• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi dan Jenis Ilmu Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Definisi dan Jenis Ilmu Hukum"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu hukum akan mempelajari semua semua seluk beluk mengenai hukum, misalnya mengenai asal mula, wujud, asas-asas, sistem, macam pembagian, sumber-sumber, perkembangan, fungsi dan kedudukan hukum di dalam masyarakat. Ilmu hukum sebagai ilmu yang mempunyai objek hkum menelaah hukum sebagai suatu gejala atau fenomena kehidupan manusia dimanapun di dunia ini dari masa kapanpun.

Oleh karena itu setiap masyarakat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga hukum sebagai alat untuk mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sanksi bagi pelanggarnya. Setiap orang memiliki kesamaan di depan hukum.

Ilmu hukum pun mempunyai pembagian dari beberapa jenis-jenis ilmu hukum itu sendiri. Pembagian ini berdasarkan nilai-nilai objektif dari suatu hukum yang kemudian dapat melihat hukum dari sudut pandang yang berbeda.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan diatas, maka penulis akan memberikan pemaparan rumusan masalah yang akan dibahas :

1. Apa definisi dari hukum dan ilmu hukum ? 2. Apa saja jenis-jenis ilmu hukum ?

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi salah satu penilaian dari mata kuliah logika dan penalaran hukum serta untuk menambah wawasan bagi penulis dan mahasiswa lainnya, diantaranya :

(2)

D. Manfaat

Manfaat teoritis

Secara teoritis makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai definisi dari hukum dan ilmu hukum serta mengetahui jenis-jenis ilmu hukum/

Manfaat praktis

(3)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum

Hukum sebagai suatu aturan yang diderivasi (diturunkan) dari norma-norma yang berkembang di masyarakat, pada dasarnya merupakan seperangkat kesepakatan-kesepakatan yang telah dinegosiasikan antara anggota komunitas. Sebagaimana kehadirannya, hukum dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia. Karena itu sifat hukum tidak konstan, tidak tetap, dan tidak given. Aturan hukum tertentu bisa jadi cocok dengan masyarakat tertentu. Artinya hukum bukanlah sesuatu yang bebas ruang dan waktu. Karena itu relavitivitas menjadi suatu keniscayaan dalam memandang dan memaknai hukum.

Bagitupun dalam Islam, hukum bukanlah sesuatu yang pasti. Yang tetap dari Islam adalah nilai-nilai fundamental ajaran Islam. Tapi ketika nilai-nilai itu dikonstruksikan kedalam hukum (yang positif, diberlakukan dalam masyarakat) maka ia tidak lagi berkarakter tetap. Ia menjadi sesuatu yang sangat negotiable.

Dalam studi Islam, hukum didefinisikan “menetapkan sesuatu pada yang lain”.1 Seperti

menetapkan haram pada khamar, atau halal pada susu. Sedangkan menurut terminology ahli ushul, hukum berarti titah (khitab) syari’i yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau wadh’I (menjadikan sesuatu sebagai sebab, mani’ (penghalang), dan syarat). Khitab syar’I adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya terhadap perbuatan mukallaf.2

Dari dua perspektif definisi hukum diatas, sepintas, terlihat bahwa antara pengertian hukum Islam dan hukum “duniawi” atau hukum yang tidak bersumber dari Islam, terdapat perbedaan. Perbedaan itu terletak pada karakter hukumnya. Jika hukum positif bersumber dari norma yang hidup dalam masyarakat, sedangkan hukum Islam bersumber dari teks-teks keagamaan. Meski demikian, banyak ahli juga yang tidak membedakan kedua perspektif hukum itu secara antagonistic. Karena bagaimanapun, hukum-hukum positif yang didesain dalam suatu komunitas atau suatu bangsa, tetap akan berakar pada nilai-nilai, norma-norma, dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Jika masyarakat itu mayoritas memeluk

(4)

agama Islam, maka dipastikan nilai-nilai Islam akan menginspirasi setiap produk hukum yang diciptakan oleh otoritas politik suatu bangsa tersebut.3

B. Pengertian Ilmu Hukum

Berikut ini ada beberapa pendapat yang mencoba memberikan gambaran tentang apa sesungguhnya ilmu hukum itu4

1. Ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat manusiawi, pengetahuan tentang apa yang benar dan tidak benar menurut harkat kemanusiaan (Ulpian).

2. Ilmu yang fformal tentang hukum positif (Holland)

3. Sintesa ilmiah tentang asas-asas yang pokok dari hukum (Allen)

4. Penyelidikan oleh beberapa ahli hukum tentang norma-norma, cita-cita, dan teknik-teknik hukum, dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari berbagai disiplin di luar hukum yang mutakhir (Stone).

5. Ilmu hukum adalah nama yang diberikan kepada suatu cara untuk mempelajari hukum, suatu penyelidikan yang bersifat absrak, umum dan teoritis, yang berusaha mengungkapkan asas-asas yang pokok dari hukum dan system hukum (Fitzgerald). 6. Suatu diskusi teoritis yang umum mengenai hukum dan asas-asasnya, sebagai lawan

dari studi mengenai peraturan-peraturan hukum yang konkrit (Jolowicz). 7. Pengetahuan tentang hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya (Croos).

8. Setiap pemikiran yang teliti dan berbobot mengenai semua tingkat kehidupan hukum, asal pemikiran itu menjangkau keluar batas pemecahan terhadap suatu problem yang konkrit, dengan kata lain ilmu hukum meliputi semua macam generalisasi yang jujur dan dipikirkan masak-masak di bidang hukum (Llewellyn).

9. Teori ilmu hukum menyangkut pemikiran mengenai hukum atas dasar yang paling luas.

Secara sederhana dapat disimpulkan, bahwa ilmu hukum adalah karya manusia yang berusaha mencari kebenaran, tentang sesuatu yang memiliki ciri-ciri, sistematis, logis, empiris, metodis, umum, dan akumulatif. Sebagai ilmu pengetahuan ilmu hukum dengan ciri-cirinya berusaha mempelajari sistematika hukum dan kaidah-kaidah, seperti rumusan kaidah, sebab terbentuknya dan sebagainya, sedemikian rupa sehingga hukum dapat dipelajari dengan sebaik-baiknnya. Semakin berkembang suatu masyarakat akan semakin menuntut 3 Hasanuddin AF, dkk., Pengantar Ilmu Hukum, UIN Jakarta Press, Tangerang, h. 4.

(5)

perkembangan ilmu hukum, sehingga secara objektif mampu menjelaskan keadaan hukum pada setiap saat, demi dapat berperannya hukum sebagai sarana untuk ketertiban, keadilan, dan pendorong terciptanya kesejahteraan.5

C. Jenis-Jenis Ilmu Hukum

1. Ilmu Hukum Dogmatik

Ilmu Hukum Dogmatik bertugas untuk memaparkan, menganalisa, mensistematisasi, dan menginterpretasi hukum yang berlaku. Tujuannya adalah untuk memungkinkan penerapan dan pelaksanaan hukum secara bertanggungjawab di dalam praktik6. Bentuk ilmu hukum ini

menempati posisi sentral dalam pendidikan universiter.

Menurut pandangan tradisional, Ilmu Hukum Dogmatik adalah ilmu hukum in optima forma (dalam bentuk yang optimal). Ia dapat pula kita namakan “Dogmatik Hukum” (Rechtsdogmatik Jurisprudenz). Sifat “dogmatikal”-nya itu terletak dalam hal bahwa orang bersungguh-sungguh membatasi diri pada satu sistem hukum spesifik. Orang membatasi diri pada kaidah-kaidah hukum positif tertentu, dan menutup diri terhadap sistem-sistem hukum yang lain. Sementara itu orang menemukan dalam kepustakaan berbagai pendekatan yang berbeda dari Dogmatika Hukum7.

Ilmu Hukum Dogmatik itu memiliki suatu karakter sendiri, ia adalah sebuah ilmu “sui generis”, yang tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dalam bentuk ilmu lain yang mana pun. Ia memiliki berbagai ciri sebagai berikut:

a. Pertama-tama, ilmu hukum itu memiliki suatu sifat empirik anatikal. Itu berarti bahwa ia memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi (dan struktur) dari hukum yang berlaku.

b. Selanjutnya, ilmu hukum mensistematisasi gejala-gejala hukum yang dipaparkan dan dianalisis itu. Ia lebih merupakan pengembangan suatu “sistem terbuka”, yang berarti bahwa aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum dipikirkan dalam suatu hubungan yang relatif bebas antara yang satu dengan yang lainnya. Yang menentukan padanya adalah bahwa orang mempertautkan kaidah-kaidah hukum ini pada asas-asas yang melandasi hubungan ini. Dengan latar belakang asas-asas ini, maka gejala-gejala hukum lain juga dapat disestematisasi. Justru salam hal itu terletaknya sifat “terbuka” 5 Suroji Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1974), hal. 126.

6 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 21.

7 B. Arief Sidharta, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum,

(6)

dari pensistematisasian tersebut. Ini adalah tugas dari Dogmatika Hukum dalam arti sempit. Sementara itu, pensistematisasian ini tidak sama penting pada semua bagian dari hukum. Untuk hukum perdata ( dan dalam derajat yang lebih-kurang untuk hukum pidana) ia memiliki arti lebih besar ketimbang misalnya untuk hukum tata negara. Adanya peradilan mempunyai pengaruh yang besar. Suatu yurisprudensi yang terolah, sebagaimana yang kita kenal dalam hukum perdata, berdaya stimulatif untuk pemekaran suatu dogmatik hukum. Jika yurisprudensi sama sekali tidak ada, maka terdapat bahaya bahwa ilmu hukum hanya merupakan hal mengungkapkan penataan-penataan dan struktur-struktur yang ada (misalnya tatanan negara).

c. Ilmu Hukum menginterpretasi hukum yang berlaku. Bukankah deskripsi (pemaparan), analisis, dan sistematisasi hukum yang berlaku mengandaikan bahwa arti dari hukum itu terlebih dahulu-sekurang-kurangnya dalam arti sementara-sudah ditetapkan.

d. Ilmu hukum itu menilai hukum yang berlaku. Dalam arti ini ia relatif bersifat normatif. Jadi Dogmatik Hukum tidak bebas nilai. Ia secara langsung berkaitan dengan ide hukum (cita hukum), dengan perwujudan “tujuan” dari hukum.

e. Ciri yang terakhir berkaitan dengan arti praktikal dari Ilmu Hukum Dogmatik. Antara teori dan praktik berkenaan dengan dogmatika hukum terdapat perkaitan-perkaitan yang majemuk. Apa yang dikemukakan oleh Ilmu Hukum Dogmatik pada akhirnya berkaitan dengan penerapan hukum secara praktikal. Untuk itu hukum dipaparkan, dianalisis, disistematisasi, dan diinterpretasi. Pada penerapan praktikal itulah juga penilaian normatif terhadap hukum positif diarahkan. Pada tataran teoretikal, Ilmu Hukum Dogmatik itu memberikan (menyediakan) suatu model bagi perwujudan hukum secara praktikal (dan dengan demikian “tujuan” dari hukum). Model ini direfleksi dan diargumentasi secara teoretikal, ia relevan secara praktikal. Tanpa pegangan (bimbingan) teoretikal ini, praktik tersebut (misalnya, peradilan, advokatur, perundang-undangan) tidak dapat berfungsi. Pada pihak lain, isi dari praktik hukum memberikan dampak balik pada model teoretikal ini. Jadi, teori dan praktik itu saling berkaitan erat, dan karena itu juga hanya dapat dipikirkan sebagia suatu keseluruhan (teoretikal) dan diwujudkna (secara praktikal)8.

2. Ilmu Hukum Empirik

(7)

Ilmu Hukum Empirik lebih banyak ditentukan oleh metodenya dan primer tidak oleh objeknya. Ia juga tidak hanya relevan untuk Ilmu Hukum Dogmatik, tetapi juga untuk bentuk-bentuk lainnya. Ilmu Hukum Empirik membedakan secara tajam fakta-fakta dan norma-norma, antara keputusan-keputusan (proporsi) yang memaparkan (deskriptif). Gejala-gejala hukum dipandang sebagai Gejala-gejala-Gejala-gejala empirikal (faktual) yang murni. Gejala-Gejala-gejala hukum dipandang sebagai gejala-gejala empirikal (faktual) yang murni. Mereka adalah “fakta-fakta kemasyarakatan” yang dapat diamati secara indrawi. Gejala-gejala ini harus dipelajari dan diteliti dengan menggunakan metode-metode empirikal, sesuai dengan “gambaran standar”. Itu mengandung arti bahwa hukum yang berlaku itu dipaparkan, dianalisis, dan terutama juga dijelaskan. Jadi, Ilmu Hukum Empirik itu berbicara dalam keputusan- keputusan deskriptif tentang gejala-gejala hukum, yang untuk sebagian juga tampil dalam keputusan-keputusan preskriptif. Bukanlah tugas dari pengemban ilmu hukum (empirik) untuk menyatakan penilaian etikal atau politikal tentang sifat atau isi dari hukum positif. Suatu penilaian (putusan) demikian memiliki. Demikian mereka katakan suatu karakter personal subjektif. Hal itu harus diserahkan kepada mereka yang ditugaskan untuk menetapkan putusan-putusan (penilaian) demikian, seperti para advokat, hakim, penasihat hukum, politisi, dan pengemban politik hukum yang lainnya. Hal ini (yakni penerapan hukum itu) tentu saja dapat diteliti secara empirikal. Ilmu dan praktik lagi-lagi dipisahkan secara

“strikt” (ketat)9.

D. Jenis Ilmu Hukum Lain

Disamping yang sudah disebutkan diatas, kita masih mengenal bentuk lain dari ilmu hukum, yakni Perbandingan Hukum, Sosiologi Hukum, Sejarah Hukum dan Psikologi Hukum.

a. Perbandingan Hukum

Pada prinsipnya, hukum berbeda menurut tempat dan waktu, akan tetapi taka da hukum berlaku satu waktu, hanya terbatas, berlaku, hanya terbatas, berlaku, dan berdiri sendiri untuk satu bangsa atau satu negara. Demikian juga dalam sejarah hukum, ia berusaha mencoba mengkaji hubungan historis dalam hukum suatu bangsa tertentu. Karena itu, di samping terdapat perbedaan antara hukum yang berlaku pada bangsa tertentu pasti juga terdapat persamaannya.

(8)

Perbandingan hukum, pada awalnya berasal dari sebuah tradisi yang dilakukan oleh para pakar hukum untuk membanding-bandingkan sistem-sistem hukum yang berlaku di masyarakat tertentu dengan sistem hukum yang berlaku dimasyarakat lain. Pada tahap selanjutnya, studi yang bersifat perbandingan ini, secara diam-diam dipakai dalam penyelidikan hukum. Begitu pula dengan sosiologi hukum, tanpa dinyatakan secara eksplisit, pada suatu saat juga menggunakan metode perbandingan. Misalnya, W.M. Evan, telah melakukan studi perbandingan mengenai fungsi-fungsi pembuatan hukum, pengadilan dan pelaksanaan hukum, pada konteks social yang berbeda-beda, baik pada system hukum yang dikaitkan pada negara, maupun pada lingkungan-lingkungan swasta.10

Bila dilihat dari sisi ini, objek kajian dan juga tujuan dari perbandingan hukum , maka ada beberapa yang menjadi objeknya, yakni :

a. menunjukkan perbedaan dan persamaan yang ada diantara sistem hukum atau bidang-bidang hukum yang dipelajari

b. menjelaskan mengapa terjadi persamaan atau perbedaan yang demikian, faktor-faktor yang menyebabkannya

c. memberikan penilaian terhadap masing-masing sistem yang digunakan

d. memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa ditarik sebagai kelanjutan dari hasil-hasil studi perbandingan yang telah dilakukan

e. merumuskan kecenderungan-kecenderungan yang umum pada perkembangan hukum, termasuk didalamnya irama dan keteraturan yang dapat dilihat dari perkembangan hukum tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, maka sesungguhnya studi perbandingan hukum adalah studi perbandingan terhadap sistem-sistem hukum positif atau bidang-bidang hukum positif tertentu, yang berlaku pada satu bangsa dengan bangsa yang lain.

Perbandingan hukum dalam perspektif hukum Islam salah satu, dikenal dengan istilah

muqaranat al-madzahib (perbandingan madzab). Kata muqaranat berasal dari bahasa Arab yang berarti menghubungkan sesuatu dengan yang lain. Atau menghubungkan sesuatu dan meletakkannya berhadapan dengan yang lain. Secara sederhana, perbandingan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mengadakan identifikasi terhadap persamaan dan atau perbedaan antara dua gejala tertentu atau lebih.

(9)

Dengan demikian, muqaranat al-madzahib adalah suatu kegiatan ilmiah untuk mengidentifikasi terhadap persamaan dan perbedaan antara dua pendapat ulama atau lebih dibidang pemikiran hukum (madzhab), baik dalam sistematika sumber-sumber hukumnya, maupun dalam system istinbath ahkam (menggali dan menetapkan hukum) nya. Hal ini dilakukan dengan cara memperbandingkan dalil-dalil dan pertimbangan yang dijadikan dasar penetapan hukum oleh masing-masing madzhab, dalil-dalil tersebut dianalisis, dicari kelemahan dan kekuatannya masing-masing hingga diperoleh suatu kesimpulan.

Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi obyek dan ruang lingkup perbahasan perbandingan madzhab adalah: meliputi pembahasan mengenai sumber, kaidah-kaidah ulama madzhab yang menjadi pangkal timbulnya perbedaan pendapat serta latar belakang pemikiran ulama masing madzhab, dan sistematika sumber hukum yang dipegang oleh masing-masing ulama madzhab dan system intinbathnya.11

Seperti diketahui bahwa, dalam konteks madzhab, paling tidak ada empat madzhab yang paling popular dikalangan umat Islam dunia, atau sering disebut dengan al-aimat al-arba’ah. Yakni; madzhab Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150/767), sering disebut madzhab Hanafiyah, Malik bin Anas al_Asbahi (w. 179/795) sering disebut Malikiyah, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204/820), sering disebut Syafi’iyyah, dan Madzab Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241/855), sering juga disebut Madzhab Hanbaliyyah.12 Setidaknya

itulah yang popular dan masih bertahan dikalangan Sunni.

Dengan melihat berbagai madzhab tersebut, maka perbandingan hukum adalah perbandingan trhadap segala sesuatu, termasuk sistematika sumber hukumnya, dalil yang dipergunakan, serta system istinbath hukumnya, yang diergunakan oleh masing-masing ulama madzhab tersebut.

b. Sosiologi Hukum

Yaitu menyelidiki hubungan hukum dalam masyarakat. Sebagai sebuah norma masyarakat, hukum pasti akan menganggit kebiasaan-kebiasaan dan gejala yang berlaku dan terjadi di masyarakat. Bahkan, gejala masyarakat menjadi objek kajian dari ilmu hukum. Bila dipetakan, sesungguhnya gejala-gejala yang terjadi di masyarakat merupakan bagian tak terpisahkan dari sosiologi masyarakat. Karena itu, kegiatan yang dilakukan untuk menyelidiki

(10)

hubungan hukum dengan gejala-gejala yang terjadi di masyarakat, itulah yang disebut dengan melakukan penilaian terhadap hukum, akan tetapi mendekati hukum dari segi obyektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.13

Secara sosiologis, hukum merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (legal institution), yang diartikan sebagai suatu himpunan dan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola perilaku yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Hal tersebut dikuatkan oleh Soerjono Soekanto dalam ungkapannya; Hukum sebagai suatu lembaga kemasyarakatan, hidup berdampingan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling pengaruh-mempengaruhi dengan lembaga kemasyarakatan tadi”.14

Dengan demikian, seorang ahli sosiologi hukum harus menganalisa gejala-gelaja hukum yang terjadi di masyarakat secara langsung. Hal ini sesuai dengan hakikat ilmu sosiologi itu sendiri, yaitu merupakan suatu ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dan kelompok-kelompok. Selain itu, sosiologi juga mempelajari struktur social dan proses social, termasuk perubahan-perubahan social.15

Sosiologi hukum adalah ilmu yang memperlajari fenomen hukum dari sisinya yang demikian itu. Berikut ini disampaikan beberapa karakteristik studi hukum secara sosiologis itu.16

1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik hukum. Apabila praktik dibeda-bedakan ke dalam pembuatan undang-undang, penerapan dan pengadilan, maka ia juga mempelajari, bagaimana praktik yang terjadi pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut. Sosiologi hukum berusaha untuk menjelaskan, mengapa praktik yang demikian itu terjadi, sebab-sebabnya, factor-faktor apa yang berpengaruh, latar belakang dan sebagainya. Tujuan untuk

13 Leon Diguit, Trait de Droit Constitutional, dalam Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih,

Ibid., h. 125.

14 Struyken, Recht en Gezag, dalam Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, ibid., hal. 125. 15 Hans Keslen, Der Sosiologische und der Juristische Staatsbegegrif, dalam Moh.

Kusnardi dan Bintan R. Saragih, ibid., hal. 125-126.

(11)

memberikan penjelasan ini memang agak asing kedengarannya bagi hukum studi “tradisional”, yaitu yang bersifat preskriptif, yang hanya berkisar pada ‘apa hukumnya” dan “bagaimana menerapkannya”. Max Weber menamakan cara pendekatan yang demikian itu sebagai suatu interpretative understanding, yaitu dengan cara menjelaskan sebab, perkembangan serta efek dari tingkah laku social (Weber, 1954 : 1). Dengan demikian, maka mempelajari hukum secara sosiologi adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang hukum. Oleh Weber, tingkah laku ini mempunyai dua segi, yaitu luar dan dalam. Dengan demikian, sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, melainkan juga memperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu yang meluputi motif-motif tingkah laku seseorang. Apabila disini disebut tingkah laku (hukum), maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai dengan hukum dan yang menyimpang. Kedua-duanya sama-sama merupakan objek pengamatan dan penyelidikan ilmu ini.

2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, Pertanyaan yang bersifat khas di sini adalah “Bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan itu?” apakah kenyataan memang seperti tertera pada bunyi peraturan?” Perbedaan yang besar antara pendekatan tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah, bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada peraturan hukum, sedang yang kedua senantiasa mengujinya dengan data (empiris).

3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatiannya yang utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap objek yang dipelajarinya. Pendekatan yang demikian itu sering menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktik-praktik yang menyimpang atau melanggar hukum. Sekali lagi dikemukakan disini, bahwa sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum dari segi objektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomen hukum yang nyata.

(12)

berada di tengah-tengah studi sosiologi hukum. Apapun juga objek yang dipelajarinya, apabila ia menggunakan pendekatan seperti yang disebutkan pada butir-butir di muka, maka ia sedang melakukan kegiatan di bidang sosiologi hukum.

Dalam konteks hukum Islam, sesungguhnya sosiologi hukum itu bukanlah sesuatu yang baru, karena memang hukum Islam meskipun pada proses awalnya ia bersifat deduktif, akan tetapi pada tahap perkembangan selanjutnya ia bersifat induktif. Karena bersifat induktif, maka sudah barang tentu hukum Islam akan selalu berinteraksi dengan gejala-gejala social yang terjadi di masyarakat. Bahkan, hampir dapat dipastikan bahwa, gejala social ini sangat kuat pengaruhnya terhadap pembentukan hukum.

Dalam proses pembentukan hukum –fiqih- peran ulama fiqih (fuqaha) sangat penting, terutama yang tergolong dan diakui sebagai ulama madzhab. Dengan kelebihan ilmu yang ditekuninya, fuqaha berinteraksi dengan sesamanya dan unsur lain terutama murid dan pengikut mereka, sehingga memiliki kedudukan, peranan dan posisi khusus dalam system social. Berkenaan dengan ini, terdapat ciri-ciri fuqaha dalam konteks system social tertentu.

Pertama, fuqaha merupakan kelompok social yang menekuni dan mengembangkan ilmu yang menjadi keahliannya, yakni fiqih. Mereka merupakan pembawa misi kultural yang merujuk pada norma yang dianut dan disepakati dalam kehidupan masyarakat. Atas dasar ini, fuqaha dipandang sebagai agen kebudayaan. Kedua, dengan kelebihan dan keunggulan ilmunya yang dikuasai dan disebarluaskan untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup masyarakat, fuqaha menempati kedudukan sebagai bagian dari kelompok pimpinan dalam struktur social.17

Berdasarkan uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa, sejak perumusan sampai penyusunannya yang dilakukan oleh fuqaha, hukum Islam –fiqih- selalu berinteraksi dengan gejala social masyarakat. Bahkan bila ditelusuri, konteks social dan budaya local marupakan latar belakang makro yang memiliki hubungan dengan penerapan metode ijtihad. Muhammad bin Idris al-Syafi’i (204/820) sebagai pendiri madzhab Safi’iyyah, membuat rumusan hukum –fiqih- yang berbeda ketika ia berada di Kufah (Iraq) dengan rumusan hukum ketika ia berada di Hijaz (Madinah). Perbedaan rumusan hukum tersebut, factor utamanya adalah karena perbedaan system social, gejala social, serta unsur social juga berpengaruh dalam proses pembentukan dan penerapan hukum Islam.

17 Uraian lebih lengkap lihat. Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh, Paradigma Penelitian

(13)

c. Sejarah Hukum

Yaitu menyelidiki hubungan hukum dalam masyarakat. Walaupun sejarah hukum lebih tua usianya dari sosiologi hukum, namun cabang hukum ini masih merupakan cabang ilmu pengetahuan yang agak muda, karena terjadinya disebabkan oleh aliran hukum historis. Apa yang sejak lama disebut sejarah hukum, sebenarnya tak lain daripada pertalian sejumlah peristiwa-peristiwa yuridik dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis, lazim juga disebut dengan kronik hukum. Kronik hukum merupakan cara yang sering dipergunakan orang untuk menulis sejarah hukum.18

Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak; bukan mati melainkan hidup. Karena itu, bila ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan, hukum adalah gejala sejarah; ia mempunyai sejarah. Sebagai gejala sejarah, maka hukum tunduk pada pertumbuhan yang terus menerus, selalu bergerak dan tidak akan mati. Menurut Apeldoorn, pertumbuhan mempunyai dua arti; unsur perubahan dan unsur stabilitas. Apa yang tumbuh adalah stabil walaupun ia berubah.19

Dalam hukum Islam, dikenal juga dengan istilah sejarah hukum, yang sering disebut dengan tarikh al-tasyri’ al-Islami (Sejarah pembinaan hukum Islam). Seperti halnya pada hukum positif, dimana masa atau periode sejarah tertentu berpengaruh terhadap periode berikutnya, dalam hukum Islam pun seperti ini adanya. Tarikh al-tasyri’ al-Islami, justru lebih lengkap bila dibandingkan dengan sejarah hukum dalam tataran hukum positif.

Dalam buku-buku tarikh al-tasyri’ al-Islami diuraikan secara jelas tentang sejarah, masa, dan periode-periode pembentukan hukum Islam dari masa ke masa. Dalam perspektif ini, paling tidak ada 6 masa dalam sejarah hukum Islam, yakni; a). Sejarah hukum pada masa Nabi Muhammad saw., b) sejarah hukum masa sahabat besar, masa ini berakhir dengan berakhirnya Khulafaur Rasyidin, c) sejarah masa sahaba kecil dan tabi’in yang sejajar dengan mereka, masa ini berakhir dengan berakhirnya abad pertama hijriah, d) sejarah pada masa fiqih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan, masa ini berakhir dengan berakhirnya abad ketiga hijriah, e) sejarah masa yang didalamnya telah dimasukkannya masalah-masalah yang berasal dari para imam, masa ini berakhir dengan berakhirnya Daulah Abbasiyah di Baghdad, f) sejarah masa taklid sampai sekarang.20

18 L.J. Van Apeeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 1990), hal. 417. 19 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme dan Problem Keadilan (Susunan II),

terjemahan Muhammad Arifn, (Jakartaa Rajawali, 1990), hal. 147.

20 Darji Darmodiharjo dan Shiradarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia

(14)

d. Psikologi Hukum

Yaitu menyelidiki hubungan hukum dalam masyarakat. Pengertian psikologi hukum menurut Soejono Soekanto adalah ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai perikelakuan atau sikap yang antara lain mencakup beberapa cabang metode studi, yang berusaha mempelajari hukum secara lebih mendalam dari berbagai sudut pandang, yaitu sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Menurut Drever J.A., Pengertian Psikologi Hukum merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia.

Hukum positif –terutama modern- sebagai sebuah norma, disadari atau tidak, dalam proses penggunaannya selalu dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh pembuatnya.Karena selalu dijadikan alat untuk mencapai tujuan, maka sesungguhnya hukum telah memasuki wilayah dan bidang yang menggarap tingkah laku manusia. Atau dengan kata lain, sesungguhya hukum telah memasuki bidang psikologi, terutama psikologi social. Hal ii tercermin dalam salah satu bidang hukum, yakni pidana. Dengan adanya hukum pidana, diharapkan bahwa kejahatan bisa dicegah, ini menunjukkan hubungan yang jelas antara hukum dan psikologi.

Leon Petrazyki (1867-1931), seorang ahli filsafat hukum, menganggap bahwa unsur psikologis dalam hukum merupakan unsur utama yang amat penting. Bahkan ia medudukkan psikologis sebagai acuan dalam proses pembentukan hukum. Ia berpendapat bahwa, fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat diliihat dengan menggunakan metode intropeksi. Karena itu, hukum akan berlaku efektif jika ia dapat merubah perilaku manusia, dari yang tidak baik menjadi baik.21

Psikologi Hukum menyoroti hukum sebagai salah satu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Cabang ilmu pengetahuan ini mempelajari perikelakuan atau sikap tindak hukum yang mungkin merupakan perwujudan dari gejala kejiwaan tertentu dan juga landasan kejiwaan dari perikelakuan atau sikap tindak tersebut.

Secara lebih spesifik, karakteristik pendekatan psikologi terhadap hukum, menurut Lawrence Wrightsman menekankan faktor psikologis yang memengaruhi perilaku individu atau kelompok pada setiap tindakan hukum. Contohnya, sikap atau perilaku polisi di dalam menjalankan tugasnya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran dan kejahatan,

(15)

perilaku jaksa di dalam melakukan peyidikan, penahanan dan penuntutan terhadap tersangka, perilaku atau sikap hakim di dalam memeriksa, mengadili dan dalam menjatuhkan putusannya. Kondisi psikologi hakim dapat memberikan pengaruh kepada putusannya, ataupun terhadap tindakan aktor-aktor atau penegak hukum lainnya.

Menurut Craig Haney, psikologi hukum mengkaji keterkaitan psikologi dengan UU. Hubungan psikologi dan UU (psychology in the law) merupakan aplikasi psikologi yang tampak pada sistem hukum. Dalam situasi seperti ini, para juris menggunakan psikolog untuk kasus-kasus spesifik, seperti menyuruh memberikan kesaksian mengenai kondisi mental seorang terdakwa atau berkonsultasi dengan para pengacara di dalam menyeleksi juri seperti di dalam sistem peradilan di negara Anglo Saxon.

Psikologi dapat digunakan untuk mengubah doktrin hukum dan mengganti sistem yang di dalamnya hukum dikembangkan dan ditangani. Pada sisi lainnya, psikologi mengenai UU menaruh perhatian pada hukum sbagai determinan perilaku, mengenai pengaruh UU (hukum) terhadap masyarakat dan pengaruh masyarakat terhadap UU. Psikologi mengenai hukum mengkaji ketidakadilan sosial dan berusaha memahami fiksi-fiksi atau dugaan-dugaan hukum yang berkembang dan kebijakan-kebijakan yang dianggap berbahaya atau menimbulkan bencana. Contohnya ketika Michael J Saks dan Reid Hastie, menjelaskan mengenai perilaku hakim yang dapat memengaruhi tuntutan jaksa.

Secara sepintas, kajian psikologi hukum seolah-olah merupakan bagian dari kajian sosiologi hukum, tetapi dilihat dari objek kajiannya, tampak adanya perbedaan antara keduanya. Sekalipun demikian, sebagian pakar hukum menempatkan posisi psikologi hukum sebagai bagian dari psikologi sosial. Terlepas dari perbedaan itu, karakteristik kajian psikologi hukum berbeda dengan pendekatan atau kajian empiris lainya.

(16)

Menurut Michael J Saks dan Reid Hastie, perilaku yang berbeda dari para aktor yang terlibat di dalam proses peradilan, tidak memungkinkan lahirnya putusan yang netral. Untuk memahami perilaku setiap aktor hukum maka digunakan pendekatan psikologi hukum.22

22http://tabirhukum.blogspot.co.id/2016/10/defnisi-psikologi-hukum-dan-pendapat.html.

(17)

BAB III PENUTUP A. Simpulan

Hukum sebagai suatu aturan yang diderivasi (diturunkan) dari norma-norma yang berkembang di masyarakat, pada dasarnya merupakan seperangkat kesepakatan-kesepakatan yang telah dinegosiasikan antara anggota komunitas. Sebagaimana kehadirannya, hukum dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia. Karena itu sifat hukum tidak konstan, tidak tetap, dan tidak given.

ilmu hukum adalah karya manusia yang berusaha mencari kebenaran, tentang sesuatu yang memiliki ciri-ciri, sistematis, logis, empiris, metodis, umum, dan akumulatif. Sebagai ilmu pengetahuan ilmu hukum dengan ciri-cirinya berusaha mempelajari sistematika hukum dan kaidah-kaidah, seperti rumusan kaidah, sebab terbentuknya dan sebagainya, sedemikian rupa sehingga hukum dapat dipelajari dengan sebaik-baiknnya.

Disamping itu ada beberapa pembagian dari jenis ilmu hukum diantaranya jenis hukum dogmatik dan jenis hukum empiris. Lalu juga ada jenis ilmu hukum lainnya yakni perbandingan hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum dan psikologi hukum.

B. Kritik dan Saran

Referensi

Dokumen terkait

KELAMIN Tentang Penetapan Nama-nama Calon Anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang Lulus Seleksi-Uji Kepatutan dan Kelayakan Serta Dinyatakan sebagai Calon Anggota

Hanya menekankan pada perempuan dan barang siapa yang sengaja melakukan pelanggaran atau menyuruh orang lain untuk melakukan pengguguran pada badannya harus dihukum apapun

Stiglitz (2006) kegagalan ekonomi Amerika dekade 90-an karena keserakahan kapitalisme ini. Ketidakberhasilan secara penuh dari sistem-sistem ekonomi yang ada

Kesalahan diatas terjadi karena kurangnya pengetahuan mahasiswa tentang pola kalimat bahasa Inggris, yang terdiri dari Subject Verb Compliment Modifier. With Warehouse

Ketika Napoleon mengundangkan 3 kitab hukum pada awal abad 19 di Perancis, misalnya, isi ketiga kodifikasi yang disiapkan oleh sebuah Panitia Negara itu sebenarnya tak

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui peran komunikasi keluarga dalam usaha pelestarian bahasa Tidore, serta menelusuri kendala-kendala mempengaruhi

Hasil: Diperoleh hasil bahwa umur kawin pertama tidak berhubungan secara signifikan dengan fertilitas remaja (p>0,05). Kesimpulan: Asas temporalitas pada

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan penelitian ini adalah Apakah ada hubungan antara kecanduan gadget (handphone) terhadap rasa empati pada