• Tidak ada hasil yang ditemukan

implementasi manajemen berbasis sekolah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "implementasi manajemen berbasis sekolah "

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Perkembangan ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh perkembangan dunia pendidikan, di mana dunia pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam menentukan arah maju mundurnya kualitas pendidikan. Hal ini bisa dirasakan ketika sebuah lembaga pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar bagus, maka dapat dilihat kualitasnya, berbeda dengan lembaga pendidikan yang melaksanakan pendidikan hanya dengan sekedarnya maka hasilnya pun biasa-biasa saja. Selanjutnya adanya Perubahan sistem pendidikan nasional, dari undang-undang No.2 Tahun 1989 menjadi undang-undang No. 20 Tahun 2003, merupakan upaya pembaharuan pendidikan kearah peningkatan mutu. Upaya peningkatan mutu beralih menjadi tangggung jawab sekolah dengan diberlakukannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sejalan dengan eraotonomi daerah. Banyak konsep pendidikan dalam UU Sisdiknas 2003 yang bernilai filosofis, yang dapat membangun ”Paradigma Baru” pendidikan Indonesia.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah semakin meningkatkan tuntunan kebutuhan sosial masyarakat. Pada akhirnya tuntunan tersebut bermuara kepada pendidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu upaya yang dapat. dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat masyarakat berharap tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Pendidikan perlu perubahan yang

(2)

dapat dilakukan melalui perubahan dan peningkatan dalam pengelolaan atau manajemen pendidikan di sekolah.

Chapman (1990) dalam Fattah (2003 : 28) menjelaskan bahwa :

“Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai terjemahan dari School Base Management adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk meningkatkan, me-redisain pengelolaan sekolah, bertujuan untuk memberikan kekuasaan dan meningkatkan partisipasi sekolah dalam upaya perbaikan kinerjanya yang mencakup guru, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat. Manajemen Berbasis Sekolah memodifikasi struktur pemerintahan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan pemerintahan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal (local stakeholders)”. Dengan mengalihkan wewenang dalam keputusan dari pemerintah tingkat Pusat/Kanwil/Kadis ke tingkat sekolah, diharapkan sekolah akan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntunan lingkungan masyarakatnya. Pada pelaksanaannya disadari bahwa mengimplementasikan pemberian kewenangan kepada sekolah melalui pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memerlukan proses dan waktu.

(3)

Dari berbagai problem dan tantangan yang menyertainya, baik secara konseptual maupun secara operasional pelaksanaan model manajemen berbasis sekolah, maka urgensi penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji lebih mendalam pada tingkat aktualisasi realitanya yang lebih riil. Untuk itu, maka muncullah sistem baru yaitu sistem Manajemen Berbasis Sekolah. Konsep Manajemen Berbasis sekolah (MBS) ini pertama kali muncul di Amerika Serikat. Latar belakangnya ketika itu masyarakat mempertanyakan tentang relevansi dan korelasi pendidikan yang diselenggarakan di sekolah dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Bertitik tolak dari kondisi tersebut, dipandang perlu membangun suatu sistem persekolahan yang mampu memberikan kemampuan dasar bagi peserta didik. Muncullah penataan sekolah melalui konsep MBS yang diartikan sebagai wujud dari reformasi pendidikan yang meredesain dan memodifikasi struktur pemerintah ke sekolah dengan pemberdayaan sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. (Sagala, 2004: 17).

(4)

proses sistematis yang dilakukan secara terus menerus dalam meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan pembelajaran, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat tercapai.

Keberhasilan pendidikan dengan sistem MBS ini dapat diukur dari indikator-indikator yang meliputi: input, proses, output dan outcome. (Engkoswara, 1988: 54). Pertama, input yaitu diantaranya adalah kualitas guru haruslah profesional dalam pengembangan ide kreativitasnya sehingga dapat menunjang mutu pembelajaran. Kedua, proses pembelajaran, pada umumnya pembelajaran ditekankan pada proses pengajaran oleh guru (teacher teaching) dibandingkan dengan proses pembelajaran oleh murid (student learning). Hal ini menyebabkan proses belajar menjadi statis dan beku. Oleh karena itu untuk memperbaiki mutu pendidikan, upaya pemberdayaan pembelajaran yang difokuskan siswa belajar menjadi sangat penting. Pemberdayaan yang dimaksud tidak akan meninggalkan fungsi dan peran guru, sehingga keterampilan guru dalam mengelola pembelajaran sangat dibutuhkan. (Rahardja, 2002: 5). Ketiga, output, diantaranya adalah masyarakat dan dunia usaha.

(5)

1. Tidak bersifat sentralistik, maksudnya semua kegiatan pendidikan tidak tergantung pada pusat (pemerintah).

2. Memiliki hak otonomi yang luas dalam mengembangkan kreativitas dalam memberdayakan dan mengoptimalisasi sumber-sumber daya yang ada.

3. Memiliki sifat kewiraswastaan sehingga manajemen sekolah akan lebih luwes dan inovatif.

4. Non birokrasi yaitu sedikit mengesampingkan syarat-syarat hukum dan teknis dalam pendirian sekolah. (Bambang Rahardja, 2002: 5).

Selain empat ciri diatas, ada empat alasan perlunya sekolah menerapkan program sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yaitu:

1. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kelebihan dan kelemahan dirinya, sehingga mereka dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya.

2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dalam proses pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah dan perkembangan anak didiknya.

3. Sekolah dapat mempertanggungjawabkan kinerja dan mutu pendidikan yang dihasilkan sekolah masing-masing kepada orangtua, masyarakat dan pemerintah, sehingga mereka akan berupaya seoptimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai target mutu pendidikan yang telah direncanakan.

4. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk

(6)

Pada dasarnya model manajemen berbasis sekolah adalah model pengelolaan pendidikan yang mencoba diterapkan oleh sekolah- sekolah negeri maupun swasta, tidak terkecuali dengan SMP Negeri 4 Khusus yang juga telah menggunakan model manajemen berbasis sekolah. Berdasarkan observasi awal Sebagai implementasi dari konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang demokratis berciri pada pemberian wewenang luas pada sekolah untuk mengatur pendidikan dan pengajaran sebagai aspirasi dari masyarakat kepada sekolah merupakan inti dari konsep MBS, maka di ketahui bahwa SMP Negeri 4 Khusus adalah salah satu lembaga yang mencoba mempelopori dan menerapkan konsep MBS.

SMP Negeri 4 Khusus sebagai sebuah lembaga pendidikan yang telah berdiri cukup lama dikenal sebagai sebuah lembaga yang memiliki segudang prestasi yang sangat membanggakan baik di tingkat Kabupaten, Provinsi bahkan sampai pada tingkat Nasional. Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang di bawah naungan pemerintah, maka policy yang dilakukan tentu saja didasarkan pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik dalam bidang administrasi, proses pendidikan, proses pengelolaan dan lain sebagainya. Karena orientasi kurikulum sekarang mengacu pada peningkatan kualitas manajemen yang berbasis sekolah, maka penekanan pengembangan yang semula berorientasi pada kuantitas berubah menjadi kualitas, mandiri, dan disentralisasi. Namun realitasnya bahwa belum sepenuhnya sekolah ini mampu melaksanakan school based management atau MBS yang diharapkan dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

(7)

1. Belum ada penelitian terdahulu yang membahas tentang bagaimana implementasi manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri 4 Khusus.

2. Tingkat kelulusan siswa pada setiap ujian nasional mengalami peningkatan.

3. Berdasarkan observasi awal, tenaga pengajar di sekolah tersebut telah menjalankan aktivitas mengajar dengan konsep PAIKEM.

4. Diduga besarnya jumlah siswa pada sekolah tersebut mengindikasikan bahwa minat, partisipasi, dan apresiasi masyarakat terhadap sekolah ini sangatlah besar.

5. Belum diketahui ketersediaan dan kesiapan input-input pendidikan yang mendukung keterlaksanaan program manajemen peningkatan berbasis sekolah diduga belum memadai.

6. Belum diketahui keterbukaan manajemen sekolah, baik di segi dana maupun program belum sesuai dengan yang dikehendaki.

7. Diduga iklim kerjasama antara sesama komunitas sekolah, komunitas sekolah dengan masyarakat belum terlaksana dengan baik.

8. Belum terdeteksi efektifitas partisipasi komite sekolah dan dewan pendidikan dalam penggalian dana sekolah.

9. Diduga belum maskimal akuntabitas sekolah kepada stakeholders.

10. Diduga belum memadai upaya untuk memecahkan berbagai faktor-faktor penghambat dalam pengimplementasian manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri 4 Khusus.

B. Rumusan Masalah

(8)

1. Bagaimana Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum?

2. Faktor-faktor apa yang menghambat dan mendukung penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4 Khusus?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum.

2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menghambat dan mendukung penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4 Khusus.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis sebagai bahan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu Administrasi Negara.

2. Manfaat praktis adalah sebagai berikut:

a. Sebagai bahan informasi bagi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan umumnya dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Umum dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. b. Sebagai bahan informasi kepada mereka yang berprofesi guru dalam menggali

informasi penting tentang manajemen berbasis sekolah.

c. Sumber pengetahuan aktual bagi pengelola sekolah (kepala sekolah, yayasan pendidikan) dalam penerapan manajemen berbasis sekolah.

(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Desentralisasi Pendidikan

Berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada hakekatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan azas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

Berkaitan dengan aspirasi masyarakat, ditegaskan pula bahwa daerah dibentuk berdasarkan kehendak masyarakat setempat dengan mempersyaratkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas daerah dan berbagai syarat lain yang memungkinkan daerah menyelenggarakan otonomi daerah (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 7 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004).

Dipertegas pula “Bahwa bidang pendidikan merupakan bidang yang termasuk dalam garapan kewenangan daerah otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah pusat yang dikenal dengan desentralisasi pendidikan”.

Selanjutnya Burhanuddin (1998 : 117) “Sistem Sentralisasi atau desentralisasi dalam penyelenggaraan atau manajemen pemerintahan memiliki implikasi langsung terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional dan manajemen pendidikan. Bidang-bidang yang terkait langsung dengan sistem tersebut adalah kebijaksanaan, pengawasan, mutu dan sumber dana pendidikan”.

(10)

Pendelegasian bisa berarti penyerahan wewenang dari pusat ke daerah, atau dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau dari unit ke unit dibawahnya, termasuk pula dari pemerintah ke masyarakat. Salah satu wujud desentralisasi yang dimaksud adalah terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan. Kewenangan itu perlu diklarifikasikan. Kewenangan begitu luasnya, seperti kewenangan merumuskan, menetapkan, melaksanakan sampai dengan melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan yang jangkauannya bersifat nasional. Karena itu tidak seluruh kewenangan dapat didesentralisasikan.

Kalster (2000 : 11), menyebutkan bahwa desentralisasi pendidikan dalam bentuk School Base community, diyakini dapat meningkatkan efisiensi, relevansi. pemerataan dan mutu pendidikan serta memenuhi azas keadilan dan demokrasi. Hasil studinya menunjukkan bahwa terdapat potensi yang memungkinkan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia.

(11)

semakin bertambah jumlahnya. Di samping itu, berkurangnya lapisan birokrasi dalam prinsip desentralisasi juga mendukung efesiensi tersebut, keterlibatan kepala sekolah, dan guru dalam pengambilan keputusan sekolah yang pada akhirnya mendorong mereka untuk menggunakan sumber daya yang ada seefesien mungkin untuk mencapai hasil yang optimal.

Pemberian otonomi yang luas kepada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dengan landasan tersebut, pemerintah mencoba untuk menerapkan desentralisasi pendidikan sebagai solusi. Selain hal tersebut diatas, ada beberapa faktor yang mendorong penerapan desentralisasi. Pertama, tuntutan orang tua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan. Kedua, anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah. Ketiga, ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam. Keempat, penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat. Kelima, tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan. (Umiarso dan Imam Gojali,2010:47-48)

(12)

terselenggaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan zaman, seperti terserapnya konsep globalisasi, humanisasi dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi pendidikan dilakukan dengan mengikut sertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orang tua dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai kebutuhan lingkungan. Selain itu, pengembangan kurikulum juga harus mampu mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka memajukan kebudayaan nasional. Pada tataran ini, desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal, yaitu manajemen berbasis sekolah, pendelegasian wewenang, dan inovasi pendidikan.

Hal yang menarik adalah desentralisasi pendidikan akan berimplikasi pada tataran dunia baru pendidikan yang lebih humanis. Artinya. Ada ruang-ruang dalam pendidikan untuk membangun peserta didik agar lebih mengerti dan berbakti untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama dengan landasan kearifan lingkungan. Dengan asas tersebut, tercipta pula kearifan ekologi yang merupakan buah dari inovasi kurikulum berbasis lingkungan atau masyarakat.

(13)

desentralisasi pendidikan ada sasaran utama progaram restrukturisasi sistem dan manajemen pendidikan di indonesia. Restrukturisasi tersebut hendaknya mencakup hal-hal berikut:

(a) Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, serta mencerminkan desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. (b) Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsif

edukatif sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan untuk belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolahraga, serta menjalankan syariat agama.

(c) Tenaga pendidikan terutama tenaga pengajar harus melalui proses seleksi sejak memasuki LPTK disertai sistem tunjangan ikatan dinas dan wajib mengajar.

(d) Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem pembelajaran tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara seragam persemester dan tujuan ajaran.

(e) Proses pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan konsep-konsep dasar yang dipelajari.

(f) Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga pendidikan sebagi konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran tuntas. (g) Kegiatan supervisi dan akreditasi. Supervisi serta pembinaan administrasi dan

(14)

(h) Pendidikan berbasis masyarakat, seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan dan pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.

(i) Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan harus didasarkan pada bobot penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan jumlah peserta didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat, tingkat partisipasi pendidikan, serta kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada setiap sekolah.

(15)

pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera.

Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat. Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.

(16)

Sebetulnya,sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menganggap seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, yaitu pemerintah.

(17)

Demikian pula pada tingkat SD di kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah pusat mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau dari hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian dari tugas pengajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” oleh birokrasi pendidikan.

Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yang masih setengah hati diserahkan. Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai improvisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan di beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :

(1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS (2) Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.

(3) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP (4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru

(5) Pemberian insentif kepada guru-guru negeri

(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah

(18)
(19)

Menurut Fransisca Kemmerer dalam Ali Muhdi 2007:149, ada empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni:

a) Dekonsentrasi, yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan tingkat yang lebih rendah dalam jajaran birokrasi pusat.

b) Pendelegasian, yaitu pengalihan kewenangan ke badan quasi pemerintah atau badan yang dikelola secara publik

c) Devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah

d) Swastanisasi, berupa pendelegasian kewenangan ke badan usaha swasta atau perorangan.

Dalam kasus Indonesia, sejauh yang telah dilakukan nampaknya cenderung mengambil bentuk yang terakhir, swastanisasi.Menguatnya aspirasi otonomi dan desentralisasi khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas dari kenyataan adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama orde baru. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa di antara masalah dan kelemahan yang sering diangkat dalam konteks ini adalah:1) Kebijakan pendidikan nasional yang sangat sentralistik dan serba seragam, yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realita masyarakat Indonesia di berbagai daerah.2) Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi kepada pencapaian target kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Proses pembelajaran sangat berorientasi pada ranah kognitif dengan pendekatan formalisme dan pada saat yang sama, cenderung mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik.

(20)
(21)

mikro. Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga. Pertimbangan tersebut merupakan perencanaan yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai.

Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang ada dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan bisa berubah. Ketika kebijakan politik dalam dan luar negeri, kebijakan pendidikan biasanya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri dapat pula mengganti kebijakan yang telah mapan pada jamannya. Bukan hal yang aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih ingat dibenak kita ada pelajaran PSPB yang secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan IPS sejarah dan lucunya materi itu pun di pelajari di PMP (sekarang PKN/PPKN).

(22)

menerima apa pun yang diberikan oleh pendidikan, maka sekarang mereka tidak dengan mudah menerima apa yang diberikan oleh pendidikan.

Masyarakat yang notabene membayar pendidikan merasa berhak untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik bagi dirinya dan anak-anaknya. Bagi lembaga-lembaga pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan redesain sistem yang mampu menjawab tuntutan masyarakat. Caranya adalah mengembangkan model manajemen pendidikan yang akuntabel. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menyatakan: Upaya untuk mencapai akuntabilitas institusi memerlukan kurikulum yang relevan yang memperhitungkan kebutuhan masyarakat, kemampuan manajemen yang tinggi, komitmen yang kuat untuk mencapai keunggulan, sarana penunjang yang mamadai, dan perangkat aturan yang jelas dan dilaksanakan secara konsisten oleh institusi pendidikan yang bersangkutan. Empat hal penting yang dikemukakan di atas membutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat. Sebab tidak saja dibutuhkan kemauan tetapi juga kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam teori perubahan, orang dapat berubah, jika ia memiliki kemauan sekaligus kemampuan. Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi.

(23)

Akuntabilitas yang tinggi hanya dapat dicapai dengan pengelolaan sumber daya sekolah secara efektif dan efisien. Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang memiliki kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi dan akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88): Tiga aspek yang dapat memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu kompetensi, akreditasi, dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dianggap telah memenuhi semua persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut berhak mendapat sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang dinilai mampu menjamin produk yang bermutu disebut sebagai lembaga terakreditasi (accredited).

Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan dinilai mampu untuk menghasilkan lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin mutuya sehingga dihargai oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan yang akuntable. Institusi pendidikan yang akuntabel adalah institusi pendidikan yang mampu menjaga mutu keluarannya sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Jadi, dalam hal ini akuntabel tidaknya suatu lembaga pendidikan bergantung kepada mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas suatu lembaga juga bergantung kepada kemampuan suatu lembaga pendidikan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan kepada publik. Penulis mengelompokkan akuntabiltas yang pertama sebagai akuntabilitas kinerja, sementara yang kedua sebagai akuntabilitas keuangan. Manajemen Berbasis Sekolah yang diterapkan di Indonesia juga mensyaratkan kemampuan akuntabilitas sekolah kepada publik.

(24)

mengurus sekolah, mengambil keputusan, mengelola, memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak sewenang-wenang dalam menyelenggarakan sekolah, maka sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah. Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan kewenangan yang diberikan kepada publik, tentu menjadi tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan di Indonesia banyak instituasi pendidikan yang lemah dan tidak sedikit institusi pendidikan yang tidak akuntabel.

(25)

dikaitkan dengan partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya dapat terjadi jika ada partisipasi dari stakeholders sekolah. Semakin kecil partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah, maka akan semakin rendah pula akuntabilitas sekolah.Jadi,kalau disimpulkan akuntabilitas adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang diperoleh sebagai hasil partisipasi dari stakeholders.

(26)

Tujuan akuntabilitas adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat. Slamet (2005:6) menyatakan: Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu syarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggung jawabkan hasil kerja kepada publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan kepada publik. Rumusan tujuan akuntabilitas di atas hendak menegaskan bahwa, akuntabilitas bukanlah akhir dari sistem penyelenggaran manajemen sekolah, tetapi merupakan faktor pendorong munculnya kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru sebagai titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yang berkinerja tinggi.

b.1. Pelaksanaan Akuntabilitas dalam MBS.

(27)

dapat ditunda-tunda. Pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam rangka MBS tiada lain agar para pengelola sekolah atau pihak-pihak yang diberi kewenangan mengelola urusan pendidikan itu senantiasa terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan penyimpangan untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Dengan prinsip ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sehingga berperan besar dalam memenuhi berbagai aspek kepentingan masyarakat. Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah dengan masyarakat. Sekolah dan orang tua siswa. Antara sekolah dan instansi di atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah. Antar kepala sekolah dengan komite, dan antara kepala sekolah dengan guru. Pengelola sekolah harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh komponen pengelolaan MBS kepada masyarakat. Komponen pertama yang harus melaksanakan akuntabilitas adalah guru. Mengapa, karena inti dari seluruh pelaksanaan manajemen sekolah adalah proses belajar mengajar. Dan pihak pertama di mana guru harus bertanggung jawab adalah siswa. Guru harus dapat melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar.

(28)

pembelajaran, tetapi juga menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas output. Akuntabilitas keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar kecilnya penerimaan, maupun peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola.

Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari warga sekolah dan masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan dipercaya. Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yang baik dan didukung oleh sistem yang baik akan menjamin pengelolaan keuangan yang bersih, dan jauh dari praktek korupsi.

(29)

Codd (1999), seorang pakar kebijakan pendidikan dalam Marks Olssen, dkk (2004), menyatakan bahwa dalam perspektif global, akuntabilitas dipengaruhi oleh kecenderungan manusia yang mengutamakan kebebasan. Kebebasan yang muncul secara baru (neoliberalisme) ikut mempengaruhi ketahanan moral orang dalam melaksanakan akuntabilitas. Menurutnya Terdapat dua tipe akuntabilitas, masing-masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas internal. Keduanya memiliki ciri yang berbeda, ini disebabkan oleh karena titik tolak kedunya berbeda. Akuntabilitas eksternal didasarkan manajemen hirarkis, sedangkan akuntabilitas internal didasarkan pada tanggung jawab profesional, dengan melekat sebuah konsep agen moral. Oleh karena pendasaran kedua jenis akuntabilitas ini berbeda, maka hal-hal yang diperlihatkanpun berbeda. Misalnya, akuntabilitas eksternal memiliki kepercayaan yang rendah, sedangkan pada akuntabilitas internal justru sebaliknya memiliki kepercayaan yang tinggi. Selanjutnya dari segi tanggung jawab, pada akuntabilitas eksternal terdapat kontrol yang hirarkis, sedangkan pada akuntabilitas internal tanggung jawab professional didelegasikan.

(30)

faktor dalam sangat lemah. Sebaliknya pada akuntabilitas internal faktor dari dalam diri lebih kuat ketimbang faktor luar. Kekuatannya terletak pada motivasi dan komitmen individu untuk melaksanakan akuntabilitas organisasi.

Akuntabilitas dan Faktor nilai-budaya Sekolah sebagai tempat penyelenggaran manajemen yang akuntabel merupakan suatu pranata sosial. Dikatakan sebagai pranata sosial karena di tempat tersebut teradapat orang-orang dari berbagai latar belakang sosial yang membentuk suatu kesatuan dengan nilai-nilai dan budaya tertentu. Nilai-nilai dan budaya tersebut potensial untuk mendukung penyelenggaraan manajemen sekolah yang akuntabel, tetapi juga sebaliknya bisa menjadi penghambat. Dalam sebuah ilustrasi perusahaan, Stephen Robins (2001:14) menyatakan: Workforce diversity has important implication for management practice. Manager will need to shift their philosophy from treating every one alike to recognizing differences and responding to those differences in ways that will ensure employe retention and greater productivity while, at the same time not discriminating. Artinya, keberagaman tenaga kerja mempunyai implikasi penting pada praktik manajemen.

(31)

Akuntabel merupakan nilai yang hendak ditegakan organisasi, apakah anggota organisasi dapat mendukungnya? Menjadi tantangan, oleh karena latar belakang tadi. Jadi, faktor yang mempengaruhi akuntabilitas terletak pada dua hal, yakni faktor sistem dan faktor orang. Sistem menyangkut aturan-aturan, tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yang dianutnya mempengaruhi kemampuannya akuntabilitas. Kalau ditelisik lebih jauh faktor orang sendiri sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan produk dari masyarakat dengan budaya tertentu.

b.3.Upaya-Upaya Peningkatan Akuntabilitas dalam MBS.

(32)

semuanya bertumpu pada kemampuan dan kemauan sekolah untuk mewujudkannya. Alih-alih sekolah mengetahui sumber dayanya, sehingga dapat digerakan untuk mewujudkan dan meningkatkan akuntabilitas.

Sekolah dapat melibatkan stakeholders untuk menyusun dan memperbaharui sistem yang dianggap tidak dapat menjamin terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua siswa, kelompok profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan untuk melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders sejak awal tahu dan merasa memiliki akan sistem yang ada. Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas dalam manajemen berbasis sekolah, dapat dilihat pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet (2005:7): Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas adalah:

1. Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah.

2. Tumbuhnya kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap penyelenggaraanpendidikan di sekolah

3. Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.

Ketiga indikator di atas dapat dipakai oleh sekolah untuk mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah telah mencapai hasil sebagaiamana yang dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, tetapi sekolah akan mengalami peningkatan dalam banyak hal sehingga kepercayaan masyarakat akan kinerja sekolah menjadi lebih tinggi dan dengan sendirinya partsipasi bertambah.

C.Manajemen Pendidikan

(33)

manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.

Selanjutnya Gaffar (1989 : 59), mengemukakan bahwa :

“Manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerjasama yang sistemik dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Manajemen pendidikan dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu berkenan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah maupun tujuan jangka panjang.

Substansi manajemen pendidikan lebih memusatkan diri pada substansi yang berkaitan dengan proses pendidikan, yaitu manajemen pengajaran, peserta didik, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dan masyarakat dan layanan-layanan khusus.

Mugatroyd dan Morgan (dalam Mantja, 2002 : 131) mengemukakan empat gagasan dasar yang sangat sentral bagi keefektifan manajemen persekolahan. Pertama, adalah bahwa lembaga pendidikan merupakan mata rantai yang menghubungkan pelanggan (customer client) dan pemasok (supplier), Kedua, yang merupakan gagasan kunci adalah semua hubungan antara pelanggan dan pemasok ditengahi oleh proses. Ketiga, orang yang paling melakukan perbaikan adalah mereka yang dekat dengan pelanggan dalam proses tersebut. Keempat, bahwa untuk menjamin terdapatnya dukungan perbaikan performansi kualitas terhadap sekolah dipersyaratkan kepemimpinan yang bervisi, yang mendukung dan meningkatkan kinerja terhadap mereka yang dekat (familiar) dengan klien.

D. Manajemen Berbasis Sekolah

(34)

Istilah Manajemen berbasis Sekolah merupakan terjemahan dari .School Based Management.. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. Pengertian Manajemen berbasis Sekolah menurut beberapa ahli:

Menurut E. Mulyasa (2004:24) : .MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staff, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.

Menurut Nanang Fatah (2006:32) MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat. Manajemen berbasis Sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal Local Stakeholder.

(35)

Menurut Mulyasa (2004 : 118), sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka pelaksanaan MBS, yaitu

“Kurikulum dan program pengajaran, tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana, dan prasarana pendidikan, pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat serta manajemen layanan khususnya lembaga pendidikan”.

Manajemen berbasis sekolah sebagaimana dikemukakan oleh para ahli adalah sebuah model pengelolaan sekolah yang mengarah pada kemandirian lembaga pendidikan sekolah dan terintegratif dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Olehnya itu, jika model ini dikembangkan dua syarat pokok yang harus dipenuhi oleh setiap pendidikan sekolah, pertama sekolah menjamin adanya kultur sekolah yang kondusif dan demokratis menanggapi respon masyarakat secara terbuka sebagai wujud pertanggungjawaban public.

Jadi, MBS merupakan sebuah strategi untuk memajukan pendidikan dengan mentransfer keputusan penting memberikan otoritas dari negara dan pemerintah daerah kepada individu pelaksana di sekolah. 11MBS menyediakan kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua kontrol yang sangat besar dalam proses pendidikan dengan memberi mereka tanggung jawab untuk memutuskan anggaran, personil, serta kurikulum.

2. Karakteristik MBS

MBS memiliki karakter yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya, karakteristik tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki sehingga membedakan dari sesuatu yang lain. MBS memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Adanya otonomi yang luas kepada sekolah

(36)

Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat dilihat pula melalui pendidikan sistem. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem sehingga penguraian karakteristik MBS berdasarkan berdasarkan pada input, proses dan output

1. Input Pendidikan

Dalam input pendidikan ini meliputi; (a) memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas, (b) sumber daya yang tersedia dan siap, (c) staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi, (d) memiliki harapan prestasi yang tinggi,(e) fokus pada pelanggan.

2. Proses

Dalam proses terdapat karakter yaitu; (a) PBM yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi, (b) Kepemimpinan sekolah yang kuat, (c) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (d) Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, (e) Sekolah memiliki budaya mutu, (f) Sekolah memiliki team work yang kompak, cerdas, dan dinamis. (d) Output yang diharapkan

Output Sekolah adalah Prestasi sekolah yang dihasilkan melalui proses pembelajarn dan manajemen di sekolah. Pada umumnya output dapat di klasifikasikan menjadi dua yaitu output berupa prestasi akademik yang berupa NEM, lomba karya ilmiah remaja, cara-cara berfikir ( Kritis, Kreatif, Nalar, Rasionalog, Induktif, Deduktif dan Ilmiah. Dan output non akademik, berupa keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, toleransi, kedisiplinan, prestasi olahraga, kesenian dari para peserta didik dan sebagainya.

(37)

sumber daya manusia,dan pengelolaan sumber daya administrasi. Menurut Depdiknas fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah adalah sebagai berikut:

1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah

Sekolah di beri kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, Sekolah juga diberi kewenangan untuk melakukan evaluasi khususnya evaluasi internal atau evaluasi diri.

2. Pengelolaan Kurikulum.

Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Sekolah juga di beri kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.

3. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar.

Sekolah di beri kebebasan untuk memilih strategi, metode, dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. 4. Pengelolaan ketenagaan.

Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sanksi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.

5. Pengelolaan keuangan

(38)

6. Pelayanan siswa

Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.

7. Hubungan sekolah dan masyarakat

Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.

3. Tujuan Manajemen berbasis Sekolah

(39)

1) MBS bertujuan mencapai mutu quality dan relevansi pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolok ukur penilaian pada hasil output dan outcome bukan pada metodologi atau prosesnya. Mutu dan relevansi ada yang memandangnya sebagai satu kesatuan substansi, artinya hasil pendidikan yang bermutu sekaligus yang relevan dengan berbagai kebutuhan dan konteksnya. Bagi yang memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk pada dicapainya tujuan spesifik oleh siswa (lulusan), seperti nilai ujian atau prestasi lainnya, sedangkan relevansi lebih merujuk pada manfaat dari apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan dalam berbagai lingkup/tuntutan kehidupan (dampak), termasuk juga ranah pendidikan yang tidak diujikan.

2) MBS bertujuan menjamin keadilan bagi setiap anak untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu disekolah yang bersangkutan. Dengan asumsi bahwa setiap anak berpotensi untuk belajar, maka MBS memberi keleluasaan kepada setiap sekolah untuk menangani setiap anak dengan latar belakang social ekonomi dan psikologis yang beragam untuk memperoleh kesempatan dan layanan yang memungkinkan semua anak dan masing-masing anak berkembang secara optimal. Sungguhpun antara sekolah harus saling memacu prestasi, tetapi setiap sekolah harus melayani setiap anak (bukan hanya yang pandai), dan secara keseluruhan sekolah harus mencapai standar kompetensi minimal bagi setiap anak yang diluluskan. Keadilan ini begitu penting, sehingga para ahli sekolah efektif menyingkat tujuan sekolah efektif hanya mutu dan keadilan atau .quality and equity.

(40)

hasil belajar siswa seperti yang diharapkan (sesuai tujuan). Efektif-tidaknya suatu sekolah diketahui lebih pasti setelah ada hasil, atau dinilai hasilnya. Sebaliknya untuk mencapai hasil yang baik, diupayakan menerapkan indikator-indikator atau cirri-ciri sekolah efektif. Dengan menerapkan MBS diharapkan setiap sekolah, sesuai kondisi masing-masing, dapat menerapkan metode yang tepat (yang dikuasai), dan input lain yang tepat pula (sesuai lingkungan dan konteks social budaya), sehingga semua input tepat guna dan tepat sasaran. Atau dengan kata lain, efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara itu, efisiensi berhubungan dengan nilai uang yang dikeluarkan atau harga (cost) untuk memenuhi semua input (proses dan semua input yang digunakan dalam proses) dibandingkan atau dihubungkan dengan hasilnya (hasil belajar siswa).

4. MBS bertujuan meningkatkan akuntabilitas sekolah dan komitmen semua stake holders. Akuntabilitas adalah pertanggung jawaban atas semua yang dikerjakan sesuai wewenang dan tanggung jawab yang diperolehnya. Selama ini pertanggung jawaban sekolah lebih pada masalah administratif keuangan dan bersifat vertical sesuai jalur birokrasi. Pertanggung jawaban yang bersifat teknis edukatif terbatas pada pelaksanaan program sesuai petunjuk dan pedoman dari pusat (pusat dalam arti nasional, maupun pusatpusat irokrasi di bawahnya),tanpa pertanggung jawaban hasil pelaksanaan program.

4. Langkah-langkah MBS

Secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi MBS akan behasil melalui strategi- strategi berikut ini:

(41)

keterampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil.

Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif, dalam hal pembiayaan, prosespengambian keputusan terhadap kurikulum. Sekolah harus lebih banyak mengajaklingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimanapun sekolah adalah bagian dari masyarakat luas.

Ketiga, kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Kepala sekolah dalam MBS berperan sebagai designer, motivator, fasilitator. Bagaimanapun kepala sekolah adalah pimpinan yang memiliki kekuatan untuk itu. Oleh karena itu, pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan atas kemampuan manajerial dan kepemimpinan dan bukan lagi didasarkan atas jenjang kepangkatan.

Keempat, adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang aktif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah. Konsumen yang harus dilayani kepala sekolah adalah murid dan orang tuanya, masyarakat dan para guru. Kepala sekolah jangan selalu menengok ke atas sehingga hanya menyenangkan pimpinannya namun mengorbankan masyarakat pendidikan yang utama.

Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara bersungguh sungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing harus ada sosialisasi terhadap konsep MBS itu sendiri. Siapa kebagian peran apa dan melakukan apa, sampai batas-batas nyata perlu dijelaskan secara nyata.

(42)

mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Guidelines itu jangan sampai berupa peraturan-peraturan yang mengekang dan membelenggu sekolah. Artinya, tidak perlu lagi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam pelaksanaan MBS, yang diperlukan adalah rambu-rambu yang membimbing.

Ketujuh, sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawabannya setiap tahunnya. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah terhadap semua stakeholder. Untuk itu sekolah harus dijalankan secara transparan, demokratis, dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan kepada setiap pihak terkait.

Kedelapan, Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah dan lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa. Perlu dikemukakan lagi bahwa MBS tidak bisa langsung meningkatkan kinerja belajar siswa namun berpotensi untuk itu. Oleh karena itu, usaha MBS harus lebih terfokus pada pencapaian prestasi belajar siswa.

Kesembilan, implementasi diawali dengan sosialsasi dari konsep MBS, identifikasi peran masing-masing pembangunan kelembagaan capacity building mengadakan pelatihan pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran, evaluasi atas pelaksanaan dilapangan dan dilakukan perbaikan-perbaikan. Bagi sekolah yang sudah beroperasi ( sudah ada / jalan) paling tidak ada 6 (enam) langkah, yaitu : 1) evaluasi diri self assessment; 2) Perumusan visi, misi, dan tujuan; 3)Perencanaan; 4) Pelaksanaan; 5) Evaluasi; dan 6) Pelaporan.

(43)

Evaluasi diri sebagai langkah awal bagi sekolah yang ingin, atau akan melaksanakan manajemen mutu berbasis sekolah.Kegiatan ini dimulai dengan curah pendapat brainstorming yang diikuti oleh kepala sekolah, guru, dan seluruh staf, dan diikuti juga anggota komite sekolah. Prakarsa dan pimpinan rapat adalah kepala sekolah. memancing minat acara rapat dapat dimulai dengan pertanyaan seperti: Perlukah kita meningkatkan mutu? seperti apakah kondisi sekolah / madrasah kita dalam hal mutu pada saat ini? Mengapa sekolah kita tidak/belum bermutu?

Kegiatan ini bertujuan:

a) Mengetahui kondisi sekolah saat ini dalam segala aspeknya (seluruh komponen sekolah), kemajuan yang telah dicapai, maupun masalah-masalah yang dihadapi ataupun kelemahan yang dialami.

b) Refleksi/Mawas diri, untuk membangkitkan kesadaran / keprihatinan akan penting dan perlunya pendidikan yang bermutu, sehingga timbul komitmen bersama untuk meningkatkan mutu sense of quality.

c) Merumuskan titik tolak point of departure bagi sekolah/madrasah yang ingin atau akan mengembangkan diri terutama dalam hal mutu. Titik awal ini penting karena sekolah yang sudah berjalan untuk memperbaiki mutu, mereka tidak berangkat dari nol, melainkan dari kondisi yang dimiliki.

2) Perumusan Visi, Misi, dan tujuan

Bagi sekolah yang baru berdiri atau baru didirikan, perumusan visi dan misi serta tujuan merupakan langkah awal/pertama yang harus dilakukan yang menjelaskan kemana arah pendidikan yang ingin dituju oleh para pendiri/ penyelenggara pendidikan.

(44)

orang tua siswa harus merumuskan kemana sekolah kemasa depan akan dibawa, sejauh tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional seperti tercantum dalam UU No. 23 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Kondisi yang diharapkan/diinginkan dan diimpikan dalam jangka panjang itu, kalau dirumuskan secara singkat dan menyeluruh disebut visi. Keadaan yang diinginkan tersebut hendaklah ada kaitannya dengan idealisme dan mutu pendidikan. Idealisme disini dapat berkaitan dengan kebangsaan, kemanusiaan, keadilan, keluhuran budi pekerti, ataupun kualitas pendidikan sebagaimana telah didefinisikan sebelumnya. Sedangkan misi, merupakan jabaran dan visi atau merupakan komponen-komponen pokok yang harus direalisasikan untuk mencapai visi yang telah ditetapkan.

Dengan kata lain, misi merupakan tugas-tugas pokok yang harus dilakukan untuk mewujudkan visi. Tujuan merupakan tahapan antara, atau tonggak tonggak penting antara titik berangkat (kondisi awal) dan titik tiba tujuan akhir yang rumusannya tertuang dalam dalam bentuk visi-misi. Tujuan-tujuan antara ini sebagai tujuan jangka menengah kalau tiba saatnya berakhir (tahun yang ditetapkan ) akan disusul dengan tujuan berikutnya, sedangkan visi dan misi (relatif/pada umumnya) masih tetap. Tujuan (jangka menengah), dipenggal-penggal menjadi tujuan tahunan yang biasa disebut target/sasaran, dalam formulasi yang jelas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Tujuan-tujuan jangka pendek (1 tahun) inilah yang rincian persiapannya dalam bentuk perencanaan.

3) Perencanaan

(45)

direncanakan. Dengan kata lain perencanaan adalah kegiatan menetapkan lebih dulu tentang apa-apa yang harus dilakukan, prosedurnya serta metode pelaksanaannya untuk mencapai suatu tujuan organisasi atau satuan organisasi.

Perencanaan oleh sekolah merupakan persiapan yang teliti tentang apa-apa yang akan dilakukan dan skenario melaksanakannya untuk mencapai tujuan yang dihar apkan, dalam bentuk tertulis. Dikatakan teliti karena ia harus menjelaskan apa yang akan dilakukan, seberapa besar lingkup cakupan kuantitatif dan kualitatif yang akan dikerjakan, bagaimana, kapan dan berapa perkiraan satuan-satuan biayanya, serta hasil seperti apa yang diharapkan.

4) Pelaksanaan

(46)

Selanjutnya Sidi, mengemukakan bahwa kemandirian sekolah yang ditegaskan dalam manajemen berbasis sekolah, sangat menekankan pada optimalisasi pelaksanaan proses belajar mengajar, partisipasi masyarakat dan kinerja kepala sekolah. Khususnya mengenai pelaksanaan belajar mengajar, guru-guru memegang peranan yang sangat menentukan, sebab sekalipun sarana dan prasarana pendidikan lengkap dan mempunyai sumber dana yang cukup memadai, tetapi kalau sumber daya manusianya yaitu para guru-gurunya tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dalam proses belajar mengajar, maka tidak dapat diharapkan mutu output pendidikan akan meningkat.

E. Kinerja Kepala Sekolah

Kepala sekolah sebagai organisator memiliki peran yang sangat penting menentukan jalannya organisasi sekolah. Sekolah memerlukan suatu organisasi kerja yang baik, sehingga kepala sekolah dituntut mampu menumbuhkembangkan kreativitas kerja guru dan staf sekolah. Olehnya itu, kinerja kepala sekolah seharusnya mencerminkan lebih baik daripada guru dan staf lainnya. Kinerja kepala sekolah itu harus tampak dalam memainkan perannya secara professional.

(47)

“Beberapa kompetensi dasar yang perlu dikuasai oleh Kepala Sekolah yakni (1) memahami kurikulum sekolah, (2) membantu melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam kelas, (3) mengadakan hubungan dengan masyarakat di sekitarnya untuk keefektifan pelaksanaan pengajaran di sekolah khususnya para orang tua murid, (4) mampu menciptakan hubungan baik guru dengan murid di sekolahnya, (5) mengelolah sarana dan fasilitas sekolah; dan (6) mampu melaksanakan program kerja pengajaran”.

Kompetensi yang diperlukan administrator menekankan perlunya kompetensi dasar yang harus dikuasai yaitu: teknis, manusiawi, dan konseptual. Keterampilan teknis yang ditunjuk kerjakan oleh administrator sekolah Budgeting, schedule, staffing, dan berbagai tanggung jawab administrasi yang sejenisnya. Keterampilan manusiawi (insani) mengacu kepada keterampilan yang diperlukan dalam keberhasilan kerja dengan orang per orang atau dalam latar kelompok. Sedangkan keterampilan konseptual adalah kemampuan yang diperlukan oleh administrator untuk melihat gambaran keseluruhan dan hubungan-hubungannya diantara dan di dalam bagian-bagian yang berlainan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kepala sekolah harus memiliki kompetensi yang mengacu pada perbuatan dan kinerja yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu di dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu termasuk tugas kepala sekolah sebagai administrator, manajer, pimpinan, sekolah supervisor secara substansial merupakan tugas-tugas pokok kepala sekolah yang menurut kinerja kepala sekolah secara profesional.

F. Kinerja Guru Dalam Proses Belajar Mengajar

(48)

Dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan disadari suatu kebenaran fundamental, yakni bahwa kunci keberhasilan menciptakan dan mempersiapkan guru-guru yang profesional yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab baru untuk merencanakan pendidikan masa depan. Pada dasarnya peningkatan kualitas diri seseorang harus menjadi tanggung jawab diri pribadi. Oleh karenanya usaha peningkatan kualitas guru terletak pada diri guru sendiri. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran pada diri guru untuk senantiasa dan secara terus menerus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan guna peningkatan kualitas kerja sebagai pengajar professional. Dengan demikian untuk pembinaan dan peningkatan profesional guru perlu dikembangkan kegiatan profesional kesejawatan yang baik, harmonis, dan objektif. Secara sistematis pengembangan kejawatan memerlukan :

a. Wadah/kelembagaan, untuk pengembangan kesejawatan adalah kelompok yang merupakan organ yang bersifat non-struktural dan lebih bersifat formal.

b. Bentuk kegiatan kelompok yang dibentuk merupakan wadah kegiatan dimana antara anggota sejawat biasa saling asah, asuh dan asih untuk meningkatkan kualitas diri masing-masing khususnya dan mencapai kualitas sekolah serta pendidikan pada umumnya.

c. Mekanisme, kegiatan kelompok dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan. Sebagaimana konsep asah, asuh dan asih. Maka setiap anggota kelompok memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dalam setiap kegiatan tanpa memandang jenjang kepangkatan jabatan dan gelar akademik yang disandangnya.

(49)

aktivitas yang dilaksanakan bersifat komprehensif dan total mencakup presentasi, observasi, penilaian, kritik, tanggapan, saran dan bimbingan

G. Partisipasi Masyarakat

Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Selanjutnya, peran serta masyarakat dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah yang diharapkan dari masyarakat, antara lain :

1. Tenaga yaitu sebagai sumber atau tenaga sukarela untuk membantu mensukseskan wajib belajar dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, serta memperbaiki sarana dan prasarana baik secara individu maupun secara kelompok.

2. Dana, untuk membantu pendanaan operasional sekolah, memberikan beasiswa, menjadi orang tua asuh, menjadi sponsor dalam suatu kegiatan sekolah, dan sebagainya.

3. Pemikiran, yaitu memberikan masukan berupa pendapat pemikiran dalam rangka menjaring anak-anak usia sekolah, menanggulangi anak putus sekolah, dan meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.

(50)

keadilan pendidikan. dunia usaha didorong untuk memberi bantuan beasiswa, tenaga fasilitas praktik dan penelitian. Masyarakat dunia usaha juga diharapkan untuk memberikan pemikiran dan sumbangan dalam perumusan kebijakan pendidikan.

Sekolah merupakan lembaga yang tidak dapat dipisahkan masyarakat lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat dipisahkan dari sekolah. Dikatakan demikian, karena keduanya memiliki kepentingan. Sekolah merupakan lembaga formal yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih dan membimbing generasi muda bagi peranannya di masa depan sementara masyarakat merupakan pengguna jasa pendidikan itu.

Partisipasi masyarakat merupakan wujud pemberdayaan masyarakat sebagai daya dukung sekolah dalam rangka pengelolaan sekolah secara efektif dan efisien agar seoptimal mungkin sasaran dan tujuan pendidikan sekolah dapat tercapai. Partisipasi masyarakat luas seperti, kalangan dunia usaha, tokoh masyarakat dan organisasi pemerhati pendidikan dengan upaya-upayanya yang dapat dilakukan mulai pada tahap perumusan kebijaksanaan implementasi kebijaksanaan secara operasional serta evaluasi dan pengawasan dan pelaksanaan dan pengelolaan pendidikan sekolah.

4. Kerangka Pikir

(51)

Sekolah sebagai institusi/lembaga pendidikan, merupakan wadah tempat proses pendidikan dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis. Dalam kegiatannya, sekolah adalah tempat yang bukan hanya sekedar tempat berkumpul guru dan murid, melainkan berada dalam satu tatanan sistem yang rumit dan saling berkaitan, oleh karena itu sekolah dipandang sebagai suatu organisasi yang membutuhkan pengelolaan.

Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah secara efektif dan efisien, merupakan suatu upaya peningkatan pengelolaan dan pemberdayaan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Implikasi pelaksanaan manajemen berbasis sekolah adalah perlunya dukungan dan peran aktif kepala sekolah, guru dan masyarakat sebagai pihak yang terkait dengan proses belajar mengajar di sekolah.

Dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah sebagai pucuk pimpinan perlu memiliki pengetahuan kepemimpinan, perencanaan dan pandangan yang luas tentang sekolah dan pendidikan. Wibawa kepala sekolah harus ditumbuhkembangkan dengan meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja, keteladanan dan hubungan manusiawi sebagai modal perwujudan iklim kerja yang kondusif.

Kepala sekolah dituntut untuk melakukan tugas dan fungsinya sebagai manajer sekolah dalam meningkatkan proses belajar mengajar, dengan melakukan supervisi kelas, membina dan memberikan saran-saran positif kepada guru. Disamping itu kepala sekolah juga harus melakukan tukar pikiran sumbang saran, study banding antara sekolah untuk menyerap kiat-kiat kepemimpinan dari kepala sekolah yang lain.

(52)

dan mempunyai sumber dana yang cukup memadai, tetapi kalau sumber daya manusia yaitu para guru tidak melaksanakan tugas dengan baik dalam proses belajar mengajar, maka tidak dapat diharapkan kualitas pendidikan para murid, akan meningkat.

Guru adalah teladan dan panutan langsung para peserta didik dikelas, oleh karena itu guru perlu siap dengan segala kewajiban baik manajemen maupun persiapan isi materi pengajaran. Guru juga harus mampu mengorganisasikan kelas dengan baik, jadwal pelajaran, pembagian tugas peserta didik, penempatan alat dan Iain-Iain harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Suasana kelas yang menyenangkan dan penuh disiplin sangat diperlukan untuk mendorong semangat belajar peserta didik, kreativitas dan daya cipta guru untuk pelaksanaan MBS perlu terus menerus perlu didorong dan dikembangkan. Partisipasi masyarakat secara material dalam pendanaan operasional sekolah seperti pemberian beasiswa, menjadi sponsor dalam suatu kegiatan sekolah serta bantuan moril yang diharapkan seperti orang tua asuh bagi anak-anak usia sekolah yang kurang mampu, memberikan masukan berupa pendapat dan pemikiran dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Dengan demikian pelaksanaan manajemen berbasis sekolah mensyaratkan dukungan dan partisipasi aktif paling tidak dari tiga pihak terkait dengan proses belajar mengajar di sekolah, yakni kepala sekolah, guru dan masyarakat. Jika ketiga unsur tersebut terlibat secara aktif dan kreatif dalam proses belajar mengajar di sekolah, dapat diharapkan kualitas pendidikan peserta didik (murid) akan meningkat sehingga mampu mengikuti perkembangan dan tuntutan untuk tahap pendidikan selanjutnya.

Untuk memperoleh gambaran yang. jelas tentang arah penelitian ini secara skematis digambarkan kerangka pikir ini seperti dapat dilihat pada Gambar 1

(53)

Gambar 2.1. Sketsa Kerangka Pikir

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian

(54)

diteliti adalah kinerja kepala sekolah, kinerja guru dan partisipasi masyarakat terhadap proses belajar mengajar, sedangkan subjeknya adalah kepala sekolah, guru dan masyarakat.

Penelitian ini dilaksanakan pada SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum dengan pertimbangan bahwa Sekolah Menengah Pertama telah memiliki kewenangan dan tanggung jawab pada tahap awal pelaksanaan manajemen berbasis sekolahdalam berbagai bidang untuk mencapai tujuan pendidikan sehingga memungkinkan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dengan baik karena berbagi faktor-faktor pendukung yang dimiliki seperti, sumber daya guru (lebih banyak menggunakan guru inti), sarana dan prasarana serta infrastruktur sekolah yang cukup memadai.

B. Defenisi Operasional Variabel

Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel yang akan diteliti dan dianalisis yang diduga berkaitan dengan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah, yakni (1) kinerja kepala sekolah, (2) kinerja guru dalam proses belajar mengajar, (3) partisipasi masyarakat serta (4) faktor pendukung serta faktor penghambat pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri 4 Khusus.

Variabel tersebut didefinisikan sebagai berikut:

1. Manajemen berbasis sekolah adalah bentuk pengelolaan sekolah berdasarkan sumber daya yang dimiliki sekolah secara efektif dan efisien dalam rangka, pencapaian sasaran dan tujuan pendidikan.

2. Kinerja kepala sekolah yaitu, kemampuan melaksanakan tugas dan fungsi jabatan sekolah. Indikator variabel ini adalah pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai kepala sekolah yang meliputi tugas dan fungsi kepala sekolah sebagai: (1) manajer,

(55)

(2) administrator, (3) supervisor (4) pemimpin, (5) innovator, (6) motivator. Variabel ini diukur dengan mengajukan serangkaian pertanyaan kepada guru sekolah, setiap pertanyaan akan diberi skor menunjukkan kinerja kepala sekolah.

3. Kinerja guru adalah kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar di kelas. Indikator variabel ini adalah pelaksanaan tugas dan fungsi guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar meliputi : (1) kelengkapan program belajar mengajar, (2) penyajian materi (3) evaluasi hasil proses belajar mengajar, dan (4) program perbaikan dan pengayaan prosesbelajar mengajar. Variabel ini diukur dengan mengajukan serangkaian pertanyaan kepada guru sekolah, setiap pertanyaan akar, diberi skor dan jumlah skor menunjukkan kinerja guru.

4. Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam kegiatan pengelolaan dan pengembangan sekolah. Indikator variabel ini adalah : (1) partisipasi masyarakat dalam program perencanaan sekolah, (2) pelaksanaan program sekolah menggunakan dan (3) evaluasi dan monitoring program sekolah. Variabel ini diukur dengan mengajukan serangkaian pertanyaan masyarakat, yakni anggota komite sekolah sebagai perwakilan orang tua siswa di sekolah, setiap pertanyaan akan diberikan skor dan jumlah skor akan menunjukkan tinggi rendahnya partisipasi masyarakat.

5. Faktor pendukung dan faktor penghambat adalah segala sesuatu yang dapat mendukung dan menghambat implementasi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di SMP Negeri 4 Khusus dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah tersebut

Gambar

Tabel 4.1. Karakteristik responden guru berdasarkan pangkat/golongan
Tabel 4.2. Penyebaran responden guru menurut kelompok umur
Tabel 4.4. Penyebaran responden masyarakat menurut tingkat pendidikan
Tabel 4.5. Penyebaran responden menurut tingkat pendapatan
+3

Referensi

Dokumen terkait

rahmat dan hidayah-Nya skripsi yang berjudul PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PARAGRAF EKSPOSISI BERBAHASA JAWA MELALUI METODE PEMBELAJARAN MIND MAPPING DAN

Dengan mengetahui pengaruh belanja daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka diharapkan ditemukan alokasi belanja daerah yang paling ideal yang

Dari simulasi pengujian rancangan continuity test berbasis arduino nano terhadap stranded cooper wire AWG 28, kabel NYAF, dan Low Noise Microphone ( Coaxial Cable

Penggunaan media animasi biologi di kelas eksperimen tetap didampingi penjelasan guru karena animasi seharusnya dijelaskan bukan hanya ditunjukkan (Eilks et al.,

SHGDJDQJ \DQJ VXGDK EHUWDKXQ WDKXQ VXGDK GDSDW PHPSHUNLUDNDQ KDUJD GDQ VHKDW WLGDNQ\D WHUQDN EDKNDQ VDODK VDWX SHGDJDQJ GDSDW PHPSHUNLUDNDQ SHUEDQGLQJDQ NDUNDV GDQ GDJLQJ

adalah bahaya sentuhan pada bagian konduktif yang secara normal tidak bertegangan, menjadi bertegangan karena terjadi kegagalan isolasi... • Proteksi dari kejut listrik •

Dan apakah produk pengembangan bahan ajar berbasis praktikum materi benda dan sifatnya ini dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa kelas III di MI Sunan Giri Malang, c

2.2 Metode Volume Hingga Metode Volume Hingga adalah metode diskritisasi yang sesuai untuk simulasi numerik dari berbagai macam tipe hukum konservasi, biasanya digunakan pada