• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. PERANAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK

2.2. Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak

Disparitas harga BBM dalam negeri memberikan konsekuensi terhadap penyalahgunaan harga BBM sesuai peruntukannya, yaitu BBM bersubsidi

dialihkan ke sektor industri atau diselundupkan ke luar negeri. Kelemahan dari kebijakan tersebut memang telah diperhitungkan sebelumnya oleh para ekonom. Namun, pemerintah harus konsisten bahwa skenario subsidi harga BBM yang ditentukannya mencerminkan asas keadilan. Hal tersebut diwujudkan dengan memberikan subsidi harga BBM misalnya pada kerosene untuk melindungi masyarakat golongan bawah yang masih menggunakan kerosene sebagai sumber energi untuk menopang kehidupan sehari-hari (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2001).

Penyesuaian harga BBM merupakan konsistensi dari strategi dasar pemerintah bersama DPR-RI yang dikukuhkan pada program pembangunan nasional, yang menyatakan bahwa subsidi harga BBM dapat dilakukan penurunan secara bertahap namun pasti. Kebijakan penurunan tersebut dimaksudkan untuk mendorong pemakaian BBM agar efisien, sebab jika dibiarkan secara terus-menerus akan mempercepat Indonesia menjadi negara pengimpor minyak dan devisa dari minyak akan semakin berkurang. Selain hal tersebut, subsidi BBM dapat menimbulkan dampak negatif karena adanya pengoplosan kerosene ke dalam solar.

Pengoplosan BBM yang umum terjadi adalah pencampuran antara kerosene yang harganya murah dengan BBM solar yang harganya lebih tinggi. Selanjutnya para penjual akan menjual minyak campuran tersebut dengan harga BBM solar, sehingga memperoleh keuntungan yang besar. Dengan demikian, fenomena pengoplosan hanya menunjukkan tuntutan dari masyarakat luas untuk terus melanjutkan subsidi harga BBM. Namun, pada gilirannya bukan membantu masyarakat yang berpendapatan rendah, melainkan memberi ladang bisnis kotor kepada para pedagang curang.

Indonesia dikaruniai sumberdaya energi alternatif lainnya dalam jumlah yang cukup memadai seperti batubara, gas bumi, panas bumi, dan energi terbarukan lainnya. Namun, akibat subsidi harga BBM yang besar, energi alternatif tidak dapat bersaing nilai ekonomisnya dan mengakibatkan diversifikasi energi tidak berkembang, padahal potensi energi terbarukan jauh lebih besar dari energi berbasis fosil cair. Pada bagian lain para penanam modal di bidang energi alternatif harus menunggu penurunan harga subsidi BBM supaya dapat berkompetisi dengan harga energi alternatif.

Di Bontang terdapat industri pengilangan gas alam dengan hasil kilang, yaitu: Liqufied Natural Gas (LNG) dan Liqufied Petroleum Gas (LPG). Winayoko (1997), menguraikan tentang hasil kilang dari kedua jenis gas alam tersebut. Menurutnya gas alam harus dipisahkan dari free kondesat dan air, kemudian dilakukan pemurnian terhadap impuritiesnya seperti CO2 dan N2. Di pabrik pengilangan diperoleh unsur kimia C1 dan C2 (Methane dan Ethane) saja yang mengalami proses pendinginan sampai pada temperatur minus 1600 C (Celcius) setelah mencair lalu disebut LNG, sedangkan unsur kimia C3

dan C4 (Propane dan Butane) yang mengalami pendinginan pada temperatur minus 400

Badan Pusat Statistik (2005b), menyajikan data minyak dan gas bumi tentang berbagai hasil kilang, nilai total produk yang merupakan jumlah penerimaan dari berbagai jenis produk, pajak tidak langsung, biaya total produksi, jumlah pekerja, serta upah dan gaji. Selanjutnya data tersebut dapat digunakan untuk menghitung (creating) nilai tambah berbagai hasil kilang. Menurutnya, nilai tambah nominal merupakan hasil kurang dari nilai

produk dan biaya produk, sedangkan nilai tambah menurut biaya faktor diperoleh setelah nilai tambah nominal dikurangi dengan pajak tidak langsung.

Nilai tambah sub-sektor industri pengilangan minyak solar diperoleh dari hasil kurang penerimaan dan biaya produksi untuk memproduksikan BBM solar. Penerimaan diperoleh dari hasil kali jumlah produk BBM solar dan harga BBM solar menurut harga pasar. Biaya produksi BBM solar oleh sub-sektor industri pengilangan minyak solar diperoleh dari hasil bagi dari hasil kilang BBM solar dan total hasil kilang setelah dikalikan dengan total biaya. Demikian pula seterusnya untuk menentukan nilai tambah sub-sektor industri pengilangan kerosene setiap tahun.

Kenaikan jumlah konsumsi BBM yang diikuti melonjaknya harga minyak dunia, dan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing yang cenderung melemah menyebabkan besar subsidi harga BBM semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kontribusi terbesar untuk subsidi harga BBM adalah pada solar dan kerosene. BBM solar digunakan untuk transportasi dan industri yang peningkatannya cukup tajam karena jumlah kendaraan bermotor diesel semakin meningkat, sedangkan kerosene banyak digunakan oleh rumahtangga dan industri. Kerosene impor masih sebagai double purpose kerosene yang selanjutnya dikilang menjadi jenis bahan bakar berkualitas tinggi yang digunakan sebagai bahan bakar mesin jet pesawat terbang serta jenis kerosene lain yang umumnya digunakan oleh rumahtangga.

BBM terdiri dari avtur, avgas, bensin (premium), solar, kerosene, diesel, dan minyak bakar. Sejak 16 Juni 2001 pengertian BBM yang masuk dalam kategori BBM untuk masyarakat umum adalah bensin, kerosene, dan BBM solar. BBM khususnya solar selain dipakai pada sektor industri,

transportasi, rumahtangga, dan komersial, juga dipakai untuk pembangkit listrik (captive power) oleh PLN. Avtur dan avgas dipakai sebagai bahan bakar pesawat udara (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2003b).

Brahmantio (2006), melaporkan hasil kajiannya mengenai kebijakan subsidi BBM yang ditempuh pemerintah yang hanya menimbulkan 5 bentuk dampak negatif, yaitu: (1) terjadi target error dalam pemberian subsidi BBM sebesar 25%, 40%, 35.2%, 92%, dan 93% masing-masing untuk jenis premium, solar, kerosene, minyak bakar, dan minyak diesel; (2) terjadi inefisiensi dalam penggunaan dan penyelundupan BBM; (3) beban APBN semakin berat; (4) terjadi distorsi harga pada barang dan jasa yang menggunakan BBM sebagai input produksi; dan (5) Pertamina terhambat untuk melakukan ekspansi usaha.

Menurut Brahmantio (2006), bahwa secara umum penurunan subsidi BBM masih memiliki dampak positif hingga tingkat penurunan 20 %. Apabila penurunan subsidi BBM lebih besar daripada 20 %, maka kenaikan harga BBM sebagai implikasi dari penurunan tersebut akan menimbulkan berbagai dampak negatif yang cukup besar terhadap makroekonomi, kesejahteraan rumahtangga maupun aktivitas produksi dalam perekonomian sektoral. Dengan demikian, penyesuaian yang dilakukan konsumen karena adanya penurunan subsidi BBM akan menghasilkan dampak yang lebih positif dibandingkan dengan tidak dilakukan penyesuaian.

Dilihat dari dampak kenaikan harga BBM, Oktaviani dan Sahara (2008) melaporkan hasil penelitiannya bahwa kebijakan kenaikan harga BBM telah menyebabkan turunnya konsumsi BBM baik di setiap sektor industri

maupun kelompok rumahtangga, sehingga sebagian sektor industri mengurangi produksinya maupun tenaga kerja.

Shikha Jha, et al. (2009), dalam penelitian tentang subsidi energi di beberapa negara Asia terkait dengan ketidakpastian kondisi makroekonomi dan fiskal yang berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional sangat mempengaruhi terhadap anggaran belanja negara yang menerapkan subsidi energi dan pengenaan pajak untuk konsumsi BBM dalam negeri.

Kurtubi (1998), menganalisis dampak kebijakan harga dan permintaan BBM terhadap pertumbuhan ekonomi. Analisisnya menggunakan metode CECM (Cointegration and Error Correction Modeling) dan diperoleh hasil estimasi bahwa elastisitas harga permintaan BBM jangka pendek 0.116 dan jangka panjang 0.549, sedangkan elastisitas harga pendapatan jangka pendek 0.723 dan jangka panjang 1.351.

Borenstein, et al. (1997), mengatakan bahwa kenaikan harga BBM bensin lebih cepat ketika harga dunia minyak mentah meningkat, sedangkan penurunan harga BBM bensin lebih lambat daripada penurunan harga dunia minyak mentah. Hal tersebut disebabkan para pedagang BBM bensin kurang merespon atas perubahan harga dunia minyak mentah. Pada bagian lain Raymond dan Rich (1997), mengatakan bahwa kenaikan harga dunia minyak mentah menurunkan pertumbuhan ekonomi Amerika, walaupun bukan sebagai penentu dominan.

Penurunan subsidi harga BBM mendorong kenaikan harga BBM dan laju inflasi. Menurut Khan (1994), kenaikan laju inflasi selain menurunkan nilai riil tabungan dan investasi juga menghambat pertumbuhan ekonomi dan

penurunan standar hidup, terutama masyarakat yang berpendapatan rendah. Hal tersebut mengakibatkan jumlah kemiskinan meningkat.