BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nilai Perusahaan
Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai
perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang
saham. Nilai perusahaan terkait dengan pengelolaan bisnis, kebijakan,
kondisi lingkungan kerja, dan etika bisnis. Menurut Nurlela dan Islahuddin
(2008), “nilai perusahaan didefinisikan sebagai nilai pasar, karena dapat
memberikan kemakmuran pemegang saham secara maksimum apabila harga
saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka makin
tinggi kemakmuran pemegang saham”.
Samuel (2000) dalam Nurlela dan Islahuddin (2008) menjelaskan
bahwa enterprise value (EV) atau dikenal juga sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan “konsep penting bagi investor, karena merupakan
indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan”. Sedangkan
Wahyudi dan Pawestri (2006) menyebutkan bahwa nilai perusahaan
merupakan “harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai
perusahaan tersebut dijual”.
Ada tiga alasan mengapa nilai dari setiap bisnis akan dimaksimalkan
jika bisnis diorganisasikan sebagai suatu perseroan terbatas, yaitu antara lain
1. Kewajiban terbatas mengurangi risiko yang ditanggung oleh para
investor, dan, jika semua hal yang lainnya konstan, semakin rendah risiko
perusahaan, maka semakin tinggi nilainya.
2. Nilai perusahaan akan tergantung pada peluang pertumbuhannya, yang
selanjutnya akan bergantung pada kemampuan perusahaan untuk menarik
modal. Karena perseroan terbatas dapat menarik modal secara lebih
mudah daripada bisnis-bisnis yang tidak terinkorporasi, maka dapat
dengan lebih baik mengambil keuntungan dari peluang-peluang
pertumbuhan.
3. Nilai dari suatu aset juga bergantung pada likuiditasnya, yang artinya
kemudahan untuk menjual aset dan mengubahnya menjadi uang tunai
pada suatu “nilai pasar yang wajar”. Karena investasi pada saham dari
perseroan terbatas adalah jauh lebih likuid daripada investasi yang serupa
di suatu kepemilikan perseorangan atau persekutuan, maka hal ini juga
meningkatkan nilai dari suatu perseroan terbatas.
Dari tiga alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor diatas
dapat mempengaruhi nilai perusahaan. Harga saham yang tinggi membuat
nilai perusahaan juga tinggi. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi
keinginan semua pemilik perusahaan sebab dengan nilai perusahaan yang
tinggi menunjukkan bahwa tingkat kemakmuran pemegang saham juga
tinggi. Dengan nilai perusahaan yang tinggi akan membuat pasar percaya
bahwa prospek perusahaan di masa depan akan bagus (Brigham dan
Secara umum banyak metode dan teknik yang telah dikembangkan
dalam penilaian perusahaan, diantaranya (Suharli, 2006) adalah :
“a)pendekatan laba antara lain metode rasio tingkat laba atau price earning ratio; b)pendekatan arus kas antara lain metode diskonto arus kas; c)pendekatan dividen antara lain metode pertumbuhan dividen;
d)pendekatan aktiva antara lain metode penilaian aktiva; e)pendekatan harga
saham; f)pendekatan economic value added (EVA)”.
Menurut Weston dan Copeland (2008:244) pengukuran nilai
perusahaan dapat dilakukan dengan menggunakan rasio-rasio penilaian atau
rasio pasar. Rasio penilaian merupakan ukuran kinerja yang paling
menyeluruh untuk suatu perusahaan, rasio penilaian tersebut terdiri dari :
1. Price to Book Value (PBV) yaitu perbandingan antara harga saham dengan nilai buku saham.
2. Market to Book Ratio (MBR) yaitu perbandingan antara harga pasar saham dengan nilai buku saham.
3. Market to Book Assets Ratio yaitu ekpektasi pasar tentang nilai dari peluang investasi dan pertumbuhan perusahaan yaitu perbandingan antara
nilai pasar aset dengan nilai buku aset.
4. Market Value of Equity (MVE) yaitu nilai pasar ekuitas perusahaan menurut penilaian para pelaku pasar. Nilai pasar ekuitas adalah jumlah
ekuitas (saham beredar) dikali dengan harga per lembar ekuitas.
minority interest dan saham preferen dikurangi total kas dan ekuivalen kas.
6. Price Earnings Ratio (PER) yaitu harga yang bersedia dibayar oleh pembeli apabila perusahaan itu dijual. PER dapat dirumuskan sebagai
PER = Price per Share / Earnings per Share.
7. Tobin’s Q yaitu nilai pasar dari suatu perusahaan dengan membandingkan nilai pasar suatu perusahaan yang terdaftar di pasar keuangan dengan
nilai penggantian aset (asset replacement value) perusahaan.
Indikator rasio yang dipakai untuk mengukur nilai perusahaan dalam
penelitian ini adalah Tobin’s Q. Rasio ini dikembangkan oleh Profesor
James Tobin (1976). Rasio ini merupakan konsep yang berharga karena
menunjukkan estimasi keuangan pasar saat ini tentang nilai hasil
pengembalian dari setiap dolar investasi inkremental. Rasio ini juga dipakai
untuk mendapatkan perkiraan yang akurat untuk nilai pasar dari aset
perusahaan dengan menambahkan nilai-nilai efek yang telah dikeluarkan
perusahaan. Darmawati (2004) mengatakan bahwa “rasio ini memberikan
informasi yang baik, karena memasukkan unsur hutang, modal saham
perusahaan, dan seluruh aset perusahaan karena rasio ini menjelaskan
bahwa nilai perusahaan yang baik dapat dilihat dari sisi pemegang saham
ataupun kreditor”. Jadi semakin besar nilai Tobin’s Q menunjukkan bahwa
perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang baik. Hal ini dapat terjadi
karena “semakin besar nilai pasar asset perusahaan dibandingkan dengan
mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut”
(Permanasari, 2010).
2.2 Good Corporate Governance (GCG)
Good Corporate Governance (GCG) memiliki definisi dan pandangan yang berbeda dari setiap peneliti. Definisi GCG menurut OECD
(Organization for Economic Cooperation and Development), corporate governance merupakan suatu sistem untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Struktur corporate governance menetapkan distribusi hak dan kewajiban di antara berbagai pihak yang terlibat dalam
suatu korporasi seperti dewan direksi, para manajer, para pemegang saham
dan pemangku kepentingan lainnya.
Menurut FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) (2001) pengertian GCG adalah seperangkat peraturan yang mengatur
hubungan antara pemegang saham, pengurus perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan
eksternalnya lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka.
Sedangkan tujuan GCG adalah menciptakan nilai tambah bagi para
pihak yang berkepentingan (stakeholders). GCG yang dilaksanakan dengan baik oleh perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan, yaitu “dengan
cara meningkatkan kinerja keuangan perusahaan dan mengurangi segala
resiko yang dilakukan oleh dewan komisaris yang meningkatkan
Menurut CGPI (Corporate Governance Perception Index) (2008) manfaat dari GCG untuk mengurangi agency cost, yaitu biaya yang harus ditanggung pemegang saham akibat pendelegasian wewenangnya kepada
manajemen, menurunkan cost of capital sebagai dampak dikelolanya perusahaan secara sehat dan bertanggung jawab, meningkatkan nilai saham
perusahaan, dan menciptakan dukungan stakeholders terhadap perusahaan (lincese to operate).
GCG dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang berlaku secara
internasional dan nasional. Prinsip-prinsip GCG ini diharapkan menjadi titik
rujukan bagi pemerintah dalam membangun framework bagi penerapan GCG. Ada enam prinsip-prinsip dasar penerapan GCG menurut OCED,
yaitu:
1. Landasan hukum yang diperlukan untuk menjamin penerapan Good
Corporate Governance (GCG) secara efektif (ensuring the basis for an effective corporate governance framework).
2. Hak pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan (the rights of shareholders and key ownership functions).
3. Perlakuan yang adil terhadap para pemegang saham (the equitable treatment of stakeholder).
4. Peranan the stakeholder dalam corporate governance.
5. Prinsip pengungkapan informasi perusahaan secara transparan
(disclosure and tranparancy).
Good corporate governance (GCG) dapat di proksikan ke dalam kepemilikan institusional dan komisaris independen (Praditia, 2010 ;
Yunita, 2011).
2.2.1 Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional diukur sebagai persentase saham yang
dimiliki oleh lembaga yang diungkapkan dalam laporan keuangan tahunan.
Adanya kepemilikan saham institusional dalam perusahaan dapat membantu
untuk meningkatkan pembiayaan jangka panjang dengan biaya yang
menguntungkan. Para investor institusional bertindak sebagai sumber utang
jangka panjang karena mereka bersedia memberi pinjaman kepada
perusahaan yang membutuhkan dana. Para investor institusional dapat
berfungsi sebagai “perangkat pemantauan yang efektif atas
keputusan-keputusan strategis perusahaan” (Hasan, 2009).
Menurut Praditia (2010) “institusi dengan investasi yang substansional
pada perusahaan dapat memperoleh insentif atau bonus yang besar untuk
dapat memantau manajer yang secara aktif melakukan abnormal accounting accrual sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan”. “Adanya pengelolaan laba yang baik dan efisien maka kepemilikan institusional yang
tinggi akan meningkatkan pengelolaan laba, tetapi jika ada pengelolaan laba
yang buruk dan tidak efisien maka kepemilikan institusional yang tinggi
2.2.2 Komisaris Independen
KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) (2006) mengatakan
bahwa “Komisaris independen merupakan pihak yang tidak mempunyai
hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali,
anggota Direksi dan Dewan Komisaris, serta dengan perusahaan itu
sendiri”. Tugas utama dari dewan komisaris adalah melakukan pengawasan
terhadap perumusan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan tersebut oleh
direksi dalam menjalankan perusahaan sesuai dengan anggaran dasar serta
memberi nasihat kepada direksi.
“Komisaris independen memiliki peran penting bagi perusahaan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat independensi dewan
komisaris dapat mempengaruhi nilai perusahaan” (Handoko, 2009).
Menurut Darwis (2009) dalam Laila (2011), “adanya komisaris independen
yang berasal dari luar perusahaan diharapkan akan direaksi positif oleh
pasar (investor), karena kepentingan investor akan lebih dilindungi”.
2.3 Kinerja Keuangan
Kinerja keuangan merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur dan
menentukan sejauh mana kualitas perusahaan dan prestasi kerja yang
dicapai perusahaan. Alat ukur yang dipakai adalah laporan keuangan yang
mencakup rasio keuangan yang dimiliki oleh perusahaan. Laporan keuangan
bersama-sama memberikan suatu gambaran tentang posisi keuangan
perusahaan (IAI, 2007).
Banyak manfaat yang diperoleh perusahaan dalam mengukur kinerja
keuangan, seperti mengelola organisasi, membantu karyawan dalam
mengambil keputusan, memberikan kegiatan pelatihan, dan menyediakan
umpan balik kepada karyawan untuk menilai kinerja mereka (Sucipto,
2003). Dari manfaat tersebut, maka dapat menunjukkan bahwa seorang
manajer harus dapat mengelola perusahaan sesuai dengan sasaran dan
perencanaan dimasa yang akan datang.
Pengukuran kinerja keuangan berdasarkan analisis rasio keuangan
dapat dikelompokkan menjadi lima ruang lingkup (Brigham dan Houston,
2010), yaitu :
1. Rasio Likuiditas, yaitu rasio yang menunjukkan hubungan antara kas dan
aset lancar perusahaan lainnya dengan kewajiban lancarnya.
2. Rasio Solvabilitas, yaitu rasio ini menggambarkan kemampuan
perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjangnya atau
kewajiban-kewajiban apabila perusahaan dilikuidasi.
3. Rasio Aktivitas, yaitu rasio yang mengukur seberapa efektif sebuah
perusahaan mengatur asetnya atau hartanya.
4. Rasio Profitabilitas, yaitu rasio yang menunjukkan kombinasi dari
pengaruh likuiditas, manajemen aset, dan utang pada hasil operasi.
5. Rasio Pasar, yaitu rasio yang menghubungkan harga saham perusahaan
Dari kelima rasio diatas yang berkaitan langsung dengan kepentingan
analisis kinerja keuangan yaitu rasio profitabilitas. “Rasio profitabilitas
dianggap dapat mencakup semua pengaruh dari aset dan diakui sebagai
indikator kunci dari kinerja keuangan sehingga dapat menghasilkan
keuntungan bagi perusahaan” (Helfert, 2002). Oleh sebab itu rasio
profitabilitas merupakan indikator yang sangat penting bagi para pemegang
saham dan investor untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk
memperoleh laba dan dividen dimasa depan. ROA dan ROE dapat
digunakan sebagai “alat utama untuk menganalisis penilaian kinerja”
(Khatab,et,.al, 2011 ; Paranita , 2007 ; Suryono dan Prastiwi, 2011).
2.3.1 Return on Assets (ROA)
Menurut Mamduh dan Halim(2000:83) dalam Manalu (2009) ”Return On Assets adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba dengan mengunakan total asset (kekayaan) yang dimiliki
perusahaan setelah disesuaikan dengan biaya-biaya untuk mendanai asset
tersebut”. “Return on Assets (ROA) termasuk di dalam rasio profitabilitas karena ROA memberikan ide tentang bagaimana efisiennya manajemen
dalam menggunakan asetnya untuk menghasilkan laba” (Ang, 2007).
Semakin besar ROA menunjukkan kinerja yang semakin baik, karena
tingkat pengembalian yang semakin besar. Keuntungan dari ROA
roa dapat digunakan untuk mengukur profitabilitas dari masing-masing
perusahaan; c) roa berguna untuk kepentingan perencanaan”.
2.3.2 Return on Equity (ROE)
Return on Equity (ROE) digunakan untuk mengukur profitabilitas perusahaan dengan mengungkapkan berapa banyak perusahaan
menghasilkan uang dengan pemegang saham yang telah melakukan
investasi. “ROE digunakan untuk kinerja manajemen bank dalam mengelola
modal yang tersedia untuk menghasilkan laba setelah pajak” (Khatab,et,.al, 2011).
Return on Equity menunjukkan apakah manajemen meningkatkan nilai perusahaan pada tingkat yang dapat diterima. Rasio ini berguna untuk
mengetahui seberapa jauh hasil yang diperoleh dari penanam modal. ROE
merupakan rasio laba bersih terhadap ekuitas biasa dimana dapat mengukur
tingkat pengembalian atas investasi pemegang saham biasa. “ROE tidak
mempunyai pengaruh terhadap return saham, hal itu disebabkan karena investor dalam membeli saham tidak mempertimbangkan besar kecilnya
ROE“ (Raharjo, 2005).
Pada prinsipnya Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan memiliki definisi yang beragam sesuai
dengan visi dan misi masing-masing perusahaan. European Commision
berpendapat bahwa Corporate Social Responsibility adalah sebuah konsep dimana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan
lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan
para stakeholder berdasarkan prinsip kesukarelaan. Menurut ISO 26000,
dalam Solihin (2008) mengenai Guidance on Social Responsibility :
“Tanggung jawab sosial adalah tanggung jawab suatu perusahaan atas dampak dari berbagai keputusan dan aktivitas mereka terhadap masyarakat dan lingkungan melalui suatu perilaku yang terbuka dan etis, yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, memerhatikan ekspektasi para pemangku kepentingan, tunduk kepada hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma perilaku internasional dan diintegrasikan ke dalam seluruh bagian organisasi”.
Elkington (1997) dalam Solihin (2008), menyatakan bahwa CSR
dibagi menjadi tiga komponen yang dikenal dengan Triple Bottom Line, yaitu : “a) profit (keuntungan) ; b) people (masyarakat) ; c) planet
(lingkungan)”. Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan yang
memiliki keberlanjutan dalam berusaha haruslah memperhatikan tiga
komponen tersebut. Pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan
umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudit (belum diaudit), dan
unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu). Darwin (2004) dalam Anggraini (2006) mengatakan bahwa program-program CSR terbagi
1. Program ekonomi, yaitu program perusahaan yang melakukan
tindakan untuk terjun langsung di dalam masyarakat untuk
membantu memperkuat ketahanan ekonomi dan menjadikan
masyarakat yang tangguh dan mandiri.
2. Program lingkungan, yaitu program perusahaan yang bertujuan
untuk menjaga ekosistem dan lingkungan agar terjaga dari
kerusakan dan meminimalisir terjadinya polusi akibat dari aktivitas
perusahaan.
3. Program sosial, yaitu program perusahaan yang melakukan
kegiatan kedermawanan untuk membangun masyarakat dan
meningkatkan taraf hidup manusia. Di dalam program sosial ada
berbagai macam program yang dapat dijalankan oleh perusahaan,
pendidikan, dan pelayanan kesehatan umum.
2.5 Ukuran Perusahaan (Firmsize)
Ukuran perusahaan adalah nilai yang menunjukkan besar kecilnya
perusahaan (Hasan, 2009). Jumlah karyawan, jumlah aset, jumlah penjualan,
dan kapitalisasi pasar merupakan proksi yang digunakan untuk mengukur
ukuran perusahaan. Ukuran Perusahaan berhubungan degan fleksibilitas dan
kemampuan untuk mendapatkan dana dan laba dengan melihat pertumbuhan
penjualan saham (Haruman, 2008). Menurut Guna dan Herawaty (2010)
dalam Sudarmadji dan Sularto (2007) jika perusahaan memiliki total aset
itu penjualan, perputaran uang, dan kapitalisasi pasar dalam perusahaan
tersebut semakin dikenal oleh masyarakat.
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan nilai perusahaan telah banyak
dilakukan di dalam maupun luar negeri dengan karakteristik perusahaan
yang berbeda-beda dan hasil penelitian yang berbeda-beda pula.
Paranita (2007) menggunakan “5 variabel yaitu, insider ownership, kebijakan hutang, tingkat profitabilitas, ukuran perusahaan, dan nilai
perusahaan. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa insider ownersip,
kebijakan hutang, tingkat profitabilitas, dan ukuran perusahaan berpengaruh
positif pada nilai perusahaan”.
Handoko (2010) menggunakan “5 variabel yaitu, ROA, ROE, CSR,
Komisaris Independen, dan Nilai Perusahaan. Hasil penelitian tersebut
menyebutkan bahwa ROA dam ROE berpengaruh positif pada nilai
perusahaan, sedangkan CSR dan Komisaris Independen berpengaruh positif
pada nilai perusahaan”.
Permanasari (2010) menggunakan “4 variabel yaitu, kepemilikan
manajemen, kepemilikan institusional, corporate governance responsibility, dan nilai perusahaan. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa
kepemilikan manajemen dan kepemilikan institusional berpengaruh negatif
pada nilai perusahaan, sedangkan corporate social responsibility
Praditia (2010) menggunakan “6 variabel yaitu, kepemilikan
institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen, kualitas
auditor, manajemen laba, dan nilai perusahaan. Hasil penelitian tersebut
menyebutkan bahwa kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,
komisaris independen, kualitas auditor, tidak mempunyai pengaruh terhadap
manajemen laba dan nilai perusahaan”.
Yunita (2011) menggunakan “8 variabel yaitu, ROA, DER, DPR,
Kebijakan utang, Kebijakan deviden, Size, Komisaris independen, dan nilai
perusahaan. Hasil penelitia tersebut menyebutkan bahwa ROA, DER, DPR,
dan Size berpengaruh positif pada nilai perusahaan, sedangkan kebijakan
utang, kebijakan deviden, komisaris independen berpengaruh negatif pada
nilai perusahaan”.
Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian
1 Paranita
X2 : kebijakan hutang X3 : ROA
X4 : ROE X5 : ukuran perusahaan
Y : nilai perusahaan
Insider ownership,
signifikan pada nilai perusahaan.
perusahaan
Y : Nilai Perusahaan
perusahaan.CSR dan GCG berpengaruh positif pada kinerja keuangan dan nilai perusahaan.
3 Permanasari (2010)
XI : kepemilikan manajemen X2: kepemilikan institusional
X3 : corporate social responsibility
Y : nilai perusahaan
Kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional tidak berpengaruh
signifikan pada nilai perusahaan.
X1 : kepemilikan institusional X2 : kepemilikan manajerial X3 : komisaris independen
X4 : kualitas auditor Y1 : manajemen laba Y2 : nilai perusahaan
Kepemilikan auditor tidak
berpengaruh signifikan pada manajemen laba dan nilai perusahaan.
Profitabilitas,
X4 : Kebijakan Utang X5 : Kebijakan Deviden X6 : Size
X7 : Komisaris Independen
Y : Nilai Perusahaan
pengaruh signifikan
2.7 Kerangka Konseptual
Berdasarkan analisis dalam landasan teori dan penelitian terdahulu
yang menguji faktor-faktor yang mempengaruhi nilai perusahaan diatas
maka dapat digambarkan suatu kerangka pemikiran sebagai berikut:
Gambar 2.1
Skema Kerangka Konseptual
H1 Kepemilikan Institusional (X1)
Komisaris Independen (X2)
Return on Assets (ROA) (X3)
Return on Equity (ROE) (X4)
CSR (X5)
Ukuran Perusahaan (X6)
Nilai Perusahaan (Tobin’s Q)
2.8 Hipotesis Penelitian
Menurut Erlina (2008), ”hipotesis menyatakan hubungan yang diduga
secara logis antara dua variabel atau lebih dalam rumusan proposisi yang
dapat diuji secara empiris”. Dari kerangka pemikiran diatas, maka
hipotesis-hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut :
Hipotesis 1 : Kepemilikan institusional berpengaruh secara parsial
terhadap nilai perusahaan.
Hipotesis 2 : Komisaris independen tidak berpengaruh secara parsial
terhadap nilai perusahaan.
Hipotesis 3 : ROA berpengaruh secara parsial terhadap terhadap nilai
perusahaan.
Hipotesis 4 : ROE berpengaruh secara parsial terhadap nilai perusahaan.
Hipotesis 5 : Corporate Social Responsibility (CSR) berpengaruh secara parsial terhadap nilai perusahaan.
Hipotesis 6 : Ukuran perusahaan (FIRM SIZE) berpengaruh secara parsial terhadap nilai perusahaan.
Hipotesis 7 : Kepemilikan Institusional, Komisaris Independen, ROA,
ROE, CSR, dan Ukuran Perusahaan berpengaruh secara