• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. PERANAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK

2.1. Perkembangan Subsidi Bahan Bakar Minyak

Subsidi BBM merupakan bentuk tanggungan pemerintah untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat dengan membayar sebagian harga BBM yang seharusnya dibayar oleh masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu ketika membeli BBM yang didasari pada kepentingan hidup orang banyak. Kenaikan subsidi harga BBM menunjukkan bahwa harga BBM menjadi lebih murah dibandingkan dengan nilai keekonomiannya (harga pasar). Pada hakekatnya subsidi harga BBM diberikan pemerintah untuk membantu golongan masyarakat kecil dan bukan untuk golongan masyarakat menengah ke atas yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi.

International Monetary Fund / IMF (2008), menyatakan bahwa subsidi merupakan intervensi pemerintah sebagai bentuk yang “menyimpang” dari hal

yang sebenarnya antara konsumen dan produsen dari patokan harga yang ditentukan. Terdapat konsekuensi dari pengadaan subsidi, yaitu biaya fiskal yang harus dibiayai dimana dengan kenaikan pajak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kenaikan subsidi juga dapat terjadi penyelundupan lintas batas. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa kunci dari rekomendasi kebijakan subsidi harga BBM adalah harga internasional yang melewati harga domestik, sementara terdapat usaha peningkatan efisiensi harga dan penurunan dampak Balance of Payment berupa net importer yang dilakukan secara bertahap. Pengendalian melalui biaya fiskal pertimbangannya adalah makro-fiskal yang sasarannya untuk melindungi masyarakat miskin dan kelompok yang rentan lainnya dari dampak kenaikan harga BBM.

Sebagian besar negara-negara berkembang menerapkan kebijakan subsidi BBM, dimana terdapat 19 negara dari 25 negara yang memberlakukan subsidi BBM bensin maupun solar adalah eksportir (IMF, 2008). Menurut Bacon dan Kajima (2006), bahwa sejak tahun 2004 negara-negara berkembang memberi subsidi pada produk minyak bumi sebesar dua kali lipat dari harga minyak dunia, sehingga mengakibatkan biaya fiskal sangat tinggi, hutang publik meningkat dan terjadi penyelundupan. Keadaan tersebut berarti pemerintah menanggung konsekuensinya karena meningkatnya pinjaman (hutang) serta pengurangan pengeluarannya pada sektor publik lainnya.

Kebijakan subsidi dari negara-negara tersebut beragam, misalnya pemerintah Cina memberikan subsidi sekali dalam setahun, yaitu sebesar $ 1.7 miliar (12.3 miliar yuan) untuk membantu mengimbangi kerugian dari penjualan BBM tahun 2007 (Lelyveld, 2008). Leigh dan El-Said (2006), melaporkan bahwa total biaya fiskal berupa subsidi harga BBM di Gabon

sebesar 3.2 % dari Produk Domestik Bruto non minyak pada tahun 2005 yaitu lebih besar dari total pengeluaran untuk kesehatan masyarakat. Menurutnya bahwa kebijakan subsidi harus tepat sasaran yaitu untuk melindungi kelompok rumahtangga yang berpendapatan rendah.

Pemerintah Australia juga menerapkan subsidi harga BBM bensin dan solar dengan beberapa aturan kebijakan. Namun, diupayakan agar ke depan harus ada upaya untuk mengurangi subsidi setelah memanfaatkan bahan bakar alternatif seperti gas alam yang dikompresi, bahan bakar gas cair, daur ulang limbah minyak, ethanol, dan minyak canola (Webb. 2001). Davey (2009), melaporkan bahwa pemerintah Australia Selatan memberlakukan pemakaian BBM bersih bebas timbal untuk menjaga kualitas udara. Ternyata kenaikan relatif harga jual eceran bensin bebas timbal tersebut terkait dengan kenaikan tarif dasar listrik (pasar listrik) dan bukan akibat dari kenaikan biaya produksi kilang minyak bensin bebas timbal.

Pemerintah AS dalam upaya mengurangi subsidi BBM telah melakukan kebijakan peningkatan penggunaan bahan bakar ethanol yang berasal dari jagung untuk kendaraan. Kebijakan tersebut merupakan penyangga terhadap komoditas pertanian yang mengalami surplus (Zang, Vedenov, and Wetzstein, 2007). Hal yang sama dilaporkan oleh Gardner (2007), bahwa subsidi ethanol di AS yang merupakan prioritas tertinggi telah menyebabkan terjadinya diskriminasi harga antara bahan bakar ethanol yang berasal dari jagung dengan jagung untuk pakan ternak. Subsidi bahan bakar ethanol telah menyebabkan beban kerugian dalam miliaran dollar per tahun.

Pemerintah Malaysia telah menerapkan subsidi gas bumi (LNG) sejak tahun 1990, solar pada tahun 1999, dan bensin pada tahun 2005. Ariff (2008),

mengatakan bahwa masalah yang muncul akibat subsidi BBM adalah mendorong konsumsi BBM yang berlebihan, menimbulkan distorsi harga, menghambat pasokan dan permintaan sehingga berpengaruh buruk terhadap anggaran nasional. Menurutnya, kenyataan menunjukkan bahwa konsumsi BBM di negara-negara maju menurun, tetapi konsumsi BBM di negara-negara berkembang yang menerapkan subsidi meningkat secara nyata. Menurutnya, jika pada suatu saat pemerintah melakukan penghapusan subsidi BBM, maka akan menaikkan seluruh harga barang dan jasa, sehingga menaikkan laju inflasi. Hal yang sama dikemukakan oleh Frank (2008), bahwa negara-negara yang menerapkan subsidi telah memicu sebagian besar peningkatan konsumsi minyak di seluruh dunia.

Di India, pemerintah telah menerapkan subsidi LPG dan kerosene, tetapi masih memerlukan reformasi sehingga dapat menyentuh semua penduduk yang miskin. Obligasi minyak yang telah dikeluarkan sebesar 59 % dari beban subsidi ditanggung oleh Perusahaan Minyak Negara, dan sisanya oleh perusahaan-perusahaan hulu (Economic Survey of India, 2009).

Yunchang (1996), mengemukakan hasil penelitian mengenai dampak kebijakan harga energi minyak dan gas bumi terhadap perekonomian di Taiwan. Menurutnya terdapat hubungan yang jelas antar kebijakan tersebut terhadap energi, produksi, konsumsi, dan perdagangan internasional. Selanjutnya di Kanada khususnya pada sektor perikanan Sumaila et al. (2008), melaporkan bahwa oleh karena BBM merupakan komponen penting di sektor perikanan sehingga dengan kenaikan harga BBM pemerintah telah melakukan subsidi pada sektor ini, akibatnya terjadi over capacity dan overfishing.

Ditinjau dari industri perhotelan Arbel and Ravid (2006), melaporkan bahwa krisis energi telah mempengaruhi industri perhotelan di New York, dimana kenaikan harga energi atau BBM telah menurunkan permintaan jasa hotel yaitu: pengunjung hotel, penurunan jumlah perjalanan tetap, serta memperpendek jarak atau tujuan perjalanan karena biaya transportasi merupakan bagian yang penting dalam menciptakan permintaan terhadap pengunjung hotel. Osula and Adebisi (2001), melaporkan bahwa akibat kenaikan harga minyak, di Nigeria secara nyata mempengaruhi pengeluaran untuk biaya perjalanan dan mempengaruhi tingkat pendapatan pada semua strata sosial ekonomi.

Dalam hubungannya dengan kualitas lingkungan, Koplow dan Dembach (2001), melaporkan bahwa subsidi bahan bakar fosil di AS berdampak terhadap emisi gas rumah kaca, dimana hasil pembakaran dari bahan bakar fosil memberikan kontribusi lebih dari 90 % emisi gas rumah kaca. Koplow dan Dembach (2001), mengatakan bahwa konsumsi bahan bakar fosil bersubsidi tidak sebanding dengan upaya konservasi melalui pemakaian bahan bakar alternatif yang berjalan lebih lambat.

Di Indonesia BBM fosil cair merupakan kebutuhan vital bagi seluruh masyarakat. Bahan bakar minyak menjadi bagian dari sistem sektor minyak dan gas bumi. Keberadaannya ditempatkan sebagai komoditas yang vital dan strategis, sehingga harus dikelola oleh negara secara bertanggung jawab sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Harga BBM yang berlaku pada hampir seluruh negara maju adalah harga pasar internasional, sedangkan di Indonesia hingga saat ini pemerintah belum sepenuhnya mengenakan harga pasar, karena sebagian besar penduduk

Indonesia adalah golongan menengah ke bawah (masyarakat miskin) yang tentunya mengalami kesulitan untuk membeli BBM pada tingkat harga pasar (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2003a).

Kebijakan subsidi di Indonesia telah diterapkan sejak tahun 1975, dikembangkan suatu gagasan agar masyarakat bisa mendapatan BBM dengan harga lebih murah dari harga sebenarnya. Harga BBM yang seharusnya tinggi, diturunkan pada tingkat harga yang sesuai dengan kemampuan pemerintah menyediakan anggaran yang dialokasikan untuk subsidi BBM. Besarnya subsidi yang ditanggung pemerintah ditentukan oleh selisih dari harga pokok penjualan BBM dengan harga jual eceran BBM yang ditetapkan pemerintah, kemudian dikalikan dengan kuantitas BBM. Perkembangan subsidi BBM di Indonesia sejak tahun 1975 / 1976 – 2004 / 2005 ditunjukkan pada Tabel 1.

Besar kecilnya subsidi bergantung pada tiga indikator penting, yaitu: harga minyak mentah dunia (dolar AS per barrel), kurs rupiah terhadap dolar AS, dan besarnya volume BBM. Subsidi harga BBM akan dihapus secara bertahap dan bila dilihat perkembangannya dari sebelum dilakukan subsidi BBM tahun 1972 / 1973.

Pada TA 1972 / 1973, Pemerintah masih memperoleh laba bersih dari penjualan BBM sebesar Rp 31 miliar. Pendapatan laba bersih meningkat kembali TA 1973 / 1974 menjadi Rp 34.2 miliar. Setelah TA 1973 / 1974 laba bersih BBM tidak pernah ada lagi dan sebagai awal dari fenomena subsidi BBM, dimana Pemerintah harus menyediakan anggaran untuk subsidi BBM kepada P.T. Pertamina, Tbk. Hasil penjualan menunjukkan bahwa penerimaan per liter lebih kecil dari harga pokok penjualan. Pada tahun anggaran 1975 / 1976 jumlah subsidi BBM hanya Rp 1.3 miliar, kemudian

pada tahun 1979 / 1980 melonjak tinggi menjadi Rp 35 miliar, selanjutnya tahun anggaran 1981 / 1982 menjadi Rp 1.5 triliun.

Pada tahun anggaran 2001 besarnya subsidi BBM awalnya ditentukan sebesar Rp 41.3 triliun, tetapi dengan terdepresiasinya rupiah terhadap dolar AS dan APBN tahun tersebut disempurnakan sesuai perubahan nilai

Tabel 1. Perkembangan Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1972/1973 – 2004/2005 Tahun Anggaran Subsidi Bahan Bakar Minyak Laba Bersih Pemerintah (Rp Miliar) 2) (Rp Miliar)

Nilai Kurs1) & 3) (Rp / US$) 1972 / 1973 0 31 na 1973 / 1974 0 34.2 na 1975 / 1976 1.3 0 na 1979 / 1980 3.5 0 na 1981 / 1982 1 500 0 635 5) 1982 / 1983 924 0 685 5) 1990 / 1991 3 300 0 1 770 1991 / 1992 930 0 1 843 1992 / 1993 691.8 0 1 951 1993 / 1994 1 300 0 2 030 1994 / 1995 687 0 2 161 1995 / 1996 687 0 2 249 1996 / 1997 1 500 0 2 343 1997 / 1998 9 800 0 2 909 1998 / 1999 28 700 0 10 014 1999/ 2000 40 900 0 7 855 2000/ 2001 53 800 0 8 422 2001 / 2002 68 400 0 10 202 2002/ 2003 31 200 0 9 280 2003 / 2004 24 500 0 9 000 2004 / 2005 46 000 4) 0 9 000

Sumber: 1)Opec Annual Statistical Bulletine, 2000 2) Departemen Keuangan, 2004 (diolah)

3)

Bank Indonesia, 2004 (diolah) 4)

Kompas, 2004. Realisasi Subsidi BBM, 13 November 2004. 5)

tukar, maka besarnya subsidi BBM menjadi Rp 68.4 triliun. Pada tahun anggaran 2002 / 2003 besarnya subsidi BBM adalah Rp 31.2 triliun, besaran subsidi tersebut disesuaikan dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Rp 9 280 / US$). Pada tahun anggaran 2003 / 2004 dan 2004 / 2005, besarnya subsidi BBM masing-masing Rp 24.5 triliun dan Rp 46.0 triliun.

Dana subsidi BBM diperoleh dari APBN, khususnya dari pengeluaran negara. Posisi PT. Pertamina, Tbk. sebagai pelaksana dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden mengenai harga eceran BBM. Berkenaan dengan hal tersebut perlu digarisbawahi bahwa kebijakan subsidi BBM baik besarnya maupun skenario harga baru BBM sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, aspek pengadaan sampai pendistribusian BBM ke seluruh pelosok tanah air dengan menganut sistem satu harga (one price system) menjadi tanggungjawab PT. Pertamina, Tbk. Besarnya subsidi BBM, pengurangannya, dan asumsi-asumsi penentuan besarnya subsidi BBM tidak ditentukan secara sepihak oleh pemerintah, tetapi bersama-sama dengan Panitia Anggaran DPR-RI sebagai bagian dari penyusunan RAPBN tahun berjalan (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2001).

Harga subsidi BBM mempunyai disparitas dengan harga pasar, sehingga pemakaian BBM menjadi tidak efisien (boros) padahal kemampuan kilang BBM dalam negeri belum memadai untuk memproduksikan BBM sesuai dengan besarnya permintaan, akibatnya saat ini Indonesia merupakan negara pengimpor minyak mentah dan BBM ((Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2003a).

Yusgiantoro (2008), mengatakan bahwa pemerintah telah memiliki program yang terencana dan jelas untuk mengurangi subsidi BBM, hanya saja dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, selain kalah cepat dengan kenaikan harga minyak mentah, juga terkendala dengan kebiasaan masyarakat yang sudah bertahun-tahun mengkonsumsi BBM bersubsidi. Pengurangan subsidi BBM oleh Pemerintah secara bertahap merupakan pelaksanaan prioritas pembangunan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, dimana subsidi BBM akan ditargetkan berkurang secara bertahap hingga tahun 2004.

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral telah menyusun metode pengurangan subsidi BBM yang dapat dilakukan melalui tiga (3) cara, yaitu: (1) pengurangan kuantitas BBM tertentu dengan cara menghemat pemakaian BBM, mengembangkan energi pengganti atau alternatif BBM, (2) pemilihan harga patokan BBM yang tepat dengan menekan biaya distribusi BBM dan menghitung harga keekonomian penyediaan BBM, dan (3) rasionalisasi harga BBM.

Penentuan harga patokan yang tepat dapat mengurangi anggaran subsidi BBM yang harus dibayar oleh Pemerintah, selain upaya terakhir yang akan menuai protes dari segala kalangan masyarakat, yaitu rasionalisasi harga BBM yang berarti adalah kenaikan harga BBM yang kemudian berakibat pada kenaikan harga barang (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2008).

Penghitungan subsidi BBM diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No.15 / PMK.02 / 2006, sebagai berikut: (1) subsidi jenis BBM tertentu dihitung berdasarkan perkalian antara subsidi jenis BBM tertentu per liter dengan volume jenis BBM tertentu yang diserahkan kepada

konsumen jenis BBM tertentu pada titik serah yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (2) subsidi jenis BBM tertentu per liter merupakan pengeluaran negara yang dihitung dari selisih kurang antara harga jual eceran per liter jenis BBM tertentu setelah dikurangi pajak pertambahan nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dengan harga patokan per liter jenis BBM tertentu, (3) harga jual eceran per liter jenis BBM tertentu merupakan harga jual eceran per liter jenis BBM tertentu dalam negeri yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan (4) harga patokan per liter jenis BBM tertentu ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penghitungan besarnya subsidi dapat dirumuskan berdasarkan harga patokan, yaitu:

Subsidi = Volume JBT * {Harga Patokan – Harga Eceran (tidak termasuk pajak)}

Subsidi Jenis BBM Tertentu (JBT) per liter adalah pengeluaran negara yang dihitung dari selisih kurang antara harga jual eceran per liter jenis BBM tertentu setelah dikurangi pajak-pajak dengan harga patokan per liter jenis BBM tertentu, sedangkan harga patokan adalah harga yang dihitung setiap bulan berdasarkan rata-rata harga menurut Mids Oil Platts of Singapore pada periode satu bulan sebelumnya ditambah dengan biaya distribusi dan margin.