• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBISINGAN TERHADAP KARYAWAN DI (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS KEBISINGAN TERHADAP KARYAWAN DI (1)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Email : jurnalteknologi@ftumj.ac.id

U N I V E R S I T A S M U H A M M A D I Y A H J A K A R T A

ANALISIS KEBISINGAN TERHADAP KARYAWAN DI LINGKUNGAN KERJA

PADA BEBERAPA JENIS PERUSAHAAN

Dino Rimantho 1,*, Bambang Cahyadi 2

1,2

Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Pancasila

Jl. Raya Lenteng Agung, Srengseng Sawah, Jagakarsa *Email: rimantho.dino@gmail.com

Diterima: 2 September 2014 Direvisi: 30 September 2014 Disetujui: 7 Oktober 2014

ABSTRAK

Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan di lingkungan pekerjaan telah menjadi perhatian para peneliti. Pemerintah memberikan aturan secara jelas mengenai ambang batas mengenai kebisingan di lingkungan kerja dalam kaitannya dengan pencegahan penyakit akibat kerja. Makalah ini menganalisa paparan kebisingan kerja dan penggunaan alat pelindung diri kebisingan pada beberapa industri yang berbeda di Jakarta. Kuesioner digunakan untuk menggali informasi pada responden yang dianggap berpotensi terpapar oleh kebisingan di lingkungan kerjanya. Responden dipilih secara acak yaitu 400 orang pekerja pada 3 lingkungan industri yang berbeda seperti permesinan, industri daur ulang biji plastik, dan industri konveksi. Studi menunjukkan bahwa industri permesinan memiliki tingkat kebisingan yang lebih tinggi, yaitu sekitar 97 dB, sedangkan industry pengolahan biji plastik sekitar 92 dB dan industry konveksi sekitar 65 dB. Proporsi terbesar penggunaan APD adalah wanita yaitu sekitar 75% sementara laki-laki hanya sekitar 65%. Sedangka n berdasarkan usia, diperoleh informasi bahwa usia responden 21-35 tahun merupakan pengguna APD terbesar yaitu sekitar 67.8% dan usia di atas 46 tahun menggunakan APD sekitar 37.2%. Para stakeholder mempunyai peranan yang cukup penting dalam upaya mereduksi potensi risiko yang dapat muncul dari paparan tingkat kebisingan pada lingkungan pekerjaan serta senantiasa memperhatikan fa ktor-faktor kesehatan dan keselamatan kerja (K3) karya wan.

Kata kunci: Kebisingan, APD, risiko, K3

ABSTRACT

Hearing loss caused by noise in the work environment has become a concern to the researchers. Government gives clear rules on thresholds regarding noise in the workplace in relation to the prevention of occupational diseases. This paper analyzes occupational noise exposure and the use of personal protective equipment noise in several different industries in Jakarta. The questionnaire used to gather information on the respondents were considered potentially exposed to noise in the work environment. Respondents are randomly selected 400 people working on 3 different industrial environments such as machinery, industrial recycled plastic pellets, and industrial convection. Studies show that the machinery industry has a higher noise level, which is about 97 dB, while the plastic resin processing industry around 92 dB and 65 dB convection industry. The largest proportion of women is the use of PPE is about 75% while the male is only about 65%. Meanwhile, based on age, obtained information that the respondents aged 21-35 years is the largest user of PPE which is about 67.8% and above 46 years of age to use PPE approximately 37.2%. The stakeholders have an important role in the effort to reduce the potential risks that can arise from exposure to noise levels in the work environment and to always pay attention to the factors of health and safety (K3) employees.

(2)

PENDAHULUAN

Peningkatan pemanfaatan teknologi dalam dunia industri memberikan dampak yang signifikan terhadap optimalisasi proses produksi. Akan tetapi, pemanfaatan teknologi ini juga memberikan dampak yang lain terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Kondisi lingkungan tempat bekerja harus mampu memberikan jaminan keamanan dan

kesehatan bagi seluruh karyawannya

(Mohammadi, 2014). Tarwaka, (2008) mengemukakan bahwa potensi munculnya bahaya atau timbulnya penyakit akibat kerja

yang dapat mempengaruhi kesehatan

karyawan sering muncul dari tempat bekerja. Salah satu gangguan terhadap kesehatan pekerja yang disebabkan oleh potensi bahaya fisik adalah kebisingan dengan intensitas tinggi. Dampak dari paparan kebisingan pada pendengaran pekerja telah menjadi topik perdebatan pada beberapa tahun terakhir (Alton B, Ernest, 2002; Jansen, 1992).

Tingkat kebisingan yang melebihi nilai ambang batas dapat mendorong timbulnya gangguan pendengaran dan risiko kerusakan pada telinga baik bersifat sementara maupun permanan setelah terpapar dalam periode waktu tertentu tanpa penggunaan alat proteksi yang memadai. Potensi risiko ini mendorong pemerintah di berbagai negara membuat suatu regulasi yang membatasi eksposur suara pekerja industry (EPA, 1974). Sebagai contoh, peraturan mengenai kebisingan paparan kerja pada industry harus kurang dari 90 dBA dengan rata-rata waktu 8 jam (OSHA, 1988). Lebih lanjut, pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan No. 1405 tahun 2002 telah memberikan persyaratan kesehatan lingkungan

kerja yan menyatakan bahwa tingkat

kebisingan di ruang kerja maksimal 85 dBA. Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia

(WHO) menyatakan bahwa prevalensi

kehilangan atau kerusakan pendengaran di Indonesia mencapai sekitar 4.2% (WHO, 2007). Negara-negara di seluruh dunia menyatakan bahwa Noise Induced Hearing Loss (NIHL) merupakan jenis penyakit yang sangat berpotensi berdampak risiko kehilangan pendengaran. Lebih lanjut dalam laporan WHO tersebut juga dinyatakan bahwa sekitar 16.% orang dewasa mengalami ketulian akibat kebisingan di tempat kerja. Berdasarkan hal ini, maka NIHL merupakan salah satu masalah yang harus mendapatkan perhatian khusus.

Secara umum karyawan masih rendah dalam

penggunaan alat pelindung diri yang

disediakan perusahaan. Di samping itu

rendahnya pemahaman terhadap budaya

kesehatan dan keselamatan kerja oleh karyawan juga dapat mendorong masalah yang semakin besar. Melamed et al., (1996)

mengemukakan bahwa factor

ketidaknyamanan dan gangguan komunikasi

merupakan alasan karyawan tidak

menggunakan pelindung pendengaran.

Walaupun penggunaan alat pelindung diri telah diketahui secara teoritis dapat mengurangi dan menekan munculnya potensi risiko, namun beberapa alasan masih sangat sulit untuk diterapkan (Morata et al., 2001). Studi yang dilakukan oleh Pratini, (2008) menyatakan bahwa di beberapa Negara Asia Tenggara memiliki kesadaran yang cukup

tinggi terhadap pentingnya penerapan

kesehatan dan keselamatan kerja di lingkungan pekerjaan.

Faktor kebisingan di lingkungan tempat kerja dapat menyebabkan munculnya potensi risiko lainnya seperti gangguan stress, percepatan denyut nadi, peningkatan tekanan darah, kestabilan emosional, gangguan komunikasi dan penurunan motivasi kerja (Kunto, 2008).

Kebisingan berpotensi mempengaruhi

kenyamanan dan kesehatan operator yang bekerja di dalam lingkungan pabrik. Gangguan yang tidak dicegah maupun diatasi bisa menimbulkan kecelakaan, baik pada pekerja

maupun orang di sekitarnya. Upaya

pengendalian kebisingan meliputi identifikasi masalah kebisingan di pabrik dan menentukan tingkat kebisingan yang diterima oleh karyawan, sehingga makalah ini bertujuan untuk melakukan suatu pengendalian potensi bahaya kebisingan ditempat kerja agar tenaga kerja dapat bekerja dengan sehat dan selamat.

KAJIAN LITERATUR

(3)

umumnya dinamakan gelombang suara. Lebih lanjut, Kepmenaker No. 51 Tahun 1999 memberikan pengertian mengenai kebisingan sebagai seluruh jenis suara atau bunyi yang tidak diharapkan yang bersumber baik dari suatu proses alat-alat produksi maupun peralatan kerja pada tingkat tertentu yang

dapat mendorong terjadinya gangguan

pendengaran.

Intensitas kebisingan atau arus energi persatuan luas secara umum dinyatakan dalam satuan logaritmis yang disebut dengan decibel

(dB) dengan memperbandingkan dengan kekuatan dasar 0,0002 dyne/cm2 yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1.000 Hz yang tepat didengar oleh telinga normal

(Suma’mur, 1996).

Kebisingan dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia yang terpapar dan dapat dikelompokan secara bertingkat sebagai berikut:

a. Gangguan Fisiologis

Seseorang yang terpapar bising dapat menggangu, lebih-lebih yang terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba dan tak terduga. Gangguan dapat terjadi seperti, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, basa metabolisme, kontraksi pembuluh darah kecil, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris, serta dapat menurunkan kinerja otot.

b. Gangguan Psikologis

Seseorang yang terpapar bising dapat teganggu kejiwaanya, berupa stres, sulit berkonsentrasi dan lain-lain, dengan akibat mempengaruhi kesehatan organ tubuh yang lain.

c. Gangguan komunikasi

Yaitu gangguan pembicaraan akibat

kebisingan sehingga lawan bicara tidak mendengar dengan jelas. Untuk rnengatasi pembicaraan perlu lebih diperkeras bahkan berteriak.

d. Gangguan keseimbangan

Kebisingan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan yang berupa kesan seakan-akan berjalan di ruang angkasa.

e. Ketulian

Diantara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh kebisingan, maka gangguan yang paling serius adalah ketulian. Ketulian akibat bising ada tiga macam yaitu, tuli sementara, tuli menetap, trauma akustik

Sumber bising ialah sumber bunyi yang

kehadirannya dianggap mengganggu

pendengaran baik dari sumber bergerak maupun tidak bergerak. Umumnya sumber kebisingan dapat berasal dari kegiatan industri, perdagangan, pembangunan, alat pembangkit tenaga, alat pengangkut dan kegiatan rumah tangga. Di industri, sumber kebisingan dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu mesin, vibrasi, pergerakan udara, gas dan cairan

Dalam peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi no. Per 01/MEN/1981 (Pungky W, 2002), yang dimaksud dengan penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Definisi lain dari penyakit akibat kerja adalah hubungan dengan faktor penyebab spesifik di tempat kerja, sepenuhnya dipastikan dan faktor tersebut dapat diidentifiksi, diukur dan selanjutnya dapat dikendalikan (WHO, 1985 dalam A.M. Sugeng Budiono, 2001). Penyakit akibat kerja atau lebih dikenal sebagai man made diseases

dapat timbul setelah seorang karyawan yang tadinya terbukti sehat memulai pekerjaannya. Langkah-langkah kearah pencegahan penyakit akibat kerja terdiri dari kesadaran manajemen untuk mencegah penyakit akibat kerja dan pengaturan tata cara pencegahan (Bennet silalahi dan rumondang silalahi (1995). Manajemen harus sadar bahwa peningkatan produktivitas kerja sangat erat kaitannya dengan efisiensi dan prestasi kerja. Kedua hal tersebut tidak terlepas dari tenaga kerja yang sehat, selamat dan sejahtera. Jadi, peningkatan kesejahteraan dan keselamatan kerja harus dilengkapi oleh lingkungan yang sehat.

METODOLOGI PENELITIAN

Terdapat tiga jenis industri yang berbeda menjadi tujuan dari penelitian ini, yaitu bengkel permesinan, industri daur ulang biji plastik, dan industri konveksi di kota Jakarta. Alasan pemilihan ketiga lingkungan industri yang berbeda ini dapat sebagai bahan

perbandingan antara ketiganya dalam

kerangka penelitian kesehatan dan

(4)

pelindung diri kebisingan dan paparan kebisingan di lingkungan kerja. Beberapa

pertanyaan dalam kuesioner meliputi

pengetahuan tentang kebisingan, pengetahuan tentang APD, penyakit terkait lingkungan kerja. Guna mengetahui tingkat kebisingan di lingkungan kerja, maka penelitian ini mengintegrasikan penggunaan sound level meter (Bruel dan Kjaer Model 2260) dan dosimeter kebisingan (Bruel dan Kjaer Model 4436).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil kuesioner yang telah dibagikan, diperoleh tingkat pengembalian kuesioner adalah 300 orang laki-laki dan 54 orang wanita atau sekitar 88.5% dari total keseluruhan kuesioner yang diharapkan. Selanjutnya dari hasil kuesioner diperoleh informasi bahwa karakteristik responden dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 1. Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin

Gambar 1 di atas memberikan informasi mengenai jumlah responden berdasarkan gender, dimana dalam penelitian ini diperoleh responden laki-laki sekitar 300 orang atau sekitar 85%, sedangkan wanita sekitar 54 orang atau sekitar 15%. Sementara itu, pada karakteristik responden yang didasarkan pada usia diperoleh informasi bahwa sekitar 32% responden atau sekitar 21-35 tahun, sementara itu responden yang berusia di atas 45 tahun adalah sekitar 28 % atau sekitar 98 pekerja dan hanya 8 % atau 30 orang pekerja yang berusia di bawah 20 tahun (gambar 2).

Gambar 2. Karakteristik responden

Berdasarkan usia

Gambar 3. Karakteristik responden

berdasarkan latar belakang pendidikan

Pada Gambar 3 di atas memberikan informasi

mengenai karakteristik pekerja yang

didasarkan pada latar belakang pendidikan. Dari hasil kuesioner yang telah dibagikan diperoleh keterangan bahwa karyawan dengan latar belakang pendidikan SMA sederajat yaitu sekitar 199 orang atau sekitar 56%, kemudian pendidikan SMP sederajat atau sekitar 33% dan hanya sebagian kecil dari responden yang berpendidikan diploma/sarjana yaitu sekitar 4% atau sekitar 15 orang, dan pendidikan sekolah dasar sekitar 7% atau sejumlah 23 karyawan.

Karakteristik responden berdasarkan masa kerja dapat dijelaskan berdasarkan gambar 3 di atas, dimana karyawan yang bekerja antara 11

(5)

Gambar 3. Karakteristik responden memberikan gambaran mengenai tingkat kebisingan dan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan kerja. Dari hasil pengamatan di lapangan diperoleh informasi bahwa industri

bengkel permesinan memiliki tingkat

kebisingan yang lebih tinggi di banding dengan industry lainnya seperti daur ulang biji plastik dan konveksi. Dimana tingkat kebisingannya sekitar 97 dB dan hal ini telah diatas ambang batas yang ditentukan oleh peraturan Menteri Kesehatan No. 1405 tahun 2002 yang telah memberikan persyaratan kesehatan lingkungan kerja yan menyatakan bahwa tingkat kebisingan di ruang kerja maksimal 85 dBA. Lebih lanjut, untuk dapat menghindari dan mengeliminasi terjadinya kebisingan maka perusahaan telah memasang tanda yang menyatakan lokasi pekerjaan merupakan sumber kebisingan. Disamping itu pemakaian APD dan rotasi shift kerja

karyawan dilakukan guna menghindari

paparan secara terus menerus pada karyawan. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai pengetahuan tentang kebisingan, penggunaan alat pelindung diri dan penyakit terkait lingkungan kerja, maka faktor-faktor tersebut diakomodasi dalam suatu kuesioner yang didistribusikan kepada responden terpilih. Penilaian kuesioner ini menggunakan skala linkert untuk menyatakan persepsi responden, yaitu menggunakan sangat setuju sampat sangat tidak setuju serta pernyataan selalu dan tidak pernah pada faktor pengetahuan APD dan penyakit terkait lingkungan kerja. Analisis reliabilitas (alpha Cronbach) dilakukan untuk semua jenis pertanyaan pada responden, dimana hasil yang diperoleh adalah 0.76 sebagaimana tabel 2 di bawah.

Tabel 3: Perbandingan penggunaan APD berdasarkan jenis kelamin dan usia responden

Variabel Jumlah mengenai perbandingan pemakaian APD terkait kebisingan yang didasarkan pada jenis kelamin dan usia responden. Dari hasil survey tersebut diperoleh keterangan bahwa sebagian besar responden telah menggunakan alat pelindung diri dalam kaitannya untuk mengurangi potensi risiko kebisingan. Bila ditinjau dari jenis kelamin, maka proporsi terbesar penggunaan APD ini adalah wanita yaitu sekitar 75% sementara laki-laki hanya sekitar 65% yang menggunakan APD dari total responden. Sedangkan berdasarkan usia, diperoleh informasi bahwa usia responden 21-35 tahun merupakan pengguna APD terbesar yaitu sekitar 67.8% dan usia di atas 46 tahun menggunakan APD sekitar 37.2%.

(6)

apakah responden menggunakan APD untuk mengurangi paparan kebisingan di sumbernya.

Analisis Chi-Square memberikan gambaran bahwa terdapat tingkat perbedaan yang signigikan pada alat pelindung diri diantara

beberapa kategori seperti gender (α = 0.005),

usia (K2= 67.65; df=6; α = 0.005), masa kerja

(K2= 67.65; df=6; α = 0.005), dan latar

belakang pendidikan (K2= 67.65; df=6; α = 0.005).

Suatu studi yang dilakukan oleh Melamed et al., (1996), menemukan bahwa motivasi diri untuk menggunakan alat pelindung diri merupakan salah satu hal yang paling utama

dalam rangka pencegahan kerusakan

pendengaran. Selanjutnya, untuk dapat memberikan gambaran yang jelas bagi setiap karyawan mengenai pentingnya alat pelindung

diri, maka perusahaan harus mampu

memberikan program pelatihan penggunaan alat pelindung diri (Mohammadi, 2008). Melalui program pelatihan penggunaan APD akan dapat memberikan hasil keseluruhan positif bagi karyawan (Williams et al., 2007)

1. Kesimpulan

Tingkat kebisingan pada lingkungan pekerjaan dapat berpotensi terhadap penyakit akibat pekerjaan. Sehingga untuk dapat mengurangi tingkat kebisingan maka para karyawan yang bekerja di lingkungan yang memiliki tingkat kebisingan yang tinggi harus menggunakan alat pelindung diri kebisingan. Para karyawan juga diharapkan mampu mengetahui dasar-dasar kesehatan dan keselamatan kerja di lingkungan tempat kerja mereka. Perusahaan juga diharapkan dapat memberikan fasilitas yang terkait dengan peningkatan pengetahuan, tingkat kepedulian dan motivasi diri para karyawan terutama dalam hal kesehatan dan keselamatan kerja. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai titik awal untuk pelaksanaan penelitian berikutnya terkait dengan kesehatan dan keselamatan kerja terutama mengenai kebisingan dan faktor-faktor yang terkait.

Tabel 2. Hasil kuesioner mengenai persepsi risiko.

Deksripsi Skala penilaian Mean Total item

% pria % wanita Korelasi

Pengetahuan tentang kebisingan

Paparan tingkat kebisingan yang tinggi dapat berbahaya bagi pendengaran saya

71 9.8 3.15 0.45

Pada setiap tingkat kebisingan akan dapat berbahaya bagi pendengaran

76 8.2 3.16 0.53

Penggunaan alat pelindung diri tidak diperlukan di tempat kerja

77 8.5 2.95 0.63

Kebisingan dapat menyebabkan tuli permanen 79 7.6 3.14 0.58

Pengetahuan tentang APD

Pengetahuan alat pelindung diri pada lingkungan kerja

82 8.7 2.54 0.65

Penggunaan APD dapat mengurangi tingkat kebisingan

76.5 7.6 1.75 0.45

Saya menggunakan APD dengan baik sesuai ketentuan perusahaan

76 8.5 2.23 0.55

Saya menggunakan APD untuk mengurangi risiko kebisingan

77.4 7.6 2.10 0.63

Penyakit terkait lingkungan kerja

Keluhan sakit kepala 82 3.4 3.23 0.68

(7)

KESIMPULAN

Para stakeholder mempunyai peranan yang cukup penting dalam upaya mereduksi potensi risiko yang dapat muncul dari paparan tingkat kebisingan pada lingkungan pekerjaan serta senantiasa memperhatikan faktor-faktor kesehatan dan keselamatan kerja (K3) karyawan.

DAFTAR PUSTAKA

Alton B, Ernest J. Relationship Between Loss And Noise Exposure Levels In A Large Industrial Population: A Review Of An Overlooked Study. J Acoust Soc Am, 88(S1):S73 (A). 42 P.C. Eleftheriou /Applied Acoustics 2002;63: 35–42.

A.M. Sugeng Budiono, 2001. Tuli Akibat Kebisingan. Jakarta: Rineka Cipta Singgih Santosa.

Bennet N.B. Silalahi dan Rumondang B. Silalahi, 1995. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Pustaka Binawan Pressindo.

EPA, Information On Levels And

Environmental Noise Requisite To Protect Public Health And Welfare With And Adequate Margin Of Safety, Environmental Protection Agency, Washington (DC) March 1974.

Ganong W.F, 1992. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Jansen G. The effects of noise on human beings. VGB (German), (1992); 72(1):60-4.

Kunto, I. Mengatasi Kebisingan di

Lingkungan Kerja. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 2008. Semarang.

Melamed S, Rabinowitz S, Feiner M, Weisberg E, Ribak J. Usefulness of the protection motivation theory in explaining hearing protection device use among male industrial workers. Health Psychology 1996; 15: 209–215.

Mohammadi G., Occupational Noise Pollution and Hearing protection in selected industries, Iranian Journal of Health, Safety and Environment, 2014, Vol. 1, No. 1, pp. 30-35

Mohammadi G. Hearing conservation

programs in selected metal fabrication Industries, Applied Acoustics 2008;69: 287-292.

Morata TC., Fiorini AC, Fischer FM, Krieg EF, Gozzoli L, Colacioppo S. Factors affecting the use of hearing protectors in a population of printing workers. Noise & Health 2001; 4 (13): 25-32.

Pratini, S. Analisa Tingkat Kebisingan untuk Penentuan Alat Pelindung Telinga Yang Tepat pada Grinding Section PA-Pabrik III PT. Petrokimia Gresik (Persero). TF – ITS. 2008. Skripsi

Pungky. W, 2002. Himpunan Peraturan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Sekretariat ASEAN-OSHNET dan Direktorat PNKK.

Suma’mur P.K., 1996. Keselamatan Kerja dan

Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: CV. Gunung Agung.

Tarwaka, 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja manajemen dan Implementasi K3 di Tempat Kerja. Surakarta: PT Harapan Press.

WHO. Situation Review and Update on Deafness. Hearing Loss and Intervention Programme . Regional Office for South-East Asia. 2007. New Delhi SEA Volume 61, Nomor 2

Gambar

Gambar 2.  Berdasarkan usia
Tabel 1. Tingkat kebisingan dan upaya pengendalian

Referensi

Dokumen terkait

PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP LEMBAGA PEMERINTAHAN PUSAT MELALUI MODEL SCRAMBLE (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas IV SD N Soropadan No 108 Surakarta

Pengujian ini menggunakan parameter resources memory ram dari access point. Memori ram digunakan untuk proses semua komunikasi yang terjadi pada server, sehingga

Selain terkait dengan hak konsumen, terdapat larangan terhadap pelaku usaha dalam menawarkan, mempromosikan dan mengiklankan barang yang “seolah-olah berasal dari daerah

- Pertahankan asupan dan haluaran (l&O) yang akurat dan korelasikan dengan berat badan harian' Masukkan kehilangan cairan yang terukur dan. diperkirakan, seperti

terhadap pelaku tindak pidana imigran ilegal, pengawasan oleh Imigrasi terutama dalam fungsi pemeriksaan dokumen warga negara lain yang akan masuk ke Indonesia

Dari hal tersebut, dalam novel Surga Sungsang pengarang memunculkan adanya konflik laten antara kubu yang berbeda dan berusaha menyingkirkan satu sama lain yang memicu terjadinya