BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan membahas tentang konsep-konsep terkait perawatan luka yang meliputi definisi luka, klasifikasi luka, tahapan penyembuhan luka, tipe penyembuhan luka, pengkajian luka, persiapan dasar luka, faktor-faktor yang menghambat penyembuhan luka, manajemen perawatan luka, jenis-jenis topikal terapi, konsep action research, landasan teori, dan kerangka konsep.
Hal lain yang ikut dibahas dalam bab ini adalah landasan teori, dan kerangka konsep terkait penelitian.
2.1 Definisi Luka
Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka dibagi menjadi ; luka superfisial ; terbatas pada lapisan epidermi, luka partial thickness ; hilangnya jaringan kulit pada lapisan epidermis dan lapisan bagian atas dari dermis, luka full thickness : jaringan kulit yang hilang pada lapisan epidermis, dermis dan fasia, tidak mengenai otot. dan luka pada otot tendon dan tulang (Gitarja, 2008).
2.2 Klasifikasi Luka
akan tetapi kulit tetap utuh, Lacerated, jaringan sudah robek, Abrasion, kerusakan pada epidermis atau dermis superfisial, Penetrating, cedera melewati kulit untuk jaringan yang lebih dalam, Burn, trauma karena thermal, electrical.chemical, radiation, Open, penyembuhan luka sekunder, Fracture, breaks in bone, Perforating, luka yang melewati bagian tubuh, Tumour, malignant or benign growth (Carville, 2012 ).
Nather (2013) yang dikutip dari King College Classification membagi enam stadium luka yang terdiri dari stadium satu yang disebut normal foot, stadium dua disebut high risk foot, stadium tiga disebut ulcerated foot, stadium empat disebut cellulitis foot, stadium lima disebut necrotic foot, dan stadium enam disebut major amputation.
Templeton (2005) mengklasifikasi luka menjadi empat stage yaitu : stage I hanya erythema pada kulit tanpa kehilangan lapisan kulit, biasanya akan terlihat warna kulit menjadi lebih gelap seperti kebiruan atau ungu. Stage II di sebut a partial thickness wound, terjadi kehilangan jaringan epidermis yang luas sampai lapisan dermis. Stage III adalah a full thickness wound terjadi kehilangan jaringan mencapai lapisan sub cutan dan kerusakan lebih dalam. Stage IV disebut a full thickness wound meluas mencapai facia, tendon, tulang, dan otot.
memerlukan waktu sembuh yang lebih lama, insiden infeksi tinggi, luka lebar dengan kehilangan jaringan atau kulit, integritas kulit rusak, bekas luka yang tebal akan mengganggu fungsi jaringan. Sedangkan luka tersier adalah terjadinya penundaan antara waktu lukanya terjadi dengan dilakukannya jahitan kulit untuk menutup luka. Resiko terjadinya granulasi dan inflamasi lebih tinggi dibandingkan dengan proses penyembuhan primer (Poerwantoro, 2013).
2.3 Tahapan Penyembuhan Luka
Gitarja (2008) menjelaskan tahapan atau fase penyembuhan luka dimulai dari Fase inflamasi yang dimulai sejak terjadinya luka sampai hari ke-5. Segera setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas. Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF b1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF b1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen.
sel/pembelahan sel. Peran fibroblast sangat besar untuk menghasilkan struktur protein yang digunakan selama proses rekontruksi jaringan. Pada saat terjadi luka fibroblast akan aktif ke jaringan sekitar luka dan berproliferasi mengeluarkan beberapa substansi seperti kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin, dan proteoglycans untuk rekontruksi jaringan baru. Pada fase ini juga terjadi proses pembentukan kapiler baru dalam luka atau disebut angiogenesis. Fibroblast dan angiogenesis merupakan proses yang terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factor). Proses selanjutnya adalah epitelisasi, karena fibroblast mengeluarkan Keratinocyte Growth Factor (KGF). Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan di percepat oleh berbagai growth factor.
dipecahkan sehingga tidak terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, dan akan menurunkan kekuatan jaringan parut,luka selalu terbuka bila kekurangan kolagen. Gitarja (2008) fase penyembuhan luka dapat terlihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.1. Fase penyembuhan luka
Hemostatis bukan merupakan bagian dari proses penyembuhan luka, karena fungsinya hanya untuk menghentikan perdarahan dan pembentukan fibrin sebagai pencetus proses penyembuhan luka (Poerwantoro, 2013).
2.4Tipe Penyembuhan Luka
ulkus venous dan Penyembuhan luka tertier/delayed primary berlangsung lambat, biasanya sering disertai dengan infeksi, diperlukan penutupan luka secara manual, contoh luka operasi yang tidak menutup (Carville, 2012 ).
2.5 Pengkajian Luka
kulit sekitar luka, eksuda, bau, peradangan, infeksi, nyeri, dan benda asing seperti benang jahitan. Pengkajian tentang lingkungan yang mempengaruhi penyembuhan individu perlu diidentifikasikan seperti: faktor yang dapat berdampak pada kerahasiaan, kinerja perawatan sesuai prosedur, pengendalian infeksi atau penyembuhan luka, dan mungkin termasuk : faktor gaya hidup, individu, masalah kerahasiaan dan privasi, keamanan penyimpanan catatan individu, status kebersihan lingkungan (AWMA, 2010).
Langkah berikut adalah investigasi diagnostik akan dilakukan ketika terindikasi secara klinis untuk memastikan dan memantau etiologi luka, potensi penyembuhan, hasil penilaian, terkait, diagnosa dan manajemen intervensi. Prosedur diagnostic yang memungkinkan dilakukan adalah: analisis biokimia darah, mikrobiologi, histopatologi, penciteraan diagnostic, penilaian vascular, penilaian neurologist, penilaian gizi, penilaian psikologis (AWMA, 2010).
Tahap selanjutnya adalah melakukan pencucian luka dengan tekhnik aseptic dan bersih sesuai dengan kondisi luka dan kondisi individu. Kemudian kondisi luka harus dipertahankan pada kondisi lembab, dan menjaga suhu luka tetap konstan dengan cara: hindarkan luka terpapar suhu dingin, produk, obat-obatan, terapi atau perangkat, gunakan solusion pembersihan luka pada suhu tubuh, hindari suhu ekstrim pada kulit. Kondisi lain yang harus diperhatikan dan di jaga adalah: PH, resiko infeksi.
intervensi yang mengeringkan atau menimbulkan trauma pada dasar luka atau kulit di sekitarnya, hindari penggunaan agen beracun atau allergen, lindungi luka dan area ping dari trauma dan maserasi. Pemilihan dressing adalah bagian terpenting yang bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan. Menggunakan dressing pada luka harus sesuai petunjuk atau indikasi yang disetujui oleh Administrasi Barang dari produk, atau digunakan sebagai komponen protokol penelitian dengan persetujuan etis yang tepat (AWMA, 2010).
2.6 Persiapan Dasar Luka
Falanga dan Sibbald (2000) telah menjelaskan tentang konsep persiapan dasar luka. Konsep yang digunakan untuk mempersiapkan dasar luka adalah metode TIME. Kepanjangan dari TIME adalah Tissue management, inflammation dan infection control, maintenance of moisture balance, dan epithelial advancement of wound edges (Halim, Khoo, & Saad, 2012).
Poerwantoro (2013) definisi persiapan dasar luka adalah tatalaksana luka dalam rangka mempercepat proses penyembuhan endogen atau untuk memfasilitasi efektifitas langkah-langkah terapeutik lainnya.
antibiotic secara sistemik, sehingga bakteri pada luka dapat dikurangi. Tahap ketiga adalah menjaga kelembaban pada luka dengan memilih topical terapi sesuai dengan kondisi luka untuk menghindari edema berlebihan, maserasi, atau luka mengalami dehiderasi. Tahap terakhir adalah memperbaiki jaringan tepi luka untuk meningkatkan pertumbuhan keratinocytes (Fletcher, 2005).
Persiapan dasar luka dengan menggunakan konsep TIME, juga harus melihat warna dasar luka untuk melakukan langkah-langkah persiapan dasar luka dengan metode TIME. Warna dasar luka merah atau red menunjukkan luka memiliki sirkulasi yang baik sehingga perawatannya cukup dengan mempertaahankan kelembaban luka. Warna dasar luka kuning atau yellow merupakan luka dengan penurunan perfusi sehingga jaringan menjadi iskhemik dan infark. Tujuan perawatan yang dapat dilakukan adalah mengatasi eksudat, dan mengangkat jaringan berwarna kuning (slough) dengan debridement. Dasar luka berwarna hitam atau black adalah luka yang telah nekrotik. Tujuan dari perawatan luka hitam adalah mengangkat jaringan hitam dengan debridement untuk memperbaiki sirkulasi ke seluruh permukaan luka (Poerwantoro, 2013).
2.7 Faktor-faktor yang Menghambat Proses Penyembuhan Luka
Sedangkan menurut Carville (2012), ada dua faktor yang dapat menghambat penyembuhan luka yaitu factor umum yang meliputi: umur, penyakit penyerta, perfusi yang buruk, malnutrisi, index massa tubuh ekstrim, gangguan sensasi atau gerakan, depresi, cemas, kelelahan, terapi radiasi, merokok, dan obat. Sedangkan faktor lokal berupa : manajemen perawatan luka, kelembaban luka, suhu dan PH luka, infeksi, tekanan, gesekan, tarikan, dan benda asing.
2.8 Konsep Perawatan Luka Konvensional
balutan kotor pada nierbekken atau kantung plastik, hindari kontaminasi permukaan luar kantung (Aswadi, 2008).
Lepaskan sarung tangan dengan menarik bagian dalam keluar, membuka nampan balutan steril. Membuka larutan antiseptik lalu tuang ke dalam kom steril atau kasa steril, pakai sarung tangan steril, inspeksi luka. perhatikan kondisinya, letak drain, integritas jahitan dan karakteristik drainase (palpasi bila perlu, dengan bagian tangan non dominan yang tidak akan menyentuh bahan steril). Bersihkan luka dengan larutan antiseptik atau lanrtan normal satin. Bersihkan dari daerah yang kurang terkontaminasi ke area terkontaminasi (Aswadi, 2008).
Setelah luka selesai di bersihkan dilanjutkan dengan menggunakan kasa yang basah tepat pada permukaan luka. Bila luka dalam secara perlahan masukkan kasa ke dalam luka sehingga semua permukaan luka kontak dengan kasa basah. Pasang kasa steril kering diatas kasa basah, tutup dengan kasa, surgipad, dan pasang plester diatas balutan (Aswadi, 2008).
2.9 Konsep Perawatan Luka Modern
balutan semi occlusive, full occulisive dan impermeable dressing. (Schultz, et al. 2005).
2.10 Jenis-jenis Topikal Terapi (Dressing)
Bahan topikal terapi yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan perawatan luka adalah: calcium alginate, hidrokoloid, hidroaktif gel, antimicobacterial, gamgee, polyurethane foam, dan silver dressing (Templeton, 2005). Dressing atau balutan yang baik harus mampu menyerap eksudat, mempertahankan lingkungan luka yang lembab, memungkinkan terjadi pertukaran gas, mempertahankan suhu luka, menjaga kondisi pathogen, mencegah infeksi, tidak mengeluarkan racun, tidak menimbulkan reaksi alergi, mencegah trauma, tidak merusak jaringam mudah dibuka tanpa menimbulkan trauma baru jaringan, mudah digunakan, nyaman digunakan, sesuai dengan bagian tubuh, tidak mengganggu fungsi tubuh, biaya efektif (Carville, 2012).
Poerwantoro (2013) menjelaskan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan balutan adalah jenis luka, deskripsi luka, karakteristik luka, profil bakteri.
2.11 Keuntungan Perawatan Luka Modern
enzyme proteolitik kurang aktif bekerja pada kondisi kering atau tidak lembab (Gitarja, 2008).
Keuntungan konsep lembab ini adalah membuat lingkungan yang mempercepat re-epitalisasi, menjaga kelembaban akan menurunkan infeksi, dasar luka yang lembab dapat merangsang pengeluaran growth factor yang mempercepat proses penyembuhan luka (Halim, Khoo & Saad, 2012). Perawatan luka lembab telah popular dilakukan karena telah terbukti dapat meningkatkan penyembuhan, mengurangi rasa sakit dan ketidaknyamanan dan mengurangi tingkat infeksi (Dowset, 2011).
Keunggulan lain dari perawatan luka modern adalah mengurangi infeksi dan infeksi silang, mengurangi jaringan parut, mengurangi waktu perawatan dan mengganti balutan, serta mengurangi biaya (Slater, 2008).
2.12 Konsep action Research
Penelitian yang akan diteliti ini akan menggunakan action research sebagai methodelogi, karena dapat memberdayakan partisipan, menghasilkan pengetahuan baru, sehingga akan terjadi perubahan kearah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan yang dijabarkan oleh Polit dan Beck (2008), penelitian ini tidak hanya menghasilkan pengetahuan tetapi juga ada tindakan dan peningkatan kesadaran untuk merubah.
2.13. Pengertian action Research
mereka, serta pemahaman mereka mengenai praktek dan terhadap situasi tempat dilakukan praktek-praktek tersebut, menurut Kemmis dan McTaggar (1998) dalam Denzim dan Lincoln (2009).
Menurut Polit dan Beck (2008). Metode penelitian action research (AR) berlangsung bersama kolaborasi dan dialog yang dapat memotivasi, meningkatkan Harga diri dan menghasilkan solidaritas yang kuat antara partisipan dan peneliti. Mereka menjelaskan bahwa Strategi pengumpulan data yang digunakan tidak hanya metode tradisional seperti wawancara dan observasi, tetapi bias juga dilakukan bercerita, drama komedi, menggambar dan melukis, bermain peran dan kegiatan lain yang mendorong partisipan mengenali kekuatan sendiri dan menemukan cara-cara kreatif untuk mengeksplorasi kehidupan mereka.
Keuntungan dan tujuan dari action research adalah menghasilkan pengetahuan tentang sistem dan pada saat yang sama berupaya mempromosikan perubahan organisasi dan social (Titchen & Binnie, 1994). Sedangkan Hanbridge (2000) menjelaskan keuntungan dari action research adalah mendorong keterbukaan, self criticism, reflexi diantara partisipan dan memberdayakan mereka untuk mengambil kendali atas situasi kerja mereka sendiri serta memperoleh pegetahuan dari praktek mereka.
2.14. Siklus action Research
diperlukan kolaborasi antara penelitian dan partisipan untuk memahami teori dan praktek. action merupakan tindakan yang disengaja dan dikontrol secara hati-hati dan diteliti secara memberikan informasi penting. action di padu oleh rencana yang telah dibuat, tetapi tidak seluruhnya berpedoman pada planning karena hal ini sangat beresiko. Rencana untuk action harus fleksibel, memiliki sifat sementara dan terbuka terhadap perubahan. Implementasi dan action mengasumsikan material, sosial, dan politik untuk ditingkatkan lebih baik lagi. Salah satu cara dari action adalah observasi dengan tujuan mengumpulkan supaya bisa di evaluasi. Observation berfungsi sebagai dokumentasi efek yang penting dari tindakan. Observasi dari rencanakan dengan baik dan akan menjadi dokumen yang penting untuk melakukan refleksi rencana observasi dan fleksibel dan terbuka terhadap pencatatan yang mungkin tidak diprediksi sebelumnya. reflection disebut juga action yang sudah dicatat dalam observation. Refleksi memperlihatkan bagaimana proses berlangsung, masalah, issue dan manifestasi dalam tindakan strategis refleksi dibantu dengan cara berdiskusi dengan partisipasipan. Refleksi memiliki aspek evaluasi yang merupakan pertanyaan peneliti dalam menilai pengalaman mereka, menetapkan efek yang diinginkan dan menyarakan apa yang akan dilakukan kemudian (Kemmis dan McTaggart ,1988).
Keterangan :
R : Rencana tindakan
A & O : Aplikasi tindakan dan observasi Rf : Refleksi
RR : Revisi Rencana
Gambar 2.2. Siklus spiral Kemmis dan Mc Taggart
2.15. Proses action Research
Kemmis dan McTaggert (1988) menjelaskan bahwa dalam melaksanakan AR memerlukan beberapa langkah tindakan yaitu reconnaissance, planning, melaksanakan rencana dan observasi, reflection.
Langkah kedua: planning merupakan perencanaan yang bersifat untuk perbaikan. Tahap ini beorientasi pada peneliti tentang bagaimana kolaborasi dengan partisipan. Perencanaan meliputi rencana untuk merubah dengan menggunakan bahasa, asktivitas dan praktik, hubungan antara manusia dan organisasi, dan merencanakan hasil yang di inginkan.
Langkah ketiga adalah action dan observation, yaitu mengimplementasikan rencana dan mengobservasi pekerjaan yang dilakukan. Pada tahap ini akan dilaksanakan rencana yang sudah di tetapkan, meliputi pelaksanaan rencana untuk berubah dengan menggunakan bahasa, aktivitas dan praktik, hubungan antara manusia dan organisasi, dan mengobservasi hasil dari implementasi yang telah di lakukan.
Langkah keempat adalah reflection, merupakan waktu untuk memberikan analisa, sintetis, interpretasi dan menyimpulkan hal yang penting. Pada tahap ini refleksi berfokus pada hasil yang telah di capai kemudian di buat analisa untuk perbaikan pada cycle berikutnya.
2.16 Keabsahan Data
Kriteria credibility akan dipenuhi peneliti dengan menggunakan teknik seperti prolonged engagement untuk membangun kepercayaan antara peneliti dan partisipan. Peneliti juga melakukan teknik triangulation untuk mengecek kebenaran data dengan membandingkan data yang diperoleh dengan data dari sumber lain. Dalam hal ini, peneliti akan membandingkan sumber data yang diperoleh dari wawancara dengan sumber data yang diperoleh dari hasil observasi partisipan. Selain itu peneliti juga akan melakukan teknik member-check dimana peneliti akan melakukan cross-check data yang diperoleh dengan menyusun tema dan katagori yang di bantu oleh anggota tim peneliti.
Transferability memiliki makna bahwa penelitian ini akan dapat digunakan pada populasi yang berbeda. Untuk memenuhi kriteria ini peneliti akan menjelaskan secara rinci data yang diperoleh termasuk juga situasi organisasi dan geografis tempat penelitian. Untuk itu peneliti perlu membuat field notes atau catatan lapangan setiap kali peneliti melakukan pengambilan data.
Dependability memastikan bahwa jika penelitian diulang dengan konteks yang sama, metode yang sama dan partisipan yang sama maka hasil penelitian yang diperoleh juga akan sama. Untuk memenuhi kriteria ini peneliti akan melaporkan secara detail setiap proses penelitian kepada pembimbing untuk menilai apakah proses dan hasil yang diperoleh sudah sesuai.
2.17 Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah teori caring yang di kembangkan Swanson dan model perawatan luka modern menurut Gitarja. Kontribusi Swanson sangat berharga untuk mengembangkan strategi caring yang bermanfaat dan efektif. Setiap proses caring memiliki definisi melayani sebagai dasar untuk intervensi keperawatan. Perawatan dan caring sangat penting dalam membuat perbedaan positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan klien. Demikian temuan penelitian yang digunakan untuk mengembangkan teori berguna untuk membimbing praktek keperawatan (Swanson,1991).
Dimensi caring menurut Swanson (1991) ada lima, yaitu maintaining belief, knowing, being with, doing for, dan enabling. Demensi pertama adalah maintaining belief yaitu menumbuhkan keyakinan seseorang dalam melalui setiap peristiwa hidup dan masa-masa transisi dalam hidupnya serta menghadapi masa depan dengan penuh keyakinan, meyakini kemampuan orang lain, menumbuhkan sikap optimis, membantu menemukan arti atau mengambil hikmah dari setiap peristiwa, dan selalu ada untuk orang lain dalam situasi apa pun. Tujuannya adalah untuk memungkinkan orang lain terbantu dalam batas-batas kehidupannya sehingga mampu menemukan makna dan mempertahankan sikap yang penuh harapan. Memelihara dan mempertahankan keyakinan nilai hidup seseorang adalah dasar dari caring dalam praktek keperawatan.
adalah memahami pengalaman hidup klien dengan mengesampingkan asumsi perawat mengetahui kebutuhan klien, menggali/menyelami informasi klien secara detail, sensitive terhadap petunjuk verbal dan non verbal, fokus kepada satu tujuan keperawatan, serta melibatkan orang yang memberi asuhan dan orang yang diberi asuhan dan menyamakan persepsi antara perawat dan klien. Knowing adalah penghubung dari keyakinan keperawatan terhadap realita kehidupan (Swanson, 1991).
Lima dimensi caring menurut Swanson dalam bentuk gambar dapat dilihat seperti di bawah ini.
Gambar 2.3. Dimensi Caring Swanson
Dimensi knowing dapat dilakukan dengan cara menghindari asumsi-asumsi, melakukan pengkajian yang menyeluruh, menggali informasi-informasi yang mendalam, perawat berfokus pada klien dalam memberikan asuhan keperawatan. Melibatkan diri sebagai perawat secara utuh dan bekerja sama dengan klien dalam melakukan asuhan keperawatan yang efektif (Potter & Perry, 2009).
Dimensi being with dapat diaplikasikan dengan cara perawat bekerjasama dengan klien tanpa memaksa kehendak kepada klien dalam melakukan tindakan keperawatan, menunjukan kesediaan perawat dalam membantu klien dan memfasilitasi klien untuk mencapai tahap kesejahteraan / well being, bersama-sama berkomitmen dengan klien berusaha dalam meningkatkan kesehatan klien, berbagi pengalaman bersama klien yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesehatan klien. Being with, perawat dapat menunjukkan cara kontak mata, bahasa tubuh, nada suara, mendengarkan serta memiliki sikap positif dan bersemangat, akan membentuk sesuatu suasana keterbukaan dan saling mengerti (Potter & Perry, 2009).
Kegiatan yang dapat dilakukan pada dimensi enabling adalah memvalidasi semua tindakan yang telah dilakukan, memberikan informasi yang berkaitan dengan peningkatan kesehatan klien dalam rangka memberdayakan klien dan keluarga klien, memberikan dukungan kepada klien dalam mencapai kesejahteraan / well being sesuai kapasitas sebagai perawat, memberikan umpan balik terhadap apa yang dilakukan oleh klien dalam usahanya mencapai kesembuhan / well being, menolong pasien untuk selalu fokus dan terlibat dalam program peningkatan kesehatannya baik tindakan keperawatan maupun tindakan medis (Potter & Perry, 2009).
Sedangkan landasan teori tentang konsep manajemen perawatan luka modern menurut Gitarja (2008) terdiri dari tiga kegiatan yang berurutan yaitu mencuci luka, mengangkat jaringan mati, dan memilih dressing yang sesuai dengan kondisi luka.
Pencucian luka merupakan tahapan pertama dalam perawatan luka, yang bertujuan membuang jaringan nekrosis, cairan luka yang berlebih, sisa balutan yang digunakan dan sisa metabolik tubuh pada cairan luka. Mencuci luka dapat meningkatkan, memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan luka, serta menghindari kemungkinan terjadinya infeksi. Tidak ada konsensus mengenai
cairan yang dipergunakan untuk membersihkan luka. Cairan normal salin (NaCl 0,9 %) atau air steril sangat direkomendasikan sebagai cairan pembersih
alergi, atau merubah flora bakteri pada kulit. Penggunaan antiseptik dibenarkan apabila zat yang digunakan tidak merusak fibroblast (Gitarja, 2008).
Apabila terdapat jaringan nekrosis seperti eschar dan slough, maka debridement adalah tindakan yang tepat untuk nekrotomy. Jaringan nekrotik akan menghalangi proses penyembuhan luka dan merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Beberapa metode debridement yang dapat dilakukan seperti : mekanikal, surgikal, enzimatik, autolisis, dan biochemical. Autolisis debridement adalah salah satu jenis debridement yang banyak dilakukan saat ini, karena biaya nya yang murah, mudah dilakukan, hanya jaringan mati yang terbuang, dan tidak sakit. Peluruhan jaringan nekrotik pada autolisis debridement dilakukan oleh tubuh sendiri dengan bantuan Proteolytic Enzim. Hal ini dapat terjadi bila luka berada pada keadaan lembab (Gitarja, 2008).
Pemilihan topikal terapi adalah langkah terakhir dalam melakukan perawatan luka. Hal ini penting untuk memperbaiki kerusakan jaringan dan menjaga kelembaban luka. Keberhasilan perawatan luka menjadi baik sangat tergantung kepada kemampuan dalam memilih balutan yang tepat, efektif, dan efesien (Gitarja, 2008).
2.18 Kerangka Konsep
gITARJA
Keterangan P : planning R : reflective
A & O : action dan observation