Email : jurnalteknologi@ftumj.ac.id
U N I V E R S I T A S M U H A M M A D I Y A H J A K A R T A
ANALISIS KEBISINGAN TERHADAP KARYAWAN DI LINGKUNGAN KERJA
PADA BEBERAPA JENIS PERUSAHAAN
Dino Rimantho 1,*, Bambang Cahyadi 2
1,2
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Pancasila
Jl. Raya Lenteng Agung, Srengseng Sawah, Jagakarsa *Email: rimantho.dino@gmail.com
Diterima: 2 September 2014 Direvisi: 30 September 2014 Disetujui: 7 Oktober 2014
ABSTRAK
Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan di lingkungan pekerjaan telah menjadi perhatian para peneliti. Pemerintah memberikan aturan secara jelas mengenai ambang batas mengenai kebisingan di lingkungan kerja dalam kaitannya dengan pencegahan penyakit akibat kerja. Makalah ini menganalisa paparan kebisingan kerja dan penggunaan alat pelindung diri kebisingan pada beberapa industri yang berbeda di Jakarta. Kuesioner digunakan untuk menggali informasi pada responden yang dianggap berpotensi terpapar oleh kebisingan di lingkungan kerjanya. Responden dipilih secara acak yaitu 400 orang pekerja pada 3 lingkungan industri yang berbeda seperti permesinan, industri daur ulang biji plastik, dan industri konveksi. Studi menunjukkan bahwa industri permesinan memiliki tingkat kebisingan yang lebih tinggi, yaitu sekitar 97 dB, sedangkan industry pengolahan biji plastik sekitar 92 dB dan industry konveksi sekitar 65 dB. Proporsi terbesar penggunaan APD adalah wanita yaitu sekitar 75% sementara laki-laki hanya sekitar 65%. Sedangka n berdasarkan usia, diperoleh informasi bahwa usia responden 21-35 tahun merupakan pengguna APD terbesar yaitu sekitar 67.8% dan usia di atas 46 tahun menggunakan APD sekitar 37.2%. Para stakeholder mempunyai peranan yang cukup penting dalam upaya mereduksi potensi risiko yang dapat muncul dari paparan tingkat kebisingan pada lingkungan pekerjaan serta senantiasa memperhatikan fa ktor-faktor kesehatan dan keselamatan kerja (K3) karya wan.
Kata kunci: Kebisingan, APD, risiko, K3
ABSTRACT
Hearing loss caused by noise in the work environment has become a concern to the researchers. Government gives clear rules on thresholds regarding noise in the workplace in relation to the prevention of occupational diseases. This paper analyzes occupational noise exposure and the use of personal protective equipment noise in several different industries in Jakarta. The questionnaire used to gather information on the respondents were considered potentially exposed to noise in the work environment. Respondents are randomly selected 400 people working on 3 different industrial environments such as machinery, industrial recycled plastic pellets, and industrial convection. Studies show that the machinery industry has a higher noise level, which is about 97 dB, while the plastic resin processing industry around 92 dB and 65 dB convection industry. The largest proportion of women is the use of PPE is about 75% while the male is only about 65%. Meanwhile, based on age, obtained information that the respondents aged 21-35 years is the largest user of PPE which is about 67.8% and above 46 years of age to use PPE approximately 37.2%. The stakeholders have an important role in the effort to reduce the potential risks that can arise from exposure to noise levels in the work environment and to always pay attention to the factors of health and safety (K3) employees.
PENDAHULUAN
Peningkatan pemanfaatan teknologi dalam dunia industri memberikan dampak yang signifikan terhadap optimalisasi proses produksi. Akan tetapi, pemanfaatan teknologi ini juga memberikan dampak yang lain terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Kondisi lingkungan tempat bekerja harus mampu memberikan jaminan keamanan dan
kesehatan bagi seluruh karyawannya
(Mohammadi, 2014). Tarwaka, (2008) mengemukakan bahwa potensi munculnya bahaya atau timbulnya penyakit akibat kerja
yang dapat mempengaruhi kesehatan
karyawan sering muncul dari tempat bekerja. Salah satu gangguan terhadap kesehatan pekerja yang disebabkan oleh potensi bahaya fisik adalah kebisingan dengan intensitas tinggi. Dampak dari paparan kebisingan pada pendengaran pekerja telah menjadi topik perdebatan pada beberapa tahun terakhir (Alton B, Ernest, 2002; Jansen, 1992).
Tingkat kebisingan yang melebihi nilai ambang batas dapat mendorong timbulnya gangguan pendengaran dan risiko kerusakan pada telinga baik bersifat sementara maupun permanan setelah terpapar dalam periode waktu tertentu tanpa penggunaan alat proteksi yang memadai. Potensi risiko ini mendorong pemerintah di berbagai negara membuat suatu regulasi yang membatasi eksposur suara pekerja industry (EPA, 1974). Sebagai contoh, peraturan mengenai kebisingan paparan kerja pada industry harus kurang dari 90 dBA dengan rata-rata waktu 8 jam (OSHA, 1988). Lebih lanjut, pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan No. 1405 tahun 2002 telah memberikan persyaratan kesehatan lingkungan
kerja yan menyatakan bahwa tingkat
kebisingan di ruang kerja maksimal 85 dBA. Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia
(WHO) menyatakan bahwa prevalensi
kehilangan atau kerusakan pendengaran di Indonesia mencapai sekitar 4.2% (WHO, 2007). Negara-negara di seluruh dunia menyatakan bahwa Noise Induced Hearing Loss (NIHL) merupakan jenis penyakit yang sangat berpotensi berdampak risiko kehilangan pendengaran. Lebih lanjut dalam laporan WHO tersebut juga dinyatakan bahwa sekitar 16.% orang dewasa mengalami ketulian akibat kebisingan di tempat kerja. Berdasarkan hal ini, maka NIHL merupakan salah satu masalah yang harus mendapatkan perhatian khusus.
Secara umum karyawan masih rendah dalam
penggunaan alat pelindung diri yang
disediakan perusahaan. Di samping itu
rendahnya pemahaman terhadap budaya
kesehatan dan keselamatan kerja oleh karyawan juga dapat mendorong masalah yang semakin besar. Melamed et al., (1996)
mengemukakan bahwa factor
ketidaknyamanan dan gangguan komunikasi
merupakan alasan karyawan tidak
menggunakan pelindung pendengaran.
Walaupun penggunaan alat pelindung diri telah diketahui secara teoritis dapat mengurangi dan menekan munculnya potensi risiko, namun beberapa alasan masih sangat sulit untuk diterapkan (Morata et al., 2001). Studi yang dilakukan oleh Pratini, (2008) menyatakan bahwa di beberapa Negara Asia Tenggara memiliki kesadaran yang cukup
tinggi terhadap pentingnya penerapan
kesehatan dan keselamatan kerja di lingkungan pekerjaan.
Faktor kebisingan di lingkungan tempat kerja dapat menyebabkan munculnya potensi risiko lainnya seperti gangguan stress, percepatan denyut nadi, peningkatan tekanan darah, kestabilan emosional, gangguan komunikasi dan penurunan motivasi kerja (Kunto, 2008).
Kebisingan berpotensi mempengaruhi
kenyamanan dan kesehatan operator yang bekerja di dalam lingkungan pabrik. Gangguan yang tidak dicegah maupun diatasi bisa menimbulkan kecelakaan, baik pada pekerja
maupun orang di sekitarnya. Upaya
pengendalian kebisingan meliputi identifikasi masalah kebisingan di pabrik dan menentukan tingkat kebisingan yang diterima oleh karyawan, sehingga makalah ini bertujuan untuk melakukan suatu pengendalian potensi bahaya kebisingan ditempat kerja agar tenaga kerja dapat bekerja dengan sehat dan selamat.
KAJIAN LITERATUR
umumnya dinamakan gelombang suara. Lebih lanjut, Kepmenaker No. 51 Tahun 1999 memberikan pengertian mengenai kebisingan sebagai seluruh jenis suara atau bunyi yang tidak diharapkan yang bersumber baik dari suatu proses alat-alat produksi maupun peralatan kerja pada tingkat tertentu yang
dapat mendorong terjadinya gangguan
pendengaran.
Intensitas kebisingan atau arus energi persatuan luas secara umum dinyatakan dalam satuan logaritmis yang disebut dengan decibel
(dB) dengan memperbandingkan dengan kekuatan dasar 0,0002 dyne/cm2 yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1.000 Hz yang tepat didengar oleh telinga normal
(Suma’mur, 1996).
Kebisingan dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia yang terpapar dan dapat dikelompokan secara bertingkat sebagai berikut:
a. Gangguan Fisiologis
Seseorang yang terpapar bising dapat menggangu, lebih-lebih yang terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba dan tak terduga. Gangguan dapat terjadi seperti, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, basa metabolisme, kontraksi pembuluh darah kecil, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris, serta dapat menurunkan kinerja otot.
b. Gangguan Psikologis
Seseorang yang terpapar bising dapat teganggu kejiwaanya, berupa stres, sulit berkonsentrasi dan lain-lain, dengan akibat mempengaruhi kesehatan organ tubuh yang lain.
c. Gangguan komunikasi
Yaitu gangguan pembicaraan akibat
kebisingan sehingga lawan bicara tidak mendengar dengan jelas. Untuk rnengatasi pembicaraan perlu lebih diperkeras bahkan berteriak.
d. Gangguan keseimbangan
Kebisingan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan yang berupa kesan seakan-akan berjalan di ruang angkasa.
e. Ketulian
Diantara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh kebisingan, maka gangguan yang paling serius adalah ketulian. Ketulian akibat bising ada tiga macam yaitu, tuli sementara, tuli menetap, trauma akustik
Sumber bising ialah sumber bunyi yang
kehadirannya dianggap mengganggu
pendengaran baik dari sumber bergerak maupun tidak bergerak. Umumnya sumber kebisingan dapat berasal dari kegiatan industri, perdagangan, pembangunan, alat pembangkit tenaga, alat pengangkut dan kegiatan rumah tangga. Di industri, sumber kebisingan dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu mesin, vibrasi, pergerakan udara, gas dan cairan
Dalam peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi no. Per 01/MEN/1981 (Pungky W, 2002), yang dimaksud dengan penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Definisi lain dari penyakit akibat kerja adalah hubungan dengan faktor penyebab spesifik di tempat kerja, sepenuhnya dipastikan dan faktor tersebut dapat diidentifiksi, diukur dan selanjutnya dapat dikendalikan (WHO, 1985 dalam A.M. Sugeng Budiono, 2001). Penyakit akibat kerja atau lebih dikenal sebagai man made diseases
dapat timbul setelah seorang karyawan yang tadinya terbukti sehat memulai pekerjaannya. Langkah-langkah kearah pencegahan penyakit akibat kerja terdiri dari kesadaran manajemen untuk mencegah penyakit akibat kerja dan pengaturan tata cara pencegahan (Bennet silalahi dan rumondang silalahi (1995). Manajemen harus sadar bahwa peningkatan produktivitas kerja sangat erat kaitannya dengan efisiensi dan prestasi kerja. Kedua hal tersebut tidak terlepas dari tenaga kerja yang sehat, selamat dan sejahtera. Jadi, peningkatan kesejahteraan dan keselamatan kerja harus dilengkapi oleh lingkungan yang sehat.
METODOLOGI PENELITIAN
Terdapat tiga jenis industri yang berbeda menjadi tujuan dari penelitian ini, yaitu bengkel permesinan, industri daur ulang biji plastik, dan industri konveksi di kota Jakarta. Alasan pemilihan ketiga lingkungan industri yang berbeda ini dapat sebagai bahan
perbandingan antara ketiganya dalam
kerangka penelitian kesehatan dan
pelindung diri kebisingan dan paparan kebisingan di lingkungan kerja. Beberapa
pertanyaan dalam kuesioner meliputi
pengetahuan tentang kebisingan, pengetahuan tentang APD, penyakit terkait lingkungan kerja. Guna mengetahui tingkat kebisingan di lingkungan kerja, maka penelitian ini mengintegrasikan penggunaan sound level meter (Bruel dan Kjaer Model 2260) dan dosimeter kebisingan (Bruel dan Kjaer Model 4436).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil kuesioner yang telah dibagikan, diperoleh tingkat pengembalian kuesioner adalah 300 orang laki-laki dan 54 orang wanita atau sekitar 88.5% dari total keseluruhan kuesioner yang diharapkan. Selanjutnya dari hasil kuesioner diperoleh informasi bahwa karakteristik responden dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 1. Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin
Gambar 1 di atas memberikan informasi mengenai jumlah responden berdasarkan gender, dimana dalam penelitian ini diperoleh responden laki-laki sekitar 300 orang atau sekitar 85%, sedangkan wanita sekitar 54 orang atau sekitar 15%. Sementara itu, pada karakteristik responden yang didasarkan pada usia diperoleh informasi bahwa sekitar 32% responden atau sekitar 21-35 tahun, sementara itu responden yang berusia di atas 45 tahun adalah sekitar 28 % atau sekitar 98 pekerja dan hanya 8 % atau 30 orang pekerja yang berusia di bawah 20 tahun (gambar 2).
Gambar 2. Karakteristik responden
Berdasarkan usia
Gambar 3. Karakteristik responden
berdasarkan latar belakang pendidikan
Pada Gambar 3 di atas memberikan informasi
mengenai karakteristik pekerja yang
didasarkan pada latar belakang pendidikan. Dari hasil kuesioner yang telah dibagikan diperoleh keterangan bahwa karyawan dengan latar belakang pendidikan SMA sederajat yaitu sekitar 199 orang atau sekitar 56%, kemudian pendidikan SMP sederajat atau sekitar 33% dan hanya sebagian kecil dari responden yang berpendidikan diploma/sarjana yaitu sekitar 4% atau sekitar 15 orang, dan pendidikan sekolah dasar sekitar 7% atau sejumlah 23 karyawan.
Karakteristik responden berdasarkan masa kerja dapat dijelaskan berdasarkan gambar 3 di atas, dimana karyawan yang bekerja antara 11
Gambar 3. Karakteristik responden memberikan gambaran mengenai tingkat kebisingan dan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan kerja. Dari hasil pengamatan di lapangan diperoleh informasi bahwa industri
bengkel permesinan memiliki tingkat
kebisingan yang lebih tinggi di banding dengan industry lainnya seperti daur ulang biji plastik dan konveksi. Dimana tingkat kebisingannya sekitar 97 dB dan hal ini telah diatas ambang batas yang ditentukan oleh peraturan Menteri Kesehatan No. 1405 tahun 2002 yang telah memberikan persyaratan kesehatan lingkungan kerja yan menyatakan bahwa tingkat kebisingan di ruang kerja maksimal 85 dBA. Lebih lanjut, untuk dapat menghindari dan mengeliminasi terjadinya kebisingan maka perusahaan telah memasang tanda yang menyatakan lokasi pekerjaan merupakan sumber kebisingan. Disamping itu pemakaian APD dan rotasi shift kerja
karyawan dilakukan guna menghindari
paparan secara terus menerus pada karyawan. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai pengetahuan tentang kebisingan, penggunaan alat pelindung diri dan penyakit terkait lingkungan kerja, maka faktor-faktor tersebut diakomodasi dalam suatu kuesioner yang didistribusikan kepada responden terpilih. Penilaian kuesioner ini menggunakan skala linkert untuk menyatakan persepsi responden, yaitu menggunakan sangat setuju sampat sangat tidak setuju serta pernyataan selalu dan tidak pernah pada faktor pengetahuan APD dan penyakit terkait lingkungan kerja. Analisis reliabilitas (alpha Cronbach) dilakukan untuk semua jenis pertanyaan pada responden, dimana hasil yang diperoleh adalah 0.76 sebagaimana tabel 2 di bawah.
Tabel 3: Perbandingan penggunaan APD berdasarkan jenis kelamin dan usia responden
Variabel Jumlah mengenai perbandingan pemakaian APD terkait kebisingan yang didasarkan pada jenis kelamin dan usia responden. Dari hasil survey tersebut diperoleh keterangan bahwa sebagian besar responden telah menggunakan alat pelindung diri dalam kaitannya untuk mengurangi potensi risiko kebisingan. Bila ditinjau dari jenis kelamin, maka proporsi terbesar penggunaan APD ini adalah wanita yaitu sekitar 75% sementara laki-laki hanya sekitar 65% yang menggunakan APD dari total responden. Sedangkan berdasarkan usia, diperoleh informasi bahwa usia responden 21-35 tahun merupakan pengguna APD terbesar yaitu sekitar 67.8% dan usia di atas 46 tahun menggunakan APD sekitar 37.2%.
apakah responden menggunakan APD untuk mengurangi paparan kebisingan di sumbernya.
Analisis Chi-Square memberikan gambaran bahwa terdapat tingkat perbedaan yang signigikan pada alat pelindung diri diantara
beberapa kategori seperti gender (α = 0.005),
usia (K2= 67.65; df=6; α = 0.005), masa kerja
(K2= 67.65; df=6; α = 0.005), dan latar
belakang pendidikan (K2= 67.65; df=6; α = 0.005).
Suatu studi yang dilakukan oleh Melamed et al., (1996), menemukan bahwa motivasi diri untuk menggunakan alat pelindung diri merupakan salah satu hal yang paling utama
dalam rangka pencegahan kerusakan
pendengaran. Selanjutnya, untuk dapat memberikan gambaran yang jelas bagi setiap karyawan mengenai pentingnya alat pelindung
diri, maka perusahaan harus mampu
memberikan program pelatihan penggunaan alat pelindung diri (Mohammadi, 2008). Melalui program pelatihan penggunaan APD akan dapat memberikan hasil keseluruhan positif bagi karyawan (Williams et al., 2007)
1. Kesimpulan
Tingkat kebisingan pada lingkungan pekerjaan dapat berpotensi terhadap penyakit akibat pekerjaan. Sehingga untuk dapat mengurangi tingkat kebisingan maka para karyawan yang bekerja di lingkungan yang memiliki tingkat kebisingan yang tinggi harus menggunakan alat pelindung diri kebisingan. Para karyawan juga diharapkan mampu mengetahui dasar-dasar kesehatan dan keselamatan kerja di lingkungan tempat kerja mereka. Perusahaan juga diharapkan dapat memberikan fasilitas yang terkait dengan peningkatan pengetahuan, tingkat kepedulian dan motivasi diri para karyawan terutama dalam hal kesehatan dan keselamatan kerja. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai titik awal untuk pelaksanaan penelitian berikutnya terkait dengan kesehatan dan keselamatan kerja terutama mengenai kebisingan dan faktor-faktor yang terkait.
Tabel 2. Hasil kuesioner mengenai persepsi risiko.
Deksripsi Skala penilaian Mean Total item
% pria % wanita Korelasi
Pengetahuan tentang kebisingan
Paparan tingkat kebisingan yang tinggi dapat berbahaya bagi pendengaran saya
71 9.8 3.15 0.45
Pada setiap tingkat kebisingan akan dapat berbahaya bagi pendengaran
76 8.2 3.16 0.53
Penggunaan alat pelindung diri tidak diperlukan di tempat kerja
77 8.5 2.95 0.63
Kebisingan dapat menyebabkan tuli permanen 79 7.6 3.14 0.58
Pengetahuan tentang APD
Pengetahuan alat pelindung diri pada lingkungan kerja
82 8.7 2.54 0.65
Penggunaan APD dapat mengurangi tingkat kebisingan
76.5 7.6 1.75 0.45
Saya menggunakan APD dengan baik sesuai ketentuan perusahaan
76 8.5 2.23 0.55
Saya menggunakan APD untuk mengurangi risiko kebisingan
77.4 7.6 2.10 0.63
Penyakit terkait lingkungan kerja
Keluhan sakit kepala 82 3.4 3.23 0.68
KESIMPULAN
Para stakeholder mempunyai peranan yang cukup penting dalam upaya mereduksi potensi risiko yang dapat muncul dari paparan tingkat kebisingan pada lingkungan pekerjaan serta senantiasa memperhatikan faktor-faktor kesehatan dan keselamatan kerja (K3) karyawan.
DAFTAR PUSTAKA
Alton B, Ernest J. Relationship Between Loss And Noise Exposure Levels In A Large Industrial Population: A Review Of An Overlooked Study. J Acoust Soc Am, 88(S1):S73 (A). 42 P.C. Eleftheriou /Applied Acoustics 2002;63: 35–42.
A.M. Sugeng Budiono, 2001. Tuli Akibat Kebisingan. Jakarta: Rineka Cipta Singgih Santosa.
Bennet N.B. Silalahi dan Rumondang B. Silalahi, 1995. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Pustaka Binawan Pressindo.
EPA, Information On Levels And
Environmental Noise Requisite To Protect Public Health And Welfare With And Adequate Margin Of Safety, Environmental Protection Agency, Washington (DC) March 1974.
Ganong W.F, 1992. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Jansen G. The effects of noise on human beings. VGB (German), (1992); 72(1):60-4.
Kunto, I. Mengatasi Kebisingan di
Lingkungan Kerja. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 2008. Semarang.
Melamed S, Rabinowitz S, Feiner M, Weisberg E, Ribak J. Usefulness of the protection motivation theory in explaining hearing protection device use among male industrial workers. Health Psychology 1996; 15: 209–215.
Mohammadi G., Occupational Noise Pollution and Hearing protection in selected industries, Iranian Journal of Health, Safety and Environment, 2014, Vol. 1, No. 1, pp. 30-35
Mohammadi G. Hearing conservation
programs in selected metal fabrication Industries, Applied Acoustics 2008;69: 287-292.
Morata TC., Fiorini AC, Fischer FM, Krieg EF, Gozzoli L, Colacioppo S. Factors affecting the use of hearing protectors in a population of printing workers. Noise & Health 2001; 4 (13): 25-32.
Pratini, S. Analisa Tingkat Kebisingan untuk Penentuan Alat Pelindung Telinga Yang Tepat pada Grinding Section PA-Pabrik III PT. Petrokimia Gresik (Persero). TF – ITS. 2008. Skripsi
Pungky. W, 2002. Himpunan Peraturan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Sekretariat ASEAN-OSHNET dan Direktorat PNKK.
Suma’mur P.K., 1996. Keselamatan Kerja dan
Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: CV. Gunung Agung.
Tarwaka, 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja manajemen dan Implementasi K3 di Tempat Kerja. Surakarta: PT Harapan Press.
WHO. Situation Review and Update on Deafness. Hearing Loss and Intervention Programme . Regional Office for South-East Asia. 2007. New Delhi SEA Volume 61, Nomor 2