• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIA (1)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Oleh: Husendro

Kandidat Doktor Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Konsep Recall pertama kali dilembagakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pada tahun 1966 yaitu di era Orde Baru dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1966 tentang Susunan dan Kedudukan MPRS dan DPR-GR. Pengaturan recall sebagai suatu hak partai pernah dihilangkan pada era Reformasi karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pengaturan recall kemudian diatur dan dilembagakan kembali dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang selanjutnya disebut UU Susduk, yang kemudian juga diganti dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang selanjutnya disebut UU MD3.

Dalam perkembangan politik hukum Indonesia, UU Nomor 27 Tahun 2009 ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Recall pada dasarnya merupakan sebuah kata dalam bahasa inggris, yang tersusun dari kata “re” yang berarti kembali, dan “call” yang berarti memanggil, maka recall dapat diterjemahkan sebagai memanggil atau menarik kembali. Menurut Peter Salim dalam The Contemporary English-Indonesia sebagaimana dikutip oleh Hadi Prakarsa Tri, setidaknya recall memiliki empat pengertian yakni mengingat, memanggil kembali, menarik kembali atau

(2)

dikemukakan oleh C. F. Strong, yang mendefinisikan recall sebagai sebagai sarana yang memberikan hak kepada pemilih untuk menarik kembali wakil yang tidak memuaskan, bahkan dalam beberapa kasus dipakai untuk menarik kembali pejabat terpilih lainnya.

Berdasarkan pada uraian diatas, kosep recall dapat dimaknai sebagai hak yang dimiliki partai untuk menarik kembali anggotanya yang duduk di dalam lembaga perwakilan dan juga dapat dimaknai hak menarik kembali yang dimiliki oleh pemberi mandat yaitu rakyat, pemilih atau konstituen. Pada dasarnya terminologi recall ini tidak dapat kita temukan dalam peraturan perundang-undangan yang ada, akan tetapi hakikat dari konsepsi recall dapat kita temukan dalam peraturan perundang-undangan. Saat ini pengaturan konsepsi recall anggota DPR dapat

di temukan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, khususnya Pasal 239 sampai dengan 244.

KONSTITUSIONALITAS RECALL/PAW

Namun demikian, permasalahan terminologi dan konsepsi recall ini telah menyertai perjalanan dunia politik di Indonesia. Beragam peristiwa recall terjadi dengan disertai perlawanan atau upaya hukum untuk membatalkan recall tersebut, diantaranya adalah kasus recall Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman; Anggota DPR/MPR RI (A-173) - Fraksi Partai Amanat Nasional, yang kemudian diuji di Mahkamah Konsitusi dan telah di putus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-IV/2006 tanggal 28 September 2006.

Dalam pertimbangan hukum Putusan MK a quo disebutkan bahwa PAW karena pencabutan keanggotaan dari partai politik bagi anggota DPR itu sah dan konstitusional sebagai hak partai politik. Pertimbangannya, antara lain, karena menurut Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, peserta Pemilu untuk anggota DPR itu adalah partai politik. Oleh karena peserta Pemilu untuk anggota DPR adalah partai politik dan tak seorang pun dapat menjadi anggota DPR tanpa melalui partai politik, maka menjadi wajar dan proporsional jika partai politik diberi wewenang untuk

(3)

pengalaman sejarah pula ketika partai politik tidak diberi kewenangan untuk melakukan PAW, banyak anggota DPR yang melakukan pelanggaran, baik hukum maupun etika,tanpa bisa ditindak secara langsung oleh partai politik yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan bisa merusak citra, bukan hanya citra partai politik yang bersangkutan melainkan juga citra DPR di mana yang bersangkutan bertugas sebagai wakil rakyat.

Tahun 2010, permasalahan recall/PAW ini juga pernah diuji kembali oleh Lily Chadidjah Wahid; Anggota DPR RI/MPR RI – Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, yang juga telah diputuskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tanggal 11 Maret 2011, yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan meskipun

partai politik berwenang melakukan PAW bagi anggotanya yang bertugas sebagai anggota DPR/DPRD namun di dalam pelaksanaannya haruslah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (vide Pasal 22B UUD 1945) dan AD/ART partai politik yang bersangkutan, sehingga tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang atau dengan cara melanggar hukum. Jika hal itu dilakukan maka anggota partai politik yang bersangkutan dapat melakukan upaya hukum baik melalui peradilan tata usaha negaramaupun melalui peradilan umum.

Dari dua contoh kasus tersebut diatas, maka hak partai politik untuk melakukan recall/PAW merupakan suatu hal yang konstitusional, akan tetapi perlu diatur dalam Undang-Undang agar tidak dilakukan secara sewenang-wenang atau dengan cara melanggar hukum. Dimana saat ini, usulan pemberhentian anggota DPR RI dapat diusulkan oleh partai politik pengusung dan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI.

USULAN PEMBERHENTIAN ANTAR WAKTU ANGGOTA DPR RI

Pasal 239 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Anggota DPR berhenti antarwaktu karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan. Permasalahan utama yang sering menjadi perdebatan hukum dan konflik politik adalah pada aspek alasan diberhentikan. Seseorang anggota DPR RI diberhentikan diberhentikan

(4)

syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD; f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; g. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau h. menjadi anggota partai politik lain. (vide Pasal 239 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2014).

Proses pengusulan Pemberhentian AW ini dilakukan oleh Pimpinan Partai Politik pengusung yang ditujukan kepada Pimpinan DPR RI dengan tembusan Presiden RI yang berisikan alasan usulan PAW sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 239 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2014. Setelah usulan tersebut diterima Pimpinan DPR RI, maka paling lambat 7 (tujuh) hari sejak

diterima usulan tersebut, Pimpinan DPR RI wajib menyampaikannya kepada Presiden RI untuk diresmikan pemberhentiannya. Kemudian, paling lama 14 (empat belas) hari sejak usulan dari Pimpinan DPR RI diterima Presiden RI, usulan tersebut diresmikan oleh Presiden RI (vide Pasal 240 UU Nomor 17 Tahun 2014).

Proses pengusulan Pemberhentian AW ini juga bisa dilakukan melalui mekanisme Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI. Apabila anggota DPR RI terbukti dan diputuskan melakukan pelanggaran sebagaimana proses pembuktian di MKD DPR RI, maka proses selanjutnya adalah MKD DPR RI membentuk Panel yang terdiri dari 3 (tiga) orang anggota MKD DPR RI dan 4 (empat) orang unsur masyarakat. Jika dalam proses sidang Panel tersebut diputuskan bersalah dan diberikan sanksi pemberhentian tetap sebagai anggota DPR RI, maka putusan tersebut harus diusulkan ke Sidang Paripurna DPR RI untuk mendapatkan persetujuan. (vide Pasal 148 UU Nomor 17 Tahun 2014 jo. Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesi).

UPAYA HUKUM PEMBERHENTIAN ANTAR WAKTU ANGGOTA DPR RI

Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d UU Nomor 17 Tahun 2014, yang bersangkutan mengajukan

keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (vide Pasal 241 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014).

(5)

atas kerja MKD DPR RI dapat menjadikan alasan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagai dasar gugatannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “Tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

menggantikan kerugian tersebut.

Jadi, jelas tergambarkan dari berbagai upaya hukum yang telah dijelaskan, upaya PAW atau recalling menurut hukum yang dianut sekarang bukanlah menjadi suatu perkara yang mudah

untuk dilakukan. Butuh waktu yang sangat panjang agar proses upaya hukum yang diajukan anggota DPR RI yang diusulkan diberhentikan memiliki kekuatan hukum yang tetap (in kracht

van gewijsde), dimana harus melewati tahapan persidangan di Pengadilan Negeri pada tingkat

pertama, kemudian di Pengadilan Tinggi pada tingkat banding, serta di Mahkamah Agung RI pada tingkat kasasi, yang umumnya membutuhkan waktu 1-2 tahun sejak gugatan pertama kali didaftarkan di Pengadilan Negeri.

MEKANISME PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DPR RI

Anggota DPR RI yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) dan Pasal 240 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, akan digantikan oleh calon anggota DPR RI yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama. Dalam hal calon anggota DPR RI yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya tersebut meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR RI, akan digantikan oleh calon anggota DPR RI yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama. Masa jabatan anggota DPR RI pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikannya. (vide Pasal 242 UU Nomor 17 Tahun 2014).

Proses Penggantian Antar Waktu dimulai dari Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota

(6)

diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Presiden. Lalu, paling lama 14 (empat belas) Hari sejak menerima nama anggota DPR RI yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari pimpinan DPR RI tersebut, Presiden meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden. (vide Pasal 243 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Nomor 17 Tahun 2014).

Namun demikian, ada catatan khusus dalam proses Penggantian Antar Waktu ini, yakni Penggantian antarwaktu anggota DPR RI tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPR RI yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan. (vide Pasal 243 ayat (6) UU Nomor 17 Tahun 2014).

KESIMPULAN

Proses usulan pemberhentian dan penggantian antar waktu pada kategori “diberhentikan”, hendaknya juga memperhatikan waktu masa keanggotaan Anggota DPR RI yang diusulkan diberhentikan tersebut. Semisalnya. Anggota DPR RI Periode 1 Oktober 2014 sampai dengan 1 Oktober 2019 yang diusulkan diberhentikan pada artikel ini ditulis (11 November 2016). Dengan proses usulan pemberhentian dan upaya hukum yang akan dilakukan oleh anggota DPR RI tersebut, maka diperkirakan akan membutuhkan waktu paling cepat 1,5 tahun (18 bulan) baru selesai, ini artinya Mei 2018 baru ada kepastian hukum mengenai status pemberhentian dan penggantian antar waktu tersebut. Dengan demikian, hal ini tidak efektif dalam sistem demokrasi dan cenderung mencederai amanat konstituen. Sehingga, sebaiknya memang harus ada pengaturan yang lebih efektif atau tidak ada sama sekali pengaturan meskipun merupakan suatu hal yang konstitusional untuk melindungi kepentingan Anggota DPR RI yang diusulkan diberhentikan, suara konstituen dan tentu saja partai politik sendiri. Usulannya adalah merevisi Pasal 243 ayat (6) UU Nomor 17 Tahun 2014, yang semula 6 bulan menjadi 12 bulan. Dengan demikian bunyinya berubah menjadi “Penggantian antarwaktu

anggota DPR RI tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPR RI yang

digantikan kurang dari 12 (duabelas) bulan.” Usulan 12 bulan ini agar anggota DPR RI

Referensi

Dokumen terkait

Hal lain yang menjelaskan bahwa Sang Buddha mengkonsumsi daging dijelaskan dalam Anguttara Nikaya 5.44 yang menceritakan tentang seorang umat awam, Ugga, yang

Sebelum pulang sekolah terdakwa sudah menunggu korban di sekolahnya dan selanjutnya terdakwa dan korban pergi ke bahapal dan tidak berapa lama kemudian

Dalam penelitian ini peneliti langsung terjun kelapangan untuk memperoleh data yang akan dicarai, seperti ketika mencari data dengan melakukan wawancara

Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Devi Restina dan Efrida Warganegara di Lampung tahun 2016 tentang getah jarak sebagai penghambat

Pengalaman terbentuk dari lamanya seseorang mengusahakan suatu usaha, semakin lama waktu dalam usaha yang dijalankannya tersebut, maka semakin banyak hal yang

Usus belakang terdiri atas lima bagian, yaitu saluran pendek yang berhubungan langsung dengan usus tengah, enteric valve, kantung rektum, kolon, dan rektum (Gambar 3)..

Selain itu, menurut Geertz (1982), fungsi pernikahan bagi etnis Jawa yaitu merupakan pelebaran menyamping tali ikatan antara dua kelompok himpunan masyarakat yang tidak

Terdapat dua agen risiko yang menjadi prioritas penanggulangan karena memiliki nilai ARP terbesar (380 dan 345) dan menyumbangkan persentase kumulatif mencapai