• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Luar Negeri Indonesia dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Politik Luar Negeri Indonesia dalam"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Politik Luar Negeri Indonesia dalam

Mempromosikan Demokrasi di ASEAN

Oleh: I Made Anom Wiranata, SIP, MA Dosen FISIP Universitas Udayana

26 Oktober 2015

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sepanjang tahun 1990-an, Pemerintah Indonesia menunjukkan resistensinya pada

tekanan internasional dalam isu demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Contoh yang

cukup jelas adalah ketika pada tahun 1992, Pemerintah Indonesia membubarkan IGGI

Inter-Governmental Group on Indonesia (kelompok negara pemberi bantuan finansial kepada

Indonesia yang dikoordinir oleh Pemerintah Belanda) oleh karena lembaga ini dianggap telah

mengintervensi urusan domestik dengan menyaratkan adanya kemajuan demokrasi dan HAM

dalam persyaratan bantuan. Argumen utama Indonesia saat itu adalah demokrasi Barat tidak

sesuai dengan demokrasi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila.

Jatuhnya pemerintahan Suharto yang diktator pada tahun 1998 membuka jalan bagi

politik luar negeri Indonesia untuk menerima nilai-nilai demokrasi. Pemerintah Indonesia

cukup terbuka terhadap bantuan teknis demokrasi dari negara-negara Barat dan

lembaga-lembaga Internasional. Pasca reformasi, banyak organisasi-organisasi internasional yang

didukung oleh donor luar negeri, membuka kantor dan bekerja di Indonesia untuk menangani

isu demokrasi dan HAM.

Semenjak stabilitas politik terbangun, Indonesia mulai membawa isu demokrasi dalam

forum regional maupun internasional. Pada bulan November 2001, Menteri Luar Negeri

Indonesia saat itu Hassan Wirajuda memberikan pernyataan pada Sidang Umum PBB yang

pada intinya menawarkan gagasan demokrasi sebagai solusi atas persoalan global (PBB,

n.d.). Ketika Indonesia menjadi Ketua ASEAN pada tahun 2011, Menlu Marty Natalagawa

menjanjikan bahwa ASEAN akan mendorong Myanmar untuk memajukan demokrasi. Menlu

Natalagawa yang menyampaikan bahwa ASEAN telah mencoba untuk berinteraksi dengan

Myanmar terkait dengan masalah demokratisasi (Reuter, 2011, para. 2).

Pada tahun 2002, Indonesia meluncurkan ide ASEAN sebagai masyarakat politik dan

keamanan. Nilai utama dari masyarakat politik dan keamanan adalah pemajuan demokrasi,

(2)

Wirajuda (2013), ide ini mendapat penentangan yang kuat dari sembilan negara ASEAN.

Indonesia dianggap sedang memainkan peranan yang hegemonik dan menekan negara-negara

ASEAN lain. Penentangan itu terjadi akibat isu demokrasi bukanlah kepentingan dari

sebagian besar negara-negara ASEAN. Menjadikan demokrasi sebagai agenda ASEAN

adalah ancaman bagi kelangsungan rejim-rejim yang tidak demokratis di negara-negara

ASEAN (Wirajuda, 2013). Setahun setelah gagasan itu dilontarkan, konsep Masyarakat

ASEAN dari segi politik dan kemanan dapat diterima menjadi salah satu dari tiga pilar dari

Masyarakat ASEAN. Penerimaan itu terjadi dalam KTT ASEAN di Bali pada tahun 2003.

KTT tersebut menjadi semacam komitmen politik pertama untuk menempatkan promosi

demokrasi sebagai salah satu agenda dalam ASEAN

Indonesia adalah negara yang menggagas promosi demokrasi dalam ASEAN dan

sejauh ini telah berhasil melakukan konsultasi dengan negara-negara ASEAN lainnya yang

sebagian besar terdiri dari negara yang non-demokrasi ataupun quasi-demokrasi, untuk

menerima promosi demokrasi sebagai pilar Masyarakat ASEAN. Sangat menarik untuk

mengetahui motivasi dari Indonesia untuk mempromosikan demokrasi dalam ruang lingkup

ASEAN.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka peneliti merumuskan suatu masalah

penelitian yaitu:

“Mengapa Indonesia mempromosikan demokrasi dalam ASEAN?”

C. Tinjauan Pustaka

Carothers & Young (2012, p.2) mengidentifikasi lima negara demokrasi baru yang

memasukkan promosi demokrasi sebagai agenda politik luar negerinya yaitu: Brazil, India,

Afrika Selatan, Turki, dan Indonesia. Tidak seperti inisiatif dari negara Barat,

negara-negara demokrasi baru ini menghindari untuk memberikan tekanan kepada negara-negara-negara-negara

yang dianggap melanggar demokrasi dan HAM. . Carothers & Young (2012, p. 17) mencatat

karakteristik pendekatan demokrasi yang dilakukan oleh negara-negara demokrasi baru yaitu:

1. Mengakui kedaulatan semua negara;

2. Penekanan pada pentingnya kerjasama multilateral terutama di antara negara-negara

berkembang;

3. Memiliki tujuan untuk menjadi pemimpin di kawasan mereka dan menjadi aktor

(3)

4. Kecurigaan dengan agenda hegemonik dari geostrategi agenda;

5. Meningkatkan hubungan dengan Cina akibat kekuatan ekonomi mereka;

6. Kecenderungan yang kuat ke arah kerja saja dan konsensus dibandingkan dengan

kritik dan permusuhan.

Carothers & Young (2012, p. 17, p. 18) mencata bahwa motivasi dari negara

demokrasi baru ini dalam mempromosikan demokrasi adalah untuk menjadi aktor yang

penting dalam panggung internasional yang mereka ingin ubah. Negara-negara ini menaruh

kecurigaan pada intervensi Amerika Serikat di negara-negara berkembang. Hal ini membuat

mereka sangat berhati-hati dalam mempromosikan demokrasi dengan cara yang sama dengan

Amerika karena tidak ingin dianggap sebagai bagian dari hegemoni Amerika. Mereka

pendekatan promosi demokrasi yang mendukung kedaulatan negara dan anti intervensi

(Carothers & Young, p. 4, p. 18).

Mereka menghindari untuk memajukan demokrasi dengan cara tekanan yang

antagonistik mengingat kepentingan mereka adalah untuk mendapatkan teman baru dan

memperluas jaringan mitra dagang mereka. Menurut Carothers & Young (2012, p. 25),

politik luar negeri dari negara demokrasi baru dalam mempromosikan demokrasi sama

seperti politik luar negeri yang memeliki kepentingan sendiri. Mereka lebih tertarik untuk

memperluas dan memperkuat kekuasaan mereka dalam kaitan dengan kompetitor regional

dibandingan dengan mengharapkan dunia yang lebih demokratis.

Currie (2010, p.21) membuat laporan tentang promosi demokrasi Indonesia dan

menganalisa bahwa pemimpin Indonesia merasa terganggu dengan fakta bahwa meskipun

Asia memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun Asia tidak memiliki kemajuan

secepat Afrika dan Amerika Latin dalam HAM dan standar demokrasi. Di bawah

pemerintahan Presiden SBY, Indonesia ada dalam posisi untuk mengubah fenomena ini.

Murphy (2012) menganalisa bahwa perubahan rejim di Indonesia menuju demokrasi

memberi kontribusi pada nilai-nilai baru yang mengarah pada proyeksi demokrasi ke luar

negeri. Ia juga mencatat bahwa promosi demokrasi Indonesia sebagai usaha untuk

memperbaiki citra internasional yang rusak setelah kekerasan yang terjadi pada referendum

di Timor Leste pada tahun 1999; Bom Bali pada tahun 2002; dan konflik komunal yang

terjadi pasca era Suharto. Menurut Sukma (2008), Indonesia memerlukan citra internasional

sebagai negara demokrasi terbesar ketiga agar Indonesia dapat mempengaruhi ASEAN.

Riset yang dilakukan oleh Carothers & Young (2012) membuat pola promosi

demokrasi dari lima negara demokrasi baru, namun mereka tidak merinci sebab-sebab dari

(4)

ASEAN. Penelitian dari Carothers & Young (2012), Murphy (2012), dan Sukma (2008) tidak

melalukan ekplorasi terhadap pandangan dari para pembuat kebijakan luar negeri Indonesia

dan proses politik luar negeri yang kemudian menghasilkan keputusan untuk melakukan

promosikan demokrasi. Laporan penelitian yang dilakukan oleh Currie (2010) memberikan

gambaran tentang arsitektur dari promosi demokrasi Indonesia di masa yang akan datang

namun penelitian itu belum menjelaskan tentang asal muasal dari motivasi Indonesia dalam

mempromosikan demokrasi di ASEAN.

D. Kerangka Konsep dan Teori

Semenjak akhir tahun 1980-an, aktivitas dalam asistensi dalam promosi demokrasi

internasional semakin ekstensif. Asistensi demokrasi adalah asistensi atau program politik

yang bersikap sukarela dan atas niat baik yang kadang-kadang mengunakan bantuan finansial

dan sering menggunakan dukungan teknis dan transfer pengetahuan dan skill tentang

demokrasi dan cara untuk melembagakan demokrasi. Promosi demokrasi mencakup

pendekatan yang lebih luas atau strategi-strategi dengan menggunakan mekanisme,

diantaranya adalah tekanan diplomatik, persyaratan dalam hal bantuan, perdagangan, atau

kesepakatan politik. Pengertian tentang demokrasi oleh akademisi dan para praktisi

cenderung didominasi oleh pemahaman atas demokrasi dari Robert Dahl yang ia sebut

sebagai polyarchy (Burnell, 2008, p. 2-4).

Wolff & Wurm (2010, p. 9-12) mencatat ada tiga pendekatan umum dalam hubungan

internasional dalam mengerti promosi demokrasi yaitu: pendekatan rasional, pendekatan

reflektif, dan hybrid. Pendekatan rasional menganggap promosi demokrasi sebagai instrumen

politik luar negeri untuk mendapatkan keamanan nasional, kekuasaan, dan keuntungan

perdagangan. Oleh karena pilihan politik luar negeri dibuat pemimpin dan elit-elit politik

maka persepsi mereka menjadi penting (Rose, 1998; cf. Rose 1998, seperti dikutip dalam

Wolff & Wurm, 2010, p. 9-12). Oleh karena itu, kemajuan dari demokrasi liberal akan

membentuk nilai, kepentingan bersama dan yang lebih penting lagi adalah transparansi dari

keinginan negara. Itu akan mengurangi persepsi ancaman yang berasal dari negara lainnya

dan meningkatkan kerja sama antar negara.

Jika promosi demokrasi dianggap sebagai instrumen, maka langkah “oportunistik” ini sesuai dengan perspektif realis yang sudah dimodifikasi dalam memandang promosi

demokrasi (Schweller, 2000, as cited in Wolff & Wurm, 2010, p. 9-12). Suatu negara akan

mempromosikan demokrasi jika pemimpinnya melihat upaya ini akan membawa manfaat

(5)

merugikan keamanan nasional dan posisi relatif kekuasaan (Wolff & Wurm, 2010, p. 9-12).

Liberalisme komersial (bagian lain dari pendekatan rasional) sesuai dengan proposisi dari

realis yang termodifikasi. Perbedaannya, perspektif liberalisme komersial mengganti tujuan

keamanan dengan kepentingan ekonomi (cf. Moravcsik, 1997; Doyle, 2008, seperti dikutip

dalam in Wolff & Wurm, 2010, p. 9-12).

Tipe pendekatan yang kedua adalah pendekatan reflektif yang melihat promosi

demokrasi sebagai suatu norma. Secara umum, pendekatan reflektif pada hubungan

internasional dan politik luar negeri beranggapan bahwa aktor dan struktur-strutkur dalam

politik internasional tidak terlepas dari konteks sosial.Cara mereka melihat dunia,

tujuan-tujuannya dan preferensinya, terkonstruksi secara sosial (Harnisch, 2003; seperti dikutip

Wolff & Wurm, 2010, p. 11). Menurut pendekatan ini, norma demokrasi pada tingkat

nasional dan internasional memiliki dampak pada kebijakan luar negeri pada isu demokrasi

(Boekle et al., 1999, seperti dikutip dalam Wolff & Wurm, 2010, p. 11). Dampak politik luar

negeri sebagai akibat dari norma demokratis pada level domestik disebut dengan

Actor-Centered Constructivism dan dampak dari norma demokrasi pada level internasional disebut

dengan Sociological Institutionalism.

Pendukung Actor-Centered Constructivism berargumen bahwa negara-negara

demokrasi cenderung menginternasionalisasi norma-norma domestik. Promosi demokrasi

adalah proyeksi dari citra-diri nasional, peran dan identitas, dan budaya politik luar negeri.

Sebagai contoh, budaya politik luar negeri mencakup pandangan dunia yang mengarah pada

kesadaran dari suatu bangsa dan agency yang terkait dengan tindakan internasional

(Harnisch, 2003, as cited in Wolff & Wurm, 2010, p.11). Promosi demokrasi internasional

dapat dilihat sebagai misi moral yang melekat pada budaya politik luar negeri suatu negara

demokratis (cf. HSFK, 2008, seperti dikutip dalam Wolff & Wurm, 2010, p. 12).

Sementara Actor-Centered Constructivism menekankan pada latar belakang

sosio-kultural dari suatu politik luar negeri, Sociological Institutionalism melihat efek dari norma

internasional pada suatu politik luar negeri (Jepperson, 1996, seperti dikutip dalam Wolff &

Wurm, 2010, p. 12). Pandangan ini paralel dengan konsep English School yaitu “masyarakat internasional”, yang mengatakan bahwa sebagai persyarat untuk berinteraksi dalam sistem internasional, masyarakat internasional harus memiliki norma-norma dan aturan bersama.

Norma-norma internasional dalam konteks ini mengidentifikasi harapan-harapan bersama

dari tindakan-tindakan yang dinggap pantas (March/Olsen, 1998; cf. Müller, 2004, seperti

dikutip dalam Wolff & Wurm, 2010, p. 12). Dampak dari norma-norma internasional pada

(6)

contoh yang jelas dari pelembagaan ideologi kewargaan dan hak asasi manusia pada level

regional dan global (Jepperson et al., 1996, seperti dikutip dalam Wolff & Wurm, 2010, p.

13).

Tipe pendekatan yang ketiga adalah pendekatan hibrid dalam promos demokrasi.

Wolff & Wurm (2010, p. 13) membagi pendekatan hibrid menjadi Republican Liberalism

dan Neo-Gramscian approach. Faktor utama dalam Republican Liberalism mencakup, pada satu sisi, “moda dari representasi politik domestik” dan pada sisi lainnya adalah alokasi dari “preferensi sosial” (Moravcsik, 1997, seperti dikutip dalam Wolff & Wurm 2010, p. 13). Menurut teori ini, politik luar negeri dari suatu negara-negara demokratis dan dengan

demikian dipengaruhi oleh alokasi preferensi sosial dari suatu negara, kemampuan

kelompok-kelompok sosial untuk menyampaikan preferensi mereka, dan bentuk-bentuk

spesifik dari lembaga-lembaga politik yang mempengaruhi representasi politik dari berbagai

kelompok masyarakat. Menurut teori ini, isi dari politik luar negeri kemudian ditentukan oleh

kelompok-kelompok domestik yang terepresentasi secara politik (Moravcsik 1997, seperti

dikutip dalam Wolff & Wurm 2010, p. 13). Suatu negara akan melihat ekspansi dari

demokrasi sebagai tujuan yang penting dari masyarakat sipil dan kelompok-kelompok sosial

lainnya, demikian pula dengan opini publik yang meminta promosi demokrasi dalam politik

luar negerinya.

Robinson (1996, p. 627) menjelaskan tentang model Neo-Gramscian dalam hubungan

internasional dalam konteks promosi demokrasi. Cara terbaik untuk melihatnya menurutnya

adalah melalui dua level yaitu: struktural dan perilaku. Analisa struktural menekankan pada

peningkatan ekonomi pada tahun 1960-an dan dampaknya pada politik transnasional dan

formasi kelas, hubungan negara Utara dan Selatan, hegemoni, dan tertib dunia. Analisa

perilaku menekankan pada debat kebijakan dan diskusi penting di antara para pengambilan

keputusan tentang tipe pengaturan politik yang cocok untuk mereproduksi hubungan

Utara-Selatan dan tertib sosial dalam negara pinggiran (periperi) dalam sistem dunia.

Diplomasi Publik

Diplomasi publik adalah serangkaian aktivitas yang disponsori negara yang berupaya

mempengaruhi pendapat publik di luar negeri. Dengan demikian, itu akan menciptakan

lingkungan yang lebih kondusif bagi perapan politik luar negeri. Diplomasi publik mencakup

semua aspek diantaranya adalah program pemerintah yang informatif, siaran berita, dan

pertunjukan seni budaya. Diplomasi publik sangat terkait dengan apa yang disebut oleh

(7)

pada pengaruh yang tidak terlihat seperti budaya, nilai-nilai, dan ideologi. Nye menyebut

Soft Power sebagai kapasitas untuk mempengaruhi perilaku untuk mendapatkan apa yang

diinginkan. Nye mengklasifikasi tiga cara utama untuk mendapatkan kekuasaan yaitu:

1. Kekerasan dengan ancaman;

2. Mendorong perubahan perilaku dengan pembayaran; atau

3. Menari perhatian dan kooptasi

Cara yang ketiga adalah bentuk soft power yaitu membuat orang lain menghormati anda dan

kemudian mereka mengubah perilakunya sesuai dengan harapan anda. Dalam konteks

diplomasi publik dan soft power, promosi demokrasi internasional adalah upaya untuk

mempengaruhi negara-negara lainnya untuk mencapai kepentingan tertentu (Snow, 2009,

dalam Snow dan Taylor, Eds., p.3)

Teori Public Good

Menurut Burnell (2008, p. 8-10), public goods adalah barang-barang yang terdistribusi

untuk semua orang. Public goods tidak membuat konsumsi suatu pihak berkurang akibat

konsumsi pihak lain dan manfaat yang didapat bersifat inklusif. Di antaranya jenis-jenis

public goods, perdamaian internasional dan keamanan global digolongkan sebagai public

goods dalam hal substansi dan bentuk. Teori public good mengatakan bahwa aktor

non-negara tidak akan mampu menyediakan public goods. Burnell, 2008, p. 15). Dengan kata

lain, hanya aktor negara yang dapat mempromosikan demokrasi.

E. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi motivasi Indonesia dalam

mempromosikan demokrasi dalam ASEAN. Upaya pemerintah Indonesia untuk

mempromosikan demokrasi adalah demokrasi pada level tinggi yang melibatkan kepala

negara dan menteri luar negeri di Asia Tenggara. Sangat penting untuk mengerti proses

pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia dalam mempromosikan demokrasi oleh karena

hal tersebut akan mempengaruhi kepemimpinan Indonesia pada level regional. Penelitian ini

akan bermanfaat bagi para pengambil kebijakan luar negeri Indonesia, kalangan akademisi

hubungan internasional dan para penggiat demokrasi.

II. METODE PENELITIAN

(8)

Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretivisme. Pendekatan ini mencoba untuk

memahami dunia sosial sebagimana adanya. Tujuannya adalah untuk mendapat deskripsi

yang mendalam tentang pandangan suatu aktor (Geertz, seperti dikutip dalam Rossman and

Rallis, 2003). Manusia dilihat sebagai pencipta dari pandangannya tentang dunia dan dengan

demikian paradigma ini memandang penting agency (orang-orang) yang membentuk cara

pandang tentang dunia. Metode riset yang digunakan dalam paradigma interpretivisme adalah

humanistik yaitu interaksi tata muka baik dalam wujud wawancara mendalam maupun

observasi yang extensive ataupun kombinasi diantara keduanya (Rossman and Rallis, 2003).

B. Konsep dan Definisi

Promosi demokrasi adalah penyebarluasan nilai-nilai demokrasi di luar wilayah suatu

negara. Promosi demokrasi mencakup pendekatan yang luas atau strategi-strategi dengan

menggunakan mekanisme, diantaranya adalah tekanan diplomatik, persyaratan dalam hal

bantuan, perdagangan, atau kesepakatan politik. (Burnell, 2008, p. 2-4).

C. Asumsi

a. Negara memiliki kepentingan nasional dalam politik luar negeri.

b. Politik luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh politik domestiknya.

c. Norma-norma internasional mempengaruhi politik luar negeri suatu negara.

d. Negara akan melakukan diplomasi dalam memperjuangkan suatu agenda dalam

organisasi internasional.

D. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan pada rentang waktu sejak Indonesia memulai promosi

demokrasi internasional pada tahun 2001 sampai dengan diterimanya agenda demokrasi

dalam ASEAN pada tahun 2012.

E. Jenis Metode Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan Kualitatif adalah bentuk

penelitian yang berakar dari empirisme yaitu tradisi filosofis yang berargumen bahwa

pengetahuan didapatkan dari pengalaman langsung melalui panca indera (Rossman and

Rallis, 2003). Penelitian kualitatif adalah pendekatan umum dalam fenomena sosial yang

mana pendekatan tersebut bersifat naturalistik dan interpretatif, dan menggunakan berbagai

(9)

muncul dari penelitian kualitatif bersifat deskriptif yaitu data lebih ditampilkan dalam bentuk

kata-kata dibandingkan dengan angka (Merriam, seperti dikutip dalam Cresswell, 2002).

Tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk memahami situasi, peristiwa, peran, kelompok,

atau interaksi sosial tertentu (Silverman, seperti dikutip dalam Cresswell, 2002). Peneliti

dalam penelitian kualitatif menurut Marshall and Rosman (seperti dikutip dalam Cresswell,

2002) mendapatkan informasi melalui interaksi untuk mendapatkan perspektif dan makna

dari informan.

Jenis penelitian kualitatif dilakukan adalah penelitian kualitatif generik (umum).

Menurut Merriam (seperti dikutip dalam Cresswell, 2002), penelitian kualitatif generik

adalah metode kualitatif yang bertujuan untuk menemukan dan memahami suatu fenomena

yang didalamnya terdapat proses atau perspektif dan cara pandang dari orang-orang yang

terlibat. Penelitian kualitatif generik membuat kombinasi dari beberapa ciri-ciri dari jenis

penelitian kualitatif lainnya namun tidak membuat klaim atas satu jenis penelitian kualitatif.

F. Metode Penggalian Data

Peneliti menggunakan studi dokumen sebagai metode penggalian data. Pada umumnya

dokumen adalah segala catatan/rekaman yang memuat pikiran, tindakan dan ciptaan

seseorang (Potter, 1996). Penggalian data melalui studi dokumen dilakukan dengan

menelurusi pernyataan-pernyataan dari para pengambil kebijakan luar negeri Indonesia di

media masssa, oral history yang sudah terekam, dokumen-dokumen dari kementerian luar

negeri, dan penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan.

G. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini menggunakan unit analisis negara.

H. Analisis Data

Analisa data kualitatif adalah serangkaian proses dan prosedur untuk mengubah data

menjadi penjelasan, pengertian atau interpretasi dari orang atau fenomena yang diteliti

(Lewins, A., Taylor, C. & Gibbs). Dalam proses ini, peneliti mencari kategori atau tema dari

data mentah untuk kemudian memberikan penjelasan atas suatu fenomena. Kemudian peneliti

menganalisa hubungan antara berbagai kategori atau tema-tema yang telah teridentifikasi

sebelumnya secara induktif.

Dalam menganalisa data peneliti melakukan berbagai tahapan analisa data seperti

(10)

a. Familiarisasi. Peneliti harus mengetahui segenap material data yang dikumpulkan dan

konsekuensi dari teknik pengumpulan data.

b. Menseleksi data yang relevan dari dokumen dan menuliskan data tersebut dalam sebuah

kompilasi transkrip.

c. Organisasi data. Setelah membuat transkrip, peneliti mengorganisasikan data

sedemikian rupa agar dapat ditelusuri kembali. Misalnya kode nomer dari nama

samaran informan harus tetap bisa konsisten dengan informan yang bersangkutan.

d. Reduksi data dan coding. Data direduksi dengan coding. Coding adalah proses untuk

memeriksa bahan mentah dari data kualitatif yang ada dalam trankrip dan kemudian

membuat kode yang berbeda yang dengan mudah dapat ditelusuri kembali pada tahap

berikutnya untuk melakukan perbandingan, analisa, dan identifikasi pola. Penelitian ini

menggunakan jenis coding berdasarkan tema. Menurut Straus dan Corbin (1990),

terdapat dua jenis coding, yaitu open coding dan axial coding. Open coding, adalah

pemberian label pada frase tertentu dengan membaca rinci setiap text dari hasil

transkrip. Sedangkan axial coding adalah kategorisasi yang merupakan

pengelompokkan label-label yang telah diberikan pada kata dan frase. (Strauss &

Corbin seperti dikutip dalam Creswell, 2002 ). Dalam mereduksi data, peneliti

menggunakan perpaduan antara open coding dan axial coding.

e. Analisa. Peneliti menggunakan teknik analisa data yang oleh Ritchie and Spencer

(seperti dikutip dalam Srivastava dan Thomson, 2009) disebut dengan analisa kerangka

(framework analysis). Metode ini tidak ditujukan untuk membentuk teori baru seperti

grounded theory namun data analis berhenti pada level deskripsi atau interpretasi.

Analisis kerangka memberikan keleluasaan selama proses analisa oleh karena peniliti

dapat menganalisa selama proses pengumpulan data berlangsung ataupun setelahnya.

Pendekatan ini juga memberikan fleksibilitas dalam membuat kategori atau tema baik

sebelum penggalian data maupun setelah penggalian data (Ritchie dan Spencer, seperti

dikutip dalam Srivastava dan Thomson, 2009). Dalam hal ini, peneliti menggunakan

teknik pembuatan kategori/label setelah pengumpulan data.

I. Teknik Penyajian Data

Peneliti menggunakan teknik penyajian data berdasarakan tema-tema kunci. Setiap bab

dalam analisa data menunjukkan tema-tema yang berbeda. Temuan dalam penelitian

kualitatif terintegrasi atau terhubung dengan studi literatur dan dapat mencakup pernyataan

(11)

J. Teknik Pengambilan Kesimpulan

Pada tahap ini penulis merefrase tujuan dari penelitian dan menulis kesimpulan

berdasarkan pertanyaan riset. Kesimpulan yang dibuat oleh meneliti adalah ringkasan

(sinopsis) dari jawaban atas pertanyaan riset berdasarkan data yang telah digali. Kesimpulan

juga memuat limitasi dari penelitian ini dan kebutuhan terhadap topik-topik tertentu yang

(12)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Peran Indonesia dalam Promosi Demokrasi di ASEAN

Usulan untuk mengubah ASEAN menjadi sebuah komunitas keamanan, yang

mengharuskan ASEAN untuk menjadi sebuah entitas demokratis, pertama kali digagas oleh

Indonesia pada bulan Juni 2003 pada Pertemuan ASEAN Senior Officials yang ke-36 pada di

Phnom Penh (Kamboja). Untuk pertama kalinya pada KTT ASEAN ke-9 di Bali pada bulan

Oktober 2003, pemimpin ASEAN menempatkan demokrasi sebagai agenda bersama secara

resmi. Meskipun proposal itu menghindari referensi yang imperative pada “agenda

demokrasi” tapi yang jelas deklarasi tersebut (Bali Concord II) adalah seruan untuk

kemajuan demokrasi di Asia Tenggara. Dalam deklarasi itu disebutkan bahwa ASEAN

Security Community diharapkan mengarah pada kerja sama politik dan keamanan pada level

yang lebih tinggi untuk memastikan bahwa negara-negara di kawasan Asia Tenggara hidup

dalam damai satu sama lainnya dan hidup berdamai dengan dunia dalam lingkungan yang

adil dan demokratis. (ASEAN, 2003).

Bali Concord II (ASEAN Concord II) memberikan kerangka waktu untuk ASEAN

untuk mentransformasi dirinya menjadi ASEAN Community pada tahun 2020. Sejak tahun

2003, ASEAN mengikrarkan untuk membentuk ASEAN yang didasari oleh tiga pilar yaitu

ASEAN Economic Community; ASEAN Security Community (ASC), yang kemudian

menjadi ASEAN Political and Security Community; dan ASEAN Social and Cultural

Community. Pada bulan Desember 2005, saat ASEAN menyelenggarakan KTT yang ke-11,

negara-negara ASEAN sepakat untuk mencapai ASEAN Community tersebut pada tahun

2015.

Dalam ASEAN Security Community (ASC), negara-negara ASEAN mengakui tujuan

baru ASEAN dalam memajukan demokrasi dan penghormatan terhadap HAM. Pada tahun

2003, Indonesia mengusulkan dimasukkannya konsep Pembangunan Politik dalam Deklarasi

ASEAN Concord II. Dengan konsep pembangunan politik , Indonesia mendesak pentingnya

bagi negara-negara anggota ASEAN ( a) untuk meningkatkan partisipasi masyarakat ,

khususnya melalui pelaksanaan pemilihan umum; ( b ) untuk melaksanakan good governance

' (c ) ' untuk memperkuat lembaga peradilan dan reformasi hukum ' , dan ( d ) untuk

mempromosikan hak asasi manusia dan kewajiban melalui pembentukan Komisi hak Asasi

Manusia ASEAN . ' Proposal ini oleh Indonesia adalah terobosan baru untuk praktek kerja

ASEAN berkaitan dengan menempatkan agenda demokrasi sebagai agenda yang resmi.

(13)

Politik kemudian pada tahun 2004 masuk ke dalam ASCPA (ASEAN Security Community

Plan of Action) (Sukma, 2009).

B.Norma dan Persepsi dari Elit Pengambilan Keputusan

Politik luar negeri suatu negara banyak ditentukan oleh norma yang dianut oleh elit

pengambilan keputusan. Berbeda dengan politik domestik yang dipengaruhi oleh banyak

kelompok elit dan kekuatan massa, politik luar tidak mendapat pengaruh yang sebegitu

beragam sebagaimana halnya politik domestik. Arah dari politik luar negeri banyak

dipengaruhi oleh elit pengambilan keputusan luar negeri yang mencakup pimpinan

pemerintahan, Menteri Luar Negeri, Birokrat, think tank, dan kelompok lobby.

Pada masa pemerintahan Suharto, politik luar negeri sebagian besar ditetukan oleh

visi Presiden Suharto dan penasehat-penasehat yang sebagian besar berasal dari kalangan

militer dan teknokrat. Pola ini menempatkan Kementerian Luar Negeri lebih sebagai

pelaksana dan pembela keputusan dari Presiden Suharto. Semenjak Indonesia memasuki

demokratisasi, proses dan inisiatif pengambilan politik luar negeri juga mengalami

perubahan.

Saat Indonesia memasuki demokrasi, peran Kementerian Luar Negeri dalam

merumuskan politik luar negeri semakin signifikan. Pada masa pemerintahan Presiden

Megawati, inisiatif pembuatan kebijakan luar negeri berada pada Kemenlu dan presiden

hanya berperan dalam memberikan persetujuan. Misalnya, Presiden Megawati menunjuk

diplomat profesional dan karir, Hasan Wirajuda, sebagai Menteri Luar Negeri untuk

memimpin Kementerian Luar Negeri. Menurut Hadi Soesastro dari CSIS , Presiden

Megawati jarang memulai kebijakan dan tidak mencari nasihat dari berbagai sumber dan

hanya mengandalkan Kementerian Luar Negeri untuk memulai dan mengartikulasikan

kebijakan (Khine, 2011). Oleh karena itu, Kementerian Luar Negeri di bawah Menteri

Hassan Wirajuda menjadi sangat kuat dan berpengaruh. Presiden Susilo Yudhoyono

mengangkat kembali Hassan Wirajuda sebagai Menteri Luar Negeri dalam periode

pertamanya menjadi presiden (2004-2009). Berdasarkan konstelasi tersebut, sangat penting

untuk melihat kiprah Kemenlu Indonesia pada awal tahun 2000 sampai dengan tahun 2008

ketika nilai demokrasi dalam Piagam ASEAN sudah diratifikasi oleh semua negara ASEAN.

Promosi demokrasi Indonesia di ASEAN tidak terlepas dari visi dan keyakinan

Menlu Hassan Wirayuda tentang demokrasi sebagai masa depan perdamaian dunia.

Visinya tersebut sudah tampak saat Beliau menyampaikan pidato di Majelis Umum PBB

(14)

global umat manusia seperti perang, terorisme, penjajahan, kekerasan massal, dan

sebagainya adalah akibat hubungan manusia yang tidak seimbang. Solusinya adalah

pengakuan pada prinsip kesetaraan hak-hak dasar manusia di hadapan hukum Tuhan dan

hukum manusia. Jika manusia sudah setara, maka setiap manusia bertanggung jawab atas

tindakannya pada orang lain dan rasa keadilan tiap orang terpenuhi. Selanjutnya Beliau

juga menyampaikan bahwa tantangan umat manusia ke depan adalah memastikan

demokrasi dapat bekerja dan membawa kehidupan yang lebih baik bagi umat manusia.

Dalam setting demokrasi, tiap orang berkomitmen pada persamaan derajat, setiap hidup

manusia sama berharganya dengan manusia lain. Gagasan Indonesia pada sidang umum

PBB itu menawarkan demokrasi sebagai jawaban atas masalah kesejateraan umum dan

perdamaian dunia. Melalui Menlu Hassan Wirajuda, Indonesia menyampaikan pesan

bahwa demokrasi menjadi instrumen untuk mencapai perdamaian dan kesejahteraan.

Beliau masih menunggu perkembangan politik dalam negeri untuk mendapatkan

momen yang tepat untuk memulai promosi demokrasi setidaknya pada level regional.

Promosi demokrasi Indonesia dilakukan oleh Kemenlu dengan mempertimbangkan

momen saat Indonesia memasuki konsolidasi demokrasi yang berarti bahwa sebagian

besar rakyat Indonesia percaya dengan demokrasi dan tidak ingin kembali lagi pada

rezim diktator. Seperti yang disampaikan oleh Mantan Menlu Hassan Wirajuda (2013)

pada wawancara untuk keperluan Oral History di Kantor the Institute for Peace and

Democracy,

”In the history of Indonesian diplomacy the promotions of democracy for the first time in Indonesian diplomacy started activity in 2002 in particular when we began to project the values democracy both as a universal value as well as our own value……. Our democratic gains was still very much in its infancy. But we can say that even by 2002 following the successful election result 1999 we can conclude that democracy has began to take its root in our society at least when the first time Indonesian began to enjoy freedoms since 1999 by year 2002 we can be very sure that those freedoms cannot easily be taken back. And people would oppose or rebels against it.”

Jika Kemenlu Indonesia memulai promosi demokrasi pada saat Indonesia belum

memasuki tahap konsolidasi demokrasi tentulah akan sangat berisiko. Hal ini disebabkan

karena negara yang masih mengalami transisi demokrasi masih memiliki kemungkinan

untuk kembali pada sistem pemerintahan diktator jika sebagian besar masyarakatnya

merasa demokrasi tidak lebih baik dari rezim sebelumnya. Jika itu terjadi pada

Indonesia, maka promosi demokrasi Indonesia ke ASEAN akan menjadi bumerang dan

(15)

Visi dari Menlu Hassan Wirajuda juga didukung oleh perubahan rekrutmen

diplomat Indonesia yang dimulai pada masa kepemimpinan Menlu Hassan Wirajuda.

Umar Hadi yang menjabat sebagai Direktur Diplomasi Publik semenjak tahun 2005 dan

menjadi tokoh penting dalam penyelengaraan Bali Democracy Forum pada tahun 2008,

mengakatakan bahwa Menlu Hassan Wirajuda melakukan restrukturisasi dalam

Kementerian Luar Negeri dengan merekrut diplomat yang memiliki pendidikan yang

baik. Seperi yang dikatakan oleh Jusuf Wanadi dari CSIS, "Hari ini Indonesia memiliki

sekelompok diplomat muda yang terdidik dan fasih dalam bahasa Inggris dan memiliki

sense yang tinggi terhadap tujuan politik luar negeri . Meskipun krisis dan keterbatasan

anggaran , Indonesia telah mampu mengembangkan kelompok yang solid dan efektif ".

Dengan belakang pendidikan Barat dan rasa percaya diri telah muncul di kalangan

diplomat Indonesia untuk membawa pengalaman Indonesia dalam transisi demokrasi ke

forum regional dan internasional. Mereka sangat percaya bahwa sebagai negara paling

demokratis di Asia Tenggara , Indonesia harus berbagi atau mencerminkan pengalaman

demokratis dengan sesama anggota ASEAN melalui kerja sama . Bertentangan dengan

persepsi umum bahwa situasi politik dan ekonomi dalam negeri Indonesia yang masih

berantakan, mereka memiliki keyakinan yang kuat bahwa transformasi politik dalam

negeri di Indonesia akan berlangsung dengan damai. Mereka menganggap diri mereka

sebagai promotor utama prinsip-prinsip demokrasi di tingkat regional (ASEAN) .

Mereka yakin bahwa Indonesia dapat memberikan kontribusi untuk meningkatkan

persatuan dan kerja sama ASEAN.

Di samping melihat faktor Menlu dan para diplomat kemenlu, sangat penting juga

untuk melihat pengaruh elit lainnya dalam formulasi politik luar negeri Indonesia dalam

mempromosikan demokrasi di ASEAN. Peran CSIS sebagai lembaga think tank turut

membeli andil dalam inisiatif Indonesia ini. Meskipun tidak memiliki hubungan

kelembagaan dengan Kemenlu, peneliti dari CSIS teruta Rizal Sukma memiliki

hubungan personal yang baik dengan pejabat Kemenlu. Di samping itu, keahlian CSIS

dalam urusan hubungan luar negeri tidak terbantahkan. Melalui hubungan yang baik

tersebut, CSIS bekerja secara langsung dengan Menteri Luar Negeri dan beberapa

Direktur Jenderal dari Kementerian Luar Negeri . Pada tahun 2003, ketika Indonesia

mempersiapkan gagasan ASC , CSIS memberikan masukan kebijakan kepada

Kementerian Luar Negeri dan memberikan dukungan pemikiran selama proses negosiasi

di tingkat regional . Rizal Sukma dari CSIS bekerja sama dengan Kementerian Luar

(16)

Natalegawa seperti (Menteri Luar Negeri saat ini) , dan Umar Hadi ( Direktur Diplomasi

Publik) yang saat itu merupakan mantan asisten pribadi Menteri Hassan Wirajuda.

Mereka adalah teman-temannya atau teman sekelas di universitas . Melalui mereka , ia

bekerja dengan Menteri Luar Negeri dan Direktur Jenderal - dari masing-masing

departemen dari Kementerian Luar Negeri .

Keterlibatan Rizal Sukma dalam sebagian besar perumusan konsep ASC pada

tahun 2003 dan negosiasi lanjutan di tingkat regional pada tahun 2003-2004

didasarkan pada hubungan pribadi dengan pejabat di Kementerian Luar Negeri.

Rizal mengakui bahwa hubungan pribadinya dengan pejabat-pejabat di Kemenlu

memberikan warna dalam hubungan kerja mereka. Rizal Sukma menjelaskan

(Khine, 2008),

Usulan ASEAN untuk menjadi suatu komunitas pada awalnya diarahkan

semata-mata untuk menjadi ASEAN Economic Community seperti yang diusulkan oleh

Singapura. Menlu Hassan Wirajuda melihat bahwa komunitas yang hanya menekankan

pada aspek ekonomi tidak akan menghasilkan kestabilan dan pembangunan ekonomi yang

berkelanjutan. Dalam berbagai seminar dan workshop yang didata setelah beliau selesai

menjabat, Mantan Menlu ini menekankan bahwa pemerintahan yang diktator justru dapat

membawa pembangunan ekonomi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, sepeti yang

dialami oleh Indonesia pada masa pemerintahan Suharto dengan pertumbuhan ekonomi

rata-rata 7% tiap tahunnya. Namun, kondisi ekonomi akan membuat masyarakat meminta

ruang kebebasan berexpersi yang tidak bisa diberikan oleh rezim yang diktator.

Akibatnya, waktulah yang menentukan perubahan politik menuju transisi demokrasi

sebagai perwujudan dari permintaan publik yang menuntut ruang politik (Wirajuda,

2013).

Atas dasar norma dan persepsi tersebut, pada akhir tahun 2002 segera setelah

Singapura datang dengan konsep ASEAN Economic Community, Kementerian Luar

Negeri meminta CSIS (Centre for Strategic dan International Studies), untuk memberikan

masukan ide untuk menyeimbangkan kerjasama ASEAN antara ekonomi dan keamanan.

Kemudian diskusi informal dan intensif dimulai antara Kementerian Luar Negeri

(17)

menangani kerjasama regional pada waktu itu seperti Makarim Wibisono, Direktur

Jenderal Kerjasama Regional Asia dan Afrika , Gary M. Jusuf, Direktur Kerjasama

ASEAN, dan diplomat muda yang bekerja di kantor Menteri Luar Negeri dan beberapa

peneliti dari CSIS seperti Jusuf Wanadi, Hadi Soesatro dan terutama, Rizal Sukma .

Pembahasan terutama difokuskan pada tantangan utama dari ASEAN, dan cara bagi

Indonesia untuk dapat mencapai perannya kembali di ASEAN.

Selama diskusi, Menlu Hasan Wiyaruda menyatakan keprihatinannya atas ASEAN

pada waktu itu. Perhatian pertama adalah tentang ketidakseimbangan dalam kerjasama

ASEAN. Beliau merasa bahwa selama 35 tahun terakhir, sejak berdirinya ASEAN, telah

terjadi ketidakseimbangan dalam kerjasama ASEAN. Meskipun ASEAN diciptakan

dalam konteks politik saat itu, untuk mengatasi konflik antara Indonesia, Malaysia dan

Singapura, tetapi selama bertahun-tahun , ASEAN terlalu terfokus pada kerjasama

ekonomi. Beliau juga berpikir bahwa ASEAN perlu memperbaiki keseimbangan dalam

kerjasama dan bagaimana mengatasi kebuntuan dan mencapai kerjasama politik dan

keamanan.

Perhatian kedua adalah relevansi ASEAN dalam perubahan lingkungan keamanan

global dan regional. Menlu Wirajuda merasa bahwa karena proses pembesaran

keangotaannya, ASEAN memiliki perbedaan di antara anggotanya dalam hal

pengembangan politik maupun ekonomi . Tantangan keamanan non-tradisional dalam

perubahan lingkungan keamanan global dan regional memerlukan penanganan yang

terpadu dan efektif di ASEAN.

Perhatian Menteri Hassan Wirajuda pada waktu itu adalah bagaimana ASEAN

dapat diintegrasikan dan terkonsolidasi dalam rangka mempertahankan relevansinya

dalam dunia yang terus berubah . Kementerian Luar Negeri dan CSIS melakukan

konsultasi yang intensif sepanjang akhir 2002 sampai Maret 2003. Menurut Rizal

Sukma, istilah "Komunitas Keamanan ASEAN" lahir melalui serangkaian diskusi ini

informal dan pertama kali muncul dalam concept paper yang diterbitkan tanggal Januari

2003 (Khine, 2011).

Rizal Sukma memberikan kontribusi pemikiran mengenai pentingnya

memasukkan HAM sebagai bagian dari ASC. Namun ia tidak setuju dengan gagasan

untuk memasukkan demokrasi sebagai nilai regional. Menurutnya, tidak mungkin untuk

(18)

demokrasi dalam ASEAN. Seperti pidatonya pada Sidang Umum PBB pada tahun 2001

yang menunjukkan keyakinannya pada demokrasi sebagai solusi global, Menlu Hassan

Wirajuda merasa bahwa itu tidak cukup untuk memperbaiki hanya hak asasi manusia di

ASEAN tetapi juga perlu mengembangkan kondisi politik internal negara anggota

anggota. Menlu Hassan Wirajuda sendiri percaya bahwa itu penting penting untuk

memberikan prioritas bagi tata pemerintahan yang baik, lembaga-lembaga demokrasi ,

partisipasi masyarakat dalam politik , dan hak asasi dalam rangka mengurangi

keragaman anggota dalam pembangunan politik. Baginya akan menjadi sulit bagi

ASEAN untuk memiliki identitas bersama dan bekerja sama apabila dalam hal orientasi

politik, negara-negara anggotanya masih terbelah antara negara demokrasi,

semi-demokrasi, dan non-demokrasi (Wirajuda, 2013).

Baginya saat itu yang terpenting adalah mengangkat isu demokrasi itu dalam

diskusi negara-negara ASEAN, apapun nanti bentuk kerja sama yang mungkin dilakukan. Oleh karena alasan itulah, Indonesia memasukkan “promosi demokrasi” di bawah seksi “pembangunan politik” ketika Indonesia membuat draft ASC dalam Bali Concord II. Sehubungan dengan inisiatif berani Indonesia yang mengambil inisiatif dalam mengeluarkan gagasan “Pembangunan Politik" dalam usulan ASC, Mantan Menlu Hassan Wirajuda menjelaskan (Khine, 2008),

“…Our ten countries of ASEAN are comprised of countries of different political system……Talking about politics within ASEAN is regarded as a sensitive issue. …We have talked about economic cooperation but we don’t touch the politics. …If we don’t fix this problem, it will be handicapped for ASEAN and it cannot be a strong ASEAN. That’s why, I proposed the idea of “political development” in order to narrow down the political orientation within ASEAN but we are not talking about one model of democracy.”

Promosi demokrasi Indonesia di ASEAN menujukkan ada kebanggaan baru yang

dimiliki oleh elit-elit politik Indonesia pasca reformasi. Mereka, seperti yang dikatakan

diplomat Umar Hadi, melihat bangsanya sebagai pembawa standar di Asia tentang

"modernitas, Islam moderat dan nilai-nilai demokrasi." Indonesia membuat Jepang dan

India (dua negara demokrasi yang sudah mapan di Asia) merasa malu karena Indonesia,

negara Asia yang baru memulai demokrasi pada tahun 1999 sudah mampu mempromosikan

demokrasi ke luar negeri (Acharya, 2009).

Kebanggaan yang baru itu muncul sebagai bentuk respon dari elit politik luar negeri

Indonesia yang telah lama berada pada posisi yang dipojokkan akibat catatan buruk

(19)

diplomasi Indonesia pada masa Orde Baru menjadi sesuatu kekuatan yang layak dibanggakan

pada sekarang ini. Promosi demokrasi Indonesia telah mendapat rasa hormat dari dunia

internasional. Perubahan dari kelemahan menjadi kekuatan diplomasi tersebut terungkap dari

pernyataan Menlu Hassan Wirajuda ketika Beliau diwawancarai oleh wartawan pada bulan

Oktober 2001 (Democracy Coalition Project, n.d),

“For a long time, the Indonesian public did not quite see human rights in the same way that the international public did. This discrepancy in perception became a constraint in the development of our foreign relations. We will do our best to remove that perception gap.”

Kebanggaan lainya dari elit politik luar negeri Indonesia adalah promosi demokrasi

yang dilakukan oleh Indonesia di level ASEAN adalah antitesa dari pendekatan demokrasi

yang dilakukan oleh negara-negara Barat terutama Amerika Serikat yang memaksakan model

Demokrasi Barat untuk diterapkan di negara-negara yang sedang mengalami transisi

demokrasi. Pendekatan demokrasi yang dilakukan Indonesia dilakukan secara inklusif dan

tanpa paksaan.

Dengan latar belakang pendidikan Barat, para pejabat di Kemenlu sangat

terekspos dengan demokrasi sebagai norma dan security community sebagai suatu bentuk

pendekatan dalam mencapai perdamaian. Sebagai norma, elit politik luar negeri

Indonesia dipengaruhi teori Democratic Peace yang menyatakan bahwa negara yang

demokratis tidak akan melakukan agresi terhadap negara demokratis lainnya. Di samping

itu negara yang demokratis menurut teori ini akan menciptakan perdamaian di wilayah

domestik negara tersebut. Inisiatif Indonesia tampak sejalan dengan norma ini. Pada

tahun 2003, Indonesia mengusulkan bahwa negara-negara ASEAN yang sebagian besar

dari non-demokrasi, ditransformasi menjadi komunitas keamanan dengan demokrasi

dan penghormatan pada hak asasi manusia sebagai landasannya. Kemudian pada tahun

2006 dan 2007, Indonesia mendesak memasukkan demokrasi dan hak asasi manusia di

piagam ASEAN.

Dengan memperjuangkan security community sebagai suatu pendekatan untuk

mencapai perdamaian, tampak bahwa elit politik luar negeri dipengaruh oleh pemikiran Karl

Deutch yang pertama kali menggagas konsep security community. Security community

sebagai kerangka konseptual pertama kali dikembangkan oleh Karl W. Deutsch dan

rekan-rekannya dalam buku mereka , Political Community and the North Atlantic Area:

International Organization in the Light of Historical Experience, pada tahun 1957.

(20)

komunitas keamanan. Pada tahun 1998 , Michael Barnett dan Emanuel Adler dalam buku

mereka, Security Communities, mendefinisikan "komunitas keamanan pluralistik" sebagai

"suatu wilayah transnasional yang terdiri dari negara-negara berdaulat yang di dalamnya

mempertahankan harapan-harapan mereka tentang perubahan secara damai". Dengan kata

lain , komunitas keamanan adalah pengelompokan regional yang telah meninggalkan

penggunaan kekuatan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik intra-regional. Menurut

pandangan Karl W. Deutsch dan sarjana lainnya seperti Emanuel Adler dan Michael Barnett,

"saling ketergantungan ekonomi dan demokrasi liberal" adalah prasyarat penting bagi

pengembangan komunitas keamanan. Komunitas keamanan sejati, menurut mereka, adalah

"komunitas keamanan yang demokratis" (Leifer, 2003).

Konsep komunitas keamanan menggambarkan kelompok negara-negara yang

mengembangkan kebiasaan interaksi damai dalam waktu yang panjang dan

mengesampingkan penggunaan kekuatan dalam menyelesaikan perselisihan dengan anggota

lain dari kelompok negara tersebut. Dalam teori hubungan internasional, konsep tersebut

memiliki dua arti dua. Pertama, meningkatkan kemungkinan bahwa melalui interaksi dan

sosialisasi, negara dapat mengatasi anarki dan bahkan keluar dari situasi dilema keamanan.

Kedua , konsep ini menawarkan kerangka teoritis dan analitis untuk mempelajari dampak

lembaga internasional (termasuk regional ) dalam mempromosikan perubahan secara damai

dalam hubungan internasional. Gagasan komunitas keamanan adalah perspektif integral yang

melihat hubungan internasional sebagai proses pembelajaran sosial dan pembentukan

identitas, didorong oleh pertukaran, interaksi dan sosialisasi(Leifer, 2003). Konsep tentang

security community dalam wacana akademik mempengaruhi cara pandang Kemenlu untuk

mengartikan security communty untuk konteks ASEAN. Pada tahun 2003, Kemenlu

Indonesia setelah mendapat berbagai masukan terutama dari Rizal Sukma (CSIS), mengeluarkan dokumen “Non-Paper” yang mengartikan ASEAN Security Community sebagai,

“A group of countries that have achieved a condition in which each member regards its own security as fundamentally linked to those of the others. They deem their collective destiny as bound by common norms, history, political experience, and geographic location and rule out the use of force as means of problem-solving”. (Kemenlu Indonesia, seperti dikutip dalam Khine, 2003).

Dengan kata lain, menurut Indonesia, security community adalah pengelompokan

negara secara regional yang sepenuhnya tidak menggunakan kekuatan paksa untuk

(21)

C. Promosi Demokrasi sebagai Instrumen Politik Luar Negeri

Wolff &Wurm (2010) melihat bahwa suatu negara akan mempromosikan demokrasi jika

pemimpinnya melihat upaya ini akan membawa manfaat untuk meningkatkan situasi

geostrategis dari satu negara dalam jangka panjang, tanpa merugikan keamanan nasional dan

posisi relatif kekuasaan. Atau dengan kata lain, upaya upaya promosi demokrasi adalah

bagian dari upaya untuk mendapatkan atau meningkatkan power dari suatu negara. Power

menurut Joseph Nye (2004) adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain sesuai

dengan keinginan pelaku. Menurutnya power dapat dibedakakan menjadi hard power dan soft

power. Hard Power adalah paksaan atau ancaman dan juga bujukan dengan uang. Josep Nye

(2004) yang mempopulerkan istila soft power mengatakan bahwa soft power adalah bentuk

power yang membuat orang lain menghormati pelaku dan akibatnya mereka akan berbuat

seperti yang diharapkan pelaku.

Soft power adalah pendekatan yang digunakan dalam diplomasi publik. Seperti yang

disampaikan oleh Jan Melissen (2005), diplomasi Publik adalah usaha negara untuk

menciptakan opini atau mengubah opini di level internasional dengan cara berinteraksi aktor

negara maupun aktor non-negara baik lembaga ataupun individu. Untuk melaksanakan public

diplomacy tersebut pemerintah dari suatu negara akan melakukan komunikasi dengan publik

di luar negeri untuk memberikan pengertian tentang cita-cita, tujuan, budaya, serta kebijakan

pemerintahnya (Tuch, 1990).

Semenjak masa pemerintahan Presiden Suharto sampai dengan Presiden Yudhoyono,

dukungan negara-negara bagi pemenuhan kepentingan nasional menjadi salah satu faktor

yang penting. Dukungan itu berupa pijaman lunak, bantuan teknis, penjualan senjata dan

perlengkapan militer, pelatihan militer, dan dukungan terhadap integritas wilayah RI. Insiden

di Timor-Timur pasca jajak pendapat pada tahun 1999 dianggap oleh negara-negara Barat

sebagai kesalahan dari militer Indonesia sebagai pihak yang dianggap ikut berperan dalam

peristiwa kerusuhan tersebut. Akibat tuduhan pelanggaran HAM oleh militer Indonesia

mendapat sanksi dari pemerintah Amerika Serikat berupa embargo militer. Dengan embargo

tersebut Indonesia cukup kesulitan untuk membeli suku cadang untuk pesawat dan

pelengkapan militer lainnya yang telah diimpor dari Amerika Serikat.

Upaya Indonesia untuk mempromosikan demokrasi melalui kebijakan luar negerinya

adalah bagian dari diplomasi publik untuk mengubah citra Indonesia dalam hal isu HAM.

(22)

penting untuk memperbaiki citra internasional setelah insiden pasca jajak pendapat di Timor

Timur pada tahun 1999, Bom Bali pada Oktober 2002 yang dilakukan oleh Jamaah Islamiyah

(JI), kelompok teroris Asia Tenggara yang memiliki jaringan dengan Al Qaeda, dan

kekerasan komunal yang meletus pada masa-masa awal pemerintahan pasca-Suharto. Seperti

yang dikatakan oleh Dewi Fortuna Anwar, seorang akademisi dan penasihat kebijakan luar

negeri yang berpengaruh dalam pemerintahan Presiden BJ Habibie berpendapat, "Identitas

Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia perlu dibangun sebagai citra

utama dari negara ini" (Sukma, 2011).

Upaya untuk mencitrakan diri sebagai negara yang demokratis, negara mayoritas

Muslim yang harmonis dengan modernitas, dan sebagai negara yang mempromosikan

demorasi di ASEAN, serta negara yang menyuarakan kepentingan negera berkembang,

tampak dalam pidator Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005 dalam

Indonesian Council on World Affairs. Presiden Indonesia ini mengatakan,

“We are a proud nation who cherish our independence and national unity. We are the fourth most populous nation in the world. We are home to the world’s largest Muslim population. We are the worlds third largest democracy. We are also a countr y where democracy, Islam and modernity go hand-in-hand. We will stay our course with ASEAN as the cornerstone of our foreign policy. And our heart is always with the developing world, to which we belong. These are the things that define who we are and what we do in the community of nations,”

Upaya ini tampaknya memberikan perubahan terhadap citra Indonesia dalam isu

HAM. Indonesia mendapat pengakuan dari banyak negara-negara Barat sebagai negara yang

melalui transisi demokrasinya dalam waktu yang cepat dan sebagai negara yang gigih

memperjuang agenda demokrasi dan HAM di organisasi regional di Asia Tenggara

(ASEAN). Dalam perspektif diplomasi publik, perubahan opini internasional tersebut adalah

suatu pencapaian bagi Indonesia terlebih lagi perubahan opini tersebut memberikan dampak

langsung dalam waktu yang relatif pendek.

Perubahan opini internasional terhadap Indonesia berkontribusi pada dicabutnya

embargo militer Amerika Serika pada bulan November 2005. Pengumuman itu terjadi hanya

beberapa hari setelah Presiden George W. Bush bertemu dengan Presiden Indonesia

Yudhoyono pada konferensi Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Pemerintahan Bush

mengklaim bahwa mengakhiri embargo senjata dan modernisasi Tentara Nasional Indonesia

akan membantu mengatasi masalah keamanan di Indonesia seperti terorisme, pembajakan

maritim, perdagangan narkotika, penyakit pandemik, dan penanggulangan bencana. Menurut

(23)

di dunia dan negara demokrasi terbesar ketiga, adalah suara moderat di dunia Islam dan

memainkan peran strategis yang unik di Asia Tenggara.” (Morrissey, 2013)

Sebelum penghentian embargo tersebut, pada bulan Februari 2005, Washington

memulihkan kelayakan Indonesia untuk mengikuti International Military Education and

Training Program dalam rangka untuk peningkatan kualitas korps perwira dari negara

peserta. Pada bulan Mei 2005, Amerika Serikat menghapus pembatasan alat utama sistem

persenjataan yang tidak mematikan seperti komunikasi dan sistem transportasi. Keputusan

lainnya dari AS adalah mencabut larangan penjualan persenjataan mematikan dan peralatan

terkait.

Mendapat opini yang positif dari pemerintahan negara asing menujukkan bahwa

promosi demokrasi oleh Indonesia telah berhasil memenuhi tujuan perubahan citra Indonesia.

Kebijakan luar negeri yang dengan halus menekan Myanmar untuk mendemokratisasikan

dirinya telah mendapat pujian dari pejabat tinggi pemerintah asing. Menteri Luar Negeri

Australia Kevin Rudd berkomentar, "Saya mengucapkan selamat kepada Indonesia melalui

ASEAN atas diplomasi yang halus terkait dengan Burma. Ini telah menjadi pekerjaan yang

baik dari teman-teman kita di ASEAN, dan pekerjaan yang baik khususnya oleh Menteri Luar

Negeri Natalegawa" (Murphy, 2011). Pujian serupa juga disampaikan Samantha Power,

direktur organisasi multilateral dan hak asasi manusia di Dewan Keamanan Nasional AS. Ia

mengatakan bahwa pengalaman domestik Indonesia dan pendekatan yang rendah hati,

membuat orang-orang Myanmar melihat Indonesia sebagai tutor demokrasi lebih dapat

diterima. Ia mengatakan, “ada kalanya negara-negara yang tidak demokratis lebih bisa

dibujuk oleh Indonesia dibandingkan oleh Amerika Serikat” (Murphy, 2011).

Upaya promosi demokrasi Indonesia di kawasan Asia Tenggara juga adalah intrumen

dari politik luar negeri Indonesia untuk meningkatkan power dan kepemimpinannya. Melalui

cara itu, Indonesia mendapatkan nilai tawar yang tinggi ketika berhadapan dengan

negara-negara besar lainnnya terutama dengan negara-negara-negara-negara Barat. Dengan menjadi negara-negara yang

terbesar dari segi penduduk dan wilayah serta sebagai salah satu negara pendiri ASEAN,

Indonesia menjadikan pengalaman transisi demokrasinya yang unik sebagai modal dalam

memberikan visi bagi ASEAN community terutama dari aspek political security. Masuknya

gagasan Indonesia dalam piagam ASEAN menujukkan pengaruh dan kepemimpinan

Indonesia dalam ASEAN yang kemudian akan menjadi modal berharga dalam posisi

tawarnya dengan negara-negara besar terutama negara-negara Barat.

Posisi tawar Indonesia itu semakin tinggi, di dukung posisinya sebagai satu-satu

(24)

dari negara-negara Barat terhadap perkembangan politik dan ekonomi di Cina dan Rusia. Dua

negara ini adalah negara yang tidak digolongkan sebaga negara demokratis namun memiliki

tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi. Pihak Barat mengkhawatirkan jika negara-negara

yang masih otoriter menjadi Cina dan Rusia sebagai model dalam menata ekonomi dan

politik di negaranya masing-masing yang akan mengarah pada rezim otoriter dengan

pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Kecenderungan itu akan membahayakan kepentingan Barat dalam penetrasi

kapitalnya dan juga akan memperkuat pengaruh Cina dan Rusia yang menjadi kompetitor

dalam politik internasional. Tidak mengherankan pemerintah Amerika Serika dalam konteks

memberikan dukungan yang luas bagi inisitatif Indonesia dalam mempromosikan demokrasi

di ASEAN dan juga di Asia Pasifik oleh karena sangat selaras dengan kepentingan Amerika.

Judith McHale, Wakil Menlu AS untuk urusan Diplomasi Publik dan Urusan Publik yang

memimpin delegasi AS sebagai observer dalam BDF (Bali Democracy Forum) pada tahun

2010 memuji BDF dan menjanjikan dukungan penuh AS bagi upaya Indonesia. AS juga

memberikan dukungan Indonesa dalam mempromosikan demokrasi di ASEAN dan Burma.

Pemerintahan Obama secara publik mengakui kebijakan negaranya dalam mengisolasi Burma

hanya membuahkan hasil yang sedikit dan bahkan mendorong Burma untuk mendekat ke

Cina. Presiden Obama dalam pernyataannya pada East Asian Summit di Bali mengatakan

bahwa Aung San Suu Kyi telah mendorong rencana AS untuk berinteraksi dengan rejim

Burma. Hal tersebut menunjukkan bahwa AS cenderung akan memiliki kesamaan dengan

kebijakan Indonesia terhadap Burma (Myers, 2011). Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa

AS mengakui kebijakan Indonesia yang lebih efektif dalam berhubungan dengan Burma atau

(25)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Perubahan struktur politik saat Indonesia memasuki demokrasi memberikan

kewenangan yang besar bagi Kemenlu untuk merusukan visi politik luar negeri Indonesia.

Visi dari Menlu Hassan Wirajuda berpengaruh penting dalam rancang bangun politik luar

negeri Indonesia dalam promosi demokrasi di kancah internasional. Visi dari Menlu Hassan

Wirajuda diikuti dengan perubahan rekrutmen diplomat yang didasarkan pada merit system

yang mencakup latar belakang pendidikan yang berkualitas. Di samping Kemenlu, lembaga

think tank seperti CSIS turut memberi andil dalam formulasi kebijakan RI dalam promosi

demokrasi di ASEAN. Mereka yang sebagian diantaranya memiliki hubungan pertemanan

yang baik juga memiliki norma dan persepsi yang serupa dalam melihat posisi strategis RI

untuk mempromosikan HAM dan demokrasi di ASEAN. Norma tersebut didapatkan akibat

terexposed dengan wacana akademik saat mereka belajar di luar negeri tentang demokrasi

sebagai suatu nilai dan security community sebagai pendekatan dalam mencapai perdamaian

di kawasan regional. Mereka terinspirasi oleh pemikiran security community dari Karl W.

Deutsch dan sarjana lainnya seperti Emanuel Adler dan Michael Barnett. Komunitas

keamanan sejati, menurut mereka, adalah komunitas keamanan yang demokratis.

Promosi demokrasi dalam pandangan realis adalah instrumen untuk mendapatkan atau

meningkatkan soft power dari suatu negara. Upaya Indonesia untuk mempromosikan

demokrasi melalui kebijakan luar negerinya adalah bagian dari diplomasi publik untuk

mengubah citra Indonesia dalam hal isu HAM yang memiliki citra buruk pasca insiden

kerusuhan saat jajak pendapat di Timor Timur dan kerusuhan etnis pada masa awal reformasi.

Mendapat opini yang positif dari pemerintahan negara asing menujukkan bahwa promosi

demokrasi oleh Indonesia telah berhasil memenuhi tujuan perubahan citra Indonesia.

Perubahan opini itu berdampak pada dicabutnya embargo militer Amerika Serika pada bulan

November 2005. Melalui promosi demokrasi di ASEAN, Indonesia mendapatkan nilai tawar

yang tinggi ketika berhadapan dengan negara besar lainnya terutama dengan

negara-negara Barat. Negara-negara-negara Barat sangat berkepentingan dengan upaya Indonesia ini untuk

mencegah negara-negara otoriter atau negara yang masih mengalami transisi politik, merujuk

pada sistem politik Rusia dan Cina yang otoriter namun memiliki tingkat pertumbuhan

ekonomi yang tinggi.

Mengingat pentingnya upaya promosi demokrasi ini bagi politik luar negeri

Indonesia, maka upaya ini sebaiknya tidak berhenti di tengah jalan dan harus diupayakan agar

(26)

baru berhasil meletakkan nilai demokrasi dan HAM dalam piagam ASEAN dan menjadikan

demokrasi sebagai agenda dari masyarakat ASEAN. Oleh karean ASEAN akan menjadi suatu

komunitas pada tahun 2015, maka interaks antar aktor non-negara dalam meningkatan

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Acharya, A. (2009). Indonesia: Asia’s emerging democratic power?Retrieved September 15,

2013, from

http://www.asiapacific.ca/editorials/canada-asia-viewpoints/editorials/indonesia-asias-emerging-democratic-power

Alexandara, L.A. (2013). Indonesia’s chairmanship: What are the priorities. Retrieved

September 29, 2013, from www.csis.or.id/post/indonesia’s

-chairmanship-what-are-priorities

ASEAN (2006). Report of the eminent group. Retrieved September 20, 2013, from

http://www.asean.org/asean/asean-charter/eminent-persons-group-epg-on-the-asean-charter-2006.

Budianto, C. (2010, April 30). RI poised to show more leadership. The Jakarta Post.

Burnell, P. J. (2008) International democracy promotion: a role for public goods theory?

Contemporary Politics, 14 (1), 37-52. Retrieved from

http://dx.doi.org/10.1080/13569770801913249

Carothers T. & Youngs, R. (2011). Looking for help: Will rising democracies become

international democracy supporters? critical mission: Essays on democracy

promotion. Washington: Carnegie Endowment for International Peace. Retrieved

fromcarnegieendowment.org/files/Rising_democracies_final.pdf.

Currie, K. (2010). Asia’s emerging human rights and democracy architecture. Arlington:

Project 2049 Institute. Retrieved from

http://project2049.net/documents/mirage_or_reality_asias_emerging_human_rights_a

nd_democracy_architecture_currie.pdf.

Democracy Coalition Project (n.d.) Defending democracy: A dlobal survey of foreign policy

trends 1992-2002: Indonesia. Retrieved September 13, 2013, from

(28)

Jones, D.M. (2008). Security and democracy: The ASEAN charter and the dilemmas of

regionalism in South-East Asia. International Affairs, 84(4), 735–756. Retrieved

October 1, 2013, from

http://www.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1468-2346.2008.00735.x/pdf.

Kemenlu. (n.d.), Participant, Retrieved September 1, 2013, from

http://bdf.kemlu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=447&Itemid

=375&lang=en.

Khine, K.K. (2011). The making of Indonesia’s concept of ASEAN security community.

University Research Journal. Retrieved September 29, 2013, from

www.myanmar-education.edu.mm/moe.../17_Kyawt_Kyawt_Khine.pdf.

Leifer, M. (Ed.). (2003). Constr ucting a secur ity community in

Southea st Asia : P olitics in Asia ser ies. London: Routledge

Melissen, J. (Ed.). The new public diplomacy: Soft power in International Relations. New

York: Palgrave Macmillan

Murphy, A.M. (January, 2012). Democratization and Indonesian foreign policy: Implications

for the United States. Asia policy, 13, Retrieved September 1, 2013, from

http://www.nbr.org/publications/element.aspx?id=573.

Myers, S.L. (2011, November 30). Clinton arrives in Myanmar. New York Times.

Nye, J.S. (2004). Soft power: The means to success in world politics. New York: Public

Affairs.

Reuter. (n.d.), ASEAN to push Myanmar on democracy, wants sanctions lifted. Retrieved

September 6, 2013, from

(29)

Sukma, R. (2008). Indonesia’s foreign policy since reformasi: Change and continuity. South

East Asia Bulletin. Retrieved September, 2, 2008, from

http://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/A50E424F2181FFA88525746C00

6A18F1-Full_Report.pdf.

Sukma, R. (2009). Democracy building in South East Asia: The ASEAN security community

and options for the European Union. Stockholm: International IDEA

Sukma, R. (2011). Indonesia finds a new voice. Journal of Democracy, 22(4), 112

Robinson, W.I. (October, 1996). Globalization, the World System, and “Democracy

Promotion”. Theory and Society. 25 (5). 615-665. Retrieved August 29, 2013, from

www.nyu.edu/steinhardt/e/pdf/humsocsci/mias/readings07/41.pdf.

Snow, N. (2009). Rethinking public diplomacy. In S. Nancy, P.M. Taylor (Eds). Routledge

handbook of public diplomacy. Oxon: Routledge.

Tuch, H. (1990). Communicating with the world: US public diplomacy overseas. New York:

St Martin’s Press

UN. (n.d.), Statement of N. Hassan Wirajuda, minister of foreign affairs of the Republic of

Indonesia, “the democratic response,” United Nations General Assembly, New York,

November 15, 2001. Retrieved September 5, 2013, from

http://www.un.org/webcast/ga/56/statements/011115indonesiaE.htm

Wirajuda, H. (2013). The genesis of Bali Democracy Forum [Oral History Record].

Denpasar: Institute for Peace and Democracy

Wolf, J. & Wurm, I. (2010). Towards a theory of external democracy promotion?

approximations from the perspective of international relations theories. Paper prepared

for the 51st Annual Convention of the International Studies Association (ISA), New

(30)

World Bank in UNDP, (n.d.), International human development indicator, Retrieved

(31)

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang

Inkuiri adalah pembelajaran berdasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis dan logis. Inkuiri memandang bahwa pengetahuan bukanlah

Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spea rman terdapat hubungan yang tidak signifikan antara manajemen program Jakarta Green and Clean dengan tingkat pengetahuan

Penelitian “Implementasi Keamanan File dengan Kompresi Huffman dan Kriptografi menggunakan Algoritma RC4 serta Steganografi menggunakan End of File berbasis Desktop

Tabel 2. Kandungan bahan organik media fermentasi G. lucidum pada level Cr dan lama fermentasi berbeda. TKS= campuran tandan kosong sawit dan serat sawit dengan perbandingan

Hasil analisa menunjukkan bahwa pemberian pupuk kompos limbah domestik memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman tebu (tinggi tanaman, jumlah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh Net Profit Margin (NPM), Return On Investment (ROI), dan Debt Equity Ratio (DER) terhadap

Pada saat seseorang menghidupkan mobil saat sistem keamanan aktif, maka mikrokontroler akan menerima sinyal dari driver kunci kontak dan memerintahkan handphone penerima untuk