Keterangan , fungsi, dan contoh kasus :
Tugas Filsafat Komunikasi
Vicy Alfyona (1671510434)
PAHAM MONISME
PENGERTIAN
Paham Monisme menurut Wikipedia adalah konsep metafsika dan teologi bahwa hanya ada satu substansi dalam alam. Monisme bertentangan dengan dualisme dan pluralisme. Dalam dualisme terdapat dua substansi atau realita sementara dalam pluralisme terdapat banyak realita. Konsep monisme seringkali dihubungkan dengan panteisme dan konsep Tuhan yang kekal.
Filsafat Monisme (monism) berasal dari kata Yunani yaitu monos (sendiri, tunggal) secara istilah monisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa unsur pokok dari segala sesuatu adalah unsur yang bersifat tunggal/Esa. Unsur dasariah ini bisa berupa materi, pikiran, Allah, energi dll. Bagi kaum materialis unsur itu adalah materi, sedang bagi kaum idealis unsur itu roh atau ide. Orang yang mula-mula menggunakan terminologi monisme adalah Christian Wolf (1679-1754). Dalam aliran ini tidak dibedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Enstein, energi hanya merupakan bentuk lain dari zat.Atau dengan kata lain bahwa aliran monisme menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan yang fundamental.
Sejarah Singkat Munculnya Monisme
Secara epistemologi, Monisme dan Pluralisme adalah bagian dari metafsika, tentang kuantitas hakikat. Sedangkan metafsika adalah bagian dari sistematika flsafat yang mengungkap hakikat dari realita yang ada di alam semesta ini. Sehingga sejarah tumbuhnya kedua paham ini berawal dari flsafat alam atau naturalistik, yaitu upaya flosof-flosof dalam menggali kedalaman hakikat dari realita alam di depannya.
pangkal, pokok dan dasar segala-galanya. Semua benda terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air pula. Jadi semuanya itu satu, berasal dari air. Kemudian Anaximandros—murid Thales yang hidup dari 610-547 SM— berpendapat bahwa yang menjadi dasar alam dinamai dengan Apeiron. Apeiron itu tidak dapat dirupakan, tak ada persamaannya dengan salah satu benda yang kelihatan di dunia ini. Segala yang tampak dan terasa itu, segala yang dapat ditentukan rupanya dengan pancaindera kita, semuanya itu mempunyai akhir. Ia terlahir, hidup, mati dan lenyap. Segala yang berakhir berada dalam kejadian senantiasa, yaitu dalam keadaan berpisah dari yang satu kepada yang lain. Dari cair menjadi beku dan sebaliknya. Dari panas menjadi dingin dan sebaliknya. Semuanya itu terjadi dari Apeiron dan kembali pula kepada Apeiron. Berikutnya adalah Anaximenes yang hidup dari tahun 585 – 528 SM. Dalam pandangannya tentang asal sesuatu, Anaximenes turun kembali ke tingkat yang sama dengan Thales, bahwa yang asal itu mestilah salah satu dari pada yang ada dan yang kelihatan. Anaximenes mengatakan bahwa udara adalah asal dan kesudahan dari segala-galanya. Jika tak ada udara itu, tak ada yang hidup. Hasil pikiran ini serupa dengan Anaximandros, bahwa jiwa itu serupa dengan udara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagaimana jiwa kita, yang tidak lain daripada udara, menyatukan tubuh kita, demikian pula udara mengikat dunia ini menjadi satu.
MONISME DALAM PANDANGAN ISLAM
Istilah monisme sering diungkapkan dengan istilah serbatunggal, serbaesa, dan merupakan masalah metafsika dengan pertanyaan berapakah jumlah hakikat itu. Filosof materialisme (serbazat) menjawab: satu. Dan yang satu itu ialah materi. Demikian pula yang berpahamkan serbaruh. Tetapi yang satu ialah ruh dengan beragam penamaan. Mengenai masalah kuantitas, kedua flsafat itu berpahamkan serbaesa atau monisme. Hakikat itu tunggal adanya.
Teori Emanasi al-Farabi (al-Fay«) mengungkapkan bahwa Yang Maha Esa itu ialah Yang Pertama dan Yang Terdahulu (al-Qad³m), yaitu Allah swt. Sedangkan kejadian alam merupakan limpahan dari Tuhan. Tuhan lebih dahulu daripada alam, bukan dari segi masanya, melainkan dari segi substansinya, seperti lebih dahulunya angka satu daripada angka dua. Bagi teori ini, tiap-tiap yang baru, sebelum terjadinya, tidak lepas dari tiga sifat: (1) mungkin ujud; (2) tidak mungkin ujud; dan (3) wajib ujud. Konsekuensi dari logika teori emanasi al-Farabi yaitu Tuhan dan alam baru kedua-duanya atau dengan kata lain Tuhan dan alam qadim kedua-duanya, mustahil salah satu kadim sedangkan yang lain baru.
Kesimpulan logis seperti itulah yang ditentang oleh al-Ghazali yang diungkapkan dengan istilah kekacauan flsafat. Legitimasi adanya Esa lebih dari satu sebagaimana yang terungkap dalam teori emanasi tersebut, dianggap menyimpangkan ajaran tauhid dalam Islam dan berbahaya bagi ketauhidan setiap muslim seperti fenomena keengganan seorang muslim melaksanakan syariat agamanya. Karena logika semacam ini akan berlanjut pada permasalahan substansial lainnya, seperti menafkan kehendak dan kekuasaan Tuhan, sehingga alam semesta tercipta bukan dari kehendak-Nya tapi dari daya materi yang dimilikinya.
Sidi Gazalba berpendapat bahwa jumlah hakikat merupakan soal yang rumit. Dan dalam flsafat Islam lahirnya paham tentang qadimnya alam untuk memuaskan budi. Namun bertentangan dengan ajaran inti Islam Tauhid. Maka kaum ulama menyanggah, kalau memang kita percaya bahwa Tuhan itu Esa sifatnya—karena itu Mahakuasa, Mahabijaksana, Maha Mengetahui, Mahasempurna—, apa sukarnya mempercayai bahwa alam itu diciptakan Tuhan pada waktu tertentu, dengan demikian tidak bersifat qadim seperti Tuhan? Kalau akal tidak puas akan keterangan ini, katakanlah kepada akal itu: Dapatkah akal murid sekolah dasar memahami akal Einstein? Mungkinkah makhluk memahami sepenuhnya ilmu Khalik?
Argumentasi Sidi Gazalba di atas mengingatkan kita tentang keterbatasan akal manusia dalam memahami diri-Nya. Disanalah fungsi iman yang bermuara dari hati untuk mempercayai-Nya, sehingga akal yang nisbi itu mengakui kemahakuasaan-Nya, yang berbuat sekehendak-Nya.
Menurut William Montgomery Watt, Monisme Modernis adalah cara pandang umat terhadap Islam yang diklaim sebagai agama lengkap pada tataran norma dan ajaran dasar. Tetapi pada tataran konstruksi praktis, Islam terbuka terhadap konsep luar dan perubahan-perubahan konstruktif, karena itu terbuka terhadap pengaruh yang datang dari luar seperti pengaruh peradaban Barat.
Sedangkan Monisme Revivalistik memiliki cara pandang yang ekstrim bahwa Islam sebagai agama lengkap, tidak saja pada level norma-norma dan ajaran dasar tetapi juga pada level tatanan strukturalnya bahkan sampai pada konstruksi dunia praktis (sosial, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya). Pandangan seperti ini menggiring umat pada pemahaman dan penghayatan agama yang ekslusif, menutup diri terhadap ideologi dan konsep-konsep dari luar. Namun di abad ke-20 muncul revivalisme baru (neo revivalisme) yang memandang bahwa Islam dapat disesuaikan dengan perubahan zaman, tetapi perubahan itu bersumber dari kerangka Islam itu sendiri.
Monisme sering dilihat sebagai terbagi pada tiga tipe dasar: 1. Monisme Substansial, yang percaya adanya satu substansi.
2. Monisme Atributif, yang percaya bahwa walau hanya ada satu substansi, tetapi ada banyak realita individual berbeda dalam kategori ini.
3. Monisme Absolut, yang percaya bahwa hanya ada satu substansi dan hanya satu realita. Monisme Absolut, dengan demikian menjadi jenis ideal.
Monisme lebih jauh ditetapkan berdasar tiga jenis:
1. Idealisme , fenomenalisme, atau monisme mentalistik yang menganggap hanya budi yang nyata.
2. Monisme netral, yang beranggapan bahwa mental dan fsik dapat direduksi menjadi sejenis substansi atau energi ketiga.
3. Materialisme , yang percaya bahwa hanya materi yang nyata, dan mental dapat direduksi menjadi fsik.
Beberapa posisi lainnya sukar untuk disatukan dengan kategori di atas, termasuk:
dari pikiran juga bisa direduksi menjadi suatu lapisan netral tingkatan "fungsional". Sehingga keadaan mental tidak perlu muncul dari neuron. Ini merupakan pendirian populer dari ilmu kognitif dan kecerdasan buatan.
2. Eliminativisme yang percaya bahwa pembicaraan mengenai mental akhirnya akan terbukti tidak ilmiah dan ditinggalkan sepenuhnya. Seperti halnya kita tidak lagi mengikuti Yunani kuno yang mengatakan bahwa segala sesuatu terbuat dari bumi, air, udara, atau api, masyarakat masa depan tidak akan lagi membicarakan "kepercayaan", "gairah", dan keadaan mental lainnya. Suatu subkategori dari eliminativisme adalah behaviorisme radikal, pandangan yang dianut B. F. Skinner.
3. Monisme anomali, posisi yang diusulkan oleh Donald Davidson pada tahun 1970an sebagai suatu cara untuk menyelesaikan permasalahan jiwa-raga. Bisa juga dianggap sebagai materialisme atau monisme netral. Davidson percaya bahwa hanya ada persoalan fsik, tetapi objek dan kejadian mental adalah benar-benar ada dan identik dengan (beberapa) persoalan materi. Tetapi materialisme mempertahankan beberapa prioritas, seperti (1) Semua persoalan mental adalah bersifat fsik, tetapi tidak semua hal fsik adalah mental, dan (2) (seperti dinyatakan John Haugeland) Begitu kita menyingkirkan semua atom, tidak ada lagi yang tersisa. Monisme ini secara luas dianggap sebagai kemajuan dibanding teori identitas sebelumnya mengenai jiwa dan raga, karena tidak mengharuskan bahwa seseorang harus bisa menyediakan metode aktual untuk mendeskripsikan ulang jenis entitas mental dalam istilah materi murni. Tentu saja tidak ada metode demikian.
4. Monisme refeksif, suatu posisi yang dikembangkan oleh Max Velmans pada tahun 2000, sebagai suatu metode untuk mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan agenda penganut dualisme dan reduksionisme mengenai kesadaran, dengan melihat fenomena fsik sebagaimana dipersepsi sebagai bagian dari isi kesadaran.
FUNGSI MONISME
Monisme Primat Hukum Nasional, beranggapan bahwa Hukum Nasional adalah hukum yang utama daripada Hukum Internasional; Hukum Internasional merupakan lanjutan dari hukum nasional untuk urusan-urusan luar negeri. Dan Beranggapan bahwa hukum internasional bersumber kepada hukum nasional.
Monisme Primat Hukum Internasional beranggapan bahwa hukum internasional adalah hukum yang lebih tinggi daripada hukum nasional; beranggapan bahwa hukum nasional tunduk kepada hukum internasional & dasar mengikatnya berasal dari suatu “pendelegasian” wewenang dari hukum internasional kelemahan paham monisme primat hukum internasional.
Tanggapan terhadap kedua teori
• Tidak memberikan jawaban yang memuaskan mengenai hubungan HI dan HN
• Praktek tidak menunjukkan aliran mana yang lebih dominan
• Hubungan HI dan HN diserahkan pada praktek masing-masing Negara
Sikap HI terhadap HN
• HI pada dasarnya tidak menyampingkan HN
• Negara tidak dapat menggunakan HN sebagai pembenaran untuk mengelak kewajiban HI
• Pasal 27 Konvensi Wina: “A party may not invoke the provisions of its internal law as justifiation for its failure to perform a treaty”
Sikap HN terhadap HI
• Sulit disimpulkan karena hukum domestik sangat bervariasi dan sering tidak jelas dan tidak konsisten
• Perlu mempelajari praktek negara-negara dalam hal perjanjian, kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum
Praktek Indonesia
• Cenderung menganut paham monisme dengan primat hukum internasional
-- Hukum positif Indonesia: UU no. 24 Tahun 2000 -- Implementasi Perjanjian/Kovensi Internasional
CONTOH KASUS
Kasusnya yang terjadi di Indonesia adalah dapat terlihat pada paham yang di anut hukum internasional dan hukum nasional di Indonesia.
Dalam suatu negara pasti pernah terjadinya suatu persinggungan atau permasalahan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Biasanya, hal ini mungkin terjadi pada saat melakukan Perjanjian Internasional dalam ranah Hukum Nasional. Namun dalam hal menyelesaikan permasalahan tersebut, apakah negara akan mengutamakan Hukum Internasional atau Hukum Nasional? Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan menggunakan paham atau teori dalam hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Paham itu dibagi menjadi dua, yang dikenal dengan paham Dualisme dan paham Monisme.
Menurut paham Dualisme
Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hakekat Hukum Internasional berbeda dengan Hukum Nasional. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang jelas terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamakan Hukum Nasional dan mengabaikan Hukum Internasional.
Menurut paham Monisme
Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan bagian yang saling berkaitan dari satu sistem hukum pada umumnya. Menurut paham ini, dengan pengutamaan pada Hukum Nasional, Hukum Internasional merupakan kelanjutan Hukum Nasional. Hukum Internasional merupakan Hukum Nasional untuk urusan luar negeri, paham ini cenderung mengabaikan Hukum Internasional.
bahwa Hukum Nasional sejajar dengan Hukum Internasional. Hubungan antara keduanya saling melengkapi. Hal ini tampak dalam Statuta Roma atau Konvensi tentang Terorisme Bonn.
Yang menjadi pertanyaan “Apakah Indonesia menganut salah satu dari kedua paham tersebut?” Jawaban nya adalah belum ada kepastiannya, karena dalam undang-undang di Indonesia yang sekarang ini, belum ada ketentuan atau suatu pasal yang secara jelas menentukan sikap Indonesia. Namun jika melihat kepada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, Indonesia lebih menganut paham Monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada Monisme dengan pengutamaannya dalam Hukum Internasional.
Dalam konteks Indonesia, menurut Eddy Pratomo masih ada ketidaktegasan apakah menganut monisme atau dualisme. Eddy menyarankan agar Indonesia bisa lebih tegas, maka perlu memilih sikap. Dengan menganut doktrin gabungan yakni inkorporasi (monisme) untuk perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut keterikatan negara sebagai subyek hukum internasional secara eksternal dan menganut doktrin transformasi (dualisme) untuk perjanjian internasional yang menciptakan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara Indonesia. Berbeda dengan Eddy, Wisnu Aryo Dewanto berpendapat bahwa pada saat pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional.
Kasus Pertukaran Penduduk antara Yunani dan Turki
Mengacu kepada Pasal 18 Perjanjian Lausanne 1923, dimana para pihak, wajib untuk memperkenalkan hukumnya masing-masing dan modifkasinya untuk kepentingan memastikan dilaksanakannya ketentuan
konvensi/perjanjian itu.
Putusan Pengadilan
Klausa ini semata menekankan pada prinsip ‘self evidence’, dimana Negara yang terkait kewajiban perjanjian internasional wajib membuat modifkasi terhadap aturan-aturan legislatifnya untuk memastikan pemenuhan
kewajiban berdasar perjanjian tersebut dapat berjalan dengan baik.
1) Negara A dan Negara B membuat suatu perjanjian dimana masing-masing pihak setuju untuk mengizinkan warga negaranya untuk dapat saling memasuki wilayah teretorialnya satu sama lain, dengan tentu saja menyepakati syarat-syarat yang disetujui bersama berdasar hukum kebiasaan internasional. Apabila Negara A tidak membuat penyesuaian terhadap hukum nasionalnya untuk mengizinkan warga Negara B dapat masuk ke wilayah Negara A, apakah Negara A melanggar ketentuan hukum internasional berdasar perjanjian jika Negara A menolak warga Negara B yang mencoba mengajukan izin tersebut?;
2) Dalam hukum kebiasaan internasional, Negara A yang mengklaim yurisdiksi terhadap kapal-kapal di laut lepas yang mengibarkan bendera Negara lain dan kemudian memberi kewenangan kepada angkatan lautnya berdasar hukum nasional untuk menindak, apakah hal tersebut melanggar hukum internasional?
KESIMPULAN
Melihat dari uraian diatas mengenai persoalan dualisme dan monisme dalam hungannya dengan masalah hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional, kita terpaksa menarik kesimpulan bahwa kedua-duanya faham atau teori itu tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Pada satu pihak pandangan dualisme yang melihat hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat ketentuan hukum yang sama sekali terpisah tidak masuk akal karena pada hakekatnya merupakan penyangkalan dan pada hukum internasional sebagai suatu perangkat yang mengatur kehidupan antar negara atau internasional. Pada pihak lain pandangan monisme yang mengaitkan tunduknya negara nasional) pada hukum internasional dengan persoalan suatu hubungan subordinasi dalam arti strukturiil organis, walaupun menurut logika lebih memuaskan juga kurang tepat karena memang tidak sesuai dengan kenyataannya.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud, Natsir, Telaah Tentang Monisme dan Pluralisme. (Salah satu script dari konsep buku Filsafat Ilmu yang akan diterbitkan).
Platen, A. V., Sedjarah Filsafat Barat.. Bandung: Balai Pendidikan Guru, t.th. Titus, Harold H., et al., Living Issues in Philosophy. Diterjemahkan oleh Prof.
Dr. H.M. Rasyidi dengan judul: Persoalan-persoalan
https://id.wikipedia.org/wiki/Monisme
Dr. Boer Mauna. Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), 2003, PT ALUMNI: Bandung, Hlm 12.
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat. Jilid III; Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1996.