• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4.5. Persamaan Pendapatan Nasional, Fiskal, dan Neraca Pembayaran

4.5.1. Persamaan Pendapatan Nasional

Ball (1978), mengatakan bahwa untuk menentukan GDP sisi produksi dapat diketahui setelah menjumlahkan nilai tambah dengan nilai neto dari pajak tidak langsung. Mengacu dari Ball (1978), bahwa GDP sisi produksi adalah jumlah nilai tambah dari sub-sektor pengamatan yang terdiri atas : industri pengilangan BBM solar, industri pengilangan gas alam, perusahaan listrik negara, perusahaan penangkapan ikan, perusahaan pengolahan batubara, industri pengilangan kerosene, sarana transportasi angkutan jalan raya, nilai tambah bukan sub-sektor pengamatan, pajak tidak langsung, dan subsidi seperti yang ditunjukkan oleh persamaan berikut.

GDP = NTPLN + NTIPMS + NTIPGA + NTPBB + NTPPI + NTIPK + NTTRDA + NTBSSP + PTL – SUB ……….…..………... (01) dimana:

GDP = Produk Domestik Bruto sisi produksi NTBSSP = Nilai tambah bukan sub-sektor pengamatan

NTIPGA = Nilai tambah sub-sektor industri pengilangan gas alam NTIPK = Nilai tambah sub-sektor industri pengilangan kerosene NTIPMS = Nilai tambah sub-sektor industri pengilangan BBM solar

NTPBB = Nilai tambah sub-sektor perusahaan pengelolaan batubara

NTPLN = Nilai tambah sub-sektor perusahaan listrik negara NTPPI = Nilai tambah sub-sektor perusahaan penangkapan ikan NTTRDA = Nilai tambah sub-sektor sarana transportasi angkutan jalan raya

PTL = Pajak tidak langsung SUB = Subsidi

Glahe (1977), mengatakan bahwa cara menghitung Produk Domestik Bruto menurut biaya faktor dapat dilakukan dengan menjumlahkan pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi atas penggunaannya dalam proses produksi. Faktor-faktor poduksi tersebut yaitu tenaga kerja, modal, tanah, dan ketrampilan wirausaha (entrepreneurship). Dengan demikian, pendapatan nasional menurut biaya faktor merupakan jumlah penerimaan dari upah dan gaji, bunga, sewa, dan keuntungan yang ditahan (undistributed profit).

Y = Yi + Yr + Yu + Yπ ………...…………...…... (02) dimana :

Yi = Penerimaan bunga Yr = Penerimaan sewa

Yu = Penerimaan upah dan gaji

Y = Pendapatan nasional menurut biaya faktor

Yπ = Keuntungan yang ditahan (non-distributed profit)

Selanjutnya Ball (1978), mengemukakan tentang hal menentukan besarnya Produk Domestik Bruto menurut biaya faktor (YDB). Penentuannya seperti pada persamaan berikut.

YDB = GDP – PTL + SUB ………...………...…….. (03)

Apabila dilakukan substitusi GDP persamaan (01) pada persamaan (3), maka besaran YDB dapat diketahui seperti ditunjukkan oleh persamaan berikut.

YDB = NTIPMS + NTIPGA + NTPLN + NTPPI NTIPK + NTPBB + NTTRDA + NTBSSP .… (04)

NTSSP = NTIPMS + NTIPGA + NTPLN + NTPPI + NTIPK + NTPBB + NTTRDA

dimana:

NTBSSP = Nilai tambah bukan sub-sektor pengamatan NTSSP = Nilai tambah sub-sektor pengamatan

YDB = Produk Domestik Bruto menurut biaya faktor

Samuelson dan Nordhaus (1992), mengemukakan tentang pendapatan disposabel adalah sebagai bagian dari pendapatan nasional yang siap untuk dibelanjakan atau ditabung. Ball (1978), mengatakan bahwa pendapatan disposabel bruto merupakan jumlah produk domestik bruto atas biaya faktor dengan pembayaran transfer pemerintah, kemudian dikurangi dengan pajak langsung dan pembayaran atas faktor-faktor yang ditransfer ke luar negeri.

YDIS = YDB + TP – (PL + FPN) ..……...….…... (06) dimana:

FPN = Pembayaran kepada faktor-faktor yang ditransfer ke luar negeri

PL = Pajak langsung

TP = Pembayaran transfer pemerintah YDIS = Pendapatan disposabel

Kemiskinan

Kenaikan harga BBM dan harga energi lainnya seperti harga gas alam, batubara, dan tarif dasar listrik mendorong kenaikan biaya produksi. Kenaikan biaya tersebut menyebabkan kenaikan harga non-energi dalam negeri, diantaranya bahan makanan dan minuman, perumahan, sandang, pendidikan, serta jasa transportasi dan komunikasi. Kenaikan harga energi dan non-energi mendorong kenaikan pada indeks harga konsumen dan mengakibatkan kenaikan laju inflasi. Bahkan harga bahan makanan seperti beras merupakan pemicu kenaikan laju inflasi.

Kenaikan harga energi BBM dan non-energi BBM tidak hanya menaikkan harga barang dan jasa yang dikelompokkan pada indeks harga konsumen (Badan Pusat Statistik, 2005i) tetapi juga menaikkan harga barang dan jasa keseluruhan yang dikelompokkan dalam Produk Domestik Bruto /

Gross Domestic Product (GDP). Dengan demikian, kenaikan laju inflasi ditentukan oleh perubahan pada indeks harga konsumen dan deflator GDP. Kenaikan laju inflasi ditunjukkan oleh kenaikan harga barang dan jasa umumnya. Kenaikan tersebut menyebabkan daya beli pendapatan rumahtangga menurun terutama untuk memperoleh sejumlah kalori yang dibutuhkan berasal dari barang-barang atau komoditi kebutuhan pokok rumahtangga. Baku kalori menjadi ukuran kemiskinan ataupun kesejahteraan dari rumahtangga (Badan Pusat Statistik, 2005h). Dengan demikian, jumlah penduduk miskin ditentukan oleh laju inflasi serta penerimaan upah dan gaji.

Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang pendapatannya (didekati dengan pengeluaran) lebih kecil dari pendapatan yang dibutuhkan untuk hidup secara layak di wilayah tempat tinggalnya. Kebutuhan untuk hidup layak tersebut diterjemahkan sebagai suatu jumlah rupiah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi makanan setara 2 100 kalori sehari, juga kebutuhan perumahan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan. Jumlah rupiah tersebut kemudian disebut sebagai garis kemiskinan (Badan Pusat Statistik, 2005h). Bank dunia lebih rinci mendefinisikan kemiskinan sebagai kelaparan, sulit mendapatkan tempat berteduh, sulit berobat saat sakit, dan tidak mampu menyekolahkan anak, tidak punya pekerjaan, takut menghadapi masa depan, dan akses terhadap air bersih. Dengan demikian, untuk penurunan kemiskinan tidak hanya dengan mengandalkan

pertumbuhan ekonomi saja, tetapi memerlukan intervensi pemerintah melalui pengucuran bantuan langsung.

Badan Pusat Statistik (2005h), melaporkan bahwa pada tahun 2003 terdapat sekitar 34.7 juta jiwa atau sekitar 17.4 % dari jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (tingkat pengeluaran yang diperlukan untuk dapat mengkonsumsi makanan setara 2 100 kkal sehari dan pengeluaran minimal untuk kebutuhan dasar lainnya). Bila acuan kemiskinan yang digunakan adalah tingkat pengeluaran kurang dari US$ 2 PPP per orang per hari, maka jumlahnya menjadi jauh lebih besar. Berdasarkan standar acuan tersebut, Bank Dunia memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sekitar 53.4 % atau 114.8 juta jiwa.

Arif (2005), mengemukakan bahwa pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi masih menjadi masalah bagi masyarakat miskin. Permasalahan kecukupan antara lain terlihat dari rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Pada tahun 2002, diperkirakan 20 % penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1 571 kkal per hari atau 75 % dari kebutuhan untuk hidup layak. Pada saat yang sama ketersediaan pangan nasional cukup memadai. Bila kerawanan pangan diukur dengan kriteria kebutuhan konsumsi minimum sebesar 2 100 kkal per hari, maka hal tersebut dialami oleh 60 % penduduk berpenghasilan rendah. Kondisi ini menunjukkan adanya masalah dalam akses / keterjangkauan bahan pangan.

Menurut Arif (2005) bahwa dampak buruk kerawanan pangan terlihat pada penurunan status gizi masyarakat dan status kesehatan masyarakat yang akhirnya menimbulkan bencana kelaparan. Dampak buruk terganggunya

ketersediaan pangan dan berkurangnya daya beli masyarakat menimbulkan kemiskinan struktural sehingga dengan usaha apapun pendapatannya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya.

Dalam kaitannya dengan daya beli yaitu nilai riil pendapatan akan dipengaruhi oleh harga barang dan jasa. Jika harga barang dan jasa meningkat, maka nilai riil tersebut menurun. Sebaliknya, jika harga barang dan jasa menurun, maka nilai riil tersebut meningkat. Mankiw (1997), memaparkan rumusan laju inflasi yang diukur menurut deflator Produk Domestik Bruto dan indeks harga konsumen.

INF = 100 * (DPDBt – DPDBt-1) / DPDBt-1 ... (07)

INFI = 100 * (IHKt – IHKt-1) / IHK

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kinerja fiskal ditentukan oleh penerimaan dalam negeri dan pengeluaran negara. Sumber penerimaan dalam negeri diperoleh dari pajak, bukan pajak, dan hibah. Pada bagian lain alokasi anggaran sebagai pengeluaran negara diantaranya, yaitu : pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Belanja pegawai dan barang, serta subsidi BBM dan non-BBM dikelompokkan sebagai pengeluaran rutin,

t-1 dimana:

DPDB = Deflator Produk Domestik Bruto IHK = Indeks harga konsumen

INF = Laju inflasi menurut deflator Produk Domestik Bruto