BAB I
Pendahuluan
I.1. Latar Belakang Masalah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang
diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Sedangkan yang
dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Otonomi daerah menurut para pendukungnya merupakan sarana demokratisasi.
Pemerintahan yang menerapkan otonomi daerah cenderung menciptakan efek penguatan
dalam proses demokratisasi karena aspek edukatif otonomi daerah. Otonomi daerah
memberikan peluang kalangan masyarakat dalam debat politik dan dalam pemilihan para
wakilnya. Didalam Undang – Undang otonomi daerah sendiri juga diakui bahwa
demokratisasi merupakan tujuan eksplisit yang hendak dicapai.Otonomi daerah merupakan
sebuah terobosan dalam sistem pemerintahan dimana pemerintah daerah diberikan
kewenangan oleh pemerintahan pusat dalam mengelola daerahnya sesuai dengan potensi
daerah masing – masing. Artinya adalah bahwa disini pemerintah pusat memberikan kepada
daerah sebuah kewenangan strategis dalam mengelola dan memutuskan strategi kebijakan di
daerah.
DR. M. Mas’ud Said, menjelaskan definisi otonomi daerah itu adalah:
Sebagai sebuah proses devolusi dalam sektor publik dimana terjadi pengalihan wewenang
dari pemerintah pusat kepada pemerintahan provinsi dan kabupaten / kota. Dengan kata lain,
dalam konteks Indonesia otonomi daerah diartikansebagai proses pelimpahan kekuasaan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan kabupaten / kota sebagaimana yang
diamanatkan oleh UU.1
Dalam mengamalkan dan melaksanakan otonomi daerah, haruslah dikonsep aturan
mainnya dalam bentuk Undang – Undang. Hal ini guna menghindari pelaksanaan otonomi
1
daerah tidak mengalami kekacauan selain itu Undang – Undang yang ada nantinya dapat
menjadi rujukan dan pedoman bagi daerah – daerah untuk melaksanakan otonomi daerah
dengan baik.
Adapun Undang – Undang yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah antara
lain: Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah.
Pada masa orde baru telah dikonsep sebuah Undang – Undang terkait dengan otonomi
daerah yakni UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok – pokok pemerintahan daerah. Namun
meski dikatakan UU mengenai pembagian kewajiban dan hak daerah, namun pada
kenyataannya UU ini hanya menunjukkan betapa kontrol pusat terhadap daerah begitu kuat
(sentralisasi). Kenyataan ini akhirnya menimbulkan ketergantungan daerah begitu kuat
terhadap pusat.
UU otonomi daerah sendiri secara benar mulai dikonsep dan disahkan pada masa
kepemimpinan presiden B.J Habibie dengan keluarnya UU No. 22 tahun 1999 tentang
landasan hukum pemerintahan daerah. Dengan terciptanya UU No. 22 tahun 1999 ini maka
diharapkan dapat mengakomodasi perubahan paradigma pemerintahan dan dapat
mengedepankan prinsip – prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, memperhatikan perbedaan potensi dan keanekaragaman, serta dapat mencegah
disintegrasi bangsa. 2
Pada tahap berikutnya dibawah kepemimpinan Presiden Megawati dilakukanlah
evaluasi yang mendasar terhadap UU otonomi daerah yang lama, maka lahirlah UU No. 32
tahun 2004 sebagai landasan hukum pemerintahan daerah yang baru menggantikan UU No.
22 tahun 1999 yang dianggap tidak lagi sesuai dengan UUD 1945 yang telah diamandemen.3
Dalam proses pembuatan konsepnya, otonomi daerah memiliki tujuan – tujuan yang
diharapkan dapat dicapai nantinya ketika otonomi daerah ini dijalankan di lingkungan
pemerintahan daerah dan perangkat – perangkatnya. Dalam UU No 22. Tahun 1999 yang
lama dijelaskan bahwa tujuan dari lahirnya Undang – Undang pemerintahan daerah adalah
2
Agussalim Andi Gadjong, SH, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia, 2007, Hal. 161
sebagai antisipasi pembaharuan dan sebagai penyempurnaan dari beberapa aturan yang
melandasi pelaksanaan pemerintahan daerah yang sudah tidak efektif dalam perkembangan
yang ada saat ini. Di satu sisi, Undang – Undang ini juga sebagai implementasi dari beberapa
aturan mendasar, dengan tegas dan jelas memberikan batasan – batasan, beberapa pengertian
sebagai acuan atau dasar dari pelaksanaan pemerintahan daerah dan DPRD, yang disatu sisi
menempatkan kepala daerah beserta perangkat daerah otonom sebagai badan eksekutif dan
DPRD sebagai badan legislatif daerah.
Ketika membicarakan mengenai otonomi daerah maka tidak terlepas dari adanya
penyerahan wewenang yang lebih luas kepada daerah dalam hal penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Hal ini merupakan perwujudan dari semangat desentralisasi yang
dibawa oleh konsep otonomi daerah ini. UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
dinilai tidak layak lagi sebab jiwa UU ini kurang begitu mendukung terciptanya demokrasi
yang menjunjung tinggi nilai – nilai demokrasi itu sendiri. UU ini cenderung menghasilkan
demokrasi yang ‘kebablasan’, dan memunculkan ‘raja – raja’ kecil di daerah.4
Dengan latar belakang seperti itu akhirnya dibuatlah revisi UU yang lama yaitu UU
No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Selain alasan diatas, perubahan ini juga
didasarkan oleh amanat UUD 1945 hasil amandemen bahwa pemberian otonomi luas kepada
daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui
otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.5
Otonomi daerah yang kita anut seperti yang dijelaskan diatas, berpedoman atas
azasdesentralisasi. Desentralisasi sendiri adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.6
4
J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, Hal. 69
5
Ibid, Hal. 72 6
UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 7
Dari sini dapat diartikan bahwa otonomi daerah
saat ini merupakan sebuah pembagian kewenangan yang lebih luas kepada daerah oleh pusat
untuk menjalankan pemerintahan di daerah dengan tanpa melepas wewenang pusat atas
daerah. Berbeda dengan federasi, sistem federasi merupakan sebuah sistem dimana
pemerintah pusat member kewenangan sepenuhnya kepada daerah untuk mengatur dan
Desentralisasi pada hakikatnya memiliki arti yang baik, karena pembagian antara
kewenangan pusat dan daerah dapat dibagi tanpa merusak kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Disamping itu, tujuan dari penerapan azas desentralisasi juga
untuk menghindari timbulnya raja – raja kecil di daerah karena dengan masih adanya
wewenang pusat atas daerah, maka masalah raja – raja kecil dapat diatasi.
Namun, meskipun ada dalam UU otonomi daerah yang baru telah dijelaskan bahwa
daerah diberikan otonomi yang seluas – luasnya dan bertanggung jawab berdasarkan hak dan
kewajibannya, kenyataannya tidak demikian begitu banyak keterikatan antara daerah kepada
pemerintah pusat serta kewenangan pusat terhadap daerah melalui asas pembinaan dan
pengawasannya. Poin yang paling ditekankan adalah soal hubungan antara susunan
pemerintahan bahwa antara pemerintah pusat, provinsi, daerah kabupaten/kota hingga
desa/kelurahan memiliki sebuah garis yang tidak mungkin terputus. Suatu pemerintahan di
level manapun akan bertanggung jawab kepada pemerintah diatasnya, sementara pemerintah
diatasnya wajib melakukan pengawasan dan pembinaan bahkan berhak memberikan sanksi
kepada pemerintah dibawahnya.
Hal lainnya yang dapat mengakibatkan dilema dalam pemerintahan daerah adalah
peran DPRD di daerah. Pada UU No.22 tahun 1999 dikatakan, seorang kepala daerah akan
bertanggung jawab kepada DPRD di daerah yang bersangkutan. Namun hal ini berubah
dalam UU No.32 tahun 2004, dimana kepala daerah oleh karena diplih secara langsung tidak
bertanggung jawab lagi kepada DPRD daerah melainkan kepada pemerintah di atasnya.
Sedangkan status DPRD adalah tidak lebih dari salah satu unsur pelenggara pemerintah
daerah, dilain pihak kepala daerah adalah pimpinan penyelenggara daerah, dengan kata lain
DPRD posisinya sedikit dibawah kepala daerah.
Disamping itu permasalahan yang paling utama adalah terkait dengan kedudukan
kepala daerah. Kepala daerah yang dipilih oleh rakyat secara langsung beradasarkan UU No.
32 tahun 2004 masih tetap berada dibawah kewenangan dari pusat baik dalam soal
pengelolaan, pertanggung jawaban, maupun pembinaan dan pengawasan, sehingga tidak
sembarangan membuat sebuah keputusan yang strategis kepada daerahnya. Hal ini tentu saja
dapat menimbulkan sebuah dilema bagi kepala daerah. Ketika mereka ingin menerapkan
sebuah kebijakan didaerahnya, namun karena tidak mendapat persetujuan dari pusat maka
kebijakan itu harus kandas. Situasi sebaliknya terjadi ketika pemerintah pusat menerapkan
sebuah kebijakan yang kontroversial, mau tidak mau pemerintah di daerah harus
mematuhinya. Kasus isu kenaikan bahan bakar minyak misalnya, banyak pemerintahan di
pemerintah pusat. Secara politis yang berhak memberikan sanksi kepada kepala daerah
adalah rakyat yang memilihnya. Namun yang terjadi, setelah kepala daerah terpilih, mereka
justru otomatis berada dibawah pemerintah pusat, sehingga dapat dikatakan posisi
masyarakat daerah hanya sebagai pemilih dalam pemilukada saja.
Permasalahan yang dialami oleh pemerintahan daerah ini dapat berdampak tidak
berjalannya fungsi perangkat penyelenggara pemerintahan di daerah. DPRD yang seharusnya
mempunyai fungsi sebagai pengawas pemerintahan daerah akhirnya tidak lebih dari lembaga
yang hanya sebagai simbol demokrasi. Kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat
akhirnya menjadi lebih mementingkan apa keinginan pemerintah pusat dan mengabaikan
aspirasi rakyatnya. Hal ini semua dikarenakan kerancuan yang terjadi dalam UU Otonomi
daerah No. 32 tahun 2004.
Saya merasa tertarik untuk meneliti karena saya ingin melihat bagaimana dampak
wewenang desentralisasi yang dimiliki oleh pemerintah pusat berdasarkan UU No.32 tahun
2004 mempengaruhi kekuasaan kepala daerah yang seharusnya memiliki legitimasi yang kuat
karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga otomatis juga bertanggung jawab kepada rakyat
di daerahnya, namun disisi lain harus tunduk kepada pusat.
Pada penelitian ini yang menjadi objek penelitian saya adalah Pemerintahan
Kabupaten Tapanuli Tengah, karena selain saya mengenal daerah ini, daerah ini juga baru
saja melewati pesta demokrasi di tingkat lokal dan sudah memiliki kepala daerah yang baru
yakni Bonaran Situmeang. Hal menarik lainnya bahwa kepala daerah yang terpilih benar –
benar terpilih atas kehendak masyarakat. Hal ini terbukti dengan tingkat persentasi
kemenangan yang mencapai 62% dengan partisipasi masyarakatnya mencapai 70% sehingga
memiliki legitimasi yang kuat tetapi harus dihadapkan dengan masih adanya wewenang pusat
atas daerah. Sehingga saya tertarik melakukan penelitian tentang bagaimana dampak
desentralisasi berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 dalam mempengaruhi kekuasaan kepala
daerah di kabupaten Tapanuli Tengah terkait dengan legitimasinya sebagai pemimpin yang
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang dapat penulis ambil
adalah:
1. Apakah kondisi penyelenggaraan pemerintahan daerah di kabupaten Tapanuli
Tengah berjalan dengan baik dengan adanya UU No. 32 tahun 2004 ?
2. Apakah UU No. 32 tahun 2004 tersebut memberikan pengaruh negatif atau positif
terhadap kekuasaan kepala daerah dalam menjalankan pemerintahannya?
I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Ingin mengetahui bagaimana kondisi penyelenggaraan pemerintahan di daerah
kabupaten Tapanuli Tengah, apakah berjalan semestinya atau tidak, dikarenakan
oleh penerapan UU No. 32 tahun 2004
2. Ingin mengetahui pengaruh positif maupun negatif yang ditimbulkan oleh UU No.
32 tahun 2004 terhadap kekuasaan kepala daerah
I.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat sebagai sebagai sebuah proses untuk
mengasah kemampuan dalam menulis ilmiah. Dan memberikan pengetahuan
yang baru bagi peneliti sendiri.
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dalam bidang politik khususnya yang terkait dengan Otonomi Daerah.
3. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan bermanfaat bagi lembaga politik
dan lembaga pemerintahan khususnya yang berada di daerah. Dan juga
memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah
khazanah ilmu pengetahuan dan ilmu politik dan menjadi referensi/kepustakaan
bagi Departemen Ilmu Politik FISIP USU.
I.5. Kerangka Teori
Salah satu unsur penting dalam sebuah penelitian adalah penyusunan kerangka teori,
karena teori berfungsi sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan darimana peneliti
asumsi, konsep, konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.7
• “Pertama, adanya persepsi bahwa otonomi daerah memberdayakan pemerintahan daerah dan masyarakat daerah. Landasan bagi penerapan otonomi daerah ialah bahwa UUD 1945 menegaskan kebutuhan untuk mewujudkan pengelolaaan pemerintahan yang mandiri dan otonom. Para perancang UU otonomi daerah yakin bahwa salah Adapun teori – teori yang penulis gunakan dalam menjawab masalah dalam penelitian
adalah: teori tentang kekuasaan, Pemerintahan dan definisi otonomi daerah. Berikut
merupakan penjelasan mengenai teori – terori yang akan digunakan.
I.5.1 Otonomi Daerah
Dalam Undang – Undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
memberikan makna otonomi daerah pada pasal 1 ayat 5: “ otonomi adalah hak, wewenang
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang – undangan”.
Dengan otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang
tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah
daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan sepenuhnyamenjadi
wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum
pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas.
Dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana tertuang didalam
UU No. 32 tahun 2004 tersebut, penyelenggaraan pemerintahan diharapkan dapat
melaksanakan percepatan pembangunan daerah dan meningkatkan pelayanan publik dengan
lebih sederhana dan cepat. Desentralisasi sendiri menurut Undang – Undang No. 32 tahun
2004 pasal 1 ayat 7 yaitu: penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian lainnya adalah desentralisasi merupakan sebuah
mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara
pemerintahan nasional dan daerah.
Dari sini dapat diambil satu kesimpulan bahwa desentralisasi merupakan semacam
alat yang digunakan dalam rangka melaksanakan otonomi daerah di Indonesia. Menurut
Ryass Rasyid tujuan otonomi daerah ada 5 (lima) yaitu :
7
satu cara terbaik untuk memberikan ruang kesempatan bagi masyarakat daerah untuk mewujudkan kesejahteraan daerah ialah dengan melaksanakan otonomi daerah.
• Kedua, adanya keyakinan bahwa otonomi daerah akan membantu menciptakan tercapainya prinsip pemerintahan yang demokratis dengan menjamin partisipasi, kesetaraan dan keadilan yang lebih besar. Dalam masa reformasi pasca-Soeharto, para elit di Indonesia melihat otonomi daerah sebagai sebuah keharusan politik bagi demokrasi Indonesia. Barangkali, MPR telah mengamati berbagai harapan dan tuntutan masyarakat sebagaimana yang dipresentasikan oleh demonstrasi mahasiswa agar demokrasi dilaksanakan.
• Ketiga, otonomi daerah bisa meningkatkan peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan daerah dan memberdayakan mereka sebagai lembaga pengawas demi terciptanya pengelolaan pemerintahan daerah yang lebih demokratis. Otonomi daerah diklaim akan bisa memberdayakan mekanisme
check and balance yang kritis antara DPRD dan eksekutif daerah dengan memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih gubernur pada tingkat provinsi dan walikota dan bupati pada tingkat kota/kabupaten.
• Keempat, otonomi daerah ditetapkan untuk mengantisipasi meningkatnya tantangan dan tuntutan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam hal ini, peran lembaga donor dan para penasihat internasional tampak jelas paling tidak dalam dua hal. Yang pertama, dalam proses penyusunan draft UU dimana GTZ, sebuah lembaga donor pemerintah Jerman dan lembaga – lembaga donor yang lain turut membantu tim perancang dalam merumuskan konsep otonomi daerah. Yang kedua, IMF yang pada saat itu mewajibkan pemerintah Indonesia untuk menjamin ditetapkannya proses
otonomi sebagaimana diisyaratkan dalam letter of intent IMF tahun 2001/2002.
• Kelima, otonomi daerah diterapkan sebagai sebuah upaya untuk melestarikan bentuk pemerintahan daerah yang bersifat tradisional, termasuk pemerintahaan di tingkat desa. Undang – Undang Otonomi daerah memberikan ruang bagi pemerintah desa tradisional untuk bekerja di ruang demokrasi daerah, dan ini berarti memulihkan kembali “posisi asli” dari desa – desa. Pertimbangan ini didasarkan pada ketentuan
UUD 1945 untuk menjamin nilai – nilai tradisional”.8
I.5.2Kekuasaan
I.5.2.1Definisi Kekuasaan
“Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi
perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku”.9Defenisi
lainnya menyatakan bahwa “kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain
untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi”.10
8
Ryass Rasyid, the policy of decentralization in Indonesia, dalam Mas’ud Said.Op.Cit. Hal. 74 9
Prof. Miriam Budiardjo,Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 2008, Hal.18
10
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo: 2010, Hal.7
Kekuasaan
itu tidak dapat dimiliki semua orang, sebab yang memilikinya adalah individu atau kelompok
Kekuasaan menjadi salah satu pandangan yang dipakai ketika memandang politik.
Salah satu defenisi ilmu politik adalah “ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan, dan
penggunaan kekuasaan di manapun kekuasaan itu ditemukan”.11
I.5.2.2 Dimensi – Dimensi Kekuasaan
Kekuasaan dilihat sebagai
interaksi antara yang mempengaruhi dengan yang dipengaruhi maupun interaksi antara yang
memberikan perintah dan yang diberi perintah.
Untuk lebih memahami kekuasaan secara konseptual, maka dibuat sebuah
perumpamaan yang membedakan antara seseorang yang menodongkan senjata tajam kepada
seseorang agar memberikan barang berharganya dengan seorang komandan militer yang
memerintahkan anak buahnya untuk melakukan suatu tugas atau misi tertentu. Keduanya
memiliki persamaan dan juga perbedaan. Persamaannya adalah keduanya memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi atau menguasai orang lain untuk mematuhi perintah
mereka. Perbedaannya adalah, kekuasaan yang dimiliki oleh penodong tadi adalah kekuasaan
yang tidak sah dan dianggap tidak benar, atau dengan kata lain kekuasaan yang disebabkan
oleh adanya unsur paksaan (koersif). Sedangkan kekuasaan komandan militer diatas adalah
kekuasaan karena wewenang (otoritas) yang diberikan karena adanya legitimasi untuk
mempengaruhi orang lain. Sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kekuasaan itu
memiliki hubungan yang cukup kuat dengan legitimasi atau wewenang.
Namun kekuasaan sebagai sebuah konsep politik juga memiliki kelemahan, pertama,
konseptualisasi tidak membedakan kekuasaan yang beraspek politik dari kekuasaan yang
tidak beraspek politik. Misalnya, kemampuan para kiai atau pendeta untuk mempengaruhi
jemaat agar melaksanakan ajaran agama tidaklah beraspek politik. Hal itu karena tidak
berkaitan dengan pemerintah selaku pemegang kewenangan yang mendistribusikan nilai –
nilai, melainkan menyangkut lingkungan masyarakat yang lebih terbatas. Namun, apabila
konseptualisasi itu diikuti, kemampuan para pemimpin agama untuk mempengaruhi cara
berpikir dan perilaku anggota jemaah, termasuk dalam kategori kegiatan politik. Kedua,
kekuasaan hanya salah satu konsep dalam ilmu politik. Selain kekuasaan, ilmu politik masih
memiliki konsep – konsep yang lain, seperti kewenangan, legitimasi, konflik, konsensus,
kebijakan umum, integrasi politik dan ideologi. Jadi, politik sebagai kegiatan dan mencari
dan mempertahankan kekuasaan merupakan konseptualisasi yang terlalu luas dan kurang
tajam. Walaupun demikian, harus dicatat, konsep kekuasaan politik merupakan salah satu
konsep yang tak terpisahkan dari ilmu politik.
11
Untuk memahami fenomena kekuasaan politik secara tuntas maka konsep kekuasaan
dapat dilihat dari 6 dimensi yaitu:
1. “Dimensi potensial dan aktual, yakni seseorang yang dipandang mempunyai
kekuasaan potensial apabila dia mempunyai atau memiliki sumber – sumber kekuasaan seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, massa yang terorganisir dan jabatan. Sebaliknya seseorang yang memiliki kekuasaan aktual apabila dia telah menggunakan sumber – sumber yang dimilikinya kedalam kegiatan – kegiatan politik secara efektif. Misalnya seorang jutawan memiliki kekuasaan potensial tetapi dia hanya dapat disebut sebagai memiliki kekuasaan aktual apabila dia telah menggunakan kekayaannya untuk mempengaruhi para pembuat dan pelaksana keputusan politik secara efektif.
2. Dimensi konsensus dan paksaan, dalam menganalisis keduanya harus dibedakan
antara kekuasaan yang berdasarkan paksaan dan kekuasaan yang berdasarkan konsensus. Perbedaan dimensi kekuasaan seperti ini menyangkut dua hal, yakni alasan penataan dan saran kekuasaan yang digunakan. Pada umumnya, alasan untuk menaati kekuasaan paksaan berupa rasa takut. Dalam hubungan ini rasa takut, takut akan paksaan fisik seperti dipukul, ditangkap dan dipenjarakan atau dibunuh. Selain itu, rasa takut akan paksaan nonfisik, seperti kehilangan pekerjaan, dikucilkan dan diintimidasi. Sementara itu, alasan untuk menaati kekuasaan konsensus pada umumnya berupa persetujuan secara sadar dari pihak yang dipengaruhi. Kekuasaan dengan berdasarkan paksaan, memang secara nyata merupakan cara yang paling efektif untuk mendapatkan ketaatan dari pihak lain. Selain yang menyangkut pelanggaran etik, penggunaan paksaan menimbulkan kesukaran dikemudian hari, yaitu ketaatan ditentukan dengan kehadiran sarana paksaan fisik. Ketika sarana paksaan fisik tidak ada, saat itu pula kediktatoran muncul. Sebaliknya pada kekuasaan paksaan berdasarkan konsensus, ketaatan lebih cenderung langgeng karena ketaatan timbul dari kesadaran dan persetujuan dari yang dipengaruhi.
3. Dimensi positif dan negative, tujuan umum pemegang kekuasaan adalah untuk
mendapatkan ketaatan atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan umum ini dapat dikelompokkan menjadi dua aspek yang berbeda yakni, tujuan positif dan tujuan negatif. Dimaksudkan dengan kekuasaan positif adalah penggunaan sumber – sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan diharuskan, dan kekuasaan negative, adalah penggunaan sumber – sumber kekuasaan untuk mencegah orang lain untuk mencapai tujuannya yang tidak hanya dipandang tidak perlu akan tetapi merugikan pihaknya. Sebagai contoh umpamanya, kemampuan untuk seorang presiden untuk mempengaruhi Dewan Perwakilan Rakyat agar menerima dan menyetujui Rancangan Undang – Undang yang diajukan, dapat dipandang sebagai kekuasaan positif. Sedangkan kemampuan fraksi – fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat untuk menolak seluruh Rancangan Undang – Undang yang diajukan presiden dapat dipandang sebagai kekuasaan negative (dari sudut pandang presiden).
4. Dimensi jabatan dan pribadi, dalam masyarakat yang maju dan mapan kekuasaan
ditampilkan oleh setiap pribadi pemegang jabatan. Dan sebaliknya, pada masyarakat yang masih sederhana struktur kekuasaan dalam masyarakat seperti itu didasarkan pada realitas pribadi tampaknya yang lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung didalam jabatan itu. Dalam hal ini, pemimpin yang melaksanakan kekuasaan, khususnya terhadap orang daripada lembaga – lembaga. Efektifitas kekuasaannya terutama berasal dari kualitas pribadi, seperti misalnya charisma, penampilan diri, asal usul keluarga dan wahyu.
5. Dimensi implisit dan eksplisit, kekuasaan implisit adalah kekuasaan yang tidak dilihat dengan kasat mata akan tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang jelas terlihat dan dapat dirasakan. Adanya kekuasaan dimensi eksplisit, menimbulkan perhatian orang pada segi rumit hubungan kekuasaan yang disebut dengan “azas memperkirakan reaksi dari pihak lain”.
6. Dimensi langsung dan tidak langsung, kekuasaan langsung adalah penggunaan
sumber – sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana kebutuhan politik dengan melakukan hubungan secara langsung tanpa melalui perantara. Yang termasuk dalam kategori sumber – sumber kekuasaan adalah sarana paksaan fisik, kekayaan dan harta benda, normatif jabatan, keahlian, status sosial, popularitas abadi, massa yang terorganisasi, senjata, penjara, kerja paksa, teknologi, aparat yang mengunakan senjata. Sedangkan kekuasaan yang tidak langsung adalah penggunaan sumber – sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan
pelaksana keputusan politik”.12
I.5.2.3 Sumber – Sumber Kekuasaan
Menurut Miriam Budiardjo, sumber – sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan,
kekayaan, atau kepercayaan. Sumber kekuasaan kedudukan misalnya adalah seorang
komandan terhadap anak buahnya atau seorang majikan terhadap pegawainya. Dalam kasus
ini bawahan dapat ditindak jika melanggar disiplin kerja. Sumber kekuasaan kekayaan
misalnya seorang pengusaha kaya mempunyai kekuasaan atas seorang politikus atau seorang
bawahan yang mempunyai utang yang belum dibayar kembali. Sumber kekuasaan
kepercayaan atau agama misalnya seorang ulama mempunyai kekuasaan atas para umatnya,
disini para ulama menjadi pemimpin informal sehingga dianggap perlu diperhitungkan dalam
proses penentuan keputusan di tempat tersebut.13
1. “Kekuasaan balas jasa, yakni kekuasaan yang legitimasinya bersumber dari
sejumlah balas jasa yang sifatnya positif (uang, perlindungan, perkembangan karier, janji positif dan sebagainya) yang diberikan kepada pihak penerima guna melaksanakan sejumlah perintah atau persyaratan lain. Faktor ketundukan Secara formal administratif, sumber kekuasan dapat juga dibagi menjadi enam bagian,
yaitu sebagai berikut:
12
Ibid, Hal.75
13
seseorang atas kekuasaan dimotivasi oleh hal itu dengan harapan jika telah melakukan sesuatu akan memperoleh seperti yang dijanjikan.
2. Kekuasaan paksaan, berasal dari perkiraan yang dirasakan orang bahwa hukuman
(dipecat, ditegur, didenda, dijatuhi hukuman fisik dan sebagainya) akan diterima jika mereka tidak melaksanakan perintah pimpinan. Kekuasaan akan menjadi suatu motivasi yang bersifat represif terhadap kejiwaan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan pimpinan itu dan melaksanakan seperti apa yang dikehendaki. Jika tidak paksaan yang diperkirakan akan dijatuhkan.
3. Kekuasaan legitimasi, kekuasaan yang berkembang atas dasar dan berangkat dari nilai – nilai intern yang mengemuka dari dan sering bersifat konvensional bahwa seorang pimpinan mempunyai hak yang sah untuk mempengaruhi bawahannya. Sementara itu dalam sisi yang lain, seseorang mempunyai kewajiban untuk menerima pengaruh tersebut karena seorang lainnya ditentukan sebagai pimpinannya atau petinggi sementara dirinya seorang bawahan. Legitimasi demikian dapat diperoleh atas dasar aturan formal akan tetapai bisa juga bersumber pada kekuasaan muncul karena kekuatan alamiah dan kekuatan akses dalam pergaulan bersama yang mendudukkan seseorang beruntung memperoleh legitimasi suatu kekuasaan.
4. Kekuasaan pengendalian atas informasi, kekuasaan ini ada dan berasal dari
kelebihan atas suatu pengetahuan dimana orang lain tidak mempunyai. Cara ini dipergunakan dengan pemberian atau penahanan informasi yang dibutuhkan orang lain maka mau tidak mau harus tunduk (secara terbatas) pada kekuasaan pemilik infomasi. Pemilik informasi dapat mengatur sesuatu yang berkenaan dengan perderan informasi, atas legitimasi kekuasaan yang dimilikinya.
5. Kekuasaan panutan, kekuasaan ini muncul dengan didasarkan atas pemahaman
secara kutural dari orang – orang dengan yang berstatus sebagai pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin itu sebagai panutan simbol dari perilaku mereka. Aspek kultural yang biasanya muncul dari pemahaman religiositas direfleksikan pada kharisma pribadi, keberania, sifat simpatik dan sifat – sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan orang. Hal itu menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaannya.
6. Kekuasaan keahlian, kekuasaan ini ada dan merupakan hasil dari tempaan yang
lama dan muncul karena suatu keahlian atau ilmu pengetahuan. Kelebihan ini menjadikan seseoarang pemimpin dan secara alamiah berkedudukan sebagai pemimpin dalam bidang keahliannya itu. Seorang pemimpin dapat merefleksikan kekuasaan dalam batas – batas keahliannya itu dan secara terbatas pula orang lain tunduk pada kekuasaan yang bersumber dari keahlian yang dimilikinya karena ada
kepentingan terhadap keahlian sang pemimpin”.14
I.5.3Pemerintahan
I.5.3.1 Defenisi Pemerintahan
“Pemerintah secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “kubernan” atau
sebagai nakhoda kapal. Artinya menatap kedepan, lalu perkataan ‘memerintah” berarti
melihat kedepan, menentukan berbagai kebijakan diselenggarakan untuk mencapai tujuan
14
masyarakat atau Negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat masa mendatang
dan mempersiapkan langkah – langkah kebijakan untuk menyongsong perkembangan
masyarakat serta mengelola dan mengarahkan masyarakat kepada tujuan yang telah
ditetapkan”.15
Maka dapat disimpulkan bahwa pemerintahan dapat berarti segala kegiatan yang
berkaitan erat dengan tugas dan wewenang Negara atau sebagai fungsi Negara, dan yang
melaksanakan tugas dan kewenangan Negara itu adalah pemerintah.
Sementara itu istilah pemerintah dan pemerintahan berbeda artinya. Pemerintahan
menyangkut tugas dan kewenangan sedangkan pemerintah merupakan aparat yang
menyelenggarakan tugas dan kewenangan Negara. Yang dimaksud dengan tugas adalah
segala kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Maksudnya, setiap
masyarakat-negara memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan sifatnya statis, sedangkan tugas sifatnya
dinamis. Tugas dan kewenangan Negara disebut fungsi negara.
16
1. “Negara dan pemerintahannya yang dipegang oleh hanya satu orang saja, jadi
kekuasaan tersebut hanya terpusat pada satu tangan. Dan ini dapat dibedakan lagi dengan berdasarkan sifatnya yakni, (a). Negara yang pemerintahannya dipegang oleh satu orang saja dan pemerintahannya ditujukan untuk kepentingan umum. Jadi bentuk Negara dan pemerintahannya yang seperti ini adalah yang bersifat baik. Negara dan pemerintahannya disebut sebagai monarki. (b). Negara dan bentuk pemerintahannya dipegang oleh satu orang saja, tetapi pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan penguasa saja atau tertentu saja. Jadi bentuk Negara dan pemerintahannya yang seperti ini yang bersifat buruk. Maka Negara dan pemerintahan seperti ini disebut sebagai tyranny.
I.5.3.2Bentuk Pemerintahan
Aristoteles (384-322) membagi beberapa bentuk Negara dan pemerintahan menjadi
tiga yaitu:
2. Negara dan pemerintahannya yang dipegang oleh beberapa orang saja. Jadi, oleh
sekelompok orang atau segolongan kecil orang saja. Kekuasaan Negara dan pemerintahan yang seperti ini juga dapat dikategorikan sebagai Negara yang dipusatkan tidak pada tangan satu orang saja, melainkan pada satu organ atau badan yang terdiri dari beberapa orang. Bentuk Negara dan pemerintahan yang seperti ini dibedakan lagi berdasarkan sifatny, yaitu (a). Negara yang dipegang sifat yang baik karena pemerintahannya ditujukan untuk kepentingan umum. Negara dan pemerintahan seperti ini disebut sebagai aristokrasi. (b). Negara dan pemerintahannya dipegang oleh beberapa orang akan tetapi sifatnya yang buruk karena pemerintahannya hanya ditujukan untuk kepentingan Negara yang seperti ini disebut sebagai Negara dan pemerintahannya disebut oligarki.
3. Negara yang pemerintahannya dipegang oleh rakyat. Maksudnya adalah bahwa
yang memegang kekuasaan pemerintahan pada prinsipnya adalah rakyat itu
15
P. Antonius Sitepu, Teori – Teori Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, Hal. 147
16
sendiri. Atau setidak – setidaknya, oleh segolongan besar rakyat. Bentuk Negara dan pemerintahannya seperti ini selanjutnya dibedakan lagi dengan berdasarkan sifatnya: (a). Negara dan pemerintahannya yang dipegang oleh rakyat dan sifat pemerintahannya adalah baik karena pemerintahannya memperhatikan kepentingan umum. Negara dan bentuk pemerintahan semacam ini disebut sebagai Republik atau Republik Konstitusional. (b). Negara dan pemerintahannya yang dipegang oleh rakyat, akan tetapi sifat pemerintahannya adalah buruk karena pemerintahannya hanya ditujukan untuk pemegang kekuasaan saja. Atau dengan kata lain bahwa pada prakteknya pemerintahan itu hanya dipegang oleh orang – orang tertentu saja. Negara dan pemerintahan ini disebut sebagai pemerintahan
demokrasi”.17
I.5.4Legitimasi dan kewenangan
Konsep legitimasi merupakan salah satu yang dianggap penting dalam suatu sistem
politik. Keabsahan adalah keyakinan anggota – anggota masyarakat bahwa wewenang juga
pada seseorang, kelompok, atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran ini
berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas – asas dan
prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan –
ketentuan dan prosedur yang sah. Jadi, mereka yang diperintah menganggap bahwa sudah
wajar peraturan – peraturan dan keputusan – keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa
dipatuhi. David Easton mengatakan bahwa keabsahan adalah: “keyakinan dari pihak anggota
(masyarakat) bahwa sudah wajar baginya untuk menerima baik dan mentaati penguasa dan
memenuhi tuntutan dari rezim itu”.18
Yang menjadi objek legitimasi bukan hanya pemerintahan, tetapi juga unsur – unsur
sistem politik lainnya. Jadi legitimasi dalam artian luas berarti dukungan masyarakat terhadap
sistem politik, sedangkan dalam arti sempit, merupakan dukungan masyarakat terhadap
pemerintah yang berwenang. Menurut Easton, terdapat tiga objek dalam sistem politik yang
memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tidak hanya berlangsung secara terus Berdasarkan pengertian legitimasi dapat dibedakan pengertian kekuasaan,
kewenangan, dan legitimasi. Apabila kekuasaan diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan sumber – sumber dan yang mempengaruhi proses politik, sedangkan
kewenangan merupakan hak moral untuk menggunakan sumber – sumber yang membuat dan
melaksanakan keputusan politik (hak memerintah). Adapun legitimasi merupakan
penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral tersebut.
I.5.4.1 Objek legitimasi
17
Ibid Hal. 152 18
menerus, tetapi mampu pula mentransformasikan tuntutan menjadi kebijakan umum. Ketiga
objek legitimasi ini meliputi komunitas politik, rezim dan pemerintahan.
Sementara itu, Andrian menjelaskan lima objek dalam sistem politik yang
memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung secara fungsional. Kelima
objek legitimasi ini meliputi, masyarakat politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik
dan kebijakan. Kedua pendapat itu sesungguhnya sama saja maknanya karena masyarakat
politik sama dengan komunitas politik, hukum sama dengan rezim, lembaga politik dan
pemimpin politik sama dengan pemerintah. Namun berdasarkan pendapat Easton, tidak
terkandung unsur kebijakan secara eksplisit. Pendapatnya dianggap kurang lengkap. Berbeda
dengan Andrian yang lebih lengkap.
Apabila pengertian legitimasi dilihat sebagai dukungan yang diberikan olwh
masyarakat, kelima objek legitimasi mempunyai hubungan kumulatif. Artinya, kalau objek
pertama tidak mendapat dukungan, objek kedua, dan seterusnya tidak akan mendapat
dukungan dari masyarakat. Hal ini disebabkan sifatnya yang hierarkis, yakni objek kelima
ditentukan objek keempat, objek keempat ditentukan objek ketiga demikian seterusnya.
Yang dimaksud legitimasi terhadap komunitas politik adalah adanya kesediaan para
anggota masyarakat yang berasal dari berbagai kelompok yang berbeda latar belakang untuk
hidup secara rukun sebagai komunitas. Apabila masih terdapat berbagai upaya didalam
masyarakat legitimasi terhadap komunitas politik dapat dikatakn masih rendah. Hal ini berarti
dukungan terhadap konstitusi, lembaga politik, pemimpn politik dan kebijakan yang dibuat
juga masih rendah. Apabila dukungan terhadap komunitas politik belum cukup tinggi, dalam
masyarkat terdapat masalah penciptaan identitas nasional. Kalau dalam masyarakat belum
terdapat dukungan yang bulat terhadap hukum, dalam masyarakat terdapat krisis konstitusi.
“Manakala dukungan terhadap lembaga – lembaga politik masih lemah, dalam
masyarakat terdapat krisis kelembagaan. Krisis kepemimpinan akan terjadi pada masyarakat
yang kurang mempercayai para pemimpin – pemimpin politik. Jadi, krisis kebijakan akan
terjadi apabila masyarakat menilai kebijakan pemerintah hanya menguntungkan sekelompok
kecil. Dengan demikian, kelima objek legitimasi kurang mendapat pengakuan dan dukungan
dari masyarakat. Lalu sistem politik akan menghadapi krisis legitimasi”.19
19
Ramlan Surbakti. Op.Cit . Hal 120
Sehubungan dengan legitimasi atau jumlah dukungan terhadap kewenangan,
legitimasi dikelompokkan menjadi empat tipe, keempat kadar legitimasi ini meliputi
pralegitimasi, berlegitimasi, tak berlegitimasi dan pascalegitimasi.
Kadar legitimasi terhadap kewenangan ditentukan dengan sikap yang memerintah dan
diperintah. Apakah menerima secara moral mengikat kebenaran hak untuk memerintah?
Mengapa kadar legitimasi juga ditentukan dengan sikap yang memerintah? Jawaban atas
pertanyaan – pertanyaan ini adalah karena yang memerintah juga berupaya keras untuk
mendapatkan legitimasi dari masyarakat hingga selalu pula meyakinkan masyarakat bahwa
pemerintahannya mendapatkan dukungan masyarakat. Yang termasuk pengertian yang
diperintah, pada umumnya, bukan hanya penduduk,tetapi juga berbagai kelompok sosial yang
tidak melaksanakan kekuasaan secara aktual namun mempunyai kekuasaan potensial.
Pada masyarakat yang sistem politiknya belum stabil, menjadi keharusan bagi yang
memerintah untuk mendapatkan dukungan dari kelompok itu, seperti militer, birokrasi,
golongan agama, tuan tanah dan intelektual, sedangkan dukungan massa tidak memiliki
kekuasaan. Dalam kenyataan, yang penting sering kali dukungan sebagai penduduk yang
aktif secara politik.
Suatu hubungan kewenangan disebut sebagai pralegitimasi apabila pihak yang
memerintah sangat yakin memiliki hak moral untuk memerintah masyarakat. Sebaliknya
banyak pihak dari yang diperintah belum mengakui hak moral. Kewenangan yang tidak
berlegitimasi adalah hubungan kewenangan tatkala pihak yang diperintah tidak mengakui hak
moral penguasa untuk memerintah, sedangkan pihak yang memerintah secara terus menerus
mempertahan kekuasaannya dengan berbagai cara yang bercorak kekerasan. Berbeda dengan
kewenangan yang berlegitimasi, yakni kewenangan dimana yang diperintah mengakui dan
mendukung hak moral penguasa untuk memerintah. Pemerintah yang terbentuk merupakan
hasil pemilihan umum. Dalam hal ini pemilihan umum yang dijalankan secara umum, bebas,
rahasia, serta jujur dan adil. Dan kewenangan pasca legitimasi adalah “dasar legitimasi yang
lama dianggap tidak sesuai lagi dengan aspirasi masyarakat dan telah muncul legitimasi baru
yang mengkehendaki suatu kewenangan atas dasar legitimasi baru tersebut”.20
Setiap sistem politik termasuk yang paling menindas sekalipun memerlukan legitimasi
dari rakyat. Akibatnya, pemerintah yang berkuasa berupaya keras untuk mendapatkan dan
mempertahankan legitimasi kewenangannya. Cara – cara yang digunakan untuk mendapatkan I.5.4.3 Cara Mendapatkan Legitimasi
20
dan mempertahankan legitimasi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu simbolis, materiil
dan prosedural.
“Pertama simbolis berarti memanipulasi kecederungan – kecenderungan moral,
emosional, tradisi, dan kepercayaan, dan nilai – nilai budaya pada umumnya dalam bentuk –
bentuk simbol. Penggunaan simbol – simbol untuk mendapatkan dan mempertahankan
legitimasi cenderung bersifat ritualistic, sacral, retorik dan mercusuar. Kedua, materiil
ditempuh dengan cara menjanjikan dan memberikan kesejahteraan materiil kepada
masyaraka, seperti menjamin tersedianya kebutuhan dasar, fasilitas kesehatan, dan
pendidikan, sarana produksi pertanian, sarana komunikasi dan transportasi, kesempatan kerja,
dan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dan modal yang memadai. Yang ketiga
prosedural, ditempuh dengan cara menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan
wakil rakyat, presiden dan wakil presiden dan para anggota lembaga tinggi Negara atau
referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum”.21
Dalam kenyataannya, para pemimpin pemerintah tidak hanya menggunakan satu tipe, tetapi juga kombinasi dua atau lebih dari kelima tipe sesuai dengan struktur dan tingkat perkembangan masyarakatnya.
I.5.4.4 Tipe – Tipe Legitimasi
Berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan dari masyarakat terhadap pemerintah,
legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe, yaitu legitimasi tradisional, legitimasi ideologi,
legitimasi kualitas pribadi, legitimasi prosedural, dan legitimasi instrumental.
Pertama, masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin berdarah “berdarah biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat. Tradisi ini selalu dipelihara dan dilembagakan oleh pemimpin itu bersama keturunannya. Raja Hussein dari Jordania, Ratu Elizabeth dari Inggris dan Raja Bhumibol dari Thailand merupakan contoh Negara yang diakui dan didukung oleh rakyat karena tradisi itu.
Kedua, masyarakat memberikan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi yang dimaksud tidak hanya yang doktriner sperti komunisme, tetapi juga pragmatis seperti liberalisme dan gabungan keduanya seperti ideologiPancasila di Indonesia.
Ketiga, masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa karisma maupun penampilan pribadi dan prestasi yang cemerlang dalam seni budaya tertentu.
Keempat, masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut mendapatkan kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang – perundangan.
I.5.4.5 Kewenangan
Ada beberapa pengertian yang erat kaitannya dengan kekuasaan, yaitu otoritas,
wewenang dan legitimasi. Wewenang dapat dikatakan adalah kekuasaan yang dilembagakan.
Atau dalam artian yang lain, menurut Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan bahwa
wewenang adalah kekuasaan formal. Dianggap bahwa yang mempunyai wewenang berhak
unttuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan – peraturan serta berhak untuk
mengharap kepatuhan terhadap peraturan – peraturannya.
Dalam rangka pembahasan mengenai wewenang perlu disebut pembagian menurut
Max Weber (1864 – 1922) dalam tiga macam wewenang, yaitu tradisional, kharismatik, dan
rasional – legal. “Wewenang tradisional dan berdasarkan kepercayaan diantara anggota
masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu
adalah wajar dan patut dihormati. Wewenang kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota
masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Hitler dan
Mao Zedong sering dianggap sebagai seorang pemimpin kharismatik, sekalipun tentu mereka
juga memiliki unsur wewenang rasional – legal. Wewenang rasional – legal berdasarkan pada
tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin. Yang ditekankan
bukan orangnya akan tetapi aturan – aturan yang mendasari tingkah lakunya”.23
Ketiga, hak memerintah berasal dari kualitas pribadi sang pemimpin, baik
penampilannya yang agung dan diri prinbadinya yang populer mapun karena memiliki
karisma. Seorang pemimpin yang karismatik ialah seorang yang memiliki kualitas pribadi I.5.4.6 Sumber Kewenangan
Ada beberapa sumber dari sebuah untuk memerintah masyarakat antara lain sebagai
berikut. Pertama, hak memerintah berasal dari tradisi. Artinya, kepercayaan yang telah
berakar dipelihara secara terus menerus dalam masyarakat. Kepercayaan yang mengakar ini
berwujud keyakinan bahwa yang ditakdirkan menjadi pemimpin masyarakat ialah keluarga
tertentu dan dianggap memiliki “darah biru”. Siapa pun yang menentang akan mendapat
malapetaka. Oleh karena itu, orang yang berkuasa menunjukkan bahwa sumber kewenangan
memerintah berasal dari tradisi karena dia keturunan dari pemimpin terdahulu.
Kedua, hak memerintah berasal dari Tuhan , Dewa atau Wahyu. Atas dasar itu, hak
memerintah dianggap bersifat sakral. Kaisar Hirohito dari jepang dan penggantinya
menunjukkan sebagai kepala Negara yang berasal dari Dewa Matahari.
23
sebab mendapat “anugerah istimewa” dari kekuatan supernatural sehingga menimbulkan
pesona dan daya tarik bagi anggota masyarakat. Namun kepemimpinan karismatik tidak
dapat diwariskan sebab sifatnya yang melekat pada pribadi tertentu.
Keempat, hak memerintah masyarakat berasal dari peraturan perundang – undangan
yang mengatur prosedur dan syarat – syarat menjadi pemimpin pemerintahan. Peraturan
perundang – undangan yang dimaksud, antara lain kontitusi, undang – undang dan peraturan
pemerintah. UUD 1945, misalnya, tidak hanya mengatur tugas dan kewenangan presiden dan
wakil presiden tetapi juga mengatur prosedur dan syarat – syarat menjadi presiden dan wakil
presiden. Apabila seseorang menjadi kepala pemerintahan melalui prosedur yang ditetapkan
dalam peraturan perundang – undangan, sumber kewenangan berupa hukum. Akan tetapi,
perlu dicatat sumber kewenangan yang berdasarkan hukum bukan monopoli Negara – Negara
maju. Hal itu disebabkan masyarakat yang strukturnya masih sederhana sekalipun sudah
menggunakan prosedur hukum (adat istiadat yang tidak tertulis) untuk menentukan siapa dan
bagaimana menjadi pemimpin.
Kelima, hak memerintah berasal dari sumber yang bersifat instrumental sperti
keahlian dan kekayaan. Keahlian yang dimaksud terletak pada keahlian dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kekayaan yang dimaksud ialah pemilikan uang, tanah, barang –
barang berharga, surat – surat berharga, sarana dan alat produksi. Hal itu didasarkan atas
asumsi berikut. Keahlian diperlukan untuk melaksanakan pemerintahan yang mampu
mencapai tujuan masyarakat. Orag yang tidak memiliki keahlian akan patuh kepada yang
memiliki keahlian. Orang kaya dapat menjalankan pemerintahan bukan untuk kepentingan
sendiri karena dia sudah menikmati kepuasan dari kekayaannya, tetapi utnuk masyarakat
umum. Sejumlah orang memiliki kewenangan memerintah sebab memiliki keahlian dalam
bidang tertentu atau memiliki kekayaan yang berlimpah.
Kelima sumber kewenangan itu disimpulkan menjadi dua tipe kewenangan utama
yaitu kewenangan yang bersifat prosedural dan kewenangan yang bersifat substansial.
Kewenangan yang bersifat prosedural ialah hak memerintah berdasarkan peraturan
perundang – undangan yang bersifat tertulis maupun tak tertulis. Kewenangan yang bersifat
substansial ialah hak memerintah berdasarkan faktor – faktor yang melekat pada diri
pemimpin seperti tradisi, sakral, kualitas pribadi dan instrumental. “Semakin kompleks
struktur masyarakat suatu Negara maka tipe kewenangan yang digunakan cenderung bersifat
kewenanga substansial karena kehidupan lebih banyak berdasarkan tradisi, kepercayaan pada
kekuatan supernatural, dan kesetiaan pada tokoh pemimpin”.24
Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
deskriptif. “Penelitian deskriptif adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan
masalah yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data – data yang ada. Penelitian
ini untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena”. I.6. Metode Penelitian
25
Handari Nawawi juga mendefinisikan metode penelitian deskriptif adalah “prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau
objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain – lain pada saat sekarang
berdasarkan fakta – fakta yang tampak atau sebagaimana adanya di lokasi penelitian, dengan
melakukan analisis dan menyajikan data – data dan fakta – fakta secara sistematis sehingga
dapat dipahami dan disimpulkan”.26
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. “Bogdan dan Taylor
mengungkapkan bahwa “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang – orang dan
perilaku yang dapat diamati”. I.6.1 Jenis Penelitian
27
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder,
dimana data primer yang akan dikumpulkan berasal dari wawancara (interview) dengan
narasumber yang memang memiliki kapasitas untuk menjawab masalah penelitian ini. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian
kegiatan atau proses penjaringan informasi dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu
obyek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun
praktis.
I.6.2 Data dan Teknik Pengumpulan Data
24
Ramlan Surbakti. Op . Cit Hal. 109 – 112
25
Bambang Prasetyo dkk. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005. Hal. 42
26
Handari Nawawi. 2003. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 63
27
Disamping itu saya juga akan menyebarkan kuesioner sebanyak 67 buah untuk menunjang
hasil penelitian. Dan yang menjadi narasumber maupun objek kuesioner adalah para
stakeholder atau pengambil kebijakan di lingkungan pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah
dan juga anggota Legislatif di DPRD Tapanuli Tengah.Selain itu, untuk menunjang data –
data primer tersebut, maka penulis juga menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah
data yang diperoleh dari berbagai sumber (library research) seperti buku, majalah, laporan,
jurnal, surat kabar dan lain – lain yang terkait dengan judul penelitian ini.
I.6.3 Teknik Analisis Data
Teknik data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik
analisis data deskirptif kualitatif, dimana teknik ini melakukan analisa atas masalah yang ada
sehingga diperoleh gambaran jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian diilakukan
I.7. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan lebih terperinci srta untuk
mempermudah isi, maka penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi
penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II :DESKRIPSI LOKASI, PROFIL PEMERINTAHAN DAN
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN TAPANULI
TENGAH
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai profil yang terkait dengan
Kabupaten Tapanuli Tengah seperti sejarah, profil dan juga potensi daerah
dan perkembangan pembangunan.
BAB III :ANALISIS DATA TENTANG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
DAN KEKUASAAN KEPALA DAERAH DI KABUPATEN
TAPANULI TENGAH
Bab ini berisi tentang hasil analisis terkait dengan masalah penelitian yang
didapatkan dari hasil wawancara di lapangan maupun studi kepustakaan.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari
hasil analisis data pada bab – bab sebelumnya serta berisi kemungkinan