BAB II
DASAR HUKUM PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERBUATAN YANG TIDAK DIDAKWAKAN DI DALAM SURAT DAKWAAN
A. Independensi Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum
Setiap kebebasan selalu melekat pada individu manusia sebagai salah satu
hak dasar yang dimilikinya. Setiap realisasi dari kebebasan akan berimplikasi luas
baik kepada diri pengambil kebebasan itu maupun kepada lingkungan sosialnya.
Pemilik kebebasan itu senantiasa dituntut untuk mampu mempergunakan
kebebasannya dalam batas-batas yang diperkenankan dan tetap dalam bingkai
tanggung jawab yang menyertainya.Tindakan dari pemilik kebebasan tersebut
juga harus mampu memenuhi kebebasan sosial.
Jika kita terjun ke dalam kehidupan sehari-hari, maka kita dapat melihat
hal-hal yang membicarakan hukum sebagai institusi sosial. Bekerjanya hukum itu
tidak dapat dilepaskan dari pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat (di
sekelilingnya). Hukum bekerja dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa
yang baik untuk dilakukannya bagi masyarakat. Pertimbangan seperti ini dapat
dilihat melalui keputusan yang memberikan efisiensi pada produksi masyarakat.
Hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan
itu menunggangi hukum. Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas persoalan
yang kita hadapi sekarang, yaitu, hubungan antara hukum dan kekuasaan.37
37
Seperti yang diketahui, Montesquieu memperkenalkan teori pemisahan
kekuasaan Negara (trias Politica) yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga
bagian, yaitu:
1. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang;
2. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan
undang-undang; dan
3. Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi undang-undang
atau kekuasaan untuk mengadili bilamana terjadi pelanggaran terhadap
undang-undang.
Pelaksanaan masing-masing kekuasaan tersebut, diserahkan kepada badan
atau lembaga yang berdiri sendiri. Hal ini berarti masing-masing badan itu, di
dalam melaksanakan kekuasaannya tidak dapat saling mempengaruhi, terpisah
secara tegas, yaitu: kekuasaan legislatif pelaksanaannya diserahkan kepada badan
legislatif yaitu Badan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan eksekutif pelaksanaannya
diserahkan kepada pemerintah (Presiden atau Raja dengan dibantu oleh
menteri-menteri atau kabinet).Kekuasaan yudikatif pelaksanaannya diserahkan kepada
hakim atau peradilan.38
Menurut Montesquieu, salah satu kekuasaan negara yang perlu ditekankan
adalah kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman. Kebebasan badan
38
yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena disitulah letak kemerdekaan
individu dan hak asasi manusia dijamin dan dipertaruhkan.39
Di dalam suatu Negara hukum, kekuasaan kehakiman (yudikatif)
merupakan badan yang sangat menentukan terhadap substansi dan kekuatan
kaidah-kaidah hukum positif termasuk hukum pidana. Karena melalui badan
inilah konkritisasi hukum positif dilakukan oleh hakim pada putusan-putusannya
di depan pengadilan. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa
bagaimanapun baiknya hukum pidana yang diciptakan dalam suatu Negara, tidak
ada artinya apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh hakim
yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi dan kekuatan kepada
norma-norma hukum pidana tersebut.
Independensi kekuasaan kehakiman atau badan-badan
kehakiman/peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya
pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran
mengenai Negara hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh
International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965.40
Dalam pertemuan konferensi tersebut ditekankan pemahaman tentang apa
yang disebut sebagai “the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age”
(aspek-aspek dinamika Rule of Law dalam abad modern). Dikatakan bahwa ada 6
39
Ibid., hal 49. 40
(enam) syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis
dibawah Rule of Law, yaitu:41
1. Perlindungan Konstitusional
2. Peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
3. Pemilihan umum yang bebas
4. Kebebasan menyatakan pendapat
5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi
6. Pendidikan kewarganegaraan
Dari syarat-syarat tersebut jelaslah bahwa independensi kekuasaan
kehakiman merupakan salah satu pilar yang pokok, yang apabila komponen
tersebut tidak ada maka tidak bisa dibicarakan lagi tentang Negara hukum.42
Hakim adalah salah satu elemen dasar dalam sistem peradilan selain jaksa
dan penyidik (Kejaksaan dan Kepolisian), sebagai subjek yang melakukan
tindakan putusan untuk menyelesaikan perkara di dalam pengadilan. Hakim yang
merupakan personifikasi atas hukum harus menjamin rasa keadilan bagi setiap
orang yang mencari keadilan melalui proses hukum legal. Dalam menjalankan
tugasnya, maka seorang hakim memiliki kebebasan dari pengaruh-pengaruh
maupun tekanan-tekanan luar dirinya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum.Sejalan dengan ketentuan
tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya jaminan
41Ibid. 42
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.43
Kebebasan hakim di Indonesia dijamin dalam Konstitusi Indonesia yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya
diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999, sebagaimana telah disempurnakan dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Independensi diartikan sebagai
bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, dalam arti
bahwa bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan Negara lainnya,
kecuali dalam hal yang diizinkan oleh undang-undang.Demikian juga meliputi
kebebasan dari pengaruh-pengaruh internal yudisial di dalam menjatuhkan
putusan.
43
Seorang hakim di dalam mengemban tugasnya harus mendapatkan
perlindungan sebagai penegak hukum untuk bebas dari pengaruh-pengaruh dan
direktiva yang berasal dari:44
a. Lembaga-lembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif maupun
legislatif, dan lain-lain;
b. Lembaga-lembaga internal di dalam jajaran Kekuasaan Kehakiman
sendiri;
c. Pengaruh-pengaruh pihak yang beperkara;
d. Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional maupun
internasional;
e. Pengaruh-pengaruh yang bersifat “trial by the press45.”
Profesi hakim menuntut pada pemahaman akan konsep kebebasan yang
bertanggung jawab karena kebebasan yang dimilikinya tidak boleh melanggar dan
merugikan kebebasan orang lain.46
Hal yang dimaksudkan dengan kemandirian hakim adalah mandiri, tidak
tergantung kepada apa atau siapa pun, dan oleh karena itu bebas dari pengaruh apa
atau siapa pun. Hakim atau peradilan yang merupakan tempat orang mencari
keadilan, harus mandiri, independen dalam arti tidak tergantung atau terikat pada
siapa pun, sehingga tidak harus memihak kepada siapa pun agar putusannya itu
44
H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta: Kencana, 2012, hal. 167. 45Trial by Press
atau peradilan dengan menggunakan media yang bersifat publikasi massa adalah sebuah istilah bentuk peradilan yang dilakukan dengan melalui penulisan atau pembicaraan dari satu sisi pihak secara bias, biasanya dilakukan dengan bantuan publikasi secara luas dan sadar dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada, dengan demikian berakibat menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut adalah bagaikan sebuah putusan pengadilan bagi para pihak yang terkait tanpa adanya hak melakukan pembelaan.
46
objektif.Kemandirian itu menuntut pula bahwa hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara harus bebas.Dengan demikian kemandirian hakim tidak dapat
dipisahkan dari kebebasan hakim, tetapi merupakan satu kesatuan.Adapun yang
dimaksudkan dengan kebebasan hakim adalah bebas dalam memeriksa dan
memutus perkara menurut keyakinannya serta bebas pula dari pengaruh pihak
ekstrayudisial.Ia bebas menggunakan alat-alat bukti dan bebas menilainya, ia
bebas pula untuk menilai terbukti tidaknya suatu peristiwa konkret berdasarkan
alat bukti yang ada. Ia bebas untuk berkeyakinan mengenai jenis hukuman apa
yang akan dijatuhkan dan bebas pula dari campur tangan dari pihak
ekstrayudisial.47
Hakekat kebebasan hakim adalah jika seorang hakim dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bebas dalam menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta bebas dari berbagai pengaruh dan
berbagai kepentingan baik dari dalam maupun dari luar, termasuk kepentingan
dirinya sendiri demi tegaknya hukum dan keadilan. Misi hukum yang diemban
oleh hakim sebagaimana tesis Gustav Radbruch adalah hakim berada dalam ranah
ideal (das sollen) dan ranah empirik (das sein).Adapun tugas hakim adalah
menarik ranah ideal ke dalam ranah empirik seakan-akan hukum yang ada di
dunia kenyataan dihimbau untuk mengikuti hukum yang ada di dunia ide
sebagaimana yang dimaksudkan hukum alam.48
47
Ibid.
48
Kesadaran akan krusialnya keberadaan kekuasaan kehakiman yang
mandiri dalam setiap negara hukum yang modern melahirkan beberapa instrumen
hukum internasional yang dibuat untuk mendesak terwujudnya independensi
kekuasaan kehakiman secara universal. Ada beberapa instrumen hukum
internasional yang menyebutkan tentang pentingnya independensi kekuasaan
kehakiman. Instrumen-instrumen tersebut antara lain:49
1. Universal Declaration of Human Right, article 10, yang menyatakan:
Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang
adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak dalam
menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya, serta dalam setiap tuntutan
pidana yang dijatuhkan kepadanya.
2. International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR), article 14,
menyatakan: bahwa setiap orang berhak atas pengadilan yang formal yang
kompeten, independen, dan tidak memihak.
3. Vienna Declaration and Programme for Action 1993, paragraph 27,
menyatkaan bahwa salah satu hal yang penting dalam mewujudkan
hak-hak asasi manusia dan sangat diperlukan dalam proses demokratisasi serta
pembangunan yang berkelanjutan adalah adanya hakim dan profesi hukum
yang independen dan sesuai dengan standar yang ada dalam instrument
internasional hak-hak asasi manusia.
4. International Bar Association Code of Minimum Standarts of Judicial
Independence, New Delhi, 1982.
49
5. Universal Declaration of the Independent of Justice, Montreal, 1983.
6. Beijing Statement of Principle of the Independency Yudiciary in the Law
Asia Regions, 1995.
Secara etimologis, makna bebas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah:
a. Lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga
dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa);
b. Lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan sebagainya);
c. Tidak dikenakan (pajak, hukuman, dan sebagainya);
d. Tidak terikat atau terbatas oleh aturan dan sebagainya;
e. Merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau dipengaruhi oleh Negara lain atau
kekuasaan asing);
f. Tidak terdapat (didapati) lagi.
Dalam konteks kebebasan hakim, yang perlu diperhatikan dari makna
bebas tersebut yaitu arti pada huruf e yang merupakan arti khusus. Sifat merdeka
berarti menunjukkan kemandirian hakim dalam memutuskan perkara yang
dihadapkan padanya tanpa campur tangan pihak lain, baik dari pihak eksekutif
maupun legislatif atau lainnya.
Namun, kemerdekaan hakim tidaklah bersifat mutlak, tetapi dibatasi oleh
hukum yang berlaku. Di samping dipengaruhi oleh integritas dirinya dalam
menetapkan apa yang adil dan tidak adil, hakim harus memutus suatu perkara
dalam menjamin rasa keadilan para pencari keadilan dibatasi oleh rambu-rambu,
seperti: akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, dan pengawasan.
Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam
implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu
sendiri.Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun
substansial/materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi kekuasaan
kehakiman agar dapat melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan
bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated50” pada Hukum dan
tidak dapat bertindak “contra legem51.”52
Dari hakim diharapkan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa
yang benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara dan mengakhiri sengeketa
atau perkaranya.53Bagi hakim, dalam mengadili suatu perkara terutama yang
dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya.Peraturan
hukumnya hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah
peristiwanya.Ada kemungkinannya terjadi suatu peristiwa, yang meskipun sudah
ada peraturan hukumnya, justru lain penyelesaiannya.54
50Subordinated
adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan istilah yang menempatkan lebih rendah. Hakim adalah subordinated pada hukum berarti hakim berada di bawah hukum dan sebagai pelaksana hukum sesuai dengan konstitusi.
51Contra legem
atau against the law adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan yang bertentangan dengan hukum yang mengaturnya. Hakim bertingak contra legem berarti tindakan hakim dalam putusannya melanggar larangan yang ditentukan dalam pasal undang-undang tertentu dengan cara menyingkirkan penerapan pasal tersebut.
52
Paulus E Lotulung, op.cit. 53
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit, hal. 32. 54
Faktor-faktor politis ada di samping dan di atas hakim.Sedangkan masih
ada faktor sosial-ekonomi yang mempengaruhi kebebasan dan kemerdekaan
hakim.Faktor sosial misalnya menjamurnya praktek main hakim sendiri di
kalangan masyarakat, karena kurang percayanya pada putusan hakim.Munculnya
demonstrasi yang mendesak hakim agar memutus sesuai dengan kehendak
demonstran atau pihak yang menggerakkannya.Menyangkut faktor ekonomi, gaji
hakim sangat menentukan pula atas merdeka tidaknya hakim dalam mengambil
keputusan.55
Dalam praktiknya, banyak pencari keadilan yang dikorbankan oleh
penyalahgunaan kebebasan hakim ini, karena hakim keliru memahami makna
kebebasan peradilan (judicial independency), sehingga peradilan melalui
hakim-hakimnya melakukan pelanggaran batas dan penyalahgunaan kewenangannya,
yang mengakibatkan hakim identik dengan peradilan dan hukum.56
Hakim semacam ini tidak kekurangan alasan untuk membenarkan yang
salah dan/atau menyalahkan yang benar. Sikap dan perilaku hakim semacam ini
tentu telah menempatkan peradilan dan hakim di atas hukum, dimana
penyelesaian dan putusan yang dijatuhkan bukan lagi berdasarkan hukum, akan
teteapi menurut selera dan kemauan hakim yang bersangkutan. Dan biasanya
dalam konteks ini, hakim bersangkutan dalam memutus suatu perkara berdasarkan
“pesan sponsor” yang telah menyuapnya.Sedangkan bagi pihak yang telah
55
A. Hamzah, “Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman”, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
56
dikalahkan, hakim tersebut cukup menggunakan alasan klasik dan mengatakan,
“kalau anda tidak puas dengan putusan kami, silahkan anda melakukan upaya
hukum” baik banding atau kasasi.57
Implementasi kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah tercermin dalam
kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Pembentukan hukum
melalui putusan pengadilan, merupakan salah satu dari hasil proses pemeriksaan
perkara di muka pengadilan yang berada dalam ruang lingkup kekuasaan
kehakiman yang merdeka. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan satu
landasan teori untuk dapat menjawab permasalahan yang timbul dari
pembentukan hukum melalui putusan pengadilan.58
Sebagai suatu proses, penegakan hukum tidak pernah selesai karena salah
satu yang ditegakkan adalah keadilan yang merupakan nilai yang tidak dapat
dimaknai secara subyektif. Oleh karena itu, menurut Soepomo, hakim dalam
melaksanakan tugasnya menurut adat terikat dan bebas untuk meninjau secara
mendalam apakah putusan-putusan yang diambil pada waktu yang lampau masih
dapat dipertahankan berhubung adanya perubahan-perubahan di dalam
masyarakat disebabkan adanya pertumbuhan rasa keadilan yang baru dalam
masyarakat.59
Adanya ketentuan bahwa hakim merdeka dan bebas tidak berarti hakim
boleh bertindak serampangan, kewajibannya adalah menafsirkan hukum serta
prinsip-prinsip fundamental dan asumsi-asumsi yang berhubungan dengan hal itu
57Ibid. 58
H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 46. 59
berdasarkan perasaan keadilannya serta hati nuraninya.60 Apabila kebebasan yang dimiliki hakim kemudian diartikan menjadi kebebasan mutlak, dapat terjadi
kekuasaan yang sewenang-wenang, yang pada akhirnya akan kembali kepada
suasana yang menyebabkan lahirnya prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman.61
B. Putusan Hakim Dan Mekanisme Hakim Menjatuhkan Putusan Menurut
Hukum Acara Pidana Di Indonesia
Terbitnya UU Nomor 8 Tahun 1981 sebagai KUHAP, ketika itu disambut
sebagai prestasi luar biasa bangsa Indonesia. Itu dianggap prestasi karena telah
berhasil membentuk hukum sendiri, lepas dari sistem hukum kolonial yang
menindas selama berates tahun. Di antara prestasi itu, yang dicatat masuk ke
dalam KUHAP adalah 11 prinsip (asas) hukum yang sebelumnya tidak ada di
dalam HIR, yakni asas-asas legalitas, keseimbangan, praduga tak bersalah,
pembatasan penahanan, ganti rugi dan rehabilitasi, penggabungan pidana dengan
ganti rugi, unifikasi, diferensiasi tunggal, saling koordinasi, peradilan yang cepat
dan biaya ringan, serta peradilan yang terbuka untuk umum. Kesebelas prinsip
inilah yang dijabarkan ke dalam seluruh pasal dan ayat-ayat KUHAP.62
Kalau ditelaah secara teliti ketentuan dalam KUHAP, maka sistem
peradilan pidana Indonesia yang terdiri dari komponen kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakat sebagai aparat penegak hukum, setiap
komponen dari sistem tersebut seharusnya secara konsisten menjaga agar sistem
60
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ketigabelas, Jakarta: Gramedia, 1991, hal. 228.
61
H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 55. 62
tetap berjalan secara terpadu. Keempat aparat tersebut mempunyai hubungan yang
sangat erat satu sama lain. Bahkan, dapat saling menentukan.Masing-masing
komponen tersebut merupakan sub-sistem dalam keseluruhan sistem peradilan
pidana. Dalam sistem peradilan pidana, cara kerja sub-sistem harus terintegrasi
(terpadu) dengan sub-sistem lainnya. Harus ada persamaan persepsi dalam
mencapai tujuan pokok adanya sistem peradilan pidana.63
Penyidikan yang baik akan membawa pengaruh yang baik pula dalam
pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Penyidikan yang baik ini dikaji melalui
pra-penuntutan yang dilakukan oleh jaksa.64
Pelaksanaan penegakan hukum pidana yang sangat menarik perhatian
publik saat sekarang adalah mengadili perkara dan penjatuhan putusan oleh
pengadilan.Putusan yang dijatuhkan pengadilan kadang-kadang dianggap
masyarakat jauh dari keadilan.Bahkan tidak jarang setelah putusan diucapkan,
masyarakat mencari-cari kesalahan materi putusan/pertimbangan putusan atau
legal reasoning dari putusan tersebut. Ada juga pihak-pihak yang berperkara yang
tidak setuju dengan bunyi putusan minta supaya hakim yang memutus perkara
dilaporkan ke Komisi Yudisial karena kesalahan dalam proses pelaksanaan
persidangan dan dalam memutus perkara. Kesalahan tersebut sebenarnya menurut
ketentuan hukum acara, bagi pihak yang tidak menerima putusan karena dirasa
63
H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 186. 64
tidak adil, dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan yang lebih tinggi seperti
banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung.65
Sesungguhnya pengambilan putusan dalam perkara pidana dilakukan oleh
hakim yang independen melalui suatu proses persidangan. Proses tersebut
berperan dalam menentukan bagaimana putusan yang akan dijatuhkan. Sebaliknya
putusan yang dirasakan adil oleh masyarakat sangat tergantung juga dari proses
persidangan yang adil, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Semua
putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan
di sidang terbuka untuk umum.66
Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.Untuk memutus suatu perkara
pidana, maka terlebih dahulu hakim harus memeriksa perkaranya. Sebelum
putusan hakim diucapkan/dijatuhkan maka prosedural yang harus dilakukan
hakim dalam praktek lazim melalui tahapan sebagai berikut:67
a. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
b. Terdakwa dipanggil masuk ke depan persidangan dalam keadaan bebas
kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan identitas terdakwa serta
terdakwa diingatkan supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar
serta dilihatnya di persidangan.
65
H. Elfi Marzuni, “Peran Pengadilan Dalam Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia”, Makalah Seminar Peran Dan Fungsi Penegakan Hukum Dalam Menciptakan Keadilan Dan Kepastian Hukum, 10 April 2012.
66
Pasal 195 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 67
c. Pembacaan surat dakwaan untuk Acara Biasa (Pid.B) atau catatan
dakwaan untuk Acara Singkat (Pid.S) oleh Jaksa Penuntut Umum.
d. Selanjutnya terdakwa dinyatakan apakah sudah benar-benar mengerti akan
dakwaan tersebut, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti lalu Penuntut
Umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan
yang diperlukan.
e. Keberatan terdakwa atau penasihat hukum terhadap surat dakwaan Jaksa
Penuntut Umum.
f. Dapat dijatuhkan putusan sela/penetapan atau atas keberatan tersebut
hakim berpendapat baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara maka
sidang dilanjutkan.
g. Pemeriksaan alat bukti yang dapat berupa:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk; dan
e. Keterangan terdakwa.
h. Kemudian pernyataan Hakim Ketua Sidang bahwa pemeriksaan
dinyatakan “selesai” dan lalu Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana
(requisitoir).
i. Pembelaan (pleidoi) terdakwa dan atau penasihat hukumnya.
k. Pemeriksaan dinyatakan “ditutup” dan hakim mengadakan musyawarah
terakhir untuk menjatuhkan putusan.
Hukum Acara Pidana mempunyai spirit untuk menjamin adanya
pelaksanaan proses hukum yang adil dan layak (due process of law) dan
menghindarkan diri dari praktek penegakan hukum yang sewenang-wenang atau
arbitrary process di seluruh elemen dalam sistem peradilan pidana, mulai dari
kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai kepada lembaga pemasyarakatan.68
Satu-satunya kekuasaan dan kewenangan penegak hukum hanyalah
kewenangan yang bersumber dan berdasar undang-undang. Pembagian
kewenangan atau kekuasaan aparat penegak hukum dalam KUHAP berjalan
menurut alur (procedural design), melalui tiga tahap, yaitu: (1) tahap
pra-ajudikasi (pre-adjudication), atau tahap sebelum sidang pengadilan, dengan
sentral kekuasaan ada pada polisi/jaksa, (2) tahap ajudikasi (adjudication), sebagai
tahap di persidangan, dengan sentral kekuasaan ada pada hakim, dan (3)
purna-ajudikasi (post-adjudication), tahap setelah sidang pengadilan, dengan Lembaga
Pemasyarakatan sebagai sentral figurnya.69
Pemeriksaan secara inquisitoir dalam sistem kontinental Eropa
membuktikan adanya kepercayaan yang besar dalam menemukan fakta-fakta oleh
para pejabat Negara.Hakim memutus berdasarkan urutan penerimaan
pembuktian.Ia menginterogasi tersangka dan para saksi.Seperti halnya seorang
68
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993, hal. 6. dalam Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2007, hal. 101.
69
ahli sejarah, hakim pun berusaha untuk memperoleh gambaran yang obyektif dan
luas atau lengkap mengenai delik yang dituduhkan jaksa (penuntut umum) dan
pembela hanya memainkan peran pelengkap. Dengan demikian pemeriksaan
dalam persidangan secara inquisitoir merupakan pencaharian berdasarkan
wewenang bagi kebenaran dan bukan semata-mata merupakan debat tentang
pelbagai kemungkinan untuk meninjau fakta-fakta serta untuk menilai alat-alat
bukti. Pada pemeriksaan di hadapan sidang pengadilan dalam sistem kontinental,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk menguji dapat dipercaya tidaknya
seorang saksi dan keakuratan (ketelitian) keterangan yang diberikan digunakan
oleh hakim dalam interogasinya yang mendalam.70
Hakim pada umumnya mulai mengajukan pertanyaan dan setelah ia selesai
bertanya, kesempatan diberikan pada jaksa dan pembela untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan. Gaya dan tata caranya pemeriksaan dapat berbeda dari
pengadilan yang satu dengan yang lain demikian pula dari hakim yang satu
dengan yang lainnya. Gayanya pun tergantung kepada apakah terdakwa
didampingi oleh pembela.71
Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang sudah selesai, maka ia
mempersilakan penuntut umum membacakan tuntutannya (requisitoir). Setelah itu
giliran terdakwa atau penasihat hukumnya membacakan pembelaannya yang
dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau
70
Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana Dan Perbandingan Hukum, Cetakan kedua, 1984, Bandung: Armico, hal. 32.
71
penasihat hukumnya mendapat giliran terakhir.Tuntutan, pembelaan serta
jawabannya dilakukan secara tertulis.72
Jika acara tersebut selesai, maka berdasarkan Pasal 182 ayat (2) KUHAP,
hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan
ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua
sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa
atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya.Penjelasan Pasal tersebut
menyatakan pemeriksaan dapat dibuka sekali lagi dengan alasan untuk
menampung data tambahan untuk bahan musyawarah hakim.
Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan hari itu juga
atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum,
terdakwa, atau penasihat hukum.73Satu hal yang sangat penting tetapi tidak
disebut ialah berapa lama penundaan itu dapat berlangsung. Dalam Ned. Sv. Jelas
ditentukan bahwa penundaan penjatuhan putusan hakim itu paling lama dapat
berlangsung empat belas hari.74
Dengan berakhirnya dan ditutupnya pemeriksaan sidang, hakim akan
mengadakan pertimbangan. Pengadilan mengambil keputusan berdasarkan suara
mayoritas keputusannya diumumkan sebagai keputusan bersama.Pertimbangan
yang dilakukan oleh majelis hakim bersifat rahasia.Pada uraian berikutnya
mengenai struktur membuat keputusan yang menjadi dasar
72
Bandingkan dengan Pasal 182 ayat (1) KUHAP 73
Pasal 182 ayat (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 74
pertimbangan.Keputusan akan disajikan sebagai pertimbangan “pengadilan.”
Pengadilan mewakili baik majelis hakim maupun hakim tunggal.75
Akan tetapi sebelum ketua sidang menjatuhkan putusan, harus dilalui
beberapa tahap proses “formal.” Dikatakan formal, karena pada dasarnya tahap
proses itu harus dilalui, tetapi sifatnya tidak begitu “formalistis.” Seandainya
tahap tersebut tidak secara terang dan tegas dilalui, “tidak mengakibatkan batalnya
putusan.”Dan prosesnya pun lebih “bersifat intern” di antara majelis hakim yang
memeriksa perkara.Di samping bersifat intern, “sifatnya pun rahasia,” tidak
dilakukan di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.76
Putusan hakim ditentukan melalui musyawarah majelis hakim77
Musyawarah majelis ini sedapat mungkin merupakan permufakatan yang bulat,
kecuali jika hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka
ditempuh dua cara, yaitu: 78
a. Putusan diambil dengan suara terbanyak; dan
b. Jika yang tersebut a tidak diperoleh, maka yang dipakai adalah pendapat
hakim yang paling menguntungkan terdakwa.
Menurut pendapat Andi Hamzah, ketentuan tersebut sangat
menguntungkan terdakwa, karena jika seorang hakim memandang apa yang
75
Soedjono Dirdjosiworo, op.cit, hal. 118. 76
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, Edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 263.
77
Pasal 182 ayat (3) KUHAP:
“… hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruang sidang.”
78
didakwakan telah terbukti dan oleh karena itu terdakwa harus dipidana, sedangkan
seorang hakim lagi menyatakan bahwa hal itu tidak terbukti dan hakim yang
ketiga abstain, maka terjadilah pembebasan (vrijspraak) terdakwa.79
Pasal 182 ayat (4) KUHAP menegaskan bahwa musyawarah majelis
hakim yang dilakukan tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala
sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang.
Sama dengan putusan hakim dalam perkara perdata dibatasi oleh apa yang
digugat, hakim dalam perkara pidana tidak boleh memutus di luar yang
didakwakan jaksa. Idealnya ialah perbuatan yang sungguh-sungguh terjadi yang
didakwakan dan itu pula yang dibuktikan.Memang benar dominus litis adalah
jaksa (yang mewakili negara).Jaksa boleh menuntut satu feiten (perbuatan), tetapi
yang satu itu sungguh-sungguh terjadi dan sungguh-sungguh dibuktikan dengan
alat bukti yang cukup ditambah dengan keyakinan hakim.80
Pasal 182 ayat (7) KUHAP juga menyatakan bahwa pelaksanaan
pengambilan putusan dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan
khusus untuk keperluan itu da nisi buku tersebut sifatnya rahasia. Sementara itu,
Pasal 200 KUHAP menentukan bahwa surat keputusan ditandatangani oleh hakim
dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.
Hal lain yang harus diperhatikan yaitu bahwa Pasal 196 ayat (1) KUHAP
menentukan hakim memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali
ditentukan lain oleh KUHAP dan undang-undang lain. Pengecualian dalam
79
Andi Hamzah, op.cit, hal. 283. 80
KUHAP yaitu dalam hal acara pemeriksaan cepat, putusan hakim dapat
dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa.
Dalam undang-undang pidana khusus dikenal pula peradilan in absentia
yaitu pada delik ekonomi (Pasal 16 UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan, Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi) dikenal
peradilan in absentia terhadap orang yang tidak dikenal, tetapi terbatas pada
penjatuhan pidana perampasan barang-barang yang telah disita.Begitu pula dalam
delik korupsi (Pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi) dapat dijatuhkan pidana tanpa hadirnya terdakwa.81
Dalam putusan pemidanaan, Pasal 196 ayat (3) KUHAP juga menentukan
bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala
yang menjadi haknya setelah putusan diucapkan, yaitu:
a. Hak segera menerima atau menolak putusan;
b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau
menolaknya, dalam tenggang waktu yang ditentukan KUHAP;
c. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal
ia menerima putusan;
d. Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang
waktu yang ditentukan KUHAP, dalam hal ia menolak putusan;
e. Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud huruf a dalam tenggang
waktu yang ditentukan KUHAP.
81
Harus diingat, bahwa pertimbangan hakim dalam suatu putusan yang
mengandung penghukuman terdakwa, harus ditujukan kepada hal terbuktinya
peristiwa pidana yang dituduhkan kepada terdakwa.82
Untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum,
maka KUHAP melalui Pasal 183 telah mewajibkan hakim untuk menjatuhkan
pidana setelah ditemukan apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah83 ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang melakukannya.
Harus juga dipertimbangan keterangan terdakwa dalam sidang,
pertama-tama keterangan dimana ia berada pada waktu tindak pidana terjadi (jika tidak
tertangkap tangan). Apakah keterangan terdakwa tentang alibi84 adalah masuk
akal dan barangkali dapat dikuatkan oleh seorang saksi, atau sebaliknya
bertentangan dengan keterangan lain orang saksi.85
Menurut Moelyatno, proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim
dalam perkara pidana adalah sebagai berikut:86
82
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana Di Indonesia, Cetakan kelima, Bandung: Sumur Bandung, 1962, hal. 95.
83
Pasal 184 ayat (1) KUHAP: “Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
Alibi merupakan keterangan yang menyatakan bahwa terdakwa berada di lain tempat pada saat tindak pidana terjadi.
85Ibid. 86
a. Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana
Pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan
pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu
perbuatan sebagai tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana.Ditinjau
dari segi tersebut, tampak sebagai perbuatan yang merugikan atau yang
tidak patut dilakukan atau tidak.Jika perbuatan terdakwa memenuhi
unsur-unsur dalam suatu pasal hukum pidana, maka terdakwa dinyatakan
terbukti melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya.
b. Tahap Menganalisis Tanggung Jawab Pidana
Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana
melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat
dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang
dilakukannya.Dapat dipidananya seseorang harus memenuhi dua syarat,
yaitu pertama, perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi
perbuatan pidana, dan yang kedua, perbuatan yang dilakukan itu dapat
dipertanggungjawabkan sebagai suatu kesalahan (asas geen straf zonder
schuld).
c. Tahap Penentuan Pemidanaan
Dalam hal ini, jikalau hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah melakukan
perbuatan yang melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah atas
perbuatannya, dan kemudian perbuatannya itu dapat
dipertanggungjawabkan oleh si pelaku, maka hakim akan menjatuhkan
Menurut Soerjono Soekanto, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
hakim dalam mengambil suatu putusan. Faktor-faktor itu adalah:87
a. Raw in-put, yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan suku, agama,
pendidikan informal dan sebagainya;
b. Instrumental in-put, yakni faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan
pendidikan formal;
c. Environtment in-put, yakni faktor lingkungan, sosial budaya yang
mempunyai pengaruh dalam kehidupan seorang hakim, umpamanya
lingkungan organisasi dan seterusnya.
Yahya Harahap lebih merinci faktor-faktor tersebut sebagai faktor
subjektif dan faktor objekif.88
Faktori subjektif:
a. Sikap perilaku yang apriori
Adanya sikap seorang hakim yang sejak semuila sudah menganggap
bahwa terdakwa adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus
dipidana.
b. Sikap perilaku emosional
Putusan pengadilan akan dipengaruhi perangai seorang hakim. Hakim
yang mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan
perangai seorang hakim yang tidak mudah tersinggung. Demikian pula
87
H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal 116.
88
dengan putusan dari seorang hakim yang sudah marah dan pendendam
akan berbeda dengan putusan seorang hakim yang sabar.
c. Sikap Arrogance Power
Sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakan
kekuasaan.” Di sini hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi
orang lain (jaksa, pembela, apalagi terdakwa).
d. Moral
Amat berpengaruh adalah moral seorang hakim karena bagaimanapun juga
pribadi seorang hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari oleh moral
pribadi hakim tersebut terlebih dalam memeriksa serta memutuskan suatu
perkara.
Faktor objektif:
a. Latar belakang budaya
Kebudayaan, agama, pendidikanm seorang hakim tentu ikut
mempengaruhi suatu putusan hakim.Meskipun latar belakang hidup
budaya tidak bersifat determinis, tetapi faktor ini setidak-tidaknya ikut
mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu keputusan.
b. Profesionalisme
Kecerdasarn serta profesionalisme seorang hakim ikut mempengaruhi
keputusannya.Perbedaan suatu putusan pengadilan sering dipengaruhi oleh
profesionalisme hakim tersebut.
Mahkamah Agung RI sebagai badan tertinggi pelaksana kekuasaan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
Negara, telah menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala
aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan sosiologi, sehingga keadilan yang ingin
dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah
keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral
(moral justice), dan keadilan masyarakat (social justice).89
Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan
berpatokan kepada undang yang berlaku.Hakim sebagai aplikator
undang-undang, harus memahami undang-undang dengan mencari undang-undang yang
berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi.Hakim harus menilai apakah
undang-undang tersebut adil, ada kemanfaatannya, atau memberikan kepastian
hukum jika ditegakkan, sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah
menciptakan hukum.90
Mengenai aspek filosofis, merupakan aspek yang berintikan pada
kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis, mempertimbangkan tata
nilai budaya yang hidup dalam masyarakat.Aspek filosofis dan sosilogis,
penerapannya sangat memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas serta
kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat yang
terabaikan.Jelas penerapannya sangat sulit sebab tidak mengikuti asas legalitas
dan tidak terikat pada sistem. Pencantuman ketiga unsur tersebut tidak lain agar
putusan dianggap adil dan diterima masyarakat.91
89
Achmad Rifai, op.cit, hal. 126. 90Ibid.
91
Perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan ini adalah mengenai
dissenting opinion.Yang dimaksud dengan dissentiong opinion adalah opini atau
pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju
(disagree) dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis
hakim.Jadi, pada dasarnya dissenting opinion adalah pendapat tertulis yang
dikeluarkan oleh seorang hakim yang tidak setuju dengan keputusan mayoritas
hakim dalam suatu majelis.Dissenting opinion ini biasanya dimuat dalam bagian
akhir putusan setelah putusan mayoritas.92
Secara kasuistis, putusan hakim selalu dihadapkan pada 3 (tiga) asas, yaitu
asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan.Namun, dalam praktik
peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mengakomodir ketiga asas
tersebut di dalam satu putusan.Dalam menghadapi keadaan ini, hakim harus
memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan
tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu
putusan.Oleh karena itu, hanya hakim sendirilah yang dapat
mempertanggungjawabkan putusannya secara moral, yaitu kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
C. Yurisprudensi Sebagai Dasar Hakim Memutus Di Luar Dakwaan
Istilah yurisprudensi, berasal dari kata Juridprudentia (Bahasa Latin) yang
berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid). Kata yurisprudensi sebagai istilah
teknis Indonesia, sama artinya dengan kata “Jurisprudentie” dalam Bahasa
92
Belanda dan “Jurisprudence” dalam Bahasa Perancis, yaitu Peradilan-Tetap atau
Hukum-Peradilan.93
Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif, yang
berisi kaedah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang
bersangkutan atau terhukum.Jadi putusan pengadilan hanya mengikat orang-orang
tertentu saja dan tidak mengikat setiap orang secara umum seperti
undang-undang.Putusan pengadilan adalah hukum sejak dijatuhkan sampai
dilaksanakan.Sejak dijatuhkan putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat
bagi para pihak yang berperkara, mengikat para pihak untuk mengakui eksistensi
putusan tersebut.Putusan pengadilan mempunyai kekuatan berlaku untuk
dilaksanakan sejak putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap.Setelah
dilaksanakan, putusan pengadilan itu hanyalah merupakan sumber hukum.94
Yurisprudensi merupakan putusan hakim yang kemudian dijadikan dasar
untuk menyelesaikan kasus-kasus yang serupa di kemudian hari. Hal ini akan
terjadi jika telah beberapa kali kasus-kasus yang serupa diputus dengan cara yang
kurang lebih sama. Perulangan itu kemudian menimbulkan rasa keharusan untuk
memutuskan dengan cara yang sama setiap kali kasus serupa terjadi. Dengan
demikian, dapat dikatakan telah terbentuk hukum melalui keputusan hakim (judge
made law).
Dalam sistem hukum Kontinental, termasuk sistem peradilan di Indonesia,
hakim tidak perlu mengikuti putusan-putusan terdahulu mengenai perkara
93
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Sekanto, Perundang-undangan Dan Yurisprudensi, Cetakan keempat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 47.
94
sejenis.Oleh karena itu di Indonesia pada asasnya hakim tidak terikat pada
precedent atau putusan hakim terdahulu mengenai perkara atau persoalan hukum
yang serupa dengan yang akan diputuskannya. Jadi, hakim yang hendak
memutuskan perkara tidak wajib mengikuti atau terikat pada putusan pengadilan
yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan
diputuskannya. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak sedikit hakim berkiblat
pada putusan-putusan pengadilan yang lebih tinggi atau Mahkamah Agung
mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputuskannya. Hal ini tidak
mengherankan, karena dengan adanya kemungkinan diajukannya kasasi ke
Mahkamah Agung maka hakim dari tingkat pengadilan yang lebih rendah
cenderung untuk menghormati putusan Mahkamah Agung.Sudah menjadi sifat
pembawaan peradilan bahwa dua perkara yang serupa diputus serupa pula.95
Dalam mengikuti perkembangan zaman dan masyarakat, undang-undang
tidak seluwes putusan pengadilan.Undang-undang itu mengatur peristiwa, tetapi
seringkali peristiwanya telah berkembang jauh sedangkan undang-undangnya
belum juga berubah. Tidak mengherankan kalau ada ungkapan yang berbunyi
“het recht hinkt achter de feiten aan,” yang berarti bahwa hukum itu ketinggalan
dari peristiwanya. Yang dimaksudkan dengan hukum di sini dengan sendirinya
adalah hukum yang tertulis atau undang-undang.Perubahan undang-undang harus
melalui prosedur, sehingga tidak dapat setiap saat dilakukan untuk dapat
menyesuaikan dengan keadaan. Lain halnya dengan putusan hakim, yang pada
hakekatnya merupakan pelaksanaan undang-undang, setiap saat apabila diajukan
95
peristiwa dapat dijatuhkan untuk menyesuaikan undang-undang dengan
keadaan.96
Undang-undang pada dasarnya tidak lengkap karena memang sengaja
dibuat dan diperuntukkan pada zamannya, sehingga disesuaikan dengan keadaan
pada waktu undang itu diundangkan. Makin tua usia suatu
undang-undang, maka akan makin banyak timbul yurisprudensi yang berkaitan dengan
undang-undang tersebut guna penafsiran lebih lanjut atas undang-undang itu
dengan keadaan baru.
Penting tidaknya yurisprudensi sebagai sumber hukum, harus dihubungkan
dengan anggapan-anggapan mengenai tugas hakim. Mengenai apa tugas hakim
itu, terdapat bermacam-macam anggapan, antara lain:97
a. Anggapan dari Aliran Legisme
Menurut aliran ini, maka yurisprudensi tidak atau kurang penting, oleh
karena dianggap bahwa semua hukum terdapat dalam
undang-undang.Hakim di dalam melakukan tugasnya terikat pada undang-undang,
sehingga pekerjaannya hanya melakukan pelaksanaan undang-undang
belaka (wetstoepassing) dengan jalan jurisdische-sylogisme, yaitu suatu
deduksi logis dari suatu perumusan yang luas (preposisi mayor) kepada
suatu keadaan khusus (preposisi minor), sehingga sampai pada suatu
kesimpulan (conclusion). Contohnya adalah sebagai berikut:
1. Siapa membeli harus membayar (preposisi mayor);
2. Si A membeli (preposisi minor);
96Ibid.
, hal. 113. 97
3. Si A harus membayar (conclusion).
b. Anggapan dari Freie Rechtsbewegung
Aliran ini beranggapan, bahwa di dalam melaksanakan tugasnya seorang
hakim bebas untuk melakukannya menurut undang-undang atau tidak.Hal
ini disebabkan oleh karena pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan
hukum (rechtschepping).Akibatnya adalah, bahwa memahami
yurisprudensi merupakan hal yang primer di dalam mempelajari hukum,
sedangkan undang-undang merupakan hal yang sekunder.
c. Aliran Rechtsvinding
Aliran ini boleh dianggap sebagai alirang tengah antara aliran legisme dan
freie rechtsbewegung. Menurut aliran ini, memang benar hakim terikat
pada undang-undang, akan tetapi tidaklah seketat sebagaimana
dimaksudkan oleh aliran legisme, oleh karena hakim juga mempunya
kebebasan. Akan tetapi, kebebasan hakim bukanlah seperti anggapan
aliran freie rechtsbewegung, sehingga di dalam melakukan tugasnya hakim
mempunyai apa yang disebut sebagai kebebasan yang terikat (gebonden
vrijheid) atau keterikatan yang bebas (vrije gebondheid). Oleh sebab itu,
maka tugas hakim disebutkan sebagai melakukan “Rechtsvinding” yang
artinya adalah menyelaraskan undang-undang pada tuntutan zaman
(aanpassen van de wet de eisen van de tijd). Kebebasan yang terikat dan
keterikatan yang bebas tersebut terbukti dari adanya beberapa wewenang
hakim, seperti:
2. Komposisi yang mencakup:
a. Analogi (abstraksi), yaitu mempergunakan undang-undang
untuk suatu peristiwa yang tidak disebutkan dalam
undang-undang tersebut, dengan jalan mengabstraksikan
(memperluas) isi atau makna undang-undang yang
merumuskan suatu peristiwa khusus tertentu menjadi
perumusan yang bersifat khusus tertentu menjadi peristiwa
yang bersifat luas, supaya dapat dipergunakan untuk
mencakup peristiwa-peristiwa lainnya (dari khusus ke luas).
b. Rechtsverfijning (Determinatie), yaitu membuat
pengkhususan dari suatu asas dalam undang-undang yang
mempunyai arti luas (dari luas ke khusus).
Dari anggapan aliran Rechtsvinding tersebut dapatlah diketahui betapa
pentingnya yurisprudensi untuk dipelajari, di samping perundang-undangan, oleh
karena di dalam yurisprudensi terdapat banyak garis-garis yang berlaku dalam
masyarakat, akan tetapi yang tidak dapat terbaca di dalam undang-undang. Jadi,
memahami hukum dalam perundang-undangan saja, tanpa mempelajari
yurisprudensi, tidaklah lengkap.98
Di dalam perkara pidana, dasar pemeriksaan sidang pengadilan adalah
surat dakwaan. Pengadilan menjatuhkan putusan berdasarkan fakta-fakta yang
terungkap dalam pemeriksaan sidang yang didasarkan pada surat dakwaan
98
tersebut. Oleh karena itu, pengadilan tidak dibenarkan untuk memutus hal-hal
yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan.
Djoko Prakoso menyatakan: “Dapat dikatakan bahwa salah satu asas yang
paling fundamental dalam proses pidana adalah keharusan pembuatan surat
dakwaan. Ia memuat fakta-fakta yang didakwakan terhadap seorang terdakwa dan
hakim hanya boleh memutuskan atas dasar fakta-fakta tersebut, tidak boleh
kurang atau lebih. Oleh sebab itu, surat dakwaan dipandang sebagai suatu litis
contestatio99.”
Namun demikian, perlu pula diingat bahwa yurisprudensi merupakan salah
satu sumber hukum.Bahkan dalam perkembangan praktek peradilan dewasa ini
yurisprudensi telah menempatkan diri pada posisi yang sangat dominan dalam
mengisi ruang-ruang kosong yang tidak terjangkau oleh pengaturan hukum
melalui undang-undang. Yurisprudensi sebagai putusan pengadilan pada tingkat
peradilan tertinggi, akan mewarnai praktek peradilan. Karena yurisprudensi
memecahkan permasalahan-permasalahan hukum yang ditemukan dalam
praktek.100
Hakim di depan persidangan melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa
berdasarkan surat dakwaan dari Penuntut Umum. Pada hakikatnya, hakim tidak
boleh merubah surat dakwaan sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 589 K/Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984 dan hakim
juga dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa tidak diperkenankan
menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang tidak didakwakan oleh Penuntut
99Litis contestaio
adalah istilah yang digunakan merujuk kepada dasar hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara.
100
Umum dalam surat dakwaannya sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/Pid/1983 taggal 26 Mei 1984.101 Selain
itu, dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 47 K/Kr/1956 tanggal 23 Maret
1957 dan Nomor 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976 ditegaskan bahwa
putusan pengadilan harus didasarkan pada tuduhan (dakwaan).102
Akan tetapi, terhadap hal ini ada perkembangan menarik dan merupakan
terobosan baru dari Mahkamah Agung RI. Terdapat beberapa putusan pengadilan
yang memutus suatu tindak pidana yang secara tegas tidak dirumuskan dalam
surat dakwaan dapat dibenarkan, apabila tindak pidana yang dinyatakan terbukti
tersebut sejenis dengan tindak pidana yang didakwakan (yang dirumuskan secara
tegas dalam surat dakwaan). Misalnya, terdakwa didakwa secara tunggal
melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP, tetapi yang terbukti adalah Pasal 360 ayat
(2) KUHP, terdakwa dapat dijatuhi pidana sesuai Pasal 360 ayat (2) KUHP
walaupun pasal ini tidak didakwakan.103
Yurisprudensi demikian dapat dilihat pada putusan-putusan Mahkamah
Agung berikut ini.
a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 818 K/Pid/1984 yang menyatakan
bahwa walaupun yang dituduhkan pasal 310 KUHP, terdakwa dapat
dipersalahkan dan dihukum karena melanggar pasal 315 KUHP;
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 42 K/Kr/1956 tanggal 3 Oktober 1956
yang menyatakan bahwa dalam tuduhan atas “pembunuhan berencana”
101
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoretis Dan Praktik, Bandung: Alumni, 2008, hal. 41.
102
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam PraktikHukum, Edisi Revisi Cetakan kesepuluh, 2004, Malang: UMM Press, hal. 223.
103
termasuk pula tuduhan atas “pembunuhan,” karena pembunuhan
berencana tidak lain daripada pembunuhan yang telah direncanakan lebih
dahulu dengan ketenangan hati. Maka orang yang dituduh melanggar pasal
340 KUHP tetapi di sidang hanya terbukti bersalah melanggar pasal 338
KUHP, ia dapat dipersalahkan atas kejahatan pembunuhan;
c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 693 K/Pid/1986 tanggal 12 Juli 1986
dan putusan Mahkamah Agung Nomor 675 K/Pid/1987 tanggal 21 Maret
1989 menyatakan bahwa terdakwa dapat dijatuhi pidana dengan delik
sejenis yang sifatnya lebih ringan, karena dianggap delik tersebut termasuk
di dalamnya.
Akhirnya, surat dakwaan yang merupakan dasar pemeriksaan hakim di
depan sidang pengadilan tersebut, dalam putusan haruslah dicantumkan. Hal ini
limitatif sifatnya, sebagaimana ditentukan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf c
KUHAP. Apabila hal ini dibaikan, atas pelanggaran demikian berdasarkan
ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
694 K/Pid/1984 tanggal 15 Mei 1994 mengakibatkan putusan hakim batal demi
hukum.
Mengingat bahwa yurisprudensi yang sudah menjadi tetap (yurisprudensi
konstan) selalu digunakan dan dipedomani oleh hakim, maka dapat dikatakan
bahwa yurisprudensi merupakan sumber hukum formil. Formil karena terjadi
Dalam sistem hukum Common Law, hakim terikat pada precedent atau
putusan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputus. Hakim harus
berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu apabila ia dihadapkan
pada suatu persitiwa, sehingga dianut asas “binding precedent.” Sedangkan, di
Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law, putusan pengadilan bersifat
“persuasive precedent.”Jadi, putusan itu tidak mempunyai kekuatan mengikat,