TAMAN VERTIKAL SUSUN
(VERTICAL GARDEN STACKING)
SEBAGAI
SOLUSI DEGRADASI RUANG TERBUKA HIJAU
DI KOTA YOGYAKARTA
Janu Muhammad, Pambayun Hari Setiawan
Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta
Sleman, 55515, janu.muhammad2@gmail.com;Sleman, 55281, harisetiawan133@yahoo.com
Abstrak
Dewasa ini pemanfaatan ruang belum sesuai dengan harapan, yakni terwujudnya ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Menurunnya kualitas permukiman di perkotaan bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh yang rentan dengan bencana banjir serta semakin hilangnya ruang terbuka hijau (green openspaces). Ruang terbuka hijau yang idealnya 30% di setiap kota, pada kenyataannya hanya 10%. Permasalahan degradasi ruang terbuka hijau telah terjadi di Kota Yogyakarta. Kecenderungan meningkatnya kebutuhan lahan akibat bertambahnya jumlah penduduk yang terkonsentrasi di wilayah kota mengakibatkan terlampauinya batas daya dukung (carrying capasity) lahan. Data BPS tahun 2002 menunjukkan bahwa Umbulharjo merupakan kecamatan di Kota Yogyakarta yang mengalami konversi lahan pertanian yang paling banyak jika dibanding dengan kecamatan-kecamatan lain di Yogyakarta. Total penurunan luas lahan pertanian sebesar 36,36 Ha antara tahun 1996 sampai tahun 2002 (selama enam tahun) atau terjadi penurunan 6,1 Ha tiap tahunnya (BPS, 2002). Dengan demikian, diperlukan solusi untuk menciptakan ruang terbuka hijau dengan memaksimalkan lahan yang tersedia. Taman Vertikal Susun (Vertical Garden Stacking) adalah sebuah solusi untuk permasalahan degradasi ruang terbuka hijau di Kota Yogyakarta. Penerapan Vertical Garden Stacking menggunakan pendekatan keruangan dengan memaksimalkan lahan kota yang sempit. Penelitian ini menggunakan metode kombinasi antara penelitian lapangan serta analisis data sekunder. Vertical Garden Stacking adalah konsep taman tegak, yaitu tanaman dan elemen taman lainnya yang diatur dalam sebuah bidang tegak. Dengan konsep ini, ruang tanam jauh lebih besar dibanding dengan taman konvensional, bahkan jumlah tanaman yang dapat ditanam bisa beberapa kali lipat, sehingga dapat menambah ruang terbuka hijau di Kota Yogyakarta secara signifikan.
Kata Kunci: Vertical Garden Stacking, Ruang Terbuka Hijau, Kota Yogyakarta
Abstract
Today the utilization of space has not been in line with expectations , the realization of a comfortable , productive , and sustainable . Declining quality of urban settlements can be seen from the ever-increasing congestion , development of slum areas that are prone to flooding and the loss of green open space. Green space which is ideally 30 % in every city , in fact only 10 % . Degradation of green open space issues have occurred in the city of Yogyakarta . Tendency of increasing demand for land due to population growth are concentrated in the city resulted in exceeding the limit of the carrying capacity land . BPS data in 2002 showed that Umbulharjo is a district in the city of Yogyakarta who have agricultural land conversion when compared with most other sub-districts in Yogyakarta . Total decrease in agricultural land area of 36.36 hectares between 1996 and 2002 ( for six years ) or a decline 6.1 ha each year ( BPS , 2002) . Thus , the solution needed to create a green space by maximizing available land . Arrange Vertical Garden Stacking is a solution to the problem of degradation of green open space in the city of Yogyakarta . Application of Vertical Garden Stacking spatial approach to maximize the city's narrow land . This study uses a combination of field research and secondary data analysis . Vertical Garden Stacking is the vertical garden concept , namely plants and other garden elements are arranged in a vertical plane . With this concept , a much larger plant than a conventional garden , even the number of plants that can be planted several times , so as to increase the green space in the city of Yogyakarta significantly.
PENDAHULUAN
Persoalan daya dukung (carrying
capacity) merupakan masalah yang
sudah lama menjadi wacana di dalam
pembangunan. Daya dukung wilayah
(carrying capacity) dipakai sebagai dasar
dalam penyelenggaraan pembangunan
berwawasan kependudukan dan acuan
dalam membangun ke depan. Demikian
halnya di Kota Yogyakarta, dengan
semakin bertambahnya jumlah penduduk
di Kota Yogyakarta diiringi dengan
pesatnya pembangunan fasilitas fisik
maupun sosial, maka fakta menunjukkan
bahwa daya dukung wilayah Kota
Yogyakarta saat ini, baik daya dukung
lingkungan alam, sosial maupun buatan
mengalami degradasi kualitas yang telah
mencapai tahap yang mengkhawatirkan.
Persebaran penduduk antara
daerah perkotaan dan pedesaan di Kota
Yogyakarta yang tidak merata, yaitu
jumlah penduduk yang bermukim di
daerah perkotaan meningkat dengan
cepat dibandingkan dengan penduduk
yang bermukim di pedesaan. Kondisi
tersebut menyebabkan permintaan
kebutuhan lahan dengan ketersediaan
lahan tidak seimbang. Selanjutnya
kecenderungan meningkatnya kebutuhan
lahan yang terkonsentrasi di wilayah
tertentu ini mengakibatkan terlampauinya
batas daya dukung lahan.
Perkembangan tersebut memaksa
Kota Yogyakarta melakukan perluasan
kotanya ke daerah pinggiran. Salah satu
wilayah pinggiran yang mengalami
dampak yang paling besar adalah
Kecamatan Umbulharjo. Kecamatan
Umbulharjo yang semula merupakan
wilayah pertanian mulai berubah fungsi
menjadi wilayah non pertanian
khususnya permukiman. Data BPS tahun
2002 menunjukkan bahwa Umbulharjo
merupakan kecamatan di Yogyakarta
yang mengalami konversi lahan pertanian
yang paling banyak jika dibanding dengan
kecamatan-kecamatan lain di Yogyakarta.
Total penurunan luas lahan pertanian
sebesar 36,36 Ha antara tahun 1996
sampai tahun 2002 (selama enam tahun)
atau terjadi penurunan 6,1 Ha tiap
tahunnya (BPS, 2002).
Kondisi daya dukung lingkungan
alam Kota Yogyakarta juga dapat
dilihat dari RTH (Ruang Terbuka
Hijau). Tingginya tingkat pertambahan
penduduk di Kota Yogyakarta terutama
akibat urbanisasi merupakan salah satu
permasalahan di Indonesia. Jumlah
penduduk perkotaan yang tinggi yang terus
meningkat dari waktu ke waktu
memberikan dampak tingginya tekanan
terhadap pemanfaatan ruang kota,
terbuka (open space), yang berupa
Ruang Terbuka Hijau (RTH) maupun
Ruang Terbuka Non Hijau sebagai ruang
terbuka publik yang berpotensi menjadi
ruang permukiman atau ruang budidaya.
Ruang di kota yang seharusnya
nyaman, produktif, dan berkelanjutan kini
telah mengalami degradasi. Hal ini
ditambah dengan menurunnya kualitas
permukiman di perkotaan yang bisa dilihat
dari kemacetan parah, berkembangnya
kawasan kumuh yang rentan dengan
bencana banjir serta semakin hilangnya
ruang terbuka hijau (green openspaces).
Ruang terbuka hijau yang idealnya 30% di
setiap kota, pada kenyataannya hanya 10%.
Dengan kondisi demikian, diperlukan suatu
solusi pengadaan Ruang Terbuka Hijau
yang representatif dan ideal,
memanfaatkan ruang yang sempit namun
tetap berdaya guna. Taman Vertikal Susun
(Vertical Garden Stacking) merupakan
sebuah solusi degradasi Ruang Terbuka
Hijau di Kota Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk
menciptakan inovasi Taman Vertikal
Susun (Vertical Garden Stacking) sebagai
salah satu upaya dalam meningkatkan RTH
dengan memanfaatkan ruang yang sempit
di lingkungan kota. Tujuan khusus dari
penelitian ini adalah menghasilkan suatu
model/desain Taman Vertikal Susun
(Vertical Garden Stacking) yang bisa
dimanfaatkan sebagai media tanam dan
penghijauan di tengah Kota Yogyakarta.
KAJIAN PUSTAKA
Ruang Terbuka Hijau
Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota
adalah bagian dari ruang-ruang terbuka
(open spaces) suatu wilayah perkotaan
yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan
vegetasi (endemik, introduksi) guna
mendukung manfaat langsung dan/atau
tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH
dalam kota tersebut yaitu keamanan,
kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan
wilayah perkotaan tersebut (Anonim.
2005).
Berdasarkan bobot kealamiannya,
bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi (a)
bentuk RTH alami (habitat liar/alami,
kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non
alami atau RTH binaan (pertanian kota,
pertamanan kota, lapangan olah raga,
pemakaman, berdasarkan sifat dan karakter
ekologisnya diklasifikasi menjadi (a)
bentuk RTH kawasan (areal, non linear),
dan (b) bentuk RTH jalur (koridor, linear),
berdasarkan penggunaan lahan atau
kawasan fungsionaln ya diklasifikasi
menjadi (a) RTH kawasan perdagangan,
(b) RTH kawasan perindustrian, (c) RTH
pertanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan
khusus, seperti pemakaman, hankam, olah
raga, alamiah. Status kepemilikan RTH
diklasifikasikan menjadi (a) RTH publik,
yaitu RTH yang berlokasi pada
lahan-lahan publik atau lahan-lahan yang dimiliki oleh
pemerintah (pusat, daerah), dan (b) RTH
privat atau non publik, yaitu RTH yang
berlokasi pada lahan-lahan milik privat.
Degradasi
Menurut Oldeman (1992)
mengatakan bahwa degradasi adalah suatu
proses dimana terjadi penurunan baik saat
ini maupun masa yang akan datang dalam
memberikan hasil (product). Definisi
degradasi agak bersifat subjective
(Lamb, 1994), memiliki arti yang
berbeda tergantung pada suatu kelompok
masyarakat. Berkaitan dengan tata guna
lahan perkotaan, Almeida et al.(2003)
melakukan penelitian mengenai
permodelan dinamik tata guna lahan
perkotaan berkelanjutan. Eksperimen
dilakukan dengan membangun sebuah
panduan metodologis untuk pemodelan
perubahan tata guna lahan perkotaan
melalui metode statistik ”pembobotan
bukti”.Variabel-variabel yang menjelaskan
dapat bersifat endogen (melekat dalam
sistem transformasi tata guna lahan) atau
eksogen (di luar sistem).Variabel-variabel
endogen berkaitan dengan ciri-ciri
lingkungan alam dan buatan manusia
maupun berbagai aspek sosial ekonomi
dari sebuah kota, seperti legislasi
peruntukan dan legislasi perkotaan;
prasarana teknik dan sosial; topografi
kawasan lindung/ konservasi; pasar real
estate; kesempatan kerja; adanya
pusat-pusat kegiatan yang terpolarisasi
seperti mall, taman-taman tematik,
tempat peristirahatan, dan seterusnya.
Hasil pemodelan ini menunjukkan bahwa
dinamika tata guna lahan memberikan
estimasi pada perkembangan perkotaan
berkelanjutan.
Kota Yogyakarta
Secara geografis Yogyakarta
terletak antara 1100 24’19”- 1100
28’53”BT dan 070 15’24”- 070 49’26”LS.
Wilayah Kota Yogyakarta dibatasi oleh
daerah-daerah seperti : Kabupaten Sleman
(sebelah utara), Kabupaten Bantul (sebelah
selatan), serta Kabupaten Sleman dan
Bantul (sebelah barat dan timur).
Kota Yogyakarta memiliki
kemiringan lahan yang relatif datar antara
0%-3% ke arah selatan serta mengalir 3
buah sungai besar : Sungai Winongo
dibagian barat, Sungau Code dibagian
tengah, Sungai Gajahwong dibagian timur.
Wilayah Kota Yogyakarta terdiri dari 14
kecamatan, 45 kelurahan, 617 RE, dan
atau kurang lebih 1,02 % dari luas wilayah
Propinsi DIY.
Taman Vertikal
Adalah penanaman yang dilakukan
pada struktur vertikal seperti tanggul atau
dinding penahan (retaining wall ). Pada
umumnya vertical greenery dibangun
untuk menahan lereng yang berfungsi
untuk membantu meningkatkan kestabilan
lereng. Fungsi lain dari penanaman cara ini
adalah menjadikan dinding atau lereng
lebih menarik dan dapat menciptakan
habitat bagi satwa (Arifin dkk, 2008).
Blanc (2008), menyatakan bahwa
vertical garden atau vertical greenery
merupakan tanaman yang disusun secara
vertikal dan dapat menciptakan iklim
mikro yang spesifik di sekitarnya, karena
tanaman berperan penting dalam
keseimbangan lingkungan. Tanaman dapat
menyediakan ruang yang sejuk dan kaya
oksigen untuk manusia. Dalam arti lain
vertical garden merupakan suatu gagasan
memindahkan efek natural ke dalam
sebuah lingkungan perkotaan. Konsep
vertical garden memberikan manfaat,
antara lain: menambah keindahan alami
lingkungan, menciptakan taman indah di
lahan terbatas, menahan panas dari luar,
mengurangi tingkat kebisingan suara,
mengurangi polusi udara, menangkap
partikel-partikel kotoran, mengurangi efek
tampias hujan, dan meningkatkan suplai
oksigen.
Vertical greenery memberikan
dampak positif bagi lingkungan sekitar
terutama bagi perubahan lingkungan d
aerah perkotaan yang padat. Adanya
vertical greenery dapat mengurangi
dampak emisi, contohnya pada area parkir
atau jalan raya di pusat kota. Vertical
greenery dengan sejumlah massa daun
tanaman yang ada, dapat menyerap
karbondioksida (CO2) dan partikel logam
berat. Manfaat yang diperoleh oleh
vertical greenery tergantung pada faktor
desain yang meliputi luas daun, kerapatan
daun, kondisi lokasi dan skala proyek.
PEMBAHASAN
Pemerintah Kota Yogyakarta
mempunyai komitmen yang tinggi
dengan permasalahan ruang terbuka hijau.
Program-program yang menunjang
terciptanya ruang terbuka hijau, baik yang
bersifat publik maupun privat mendapat
prioritas yang tinggi dalam pembangunan
wilayahnya. Dalam rangka pengaturan
ruang terbuka hijau maka Pemerintah
Kota Yogyakarta mengeluarkan regulasi
dalam bentuk peraturan walikota yakni
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor
5 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Walikota Yogyakarta Nomor 6 Tahun
2010 tentang Penyediaan Ruang Terbuka
Hijau Privat. Hal ini menunjukkan
komitmen yang tinggi bagi pemerintah
kota terhadap ruang terbuka hijau tersebut.
Berdasarkan data Badan Lingkungan
Hidup Kota Yogyakarta tahun 2010, ruang
terbuka hijau (RTH publik) yang dibangun
pemerintah masih kurang dari 20 persen
atau hanya 17,17 persen (557,90 hektar)
dari luas wilayah Kota Yogyakarta.
Kurangnya pembangunan RTH
publik di wilayah kota diakibatkan
karena keterbatasan lahan yang bisa
digarap untuk pembangunan RTH
tersebut. Maraknya pembangunan
beragam proyek yang melanggar aturan
lingkungan menjadi penyebab semakin
kritisnya ketersediaan ruang terbuka hijau
di Kota Yogyakarta. Permintaan akan
pemanfaatan lahan kota yang terus
tumbuh dan bersifat akseleratif utuk
pembangunan berbagai fasilitas perkotaan,
termasuk kemajuan teknologi, industri dan
transportasi, selain sering mengubah
konfigurasi alami lahan/bentang alam
perkotaan juga menyita lahan-lahan
tersebut dan berbagai bentukan ruang
terbuka lainnya. Pembangunan mal,
hotel dan beragam fasilitas lainnya
hampir tidak satupun yang memenuhi
ketentuan untuk berpihak kepada menjaga
lingkungan. RTH publik disumbang dari
pembangunan jalur hijau yang luasannya
telah mencapai 360,44 hektar, setelah itu
disumbang dari areal pemakaman, jalur
pengaman atau median jalan, kebun
binatang, lapangan olahraga,taman kota
dan tempat rekreasi serta tempat parkir
terbuka.
Menurut Shirly (2011), untuk
mewujudkan kota humanis seperti Kota
Yogyakarta diperlukan perencanaan ruang
kota dan wilayah secara terpadu,
khususnya antara perencanaan guna lahan
dan transportasi, perencanaan permukiman
dan transportasi, perencanaan ruang kota
yang hijau dan bersih. Selain itu, perlu
adanya penerapan pada aspek
keberlanjutan lingkungan hidup,
memaksimalkan ruang terbuka hijau
(seperti : pekarangan, taman, jalur hijau
pada jalan, jembatan, sungai, dan lainnya),
memilih tanaman lokal sebagai peneduh,
serta dapat mereduksi CO2. Dan polusi
lainnya, menggunakan kembali
unsure-unsur yang dapat menimbulkan masalah
lingkungan hidup seperti sampah, air
hujan, dan air bekas cucian.
Taman Vertikal Susun (Vertical
Garden Stacking) adalah inovasi model
ruang terbuka hijau dengan memanfaatkan
lahan kota yang sempit. Vertical Garden
memindahkan efek natural ke dalam
sebuah lingkungan perkotaan. Konsep
Vertical Garden Stacking memberikan
dampak positif bagi lingkungan sekitar
terutama bagi perubahan lingkungan
daerah perkotaan yang padat. Adanya
Vertical Garden Stacking dapat
mengurangi dampak emisi, contohnya pada
area parkir atau jalan raya di pusat kota.
Vertical Garden Stacking dengan sejumlah
massa daun tanaman yang ada, dapat
menyerap karbondioksida (CO2) dan
partikel logam berat. Manfaat yang
diperoleh oleh vertical greenery
tergantung pada faktor desain yang
meliputi luas daun, kerapatan daun, kondisi
lokasi dan skala proyek.
Nilai lebih dari adanya Vertical
Garden Stacking yaitu : 1. menciptakan
karakter fashionable di tengan lingkungan
kota yang modern, 2. menjadikan solusi
penataan taman dalam kondisi
keterbatasan lahan, 3. merefleksikan atau
memindahkan suatu pemandangan alam, 4.
tirai alami menghasilkan suasana sejuk, 5.
menjadikan suatu partisi dan screen untuk
view yang tidak diinginkan.
Vertical Garden Stacking ini
menggunakan konsep tanaman merambat
secara tersusun, artinya arah tumbuh
tanaman menjulang ke atas dan semakin
tersusun rapat untuk bagian bawah. Tiga
komponen utamanya adalah : media tanam,
jenis tanaman, dan langkah pembuatan.
Vertical Garden Stacking menggunakan
tipe tanaman rambat yaitu markisa
(Passiflora edulis f. flavicarpa). Markisa
tergolong ke dalam tanaman genus
Passiflora, berasal dari daerah tropis dan
sub tropis di Amerika. Pemilihan tanaman
buah markisa didasarkan pada nilai
manfaat yang dihasilkan.
Selain bersifat mudah tumbuh di
wilayah gersang dan tahan panas, markisa
merupakan tanaman perambat yang baik
jika dikonsumsi. Penelitian invitro di
University of Florida juga mendapati
bahwa ekstrak buah markisa kuning
banyak mengandung fitokimia yang
mampu membunuh sel kanker. Fitokimia
tersebut antara lain polifenol dan
karotenoid. Keistimewaan lain tanaman
buah markisa adalah tidak ada perlakuan
khusus untuk mengembangkannya.
Gambar 1. Tanaman markisa sebagai
tanaman rambat Vertical Garden Stacking
Media tanam Vertical Garden
Stacking adalah tralis besi atau bambu.
Perakaran tanaman markisa terdapat dari
bawah tanah dan sulur tanamannya
merambat mengikuti pola rangka besi.
Pertumbuhan sulur tanaman diatur
sehingga menciptakan pola taman vertikal
susun yang diinginkan. Tralis besi atau
bambu diletakkan di samping
rumah-rumah penduduk yang merupakan dinding
kosong/pagar. Jarak penempatan adalah 30
cm dan didirikan tegak ke atas.
Desain Vertical Garden Stacking
ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 3. Desain Vertical Garden
Stacking
Proses pembuatan prototype atau
rancangan produk yaitu : 1. Persiapan
bahan, berupa dinding luar rumah/pagar,
dengan ukuran minimal 3m x 2m,
bambu/tralis besi, bibit tanaman markisa,
air, perlengkapan lain (paku, palu,
cangkul), serta pupuk.
Gambar 4. Kerangka dari bambu Gambar 2. Dinding kosong sebagai
media utama Vertical Garden Stacking
Sumber : dokumentasi penulis
Tanaman merambat (markisa)
Tralis besi/ bambu
Dinding rumah/pagar
2. Membuat kerangka media rambat dari
bamboo (jika belum sanggup membeli
kerangka tralis besi), bambu dirangkai
berselang-seling dan dipaku pada ujung
pertemuan. Ukuran kerangka disesuaikan
dengan ukuran dinding rumah/pagar
dengan rentang jarak satu kotak adalah 15
cm x 15 cm. 3. Memasang kerangka di
samping dinding rumah/pagar dengan jarak
antara dinding ke kerangka adalah 30 cm.
Hal ini bertunuan untuk memberi ruang
tumbuh dan sebagai jalan udara/angin. 4.
Menyiapkan media tumbuh berupa planter
box yang tertanam di tanah dan telah diberi
pupuk kompos. Menanam bibit markisa
dalam planter box dengan kedalaman 30
cm. Hal ini bertujuan agar pertumbuhan
akar tanaman mendapat ruang yang cukup.
5. Tanaman yang sudah merambat dirawat
dan diatur sedemikian rupa agar tidak
keluar dari kerangka bambu, buah yang
dihasilkan bisa diolah menjadi minuman.
Rencana pengimplementasian atau
uji coba model Vertical Garden Stacking
adalah di Kota Yogyakarta dengan sampel
lokasi di Kecamatan Tegalrejo, di mana
terdapat perumahan warga yang perlu
diperbanyak ruang terbuka hijau. Model
Vertical Garden Stacking mengutamakan
daya guna lahan sempit yang bisa
dimanfaatkan secara maksimal dengan
memperhatikan aspek keruangan. Di antara
kelebihan dengan adanya Vertical Garden
Stacking ini adalah :
1. Pemanfaatan lahan yang sempit
secara maksimal
2. Ramah lingkungan dan
berkelanjutan
3. Ekonomis dan berdaya guna
(terutama hasil buah markisa bisa
diolah menjadi minuman)
4. Tidak membutuhkan
modal/pembiayaan yang besar
(terjangkau) karena memanfaatkan
bahan-bahan alam yang ada
5. Efektif diterapkan di lahan sempit
Kota Yogyakarta untuk
peningkatan Ruang Terbuka Hijau
6. Mudah untuk diaplikasikan
(aplikatif) oleh masyarakat
SIMPULAN
Taman Vertikal Susun (Vertical
Garden Stacking) merupakan model
inovasi peningkatan Ruang Terbuka Hijau
sebagai upaya untuk mengatasi degradasi
RTH di Kota Yogyakarta menggunakan
model penelitian dan pengembangan
dengan memperhatkan aspek keruangan.
Beberapa keunggulan (Vertical Garden
Stacking) adalah : pemanfaatan lahan yang
sempit secara maksimal, ramah lingkungan
dan berkelenjutan, ekonomis dan berdaya
guna, terjangkau, efektif, dan aplikatif.
besar dibanding dengan taman
konvensional, bahkan jumlah tanaman
yang dapat ditanam bisa beberapa kali
lipat, sehingga dapat menambah ruang
terbuka hijau di Kota Yogyakarta secara
signifikan.
Pustaka Rujukan
Buku:
.Anonim. 2005. Ruang Terbuka Hijau
(RTH) Wilayah Perkotaan. Bogor :
Fakultas Pertanian IPB.
Anonim. 2001. Profil Kabupaten/ Kota.
Yogyakarta : Ciptakarya
Wunas, Shirly.2011. Kota Humanis.
Surabaya: Brilian Internasional.
Jurnal:
Atmojo, Suntoro. 2006. Degradasi Lahan
dan Ancaman Bagi Pertanian
Lamb, D. 1994. Reforestation of
Degraded Tropical Forest Lands
in the Asia-Pasific Region.
Journal of Tropical Forest Science
7(1):1-7
Oldeman, L.R. 1992. The Global
Extent of Soil Degradation. In
Greenland, D.J. and Szobolcs, I.
(Ed). Soil Resilience and
Sustainable Land Use. CAB
International.
561 pp.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah
Perkotaan. Lab. Perencanaan
Lanskap Departemen Arsitektur
Lanskap Fakultas Pertanian – IPB
Website:
http://ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/barat
/diy/yogyakarta.pdf . Profil
Yogyakarta, diakses pada
tanggal 2 November 2013.
www.bps.go.id. diakses pada tanggal 2