• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah UAS Rahma Lestari Anggraini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah UAS Rahma Lestari Anggraini "

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Globalisasi merupakan sekumpulan proses yang memungkinkan terjadinya transformasi spasial pada hubungan sosial dan transaksi yang ditandai dengan terjadinya aktivitas dan interaksi sosial dan

power antar regional dan antar benua1. Pada dasarnya, proses globalisasi telah terjadi di semua sektor kehidupan, tidak terkecuali sektor ekonomi. Globalisasi pada sektor ekonomi merupakan suatu proses transformasi pembentukan pasar tunggal pada sektor barang, jasa, dan faktor produksi seperti modal, tenaga kerja, sumber daya alam yang melibatkan semua negara dan semua wilayah ekonomi2. Terjadinya globalisasi ekonomi telah memunculkan banyak perdebatan mengenai pengaruh yang diberikan terhadap negara dan perekonomian domestik terutama pada negara – negara berkembang. Salah satu argumen yang banyak muncul dalam perdebatan tersebut adalah globalisasi telah mengurangi

power negara, terutama negara berkembang, dan mengakibatkan eksploitasi ekonomi oleh negara maju pada negara berkembang3. Namun demikian, banyak pula yang berargumen bahwa globalisasi merupakan kesempatan bagi negara berkembang untuk mengekspansi kegiatan ekonominya yang dengan demikian juga meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakatnya4.

Di tengah – tengah perdebatan yang terjadi mengenai pengaruh negatif dan positif globalisasi terhadap negara berkembang, Korea Selatan muncul sebagai negara berkembang yang berhasil menjadi

New Industrialized Economy. Korea Selatan merupakan negara yang merdeka setelah lepas dari jajahan Jepang pada tahun 1945. Pada masa awal kemerdekaannya, Korea Selatan merupakan negara yang lebih miskin dari Mozambik. Namun saat ini Korea Selatan telah memiliki kekayaan yang lebih besar dibandingkan Selandia Baru dan Spanyol5 dan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ketigabelas terbesar di dunia. Transformasi Korea Selatan dari negara miskin menjadi salah satu negara terkaya di tengah – tengah fenomena globalisasi memunculkan banyak pertanyaan terhadap argumen – argumen anti globalisasi yang menilai bahwa globalisasi hanya akan membawa dampak negatif bagi negara berkembang.

1 David Held, et.al. Globalization dalam Global Governance Vol.5 No.4 ( Oct – Dec, 1999) Hlmn. 483 - 496. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/27800244 pada hari Minggu 16 Februari 2013 pukul 14.37 WIB. Hlmn 1

2 Bożyk, Paweł. Globalization And The Transformation Of Foreign Economic Policy.Hlmn. 1

3 Intriligator, “Globalization of the World Economy: Potential Benefits and Costs And A Net Assessment” 9-10 4 Ibid., Bożyk, Paweł. Hlmn. 2 -3

(2)

Pada dasarnya, kemampuan suatu negara untuk menghadapi globalisasi ekonomi sedikit banyak ditentukan oleh peran negara dalam menentukan arah kebijakan ekonomi dan strategi dalam memperjuangkan kepentingannya. Salah satu instrumen yang dapat digunakan negara untuk memajukan ekonominya di era globalisasi adalah penggunaan kebijakan ekonomi luar negeri dan diplomasi ekonomi yang efektif. Oleh karena itu, peran negara untuk menjadikan Korea Selatan sebagai negara yang sukses dalam menghadapi globalisasi menjadi cukup penting untuk diteliti guna mengerti bagaimana strategi yang dimiliki pemerintah Korea Selatan untuk mewujudkan keberhasilan tersebut. Di sisi lain, isu ini juga menjadi penting untuk diteliti mengingat Indonesia merupakan negara berkembang yang sama – sama merdeka pada tahun 1945 namun belum dapat dikatakan sukses dalam menghadapi globalisasi layaknya Korea Selatan. Untuk itu, penelitian terhadap isu ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam menerapkan strategi untuk menghadapi globalisasi. Pada akhirnya isu ini juga menjadi penting untuk diteliti guna menambahkan sudut pandang dalam perdebatan mengenai pengaruh globalisasi terhadap kontrol negara dan perekonomian domestik. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas isu mengenai peran negara dalam memajukan perekonomiannya di tengah – tengah tantangan globalisasi untuk menjawab tiga urgensi yang telah disampaikan sebelumnya.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah “Bagaimana Korea Selatan mewujudkan perannya sebagai negara dalam menghadapi globalisasi ekonomi ?”. Makalah ini akan menggunakan level analisis mikro dan negara sebagai unit analisis. 1.3 Kerangka Teori

1.3.1 Necessary State

Globalisasi telah menghasilkan perdebatan mengenai pengaruhnya terhadap kontrol dan kekuasaan yang dimiliki negara. Erhard Eppler, salah satu ilmuwan hubungan internasional dari Eropa, merupakan ilmuwan yang percaya bahwa negara tidak kehilangan pengaruhnya walaupun globalisasi telah terjadi. Pendapat Eppler ini dikuatkan dengan argumennya bahwa negara memiliki posisi – posisi yang tidak dapat digantikan oleh perusahaan multinasional maupun civil society yang merupakan aktor – aktor baru yang muncul dari globalisasi. Kekuasaan negara yang tidak dapat digantikan tersebut terdiri dari dua hal yaitu state scope dan state strength. State scope merupakan jangkauan fungsi dan kompetensi yang dimiliki oleh negara. Hal ini meliputi fungsi negara untuk mensejahterakan penduduknya serta intervensi dan kontrol yang dipegang negara dalam kegiatan ekonomi. Sementara

(3)

menerapkan kebijakan tertentu untuk negaranya6. Kekuatan negara, jika diklasifikasikan lebih lanjut, terbagi menjadi empat, yaitu :

1. Kekuatan untuk menetapkan dan mengumpulkan pajak dari penduduknya.

2. Kekuatan untuk terikat dalam suatu hukum yang berdaulat dari negara lainnya sehingga negara lain tidak dapat melakukan intervensi terhadap hukum dalam negeri dan terlibat dalam hubungan dengan negara lain sebagai satu kesatuan negara.

3. Kekuatan untuk menentukan identitas bagi penduduknya sehingga menimbulkan rasa sebagai bagian dari suatu kelompok bagi penduduknya.

4. Kekuatan untuk menetapkan tujuan dari negaranya yaitu untuk menyejahterakan masyarakatnya7.

Makalah ini akan menggunakan argumen Eppler mengenai peran negara dalam menghadapi globalisasi di atas untuk melihat bagaimana Korea Selatan menggunakan state scope dan state strength

yang dimiliki untuk memajukan perekonomiannya di tengah fenomena globalisasi. Makalah ini akan berfokus pada penggunaan state scope dan state strength Korea Selatan di bidang ekonomi yaitu pembuatan kebijakan ekonomi luar negeri dan diplomasi ekonomi yang terkait langsung dengan isu peran negara dalam menghadapi globalisasi dalam studi hubungan internasional.

1.3.2 Adaptive Partnerships

Pada dasarnya bagaimana negara berinteraksi dalam aktivitas ekonomi global ditentukan oleh kebijakan ekonomi luar negeri yang dimiliki. Hal tersebut demikian karena kebijakan ekonomi luar negeri merupakan model yang digunakan suatu negara untuk menentukan posisi dan peran pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi luar negeri berhubungan dengan kemampuan suatu negara untuk mensukseskan tujuannya dalam aktivitas ekonomi global8. Pada umumnya tujuan yang ingin dicapai melalui kebijakan ekonomi luar negeri adalah economic security

yang terdiri dari supply security, market access security, finance credit security, techno-industrial capability security, socio-economic paradigm security, transborder community security, systemic security, dan alliance security9.

6 Eppler, Erhard. (2009) The Return of The State. London: Forumpress. Hlmn. 70 7 Ibid., Hlmn. 73

8 Op.Cit., Pawel Bozyk. Hlmn. 9

(4)

Globalisasi tidak dapat dipungkiri telah menghadirkan tantangan baru bagi suatu negara dalam menentukan kebijakan ekonomi luar negeri negaranya agar mampu bertahan di tengah persaingan global. Salah satu kebijakan ekonomi luar negeri yang dapat digunakan untuk menghadapi globalisasi adalah kebijakan adaptive partnerships. Yang dimaksud dengan kebijakan tersebut adalah upaya suatu negara untuk bekerja sama dengan kapital transnasional untuk membentuk kekuatan ekonomi lokal dalam menghadapi persaingan global. Dalam kebijakan ini, negara memiliki hubungan dialektikal dengan Transnational Company yang mana kedua memiliki peran yang saling kontradiksi, saling melengkapi, dan tidak mendominasi satu sama lain. Kebijakan adaptive partnerships ini dilakukan melalui pembuatan alat kebijakan dan cara implementasinya yang membutuhkan kapabilitas teknokratik suatu negara dan resources relational antara kebijakan yang diambil dengan sumber daya yang dimiliki10. Kebijakan adaptive partnerships merupakan kebijakan ekonomi luar negeri yang dimiliki oleh Korea Selatan. Untuk itu, teori mengenai kebijakan ini akan digunakan untuk menganalisis bagaimana Korea Selatan menggunakan state scope yang dimiliki dalam sebagai wujud peran negara dalam menghadapi tantangan globalisasi.

1.3.3 Middle Power Activism

Pada dasarnya diplomasi ekonomi merupakan cara dan parameter dimana perdagangan, investasi, dan hubungan ekonomi internasional lainnya dilaksanakan melalui agen representatif dari negara sebagai bentuk atau cara untuk mencapai kebijakan ekonomi luar negeri11. Salah satu cara dari diplomasi ekonomi adalah Middle Power Activism. Middle-Power Activism merupakan upaya negara

middle power yang dengan sadar menggunakan power posisi dan jaringannya untuk berdiplomasi dan mencapai kebijakan luar negeri yang dimiliki. Menurut Cooper, negara – negara yang dimaksud sebagai

middle-power terbagi dalam empat karakteristik. Pertama, negara yang memiliki jumlah populasi, kekuatan ekonomi, kemampuan militer di tingkat menengah yaitu tidak terlalu tinggi namun juga tidak rendah. Kedua, negara yang memiliki posisi geografis di antara negara – negara kuat. Ketiga, negara yang secara normatif dinilai dapat dipercaya dan bijak untuk bersikap sebagai penengah. Keempat, negara yang mana sikapnya menunjukkan middlepowermanship dalam hubungan internasional12.

Cooper menjelaskan lebih lanjut bahwa middle power activism terletak pada peran dan perilaku

middlepowermanship yang terbagi menjadi tiga yaitu sebagai katalis, fasilitator, dan manajer. Sebagai katalis, negara middle power energi intelektual dan politik untuk memancing inisiatif dari negara –

10 Ibid., Dent. Hlmn. 248 - 252 11Ibid., Hlmn. 253

(5)

negara lain dan menjadi pemimpin dalam kelompok yang memiliki kesamaan inisiatif tersebut. Sebagai fasilitator, negara middle power dapat melakukan agenda-setting dan terlibat dalam pembentukan koalisi, kolaborasi, dan asosiasi. Selanjutnya sebagai manajer, negara middle power berperan dalam aktivitas institution-building serta pembentukan konvensi dan organisasi formal. Selain middle power activism di atas, negara middle power juga dapat memperoleh power-nya dari jaringan yang dimiliki. Pembentukan jaringan ini dapat dilakukan oleh negara middle power dengan meningkatkan kesertaan dalam institusi – institusi multilateral agar power di dalam struktur internasional dapat tersebar dan agenda dalam hubungan internasional dapat terdiversifikasi. Pembentukan jaringan oleh middle power

setidaknya memberikan tiga keuntungan yaitu bargaining power, social power, dan the power to exit13.

Pada dasarnya, middle power activism akan efektif jika dilakukan dalam tiga kondisi. Pertama, negara middle power harus memiliki positional power yang kuat dan dilengkapi oleh sumber daya material dan non-material yang cukup. Kedua, Rejim internasional yang ada harus dalam kondisi yang memungkinkan negara middle power untuk melakukan middlepowermanship. Ketiga, negara middle power harus memiliki jaringan dan relasi dengan aktor negara dan non-negara yang luas untuk mendapatkan dukungan terhadap kebijakan luar negeri yang diambil14. Konsep middle power activism ini selanjutnya akan digunakan sebagai alat bantu analisis dalam makalah ini untuk memahami diplomasi ekonomi Korea Selatan untuk menguatkan perekonomian domestiknya di tengah tantangan globalisasi.

BAB II PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dijelaskan analisis yang dilakukan mengenai kebijakan ekonomi luar negeri

Adaptive Partnership dan diplomasi ekonomi Middle Power Activism sebagai wujud peran negara dalam menghadapi globalisasi ekonomi. Teori mengenai state scope dan state strength yang disampaikan oleh Eppler akan digunakan untuk menganalisis peran negara yang dimainkan Korea Selatan dalam globalisasi ekonomi. Selain itu, konsep Adaptive Strategy dan Middle Power Activism juga akan digunakan untuk membantu menjelaskan kebijakan ekonomi luar negeri dan diplomasi ekonomi Korea Selatan. Bab ini akan dibagi menjadi empat sub bab yaitu [1] Kebijakan Ekonomi Luar Negeri Adaptive Strategy Korea Selatan, [2] Diplomasi Ekonomi Middle Power Activism, [3] Pengaruh Kebijakan

Adaptive Strategy dan Middle Power Activism terhadap Pertumbuhan Ekonomi Korea Selatan, dan [4]

(6)

Analisis Peran Negara dalam Globalisasi Ekonomi pada Studi Kasus Kebijakan Adaptive Partnership

dan Diplomasi Middle Power Activism Korea Selatan.

2.1 Kebijakan Ekonomi Luar Negeri Adaptive Partnership Korea Selatan

Korea merupakan negara yang miskin pada masa awal kemerdekaannya. Kondisi perekonomian di Korea diperparah dengan terjadinya Perang Saudara yang terjadi pada tahun 1950 – 1953 yang akhirnya memisah semenanjung Korea menjadi dua negara yaitu Korea Utara dan Korea Selatan. Perang Korea telah menghancurkan fasilitas publik dan infrastruktur ekonomi di Seoul dan mayoritas wilayah Korea Selatan bagian utara dengan hanya menyisakan wilayah Busan yang terletak di bagian selatan. Pemisahan Korea menjadi dua juga menambah masalah baru bagi perekonomian Korea Selatan karena mayoritas infrastruktur ekonomi dan industri yang telah dibangun berada di Korea Utara. Sampai pada akhir pemerintahan Presiden Rhee Syngman, Korea Selatan memenuhi kebutuhannya dan membangun negaranya melalui foreign aid yang diberikan oleh Amerika Serikat. Namun demikian, sampai pada tahun 1961, Korea Selatan belum mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan15.

Setelah Presiden Park Chun Hee menduduki jabatan Presiden, ia mengambil kebijakan Adaptive Strategy sebagai upaya untuk membangun ekonomi Korea Selatan sekaligus sebagai persiapan untuk menghadapi persaingan global dalam Globalisasi Ekonomi. Dalam rencana pembangunan ekonomi yang dibuat oleh Park Chun Hee, ia menyertakan chaebol atau kapitalis Korea Selatan ke dalam rencana tersebut16. Untuk itu, Park Chun Hee membentuk suatu kerjasama dengan kapitalis Korea Selatan untuk bersama – sama membangun ekonomi Korea Selatan. Pada kerjasama ini, pemerintah Korea Selatan berkomitmen untuk membantu dan mendukung penuh pengembangan dari bisnis para kapitalis besar, medium, hingga kecil. Di sisi lain, para chaebol juga diminta untuk berkomitmen untuk bersedia membangun perekonomian Korea Selatan dengan memberikan sebagian porsi keuntungannya untuk kepentingan pembangunan negara dan menyediakan lapangan kerja bagi penduduk Korea Selatan.

Manifestasi dari kebijakan Adaptive Strategy sebagai kebijakan ekonomi luar negeri Korea Selatan adalah pembatasan foreign direct investment yang masuk ke Korea Selatan, pengurangan penerimaan foreign aid, dan peningkatan foreign loans. Pada tahun 1962, Pemerintah Korea Selatan mengesahkan Law Guaranteeing Repayment for Loans dan melakukan rekonstruksi pada bank – bank di

15 John Minns. Of Miracles and Models: The Rise and Decline of the Developmental State in South Korea. Third World Quarterly, Vol. 22, No. 6, The Post-Cold War Predicament (Dec., 2001);1025 - 1026

(7)

Korea Selatan yang memungkinkan para pemilik bisnis untuk mengembangkan usahanya melalui pinjaman modal dengan menempatkan negara sebagai penjamin dari bunga pinjaman dan apabila pinjaman tidak dapat dikembalikan17. Pada masa ini, negara banyak melakukan mediasi dengan institusi keuangan internasional untuk dapat memberikan foreign loans pada para chaebol. Sementara itu, negara sangat selektif dalam menentukan foreign direct investment yang masuk. Hal ini menyebabkan pada awal tahun 1970-an, 39,5 % pendapatan Korea Selatan berasal dari modal asing yang mana 90 % diantaranya adalah foreign loans dan hanya 10 % yang merupakan foreign direct investment dan foreign aids18.

Selain kemudahan dari pemberian pinjaman, Korea Selatan juga memberikan beberapa kemudahan lain bagi chaebol untuk mengembangkan usahanya. Kemudahan tersebut adalah pemberian subsidi produksi, alokasi kredit finansial, tarif proteksi, kuota ekspor, dan subsidi pajak. Kemudahan – kemudahan yang diberikan pemerintah Korea Selatan ini memungkinkan chaebol untuk mengembangkan bisnisnya dengan modal yang cukup dan tanpa cukup saingan dari bisnis asing. Selain kemudahan di atas, kebijakan ekonomi luar negeri yang diambil Korea Selatan dari waktu ke waktu juga mendukung perkembangan enterprise dalam negerinya. Pada tahun 1960-an, Korea Selatan membatasi

foreign direct investment dan lebih memilih mengambil pinjaman luar negeri untuk mencegah industri asing masuk ke Korea Selatan dan melemahkan industri dalam negeri yang dinilai belum mampu bersaing dengan produk asing. Kemudian pada tahun 1970-an, pemerintah Korea Selatan mengizinkan

foreign direct investment masuk khususnya yang mampu untuk mentransfer teknologi ke dalam industri Korea Selatan karena industri dalam negeri sudah cukup mampu untuk bersaing dan membutuhkan teknologi asing untuk dapat berkembang. Selanjutnya pada tahun 1980-an, Korea Selatan membentuk KOTRA yaitu Korean Trade Promotion Agency dan memberikan bantuan logistik pada investasi penduduk Korea Selatan yang ditanamkan di luar negeri untuk meningkatkan competitiveness chaebol

dalam persaingan ekonomi global19.

Pada dasarnya, Korea Selatan tidak memberikan kemudahan secara merata terhadap semua

chaebol. Korea Selatan menentukan industri – industri tertentu sebagai industri utama yang paling diberikan kemudahan yang disesuaikan dengan kepentingan Korea Selatan dan keunggulannya untuk berkompetisi dalam kompetisi global. Hal ini ditunjukkan dengan fokus Korea Selatan pada light

(8)

industries pada tahun 1960-an, heavy industries pada tahun 1970 sampai 1990-an, dan information technology industries pada awal abad 21 hingga saat ini. Industri – industri tersebut kemudian difokuskan untuk menjadi komoditi ekspor sebagai penyeimbang impor sumber daya material yang dilakukan Korea Selatan. Peran negara yang sangat besar dalam mendukung chaebol-nya ini memberikan Korea Selatan banyak keuntungan. Keuntungan tersebut adalah bergeraknya aktivitas ekonomi Korea Selatan yang berfokus pada aktivitas ekspor, pembukaan lapangan kerja, dan pendanaan penelitian dan program – program negara oleh chaebol20.

Pada akhir 1980-an sampai pada pertengahan tahun 1990-an, pengaruh negara dalam perekonomian Korea Selatan dapat dikatakan berkurang dikarenakan melemahnya dukungan masyarakat terhadap pemerintah. Pada masa ini, dapat dikatakan bahwa kebijakan adaptive partnerships tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan sebelumnya. Melemahnya pengaturan negara terhadap chaebol

dan kapital transnasional yang mereka miliki berefek pada meningkatnya praktik investasi chaebol pada bisnis – bisnis di negara lain yang tidak memiliki prospek dan meningkatnya pinjaman luar negeri yang berakhir pada krisis di tahun 1997. Namun demikian, krisis di Korea Selatan pada tahun 1997 telah mengembalikan otonomi negara untuk mengatur chaebol dan kapital dalam serta luar negeri. Korea Selatan menutup perusahaan – perusahaan tidak sehat dan menjual sebagian saham dari perusahaan para

chaebol untuk menutupi kebutuhan dana untuk membayar hutang perusahaan – perusahaan tersebut21. Setelah ini Korea Selatan kembali memiliki hubungan dialektik dengan para chaebol lagi untuk memperbaiki ekonomi Korea Selatan. Hal ini sekali lagi mengembalikan aplikasi dari kebijakan

Adaptive Partnership yang dimiliki Korea Selatan untuk mengembangkan ekonominya.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bagaimana pemerintah Korea Selatan dan chaebol memiliki hubungan dialektik yang saling kontradiksi namun saling mendukung satu sama lain. Kerjasama yang dilakukan Korea Selatan dengan kapitalis dalam negerinya merupakan inti dari kebijakan adaptive partnership. Penerapan kebijakan ini telah menguntungkan pertumbuhan ekonomi Korea Selatan dan memberikan posisi yang kompetitif bagi industri Korea Selatan dalam persaingan global. Selain itu, pelaksanaan kebijakan adaptive partnership juga telah membentuk kapital transnasional Korea Selatan yang meningkatkan partisipasi Korea Selatan dalam aktivitas ekonomi internasional. Bukti nyata dari

20Powers, Charlotte Marguerite (2010.). „The Changing Role of Chaebol: Multi-Conglomerates in South Korea’s National

Economy”. The Stanford Journal of EastAsian Affairs,Hlmn. 106

21 Cherry, J. (2006). Killing five birds with one stone: inward foreign direct investment in post-crisis Korea. Pacific Affairs,

(9)

pengaruh penerapan kebijakan adaptive partnership ini akan dijelaskan lebih jauh dalam sub bab 2.3 dalam makalah ini.

2.2 Diplomasi Ekonomi Middle Power Activism Korea Selatan

Pada dasarnya Korea Selatan dikategorikan sebagai negara middle power dengan alasan statusnya sebagai new industrialized country dan negara yang telah sukses mengembangkan ekonominya sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia. Cooper menyampaikan bahwa negara middle power seperti Korea Selatan memiliki beberapa keuntungan dalam melakukan diplomasi ekonomi di dunia karena negara middle power dapat menjalin hubungan yang relatif dekat dengan great power, other middle power, dan small power karena mereka memiliki power yang cukup untuk tidak dependen dengan great power dan dapat melaksanakan middlepowermanship pada negara small power. Walaupun Korea Selatan memiliki keuntungan sebagai negara middle power seperti yang telah disampaikan sebelumnya, Korea Selatan merupakan negara yang terlambat dalam menggunakan diplomasi middle power dalam hubungan internasional dengan baru memulai strategi diplomasi ini pada tahun 2008. Secara resmi, kebijakan Global Korea yang diberlakukan pada tahun 2008 oleh Presiden Lee Myung Bak merupakan awal dari implementasi middle power oleh Korea Selatan22. Namun demikian, Korea Selatan sebenarnya telah membina hubungan baik dengan great power, middle power, dan small power

jauh sebelumnya untuk mendukung kegiatan ekonominya.

Pada masa awal kemerdekaannya, Korea Selatan dapat membangun ekonomi negaranya dengan bantuan dari Amerika Serikat. Selanjutnya pada tahun 1970-an, Korea Selatan juga mendapatkan bantuan dari Jepang dalam bidang moneter dan teknologi untuk membangun perekonomiannya. Selanjutnya pada tahun 1980-an, Korea Selatan memperlebar kerjasama ekonominya dengan Uni Eropa. Walaupun pada awalnya Korea Selatan merupakan objek dari bantuan yang diberikan Amerika Serikat dan Jepang, Korea Selatan dapat secara cepat tumbuh untuk mengekspor produknya ke negara – negara tersebut. Selain itu, Korea Selatan juga banyak menanamkan modalnya di negara lain, salah satu contohnya adalah Cina23. Fakta – fakta yang disampaikan diatas merupakan bukti bahwa Korea Selatan pada dasarnya telah melakukan kerjasama ekonomi dengan negara – negara lain namun demikian belum ada satu kesatuan strategi dalam diplomasi ekonomi yang dilakukan.

Setelah Korea Selatan menghadapi Krisis Asia di tahun 1997, barulah Korea Selatan secara tidak langsung aktif melakukan middle power activism walaupun sekali lagi Korea Selatan belum benar –

22 Lee, S. (2012). South Korea as New Middle Power Seeking Complex Diplomacy. EAI Asia Security Initiative Working

(10)

benar menggunakan middle power strategy sebagai strategi diplomasi ekonominya. Korea Selatan pada masa itu menginisiasi dibentuknya ASEAN +3 yaitu kerjasama ekonomi antara negara – negara anggota ASEAN dengan China, Jepang, dan Korea Selatan. Korea Selatan pada masa awal pembentukan ASEAN +3 sampai pada tahun 2002 terus berperan sebagai pemimpin dalam institusi regional ini dikarenakan adanya tensi antara Jepang dan China yang membuat keduanya tidak dapat mengambil peran sebagai pemimpin secara efektif dan kondisi perekonomian negara – negara ASEAN yang masih lemah pasca krisis24.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Presiden Roh Moo Hyun pada tahun 2002 – 2007, ia memiliki visi untuk menguatkan kerjasama dengan negara-negara Asia Timur yaitu Jepang dan China. Korea Selatan menginisiasi dibentuknya East Asia Free Trade Area pada tahun 2002 yang kemudian berhasil terbentuk pada tahun 200325. Pada masa – masa awal pemerintahannya, Presiden Roh Moo Hyun juga berusaha untuk mengurangi kedekatan dengan Amerika Serikat guna menumbuhkan perekonomian dan keamanan yang mandiri bagi Korea Selatan. Namun demikian, pada tahun 2006, Pemerintah Korea Selatan menawarkan pembukaan Korea – United States Free Trade Area untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antara kedua negara26.

Kemudian pada masa pemerintahan Presiden Lee Myung Bak pada tahun 2007 – 2012, Korea Selatan mulai menggunakan strategi diplomasi middle power activism pada kebijakan luar negerinya. Hal ini ditandai dengan kebijakan Global Korea yang bertujuan untuk menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu aktor strategis dalam hubungan internasional. Manifestasi dari kebijakan ini dapat dilihat dari upaya Korea Selatan untuk menyelenggarakan G 20 Summit pada tahun 2008, Penyelenggaran The Fourth High Level Forum for Development Effectiveness pada tahun 2011 dengan menjadikan Green Growth sebagai agenda27, dan bergabungnya Korea Selatan pada Development Assistance Committee di OECD pada tahun 200928. Penyelenggaraan G20 Summit di Korea Selatan telah menunjukkan komitmen dari Korea Selatan untuk menjadi salah satu aktor ekonomi yang berpengaruh di dunia dan meningkatkan pengaruh Korea Selatan dalam pembuatan framework pada kebijakan ekonomi dunia. Selanjutnya penyelenggaraan The Fourth High Level Forum for Development Effectiveness dengan

24 Cheong, Inkyo. (2008). ‘Korea's Position in the ASEAN+3 Process: Review of Performance and Policy Implications’ dalam The Journal of East Asian Affairs, Vol. 22, No. 2 (Fall/Winter 2008), pp. 63-95. Institute for National Security Strategy. Hlmn. 64 - 65

25 Ibid., Hlmn. 66

26 CHEONG, I. (2007). Evaluation of the Korea-US FTA and Implications for East Asian Economic Integration. The

Journal Of East Asian Affairs. Hlmn. 1-5 27 Op.Cit., S. Lee. Hlmn. 16

(11)

menjadikan Green Growth sebagai agenda telah menjadikan Korea Selatan sebagai pemimpin dalam usaha pembangunan ramah lingkungan di dunia29. Kemudian melalui bergabungnya Korea Selatan dengan Development Assistance Committee pada tahun 2009 telah memungkinkan Korea Selatan untuk memberikan bantuan pembangunan bagi negara – negara tertentu. Dalam hal ini, Korea Selatan memilih untuk memberikan mayoritas bantuannya pada negara – negara di Asia dan sebagian lainnya pada negara – negara di Afrika dan Institusi Internasional seperti WTO dan IMF. Hal ini dilakukan Korea Selatan untuk meningkatkan hubungan dengan negara – negara di Asia dan untuk mempermudah

chaebol Korea Selatan untuk memperluas bisnisnya di negara negara tersebut dan memperluas akses pada sumber daya alam di negara – negara tersebut30.

Dari penjelasan di atas mengenai diplomasi Korea Selatan secara keseluruhan dari awal kemerdekaannya hingga saat ini, dapat dilihat bahwa Korea Selatan pada dasarnya telah menggunakan

middle power diplomacy secara efektif. Korea Selatan menjalin hubungan dekat dengan Amerika Serikat untuk menjadi allies-nya agar mendapatkan dukungan dalam diplomasi ekonominya dan memperluas pasarnya di Amerika Serikat. Selain itu, Korea Selatan juga menjalin hubungan ekonomi dengan Jepang dan China melalui pembentukan free trade area. Hal ini menjadikan China sebagai partner ekonomi utama Korea Selatan dan menghindarkan efek domino Krisis di Amerika pada tahun 2008 untuk memberikan pengaruh negatif pada perekonomian Korea Selatan. Di sisi lain, Korea Selatan juga aktif memperluas akses ekonominya di negara – negara berkembang melalui pemberian bantuan ekonomi. Hal ini membentuk network yang luas bagi perekonomian Korea Selatan sehingga Korea Selatan tidak memiliki dependensi ekonomi berlebihan pada satu wilayah tertentu dan melindungi perekonomian Korea Selatan yang bergantung pada sektor ekspornya. Pengaruh dari penerapan diplomasi middle power activism ini akan dianalisis lebih jauh dalam sub bab 2.3

2.3 Pengaruh Kebijakan Adaptive Partnership dan Middle Power Activism terhadap Kondisi Ekonomi Korea Selatan di dalam Era Globalisasi Ekonomi

Pada dasarnya kebijakan ekonomi luar negeri dan diplomasi ekonomi yang dilakukan Korea Selatan telah membawa negara tersebut untuk mencapai economic security. Economic Security tersebut terdiri dari supply security, market access security, finance credit security, techno-industrial capability security, socio-economic paradigm security, transborder community security, systemic security, dan

alliance security. Perluasan network Korea Selatan yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya merupakan bentuk pencapaian Korea Selatan terhadap alliance security. Kemudian kemudahan Korea

(12)

Selatan dalam mendapatkan pinjaman dan memperoleh akses pada sumber daya alam serta pencapaian negara tersebut dalam posisi yang strategis dalam perekonomian internasional dari diplomasi middle power activism menunjukkan bahwa Korea Selatan telah mencapai supply security, systemic security,

dan finance credit security.

Kebijakan Adaptive Partnership telah memungkinkan Korea Selatan untuk tumbuh bersama – sama dengan kapitalis dari negaranya. Korea Selatan menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan para kapitalis Korea mampu mengembangkan bisnisnya menjadi bisnis yang mampu bersaing di dunia. Hal ini diperkuat dengan bukti dari Fortune List yang memasukkan 10 korporasi Korea Selatan dalam 500 perusahaan privat terbaik di dunia yang mana hanya 20 diantaranya berasal dari negara berkembang. Di sisi lain, Korea Selatan yang pada tahun 1960 memiliki GDP yang sama dengan Kongo, pada tahun 1996 telah berhasil menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-12 di dunia31. Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan sempat melemah pada tahun 1997 dikarenakan krisis, namun Korea Selatan dapat pulih dengan cepat dan menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi kembali. Pertumbuhan Ekonomi Korea Selatan yang terjadi dari tahun 1960 sampai dengan saat ini dapat dilihat dalam grafik32 sebagai berikut

Sementara itu, middle power activism yang mulai digalakkan oleh Korea Selatan pada tahun 2008 juga memberikan dampak peningkatan yang signifikan pada ekspor – impor negara tersebut. Peningkatan ekspor Korea Selatan tersebut dapat dilihat dalam data sebagai berikut :

2007 2008 2009 2010

States 46,766 37,219 46,377 38,365 37,650 29,039

49,81

6 40,403

31 Op.Cit., J Minns. Hlmn. 1025

(13)

ASEAN 38,749 33,110 49,283 40,917 40,979 34,053

53,19

5 44,099

Japan 26,370 56,250 28,252 60,956 21,771 49,428

28,17

6 64,296

China 81,985 63,028 91,389 76,930 86,703 54,246

116,8

38 71,574 Unit of Measurements : 1 million ( USD ) 33 Dari data di atas dapat dilihat bahwa pasca middle power activism Korea Selatan, tingkat ekspor Korea Selatan ke Amerika Serikat dan China bersifat fluktuatif namun Korea Selatan selalu lebih unggul dibanding Amerika Serikat maupun China. Hal ini menunjukkan bahwa kerjasama Free Trade Area

yang dibentuk dengan kedua negara tersebut memperluas peluang bagi produk Korea Selatan untuk memasuki pasar dua negara kekuatan ekonomi dunia tersebut. Sementara itu, dalam data perdagangan Korea Selatan dengan ASEAN juga mengalami peningkatan yang signifikan. Setelah middle power activism dilakukan dan Korea Selatan secara aktif memberikan bantuan pada ASEAN, tingkat ekspor Korea Selatan naik sebesar 3.912.000.000 USD pada tahun 2010

Kedua bukti di atas menunjukkan bahwa kebijakan Adaptive Partnerships dan Diplomasi Ekonomi Middle Power Activism yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan telah memberikan pengaruh positif pada aktivitas ekonomi di Korea Selatan. Aktivitas ekonomi yang produktif dan pasar produksi yang besar memberikan efek yang positif pada pembukaan lapangan kerja di Korea Selatan. Keberhasilan pembukaan lapangan kerja ini ditunjukkan oleh tingkat pengangguran yang minim. Tingkat pengangguran di Korea Selatan berada pada angka yang rendah dan stabil yaitu sekitar 3 % pada tahun 2003, 2005, dan 2007. Selain itu, masyarakat Korea Selatan saat ini telah menikmati hidup yang nyaman, sehat, dan berteknologi tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh Human Development Index Korea Selatan yang mencapai angka 0,921 dan menduduki ranking 26 di dunia34. Hal ini kemudian menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi luar negeri dan diplomasi ekonomi yang telah dilakukan Korea Selatan juga telah membantu mereka mencapai market access security, techno-industrial capability security, socio-economic paradigm security, dan transborder community security.

2.4 Analisis Peran Negara dalam Globalisasi Ekonomi pada Studi Kasus Kebijakan Adaptive Partnership dan Diplomasi Middle Power Activism

Pada sub bab – sub bab sebelumnya telah jelaskan bagaimana kebijakan ekonomi luar negeri dan diplomasi ekonomi yang dilakukan Korea Selatan memberikan efek positif pada pembangunan ekonomi Korea Selatan di tengah tantangan globalisasi. Pada dasarnya pembuatan kebijakan ekonomi merupakan

33 Diakses dari www.motie.go.kr/language/eng/common/jsp/kep_download.jsp?

(14)

wewenang negara yang tidak dapat digantikan oleh aktor lainnya. Fungsi pembuatan kebijakan ini merupakan bentuk state scope yang dimiliki oleh Korea Selatan sebagai negara. Korea Selatan kemudian memanfaatkan fungsinya tersebut untuk membuat kebijakan yang dapat membangun perekonomian negaranya, menyejahterakan masyarakatnya, dan sekaligus menghadapi globalisasi ekonomi dengan menjadikan Korea Selatan kompetitif. Manifestasi penggunaan state scope oleh Korea Selatan yang dijelaskan dalam makalah ini adalah pembuatan kebijakan Adaptive Partnership seperti yang telah disampaikan sebelumnya.

Sementara itu, negara juga memiliki fungsi state strength yang melibatkan kemampuan negara untuk berinteraksi secara internasional sebagai satu kesatuan negara yang berdaulat. Dengan state strength ini, negara dapat menjalin hubungan diplomatik, menjadi anggota dari institusi internasional, mengadakan perjanjian bilateral dan multilateral, serta mendapatkan pinjaman dari negara lain. Dalam hal ini, Korea Selatan telah menggunakan state strength yang dimiliki untuk mengambil pinjaman dari negara lain guna memberikan modal bagi kapitalis dalam negerinya untuk membangun diri. Korea Selatan juga secara aktif menjaga hubungan diplomatik, mengadakan perjanjian bilateral dan multilateral, serta menjadi anggota dari institusi ekonomi sosial tertentu yang dapat menguntungkan perekonomian negaranya. Dalam mengambil tindakan di perekonomian internasional, Korea Selatan memperhatikan kondisi dalam negerinya agar tindakan yang diambil dapat menjadi kesempatan bagi perluasan ekonomi dan bukan ancaman bagi pelaku ekonomi dalam negerinya. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bagaimana Korea Selatan secara bertahap meliberalisasi perekonomiannya guna menyiapkan perekonomian dalam negeri agar menjadi kuat terlebih dahulu. Selanjutnya Korea Selatan baru secara aktif melakukan middle power activism setelah ekonomi negaranya telah siap untuk melakukan ekspansi secara besar – besar ke berbagai negara. Dari analisis di atas, dapat dilihat bahwa Korea Selatan telah melaksanakan fungsi dan perannya sebagai negara yang memiliki state scope dan

state strength dalam menghadapi Globalisasi Ekonomi.

BAB III KESIMPULAN

(15)

ekonomi yang diasumsikan banyak merugikan negara berkembang. Secara spesifik, peran Korea Selatan sebagai negara dianalisis dengan menggunakan argumen Eppler mengenai necessary state yang mencakup penjelasan mengenai state strength dan state scope yang kemudian didukung dengan penjelasan mengenai konsep Adaptive Partnership dan Middle Power Activism.

Dari data yang dihimpun dan analisis yang dilakukan ditemukan poin – poin penting yang sesuai untuk menjawab rumusan masalah dalam makalah ini yaitu, “Bagaimana Korea Selatan mewujudkan perannya sebagai negara dalam menghadapi globalisasi ekonomi ?”. Jawaban yang diperoleh adalah Korea Selatan mewujudkan perannya sebagai negara dalam menghadapi globalisasi ekonomi dengan mengimplementasikan kebijakan ekonomi luar negeri dan diplomasi ekonomi yang dapat sesuai dengan kondisi pelaku ekonomi dalam negeri dan mampu memperkuat pelaku ekonomi dalam negerinya untuk bersaing di kompetisi ekonomi global. Pertama, telah diafirmasi bahwa Korea Selatan sejak tahun 1961 telah menggunakan kebijakan ekonomi luar negeri Adaptive Partnership dengan menjadikan kekuatan capital nasional untuk menjadi mitra pembangunan perekonomian negara. Hal ini telah memberikan kemudahan bagi kekuatan capital nasional untuk berkembang dan pada saat yang sama membantu Korea Selatan untuk membangun kekuatan ekonomi yang mandiri. Kedua, telah diafirmasi bahwa Korea Selatan melaksanakan diplomasi ekonomi Middle Power Activism untuk mendukung aktivitas ekonomi

para pemilik kapital dari Korea Selatan. Walaupun secara resmi Korea Selatan baru melaksanakan diplomasi tersebut pada tahun 2008, namun diplomasi ekonomi Korea Selatan yang telah dilakukan jauh sebelumnya memiliki kesesuaian dengan konsep Middle Power Activism. Diplomasi ekonomi ini telah menguntungkan para pelaku ekonomi dari Korea Selatan untuk melakukan ekspansi ekonomi dan meningkatkan aktivitas ekonomi yang berdampak positif pula pada pendapatan negara.

Keberhasilan Korea Selatan dalam menghadapi globalisasi ekonomi menunjukkan bahwa globalisasi ekonomi tidak membawa keniscayaan yang membuat negara kehilangan power-nya dan menjadikan negara berkembang sebagai korban. Negara pada dasarnya tetap memiliki state strength dan

(16)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menyusun Laporan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis akan membahas tentang “Tanda Kardinal Asfiksia pada Kasus Gantung Diri yang Diperiksa di Departemen Forensik FK USU RSUP

disiapkan dan diproses pelelangannya pada bulan November 2015, sehingga dokumen kontrak dapat ditandatangani awal tahun 2016.  Merancang rencana serapan anggaran TA 2016

Diplomasi publik erat kaitannya dengan penggunaan soft power dalam implementasi kebijakan politik luar negeri dan Korea dikenal sebagai eksponen dari soft power

Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah tersebut perlu dilakukan perubahan terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman tahun 2016-2021 sebagai

Presentase sel yang memfagosit partikel latex dihitung dari 300 sel yang diperiksa dengan mikroskop cahaya 400x, dengan replikasi penghitungan 2 kali. Modifikasi

Karena kalau yang dipikirkan hanyalah bantuan – bantuan dan bantuan maka akan membuat subyek terus bergantung selain itu juga bisa mengakibatkan stress untuk

Aplikasi Teknologi Bioflok Dalam Budidaya Udang Putih (Litopenaeus vannamei Boone) Tesis School of Life Science and Technology.. Changing paradigms in shrimp farming :

Asumsi tersebut sudah saatnya untuk ditinggalkan karena menurut pandangan konstruktivis bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara passive tetapi secarta active