• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI WHISTLE BLOWER DALAM MENGUNGKAPKAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI WHISTLE BLOWER DALAM MENGUNGKAPKAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI WHISTLE BLOWER DALAM MENGUNGKAPKAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

Bella Valentina, Erna Dewi, Tri Andrisman Email : bellavalentinaa@yahoo.com

Mengungkapkan sebuah perkara dalam suatu tindak pidana adalah persoalan sulit mengapa demikian dikarenakan sulit mencari saksi yang bersikap kooperatif dalam sertiap pemeriksaan. Persoalan whistle blower merupakan persoalan yang menarik sekaligus pelik di dalam konsepsi dan dimensi legalisasi dan regulasinya. karena sangat diperlukan dalam pengungkapan delik tertentu yang bersifat serious crime dan scandal crime.. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah: Bagaimanakah implementasi whistle blower dalam mengungkapkan perkara tindak pidana korupsi? dan Bagaimanakah bentuk perlindungan terhadap whistle blower dalam mengungkapkan perkara tindak pidana korupsi? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataannya baik berupa penilaian perilaku. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diketahui bahwa : Implementasi whistle blower dalam mengungkapkan perkara tipikor yakni Di Indonesia sendiri belum ada pengaturan secara jelas mengenai Whistleblower. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. hanya mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban, bukan terhadap pelapor. Bahwa terhadap contoh kasus whistlblower di Lampung sudah ada seperti delapan anggota DPRD Tanggamus yang melapor kepada KPK terkait kasus gratifikasi yang dilakukan oleh Bupati Tanggamus anggota DPRD tersebut mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Bahwa penghargaan yang diterima oleh whistleblower adalah Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan, Mendapatkan Tempat Kediaman Baru, dan Bebas dari pertanyaan yang menjerat dan Bentuk bahaya terhadap whistle blower dalam mengungkapkan perkara tipikor. Berkenaan dengan prakteknya banyak

whistleblower rentan terhadap teror dan intimidasi. Tidak sedikit whistleblower yang memilih absen dari proses hukum karena jiwanya sangat terancam. Saran penulis adalah diharapkan kepada masyarakat yang mengetahui tindak pidana korupsi agar mau melaporkan dan menjadi saksi. Bagi pemerintah diharapkan dapat meningkatkan upaya-upaya perlindungan hukum secara khusus terhadap whistleblower, sehingga dapat terealisasikan hak-haknya sampai proses pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi tersebut berakhir.

(2)

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF WHISTLEBLOWING SYSTEM IN REVEALING CORRUPTION CASES

By

Bella Valentina, Erna Dewi, Tri Andrisman Email : bellavalentinaa@yahoo.com

The revealing of a case in a criminal offense is a difficult issue because it is hard to find a cooperative witness in during the investigation process. The whistleblowing system is an interesting and complicated issue in the conception and dimensions of legalization and legal regulation. It is very necessary in the disclosure of certain crimes particularly on serious crime and scandal crime. The problems in this writing are formulated s follows: How is the implementation of whistleblowing system in revealing corruption cases? And What is the legal protection against the whistleblowers in revealingcorruption cases? This research used normative and empirical approaches.The normative approach was conducted on the theoretical matters of legal principles, while the empirical approach was done to study the law in form of behavioral and the assessment. Based on the results and discussion of the research, it can be concluded that: The implementation of whistleblowing system in revealing corruption cases in Indonesiawas actually has no clear regulation.The law Number 13/2006 on the Protection of Witnesses and Victims, it only regulates the protection of witnesses and victims, no protection against the complainant. In Lampung, the example the whistleblowing case occured wheneight members of House of Representative (DPRD) of Tanggamus reported Tanggamus Regentto Corruption Eradication Commission (KPK) for alleged gratification committed bythe regent.Thus, the members of DPRD were protected byWitness and Victim Protection Institution. That kind ofprotection aims to protectpersonal safety, family and property and to ensure the complainanta werefree from threats relating to testimony that will be delivered, is being delivered or has been delivered,tomove to a new place, and to get rid from trapping questions and the danger to whistleblow the corruption matters. In fact, there aremany whistleblowers are vulnerable to terror and intimidation. Many of them choose to be absent fromthe legal process because their life arethreatened. It is expected that society should makereport and witness to any formof corruption crime they found. For the government, it is expected to increase the legal protection effort specifically to whistleblowers, so their rights can be guaranteed until the process of investigation completed.

(3)

I. PENDAHULUAN

Persoalan whistle blower merupakan persoalan yang menarik sekaligus pelik di dalam konsepsi dan dimensi legalisasi dan regulasinya. Apakah whistle blower merupakan pelaku atau bukan pelaku tindak pidana? Apakah whistle blower merupakan saksi dan pelapor biasa ataukah diperlukan konsep reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) khusus, karena sangat diperlukan dalam pengungkapan delik tertentu yang bersifat serious crime dan scandal crime. Apakah whistle blower sama dengan agent provocateur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan saksi mahkota (crown witness) di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).1

Whistleblower adalah Merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari para pelaku tindak pidana.

Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.2

1

Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator, Dalam Perspektif Hukum,

Cetakan Penaku, Jakarta, 2012, hlm 3

2

Denny Indrayana, Republika.co.id, Jakarta, diakses pada hari Jumat, Tanggal 16 Desember 2016

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 sudah menjawab persoalan itu ataukah malah terjadi hal-hal sebaliknya. Persoalan whistle blower sebagai instrument baru dan alat Bantu dalam proses hukum pidana tentu memerlukan konsepsi dan analisis yang ketat dan mendalam. Konsepsi dan analisis yang ketat dan mendalam perlu digaris bawahi karena persoalan whistle blower memiliki implikasi yang rumit dan tidak sederhana dalam

merumuskan regulasi dan

implementasinya bahkan memerlukan kesamaan policy pelaksanaannya, seperti apa kriteria informasi penting seorang whistle blower.

Melalui koordinasi antar lembaga penegak hukum dan sangat diperlukan komitmen dan integritas yang tinggi dalam pelaksanaan program whistle blower tersebut guna menghindari kekosongan hukum, konflik norma aturan-aturan hukum yang sudah ada, bahkan tidak mustahil konflik kelembagaan akibat ego sektoral masing-masing kelembagan hukum bersangkutan.

Seperti apa konsep reward dan whistle blowerdan bagaimana bentuk program perlindungannya baik pada tingkat penyelidikan, penuntutan, maupun di pengadilan dan di lembaga pemasyarakatan. Pada sisi yang lain tampak kuat kecendrungan skandal penyalahgunaan wewenang tertentu dan skandal suap dalam jabatan politik dan hukum seperti pada kasus pidana Agus Condro dan Susno Duadji yang memerlukan pembuktian melalui whistle blower.

(4)

fakta kepada public mengenai sebuah skandal, bahaya mal praktik, atau korupsi. Mardjono Reksodiputro mengartikan whistle blower adalah pembocor rahasia atau pengadu, Mardjono Reksodiputro mengharap-kan kejahatan dan pelanggaran hukum yang terjadi berhenti dengan cara mengundang perhatian publik.3 Sementara informasi yang dibocorkan berupa informasi yang bersifat rahasia di kalangan lingkungan informasi itu berada. Baik tempat dan informasi berada maupun jenis informasi bermacam-macam. Informasi tersebut dapat saja merupakan kegiatan-kegiatan yang besifat tidak sah, melawan hukum, atau melanggar moral.

Menurut sudut pandang Hasdianto dalam bukunya Firman Wijaya, whistle blowermerupakan istilah bagi karyawan, mantan karyawan, atau pekerja anggota atau institusi atau oganisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melawan ketentuan kepada pihak yang berwenang.4

Ketentuan yang dilanggar merupakan ancaman bagi kepentingan public. Contoh whistle blower misalnya orang yang melaporkan perbuatan yang diduga tindak pidana korupsi kepada kepada public di lingkungan di bekerja.5 Sementara itu Asep Triwahyudi memaknai Justice Collaborator sebagai “tindakan

3Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/Whistle Blower/ Justice Collaborator dan Penyadapan (Wiretapping, Electronic Interception) dalam Menanggulangi Kehajatan di Indonesia” Wacana Goverminyboard, hlm 13

4

Op.Cit Firman Wijaya, hlm. 7

5

Firman Wijaya Mengutip Surya Jaya,

Perlindungan Justice Collaborator dalam system Pengadilan. hlm 8

seorang pekerja yang memutuskan untuk melapor kepada media, kekuasaan internal, dan kekuasaan ekternal tentang hal-hal yang illegal yang terjadi di lingkungan kerja6

Seorang narapidana korupsi, meskipun telah mendapatkan status whistle blower (saksi pelapor atau tersangka dan terpidana yang bekerjasama dengan penegak hukum) tidak serta merta mendapatkan apresiasi dari penegak hukum. Sebaliknya, jika Justice Collaborator itu justru banyak memberikan keterangan palsu, maka ia bisa dipidana. "Kalau si Justice Collaborator-nya memberikan keterangan palsu atau dia ketahuan berbohong, maka statusnya bisa dicabut dan bisa dipidana.7

Pada dasarnya, ide whistle blower ini diperoleh dari Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi).

Pasal 37 ayat (2) UNCAC menegaskan: “Setiap negara peserta

wajib mempertimbangkan

memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan

6

Asep triwahyudi, dikutip dari D’workin &

Nera de Gourd, hlm 3.

7

(5)

atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini.8

Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan: “Setiap negara peserta

wajib mempertimbangkan

kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari

penuntutan” bagi orang yang

memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (whistle blower) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.9

Dinyatakan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (SEMA No 4/2011), pada angka 8(a dan b) ditegaskan beberapa pedoman untuk menentukan kriteria Whistleblower yakni sebagai berikut: a. Yang bersangkutan merupakan

pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya;

b. Apabila pelapor tindak pidana dilaporkan pula oleh terlapor maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor.

8

Mengutip dari H Winarta, Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional fhwWacana mengenai status justice collaborator bagi tersangka kasus suap di Proyek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Wisma Atlet SEA Games, diakses pada Tanggal 16 Desember 2016

9

Ibid, hlm. 24

Bahwa yang menjadi permasalahan selama ini dalam mengungkap kasus-kasus besar di Indonesia dibutuhkan saksi yang mengetahui keterlibatan seseorang khususnya dalam kasus korupsi, akan tetapi untuk menjadi seorang saksi yang mau bekerja sama dengan pihak penegak hukum tentunya tidak mudah karena semua itu beresiko tinggi.

Bentuk perlindungan terhadap saksi tersebut tidak didukung dengan bentuk perlindungan dan juga reward kepada saksi yang mau bekerja sama tersebut dan juga dasar hukum whistle blower sendiri belum didukung dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai whistle blower.

Adapun dalam kasus penerapan whistle blower terkait kasus Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan diduga memberikan sejumlah uang kepada anggota DPRD Tanggamus seusai pengesahan APBD tahun 2016 pada Desember 2015 lalu. Para anggota DPRD yang menerima uang pemberian Bambang itu ternyata melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka melapor telah menerima sejumlah uang dari bupati, lalu menyerahkan uang sebesar Rp 523 juta ke Direktorat Gratifikasi KPK.10

(6)

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian skripsi dengan judul

“Implementasi Whistle Blower Dalam Mengungkapkan Perkara Tindak Pidana Korupsi”.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut maka dirumuskan masalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah implementasi

whistle blower dalam

mengungkapkan perkara tindak pidana korupsi?

b. Bagaimanakah bentuk

perlindungan terhadap whistle blower dalam mengungkapkan perkara tindak pidana korupsi?

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder data yang diperoleh langsung dari lapangan (data empiris) dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, selanjutnya berdasarkan hasil analisis data kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode induktif

II. PEMBAHASAN

A.Implementasi Whistle Blower Dalam Mengungkapkan Perkara Tindak Pidana Korupsi

Menurut Sanusi selaku Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Lampung yang disebut Whistleblower adalah merupakan pembisik yang melapor bisa saja semua orang menjadi pelapor. Whistleblower sendiri merupakan kasus sosial

kriminal Whistleblower sendiri hanya memberi informan saja tetapi yang menyelidiki adalah pihak kepolisian fenomena yang terjadi adalah kriminoligis kejahatan dilihat dari operasionalnya alat bantu menungkapkan kejahatan kasus Whistleblower di tindak pidana dan sampai seberapa jauh kasusnya.11

Menurut Komariah E. Sapardjaja sebagaimana yang dikutip oleh peneliti, peran whistleblower sangat penting dan diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tidak pidana korupsi. Namun demikian, asal bukan semacam suatu gosip bagi pengungkapan kasus korupsi maupun mafia peradilan. Yang dikatakan Whistleblower itu benar-benar didukung oleh fakta konkret, bukan semacam surat kaleng atau rumor saja. Penyidikan atau penuntut umum kalau ada laporan seorang Whistleblower harus hati-hati menerimannya, tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu langsung diterima dan harus diuji dahulu.12

Whistleblower berperan untuk memudahkan pengungkapan tindak pidana korupsi, karena Whistleblower itu sendiri tidak lain adalah orang dalam didalam institusi di mana ditengerai telah terjadi praktik korupsi. Sebagai orang dalam, seorang Whistleblower merupakan orang yang memberikan informasi telah terjadi pidana korupsi dimana ia bekerja. Seorang Whistleblower ini bias merupakan orang yang sama

11

Hasil Wawancara dengan Prof, DR. Sanusi Husin, S.H.M.H. di Universitas Lampung, Pada Tanggal 14 Maret 2017

12

Komariah E Sapardjaja. Peran Whistleblower, dalam wawancara khusus di

(7)

tidak terlibat dalam perbuatan korupsi yang terjadi dalam bagian korupsi yang terjadi.

Untuk bisa lepas dari tuntutan hukum adalah menjadi harapan bagi Whistleblower yang sekaligus juga sebagai pelaku tindak pidana, karena untuk dapat bebas dari tuntutan hukum, hampir tidak mungkin. Selain ketentuan Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 191 Ayat (1) KUHAP menentukan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemerikasaan di sidangkan pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Sementara Whistleblower yang juga sebagai pelaku tindak pidana diduga kuat telah melakukan kesalahan.dan karenanya sangat mudah untuk membuktikannya secara sah dan meyakinkan di Pengadilan. Yang memungkinkan baginya dalah lepas dari tuntutan hukum sebagimana terdapat dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Hanya saja untuk lepas dari tuntutan hukum juga sulit, karena Whistleblower yang juga sebagai pelaku tindak pidana yang diduga kuat telah melakukan kesalahan, tindakannya tidak termasuk dalam kerangka dasar penghapusan pidana.

Adapun kriteria seorang untuk menjadi Whistleblower tidak perlu ada, karena siapa saja yang benar-benar mengetahui adanya suatu permufakatan jahat, kemudian bila dia sungguh-sungguh memberikan laporan atau kesaksian kepada penegak hukum, maka orang itu wajib hukumnya untuk dilindungi Pengaturan Whistle Blower dalam undang-undang kalau sepanjang undang-undang yang mengatur Whistle Blower yaitu undang-undang perlindungan saksi.

Peran saksi, baik saksi korban maupun saksi Whistle Blower, sangatlah dirasa penting untuk membuat sebuah putusan pengadilan yang objektif dan adil, jika mengacu pada rumusan saksi menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP, disebutkan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia lamai sendiri. Dari definisi tersebut maka saksi adalah juga korban dari suati peristiwa pidana itu sendiri.

Sebuah proses peradilan pidana, peran saksi sangat penting untuk memperoleh kebenaran materiil. Hal ini tercermin dalam Pasal 184 KUHAP, dimana dalam Pasal tersebut secara implisit

menggambarkan pentingnya

(8)

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam pembuktian perkara pidana. Bisa dikatakan, bahwa tidak ada pembuktian perkara pidana yang tidak menyertakan alat bukti saksi atau paling tidak, walaupun alat bukti lain sudah memenuhi syarat untuk sahnya sebuah putusan masih dibutuhkan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Kewajiban untuk memberikan keterangan yang benar di muka persidangan tidak sebanding dengan perlindungan yang dimiliki oleh saksi dan korban. Padahal sangat mungkin dari keterangan yang sebenar-benarnya tersebut dapat merugikan kepentingan pihak-pihak lain, misalnya terdakwa. Selain itu, ada kemungkinan pihak-pihak yang akan dirugikan oleh keterangan saksi melakukan upaya-upaya agar saksi tidak dapat memberikan kesaksian, atau kalaupun saksi memberikan keterangan maka keterangan tersebut bukan keterangan sebenarnya.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk mempengaruhi keterangan saksi dapat berupa teror, intimidasi maupun penyuapan terhadap para saksi, jika mengalami teror, intimidasi dan penyuapan, seorang saksi dapat saja memberikan keterangan yang tidak benar, bahkan yang lebih fatal lagi, seorang saksi bisa saja sama sekali tidak bersedia memberikan keterangan, jika keselamatan diri dan keluarganya terancam karena kesaksiannya. Bisa juga seorang saksi memberikan keterangan yang tidak benar, jika ia telah menerima sejumlah uang dari pihak terdakwa.

Berkenaan LPSK menerima

permohonan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, saksi dan/ atau korban menandatangani pernyataan kesedia-an mengikuti syarat dkesedia-an ketentukesedia-an perlindungan saksi dan korban. Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban memuat:

a. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;

b. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati atauran yang

berkenaan dengan

keselamatannya;

c. Kesediaan saksi dan /korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ini berada dalam perlindungan LPSK; d. Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai

keberadaannya dibawah

perlindungan LPSK;

e. Hal-hal lain dianggap perlu oleh LPSK

Seperti kasus di lampung sebagaimana dikutip oleh peneliti di media online kompas.com Karena melaporkan kasus gratifikasi yang melibatkan pejabat Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, delapan anggota dewan setempat mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

(9)

intimidasi, salah satunya dibuat tidak nyaman di kantornya sendiri. Bahkan ada yang terkena pergantian antar waktu (PAW) di internal partainya sendiri.

Pelapor ada yang terancam dilaporkan balik atas kasus lainnya Ini membuat tidak nyaman para pelapor, sehingga dari 23 anggota dewan yang sebelumnya ramai-ramai melapor, kini tersisa 8 saksi yang bersedia memberikan keterangan. Jika korban tidak mendapat perlindungan secara fisik maupun pendampingan khawatir kasus ini akan terhenti di jalan.

Di Lampung sendiri, menurut Eka Saptarini ada kasus korupsi yang kini sedang dalam penanganan Polda Lampung dan prosesnya masih berlangsung. Bahwa LPSK sendiri sudah berkoordinasi dengan Polda Lampung dan juga pemerintah setempat agar para saksi merasa nyaman dan bisa memberi keterangan dengan jelas," ujarnya lagi.13

Sebelumnya, Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan diduga memberikan sejumlah uang kepada anggota DPRD Tanggamus seusai pengesahan APBD tahun 2016 pada Desember 2015 lalu. Para anggota DPRD yang menerima uang pemberian Bambang itu ternyata melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka melapor telah menerima sejumlah uang dari bupati, lalu menyerahkan uang sebesar Rp 523 juta ke Direktorat Gratifikasi KPK.

Menurut analisis peneliti bahwa tindakan anggota DPRD yang

13

Hasil Wawancara dengan Jaksa Eka Saptarini di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pada Tanggal 9 Maret 2017

melakukan pelaporan kepada KPK terkait uang gratifikasi yang dilakukan oleh Bupati Tanggamus patut di apresiasi dikarenakan tidak semua orang yang memiliki keberanian untuk membongkar kasus kejahatan korupsi.

Menurut analisis peneliti bahwa harus dibedakan antara whistle blower dan juga justice collaborator karena kedua hal tersebut adalah dua hal yang berbeda berkenaan dengan whistle blower sendiri adalah orang yang melaporkan adanya tindak pidana yang ia ketahui khususnya tindak pidana yang berbau extra ordinary crime karena partisipasinya tersebut whistle blower mendapat reward berupa berupa perlindungan dan keamanan tentunya setelah penegak hukum menilai apakah kesaksiannya tersebut bernilai atau tidak barulah setelah itu saksi tersebut dinaikan statusnya menjadi whistle blower. Berbeda dengan justice collaborator adalah saksi yang merupakan bagian dari kejahatan tersebut yang karena inisiatifnya melaporkan tindak pidana yang dilakukan oleh kelompoknya tersebut hal tersebut tidak berbeda jauh dengan saksi mahkota.

Mengenai contohnya dapat dilihat dari kasus-kasus yang terjadi selama ini khususnya dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Nazarudin selaku sekertaris partai demokrat yang melaporkan rekannya kepada KPK kesaksian Nazarudin tersebut termasuk kualifikasi justice collaborator.

(10)

terdakwa dalam kasus penyuapan

anggota DPRD Tanggamus,

kemudian Anggota DPRD

Tanggamus tersebut yang menerima penyuapan melaporkan perbuatan Bambang Kurniawan tersebut kepada KPK dengan menyerahkan uang suap tersebut kepada KPK kemudian meminta perlindungan LPSK.

B.Bentuk Perlindungan Terhadap Whistle Blower dalam Mengungkapkan Perkara Tindak Pidana Korupsi

Berkenaan dengan prakteknya banyak whistleblower rentan terhadap teror dan intimidasi. Tidak sedikit whistleblower yang memilih absen dari proses hukum karena jiwanya sangat terancam. Keadaan ini juga tentunya juga berlaku bagi whistleblower dalam mengungkap fakta terkait tindak pidana korupsi karena sebagai berikut:

I. Resiko Internal

a. Para Whistle Blower akan dimusuhi oleh rekan-rekannya sendiri.

b. Jiwa keluarga Whistle Blower akan terancam keselamatannya c. Para Whistle Blower akan

dihabisi karier dan mata pencahariannya.

d. Whistle Blower akan mendapat ancaman pembalasan phisik yang mengancam keselamatan jiwanya.

II. Resiko Ekternal

a. Whistle Blower akan berhadapan dengan kerumitan dan berbelit-belit rentetan proses hukum yang harus dilewati;

b. Whistle Blower akan mendapat resiko hukum ditetapkan status hukumnya sebagai tersangka, atau

bahkan terdakwa, dilakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan, dituntut dan diadili, dan divonis hukuman berikut ancaman denda dan ganti rugi yang beratnya seperti pelaku lain.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas ketakuatan untuk menjadi saksi ataupun menjadi pelapor/pengungkap dugaan tindak pidana Whistle Blower dan mau bekerja sama dengan aparatur hukum untuk mengungkap

kejahatan, memang bukan

kekhawatiran ataupun ketakutan yang tidak beralasan.

Bahwa seperti di kutip peneliti didalam media online yakni kompas.com dalam hal ini melihat bahaya menjadi whistleblower sesuai dengan kasus gratifikasi yang dilakukan oleh mantan Bupati Tanggamus ke sejumlah anggota DPRD. yakni Sejumlah anggota

DPRD Tanggamus meminta

perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Anggota DPRD tersebut merasa diteror setelah melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan. Sekarang proses hukumnya sudah berjalan, bahkan Bupati sudah dinyatakan sebagai tersangka. Para pelapor tersebut diberikan perlindungan dan itu sudah berjalan. Jadi tidak ada masalah soal itu," ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, di Gedung KPK

(11)

berjumlah 13 orang.14 Namun, saat ini pelapor berkurang menjadi 8 orang. Hal ini salah satunya karena adanya tekanan-tekanan yang dilakukan terhadap para pelapor."Bahkan ada upaya agar mereka ini di PAW (pergantian antar waktu). Kemudian, ada beberapa tindakan yang berusaha menyingkirkan peran mereka di DPRD," kata Haris.

Menurut Abdul Haris Semendawai, anggota DPRD yang menjadi pelapor memiliki informasi penting yang harus disampaikan dalam proses pemeriksaan, baik dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) maupun di pengadilan. "Untuk laporan ini, kami sudah berkoordinasi dengan KPK terkait kasusnya, juga dengan kepolisian setempat," kata Haris. KPK menetapkan Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan sebagai tersangka. Bambang diduga menyuap sejumlah anggota DPRD Kabupaten Tanggamus, terkait pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2016.

Menurut Menurut Eka Saptarini selaku Jaksa Pada Kejaksaan Negeri

Bandar Lampung adapun

perlindungan yang akan diberikan whistleblower sebagai berikut:

1) Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan;

Menurut Eka Saptarini selaku Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Lembaga perlindungan saksi dan/atau korban wajib

memberikan sepenuhnya kepada Whistleblower termasuk keluarganya sejak ditanda-tangani pernyataan kesediaan. Yang dimaksud dalam pasal ini adalah bahwa apabila seseorang yang menyebabkan saksi dan korban yang memberikan kesaksian dalam sidang pengadilan dan dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dirugikan atau tidak mendapatkan

hak-haknya secara penuh

sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang ini diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan paling lama 3 (tiga) Tahun dan denda paling sedikit Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), dengan begitu

saksi dapat memberikan

keterangannya secara bebas di dalam atau selama proses persidangan tanpa harus takut ada ancaman dari luar. Dalam hal melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, lembaga perlindungan saksi dan korban dapat bekerja sama dengan instansi yang terkait dan berwenang.15

2) Mendapatkan Tempat Kediaman Baru;

Menurut Eka Saptarini selaku Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berkewajiban menyediakan sebuah kediaman baru yang khusus dimana tempat tersebut dirahasiakan keberadaannya oleh Lembaga Perlindungan saksi dan korban hanya diketahui oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan apabila keberadaan saksi di tempat tersebut disebarluaskan maka orang

15

(12)

tersebut akan diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) Tahun dan paling lama 7 (tujuh) Tahun dan denda paling sedikit sebanyak Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).16

3) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

Menurut Eka Saptarini selaku Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Dalam memeriksa saksi, Hakim, Penuntut Umum, Penasehat Umum atau terdakwa tidak boleh mengajukan pertanyaan yang menjerat atau yang bersifat yang

mengarahkan saksi untuk

memberikan jawaban tertentu. Pada prinsipnya saksi harus memberikan keterangan secara bebas di muka hakim (Pasal 166 KUHAP).17

Dalam pemeriksaan penyidik atau penuntut umum tidak boleh

mengadakan tekanan yang

bagaimanapun caranya, lebih-lebih di dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Tekanan itu misalnya ancaman dan sebagainya yang menyebabkan terdakwa atau saksi menerangkan hal yang berlainan daripada hal yang dapat dianggap sebagai pernyataan pikirannya yang bebas.

Melihat dari 3 point penting diatas pada dasarnya Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala

16

Hasil Wawancara dengan Jaksa Eka Saptarini di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pada Tanggal 9 Maret 2017

17

Hasil Wawancara dengan Jaksa Eka Saptarini di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pada Tanggal 9 Maret 2017

peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingak masyarakat.

Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.

Menurut analisis penulis bahwa saksi yang menjadi whistleblower perlu mendapat perlindungan istimewa hal ini sangat wajar apabila saksi diberikan perlindungan secara maksimal bayangkan apabila saksi

tersebut tidak mau

membantu/bekerja-sama dengan baik

kepada penegak hukum,

kemungkinan penegak hukum akan mengalami kesulitan dalam hal mengungkap suatu tindak pidana, berkat keberanian saksi yang berpartisipasi inilah kerja-kerja penegak hukum menjadi terbantu.

(13)

mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi.

III. PENUTUP A. Simpulan

1. Implementasi whistle blower dalam mengungkapkan perkara tindak pidana korupsi yakni Di Indonesia sendiri belum ada pengaturan secara jelas mengenai Whistleblower. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. hanya mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban, bukan terhadap pelapor.

Terhadap contoh kasus

whistlblower di Lampung sendiri sudah ada tetapi masih berjalan seperti delapan anggota DPRD Tanggamus yang melapor kepada KPK terkait kasus gratifikasi yang dilakukan oleh Bupati Tanggamus dalam hal ini anggota DPRD tersebut mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dalam hal ini Penghargaan yang diterima oleh whistleblower adalah Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan, Mendapatkan Tempat Kediaman Baru, dan Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

2. Bentuk perlindungan terhadap

whistle blower dalam

mengungkapkan perkara tindak pidana korupsi Pertama, Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah

diberikan, Kedua, Mendapatkan Tempat Kediaman Baru Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berkewajiban menyediakan sebuah kediaman baru yang khusus dimana tempat tersebut dirahasiakan keberadaannya, dan Ketiga Bebas dari pertanyaan yang menjerat Dalam memeriksa saksi, Hakim, Penuntut Umum, Penasehat Umum atau terdakwa tidak boleh mengajukan pertanyaan yang menjerat atau yang bersifat yang mengarahkan saksi untuk memberikan jawaban tertentu. Dalam pemeriksaan penyidik atau penuntut umum tidak boleh mengadakan tekanan yang bagaimanapun caranya, lebih-lebih di dalam pemeriksaan di sidang pengadilan

B. Saran

1. Diharapkan kepada masyarakat yang mengetahui tindak pidana berkenaan dengan tindak pidana korupsi agar mau melaporkan dan menjadi saksi yang bekerjasama hal tersebut guna membantu aparat

penegak hukum dalam

memaksimalkan upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi;

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator, Dalam Perspektif Hukum, Cetakan Penaku, Jakarta, 2012

Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diedit Media, Jakarta, 2009

Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra,

Hukum Sebagai Suatu

Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, 1993

Mardjono Reksodiputro, “Pembocor

Rahasia/Whistle Blower/ Justice Collaborator dan Penyadapan (Wiretapping, Electronic Interception) dalam Menanggulangi Kehajatan di

Indonesia” Wacana

Goverminyboard

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, 1983

Denny Indrayana, Republika.co.id, Jakarta,

Komariah E Sapardjaja. Peran

Whistleblower, dalam

wawancara khusus di newsletter Komisi Hukum Nasional Vol.10 No.6 Tahun 2006.

Winarta, H. Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional fhw Wacana mengenai status justice collaborator bagi tersangka kasus suap di Proyek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Wisma Atlet SEA Games, diakses pada Tanggal 16 Desember 2016

http://nasional.kompas.com/read/2016 /10/05/14582891/jadi.saksi.kasu s.suap.8.anggota.dprd.tanggamu s.dapat.perlindungan.lpsk.

http://nasional.kompas.com/read/2016 /10/05/14582891/jadi.saksi.kasu s.suap.8.anggota.dprd.tanggamu s.dapat.perlindungan.lpsk

Referensi

Dokumen terkait

pendidikan masyarakat Indonesia yang semakin lama semakin tinggi dan sedikitnya ilmu yang dapat diserap oleh para pelajar di sekolah menyebabkan menjamurnya

sebagian kegiatan pemantauan dampak terhadap tanah dan air dan telah dituangkan dalam Laporan Semesteran Pelaksanaan RKL. Dampak terhadap tanah dan air. Sedang Terdapat

# Indikator lain dalam standar layanan yang tak kalah pentingnya adalah KOMPETENSI PELAKSANA yang mumpuni, PENGAWASAN INTERNAL untuk penyelengg- araan layanan,

Selain hasil penelitian dari kuesioner juga dapat dilihat pada hasil penelitian Uji hipotesis menggunakan korelasi Kendall Tau menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000

According to Asfai (2009:15), in the process of giving Jajuluk usually traditional elders sounding the percussion (in general sounded a Gong Adat), while

Dengan data rating yang rendah dari program musik BREAKOUT yang bersinggungan dengan target audiens utama BREAKOUT dan kota Surabaya yang memiliki profil penonton yang rendah

Masalah utama dalam portofolio adalah bagaimana investor memilih dan menentukan kombinasi terbaik antara tingkat pengembalian dan risiko agar terbentuk portofolio yang optimal

Terkadang hati begitu berat melangkah dengan segla keadaan Namun aku tahu inilh duniamu yang tak seperti duniaku kemarin. Tapi apakah kamu mau merusak duniamu dengan