ketetapan pemerintah tersebut berupa harga jual eceran BBM dalam
negeri. Apabila harga BBM patokan APBN lebih kecil dari harga pokok
penjualan atau border price yang ditetapkan P.T. Pertamina, Tbk., maka
pemerintah berkewajiban memberikan subsidi kepada P.T. Pertamina, Tbk.
sebesar selisih harga tersebut.
Kebijakan penurunan subsidi harga BBM tidak hanya ditujukan pada
satu jenis BBM tertentu saja, tetapi untuk setiap jenis BBM, bahkan
diberlakukannya secara bersama-sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa
ketika dilakukan kebijakan penurunan subsidi harga BBM solar, hal yang sama
juga berlaku terhadap BBM bensin, kerosene, dan jenis BBM lainnya,
walaupun dengan tingkat presentasi subsidi harga yang berbeda-beda diantara
meningkat, maka kenaikan tersebut juga menunjukkan kenaikan harga BBM
solar dalam negeri dan harga BBM lainnya.
Sub-sektor energi pemakai BBM solar diantaranya, yaitu : industri
pengilangan BBM solar, industri pengilangan gas alam, industri pengilangan
kerosene, industri pengilangan BBM bensin, perusahaan pengolahan batubara,
dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Jika harga BBM solar meningkat,
maka mendorong biaya produksi untuk sub-sektor yang menghasilkan energi
meningkat. Masing-masing sub-sektor, yaitu : industri pengilangan BBM solar,
industri pengilangan gas alam, industri pengilangan kerosene, perusahaan
pengolahan batubara, dan PLN.
Kenaikan harga BBM dan harga energi lainnya mendorong kenaikan
biaya produksi untuk sektor-sektor non-energi dan menyebabkan kenaikan
harga non-energi dalam negeri yang meliputi : bahan pangan termasuk beras,
perumahan, sandang, pendidikan, serta transportasi dan komunikasi. Kenaikan
harga energi dan non-energi menyebabkan kenaikan Indeks Harga Konsumen.
Dengan demikian, ketika harga beras dalam negeri dan tarif dasar listrik
meningkat selain mendorong kenaikan laju inflasi juga penurunan daya beli
pendapatan rumahtangga konsumen. Penurunan tersebut ditunjukkan oleh
hilangnya kesejahteraan masyarakat sebagai akibat dari penurunan konsumsi
kebutuhan baku secara kualitas maupun kuantitas. Badan Pusat Statistik
(2005h), menyajikan kebutuhan baku kalori untuk rumahtangga yang
ditetapkan sebagai ukuran penentuan kemiskinan.
Daya beli pendapatan dan kemiskinan masyarakat menurut pola
konsumsi selain dipengaruhi oleh laju inflasi, juga oleh penerimaan upah dan
kenaikan dan kenaikannya tidak diikuti oleh prosentasi kenaikan yang sama
pada upah dan gaji, maka hal tersebut mengakibatkan penurunan daya beli
pendapatan untuk membeli barang-barang konsumsi. Perbedaan tersebut
seringkali dimunculkan melalui penuntutan kenaikan upah dan gaji oleh para
pekerja. Harga BBM, harga energi non-BBM, dan harga pangan seperti beras
juga merupakan faktor pemicu laju inflasi. Dengan demikian, kebijakan
subsidi harga BBM selain berdampak terhadap kinerja fiskal dan pendapatan
nasional juga terhadap kemiskinan.
Berdasarkan latar belakang kebijakan subsidi harga bahan bakar
minyak dalam negeri, maka perlu dikaji beberapa permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap neraca
perdagangan energi yang terdiri atas ekspor energi: minyak mentah, gas
alam, dan batubara; serta impor energi: minyak mentah dan BBM solar.
2. Bagaimana dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap defisit
(kesenjangan) fiskal yang terdiri atas pengeluaran negara: subsidi,
pembayaran bunga dan cicilan hutang, investasi pemerintah, dan konsumsi
pemerintah; serta penerimaan dalam negeri: penerimaan pajak dan
bukan pajak.
3. Bagaimana dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap pertumbuhan
ekonomi dan kemiskinan.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi permasalahan, maka tujuan penelitian
1. Menganalisis dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap neraca
perdagangan energi yang terdiri atas ekspor energi: minyak mentah, gas
alam, dan batubara; serta impor energy: minyak mentah dan BBM solar.
2. Menganalisis dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap defisit
(kesenjangan) fiskal yang terdiri atas pengeluaran negara: subsidi,
pembayaran bunga dan cicilan hutang, investasi pemerintah, dan konsumsi
pemerintah; serta penerimaan dalam negeri: penerimaan pajak dan bukan
pajak.
3. Menganalisis dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan.
1.4. Kegunaan Penelitian
Apabila penelitian yang dilakukan telah mencapai hasil yang sesuai
dengan tujuan penelitian, maka dari hasil penelitian diharapkan bermanfaat
kepada:
1. Pemerintah dan masyarakat, dijadikan sumber informasi dan bahan
referensi kepada lembaga legislatif dan eksekutif yang masing-masing
sebagai lembaga yang menetapkan dan melaksanakan kebijakan subsidi
harga BBM sebagai usaha penurunan defisit fiskal, penaikan pertumbuhan
ekonomi, dan penaikan surplus neraca perdagangan energi.
2. Produsen, dijadikan sumber informasi dan bahan acuan untuk P.T.
Pertamina, Tbk (sub-sektor industri pengilangan BBM) dalam usahanya
menjaga keseimbangan harga dan kuantitas energi khususnya antar
tersedianya energi kegiatan ekonomi akan berjalan dengan semestinya,
sehingga pertumbuhan ekonomi yang direncanakan dapat tercapai.
3. Rumahtangga konsumen, dijadikan sumber informasi untuk merespon
kebijakan pemerintah dalam hal menentukan prioritas, supaya realokasikan
anggaran dari penghematan subsidi BBM untuk investasi pemerintah pada
sub-sektor PLN, bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial masyarakat,
sub-sektor pertambangan dan energi, dan sarana transportasi angkutan
jalan raya dapat memberikan kontribusi berupa penyediaan lapangan kerja,
peningkatan pendapatan masyarakat, dan penurunan kemiskinan.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja fiskal dan
pendapatan nasional menjadi topik penelitian. Tujuan penelitian selain
membentuk model juga menganalisis dampak kebijakan subsidi harga BBM
terhadap kinerja fiskal dan pendapatan nasional. Kinerja fiskal ditunjukkan
oleh defisit fiskal yaitu selisih dari pengeluaran negara dan penerimaan dalam
negeri. Kinerja pendapatan nasional ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi
menurut Produk Domestik Bruto sisi produksi. Kinerja pendapatan nasional
yang lain ditunjukkan oleh neraca perdagangan energi. Besaran upah dan gaji
serta laju inflasi sebagai variabel (peubah) yang mempengaruhi kemiskinan.
Penelitian tentang kemiskinan hanya diamati pada jumlah penduduk
miskin yang secara umum mengalami perubahan baku kalori yang dibutuhkan
yang diakibatkan oleh laju inflasi serta pendapatan upah dan gaji. Jumlah
penduduk tersebut sesuai dengan data kemiskinan menurut pola konsumsi dari
secara disagregasi menurut kelompok pendapatan rumahtangga (rendah dan
menengah) atau wilayah (desa dan kota).
Pengamatan dilakukan pada enam sektor ekonomi sebagai
sub-sektor yang banyak memakai BBM, terutama pemakaian BBM solar.
Sub-sektor tersebut, yaitu: industri pengilangan BBM solar, industri
pengilangan kerosene, industri pengilangan gas alam, perusahaan penangkapan
ikan, sarana transportasi angkutan jalan raya, perusahaan pengolahan
batubara, dan Perusahaan Listrik Negara.
Bahan bakar minyak, bahan makanan dan minuman terutama beras,
dan listrik masing-masing sebagai variabel penting untuk menentukan besaran
Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Deflator Produk Domestik Bruto (DPDB).
IHK dan DPDB digunakan untuk mengukur laju inflasi. Dengan demikian,
kebijakan subsidi harga BBM secara langsung ataupun tidak langsung akan
mempengaruhi variabel penting dan menentukan laju inflasi. Pada bagian
lain, neraca perdagangan dibatasi pada nilai ekspor dan impor energi. Volume
dan nilai ekspor diperoleh dari ekspor minyak mentah, gas alam, dan batubara.
Pada sisi lain volume dan nilai impor diperoleh dari impor minyak mentah
dan BBM solar.
Model kebijakan subsidi harga BBM dibentuk kedalam model
ekonometrika yang dapat mendeskripsikan persamaan-persamaan perilaku
dan identitas dari seluruh variabel endogen dan eksogen dengan harapan
dapat menghasilkan nilai-nilai penduga parameter yang sesuai dengan teoritis
dan pengalaman empiris. Model tersebut terdiri atas enam blok, yaitu: (1)
harga, (2) permintaan, (3) perdagangan, (4) nilai tambah, (5) fiskal, dan (6)
beberapa persamaan perilaku dan identitas yang mempunyai hubungan antar
persamaan dalam blok maupun antar blok.
Pengamatan untuk nilai tambah dilakukan pada enam sub-sektor
sebagai hasil disagregasi sektor yang menurut penulis sebagai sub-sektor yang
banyak memakai BBM solar dan umumnya sebagai sub-sektor penghasil
energi. Energi lain merupakan ceteris paribus yang sebenarnya mempengaruhi
nilai tambah sub-sektor pengamatan, tetapi dianggap pengaruh tetap.
Penerimaan pajak tidak langsung terdiri atas bea impor, pajak
pertambahan nilai, pajak ekspor, dan pajak tidak langsung lainnya. Bea impor
hanya ditentukan oleh nilai impor minyak mentah dan BBM solar, pajak
ekspor hanya ditentukan oleh nilai ekspor minyak mentah, gas alam, dan
batubara. Pajak pertambahan nilai ditentukan oleh Produk Domestik Bruto.
Penerimaan negara bukan pajak ditentukan oleh penerimaan sumber
daya alam dan penerimaan laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Penerimaan sumberdaya alam dibatasi hanya bersumber dari sub-sektor
industri pengilangan BBM solar, industri pengilangan kerosene, perusahaan
pengolahan batubara, industri pengilangan gas alam, perusahaan penangkapan
ikan, dan Perusahaan Pertambangan Gas Bumi. Penerimaan laba BUMN
hanya bersumber dari sub-sektor industri pengilangan BBM solar, kerosene,
gas alam, perusahaan pengolahan batubara, perusahaan penangkapan ikan,
PLN, dan Perusahaan Pertambangan Gas Bumi.
Pengeluaran negara dibatasi pada konsumsi pemerintah, pembayaran
bunga dan cicilan hutang, subsidi, serta investasi pemerintah. Alokasi anggaran
subsidi untuk BBM ditujukan pada BBM solar, bensin, dan kerosene untuk
angkutan jalan raya, PLN, pertambangan dan energi, bidang kesehatan dan
kesejahteraan sosial masyarakat, dan investasi pemerintah lainnya.
Metode penentuan rasio (indeks) diperoleh dari perbandingan produk
BBM solar dan produk total BBM hasil kilang. Selanjutnya indeks digunakan
untuk menentukan besaran biaya antara, jumlah permintaan dan pemakaian
BBM solar, dan besaran pajak tidak langsung oleh sub-sektor industri
pengilangan BBM solar. Perkalian antar indeks dan total biaya antara akan
memperoleh besaran biaya antara untuk sub-sektor industri pengilangan BBM
solar. Perkalian antar indeks dan total pajak tidak langsung akan memperoleh
besaran pajak tidak langsung untuk sub-sektor industri pengilangan BBM
solar. Nilai tambah bruto sub-sektor industri pengilangan BBM solar diperoleh
dari selisih nilai produk BBM solar (perkalian antar volume BBM solar dan
harga BBM solar bersubsidi) dan biaya antara sub-sektor industri pengilangan
BBM solar. Nilai tambah neto dari sub-sektor industri pengilangan BBM solar
diperoleh dari selisih nilai tambah bruto dan besaran pajak tidak langsung
sub-sektor industri pengilangan BBM solar. Metode tersebut juga digunakan untuk
menentukan besaran biaya antara, jumlah permintaan dan pemakaian BBM
solar, dan besaran pajak tidak langsung untuk sub-sektor industri pengilangan
BBM lainnya.
Data diperoleh dari beberapa sumber, diantaranya dari Badan Pusat
Statistik, Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Departemen Perhubungan,
Departemen Perikanan dan Kelautan, Perusahaan Pertambangan Minyak
Nasional, Departemen Energi dan sumberdaya Mineral, Dirjen Minyak dan
II. PERANAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK
Harga bahan bakar minyak di Indonesia dikategorikan sebagai harga
BBM termurah di seluruh dunia. Murahnya harga BBM tersebut sangat
mencolok kalau dibandingkan dengan harga BBM dari beberapa negara
tetangga yang terletak di sebelah utara Indonesia, yaitu: Thailand, Malaysia,
Singapore, Brunai, dan Filipina. Sejak TA 1975 / 76 harga BBM (solar,
bensin, dan kerosene) di Indonesia belum mencerminkan harga BBM yang
sebenarnya yaitu harga yang didasarkan pada harga keekonomiannya. Harga
tersebut adalah harga pasar dengan mengacu pada Mids Oil Platts of Singapore
/ MOPS. Keadaan yang sebenarnya menunjukkan bahwa hingga saat ini BBM
di Indonesia diberikan subsidi oleh pemerintah dalam jumlah yang besar.
2.1. Perkembangan Subsidi Bahan Bakar Minyak
Subsidi BBM merupakan bentuk tanggungan pemerintah untuk
mengurangi beban ekonomi masyarakat dengan membayar sebagian harga
BBM yang seharusnya dibayar oleh masyarakat atau kelompok masyarakat
tertentu ketika membeli BBM yang didasari pada kepentingan hidup
orang banyak. Kenaikan subsidi harga BBM menunjukkan bahwa harga
BBM menjadi lebih murah dibandingkan dengan nilai keekonomiannya (harga
pasar). Pada hakekatnya subsidi harga BBM diberikan pemerintah untuk
membantu golongan masyarakat kecil dan bukan untuk golongan masyarakat
menengah ke atas yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi.
International Monetary Fund / IMF (2008), menyatakan bahwa subsidi
yang sebenarnya antara konsumen dan produsen dari patokan harga yang
ditentukan. Terdapat konsekuensi dari pengadaan subsidi, yaitu biaya fiskal
yang harus dibiayai dimana dengan kenaikan pajak akan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kenaikan subsidi juga dapat terjadi
penyelundupan lintas batas. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa kunci dari
rekomendasi kebijakan subsidi harga BBM adalah harga internasional yang
melewati harga domestik, sementara terdapat usaha peningkatan efisiensi
harga dan penurunan dampak Balance of Payment berupa net importer yang
dilakukan secara bertahap. Pengendalian melalui biaya fiskal pertimbangannya
adalah makro-fiskal yang sasarannya untuk melindungi masyarakat miskin dan
kelompok yang rentan lainnya dari dampak kenaikan harga BBM.
Sebagian besar negara-negara berkembang menerapkan kebijakan
subsidi BBM, dimana terdapat 19 negara dari 25 negara yang memberlakukan
subsidi BBM bensin maupun solar adalah eksportir (IMF, 2008). Menurut
Bacon dan Kajima (2006), bahwa sejak tahun 2004 negara-negara berkembang
memberi subsidi pada produk minyak bumi sebesar dua kali lipat dari harga
minyak dunia, sehingga mengakibatkan biaya fiskal sangat tinggi, hutang
publik meningkat dan terjadi penyelundupan. Keadaan tersebut berarti
pemerintah menanggung konsekuensinya karena meningkatnya pinjaman
(hutang) serta pengurangan pengeluarannya pada sektor publik lainnya.
Kebijakan subsidi dari negara-negara tersebut beragam, misalnya
pemerintah Cina memberikan subsidi sekali dalam setahun, yaitu sebesar $ 1.7
miliar (12.3 miliar yuan) untuk membantu mengimbangi kerugian dari
penjualan BBM tahun 2007 (Lelyveld, 2008). Leigh dan El-Said (2006),
sebesar 3.2 % dari Produk Domestik Bruto non minyak pada tahun 2005 yaitu
lebih besar dari total pengeluaran untuk kesehatan masyarakat. Menurutnya
bahwa kebijakan subsidi harus tepat sasaran yaitu untuk melindungi kelompok
rumahtangga yang berpendapatan rendah.
Pemerintah Australia juga menerapkan subsidi harga BBM bensin dan
solar dengan beberapa aturan kebijakan. Namun, diupayakan agar ke depan
harus ada upaya untuk mengurangi subsidi setelah memanfaatkan bahan bakar
alternatif seperti gas alam yang dikompresi, bahan bakar gas cair, daur ulang
limbah minyak, ethanol, dan minyak canola (Webb. 2001). Davey (2009),
melaporkan bahwa pemerintah Australia Selatan memberlakukan pemakaian
BBM bersih bebas timbal untuk menjaga kualitas udara. Ternyata kenaikan
relatif harga jual eceran bensin bebas timbal tersebut terkait dengan kenaikan
tarif dasar listrik (pasar listrik) dan bukan akibat dari kenaikan biaya produksi
kilang minyak bensin bebas timbal.
Pemerintah AS dalam upaya mengurangi subsidi BBM telah
melakukan kebijakan peningkatan penggunaan bahan bakar ethanol yang
berasal dari jagung untuk kendaraan. Kebijakan tersebut merupakan
penyangga terhadap komoditas pertanian yang mengalami surplus (Zang,
Vedenov, and Wetzstein, 2007). Hal yang sama dilaporkan oleh Gardner
(2007), bahwa subsidi ethanol di AS yang merupakan prioritas tertinggi telah
menyebabkan terjadinya diskriminasi harga antara bahan bakar ethanol yang
berasal dari jagung dengan jagung untuk pakan ternak. Subsidi bahan bakar
ethanol telah menyebabkan beban kerugian dalam miliaran dollar per tahun.
Pemerintah Malaysia telah menerapkan subsidi gas bumi (LNG) sejak
mengatakan bahwa masalah yang muncul akibat subsidi BBM adalah
mendorong konsumsi BBM yang berlebihan, menimbulkan distorsi harga,
menghambat pasokan dan permintaan sehingga berpengaruh buruk terhadap
anggaran nasional. Menurutnya, kenyataan menunjukkan bahwa konsumsi
BBM di negara-negara maju menurun, tetapi konsumsi BBM di negara-negara
berkembang yang menerapkan subsidi meningkat secara nyata. Menurutnya,
jika pada suatu saat pemerintah melakukan penghapusan subsidi BBM, maka
akan menaikkan seluruh harga barang dan jasa, sehingga menaikkan laju
inflasi. Hal yang sama dikemukakan oleh Frank (2008), bahwa negara-negara
yang menerapkan subsidi telah memicu sebagian besar peningkatan konsumsi
minyak di seluruh dunia.
Di India, pemerintah telah menerapkan subsidi LPG dan kerosene,
tetapi masih memerlukan reformasi sehingga dapat menyentuh semua
penduduk yang miskin. Obligasi minyak yang telah dikeluarkan sebesar 59 %
dari beban subsidi ditanggung oleh Perusahaan Minyak Negara, dan sisanya
oleh perusahaan-perusahaan hulu (Economic Survey of India, 2009).
Yunchang (1996), mengemukakan hasil penelitian mengenai dampak
kebijakan harga energi minyak dan gas bumi terhadap perekonomian di
Taiwan. Menurutnya terdapat hubungan yang jelas antar kebijakan tersebut
terhadap energi, produksi, konsumsi, dan perdagangan internasional.
Selanjutnya di Kanada khususnya pada sektor perikanan Sumaila et al. (2008),
melaporkan bahwa oleh karena BBM merupakan komponen penting di sektor
perikanan sehingga dengan kenaikan harga BBM pemerintah telah melakukan
Ditinjau dari industri perhotelan Arbel and Ravid (2006), melaporkan
bahwa krisis energi telah mempengaruhi industri perhotelan di New York,
dimana kenaikan harga energi atau BBM telah menurunkan permintaan jasa
hotel yaitu: pengunjung hotel, penurunan jumlah perjalanan tetap, serta
memperpendek jarak atau tujuan perjalanan karena biaya transportasi
merupakan bagian yang penting dalam menciptakan permintaan terhadap
pengunjung hotel. Osula and Adebisi (2001), melaporkan bahwa akibat
kenaikan harga minyak, di Nigeria secara nyata mempengaruhi pengeluaran
untuk biaya perjalanan dan mempengaruhi tingkat pendapatan pada semua
strata sosial ekonomi.
Dalam hubungannya dengan kualitas lingkungan, Koplow dan
Dembach (2001), melaporkan bahwa subsidi bahan bakar fosil di AS
berdampak terhadap emisi gas rumah kaca, dimana hasil pembakaran dari
bahan bakar fosil memberikan kontribusi lebih dari 90 % emisi gas rumah
kaca. Koplow dan Dembach (2001), mengatakan bahwa konsumsi bahan
bakar fosil bersubsidi tidak sebanding dengan upaya konservasi melalui
pemakaian bahan bakar alternatif yang berjalan lebih lambat.
Di Indonesia BBM fosil cair merupakan kebutuhan vital bagi seluruh
masyarakat. Bahan bakar minyak menjadi bagian dari sistem sektor minyak
dan gas bumi. Keberadaannya ditempatkan sebagai komoditas yang vital dan
strategis, sehingga harus dikelola oleh negara secara bertanggung jawab
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat
Indonesia. Harga BBM yang berlaku pada hampir seluruh negara maju adalah
harga pasar internasional, sedangkan di Indonesia hingga saat ini pemerintah
Indonesia adalah golongan menengah ke bawah (masyarakat miskin) yang
tentunya mengalami kesulitan untuk membeli BBM pada tingkat harga pasar
(Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2003a).
Kebijakan subsidi di Indonesia telah diterapkan sejak tahun 1975,
dikembangkan suatu gagasan agar masyarakat bisa mendapatan BBM dengan
harga lebih murah dari harga sebenarnya. Harga BBM yang seharusnya tinggi,
diturunkan pada tingkat harga yang sesuai dengan kemampuan pemerintah
menyediakan anggaran yang dialokasikan untuk subsidi BBM. Besarnya
subsidi yang ditanggung pemerintah ditentukan oleh selisih dari harga pokok
penjualan BBM dengan harga jual eceran BBM yang ditetapkan pemerintah,
kemudian dikalikan dengan kuantitas BBM. Perkembangan subsidi BBM di
Indonesia sejak tahun 1975 / 1976 – 2004 / 2005 ditunjukkan pada Tabel 1.
Besar kecilnya subsidi bergantung pada tiga indikator penting, yaitu:
harga minyak mentah dunia (dolar AS per barrel), kurs rupiah terhadap dolar
AS, dan besarnya volume BBM. Subsidi harga BBM akan dihapus secara
bertahap dan bila dilihat perkembangannya dari sebelum dilakukan subsidi
BBM tahun 1972 / 1973.
Pada TA 1972 / 1973, Pemerintah masih memperoleh laba bersih dari
penjualan BBM sebesar Rp 31 miliar. Pendapatan laba bersih meningkat
kembali TA 1973 / 1974 menjadi Rp 34.2 miliar. Setelah TA 1973 / 1974
laba bersih BBM tidak pernah ada lagi dan sebagai awal dari fenomena
subsidi BBM, dimana Pemerintah harus menyediakan anggaran untuk subsidi
BBM kepada P.T. Pertamina, Tbk. Hasil penjualan menunjukkan bahwa
penerimaan per liter lebih kecil dari harga pokok penjualan. Pada tahun
pada tahun 1979 / 1980 melonjak tinggi menjadi Rp 35 miliar, selanjutnya
tahun anggaran 1981 / 1982 menjadi Rp 1.5 triliun.
Pada tahun anggaran 2001 besarnya subsidi BBM awalnya ditentukan
sebesar Rp 41.3 triliun, tetapi dengan terdepresiasinya rupiah terhadap dolar
AS dan APBN tahun tersebut disempurnakan sesuai perubahan nilai
Sumber: 1)Opec Annual Statistical Bulletine, 2000 2) Departemen Keuangan, 2004 (diolah)
3)
Bank Indonesia, 2004 (diolah) 4)
Kompas, 2004. Realisasi Subsidi BBM, 13 November 2004.
5)
tukar, maka besarnya subsidi BBM menjadi Rp 68.4 triliun. Pada tahun
anggaran 2002 / 2003 besarnya subsidi BBM adalah Rp 31.2 triliun, besaran
subsidi tersebut disesuaikan dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
(Rp 9 280 / US$). Pada tahun anggaran 2003 / 2004 dan 2004 / 2005,
besarnya subsidi BBM masing-masing Rp 24.5 triliun dan Rp 46.0 triliun.
Dana subsidi BBM diperoleh dari APBN, khususnya dari pengeluaran
negara. Posisi PT. Pertamina, Tbk. sebagai pelaksana dari kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden mengenai harga
eceran BBM. Berkenaan dengan hal tersebut perlu digarisbawahi bahwa
kebijakan subsidi BBM baik besarnya maupun skenario harga baru
BBM sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, aspek
pengadaan sampai pendistribusian BBM ke seluruh pelosok tanah air dengan
menganut sistem satu harga (one price system) menjadi tanggungjawab
PT. Pertamina, Tbk. Besarnya subsidi BBM, pengurangannya, dan
asumsi-asumsi penentuan besarnya subsidi BBM tidak ditentukan secara sepihak oleh
pemerintah, tetapi bersama-sama dengan Panitia Anggaran DPR-RI sebagai
bagian dari penyusunan RAPBN tahun berjalan (Departemen Energi dan
Sumberdaya Mineral, 2001).
Harga subsidi BBM mempunyai disparitas dengan harga pasar,
sehingga pemakaian BBM menjadi tidak efisien (boros) padahal kemampuan
kilang BBM dalam negeri belum memadai untuk memproduksikan BBM
sesuai dengan besarnya permintaan, akibatnya saat ini Indonesia merupakan
negara pengimpor minyak mentah dan BBM ((Departemen Energi dan
Yusgiantoro (2008), mengatakan bahwa pemerintah telah memiliki
program yang terencana dan jelas untuk mengurangi subsidi BBM, hanya saja
dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, selain kalah cepat dengan kenaikan
harga minyak mentah, juga terkendala dengan kebiasaan masyarakat yang
sudah bertahun-tahun mengkonsumsi BBM bersubsidi. Pengurangan subsidi
BBM oleh Pemerintah secara bertahap merupakan pelaksanaan prioritas
pembangunan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, dimana subsidi
BBM akan ditargetkan berkurang secara bertahap hingga tahun 2004.
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral telah menyusun metode pengurangan subsidi BBM
yang dapat dilakukan melalui tiga (3) cara, yaitu: (1) pengurangan kuantitas
BBM tertentu dengan cara menghemat pemakaian BBM, mengembangkan
energi pengganti atau alternatif BBM, (2) pemilihan harga patokan BBM yang
tepat dengan menekan biaya distribusi BBM dan menghitung harga
keekonomian penyediaan BBM, dan (3) rasionalisasi harga BBM.
Penentuan harga patokan yang tepat dapat mengurangi anggaran
subsidi BBM yang harus dibayar oleh Pemerintah, selain upaya terakhir yang
akan menuai protes dari segala kalangan masyarakat, yaitu rasionalisasi harga
BBM yang berarti adalah kenaikan harga BBM yang kemudian berakibat pada
kenaikan harga barang (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2008).
Penghitungan subsidi BBM diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri
Keuangan (Permenkeu) No.15 / PMK.02 / 2006, sebagai berikut: (1) subsidi
jenis BBM tertentu dihitung berdasarkan perkalian antara subsidi jenis BBM
konsumen jenis BBM tertentu pada titik serah yang ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, (2) subsidi jenis BBM tertentu
per liter merupakan pengeluaran negara yang dihitung dari selisih kurang
antara harga jual eceran per liter jenis BBM tertentu setelah dikurangi pajak
pertambahan nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
(PBBKB), dengan harga patokan per liter jenis BBM tertentu, (3) harga jual
eceran per liter jenis BBM tertentu merupakan harga jual eceran per liter
jenis BBM tertentu dalam negeri yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan (4) harga patokan per liter jenis
BBM tertentu ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Penghitungan besarnya subsidi dapat dirumuskan berdasarkan harga
patokan, yaitu:
Subsidi = Volume JBT * {Harga Patokan – Harga Eceran (tidak termasuk pajak)}
Subsidi Jenis BBM Tertentu (JBT) per liter adalah pengeluaran negara
yang dihitung dari selisih kurang antara harga jual eceran per liter jenis BBM
tertentu setelah dikurangi pajak-pajak dengan harga patokan per liter jenis
BBM tertentu, sedangkan harga patokan adalah harga yang dihitung setiap
bulan berdasarkan rata-rata harga menurut Mids Oil Platts of Singapore pada
periode satu bulan sebelumnya ditambah dengan biaya distribusi dan margin.
2.2. Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Disparitas harga BBM dalam negeri memberikan konsekuensi terhadap
dialihkan ke sektor industri atau diselundupkan ke luar negeri. Kelemahan dari
kebijakan tersebut memang telah diperhitungkan sebelumnya oleh para
ekonom. Namun, pemerintah harus konsisten bahwa skenario subsidi harga
BBM yang ditentukannya mencerminkan asas keadilan. Hal tersebut
diwujudkan dengan memberikan subsidi harga BBM misalnya pada kerosene
untuk melindungi masyarakat golongan bawah yang masih menggunakan
kerosene sebagai sumber energi untuk menopang kehidupan sehari-hari
(Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2001).
Penyesuaian harga BBM merupakan konsistensi dari strategi dasar
pemerintah bersama DPR-RI yang dikukuhkan pada program pembangunan
nasional, yang menyatakan bahwa subsidi harga BBM dapat dilakukan
penurunan secara bertahap namun pasti. Kebijakan penurunan tersebut
dimaksudkan untuk mendorong pemakaian BBM agar efisien, sebab jika
dibiarkan secara terus-menerus akan mempercepat Indonesia menjadi negara
pengimpor minyak dan devisa dari minyak akan semakin berkurang. Selain
hal tersebut, subsidi BBM dapat menimbulkan dampak negatif karena adanya
pengoplosan kerosene ke dalam solar.
Pengoplosan BBM yang umum terjadi adalah pencampuran antara
kerosene yang harganya murah dengan BBM solar yang harganya lebih tinggi.
Selanjutnya para penjual akan menjual minyak campuran tersebut dengan
harga BBM solar, sehingga memperoleh keuntungan yang besar. Dengan
demikian, fenomena pengoplosan hanya menunjukkan tuntutan dari
masyarakat luas untuk terus melanjutkan subsidi harga BBM. Namun, pada
gilirannya bukan membantu masyarakat yang berpendapatan rendah,