• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERJANJIANDALAM KUH PERDATA A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian - Aspek Hukum Perjanjian Pengangkutan Barang Dalam Penyelenggaraan Angkutan Darat (Studi Pada PT Bintang Rezeki Utama Jakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERJANJIANDALAM KUH PERDATA A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian - Aspek Hukum Perjanjian Pengangkutan Barang Dalam Penyelenggaraan Angkutan Darat (Studi Pada PT Bintang Rezeki Utama Jakarta)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PERJANJIANDALAM KUH PERDATA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian

Suatu perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan

hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan

hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada

pihak lain untuk menunaikan prestasi.8

Dengan demikian, perjanjian/verbintenis adalah hubungan hukum/

rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara

perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum

antara perorangan/ person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam

lingkungan hukum.

Dari pengertian singkat diatas kita jumpai didalamnya beberapa unsur

yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain : hubungan hukum

(rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (person)

atau lebih, yang member hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain

tentang suatu prestasi.

9

8

M.Yahya Harahap., Segi-Segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hal. 6.

9

(2)

Menurut R. Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji

untuk melaksanakan suatu hal.10

Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, Perjanjian adalah sebagai suatu

perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu

pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak

lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut

yang dinamakan perikatan.Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan

perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.Jadi perjanjian

adalah sumber perikatan.Perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak

itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan dua perkataan (perjanjian

dan persetujuan) itu adalah sama artinya dengan perkataan kontrak, yang sifatnya

khusus untuk suatu perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

11

Dalam hal suatu perhubungan hukum mengenai suatu benda hukum

perdata memperbedakan hak terhadap benda dari pada hak terhadap orang,

sedemikian rupa bahwa meskipun suatu perjanjian adalah mengenai suatu benda,

perjanjian itu tetap merupakan perhubungan hukum antara orang dan orang, lebih Maka kalau seorang berjanji melaksanakan sesuatu hal, janji ini dalam

hukum pada hakekatnya ditujukan kepada orang lain. Berhubung dengan ini dapat

dikatakan bahwa, sifat pokok dari hukum perjanjian adalah semula mengatur

perhubungan hukum antara orang-orang, jadi semula tidak antara orang dan suatu

benda.

10

R. Subekti., Hukum Perjanjian, Cetakan ke IX, PT. Intermasa, Jakarta, 1984, hal. 1. 11

(3)

tegas lagi antara seorang tertentu dan orang lain tertentu. Arti hukum perdata tetap

mengandung suatu perjanjian sebagai perhubungan hukum dimana seorang

tertentu, berdasarkan atas suatu janji berwajib untuk melakukan sesuatu hal dan

orang lain tertentu berhak menuntut pelaksanaan kewajiban itu.

Menurut Tirtodiningrat, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum

berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan

akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-undang.12

Dalam bab II diatur ketentuan umum mengenai persetujuan sedangkan

ketentuan khusus diatur dalam bab V s/d XVIII ditambah bab VII A. Suatu

perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan Berdasarkan pengertian ini dapat dilihat bahwa suatu perjanjian terjadi

apabila adanya kata sepakat. Apakah perjanjian tersebut dibuat baik secara

langsung misalnya saling berhadapan antara dua orang yang saling memiliki

kepentingan, maupun dalam bentuk tidak langsung misalnya dengan memakai

perantara seperti surat menyurat.

Apabila diantara kedua belah pihak yang memiliki kepentingan yang

berbeda tersebut menyatakan kesepakatannya maka dalam hal ini telah dapat

dibuat suatu perjanjian, karena apabila tidak ada kata sepakat antara kedua belah

pihak akan mengakibatkan perjanjian tersebut tidak ada.

Pengaturan tentang perjanjian, terdapat pada buku III KUH Perdata, yang

terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum terdiri dari

empat (IV) bab, dan bagian khusus terdiri dari lima belas (XV) bab.

12

(4)

sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu

adalah sama artinya.

Dengan demikian jelas bahwa pengertian persetujuan adalah sama dengan

pengertian kontrak. Akan tetapi perkataan kontrak lebih sempit karena ditujukan

kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Dan juga pengertian kontrak lazimnya ditujukan pada suatu perjanjian

yang diadakan secara tertulis atau yang diadakan dikalangan bisnis (dunia

usaha).13

13

R. Subekti., Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1980, hal. 11.

Pasal 1313 memberikan defenisi mengenai persetujuan sebagai berikut :

“Persetujuan adalah suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Teranglah bagi kita bahwa pasal 1313

KUH Perdata itu memberikan pengertian tentang arti perjanjian, lain dari pada itu

suatu perjanjian telah ada apabila ada perbuatan hukum dari satu orang atau lebih

mengikatkan diri.Sehingga oleh karena itu Pasal 1313 KUH Perdata dapat

dikatakan sebagai ketentuan dasar yang mengatur suatu perjanjian.

Dengan demikian, melalui Pasal 1313 KUH Perdata ini dapat memberikan

rumusan yang sangat sederhana tentang perjanjian.Oleh karena itu adalah

merupakan tugas ilmu pengetahuan hukum untuk menguraikan selanjutnya serta

melengkapi pengertian yuridis dari perjanjian itu.

Selanjutnya Pasal 1313 KUH perdata memberikan batasan dari bunyi

sebagai berikut : semua persetujuan, baik yang mempunyai nama khusus maupun

yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu tunduk kepada

(5)

Pengertian suatu perjanjian dapat pula dibagi dalam pengertian :

1. Perjanjian arti sempit yaitu perjanjian itu berarti segala perjanjian yang

diatur dalam buku III KUH Perdata dan KUHD yang juga dikuasai oleh

prinsip dalam buku III KUH Perdata.

2. Perjanjian dalam arti luas yaitu segala macam hubungan hukum, dimana

janji itu merupakan inti pokok dari hubungan hukum itu. Jadi

pengertiannya tidak hanya mencakup perjanjian yang diatur dalam buku

III KUH Perdata, tetapi juga mencakup seluruh hubungan hukum, dimana

janji itu merupakan inti pokok.

Misalnya :

Perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh pihak-pihak yang sering

disebut dengan perjanjian tidak bernama seperti : sewa beli.14

Dengan demikian pengertian dari pada perjanjian pengangkutan ini adalah

consensual (timbal balik) dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk Selanjutnya sebagai tambahan mengenai pengertian dari pada suatu

perjanjian dijelaskan juga bahwa, tidak semua perjanjian itu mempunyai akibat

hukum. Apabila tidak memenuhi syarat-syarat sahnya untuk suatu perjanjian

seperti yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata, misalnya : Judi.

Pengingkaran terhadap hubungan semacam ini, tidak akan menimbulkan

akibat hukum. Tetapi sebaliknya bila perjanjian itu tidak melanggar pasal 1320

KUH Perdata, maka sekalipun tidak dinyatakan secara tegas bahwa perjanjian itu

akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak, dengan sendirinya perjanjian

itu akan menimbulkan akibat hukum.

14

(6)

menyelenggarakan pengangkutan barang dari suatu tempat ke tempat tujuan

tertentu, dan pengirim barang (pemberi order) membayar biaya/ongkos angkutan

sebagaimana yang disetujui bersama.15

B. Subjek dan Objek Perjanjian 1. Subjek Perjanjian

Dimuka telah ditegaskan bahwa perjanjian timbul, disebabkan oleh adanya

hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih.Pendukung hukum

perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu.Masing-masing orang

itu menduduki tempat yang berbeda.Satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang

seorang lagi sebagai pihak debitur.

Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian.Kreditur

mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.

Beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau

sebaliknya, tidak mengurangi sahnya perjanjian.Atau jika pada mulanya kreditur

terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja

berhadapan dengan debitur, juga tidak mengurangi nilai sahnya perjanjian.

Kemudian sebagai tambahan mengenai subjek perjanjian yang

sebagaimana diatur pada Pasal 1329 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap

orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh

undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.

Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan, tidak cakap membuat persetujuan

adalah :

15

(7)

1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan

3. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang

dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah

melarang membuat persetujuan-pesetujuan tertentu.

Kriteria orang yang belum dewasa menurut Pasal 1330 KUH Perdata adalah :

ayat (1) : Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur

genap 21 tahun, dan tidak terlebih dahulu telah kawin.

ayat (2) : Apabila dalam perkawinan itu dibubarkan sebelum umur

mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam

kedudukan belum dewasa.

ayat (3) : Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah

kekuasaan orang tua, berada perwalian atas dasar dan dengan

cara sebagaimana dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan

keenam bab ini.

Sebagaimana yang terdapat dalam pasal yang disebut diatas dapat

diketahui bahwa undang-undang menetapkan batas usia seseorang itu dinyatakan

dewasa yaitu 21 tahun, diluar ketentuan ini seseorang tersebut masih dinyatakan

belum dewasa, dengan demikian maka ia tersebut tidak dapat atau tidak cakap

untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal perjanjian.

Pengecualian dari ketentuan di atas dapat dilihat ayat (2) nya yang antara

lain menyatakan, apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap

(8)

Tegasnya seseorang yang belum mencapai 21 tahun tetapi telah

melangsungkan perkawinan menurut ketentuan hukum perdata telah dinyatakan

dewasa. Dan apabila mereka bercerai sedang usia mereka masih di bawah 21

tahun, maka keadaan ini tidak menyebabkan berubahnya kedudukan mereka,

artinya kedudukan dewasa yang diperbolehkan karena perkawinan itu tetap

melekat padanya walaupun perkawinan mereka berakhir.

Lain halnya orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dimana orang

tersebut karena keadaan-keadaan tertentu dinyatakan tidak cakap untuk

melakukan perbuatan hukum.Misalnya karena dungu, gila atau karena

pemboros.Maka untuk melakukan perbuatan hukum mereka dibantu oleh

kuratornya.

Menurut Pasal 1446 KUH Perdata, orang-orang yang belum dewasa atau

orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, maka akibatnya dapat dibatalkan

(vernietigbaar), oleh anak yang belum cakap umur itu (dalam hal ini dilakukan

oleh orang tuanya atau walinya) dapat diminta pada hakim agar perjanjian tersebut

dibatalkan, jadi pihak lawan tidak dapat minta pembatalan tersebut, dia telah

membuat perjanjian, maka perjanjian itu dapat saja dimintakan pembatalannya

kepada hakim oleh pengampunya (curator).

Dalam pengertian orang-orang dibawah pengampuan itu, juga termasuk

kedalamnya orang-orang yang sakit jiwa, pemabuk dan sebagainya.Sehingga

mereka tidak cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum.Dengan demikian

(9)

2. Objek Perjanjian

Objek perjanjian adalah prestasi, berupa memberikan sesuatu, berbuat

dan/atau tidak berbuat sesuatu.Pada perjanjian untuk memberikan sesuatu,

prestasinya berupa menyerahkan sesuatu barang atau memberikan kenikmatan

atas sesuatu barang. Berbuat sesuatu, adalah setiap prestasi untuk melakukan

sesuatu yang bukan berupa memberikan sesuatu, misalnya bekerja. Tidak berbuat

sesuatu, adalah jika debitur berjanji untuk tidak melakukan perbuatan tertentu,

seperti misalnya tidak boleh merokok di tempat kerja.16

Objek perjanjian memerlukan beberapa syarat, yaitu :17

1. Tertentu atau dapat ditentukan, artinya terjadinya perjanjian karena adanya

suatu ojek tertentu/atau dapat ditentukan. Hanya perjanjian dengan objek

yang dapat ditentukan diakui sah;

2. Objeknya diperkenankan, perjanjian tidak akan menimbulkan perjanjian

jika objeknya bertentangan dengan undang-undang ketertiban umum atau

kesusilaan;

3. Prestasinya dimungkinkan untuk dilaksanakan secara obyektif dan

subyektif. Secara obyektif, setiap orang mengetahui bahwa prestasi

mungkin dilaksanakan dan karenanya kreditur dapat mengaharapkan

pemenuhan prestasi tersebut. Pada ketidakmungkinan objektif tidak akan

timbul perjanjian.

Prestasi pada ketidakmungkinan objektif tidak dapat dilaksanakan oleh

siapapun.Misalnya prestasinya berupa membangun sebuah rumah dalam

sehari.Sedangkan secara subjektif, kemungkinan itu hanya diketahui oleh debitur

16

Mohd Syaufii Syamsuddin., Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005, hal. 6

(10)

yang bersangkutan saja. Sehingga debitur yang dengan janjinya menimbulkan

kepercayaan kepada kreditur, bahwa debitur mampu melaksanakan prestasi, harus

bertanggung jawab atas pemenuhan prestasi itu.Pada ketidak-mungkinan subjektif

tidak menghalangi terjadinya perjanjian.Hanya debitur yang bersangkutan saja

yang tidak dapat melaksanakan prestasinya, misalnya seorang yang tidak pandai

pembukuan diminta membuat neraca perusahaan.

Memperhatikan Pasal 1239, 1240, 1241, dan 1243, prestasi dalam

pasal-pasal tersebut; yaitu prestasi untuk melakukan/berbuat atau tidak melakukan

sesuatu, nampaknya seolah-olah prestasi yang menjadi voorwerp/objeknya tak

mesti sesuatu yang harus dapat mulai dengan uang.

Berdasarkan adanya pengaturan yang berupa penggantian sesuatu kerugian

yang tidak berwujud berarti prestasi yang jadi objek perjanjian bisa saja

merupakan sesuatu yang tak bernilai uang.Pendapat ini, bertitik tolak dari

pengertian ganti rugi yang tak berwujud, yang berupa pemulihan kerugian

dibidang moral dan kesopanan. Akan tetapi ada yang berpendapat, prestasi suatu

perjanjian harus bias dinilai dengan uang (geldswaarde).

Pendapat ini didasarkan pada pendirian, bahwa setiap prestasi harus

mempunyai “nilai ekonomi”.Jika setiap prestasi harus mempunyai nilai ekonomi,

dengan sendirinya prestasi itu harus mempunyai nilai uang.Inilah prinsip umum

yang melandasi suatu perjanjian.Tentang ketentuan yang mengatur ganti rugi yang

berupa sesuatu kerugian tak berwujud, yaitu kerugian dibidang moral yang tak

dapat dinilai dengan uang, adalah merupakan ketentuan pasal-pasal yang tidak

masuk dalam prinsip umum verbintenis/perjanjian.Ketentuan-ketentuan semacam

(11)

C. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Serta Akibat Hukumnya 1. Syarat-syarat sahnya Perjanjian

Sebuah perjanjian yang telah memenuhi syarat dan sah, mengikat sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Oleh karena itu agar keberadaan

suatu perjanjian diakui oleh undang-undang, harus dibuat sesuai dengan

syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Syarat sahnya suatu perjanjian

menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata adalah sepakat mereka yang

mengikatkan diri, cakap membuat perjanjian, suatu hal tertentu, dan suatu sebab

yang halal.18

1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri

Kesepakatan adalah salah satu syarat sahnya perjanjian.Oleh karena itu,

saat lahirnya perjanjian atau untuk menentukan ada atau tidaknya perjanjian

adalah dari adanya kesepakatan. Kesepakatan merupakan persesuaian pendapat

satu sama lainnya tentang isi perjanjian dan mencerminkan kehendak untuk

mengikatkan diri. Hal yang penting pada suatu perjanjian adalah, bahwa

masing-masing pihak menyatakan persetujuannya sesuai dengan pernyataan pihak

lainnya.

2. Cakap Membuat Perjanjian

Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum.Yang

dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban,

baik orang atau badan hukum, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu.Jika

yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus

memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah.Dengan terpenuhinya syarat

18

(12)

tersebut, barulah badan hukum itu dapat disebut sebagai pendukung hak dan

kewajiban atau sebagai subyek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum.

Jika para pihak yang membuat perjanjian adalah orang-orang yang

dianggap sebagai subyek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum dengan

pihak lain, adalah orang-orang yang tidak termasuk di dalam ketentuan pasal 1330

KUH Perdata, yaitu:

1. Orang Yang Belum Dewasa

Kriteria mengenai orang yang belum dewasa menurut KUH Perdata,

adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan

sebelumnya belum kawin. Pengecualiannya, dalam membuat perjanjian kerja,

syarat kecakapan yang menjadi salah satu syarat sahnya perjanjian, usia dewasa

untuk cakap membuat perjanjian kerja berbeda. Seseorang sudah dianggap dewasa

apabila berumur 18 tahun baik laki-laki maupun perempuan.Dengan demikian,

mengenai cakap dalam membuat perjanjian kerja, untuk pekerja dapat

menyimpang dari pasal 1330 KUH Perdata.

2. Mereka Yang Berada Di Bawah Pengampuan

Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang

dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau

boros.Pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak

mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk

mengadakan perjanjian.

Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung

jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian.Orang yang

(13)

harta kekayaannya.Ia berada dibawah pengawasan pengampu. Kedudukannya,

sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum

dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, seorang dewasa yang telah

ditaruh dibawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.

3. Orang Perempuan Yang Bersuami

Pada awalnya, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan

suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin tertulis dari suaminya. Tidak

cakapnya seorang perempuan yang bersuami berdasarkan KUH Perdata itu, di

Negeri Belanda sendiri sudah dicabut, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan

kemajuan jaman. Ketentuan tersebut di Indonesia juga sudah dihapuskan.

Mahkamah Agung menganggap Pasal 108 s/d 110 KUH Perdata tentang

wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap

di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku

lagi. Kemudian sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, ketentuan seperti disebutkan pada Pasal 1330 KUH Perdata tersebut

lebih tegas lagi dinyatakan tidak berlaku. Undang-undang Perkawinan

menyebutkan, hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan

hukum.

4. Orang Yang Dilarang Undang-Undang

Dalam kasus yang dilarang oleh Undang-undang, dapat diambil contoh

(14)

perjanjian kerja antara suami istri adalah batal, dengan demikian undang-undang

melarang suami dan istri untuk membuat perjanjian kerja.

3. Suatu Hal Tertentu

Suatu hal tertentu sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian, adalah

sesuatu yang di dalam perjanjian tersebut telah ditentukan dan disepakati.Karena

sesuatu yang menjadi obyek suatu perjanjian harus ditentukan atau

dinikmati.Kalau berupa barang dapat dinikmati, atau dapat ditentukan dan

dihitung.Misalnya dalam melakukan perjanjian kerja, untuk menyerahkan tenaga

dan fikirannya kepada pengusaha untuk melakukan pekerjaan dengan menerima

upah, yang dilakukan selama suatu masa tertentu.

4. Suatu Sebab Yang Halal

Sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh undang-undang, tidak

bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.Suatu perjanjian yang

dibuat dengan sebab yang tidak halal, tidak sah menurut hukum.

Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah mengenai isi perjanjian,

harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa itu adalah sesuatu

yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud.Sesuatu yang

menyebabkan seorang membuat perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat

perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan oleh undang-undang. Hukum tidak

menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang

dicita-citakan seorang. Gagasan, cita-cita, pertimbangan yang menjadi dorongan untuk

melakukan perbuatan, bagi undang-undang tidak penting, sepanjang tidak

(15)

diperhatikan undang-undang hanyalah tindakan orang dalam pergaulan

masyarakat.

2. Akibat Hukumnya

Akibat hukum dari suatu perjanjian secara jelas disebutkan dalam pasal

1338 KUH Perdata :

Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dari ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata tersebut di atas dapat dilihat

bahwa semua persetujuan, baik persetujuan yang bernama maupun yang tidak

bernama yang dibuat sesuai dengan ketentuan hukum, mengikat para pihak yang

membuat atau dibuat secara sah yang berarti dalam pembuatan perjanjian itu

adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata sehingga dengan

demikian perjanjian yang dibuat itu mengikat dan mempunyai kekuatan hukum

bagi kedua pihak yang berlaku sebagai undang-undang.

Jika dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disimpulkan adanya azas

kebebasan berkontrak yang disesuaikan dengan pasal 1320 Perdata, maka

perjanjian yang dibuat para pihak tidaklah dapat ditarik seketika tanpa adanya kata

sepakat kedua belah pihak (Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata).

Selanjutnya menurut Pasal 1339 KUH Perdata, persetujuan itu tidak hanya

(16)

segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,

kebiasaan, undang-undang.

D. Jenis-Jenis Perjanjian

Jenis-jenis perjanjian dalam pengertian umum menurut Mariam Darus,

dapat dibedakan sebagai berikut: 19

1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban pada satu

pihak saja, dan hak pada pihak lain, misalnya: perjanjian hibah, hadiah dan

sebagainya. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang

memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak.Perjanjian timbal

balik adalah perjanjian yang paling umum terjadi dalam kehidupan

masyarakat, misalnya perjanjian jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya.

2. Perjanjian dengan cuma-cuma dan atas beban

Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian dimana salah satu pihak

mendapatkan keuntungan dari pihak yang lain secara cuma-cuma. Sedangkan

perjanjian atas beban adalah perjanjian atas prestasi pihak yang satu terdapat

prestasi pihak yang lainnya. Antara kedua prestasi tersebut terdapat hubungan

hukum satu dengan yang lain, misalnya jual beli, sewa menyewa.

3. Perjanjian konsensual, riil dan formil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang terjadi dengan kata

sepakat.Perjanjian riil adalah perjanjian selain diperlukan kata sepakat juga

diperlukan penyerahan barang. Misalnya: penitipan barang, pijam pakai dan

pinjam mengganti.

19

(17)

4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir.

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan

haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir

adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan

penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).

Menurut KUH Perdata perjanjian saja belum lagi mengakibatkan beralihnya

hak milik atas benda yang diperjual belikan, masih diperlukan satu lembaga

lain yaitu penyerahan. Perjanjian jual belinya sendiri itu dinamakan perjanjian

obligatoir, karena membebankan kewajiban (oblige) kepada para pihak untuk

melakukan penyerahan (levering).Penyerahan sendiri adalah merupakan

perjanjian kebendaan untuk perjanjian benda-benda bergerak maka perjanjian

obligatoir dan perjanjian kebendaannya jatuh bersamaan.

5. Perjanjian bernama dan tidak bernama.

Perjanjian-perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian dimana oleh

undang-undang telah diatur secara khusus. Diatur dalam KUH Perdata bab V

s/d XVIII ditambah titel VII A, dalam KUHD perjanjian asuransi dan

pengngkutan.

Baik untuk perjanjian bernama atau tidak bernama pada azasnya berlaku

ketentuan-ketentuan dari pada bab I, II dan IV buku III KUH Perdata,

sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara

(18)

E. Berakhirnya Perjanjian

Hapusnya perjanjian dibedakan dari hapusnya perikatan, karena suatu

perjanjian dapat hapus, sedangkan perikatannya yang merupakan sumbernya

masih tetap ada. Hanya jika semua perikatan dari perjanjian telah hapus

seluruhnya, perjanjiannya akan berakhir. Sebaliknya hapusnya perjanjian dapat

pula mengakibatkan hapusnya perikatan, yaitu apabila suatu perjanjian hapus

dengan berlaku surut, misalnya sebagai akibat dari pembatalan berdasarkan

wanprestasi, semua perjanjian yang telah terjadi menjadi hapus, perjanjian

tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan apa yang telah dipenuhi, harus pula

ditiadakan. Akan tetapi dapat juga terjadi, bahwa perjanjian berakhir/hapus untuk

waktu kedepannya saja, jadi kewajiban yang telah ada tetap ada.

Perjanjian dapat hapus dikarenakan :20

a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak

b. Undang-Undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian

c. Ditentukan oleh para pihak atau undang-undang dengan terjadinya

peristiwa teertentu

d. Pernyataan menghentikan perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah

pihak atau oleh salah satu pihak

e. Putusan hakim

f. Tujuan perjanjian telah tercapai, dan

g. Dengan perjanjian para pihak.

F. Aspek-aspek Hukum Perjanjian Pengangkutan

20

(19)

Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam membuat perjanjian

pengangkutan adalah mengenai :21 1. Itikad Baik

Itikad baik dalam perjanjian sangat erat kaitannya dengan kepatutan dan

keadilan dari para pihak.Unsur kepatutan dibutuhkan sebelum plaksanaan

perjanjian, sedangkan itikad baik dibutuhkan pada saat pelaksanaan

perjanjian atau untuk melaksanakan perjanjian.Itikad baik baik diartikan

sebagai kejujuran atau kepatutan, karena dalam suatu transaksi yang adil

dibutuhkan sebelum perjanjian dibentuk, pada waktu menyusun atau

membentuk perjanjian.

2. Kesalahan, Kelalaian dan Kesengajaan

Debitur yang berkewajiban menyerahkan sesuatu, akan tetapi tidak

memelihara sesuatu yang diserahkan itu sebagaimana diisyaratkan oleh

undang-undang, bertanggungjawab atas kesalahannya. Baru dapat

dikatakan telah terjadi kesalahan apabila perbuatan yang dilakukan

seharusnya dapat dihindarkan, dan perbuatan tersebut dapat dipersalahkan

kepada pelaku, karena dapat menduga tentang akibatnya.Suatu akibat

dapat diduga atau tidak, diukur secara subyektif dan obyektif.Secara

subyektif, jika akibat tersebut menurut keahlian seseorang dapat diduga,

dan secara obyektif yaitu apabila dalam keadaan normal akibat tersebut

dapat diduga.

Sedangkan kesalahan mempunyai dua pengertian, yaitu dalam arti luas

yang meliputi kesengajaan dan kelalaian.Dalam arti sempit hanya

21

(20)

mencakup kelalaian saja.Kesengajaan adalah perbuatan yang dilakukan

dengan diketahui dan dikehendaki.

3. Ingkar Janji

Seseorang dapat dianggap ingkar janji (wanprestasi) apabila: tidak

melaksanakan apa yang telah disanggupi akan dilaksanakan, melaksanakan

apa yang diperjanjikan akan tetapi tidak sebagaimana mestinya,

melaksanakan apa yang dijanjikan akan tetapi telah terlambat, dan

melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian justru tidak boleh

dilakukan.

Ingkar janji tidak segera terjadi sejak saat seseorang tidak memenuhi

prestasinya.Untuk itu diperlukan suatu tenggang waktu yang layak.Jadi

pada perjanjian dimana tidak ditentukan tenggang waktu berprestasinya,

ingkar janji tidak terjadi demi hukum.Bahkan walaupun dalam perjanjian

waktu prestasinya ditentukan, belum berarti bahwa waktu tersebut sudah

merupakan batas waktu terakhir bagi seseorang untuk memenuhi

prestasinya.

Ganti rugi dapat di tuntut oleh pihak pengirim barang atau pun pemilik

barang dalam hal tidak dipenuhinya perjanjian.

(21)

Terdapat tiga macam bunga yaitu bunga konvensionil, moratoire dan

compensatoire.Yang pertama adalah bunga yang diperjanjikan dan dua

yang berikutnya adalah bunga kompensasi.

Untuk mencegah dibuatnya suatu janji yang merugikan seseorang, suatu

janji uang menggabungkan bunga yang belum dibayar oleh seseorang

kedalam utang pokok yang selanjutnya dikenakan pula bunga, hal itu

dilarang.Pengecualiannya, bunga atas utang pokok dapat dikenakan

melalui gugatan atau karena perjanjian khusus, sepanjang menyangkut

bunga yang harus dibayar untuk satu tahun.

5. Penetapan Lalai

Untuk mementukan saat terjadinya ingkar janji, undang-undang

memberikan pemecahannya dengan lembaga penetapan lalai.Penetapan

lalai adalah permintaan dari kreditur (pengirim barang) kepada debitur

(pengangkut), dimana kreditur memberitahukan kapan selambat-lambatnya

diharapkan pemenuhan prestasi oleh debitur.Dengan ini kreditur

menentukan dengan pasti, pada saat kapan debitur dalam keadaan ingakar

janji, apabila tidak memenuhi prestasinya.Sejak saat itu debitur harus

menanggung akibat yang merugikan yang disebabkan tidak dipenuhinya

prestasi.

6. Keadaan Memaksa

Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya

perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya,

dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung

(22)

yang menghalangi pemenuhan prestasi yang harus mengenai prestasinya

sendiri.Prestasi tersebut terganggu keseimbangannya sebagai akibat dari

keadaan yang tidak dapat diduga.

7. Resiko

Hapusnya perjanjian tidak menghapus kewajiban dalam

perjanjian.Pembentuk undang-undang memberikan hak untuk menuntut

penggantian atas barang yang hilang atau musnah kepada

kreditur.Sedangkan debitur dari barang yang musnah kerena perjanjiannya

telah hapus tidak memperoleh apa-apa.

8. Syarat yang Tidak Mungkin dan yang Tidak Susila

Apabila didalam suatu perjanjian dicantumkan syarat yang tidak mungkin

terlaksana dan bertentangan dengan kesusilaan adalah batal. Dalam hal ini

bukan syaratnya yang batal, akan tetapi perjanjiannya yang digantungkan

pada syarat tersebut yang batal. Ketentuan tersebut hanya mengatur

mengenai syarat yang berupa melakukan sesuatu, yang bertentangan

dengan kesusilaan atau undang-undang.Akan tetapi undang-undang tidak

membedakan antara syarat yang menunda dan yang menghapuskan dan

juga tidak mengatur mengenai kewajiban untuk tidak berbuat.

9. Penentuan Hukum

Dalam membuat perjanjian, satu hal yang sangat mendasar adalah hak dan

wewenang yang diberikan oleh hukum kepada para pihak dalam membuat

perjanjian untuk memilih undang-undang yang akan berlaku bagi mereka.

Selain itu juga mengerti dan memahami hukum mana yang berlaku dan

(23)

dalam hal adanya anasir asing. Dalam hal para pihak menganut sistem

hukum yang sama, memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada

para pihak untuk mengadakan perjanjian apa saja, sepanjang tidak

bertentangan dan melanggar ketertiban umum, kesusilaan dan

undang-undang.

10. Penafsiran Perjanjian

Suatu perjanjian terdiri dari serangkaian kalimat.Untuk itu dalam

menetapkan isi perjanjian perlu diadakan penafsiran, sehingga jelas

diketahui maksud para pihak ketika mengadakan perjanjian

itu.Undang-undang memberikan beberapa pedoman dalam menafsirkan perjanjian.Jika

kata-kata suatu perjanjian telah jelas, tidak diperkenankan untuk

menyimpangdengan jalan penafsiran, sehingga tidak boleh menyelidiki

maksud para pihak. Suatu perjanjian jelas bagi yang satu, tetapi belum

tentu bagi yang lain. Jadi kata jelas harus diartikan sebagai kata yang

sedikit sekali memberikan kemungkinan untuk terjadinya penafsiran yang

berbeda.Dalam menafsirkan maksud para pihak dilihat dari itikad baik,

karena menafsirkan berarti menentukan isi dan mengakui akibat dari

Referensi

Dokumen terkait

melakukan penelitian dengan judul Tari Balanse Madam Suatu AIdivitas Kesenian dan Perananrya dalam Integrasi Sosial Antara Masyarakat Nias dan Minangkabau di Kota Padang..

Bapak Karmawan S.E., M.Sc selaku Ketua Jurusan Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung serta sebagai dosen Pembimbing pendamping yang telah berkenan

Perancangan yang dilakukan penulis ini adalah membuat aplikasi pembelajaran interaktif bahasa pemrograman visual basic.net berbasis online , yang tujuan utama

Masalah timbul kapan saja bahkan tidak kenal waktu maka dari itu selaku aparat Satuan Polisi Pamong Praja yang memang sudah memiliki kewajiban menjaga keamanan

Setelah makan siang check out dari hotel untuk kemudian menuju Abyar Ali terlebih dahulu (untuk miqat umrah) dan melanjutkan perjalanan menuju kota Makkah Al

Berdasarkan simpulan tersebut di atas, maka saran yang dapat disampaikan sebagai berikut. 1) Kepada praktisi pendidikan khususnya guru matematika di SDN 9 Sesetan

Jika pemilik kapal bermaksud untuk menawarkan kapal yang masih dalam kondisi docking atau dalam proses pembangunan, maka pemilik kapal diwajibkan untuk melampirkan

Buku Petunjuk Penggunaan Aplikasi Sistem Informasi RSCM Untuk Perekam Medis Unit Manajemen Sistem Informasi ©2016. 30