BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Kelapa
Kelapa (cocos nucifera L.) termasuk termasuk ke dalam famili Palmae (palem), yang merupakan salah satu famili utama yang tergolong tumbuhan monokotiledon. Famili
palmae mencakup beberapa jenis tumbuhan yang bermamfaat bagi manusia, seperti
kurma, kelapa, kelapa sawit, pinang, sagu, tebu, pohon ara, dan lainnya. Semuanya
dibedakan berdasarkan batangnya yang tidak bercabang yang dimahkotai oleh daun
menjarum yang bentuknya menyerupai kipas.
Produksi air kelapa cukup berlimpah di Indonesia yaitu mencapai lebih dari 1
sampai 900 juta liter per tahun. Namun pemanfaatannya dalam industri pangan belum
menonjol, sehingga masih banyak air kelapa terbuang percuma, selain mubazir,
buangan air kelapa dapat menimbulkan polusi asam asetat, akibat proses fermentasi
dari limbah air kelapa tersebut (Onifade,2003 ; Warisno,2004).
Air kelapa mempunyai potensi yang baik untuk dibuat menjadi minuman
fermentasi, karena kandungan zat gizinya, kaya akan nutrisi yaitu gula, protein, lemak
dan relatif lengkap sehingga sangat baik untuk pertumbuhan bakteri penghasil produk
pangan. Kandungan gula maksimun 3 gram per 100 ml air kelapa. Jenis gula yang
terkandung adalah sukrosa, glukosa, fruktosa dan sorbitol. Gula-gula inilah yang
menyebabkan air kelapa muda lebih manis dari air kelapa yang lebih tua. (Warisno,
2004).
Disamping itu air kelapa juga mengandung mineral seperti kalium dan
natrium. Mineral-mineral itu diperlukan dalam poses metabolisme, juga dibutuhkan
dan pembentukan kofaktor enzim-enzim ekstraseluler oleh bakteri pembentuk
seperti riboflavin, tiamin, biotin. Vitamin-vitamin tersebut sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan maupun aktivitas Acetobacter xylinum pada saat fermentasi berlangsung sehingga menghasilkan nata de coco. Oleh karena itu air kelapa dapat dijadikan
sebagai bahan baku untuk pembuatan nata de coco, disamping untuk memanfaatkan
limbah air kelapa sehingga dapat mengurangi dampak negatif yang di akibatkan
limbah air kelapa tersebut (Pambayun R., 2002).
Air kelapa yang baik adalah yang diperoleh dari kelapa tua optimal, tidak
terlalu tua dan tidak pula terlalu muda. Dalam air kelapa yang terlalu tua, terkandung
minyak dari kelapa yang dapat menghambat pertumbuhan bibit nata Acetobacter xylinum. Sebaliknya, air kelapa yang masih muda belum mengandung mineral yang cukup di dalamnya, sehingga kurang baik apabila digunakan sebagai bahan
pembuatan nata (Pambayun R., 2002).
Tabel 2.1 Perbandingan komposisi air kelapa muda dengan air kelapa tua
Sumber air kelapa
Air kelapa banyak terbuang sebagai limbah yang belum dimanfaatkan,
menurut Atih ( 1979 ) menyatakan bahwa air kelapa yang dihasilkan di Indonesia
mencapai 900 juta liter / tahun. Air kelapa tersebut dapat dimanfaatkan untuk dibuat
nutrisi yang terdapat didalam air kelapa seperti sukrosa, dekstrosa, fruktosa dan
vitamin B kompleks (Onifade, 2003) mendukung pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum pada saat berlangsungnya fermentasi untuk menghasilkan nata.
2.2 Tanaman Terung Belanda
Terung belanda adalah jenis tanaman anggota keluarga terung-terungan (Solanaceae) yang mulai di kembangkan di Bogor Jawa Barat sejak tahun 1941. Di Indonesia
terung ini mungkin pertama kali dibawa dan dikembangkan di Indonesia oleh orang
Belanda pada waktu itu sehingga dikenal dengan nama terung belanda, padahal buah
tersebut berasal dari daerah Amazon di Amerika Latin. (Anonima, 2012)
2.2.1 Daerah Tumbuh
Di daerah tropik terung belanda dapat hidup di atas ketinggian 2000 m dpl. Di dataran
rendah, pohon terung belanda tidak mampu berbunga, sedangkan udara sejuk
(barangkali khususnya malam yang sejuk) dapat mendorong pembungaan. Oleh
karena itu, tanaman ini berbuah matang pada musim dingin di daerah subtropik. Rasa
buah akan menjadi lebih baik pada hari-hari cerah yang panas dan malam-malam
yang dingin pada musim kemarau di daerah tropik daripada selama musim dingin di
dataran tinggi. Tanaman ini tidak tahan terhadap genangan, walaupun hanya 1-2 hari.
2.2.2 Klasifikasi Terung Belanda
Gambar 2.1 Tanaman Terung Belanda
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermathopyta
Sub Divis : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies : Solanum betaceum Cav.
2.2.3 Morfologi Tumbuhan
Tanaman ini memiliki daun yang berbulu bentuk hati besar dan berwarna hijau. Daun
yang hijau ini akan mudah sekali dirusak oleh terpaan angin yang kencang. Bunga
tamarillo akan muncul pada akhir musim gugur sampai pada awal musim semi.
Warnanya pink dan terletak pada ujung cabang batang serta biasanya berkelompok.
Tanaman ini memiliki benang sari dan putik serta kelopak bunga yang berwarna ungu
hijau. Tanaman ini melakukan penyerbukan sendiri tetapi terkadang juga dibantu
lebah dan angin meskipun sangat kecil kemungkinannya (Kumalaningsih, 2006).
Tanaman ini memiliki tangkai panjang, satu dengan yang lainnya tumbuh
sendirian atau ada yang berkelompok sebanyak 3-12. Buahnya berbentuk seperti telur
dengan ukuran panjang antara 5-6 cm dan lebarnya diatas 5 cm. Warna kulitnya ada
yang warna ungu gelap, merah darah, oranye, atau kuning dan ada yang masih
memiliki garis memanjang yang tidak jelas. Terung belanda yang masih mentah
berwarna hijau agak abu-abu. Warna ini akan berubah menjadi merah kecoklatan
apabila buah sudah matang. Di dalam buah ini terdapat daging buah yang tebal
berwarna kuning dibungkus oleh selaput tipis yang mudah dikelupas. Rasa buah ini
seperti tomat dan teksturnya seperti buah pulm dengan kandungan gizi yang relatif
tinggi karena banyak mengandung vitamin A, C dan serat. Lapisan daging buah
banyak mengandung air, sedikit kasar dan sedikit mengandung rasa manis. Biji Buah
ini keras, berwarna coklat muda sampai hitam. Bentuk biji agak tumpul, bulat dan
kecil, tetapi lebih besar daripada biji tomat yang sebenarnya (Kumalaningsih, 2006).
2.2.4 Kandungan Kimia
Terung belanda adalah buah yang mempunyai kandungan nutrisi yang sangat baik,
berisi beberapa kandungan vitamin yang sangat penting serta kaya akan besi dan
potasium, kandungan sodium yang rendah dan berisi kurang dari 40 kalori (kurang
lebih 160 kJ). Oleh karena kelengkapan kandungan gizi pada tamarillo, maka di
kalori, sumber serat, bebas lemak (jenis reds) atau rendah lemak (jenis golden), bebas kolesterol dan sodium dan sumber vitamin C dan E yang sempurna (Kumalaningsih,
2006).
Buah terung belanda juga mengadung senyawa-senyawa seperti beta karoten,
antosianin dan serat. Di antara senyawa antioksidan yang dikandungnya, beta karoten
mempunyai peranan yang sangat penting karena paling tahan terhadap serangan
radikal bebas. Beta karoten merupakan salah satu jenis karotenoid yang banyak
terdapat pada buah-buahan. (Kumalaningsih, 2006).
Menurut Kumalaningsih (2006), hasil analisis lengkap kandungan gizi buah
terung belanda dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini :
Tabel 2.2 Kandungan Gizi dalam 100 g Terong Belanda
2.2.5 Kegunaan
Buah terung belanda berkhasiat sebagai obat tekanan darah tinggi dan penyegar
badan. Untuk obat tekanan darah tinggi dipakai ± 3 buah terong belanda yang sudah
masak, di kupas untuk sekali makan (Departemen Kesehatan dan Kesehatan Sosial,
2001).
Kegunaan buah terung belnada antara lain untuk mencegah kerusakan sel-sel
jaringan tubuh penyebab berbagai penyakit (kanker, tumor dan lain-lain),
melancarkan penyumbatan pembuluh darah (arteriklorosis) sehinga mencegah
penyakit jantung dan stroke serta menormalkan tekanan darah, menurunkan kadar
kolesterol dan mengikat zat-zat racun dalam tubuh, meningkatkan stamina, daya
tahan tubuh dan vitalitas dan membantu mempercepat proses penyembuhan (Sinaga,
2009)
2.3 Tanaman Lancing
Solanum mauritianum adalah pohon kecil atau semak dari Amerika Selatan, termasuk Argentina Utara, Brasil Selatan, Paraguay dan Uruguay . Tanaman ini dapat
tumbuh hingga tiga puluh tahun. Memiliki daun besar berbentuk oval dan berwarna
abu-abu kehijauan dan ditutupi dengan bulu. Bunga berwarna ungu dengan pusat
kuning. Tanaman dapat berbunga sepanjang tahun tetapi berbuah pada akhir musim
semi ke awal musim panas. Tanaman ini toleran terhadap banyak jenis tanah dan
dengan cepat berkembang jika ditanam di sekitar perkebunan , hutan, semak dan
lahan terbuka. Tanaman ini mengandung senyawa glykoalkaloid, solasodin, dengan
kandungan tertinggi pada buah mentah hijau (2% - 3,5% berat kering). Solaurisin,
Solaurisidin, dan Solasodamin juga telah ditemukan di Solanum mauritianum. (Harahap, 2011).
2.3.1 Klasifikasi Tanaman Lancing
Kingdom : Plantae
Divisi : Angiosperms Magnoliophyta
Kelas : Eudicots
Sub klas : Asterids
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Solanum
Species : Solanum mauritianum
Selain itu tanaman ini juga memiliki sejumlah sinonim :
Solanum auriculatum Solanum carterianum Solanum pulverulentum Solanum tabaccifolium
2.4 Selulosa
Selulosa merupakan struktur dasar sel-sel tanaman, oleh karena itu merupakan bahan
alam yang paling penting yang dibuat oleh organisme hidup. Pernyataan yang sama
ini berlaku pada terdapatnya selulosa secara kuantitatif. Wardrop, 1970
mengungkapkan selulosa terdapat pada semua tanaman dari pohon bertingkat tinggi
hingga organisme primitif seperti rumput-laut, flagelata dan bakteria. Kadar selulosa
yang tinggi terdapat dalam rambut biji (kapas, kapok) dan serabut kulit (rami, flax,
henep), lumut, ekor kuda, dan bakteria mengandung sedikit selulosa. Selulosa
merupakan bahan dasar dari banyak produk teknologi (kertas, film, serat, aditif, dan
sebagainya) dan karena diisolasi terutama dari kayu dengan proses pembuatan pulp
dalam skala besar. (Fengel, 1995).
Selulosa merupakan material yang secara alamiah terdapat pada kayu, kapas,
rami serta tumbuhan lainnya. Selulosa pertama kali diisolasi dari kayu pada tahun
1885 oleh Charles F. Cross dan Edward Bevan di Jodrell Laboratory of Royal
Botanic Gardens, Kew, London. Tetapi pada tahun 1913, Dr Jacques Branenberger
yang mengembangkan film tipis selulosa transparan sebagai produk komersial di
pabrik La Cellophane SA, Bezons, Prancis (Hoenich,2006).
Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β – 1,4- glikosida antara
unit-unit glukosa. Selulosa merupakan material penyusun jaringan tumbuhan dalam
bentuk campuran polimer homolog dan biasanya terdapat bersama-sama dengan
polisakarida lainnya serta lignin dalam jumlah bervariasi. Pemeriksaan selulosa
dengan sinar X menunjukkan bahwa selulosa terdiri dari rantai linear unit selobiosa
yang oksigen cincinnya berselang-seling dengan posisi “ kedepan” dan “
kebelakang”. Molekul linear ini mengandung rata-rata 5000 unit glukosa, beragregasi menghasilkan fibril yang terikat bersama oleh ikatan hidrogen diantara
hidroksil-hidroksil pada rantai yang bersebelahan. Walaupun manusia dan hewan lain dapat
pencernaan manusia mengandung enzim yang dapat mengkatalisis hidrolisis ikatan α
– glikosidik, tetapi tidak mengandung enzim yang diperlukan untuk menghidrolsis ikatan β – glikosidik. Namun banyak bakteri yang mengandung β – glikokinase yang
dapat menghidrolisis selulosa (Hart,dkk.2003).
Gambar 2.3 Struktur Molekul Selulosa
2.5 Nata de Coco
Nata de coco adalah jenis komponen minuman yang merupakan senyawa selulosa
(dietary fiber) yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi, yang melibatkan jasad renik (mikroba) yang dikenal dengan nama Acetobacter xylinum
(Hidayat, 2006).
Nata de coco pertama kali berasal dari Filipina. Nata diambil dari nama tuan
Nata yang berhasil menemukan nata de coco dan mulai diperkenalkan secara luas ke
masyarakat. Di Indonesia nata de coco mulai dikenal tahun 1973 dan dikembangkan
tahun 1975. Namun demikian nata de coco mulai kenal oleh masyarakat secara luas
dipasaran pada tahun 1981 (Sutarminingsih, 2004).
Definisi nata adalah suatu zat yang menyerupai gel, tidak larut dalam air dan
terbentuk pada permukaan media fermentasi air kelapa dan beberapa sari buah
masam. Nata de coco adalah jenis nata dengan medium fermentasi dari air kelapa.
Nata de coco dibuat dengan memanfaatkan air kelapa untuk difermentasikan secara
aerob dengan bantuan mikroba. Di bawah mikroskop, nata tampak sebagai massa
merupakan mikroorganisme itu sendiri seperti granula yeast yang tersusun atas sel
yeast sehingga ada yang menyangkal bahwa mengonsumsi nata sama dengan
mengonsumsi Acetobacter. Kekenyalan nata tergantung dari kondisi yang ada selama nata itu dibuat. Palungkun (1992) mengungkapkan sebagai makanan berserat, nata de
coco memiliki kandungan selulosa ± 2,5% dan lebih dari 95% kandungan air. Nata de
coco memiliki kandungan serat kasar 2,75%, protein 1,5-2,8%; lemak 0,35% dan
sisanya air. Nata dapat digambarkan sebagai sumber makanan rendah energi untuk
keperluan diet karena nilai gizi produk ini sangat rendah. Selain itu nata juga
mengandung serat yang sangat di butuhkan oleh tubuh dalam proses fisiologis
sehingga dapat memperlancar pencernaan. (Hidayat, 2006).
Gambar 2.4 Nata de Coco
Makanan ringan ini sangat terkenal di Jepang sebagai makanan diet untuk
anak-anak dan remaja. Orang Jepang percaya bahwa nata dapat menjaga tubuh dari
serangan kanker kolon dan menguntungkan karena dapat membuat lebih langsing.
Nata de coco memiliki serat yang tinggi, baik untuk sistem pencernaan, rendah kalori
dan tidak mengandung kolesterol. Nata de coco sangat digemari di Jepang tahun 1993
de coco karena Philipina merupakan negara penghasil kelapa yang sangat besar dan
sebagian besar tanah perkebunannya ditanami kelapa. Tentu saja hal ini
menguntungkan petani kecil di Philipina (Hidayat, 2006).
Nata de coco dihasilkan oleh spesies bakteri asam asetat pada permukaan
cairan yang mengandung gula, sari buah, atau ekstrak tanaman lain. Beberapa spesies
yang termasuk bakteri asam asetat dapat membentuk selulosa, namun selama ini yang
paling banyak digunakan adalah Acetobacter xylinum. Bakteri Acetobacter xylinum
termasuk genus Acetobacter (Ley & Frateur, 1974). Bakteri Acetobacter xylinum
bersifat gram negatif aerob, berbentuk batang pendek atau kokus (Moat, 1986; Forng
et al., 1989). Adanya gula sukrosa dalam air kelapa akan dimanfaatkan oleh
Acetobacter xylinum sebagai sumber energi, maupun sumber karbon untuk menghasilkan senyawa metabolit diantaranya adalah selulosa yang menghasilkan
Nata de coco. Senyawa peningkat pertumbuhan mikroba (growth promoting factor) akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, sedangkan adanya mineral dalam substrat
akan membantu meningkatkan aktifitas enzim kinase dalam metabolisme di dalam sel
Acetobacter xylinum untuk menghasilkan selulosa. (Misgiyarta, 2007). Nata de coco mempunyai struktur kimia yang sama seperti selulosa yang berasal dari tumbuhan
dan merupakan polisakarida berantai lurus yang tersusun oleh molekul-molekul β D–
glukosa melalui ikatan β 1-4 glikosida, (Philip, 2000). Pada proses fermentasi bakteri
Glukosa heksosinase
Glukokinase
UDP-Glukosa pirofosfatase
UDP (Uridin Di Fosfatase)
Gambar 2.5 Jalur pentosa fosfat (Lehninger, 1975)
Dari jalur diagram di atas, dapat dilihat bahwa glukosa dimetabolisme oleh
enzim – enzim yang ada dalam starter air kelapa tersebut, menjadi polimer selulosa,
melalui jalur pentosa fosfat, UDP glukosa pirofosfatase merupakan prekusor sintesis
selulosa. Dan polimerisasi glukosa dilaporkan terjadi dalam media ekstraseluler oleh
sintesis selulosa (Yusak, 2010).
Uning (1974) mengungkapkan bahwa pembuatan nata de coco yang diperkaya
dengan penambahan vitamin dan mineral akan mempertimggi nilai gizi pada nata de
coco.
Glukos
Glukosa 6
Glukosa 1
2.6 Acetobacter Xylinum
Acetobacter xylinum atau Gluconacetobacter xylinus merupakan bakteri berbentuk batang pendek dan tergolong ke dalam jenis bakteri Gram negatif, memiliki lebar
0-5-1 μm dan panjang 2-10 μm. Bakteri Acetobacter xylinum mampu mengoksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan asam organik lain pada waktu yang sama. Sifat
yang paling menonjol dari bakteri itu adalah memiliki kemampuan untuk
mempolimerisasi glukosa menjadi selulosa. Selanjutnya selulosa tersebut membentuk
matrik yang dikenal sebagai nata (Tomita dan Kondo, 2009).
Kedudukan Acetobacter xylinum berdasarkan taksonomi adalah :
Kingdom : Bacteria
Pylum : Proteobacteria
Class : Alpha Proteobacteria
Ordo : Rhodospirillales
Family : Psedomonadaceae
Genus : Acetobacter
Subspecies : Xylinum
Scientific name : Acetobacter xylinum (Tomoyuki, 1996)
Budiyanto (2002) menyatakan bahwa bakteri pembentuk nata termasuk
golongan Acetobacter yang mempunyai ciri-ciri antara lain Gram negatif untuk kultur yang masih muda, Gram positif untuk kultur yang sudah tua, obligat aerobik,
berbentuk batang dalam medium asam, sedangkan dalam medium alkali berbentuk
oval, bersifat non mortal dan tidak membentuk spora, tidak mampu mencairkan
gelatin, tidak memproduksi H2S, tidak mereduksi nitrat dan memiliki termal death point pada suhu 65-70°C.
banyak kadar nutrisi, semakin besar kemampuan menumbuhkan bakteri tersebut
maka semakin banyak Acetobacter xylinum dan semakin banyak selulosa yang terbentuk. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan Acetobacter xylinum dalam menghasilkan selulosa yaitu metode kultivasi, sumber karbon, sumber nitrogen, pH,
dan temperatur (Coban dan Biyik, 2011). Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang bersifat aerobik, sehingga seperti yang dikatakan Kouda et al (1997), ketersediaan oksigen dan agitasi akan berpengaruh terhadap produksi selulosa
mikrobial.
Media pertumbuhan mikroorganisme adalah suatu bahan yang terdiri dari
campuran zat makanan atau nutrisi yang diperlukan mikroorganisme untuk
pertumbuhannya. Mikroorganisme memanfaatkan nutrisi media berupa
molekul-molekul kecil yang dirakit untuk menyusun komponen sel. Melalui media
pertumbuhan dapat dilakukan isolasi mikroorganisme menjadi kultur murni dan juga
memanipulasi komposisi media pertumbuhannya.
1. Sumber Karbon (C)
Perbedaan sumber karbon dan konsentrasi yang digunakan akan berpengaruh
terhadap produksi selulosa. Ramana et al (2000) menggunakan sorbitol, glukosa, laktosa, mannitol, dan maltosa sebagai sumber karbon. Melliawati
(2008) menggunakan air kelapa dan sukrosa, sedangkan sumber karbon yang
digunakan oleh Kurosumi et al (2009) dalam penelitiannya yaitu sari buah-buahan seperti sari buah jeruk, sari buah apel, sari buah nanas, sari buah pear,
dan sari buah anggur.
2. Sumber Nitrogen (N)
Sebagian mikroorganisme dapat memanfaatkan sumber nitrogen organik dan
anorganik. Nitrogen anorganik yang sering digunakan berupa ammoonium
glutamat, seperti yang digunakan oleh Son et al (2003). Pada penelitian Melliawatti (2006) menggunakan pupuk ZA sebagai sumber nitrogen.
Ramana et al (2000) menggunakan hidrolisat protein, ammonium sulfat, glisin, sari kacang kedelai, pepton, dan sodium glutamat. Sedangkan
Saibuatong (2010) menggunakan ammonium sulfat. Pada penelitian ini
diasumsikan kebutuhan sumber N sudah dipenuhi dari substrat air kelapa dan
media Hassid Barker yang digunakan . Sumber N ini berfungsi sebagai nutrisi pertumbuhan sel.
Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang hidup pada kondisi asam, sehingga keasaman media sangat mempengaruhi pertumbuhannya. Selain itu juga
beberapa faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum yaitu suhu dan agitasi. Sifat lain dari Acetobacter xylinum yaitu merupakan bakteri aerobik, yang memerlukan oksigen untuk menunjang pertumbuhannya. Agitasi akan
berpengaruh pada distribusi nutrisi dan oksigen.
1. Keasaman (pH)
Laju pertumbuhan bergantung pada nilai pH, karena pH mempengaruhi fungsi
membran, enzim, dan komponen sel lainnya. Keasamaan (pH) menunjukkan
aktivitas ion H+ dalam suatu larutan dan pada proses fermentasi. pH media
sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan mikrobial (Suryani et al, 2000). Menurut Coban dan Biyik, (2011), bakteri Acetobacter xylinum pada umumnya tumbuh pada pH 3.5-8.5, dan akan tumbuh optimal pada pH 6.5.
Masaoka et al (1993) mengatakan bahwa pH optimum untuk produksi selulosa adalah 4-6.
2. Suhu
Suhu kultivasi berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan terhadap efisiensi
konversi substrat menjadi massa sel. Suhu yang melebihi suhu optimum
protein dan DNA yang memegang peranan kunci dalam metabolisme
pertumbuhan sel. Suhu untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum berkisar antara 28-31oC. Sakairi et al (1998) dalam penelitiannya menggunakan suhu 28oC untuk kultivasi Acetobacter xylinum. Sedangkan Coban dan Biyik (2011) menggunakan suhu 22-37oC dalam penelitiannya, dan suhu optimal
untuk menghasilkan selulosa mikrobial yaitu 30oC.
3. Agitasi
Agitasi bertujuan untuk mempertahankan homogenitas campuran media,
oksigen, dan kultur mikroorganisme serta mempercepat proses pencampuran
dan pelarutan bahan yang diinginkan. Pada sistem agitasi yang lebih tinggi,
kebutuhan oksigen terpenuhi dengan cepat. Penyebaran zat-zat makanan dan
kultur merata sehingga aktivitas mikroorganisme dan perkembangbiakan sel
berlangsung cepat. Melliawati (2008) menggunakan kecepatan agitasi sebesar
150 rpm dalam proses kultivasi bakteri.
2.7 Vitamin C
Gambar 2.6 Struktur Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176 dengan rumus molekul
kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larutan vitamin C mudah rusak,
karena bersentuhan dengan udara (terokosidasi), terutama bila terkena panas.
Oksidasi dipercepat dengan adanya tembaga dan besi. Asam askorbat tidak stabil
dalam larutan alkali, tetapi cukup stabil dalam larutan asam. Asam askorbat (vitamin
C) adalah suatu turunan heksosa dan diklasfikasikan sebagai karbohidrat, yang erat
berkaitan dengan monosakarida. Vitamin C (asam askorbat dapat disintesis dari D-
glukosa dan D-galaktosa yang banyak terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan dan
sebahagian dalam hewan. Asam askorbat terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu
L-asam askorbat (bentuk tereduksi) dan L-L-asam dehidro askorbat (bentuk teroksidasi
(Counsel 1981).
Asam askorbat mudah diabsorpsi dengan cepat dan mungkin secara difusi
pada bagian atas usus halus, lalu masuk ke dalam peredaran darah melalui vena porta.
Rata – rata absorpsi adalah 90% untuk dikonsumsi diantara 20 sampai 120 mg sehari.
Konsumsi tinggi sampai 12 gram (sebagai pil), hanya di absorpsi sebanyak 16%.
Asam askorbat (vitamin C), kemudian di bawa ke semua jaringan. Konsentrasi
tertinggi adalah dikelenjar, ginjal, pituitari dan retina. (Almatsier, 2001 ; Ceinhaska,
2001 ).
Peranan dari vitamin C ada 3 kelompok yaitu, dapat berperan untuk
mensintesis kolagen, dimana kolagen merupakan protein yang berpengaruh terhadap
integritas struktur sel. Seperti pada tulang rawan, kulit, sehingga dengan demikian
vitamin C berperan pada penyembuhan luka. Disamping itu vitamin C dapat
mengabsorbsi kalsium dimana kalsium sangat diperlukan tubuh sebagai kofaktor
untuk aktivitas enzim dan pertumbuhan tulang. (Hickey et al, 2004). Disamping itu
vitamin C juga berperan sebagai antioksidan dan dapat mempertahankan daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Sehingga vitamin C dapat mencegah senyawa – senyawa
juga dapat menurunkan kadar glukosa darah bagi penderita diabetes melitus
(Almatsier, 2001 ; Ceinhaska, 2001 ).
Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul, akan
berlangsung sepanjang hidup, dan inilah penyebab utama proses penuaan dan
berbagai penyakit degeratif. Radikal bebas yang penting dalam makhluk hidup, dan
sangat berbahaya adalah radikal bebas oksigen yaitu hidroksil, superoksida, nitrogen
monoksida, dan peroksil. Banyak enzim-enzim penting yang sangat berperan, di
dalam metabolisme tubuh di rusak oleh superoksida-superoksida diatas, sehingga
enzim-enzim tersebut tidak dapat bekerja sesuai dengan aktifitasnya masing-masing.
Akan tetapi kebanyakan kerusakan oksidatif ini di sebabkan oleh keterlibatan secara
aktif besi yang bebas di dalam reaksi redoks. Proses oksidasi ini berperan dalam
perkembangan penyakit jantung koroner (PJK), serta stroke. Hubungan antara
oksidasi dan PJK adalah melalui oksidasi LDL. Lipoprotein ini merupakan alat
pengangkut utama kolesterol, dari hati ke seluruh sel jaringan di dalam tubuh yang
membutuhkannya. Bentuk utama LDL yang teroksidasi, tidak dapat di kenali oleh
reseptornya, tetapi lebih mudah di ikat oleh makrofag, dan kemudian merangsang
pembentukan penyakit jantung koroner (PJK). (Silalahi, 2006).
Antioksidan pangan adalah suatu zat dalam makanan, yang dapat
menghambat akibat buruk dari efek senyawa oksigen yang reaktif (SOR), senyawa
nitrogen yang reaktif (SNR), atau keduanya dalam fungsi fisiologis normal pada
manusia. Antioksidan dalam makanan dapat berperan dalam pencegahan berbagai
penyakit yang berkaitan dengan proses penuaan dan sebagian kanker. Asam askorbat
(vitamin C) secara efektif akan menangkap radikal-radikal oksigen singlet, OH,
peroksil dan O
2, dan juga berperan dalam regenerasi vitamin E. Dengan mengikat
radikal peroksil dalam fase berair, dari plasma atau sitosol, vitamin C dapat
melindungi membran biologis dari kerusakan peroksidatif. Konsentrasi vitamin C
trigliserida, dan mengurangi agresi platelet, serta meningkatkan high density
lipoprotein (HDL), yang dapat mencegah PJK. (Almatsier, 2001 ; Silalahi, 2006).
Vitamin C juga dapat mencegah kanker, dengan meningkatkan sistem
kekebalan tubuh terhadap infeksi dan virus. Sebenarnya ada radikal bebas dan produk
oksidatif yang di keluarkan oleh sistem kekebalan yang dapat menguraikan sel-sel
tumor, tetapi fungsinya sering kali menyimpang. Maka aktivitas sistem kekebalan
yang optimum memerlukan suatu keseimbangan antara pembentukan radikal bebas
dan proteksi antioksidan. (Counsel, 1981).
2.8 Beta Karoten
Gambar 2.7 Struktur Beta Karoten
Betakaroten adalah suatu zat antioksidan yang terdapat pada buah-buahan, antara lain
terdapat pada wortel, kentang dan buah peach yang lezat. Zan antioksidan sangat
berguba untuk melawan zat radikal bebas yang berasal dari zat-zat beracun. Radikal
bebas adalah awal dari penyakit, termasuk disini adalah penyakit jantung yang sangat
ditakuti. Dengan adanya zat anti oksidan yang antara lain adalah beta karoten,
diketahui telah dapat mengurangi sebanyak kurang lebih 40% dengan hanya
mengkonsulsi 50 mg beta karoten setiap hari dalam menu makanannya. Tentu saja
dengan cara hidup yang sehat. (L. Lidya, 2010).
Istilah karotena digunakan untuk menunjuk ke beberapa senyawa yang
berwana jingga yang penting dalam fotosintesis. Zat ini membentuk warna jingga
dalam wortel dan banyak buah dan sayur lainnya. Beta kaoten berperan dalam dalam
fotosintesis dengan menyalurkan energi cahaya yang diserap ke klorofil. (T.Salamah,
2005).
Beta karoten diperkirakan memiliki banyak fungsi yang tidak dimiliki
senyawa lain. Jumlah yang diperlukan oleh tubuh memang hanya ukuran mg/hari.
Tetapi jika tidak dipenuhi dapat menimbulkan gangguan fungsi. Beta karoten terdapat
dalam sejumlah sayuran dan buah-buahan dan merupakan unsur yang sangat
potensial dan persenyawaan kimia yang hampir terlibat dalam berbagai reaksi
kimiawi-fisiologik dalam rangkaian metabolisme. Biasanya sayur-sayuran terang
seperti wortel, terung belanda, banyak mengandung beta karoten. Akibat kekurangan
betakaroten tidak segera dapat dirasakanm sehingga kebutuhan unsur ini jarang
menjadi perhatian. Para peneliti dari institut kanker merekomendasikan, kebutuhan
tubuh akan beta karoten setiap harinya 5-6 mg. Menurut hasil penelitian, beta karoten
bermanfaat menghambat kanker. Terutama kanker pada saluran pernafasan dan
sebagian jenis kanker serviks. Disamping itu beta karoten juga dapat berfungsi
sebagai penangkal radikal bebas karena peran antioksidannya. Beta karoten
memberikan perlindungan pada tingkat seluler dimana DNA yang merupakan suatu
inti genetik pembawa sifat keturunan diproteksi terhadap berbagai gangguan sehingga
terlindung dari senyawa lain yang mengacaukan kode genetiknya. (H.Winarsi, 2007).
2.9 Fermentasi Air Kelapa
Fermentasi adalah suatu proses pengubahan senyawa yang terkandung didalam
substrat oleh mikroba (kultur) misalkan senyawa gula menjadi bentuk lain (misalkan
selulosa / nata de coco), baik merupakan proses pemecahan maupun proses
pembentukan dalam situasi aerob maupun anaerob. Jadi proses fermentasi bisa terjadi
Fermentasi substrat air kelapa yang telah dipersiapkan sebelumnya prosesnya
sebagai berikut; substrat air kelapa disterilkan dengan menggunakan autoklaf atau
dengan cara didihkan selama 15 menit. Substrtat didinginkan hingga suhu 40oC.
Substrat dimasukkan pada nampan atau baskom steril dengan permukaan yang lebar,
dengan kedalaman substrat kira-kira 5 cm. Substrat diinokulasi dengan menggunakan
starter atau bibit sebanyak 10 % (v/v). Kemudian diaduk rata, ditutup dengan
menggunakan kain kasa. Nampan diinkubasi atau diperam dengan cara diletakan pada
tempat yang bersih, terhindar dari debu, ditutup dengan menggunakan kain bersih
untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Inkubasi dilakukan selama 10 – 15 hari,
pada suhu kamar. Pada tahap fermentasi ini tidak boleh digojok. Pada umur 10-15
hari nata dapat dipanen (Misgiyarta, 2007).
2.10 Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)
Spektroskopi inframerah merupakan teknik spektroskopi yang dapat digunakan untuk
menentukan struktur ssenyawa yang tak diketahui maupun untuk mempelajari
karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Identifikasi dengan spektroskopi inframerah adalah berdasarkan penentuan
gugus fungsinya. Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya
senyawaan yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula. Selain dari
senyawaan isomer-optik, tidak satupun antara 2 senyawaan yang mempunyai kurva
serapan inframerah yang identik. Daerah inframerah terletak pada daerah spketrum
4000-400 cm-1.
Analisis inframerah memberikan informasi tentang kandungan aditif, panjang
rantai struktur polimer. Di samping itu analisis mengenai bahan polimer yang
terdegradasi oksidatif dengan munculnya gugus karbonil dan pembentukan ikatan
gugus karbonil dan gugus karboksilat. Umumnya pita serapan polimer pada spektrum
inframerah adalah adanya ikatan C/H/rengangan pada daerah 2880 cm-1 sampai
dengan 2900 cm-1 dan renggangan dari gugus lain yang mendukung suatu analisa
mineral (Hummel, 1985).
Sistem analisa spektroskopi inframerah (IR) telah memberikan keunggulan
dalam mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisa
inframerah (IR) akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan
renggangan pada daerah serapan inframerah. Tahap awal identifikasi bahan polimer,
maka harus diketahui pita serapan yang karakterisasi untuk masing-masing polimer
dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas
ditunjukkan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya (Hummel,
1985).
Spektrofotometer inframerah terutama ditunjukkan untuk senyawa organik
yaitu menentukan gugus fungsional yang dimiliki senyawa tersebut. Pola pada daerah
sidik jari sangat berbeda satu dengan yang lain, karenanya hal ini dapat digunakan
untuk mengidentifikasi senyawa tersebut. Penetapan secara kualitatif dapat dilakukan
dengan membandingkan tinggi peak (transmitansi) pada panjang gelombang tertentu
yang dihasilkan oleh zat yang diuji dan zat yang standar. Dalam ilmu material, analisa
ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya reaksi atau interaksi antara
bahan-bahan yang dicampurkan. Selain itu, nilai intensitas gugus yang terdeteksi dapat
menentukan jumlah bahan yang bereaksi atau yang terkandung dalam suatu campuran