1 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
PERAN PERGURUAN TINGGI SENI RUPA DAN
DESAIN DALAM PEMBANGUNAN BANGSA
REFLEKSI JATIDIRI DALAM PERSPEKTIF
KEBUDAYAAN *)
Tjetjep Rohendi Rohidi
dipublikasikan pada Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Abstrak
Pendidikan Tinggi Seni Rupa dihadapkan pada berbagai masalah yang semakin k o mp l e k s . M a s a l a h y an g s i s t e m i k t e r s e b u t b e r k a i t a n d e n g an o r i e n t a s i pembangunan, kebudayaan, pendidikan dan kurikulumnya, serta sumber daya manusianya. Demikian pula peningkatan mutu pelaksanaan pendidikan seni rupa akan terkait dengan peningkatan atau perbaikan pada faktor -faktor lainnya. Altern atif pemec ah annya meliputi: (1) otonomi perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi seni rupa dan desain, (2) kebijakan kurikulum, substansi isi, waktu penyelenggaraan, sumber daya, sarana dan prasarana pendukung, (3) pendidikan tinggi kesenirupaan, seyogianya dipahami secara paradigmatik. Pemahaman terhadap seni rupa sebagai objek ontologis perlu diimbangi dengan pemahaman menyeluruh yang bersifat multi dan antar disiplin, yang memberi peluang untuk berkemb angn y a satu d isip lin "k aj ian seni rup a" y ang d ap at d ipertanggung jawabkan secara akademik, dan segi lain juga senantiasa dapat menyesuaikan diri atau bahkan, mengantisipasi perkembangan eksternal.
2 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Pendahuluan
Gagasan pokok tulisan ini didasarkan pada masalah penting yang
dihadapi oleh
masyarakat Indonesia saat ini dalam bidang kesenian, khususnya dalam bidang seni rupa dan desain, khususnya lagi yang terjadi dalam lingkup pendidikan yang berlangsung di perguruan tinggi. Dalam masa penuh perubahan yang berjalan dengan cepat, baik bentuk dan sifatnya maupun kuantitas dan kualitasnya, perguruan tinggi seni rupa dan desain dipertanyakan atau senantiasa harus mempertanyakan kembali posisinya di tengah-tengah perubahan itu; dan secara jelas perannya dipertanyakan dalam pembangunan
bangsa. Untuk
membahas masalah itu, saya memanfaatkan berbagai bidang ilmu secara lintas disiplin -yaitu: pendidikan, seni, dan antropologi-, sebagai
satuan model
penjelasannya. Oleh karena itu, implikasi
penting (sebagai konsekuensi penggunaan kerangka clan cara pembahasannya) yang kernudian muncul yaitu menempatkan aspek
manusia sebagai
manusia seutuhnya dan meletakkannya dalam kerangka kebudayaan secara menyeluruh; suatu pendekatan dengan menggunakan perspektif kebudayaan.
Globalisasi dan Lokalitas: Tantangan atau Masalah?
Kemajuan yang amat prestisius tampak dalam
bidang ilmu
pengetahuan dan
teknologi. Jaringan internet dan berbagai perangkat ikutannya, misalnya, telah mampu
mengubah wajah
masyarakat yang
bersifat partial menjadi satu masyarakat dunia, yang seakan-akan, tidak
mengenal batas.
Wacana baru, dengan istilah globalisasi, telah mewarnai cara manusia dalam memaknai diri mereka sendiri, sesama,
3 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
dunianya. Globalisasi merupakan kekuatan -dan bahkan disebut juga sebagai ideologi—
dalam upaya
penyebaran secara meluas satu atau beberapa pola budaya ke seluruh penjuru dunia melewati batas-batas yang ditetapkan secara tradisional berdasarkan etnisitas, kekerabatan, agama, atau politik.
Dalam situasi seperti itu, kehidupan menjadi penuh persaingan. Globalisasi, tampaknya,
telah mendorong
manusia untuk
meneapai taraf
kehidupan yang lebih baik, terutama jika dilihat dari segi
ekonomi. Laju
pertumbuhan ekonomi ini, langsung maupun tidak langsung, telah merangsang
meningkatnya harapan banyak orang akan kesejahteraan. Untuk mendukung hal itu,
penguasaan ilmu
pengetahuan dan
keterampilan
dipersyaratkan sebagai
kebutuhan mendasar, efektivitas dan efisiensi menjadi acuan penting bagi berbagai usaha pencapaian tingkat kesejahteraan hidup masyarakat.
Konsekuensinya,
manusia didorong untuk berpikir, dan terus
berpikir, untuk
mengatasi berbagai persoalan hidupnya.
Di segi lain, kita juga dapat melihat bahwa nilai-nilai primodial yang menghubungkan
manusia dan
masyarakat dengan masa lalunya tidak
pernah hilang.
Kehilangan mata rantai dengan sejarahnya seringkali dlanggap sebagai malapetaka bagi kehidupan manusia dan masyarakatnya. Itulah sebabnya jatidiri lokal
senantiasa juga
4 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
dalam kesadaran
budayanya. Dengan
demikian, tampak
bahwa kehidupan
masyarakat berada dalam posisi tarik-menarik di antara arus globalisasi di satu segi, dan di segi yang lain mengakar kuat pada tradisitradisi yang telah teruji signifikansinya
dalam sejarah
kehidupannya. Yang
pertama perlu
dikemukakan yaitu
bahwa tidak ada
masyarakat yang
sungguh-sungguh, ikhlas membiarkan dirinya terbawa arus globalisasi sambil menafikan masa lalu sejarah masyarakatnya.
Yang kedua, dan
sebaliknya, tidak akan mungkin secara konkret masyarakat
mempertahankan masa lalunya dengan ketat sambil menolak arus
globalisasi, dengan
harapan mereka dapat berdialog dan bersaing
antar bangsa dalam
zaman yang serba
terbuka ini.
Kebudayaan dan
Pendidikan Kesenirupaan
Kebudayaan adalah
keseluruhan
pengetahuan yang
dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial,
yang isinya yaitu
perangkat-perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat
digunakan untuk
memahami dan
menginterpretasi
lingkungan yang
dihadapi, dan untuk
mendorong
tindakan-tindakan yang
diperlukan (lihat
Spradley, 1972;
Suparlan, 1985). Hal ini
juga berarti bahwa
kebudayaan merupakan
pedoman yang
kegunaannya
operasional bagi
manusia untuk
beradaptasi dengan/dan menghadapi lingkungan tertentu (fisik/alam dan sosial budaya) agar
mereka dapat
melangsungkan
kehidupannya, yaitu
5 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Dalam pengertian
kebudayaan senantiasa terkandung tiga aspek penting, yaitu bahwa: (1) kebudayaan dialihkan dari satu generasi ke generasi lainnya; dalam
hal ini kebudayaan
dipandang sebagai
suatu warisan atau
tradisi sosial; (2) kebudayaan dipelajari, bukan dialihkan dari
keadaan jasmani
manusia yang bersifat
genetik, dan (3)
kebudayaan dihayati
dan dimiliki bersama
oleh para warga
masyarakat
pendukungnya. Dalam
pengertian ini tersirat
bahwa proses
pengalihan kebudayaan
senantiasa terjadi
melalui proses
pendidikan. Disini terjadi usaha pengalihan (oleh
pendidik) dan
penerimaan (oleh
peserta didik) bertalian
dengan substansi
tertentu (model-model
pengetahuan) dengan
tujuan agar dapat
dijadikan pedoman
hidup (penghayatan
dan pemilikan) (lihat Suparlan, 1985)
Kebudayaan diperoleh
manusia melalui
pendidikan --formal,
nonformal, maupun
informal, berlangsung di sekolah, masyarakat, atau keluarga--; dengan
melakukan
peniruan-peniruan dan
mengabsorbsikannya ke
dalam pengetahuan,
baik secara sadar
ataupun tidak sadar. Proses ini bersifat
menyerap serta
mencakup semua aspek
kehidupan manusia,
yang penyerapannya
berlangsung secara
samar-samar dan
lambat tetapi pasti dan
tetap, sehingga
mempengaruhi bentuk-bentuk dan corak-corak kelakuan, sikap-sikap,
dan
keyakinan-keyakinan yang amat
terinci. Penyerapan
atau penerimaan
kebudayaan juga
bersifat mendalam dan menyeluruh terhadap-pribadipribadi
pendukungnya,
6 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Kesenirupaan (dalam arti luas mencakup desain dan kriya) merupakan bagian dari
kesenian dan
merupakan unsur
universal dari suatu
kebudayaan, yang
fungsional secara
sistemik berkaitan
dengan unsur
kebudayaan lainnya
yaitu (1) bahasa dan
komunikasi, (2)
pengetahuan, (3)
teknologi, (4) ekonomi, (5) organisasi sosial, (6) agama, dan (7) kesenian itu sendiri) (lihat Koentjaraningrat, 1979). Dilihat sebagai model pengetahuan, seni rupa
merupakan model
pengetahuan dengan
kesenian sebagai unsur terpenting -yang secara
fungsional terkait
dengan unsur-unsur
kebudayaan yang
lainnya—dalam hal
terutama memenuhi
kebutuhan manusia
yang berkaitan dengan keindahan yang dapat dinikmati secara visual.
Kebutuhan yang tidak selalu sama (baik dari segi kualitas maupuin
kuantitasnya), aspek-aspek biologis dan emosi manusia, serta juga sumber daya lingkungan yang tersedia dan dapat dimanfaatkan, telah ikut
menentukan perilaku
serta bentuk dan fungsi karya seni rupa yang diciptakan oleh manusia sebagai pribadi atau
sebagai warga
masyarakat. Dalam
tindakan-tindakan
pemenuhan kebutuhan
yang berkaitan dengan keindahan yang bersifat visual itu (dan demikian juga dengan keindahan lainnya), hal penting yang sering dilupakan orang yaitu aspek sosial berupa tradisi-tradisi pendidikan.
Pendidikan merupakan pranata sosial yang
secara menyeluruh,
langsung maupun tidak
langsung dan di
manapun dilaksanakan (termasuk yang bersifat situasional), berdampak
pada perubahan dan
pembentukan perilaku. Dalam hal ini, pengertian pendidikan
kesenirupaan, lebih
7 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
pengertian pendidikan
kesenirupaan yang
dilaksanakan dalam
pendidikan formal ; yang juga, sudah barang tentu, seyogyanya dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan secara
menyeluruh. Dengan
demikian, secara
sederhana, pendidikan
kesenirupaan dapat
dilihat sebagai usaha-usaha terencana untuk
menanamkan dan
membentuk model-model
pengetahuan (yang
menjadi pedoman bagi
pemenuhan kebutuhan
keindahan yang bersifat visual) dari seseorang
atau kelompok
masyarakat, yang dalam proses pelaksanaannya mempertimbangkan pula perkembangan fisik dan kejiwaan manusia, sehingga terbentuk atau berubah perilakunya; mereka menjadi mampu memikir, menghayati, menginterpretasi, dan
memanfaatkan sumber
daya yang ada dalam
lingkungannya untuk
meningkatkan taraf
kehidupan pribadi dan
masyarakat (serta
bangsanya). Pertanyaan
yang muncul kemudian
adalah, apakah
kurikulum pendidikan
secara umum
memperhitungkan posisi strategis dan pendidikan kesenirupaan; posisi dan
peran lembaga
pendidikan tinggi seni rupa telah merefleksikan tanggapan-tanggapan yang bersifat akademik
terhadap
perubahan-perubahan yang dibawa oleh arus globalisasi, dan
sekaligus juga
memahami secara kritis
terhadap identitas
lokalnya?
Masalah-masalah dalam
Pelaksanaan Pendidikan Kesenirupaan
Masalah yang dihadapi bangsa, dan demikian juga dalam pendidikan, seperti yang sering dikemukakan para ahli, pengamat sosio-budaya,
dan pengamat
Masalah-8 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
masalah itu, untuk kepentingan
pembicaraan dalam orasi ini, secara sederhana dapat disimpulkan setidaktidaknya berupa
masalah (1)
pembangunan dan orientasinya, (2) kebudayaan, (3)
pendidikan dan
kurikulum, dan (4) pelaksana pendidikan. Pembangunan yang secara ideologic diarahkan secara
developrnentalis-teknologis, selama lebih dari 30 tahun, telah menorehkan jejak-jejaknya pada kehidupan masyarakat secara luas. Bahkan sampai saat ini masih terasa gaungnya. Pembangunan dipolakan dan diseragamkan,
dengan pelaku
pembangunan darti "atas" (dengan
kekuasaan dan
kebijakan terpusat), dan yang lainnya menjadi objek atau pelengkap pembangunan. Inilah, barangkali, yang direspons kuat dengan konsep otonomi (daerah). Segi lainnya lagi dalah
pembangunan yang dilaksanakan lebih mementingkan aspek pertumbuhan (berupa deretan angka-angka kemajuan bersifat fisik) yang pada waktu yang lalu dianggap telah membawa kemajuan ekonomi yang sangat pesat.
Akibat dari model pembangunan seperti itu antara lain, terciptanya jurang kesenjangan yang besar, perbedaan kelas antara kaya dan miskin (atau ekonomi kuat dan ekonomi lemah). Pemusatan kekuatan dan kekuasaan (ekonomi dan politik) ini telah menyebabkan "kue pembangunan" hanya dinikmati segelintir orang, dan yang lainnya
hanya menerima
9 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
banyak.
Kebudayaan Nusantara, dengan keragamannya yang sesungguhnya potensial dalam kegidupan bangsa, terabaikan
pengembangannya. Perbedaan-perbedaan yang bersifat horisontal maupun vertikal tampaknya tidak terjembatani karena pemusatan kekuasaan dan kebijakan (dengan dominasi budaya pusat), telah menumbuhkan rasa ketidakadilan, memandulkan
kemampuan apresiasi dan empati antar-budaya. Pranatapranata sosial alternatif, yang saling menguntungkan dalam hubungan antar suku bangsa, kelompok
atau lapisan
masyarakat, tidak mendapat kondisi yang baik untuk tumbuh. Dalam hal ini, kita bisa melihat kecenderungan munculnya sikap arogansi sektoral atau primodial, yang
mengarah pada
disintegrasi bangsa.
Unsur-unsur budaya
lama, terutama
feodalisme (yang titegaskan oleh kolonialisme) dalam
bentuk sikap
penghayatan kekuasaan sebagai nilai yang seolah-olah tanpa batas di satu segi, dan di segi lain penerimaan dan penghayatan hidup sebagai orang kecil dengan kepatuhan yang nyaris tanpa ruang kebebasan, menjadi kendala budaya yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia. Kecenderungan lainnya,
yang merupakan
kendala dalam
pertumbuhan dan pengembangan bangsa, yaitu sikap untuk lebih melestarikan nilai-nilai
lama daripada
memperbaharui dan mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih operasional untuk saat ini dan yang akan datang.
10 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
dan pelaksanaan pendidikan, tidak memberikan peluang bagi anak didik untuk berkembang atau mengembangkan
kepribadiannya secara utuh dan seimbang. Dalam aspek kebijakan, substansi isi, waktu, sumber daya, dan penyediaan sarana untuk bidang pendidikan humaniora, khususnya pendidikan seninya,
kurikulum yang
dirancang secara nasional kehilangan wajah emansipatorisnya. Kurikulum menjadi sebuah penegasan pendidikan kognitif yang "tak bercitarasa".
Dampaknya, pendidikan kesenirupaan menjadi kering dan rasional. Aspekaspek imaginasi, estetis, dan kreatif terabaikan karena kurang mendapat tempat dalam kurikulum sekolah. Pelaksanaan pendidikan kesenirupaan secara umum menjadi sangat rasional, dilaksanakan
kekurangan waktu, dan rendahnya apresiasi
apresiasi yang memadai dan para pengambil kebijakan di bidang pendidikan. Masalah lainnya, berkaitan dengan tersendat-sendatnya
perkembangan keilmuan dan profesional (seni rupa) dalam menghadapi
perubahan dan
perkembangan internal dan eksternalnya yang perlu diantisipasi dalam bidang pendidikan.
Tampak pula, pada tataran pemikir dan pelaksana pendidikan kesenirupaan
11 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
yang terlibat dalam proses pendidikan yang dilaksanakan.
Sebagai pendidik, guru dan/atau dosen seni
rupa, mereka
disosialisasi dan dienkulturasi dalam pola pendidikan yang dikerangkai oleh model pembangunan yang diselenggarakan dan kebudayaan yang
menjadi acuan
bertindaknya, yang secara operasional
mengacu kepada
kurikulum pendidikan
yang tidak
menguntungkan bagi penyelenggaraan
pendidikan seni rupa di sekolah.
Globalisasi-Lokalitas
pada Masyarakat
(Indonesia)
Telah disadari bahwa bangsa dan masyarakat (Indonesia) terdiri dari berbagai macam suku bangsa, kelompok dan lapisan masyarakat, yang masing-masing memiliki karakter budayanya sendiri-sendiri. Bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam budaya,
wilayah geografis, latar belakang sejarah, dan pelapisan sosialnya; sebuah bangsa "Bhinneka Tunggal Ika".
Catata,n,sejarah
menunjukkan bahwa kelompok-kelompok masyarakat atau suku bangsa tertentu di Indonesia telah ratusan bahkan ribuan tahun mengadakan hubungan yang bersifat global dengan bangsa lain di dunia ini. Ini menunjukkan bahwa beberapa kelompok masyarakat (Indonesia) telah terbiasa menerima, menyesuaikan diri, dan menghayati
kebudayaankebudayaan dari luar, dan menjadikannya sebagai bagian dari model-model pengetahuannya.
12 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
mereka didominasi oleh kebudayaan suku
bangsa atau
masyarakatnya.
Di antara kedua bentuk atau corak masyarakat tersebut terentang berbagai variasi masyarakat dari yang sederhana sampai yang kompleks. Artinya, terdapat masyarakat yang memiliki model pengetahuan "kompleks", dan di antaranya terdapat kelompok masyarakat yang hidup atau memiliki kebudayaan di antara itu. Dalam rentangan ini tercermin sikap dan kemampuan menyerap, menerima pengaruh dan menghayati pada berbagai kelompok masyarakat terhadap berbagai kebudayaan, dan begitu pun kesenian (seni rupa), yang relevan dan signifikan bagi kehidupan kelompoknya. Dengan demikian, jika bentuk atau corak masyarakat dan kebudayaan yang beraneka ragam menjadi titik tolak dalam pelaksanaan pendidikan
maka faktor ini seyogyanya diperhatikan dengan seksama
Dalam bidang
pendidikan,
13 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
Persoalannya sekarang
adalah model
pengetahuan yang bagaimana yang harus menjadi acuan dan dipandang dapat menciptakan model pengetahuan operasional untuk menhadapi berbagai masalah sekarang dan di masa yang akan datang?
Saya kira, yang secara sepintas telah diuraikan di atas, dengan menegaskan pada model pengetahuan global sematamata (yang pada berbagai hal bentuk westernisasi) dengan pemahaman rasionalitas monolitik, pada saatnya akan berdampak pada reduksi kemanusiaan, masyarakat dan kebudayaannya.
Demikian pula, sebaliknya,
kecenderungan untuk menekankan pada identitas lokal dengan menghayatinya sebagai kebanggaan
melestarikan nilai-nilai lama dan dengan penuh semangat, seringkali berdampak pada sikap menolak segala hal yang
berbau asing; sebuah sindrome "Gatotkaca ngamuk".
Yang diperlukan saat ini adalah sebuah perspektif, sebuah paradigma,
untuk melihat
persoalan, dengan cara pandang baru. Sebuah cara pandang baru untuk melihat globalisasi dan lokalitas sebagai satu sistem yang saling kait-mengait; sebagai gejala tampak dalam saling
ketergantungannya, dan sebagai konsep tampak dalam dialektik-sistemik pemikirannya. Proses ini berjalan terus menerus, dinamik dan sekaligus relatif untuk setiap kelompok masyarakat. Upaya pemahaman dan penciptaan model-modelnya seyogianya dilakukan
berkesinambungan, melalui penelitian-penelitian yang serius, menyeluruh, dan mendalam, dalam hal ini di bidang pendidikan kesenirupaan.
14 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
globalisasi dan lokalitas ini tidak hanya merupakan satu bentuk hubungan satu arah, tetapi multi arah dan multi dimensi. Artinya, globalisasi tidak dipandang sebagai westernisasi tetapi sebagai penyebaran multi arah dari gagasan-gagasan yang menembus batas-batas lokalitas. Dalam hal ini arah bisa saja datang dan gagasan awal yang bersifat lokal, dan datang dan berbagai masyarakat atau kebudayaan yang nonbarat. Demikian pula, penyerapan dan penyebaran gagasan bukan hanya menghadapkan atau mengaitkan antara yang bersifat global dengan yang bersifat lokal, melainkan juga antar lokal (antar suku bangsa atau antar masyarakat sebangsa) dalam konteks kenasionalan.
Peran Perguruan Tinggi Seni Rupa dan Desain
Perguruan tinggi adalah pranata sosial. Ia
merupakan bentuk pranata pendidikan tinggi (sebagai kelanjutan pendidikan menengah) yang muncul dalam kehidupan masyarakat karena kehadirannya dirasakan penting oleh masyarakat yang bersangkutan dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan pendidikan (tinggi) bagi para warganya.
Dalam Surat Keputusan
Menteri Pendidikan
Nasional RI No.:
223/U/2000 tercantum
bahwa: "Pendidikan tinggi adalah kelanjutan
pendidikan menengah
yang diselenggarakan
untuk menyiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan
akademik dan/atau
profesional yang dapat menerapkan,
mengembangkan
dan/atau menciptakan
ilmu pengetahuan,
teknologi, dan/atau
kesenian (IPTEKS)". Selanjutnya
dikemukakan bahwa
15 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
menyelenggarakan
pendidikan tinggi yang
dapat berbentuk
akademi, politeknik,
sekolah tinggi, institut, atau universitas.
Proses pendidikan yang
berlangsung di
perguruan tinggi
mencakup
kegiatan-kegiatan pendidikan dan
pengajaran yang
dilaksanakan melalui
perkuliahan, pengabdian pada masyarakat, dan
untuk pengembangan
ilmu pengetahuan itu sendiri serta perguruan tinggi sebagai simbol jati din masyarakat. Peranan-peranan yang ada dan
aturan-aturan yang
diberlakukan dalam
struktur kehidupan
perguruan tinggi,
langsung atau tidak
langsung, mencerminkan keberadaan dari, dan
digunakan untuk
menjalankan
fungsi-fungsi dari, upaya-upaya
pemenuhan kebutuhan
tersebut di atas.
Kebutuhan-kebutuhan itulah yang menjadi
landasan utama
diselenggarakannya
sebuah perguruan tinggi, sehingga sebuah lembaga yang mengaku dirinya sebagai perguruan tinggi
tetapi hanya
menyelenggarakan penyelenggaraan
keterampilan raja, tidak tepat untuk dikatakan
perguruan tinggi.
Demikian pula,
perguruan tinggi yang semata-mata
menyelenggarakan
kegiatan keilmuan, yang secara operasional amat tampak dalam
kegiatan-kegiatan penelitian,
sesungguhnya lebih
tepat disebut sebagai lembaga penelitian atau
lembaga ilmu
pengetahuan (keilmuan). Perguruan tinggi sebagai bentuk pendidikan tinggi,
merupakan satu
lembaga yang memiliki tugas yang khas, yaitu
secara metodis
menemukan dan
mengajarkan kebenaran-kebenaran tentang hal-hal yang serius dan penting. Sebagian dari
tugas itu berupa
meningkatkan
pengetahuan para
sikap-16 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
sikap dan
metode-metode untuk mengkaji
dan menguji secara
kritis
kepercayaan-kepercayaan mereka
sehingga apa yang
dipercayai itu sedapat mungkin terbebas dari
kekeliruan (lihat
Suparlan, 1993).
Perguruan tinggi seni rupa dan desain, sesungguhnya secara umum tidak berbeda dengan perguruan tinggi bidang lainnya, yaitu
suatu pranata
pendidikan tinggi yang memiliki tanggung jawab
kultural dalam
pembangunan
bangsanya. Secara khusus, berdasarkan ruang lingkup keilmuan dan profesinya, perguruan tinggi seni rupa dan desain (secara konvensional),
bertanggung jawab atau harus mengambil peran dalam pengembangan keahlian di bidang seni rupa murni, desain, dan kriya seni dalam pengembangan
bangsanya dalam
konteks sistem
kebudayaan
masyarakatnya secara menyeluruh.
Dalam tugas internalnya,
dalam membina
mahasiswanya,
perguruan tinggi seni rupa dan desain harus mampu menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional dalam menerapkan, mengembangkan,
dan/atau memperkaya
khasanah ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian -secara khusus di bidang kesenirupaan-- serta menyebarluaskan dan mengupayakan
penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat
dan memperkaya
kebudayaan nasional.
17 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
tantangan dalam pembangunan bangsa secara integral. Secara terinci, kurikulum perguruan tinggi seni rupa dan desain seyogianya, pertama, mencakup materi nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi pengembangan pribadi secara mandiri dan
tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan. Kedua, kurikulum mencakup materi keilmuan dalam bidang kesenirupaan yang dapat dijadikan landasan penguasaan ilmu dan keterampilan seni rupa. Dan, atas dasar itu terjamin terciptanya tenaga ahli dengan kekaryaan di bidang kesenirupaan yang berkualitas, dan yang mampu memahami kaidah-kaidah
berkehidupan
masyarakat sesuai dengan keahlian dalam berkarya di bidang seni rupa yang dipilihnya.
Penutup: Pokok-Pokok Pikiran sebagai Saran Umum
Dapat disimpulkan bahwa persoalan, yang mungkin dianggap
sederhana ini,
sesungguhnya
mempunyai implikasi yang kompleks. Implikasi pentingnya, yaitu menempatkan
pembicaraan mengenai pendidikan seni rupa sebagai masalah yang sistemik, terkait dengan orientasi pembangunan, kebudayaan, pendidikan dan kurikulumnya, serta
sumber daya
manusianya. Oleh karenanya, peningkatan mutu pelaksanaan pendidikan seni rupa, terkait juga dengan peningkatan atau perbaikan pada faktor-faktor lainnya. Dan, tentu saja, menjadi tanggung jawab bersama untuk mengembangkan dan meningkatkannya.
Dengan demikian, dapat dikemukakan saran umum sebagai berikut.
18 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
yang relevan dan signifikan untuk menghadapi masalah pembangunan, yang dipolakan dari atas, penyeragaman,
pemusatan
kekuasaan dan
kekuatan. Namun perlu dicatat bahwa otonomi perguruan tinggi yang akan membawa manfaat bagi masyarakat dan kebudayaannya
adalah otonomi yang memperhatikan
kebutuhan
masyarakat di daerah yang bersangkutan
dalam konteks
hubungan antar suku
bangsa atau
masyarakat, dan sekaligus antar bangsa.
2) Pendidikan
kesenirupaan, di perguruan tinggi seni rupa dan desain, seyogianya dapat memberikan jawaban terhadap terciptanya berbagai pranata alternatif,
menumbuhkan apresiasi
multikultural, dan
penciptaan karya bermutu yang merefleksikan
landasan kultural yang mantap. Dan, ini hanya bisa terjadi jika kebijakan kurikulum, substansi
isi, waktu
penyelenggaraan, sumber daya, sarana dan prasarana pendukung terciptanya kondisi yang layak untuk pelaksanaan pendidikan seni rupa, dapat terjamin
3) Pendidikan tinggi kesenirupaan,
seyogianya dipahami secara paradigmatik. Pemahaman
terhadap seni rupa sebagai objek ontologis perlu diimbangi dengan pemahaman
menyeluruh yang bersifat multi dan antar disiplin, yang memberi peluang untuk berkembangnya satu disiplin "kajian seni rupa" yang dapat dipertanggung
19 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001
dapat menyesuaikan diri atau bahkan mengantisipasi
perkembangan
eksternal. Dalam hal
ini secara
kelembagaan,
pendidikan tinggi atau lembaga penentu arah akademik dan kebijakan
pelaksanaan
pendidikan tinggi seni (rupa), perlu merefleksi diri dan menyiasati
perubahan-perubahan yang terjadi, baik keilmuan maupun tuntutan fungsional masyarakat yang semakin terbuka.
*) Diadaptasi dan Orasi Ilmiah dalam rangka Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi Seth Rupa dan Desain Indonesia (STISI) Bandung, 24 Maret 2001
Bacaan Yang Ditilik
Arif, Sritua. 1998. Teori dan Kebijaksanaan
Pembangunan. Jakarta: CIDES.
Koentjaraningrat. 1979.
Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Shils, Edward. 1993. Etika Akademik. Kata Pengantar: Parsudi Suparlan. Jakarta Yayasan Obor Indonesia.
Menteri Pendidikan Nasional RI. 2000. "Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar
Mahasiswa". Dalam.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/ U/2000. Jakarta: Ditjen Dikti.
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 1994. Pendidikan dalam Pendekatan Kebudayaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Spradley, JP. 1972.
"Foundation of Cultural Knowledge". Dalam: Culture and Cognition: Rules, Maps and Plans. (Diedit oleh James. P. Spradley). San. Francisco: Chandler. Hlm. 3-34.
20 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001