• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Badan Nasional Pengelola Perbatasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Badan Nasional Pengelola Perbatasa"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA DALAM UPAYA PERLINDUNGAN

STATELESS PERSON SUKU TALAUD DI FILIPINA Eriec Firman, Febrika Ganang, Monica Kristianti Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

email: firman.eriec@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini menjelaskan dan mengkaji permasalahan mengenai bagaimana status stateless person Suku Talaud apabila ditinjau dari Undang-undang kewarganegaraan dan bagaimana kewajiban pemerintah lewat peran Badan Nasional Perbatasan dalam menyelesaikan permasalahan kewarganegaraan Suku Talaud tersebut.

Artikel ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat deskriptif.Jenis data sekunder meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah menggunankan pendekatan undang-undang dan studi kepustakaan, instrumen yang dijadikan penelitian adalah Undang-undang No. 6 Tahun 2011 tentang Kewarganegaraan.

Hasil dari artikel ini menunjukkan bahwa kawasan perbatasan bukan lagi halaman belakang tetapi merupakan beranda depan Indonesia dimana banyak permasalahan yang muncul salah satunya adalah stateless person dari Suku Talaud yang tinggal di Filipina. Dengan dibentuknya Badan Nasional Pengelola Perbatasan diharapkan dapat membantu koordinasi dengan Kementerian Lain untuk menyelesaikan status kewarganegaraan ini untuk tujuan mensejahterakan rakyat Indonesiadi perbatasan terutama Suku Talaud sendiri.

Kata kunci : Perbatasan, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Stateless Person.

ABSTRACT

This article describes and examines the problems regarding how the status of stateless person of Talaus People in review of the Citizenship Act and how State obligations through Badan Nasional Pengelola Perbatasan to resolves the problems about the status of citizenship of Talaud People.

This article is normative legal research which is prescriptive. In nature the data used in this article is secondary data including primary legal materials, secondary and tertiary. Data collection techniques used is statute approach and library study. Citizenship Act will be the main instrument to be considered.

The results shows that border area is no longer the backyard of the state but the home front of Indonesia where many problems that appeared one of them is stateless person of Talaud People that lived in Filipina. With establishment of Badan Nasional Pengelola Perbatasan expected to help coordination with other ministries to resolves this problem of status Citizenship of Talaud People for purposes Indonesian’s welfare at the border area especially for Talaud People itself in this problem.

(2)

PENDAHULUAN

Perbatasan Negara menyandang status sangat strategis dan penting bagi

sebuah Negara. Dari perspektif pertahanan keamanan, perbatasan Negara

merupakan pagar paling depan penyangga masuknya anasir-anasir yang dapat

mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu,

pengamanan perbatasan menjadi satu keniscayaan yang tidak bisa ditawar- tawar.

Dari perspektif hubungan dan hukum internasional, perbatasan Negara

memiliki kompleksitas yang tinggi. Ketika dua negara menghadapi konflik satu

sama lain, penyelesaiannya tidak dilakukan malalui cara-cara tidak beradab

seperti agitasi dan perang. melainkan melalui proses diplomasi yang santun dan

produktif serta harus berlandaskan etika dan prinsip-prinsip hukum internasional.

Tidak sedikit permasalahan yang muncul mengenai perbatasan antar negara

yang masih terus diselesaikan.Permasalahan yang ada di perbatasan tidak selalu

mengenai batas wilayah antara negara, namun juga seringkali berhubungan

mengenai lintas batas negara yaitu imigrasi.

Dari permasalahan imigrasi yang ada di perbatasan antara

Indonesisa-Filipina yang menjadi perhatian secara khusus yaitu status kewarganegaraan orang

Talaud yang ada di Filipina. Mobilitas penduduk di wilayah perbatasan

Indonesia-Filipina di Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, yang sudah terjadi sejak

sebelum abad ke 19 (http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Nusa_Utara).

Mobilitas ini terutama disebabkan karena adanya ikatan kekerabatan

penduduk dua wilayah ini yang menurut sejarah pernah disatukan dibawah satu

kerajaan, yaitu Kerajaan Kandhar.Karena itu, banyak ditemukan Orang Talaud

yang tinggal di wilayah Filipina Selatan sejak berabad-abad yang lalu, menikah

dengan penduduk asli dan berketurunan disana

(http://m.kompasiana.com/post/read/439285/1/kisah-1000-warga-sangir-akankah-berakhir-seperti-sipadan-ligitan).

Pada tahun 1956 Indonesia-Filipina membuat kesepakatan mengenai Border

Crossing Agreement yang mengatur mengenai mobilisasi yang sering dilakukan oleh kedua warga negara yang ada di kedua negara tersebut

(3)

Border Crossing Agreement yang kemudian disebut dengan BCA memberikan salah satu pencegahan dan penegakan hukum untuk

pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi di daerah perbatasan Indonesia-Filipina seperti

illegal fishing, penyelundupan dan perdagangan manusia yang sering terjadi di daerah-daerah yang berbatasan langsung tersebut.

Orang – orang Talaud beserta keturunannya yang masih berada di Filipina

Selatan secara tidak sah akanmenimbulkan status stateless person sehingga mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Dalam upaya perlindungan atas seluruh

tumpah darah Indonesia, , maka telah ada suatu badan koordinasiyang dibentuk

sebagai amanat dari pasal 14 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008

menyebutkan bahwa untuk mengelola batas wilayah negara dan pengelolaan

kawasan perbatasan negara, maka dibentuklah dibentuk Badan Pengelola nasional

dan Badan Pengelola daerah. Kemudian, sebagai pelaksanaan UU No. 43 Tahun

2008 tersebut ditelurkanlah produk hukum berbentuk Peraturan Presiden Nomor

12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan untuk

menyelesaikan problem tersebut maka digunakanlah peran Badan Nasional

Pengelolaan Perbatasan yang seterusnya akan disebut dengan BNPP untuk

mengkoordinasi lembaga – lembaga lain yang diatur dalam Pasal 15 Undang –

Undang No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara terkait masalah ini untuk

menyelesaikan problematika dibidang perbatasan.

Peran dari BNPP sebagai lembaga nasional yaitu sebatas merancang suatu

kebijakan atas problematika tersebut kemudian mengkoordinasi lembaga –

lembaga atau Kementerian terkait sebagai pelaksana teknis untuk melaksanakan

kebijakan tersebut. Sebagai salah satu badan koordinasi yang dibentuk untuk

menyelesaikan dan membangun kawasan perbatasan maka untuk penyelesaian

stateless person ini butuh koordinasi dua arah antara BNPP dan kementerian lain

dalam menyelesaikan permasalahan ini.

Dari permasalahan kependudukan diatas, kemudian penulis melihat

terdapat hal yang menarik untuk kemudian dapat dikaji lebih mendalam, yakni

apakah tugas dan peran serta BNPP Republik Indonesia dalam menyikapi

permasalahan kependudukan masyarakat suku Talaud yang berada di Filipina. Hal

(4)

sebagaimana yang diamanatkan oleh para Founding Fatherskita yang termaktub dalam preambule konstitusi Indonesia.

TUJUAN PENULISAN

Adapun penulisan artikel ini bertujuan untuk memaparkan isu-isu yang ada

di wilayah perbatasan Indonesia, khususnya yang terkait dengan peran dari Badan

Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia dalam menangani masalah

status kependudukan masyarakat suku Talaud di Filipina. Dimana hal ini

kemudian penulis dasarkan pada pengamatan serta pengalaman penulis selama

melakukan kegiatan magang di Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik

Indonesia.

METODE PENULISAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah jenis

penelitian normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, segala penelitian yang

berkaitan dengan hukum (legal research) adalah selalu normatif(Peter Mahmud Marzuki, 2013:55-56).

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam PKM ini adalah dengan

cara studi pustaka (library research), yakni dengan menganalisa data

artikel-artikel, buku-buku, jurnal-jurnal yang bersangkutan dengan materi dari berbagai

sumber seperti buku dan internet. Penulis juga mengumpulkan pendapat ahli serta

beberapa konvensi yang berkaitan dengan objek dari penelitian ini, selain itu

ditunjang dengan hasil wawancara sebagai bahan hukum sekunder.

Sifat penelitian PKM ini adalah penelitian peskriptif dengan menggunakan

pendekatan perundang-undangan dan konseptual.Penelitian hukum dilakukan

untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya dilakukan, bukan

membuktikan kebenaran hipotesis. Preskripsi itu harus timbul dari hasil telaah

yang dilakukan, tetapi preskripsi yang diberikan harus koheren dengan gagasan

dasar hukum yang berpangkal dari moral (Peter Mahmud Marzuki, 2013:41).

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah metode

deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor kemudian premis

minor.Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa untuk penalaran hukum yang

(5)

adalah fakta hukum.Dari kedua hal tersebut kemudian ditarik kesimpulan atau

conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2013:89-90).

Lokasi penelitian berada di Kedeputian Bidang Pengelolaan Batas

Wilayah Negara Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan Republik

Indonesia.Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer

dan data primer.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Problematika orang Sapi (Sangir –Philipines)

Menurut Sekretaris Daerah Kabupaten Talaud, Djemi Gagola,

wargaketurunan Kabupaten Talaud, ProvinsiSulawesi Utara yang menetap di

Negaratetangga, Filipina diperkirakan mencapai 5000 (lima ribu) orang

(

http://www.antarasulut.com/print/16426/sekitar-5000-warga-talaud-menetap-di-filipina), memang belum ada data riil mengenai hal ini. Namun data yang ada di

Konsulat Jenderal Indonesia di Filipina, diperkirakan ada 5000 orang pada tahun

2012 dimana keberadaan mereka sebagai warganegara masih belum jelas apakah

sebagai warga NegaraFilipina atau warga negara Indonesia meskipun sudah

menetap sangat lama

Banyak pula Warga Talaud dari Filipina tersebut yang saat ini ada di

Bitung karena tertangkap melakukan illegal fishing di perairan Indonesia namun tidak dapat segera diadili karena mereka merupakan warga negara dari Indonesia

juga dimana mereka tinggal di Filipina dan orang tuanya pun tidak memiliki

kewarganegaraan yang jelas (http://regional.kompas.com/read/2011/12/02/223

0304/Status.Orang.Sangir.di.Filipina.Diminta.Dituntaskan).

Bahkan menurut Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Lintas Batas Negara,

BNPP-RI, Dr. Sony Soemarsono, MDM, tidak jarang akhirnya status mereka yang

tidak jelas tersebut dijadikan celah terbuka bagi oknum-oknum yang tidak

bertanggung jawab untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran di perbatasan

Indonesia-Filipina terutama di laut Indonesia tersebut. Illegal fishing hanya salah

satu dari pelanggararan yang ada namun sering juga Warga Talaud ini

dimanfaatkan untuk penyelundupan dan perdagangan manusia di daerah

Indonesia-Filipina (Hasil wawancara dalam kegiatang magang di Badan Nasional

(6)

Orang – orang Sangihe-Talaud yang bermukim di Filipina banyak yang

telah menikah dengan sesama orang Sangihe-Talaud maupun dengan orang

Filipina dan memiliki keturunan. Selama orang Sagihe-Talaud tersebut berada di

Filipina sejak dahulu sampai sekarang tidak diakui oleh pemerintah Filipina dan

tidak memiliki tanda kependudukan dari pemerintah Indonesia sehingga mereka

tidak memiliki kewarganegaraan (apatride).Dubes Johanis Kristanto menyebut

sekitar 9.000 orang Sangir dan Talaud hidup di Filipina, terutama di bagian

selatan. Mereka sudah ratusan tahun hidup di sana dan beranak pinak. Akan tetapi

mereka tidak diakui sebagai warga Negara Filipina dan diwajibkan memiliki

Aliance Certificate Registrati-on (ACR).Untuk memperoleh ACR, mereka harus

membayar setiap tahunya ke pemerintah Filipina senilai 600 peso (sekitar Rp

150.000)

(http://m.kompasiana.com/post/read/439285/1/kisah-1000-warga-sangir-akankah-berakhir-seperti-sipadan-ligitan).

Problematika orang – orang Sangihe-Talaud yang tidak memiliki

kewarganegaraan ini pada akhirnya menjadi perdebatan dan berimplikasi hukum

ketika mereka ditangkap karena illegal fishing di laut teritorial Indonesia karena

mereka menyebut dirinya Sapi (Sangir-Philipines) yang artinya mereka berasal

dari orang tua Sangihe-Talaud yang menikah dengan orang Filipina dan tidak

memiliki tanda kewarganegaraan sehingga secara paham ius sanguinis atau kewarganegaraan berdasarkan darah ayah atau ibu secara biologis, maka mereka

adalah warga Indonesia sehingga tidak bisa diadili. Pada akhirnya orang Sangir di

Filipina dijadikan obyek dan subyek dalam setiap kegiatan pelanggaran laut

teritorial dan kepentingan serta hak – hak nya tidak terpenuhi di wilayah Filipina.

B.Stateless Person Ditinjau Dari Kewarganegaraan

Problematika mengenai stateless person menjadi perhatian bagi pemerintah bagaimana cara perlindungan yang dapat diberikan kepada Suku

Talaud tersebut yang ada di Filipina. Menurut Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang temasuk Warga Negara

Indonesia, yaitu:

(7)

Menurut ketentuan ini dapat dilihat bahwasannya tidaklah terdapat suatu

ketentuan yang secara eksplisit menunjukkan bahwa Indonesia menganut asas ius soli ataupun asas ius sanguinis yang biasa digunakan dalam teori-teori yang terkait dengan pewarganegaraan.Sehingga, Suku Talaud secara tidak langsung

merupakan Warga Negara Indonesia yang menjadi tanggung jawab bagi

Pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada rakyatnya.

Tidak dapat dikesampingkan pula mengenai sistem keturunan yang

Indonesia anut menekankan untuk Pemerintah berperan aktif dalam penyelesaian

permasalahan tersebut. Di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006

tentang Kewarganegaraan dapat disimpulkan alasan mengapa warga keturunan

Talaud dapat mendapatkan status sebagai seorang WNI, yaitu:

“i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;

k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.”

Hal ini berkaitan dengan anak-anak dari Suku Talaud yang lahir di wilayah

yang termasuk bagian dari negara Republik Indonesia, sedangkan manakala ayah

dan ibunya tersebut merupakan orang keturunan Talaud yang berasal dari

Indonesia namun belum atau tidak memiliki kewarganegaraan (apatrride),

ketentuan pasal ini dapat memberikan jaminan ataupun kesempatan bagi anak

tersebut untuk kemudian dapat menjadi Warga Negara Indonesia menurut UU

Kewarganegaraan ini tanpa perlu mengajukan prosedur-prosedur

pewarganegaraan sebagaimana yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Selain itu di dalam Prinsip Dasar Lampiran A di dalam Border Crossing Agreement 1956 Indonesia-Filipina disebutkan sebagai berikut: “The Purpose of the Border Crossing System is to regulate the movement of the inhabitants within the Border areas in order to prevent violation of laws of both countries.”

The Border Crossing Card-issuing stations as well as border crossing entry and exit stations are located as follow:

a. Indonesia (1) Marore

(8)

b. Philippines

(1) Mabila, Balut Island

(2) Cape San Agustin (3) Bangao, Tawi-tawi Dimana terdapat perlakuan khusus bagi setiap orang atau warga negara

yang ada di wilayah-wilayah yang disebutkan di atas untuk memudahkan

mobilisasi yang sudah ada sejak lama.Sehingga, harus ada perlakuan khusus yang

diberikan Pemerintah terhadap keturunan Talaud yang ada di Filipina supaya ada

status yang jelas untuk keturunan Talaud tersebut.Salah satu kekurangan dari

Perjanjian ini adalah tidak menyeluruhnya mengenai pengaturan yang dapat

dikatakan mengenai pelanggaran dari hukum tersebut.

Dimana salah satunya adalah mengenai status kewarganegaraan dari orang

Talaud yang ada di Filipina dan sudah bertahun-tahun menetap disana bahkan

telah menikah dan memiliki keturunan namun banyak juga yang statusnya masih

merupakan warga negara Indonesia jika diliat secara keturunan dan

historis.Perjanjian ini hanya mengatur mengenai kartu lintas batas, daerah-daerah

yang ditentukan sebagai pintu keluar masuk untuk RI-Filipina, dan pengaturan

mengenai batas barang bawaan dan pengangkutan namun tidak mengatur secara

jelas apabila ada pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan diatas.

Dalam hal ini orang Talaud yang ada di Filipina melanggar yang ada di

dalam perjanjian karena banyak dari orang Talaud tersebut yang tidak memiliki

identitas maupun surat-surat yang berhubungan mengenai imigrasi seperti Kartu

Lintas Batas, Visa, Pasport dan Kartu Tinggal Sementara, sehingga perlu

dilakukan peninjauan lebih lanjut yang tujuannya untuk menyelesaikan

permasalahan dari orang Talaud tersebut supaya orang Talaud tersebut memiliki

jaminan perlindungan jika mereka memiliki identitas maupun kelengkapan yang

lengkap dan jelas.

Dengan adanya ketentuan treatment tersebut di atas maka dapat disimpulkan untuk orang Talaud pun dapat diberlakukan sekalipun ketentuan di

atas hanya menyebutkan mengenai perlakuan yang akan diberikan jika terjadi

pelanggaran yang dilakukan oleh Pemegang Kartu Lintas Batas dan akan dapat

dilakukan repatriasi untuk orang-orang Talaud yang berada di Filipina dan

(9)

terjadi pelanggaran terhadap orang-orang Talaud tersebut karena tidak memiliki

kelengkapan yang resmi.

Dengan banyaknya jumlah dari keturunan Talaud perlu ada strategi khusus

bagi Indonesia dalam menangani mengenai stateless person dari keturunan Talaud

tersebut. Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan memberikan Faktor pendorong/alasan Warga Talaud harus

mendapatkan kewarganegaraan khususnya WNI, yaitu:

“Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing.”

Hal ini tentu berkaitan dengan jaminan atas perlindungan yang akan

diberikan bagi seluruh warga negara Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan

dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Dimana jika

warga keturunan Suku Talaud tersebut jika belumlah mendapatkan

kewarganegaraan sebagai seorang WNI, maka ia akan diperlakukan laiknya orang

asing yang sudah tentu menyebabkan rentannya posisi mereka sebagai orang

tanpa warga negara (apatride) karena tidak mendapatkan perlindungan dari suatu

negara manapun. Hal ini tentu harus diperjuangkan bagi warga keturunan Talaud

terkait dengan amanat dari pembukaan konstitusi kita yang menyebutkan bahwa “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia...”, sehingga sebagai orang yang memiliki keturunan Indonesia maka sudah sepatutnya warga dari suku

Talaud itu mendapatkan perlindungan dari Indonesia guna menjalankan hal yang

sebagaimana diamanatkan oleh para founding fathers dari Indonesia yang dituangkan dalam konstitusi.

KESIMPULAN

Dalam hal ini diperlukan peran aktif Pemerintah Indonesia dalam

menyelesaikan permasalahan stateless person Keturunan Talaud tersebut dengan membangun hubungan baik dan penyelesaian pembaharuan perjanjian

internasional antara Indonesia-Filipina yang dapat mengakomodir mengenai

permasalahan keturunan Talaud tersebut serta memberikan peningkatan

kesejahteraan untuk warga kawasan perbatasan dan Suku Talaud pada khususnya

lewat koordinasi Badan Nasional Pengelola Perbatasan dengan Kementerian lain

(10)

rentan karena tidak ada negara atau pertanggungjawaban langsung dari negara

dalam memberikan kesejahteraan kepada stateless person terutama dalam hal ini Keturunan Talaud.

UCAPAN TERIMAKASIH

Dalam penulisan artikel ilmiah ini, tak lupa penulis ungkapkan ucapan

terima kasih kepada para pihak yang membantu penulisan artikel ilmiah, adapun

kemudian ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Pranoto, S.H., M.H. selaku Ketua Gugus Kegiatan Magang

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;

2. Ibu Sasmini, S.H.,LL.M. selaku Dosen Pembimbing Penulis dalam

Penulisan Program Kreativitas Mahasiswa dalam bentuk Artikel Ilmiah;

3. Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara Badan Nasional

Pengelola Perbatasan Republik Indonesia beserta jajarannya selaku mitra

Kegiatan Magang Mahasiswa Periode XVI Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta;

DAFTAR PUSTAKA Buku, Slide dan Artikel

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, 2013, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup.

Perundang-undangan

Undang – Undang No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Border Crossing Agreement antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Filipina tahun 1956.

Hasil Wawancara

Hasil wawancara dengan Sony Soemarsono, dalam kegiatang magang di Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Jum’at, 24 Januari 2014

Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Nusa_Utara.

http://regional.kompas.com/read/2011/12/02/2230304/Status.Orang.Sangir.di.Fili pina.Diminta.Dituntaskan

http://kaltim.tribunnews.com/2012/02/29/1.000-orang-sangir-filipina-terlunta-lunta-di-bitung

http://m.kompasiana.com/post/read/439285/1/kisah-1000-warga-sangir-akankah-berakhir-seperti-sipadan-ligitan

Referensi

Dokumen terkait

dan Kewarganegaraan SM A/MA, SMK/MAAK kelas X Semester 1” terbitan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2014. Sumber data menggunakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI... PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN

Pembina Upacara  (Pembina Penggalang)  mengambil tempat di  hadapan pasukan, para Pembantu Pembina  berada di belakang  Pembina Upacara 

barang/jasa Konstruksi yang memenuhi persyaratan dengan terlebih dahulu malukan registrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) pada Pemerintah Provinsi

[r]

Ironi situasional tampak dalam narasi di atas di mana kejadian di depan mata Azra dan Amna merupakan situasi yang tidak diharapkan keduanya, sehingga Amna merasa khawatir

Data adverbia derajat yang ditemukan pada kumpulan cerpen Bedak dalam Pasir karya Sule Subaweh ini memiliki penanda yaitu sangat, paling, hampir, sekali, sangat, cukup, dan

Membuat alat bantu sesuai dengan desain plat pintu bagian depan Komodo MBDA, untuk meletakan plat pintu ketika akan di-assembly dengan komponen- komponen penyusun pintu 2.