• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Penggunaan Dosis Pufa Emulsion Dalam Pengayaan Pakan Terhadap Perkembangan Morfologi Larva Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efektivitas Penggunaan Dosis Pufa Emulsion Dalam Pengayaan Pakan Terhadap Perkembangan Morfologi Larva Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Efektivitas Penggunaan Dosis Pufa Emulsion Dalam Pengayaan Pakan

Terhadap Perkembangan Morfologi Larva Ikan Kerapu Bebek

(Cromileptes altivelis)

Oleh

Hamsah Amiruddin, Rochman Subiyanto, Marwa dan Rusli Raiba ABSTRAK

Perekayasaan ini dilaksanakan di Balai Budidaya Laut Ambon pada bulan Maret - Mei 2013 dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh dosis PUFA emulsion dalam proses pengayaan pakan (rotifera) terhadap perkembangan morfologi larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis). Rancangan yang digunakan dalam perekayasaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 2 perlakuan penggunaan dosis PUFA emulsion yaitu : PUFA emulsion 5 ml (Perlakuan A) dan PUFA emulsion 10 ml (perlakuan B), sedang sebagai Kontrol adalah tanpa penggunaan PUFA emulsion. Perlakuan diberikan untuk larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang dipelihara dalam 3 buah bak beton kapasitas 8 m3 (8000 liter) pada larva berumur D-3 sampai dengan D-16 dengan frekwensi 2 kali sehari. Sampel larva diambil secara acak pada masing-masing bak sebanyak 30 individu setiap hari selama 16 hari (D-0 sampai dengan D-16). Parameter yang diamati meliputi diameter kuning telur, diameter gelembung minyak (oil globule), ukuran bukaan mulut, diameter mata, Panjang total, Panjang notochord, panjang preanal, panjang duri punggung (spina dorsalis), panjang duri perut (spina ventralis) dan perkembangan sirip ekor. Data dianalisis dengan One Way ANOVA. Hasil analisis One Way ANOVA, menunjukan bahwa penggunaan PUFA emulsion 5 ml dan 10 ml dalam pengayaan pakan maupun tanpa penambahan PUFA emulsion memberikan pengaruh yang sama terhadap perkembangan morfologi larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis). Namun secara visual penggunaan PUFA emulsion 10 ml (perlakuan B) dalam pengaya pakan (rotifer) memperlihatkan perkembangan morfologi yang lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan A (PUFA emulsion 5 ml) dan Kontrol (tanpa PUFA emulsion), khususnya terhadap pertambahan panjang total tubuh dan panjang notochord, Sedangkan terhadap pembentukan formasi sirip ekor dan kelenturan membengkok notochord penggunaan PUFA emulsion 5 (perlakuan A) dan 10 ml (perlakuan B) memberikan perkembangan yang lebih baik apabila dibanding dengan tanpa penggunaan PUFA

emulsion.

Kata kunci : PUFA emulsion, Pengayaan Pakan, Perkembangan Morfologi, Larva Ikan Kerapu Bebek

Effectivity Using Dozen Pufa Emulsion Within Diet Enrichment To

Morphologycal Development Of Larval Humpback Grouper (C. altivelis)

By

Hamsah Amiruddin, Rochman Subiyanto, Marwa and Rusli Raiba Abstract

This engineering was conducted on Ambon Mariculture Development Center from March to Mei 2013 to known the effect dozen PUFA emulsion within diet (rotifera) enrichment to larval morphological development of Humpback Grouper larvae. Completed Randomized Design (RAL) with 2 replication was used, PUFA emulsion 5 ml (treatment A), PUFA emulsion 10 ml (treatment B) and non PUFA emulsion (Control). Humpback Grouper larvae were maintained in 3 concrete ponds (capacity of 8000 L) and were feed by diet (rotifers) enrichment from D-3 up to D-16. 30 individual larvae were taken randomly every day since its hatched until day 16 (D-16) with frequency 2 time/day. Measurement were done on the larvae, e.g ; yolk diameter (mm), oil globule diameter (mm), eye diameter (mm), mouth opening (mm), total length (mm), notochord length (mm), preanal length (mm), head length (mm), dorsal spine length (mm), ventral spine length (mm) and the development of caudal fin. The data were analyzed with One-Way ANOVA.

(2)

The result showed that by using PUFA emulsion although non PUFA emulsion had the same effect on the morphological development of the larval. However by using PUFA emulsion 10 ml (treatment B) in enrichment diet (rotifera) visuality showed the morphological development of Humpback Grouper larvae which much better than treatment A (PUFA emulsion 5 ml) and Control (Non PUFA), specifically for increase size total length body and notochord length), While the formation of the tail fin and notochord bending flexibility of the use of PUFA emulsion 5 (treatment A) and 10 ml (treatment B) provide a better development when compared with the emulsion without the use of PUFAs.

Key Words : PUFA emulsion, diet enrichment, Morphologycal Development, Humpback Grouper Larvae

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Budidaya ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) di Indonesia sudah berkembang dengan cukup pesat. Sebagai ikan komesial, ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) masih merupakan primadona bagi pasar lokal maupun mancanegara. Untuk mendukung kegiatan tersebut dibutuhkan kontinuitas suplai benih dengan kuantitas dan kualitas yang memadai.

Dalam mengembangkan usaha budidaya ikan Kerapu Bebek tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pasokan benih dari alam karena disamping jumlah benih dari alam yang sangat terbatas, juga sulitnya memperoleh ukuran benih yang seragam pada saat penebaran awal. Untuk itu dibutuhkan upaya pembenihan ikan kerapu bebek baik dengan hatchery skala besar maupun hatchery skala rumah tangga. Usaha pembenihan ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) di Indonesia sudah dikembangkan secara luas, tidak ketinggalan di kawasan Indonesia Bagian Timur khususnya Pulau Ambon. Namun dalam perkembangannya masih dijumpai beberapa kendala teknis. Salah satu kendala tersebut adalah lambatnya perkembangan larva pada umur-umur awal sebagai akibat pemberian rotifera yang rendah nutrisi terutama kandungan asam lemak esensialnya. Hal ini disebabkan rotifera yang diberikan pada larva berasal dari kultur massal dengan menggunakan ragi roti.

Pemberian ragi roti pada kultur rotifera dalam proses pembenihan ikan kerapu sudah lazim dilakukan akan tetapi kandungan asam lemak esensial terutama kandungan asam lemak esensial EPA (eicosa pentaenoic acid) dan DHA (decosa hexaenoic acid) sangat rendah.

Guna mengatasi permasalahan ini, maka perlu dilakukan pengayaan (enrichment) rotifera dengan menggunakan PUFA emulsion (minyak ikan) dengan dosis tertentu.

Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan perekayasaan tentang “Efektivitas Penggunaan dosis Pufa Emulsion Dalam Pengayaan Pakan Terhadap Perkembangan Morfologi Larva Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)”.

1.2. Tujuan

Perekayasaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis PUFA emulsion dalam proses pengayaan pakan (rotifera) terhadap perkembangan morfologi larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis). 1.3. Manfaat

Diharapkan perekayasaan ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat atau pelaku-pelaku usaha pembenihan ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) tentang penggunaan dosis PUFA emulsion yang baik dan tepat dalam proses pengayaan pakan (rotifera) yang mampu memacu perkembangan morfologi larva secara baik dan optimal.

II. METODOLOGI 2.1. Waktu dan Tempat

Perekayasaan ini dilaksanakan Di Balai Budidaya Laut Waiheru-Ambon pada bulan Maret - Mei 2013 secara indoor untuk pemeliharaan larva dan laboratorium untuk pengamatan perkembangan morfologi larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis).

2.2. Metoda

Rancangan yang digunakan dalam perekayasaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 2 perlakuan pengayaan rotifera dengan menggunakan PUFA emulsion yaitu : PUFA emulsion 5 ml

(3)

(Perlakuan A) dan PUFA emulsion 10 ml (perlakuan B), sedang sebagai Kontrol adalah tanpa penggunaan PUFA emulsion. Perlakuan diberikan untuk larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang dipelihara dalam 3 buah bak beton kapasitas 8 m3 (8000 liter) pada larva berumur D-3 sampai dengan D-16. Sampel larva diambil secara acak pada masing-masing bak sebanyak 30 individu setiap hari selama 16 hari (D-0 sampai dengan D-16). Parameter yang diamati meliputi diameter kuning telur, diameter gelembung minyak (oil globule), ukuran bukaan mulut, diameter mata, Panjang total, Panjang notochord, panjang preanal, panjang duri punggung (spina dorsalis), panjang duri perut (spina ventralis) dan perkembangan sirip ekor. Data dianalisis dengan One Way ANOVA yang diolah dengan program Exell.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Larva Baru Menetas (D-0) Sampai Umur 3 Hari (D-3)

D-0 (Pembesaran100x) D-1 (Pembesaran100x) D-2 (Pembesaran100x) D-3 (Pembesaran40x) Gambar 1. Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Umur D-0 Sampai Dengan D-3

Larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang baru menetas terlihat trasparan dan memiliki kuning telur dan gelembung minyak (oil globule). Ukuran rata-rata panjang tubuh larva yang baru menetas adalah 1,677 ± 0,110 mm (Kontrol), 1,675 ± 0,100 mm (perlakuan A) dan 1,676 ± 0,101 mm (perlakuan B). Menurut Slamet dkk. (1996), larva ikan Kerapu Bebek yang baru menetas berukuran rata-rata panjang total tubuh 1,740 ± 0,056 mm.

Rata-rata ukuran diameter kuning telur yang dibawa oleh larva yang baru menetas adalah sebesar 0,593 ± 0,039 mm (Kontrol), 0,584 ± 0,029 mm (perlakuan A) dan 0,588 ± 0,056 mm (perlakuan B). Sedangkan rata-rata ukuran diameter gelembung minyak (oil globule) yang dibawa adalah sebesar 0,187 ± 0,009 mm (Kontrol), 0,182 ± 0,008 mm (perlakuan A) dan 0,185 ± 0,010 mm (perlakuan B).

Pada umur 1 hari (D-1), kuning telur dan gelembung minyak (oil globule) sudah mulai terabsorbsi sehingga ukuran diameternya mulai mengecil yaitu berukuran rata-rata 0,448 ± 0,044 mm (Kontrol), 0,442 ± 0,048 mm (Perlakuan A), dan 0,444 ± 0,043 mm (Perlakuan B) sedangkan gelembung minyak (oil

globule) berdiameter rata-rata 0,124 ± 0,009 mm (Kontrol), 0,122 ± 0,008 mm (perlakuan A), dan 0,124

± 0,009 mm (perlakuan B). Ukuran kuning telur yang besar menyebabkan larva dalam air berada dengan posisi vertikal (kepala berada pada posisi dibawah dan ekor di bagian atas). Slamet dkk.(1996) menyatakan bahwa larva yang baru menetas berbentuk bulat karena mempunyai kuning telur yang masih besar dan posisi gelembung minyak (oil globule) berada di bagian belakang tubuh larva yang berakibat posisi larva di air dengan kepala menghadap ke bawah.

Larva belum dapat berenang aktif sehingga pergerakannya masih sangat tergantung dari pergerakan air media pemeliharaan. Mata larva yang baru menetas belum mempunyai pigmen dan sistem penglihatan belum berfungsi, mulut dan anus belum terbuka serta saluran dan sistem pencernaan belum berfungsi. Pada kondisi ini, kelangsungan hidup larva masih sangat tergantung pada cadangan makanan dari kuning telur dan kondisi lingkungan hidupnya.

Larva yang baru menetas, makan dengan cara endogenous yaitu memperoleh makanan dari penyerapan kuning telur yang dibawanya sehingga energi yang dibutuhkan untuk perkembangan awal larva sangat tergantung pada cadangan kuning telur tersebut. Ukuran kuning telur dan butiran/gelembung minyak (oil globule) larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) pada Kontrol, perlakuan A dan B semakin hari semakin mengecil dan habis terabsorbsi pada hari ketiga (D-3).

Menurut Usman et al. (2003), kuning telur dan gelembung minyak (oil globule) larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) habis diserap pada saat larva berumur rata-rata 63 dan 65 jam (2,63 dan 2,71 hari) setelah menetas. Menurut Slamet dkk (1996), larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang baru menetas mempunyai persediaan kuning telur yang cukup besar, namun diserap dengan cepat dan habis pada 72 jam setelah menetas (SM) atau pada hari ke-3 (malam hari). Butiran minyak habis diserap pada 89-92 jam SM, hari ke-4 (siang hari). Larva mulai buka mulut pada 57 jam SM dan pigmentasi mata lengkap pada 65 jam SM, pada hari ke-3 (sore hari). Larva pertama kali makan (20 persen sampel) rotifera diketahui 70 jam SM, pada hari ke-3 sore. Tridjoko et al., (1996) juga menyatakan bahwa kuning telur habis pada hari ketiga. Adanya perbedaan lama waktu habisnya kuning telur disebabkan karena adanya

(4)

pengaruh lingkungan, terutama perbedaan suhu dan salinitas. Menurut Kohno and Slamet (1990), perbedaan kecepatan penyerapan kuning telur, terjadi karena perbedaan ukuran diameter kuning telur dan pengaruh faktor lingkungan antara lain suhu, salinitas dan oksigen terlarut. Penyerapan kuning telur semakin cepat apabila parameter kualitas air media pemeliharaan berada pada kondisi yang optimum.

Semakin besar ukuran kuning telur yang dibawa, semakin lama cadangan kuning telur habis terabsorbsi dan time leeway (waktu antara larva mulai buka mulut sampai larva mulai bisa memangsa pakan dari luar), semakin mendekati nilai positif. Kohno et al., (1990) menyatakan bahwa time leeway dari larva adalah -21,5 dan 18 jam. Jika time leeway negatif (-21,5 jam) maka hampir dapat dipastikan 90 % larva akan mati pada hari ketiga karena kuning telur sudah habis terabsorbsi 71 jam sejak ditetaskan, sedangkan larva baru mulai memangsa pakan dari luar 21,5 jam kemudian yaitu 92,5 jam sejak ditetaskan. Sebaliknya bila time leeway positif (+ 18 jam) maka kemungkinan sebagian besar larva dapat bertahan hidup karena larva sudah dapat memangsa pakan dari luar pada saat kuning telur habis terabsorbsi. Selanjutnya dikatakan bahwa larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) mulai membuka mulut 55 jam setelah ditetaskan dan jarak antara waktu larva mulai makan sampai semua larva makan adalah 69 – 92,5 jam setelah ditetaskan. Hal ini berarti bahwa larva mulai membuka mulut pada waktu antara D-2 dan D-3 (55 jam atau 2,3 hari dan mulai makan sampai semua larva makan adalah pada waktu antara D-2 sampai D-3 (69 – 92,5 jam atau 2,9 – 3,85 hari). Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan yaitu kuning telur habis terarbsobsi pada umur D-3 dan pada saat itu pula mulut telah terbuka yang berarti bahwa pada umur tersebut larva sudah dapat memangsa pakan dari luar sebagai makanannya dan bersamaan dengan itu pula, organ tubuh lainnya mengalami perkembangan diantaranya, mata telah berpigmen sehingga sistem penglihatan telah berfungsi, anus telah terbuka dan organ pencernaan mulai berfungsi, membran sirip dada telah terbentuk sehingga larva dapat berenang untuk menangkap makanan dan bersamaan dengan itu pula terjadi pertambahan ukuran dan perkembangan organ-organ tubuh. Anonim (2004) menyatakan bahwa peralihan antara mendapatkan pasokan makanan secara endogenous ke eksogenous merupakan fase kritis pertama dalam perkembangan larva, dimana sering terjadi kematian massal pada larva antara 50-90 %.

Effendie (2004), menyatakan bahwa, kematian larva yang tinggi terjadi pada peralihan pemanfaatan pakan dari luar (exsogenous feeding). Apabila terjadi kesenjangan pemanfaatan energi dari endogenous feeding ke exsogenous feeding pada saat kuning telur terserap habis dan larva belum melakukan proses organogenesis secara sempurna seperti pembentukan pigmen bintik mata, bukaan mulut dan lainnya maka akan mengakibatkan ketidakmampuan larva dalam memanfaatkan pakan dari luar (exsogenous feeding).

Ukuran diameter kuning telur larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) semakin mengecil dengan bertambahnya waktu, ukuran panjang tubuh serta perkembangan organ-organ tubuh larva. Rata-rata panjang total tubuh larva umur D-1 adalah 2,109 ± 0,079 mm (Kontrol), 2,100 ± 0,072 mm (perlakuan A) dan 2,105 ± 0,062 mm (perlakuan B). Setelah kuning telur dan gelembung minyak (oil globule) terabsorbsi (terserap habis) pada umur 3 hari (D-3) ukuran rata-rata panjang total tubuh meningkat 2,220 ± 0,085 mm (Kontrol), 2,195 ± 0,077 mm (perlakuan A) dan 2,196 ± 0,075 mm (perlakuan B) (tabel 8). Pada periode ini juga terjadi perkembangan saluran pencernaan, mata, mulut dan pigmentasi.

Gambar 2. Pola Perkembangan Ukuran Diameter Kuning Telur Dari Umur D-0 Sampai Dengan D-3 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0 1 2 3 D iam e te r K u n in g Tel u r (m m ) Umur (hari) Kontrol Perlakuan A Perlakuan B

(5)

Usman et al. (2003) menyatakan bahwa rata-rata panjang total larva Kerapu Bebek (C. altivelis) meningkat menjadi 2,54 mm setelah kuning telur terserap habis. Adanya perbedaan ukuran panjang total pada saat kuning telur terserap habis disebabkan karena perbedaan ukuran diameter telur, semakin besar ukuran diameter telur maka panjang total larva dan ukuran kuning telur juga akan semakin besar.

Gambar 3. Pola Perkembangan Ukuran Diameter Gelembung Minyak (Oil Globule) Dari Umur D-0 Sampai Dengan D-3

Pada larva umur 2 hari (D-2) ukuran diameter kuning telur sudah relatif kecil dan gelembung minyak (oil globule) terletak di bagian tengah tubuh sehingga bentuk tubuh larva menjadi ramping dan posisi di air sudah mendatar. Menurut Slamet dkk. (1996), adanya proses penyerapan kuning telur dan

oil globule akan mempengaruhi bentuk morfologi dan tingkahlaku larva sesuai dengan umur dan stadia

larva. Cepatnya pertambahan panjang larva setelah menetas disebabkan karena sumber nutrien dari kuning telur lebih banyak digunakan untuk pemeliharaan dan pertumbuhan panjang serta pembentukan organ-organ tubuh. Kohno and Slamet (1990) mengemukakan bahwa cepatnya pertambahan panjang larva pada fase awal tergantung kepada cepatnya penyerapan kuning telur.

Dengan demikian penyerapan kuning telur (yolk egg) berhubungan dengan proses perkembangan organ-organ tubuh larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) karena energi dari kuning telur digunakan pertama kali untuk proses perkembangan morfologinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kuning telur dan gelembung minyak (oil globule) dipergunakan sebagai sumber energi untuk perkembangan organ tubuh larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) untuk mencapai fase selanjutnya dalam proses perkembangan larva.

Tabel 1. Perkembangan Morfologi Larva (Rata-rata Diameter Kuning Telur, Diameter Gelembung Minyak, Ukuran Bukaan Mulut dan Diameter Mata) Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Umur D-0 Sampai Dengan D-3 Pada Kontrol, Perlakuan A dan B.

Umur Larva Perkembangan Morfologi Θ Kuning Telur (mm) Θ Gelembung Minyak (mm) Ukuran Bukaan Mulut (mm) Θ Mata (mm) K A B K A B K A B K A B D-0 0.593± 0.039 0.584± 0.029 0.588± 0.056 0.187± 0.009 0.182± 0.008 0.185± 0.010 0 0 0 0.128± 0.010 0.124± 0.006 0.126± 0.009 D-1 0.448± 0.044 0.442± 0.048 0.444±0. 043 0.124± 0.009 0.122±0. 008 0.124± 0.009 0 0 0 0.165± 0.009 0.160± 0.009 0.162± 0.008 D-2 0.181± 0.014 0.176± 0.026 0.180±0. 014 0.080± 0.018 0.075±0. 019 0.077± 0.014 0.081± 0.081 0.078± 0.078 0.079± 0.079 0.185± 0.009 0.183± 0.007 0.184± 0.007 D-3 0 0 0 0 0 0 0.146± 0.011 0.144± 0.012 0.145± 0.010 0.188± 0.011 0.187± 0.010 0.188± 0.010 0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0 1 2 3 Di am e te r Oil G lo b u le (m m ) Umur (hari) Kontrol Perlakuan A Perlakuan B

(6)

Setelah kuning telur dan gelembung minyak (oil globule) terserap habis (terabsorbsi), maka pada umur 3 hari larva harus sudah diberikan pakan dari luar (exogenous feeding).

Tabel 2. Perkembangan Morfologi Larva (Rata-rata Panjang Total, Panjang Notochord, Panjang Preanal dan Panjang Kepala) Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Umur D-0 Sampai Dengan D-3 Pada Kontrol, Perlakuan A dan B.

Umur Larva Perkembangan Morfologi Panjang Total (mm) Panjang Notochord (mm) Panjang Preanal (mm) Panjang Kepala (mm) K A B K A B K A B K A B D-0 1.677 ± 0.110 1.675 ± 0.100 1.676 ± 0.101 0.096 ± 0.096 0.093 ± 0.093 0.090 ± 0.090 0.940 ± 0.034 0.929 ± 0.048 0.939 ± 0.044 0.365 ± 0.019 0.360 ± 0.021 0.362 ± 0.018 D-1 2.109 ± 0.079 2.100 ± 0.072 2.105 ± 0.062 0.077 ± 0.077 0.064 ± 0.064 0.055 ± 0.055 1.070 ± 0.036 1.062 ± 0.036 1.064 ± 0.027 0.498 ± 0.034 0.482 ± 0.027 0.485 ± 0.032 D-2 2.153 ± 0.172 2.147 ± 0.127 2.150 ± 0.100 0.173 ± 0.173 0.124 ± 0.124 0.101 ± 0.101 1.011 ± 0.072 0.998 ± 0.057 1.008 ± 0.045 0.515 ± 0.036 0.509 ± 0.027 0.510 ± 0.031 D-3 2.202 ± 0.085 2.195 ± 0.077 2.196 ± 0.075 2.051 ± 0.087 2.046 ± 0.069 2.049 ± 0.180 1.049 ± 0.044 1.037 ± 0.049 1.046 ± 0.037 0.589 ± 0.025 0.584 ± 0.031 0.587 ± 0.038 Ukuran rotifera yang diberikan masih sesuai dengan ukuran bukaan mulut larva pada umur 3 hari yakni berukuran rata-rata 1.440 – 1.460 mm (144 – 146 mikron), karena rotifera yang diberikan berukuran panjang lorika berkisar antara 110 – 120 mikron dan lebar lorika berkisar antara 80 – 90 mikron.

1.2. Larva Umur 4 – 7 Hari (D-4 Sampai D-7)

D-4 (Pembesaran 40x) D-5 (Pembesaran 40x) D-6 (Pembesaran 40x) D-7 (Pembesaran 40x)

Gambar 4. Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Umur D-4 Sampai Dengan D-7

Pada umur 4 hari (D-4), pigmentasi (bintik hitam) dibagian dorsal dan pangkal perut sudah semakin jelas. Bintik hitam tersebut dapat dijadikan sebagai indikator perkembangan/pertumbuhan larva. Bila bintik hitam semakin besar dapat dipastikan larva dapat memangsa pakan yang tersedia secara optimal sehingga mampu melewati fase kritis awal dan sebaliknya jika bintik hitam semakin kecil dan warna tubuh tampak memudar dari warna aslinya berarti bahwa larva tidak dapat memangsa pakan yang tersedia, biasanya larva hanya mampu bertahan sampai umur 4 atau 6 hari (D-4 atau D-6) saja. Berdasarkan hasil pengamatan, bintik hitam pada bagian perut semakin bertambah hitam hal ini menunjukan bahwa pakan (rotifera) yang diberikan selama pemeliharaan dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga perkembangan organ tubuh (organoleptik) larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) dapat terus berlangsung.

Bukaan mulut larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) pada umur 4 hari (D-4) berukuran rata-rata 0,149 ± 0,010 mm atau 149 mikron (Kontrol), 0.150 ± 0,012 mm atau 150 mikron (perlakuan A) dan 0.152 ± 0,010 mm atau 152 mikron (perlakuan B) (Tabel 3). Oleh karena ukuran rotifera baik pada kontrol, perlakuan A dan B masih sesuai dengan bukaan mulut larva pada umur tersebut maka larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) dapat melewati fase kritis pertama.

Pada umur 7 hari (D-7), lebar bukaan mulut larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis), telah berukuran rata-rata 0,174 ± 0,021 mm atau 174 mikron (Kontrol), 0,184 ± 0,020 mm atau 184 mikron

(7)

(perlakuan A) dan 0,196 ± 0,024 mm atau 196 mikron (perlakuan B). Pada umur tersebut duri punggung (spina dorsalis) dan duri perut (spina ventralis) sudah terbentuk dan ini menunjukan larva telah memasuki fase kritis kedua. Pada fase kritis tersebut larva sudah membutuhkan pakan dengan kandungan nutrisi yang lebih kompleks. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Effendie (2004) bahwa pada saat masa pertumbuhan, ikan terutama pada fase muda lebih banyak membutuhkan kandungan nutrisi dalam makanannya.

Tabel 3. Perkembangan Morfologi Larva (Rata-rata Diameter Mata, Ukuran Bukaan Mulut, Panjang Total dan Panjang Notochord) Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Umur D-4 Sampai Dengan D-7 Pada Kontrol, Perlakuan A dan B.

Umur Larva

Perkembangan Morfologi Θ Mata

(mm)

Ukuran Bukaan Mulut (mm) Panjang Total (mm) Panjang Notochord (mm) K A B K A B K A B K A B D-4 0.199± 0.010 0.199± 0.008 0.202± 0.007 0.149± 0.010 0.150± 0.012 0.152± 0.014 2.240± 0.146 2.244± 0.200 2.252± 0.081 2.096± 0.148 2.072± 0.092 2.113± 0.070 D-5 0.209± 0.011 0.216± 0.009 0.217± 0.011 0.155± 0.016 0.157± 0.012 0.158± 0.008 2.328± 0.140 2.340± 0.088 2.392± 0.097 2.175± 0.152 2.200± 0.090 2.248± 0.096 D-6 0.220± 0.015 0.222± 0.014 0.243± 0.014 0.170± 0.020 0.174± 0.015 0.181± 0.019 2.396± 0.084 2.409± 0.231 2.426± 0.281 2.250± 0.084 2.262± 0.225 2.272± 0.308 D-7 0.262± 0.019 0.264± 0.021 0.269± 0.023 0.174± 0.021 0.184± 0.020 0.196± 0.024 2.478± 0.239 2.504± 0.148 2.561± 0.150 2.361± 0.135 2.375± 0.139 2.409± 0.144

Duri punggung larva pada umur 7 hari terlihat menonjol dengan panjang rata-rata sebesar 0,066 ± 0,0033 mm (Kontrol), 0.067 ± 0.034 mm (perlakuan A) dan 0.072 ± 0.037 mm (perlakuan B), sedangkan duri perut terlihat menonjol dengan panjang rata-rata 0.033 ± 0.021 mm (Kontrol), 0.050 ± 0.059 mm (perlakuan A) dan 0.065 ± 0.077 mm (perlakuan B) dengan rata-rata panjang total tubuh masing-masing sebesar 2.478 ± 0.239 mm (Kontrol), 2.504 ± 0.148 mm (perlakuan A) dan 2.561 ± 0.150 mm (perlakuan B).

Tabel 4. Perkembangan Morfologi Larva (Rata-rata Panjang Preanal, Panjang Kepala, Panjang Duri Punggung dan Panjang Duri Perut) Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Umur 4 Sampai Dengan D-7 Pada Kontrol, Perlakuan A dan B.

Umur Larva Perkembangan Morfologi Panjang Preanal (mm) Panjang Kepala (mm)

Panjang Duri Punggung (mm)

Panjang Duri Perut (mm)

K A B K A B K A B K A B D-4 1.062± 0.085 1.069± 0.052 1.058± 0.059 0.602± 0.028 0.603± 0.027 0.611± 0.035 0 0 0 0 0 0 D-5 1.176± 0.071 1.181± 0.173 1.207± 0.052 0.644± 0.039 0.646± 0.038 0.656± 0.035 0 0 0 0 0 0 D-6 1.234± 0.199 1.243± 0.075 1.279± 0.065 0.674± 0.039 0.699± 0.045 0.733± 0.052 0 0 0 0 0 0 D-7 1.279± 0.068 1.297± 0.098 1.332± 0.099 0.725± 0.058 0.738± 0.071 0.775± 0.083 0.066± 0.033 0.067± 0.034 0.072± 0.037 0.033± 0.021 0.050± 0.059 0.065± 0.077 Menurut Slamet dkk. (1996), duri perut tumbuh setelah larva berumur 9 hari dan duri punggung tumbuh setelah larva berumur 10 hari. Sedangkan Usman (2003) menyatakan bahwa duri (spina) larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) tumbuh ketika larva berumur 5 hari (D-5). Menurut Antoro dkk. (1999), duri perut larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) terlihat pada umur 9 dan duri punggung pada umur D-10 dengan panjang total tubuh rata-rata 4,30 mm. Sugama et al. (2004) menyatakan bahwa perkembangan duri punggung dan duri perut larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) juga berkembang pada umur D-7 dengan panjang duri perut adalah 0,484 mm dan duri punggung adalah 0,246 mm.

Semakin cepat duri punggung maupun duri perut terbentuk maka semakin cepat larva melewati fase kritis kedua dan semakin cepat pula terjadi proses metamorfosis. Adanya perbedaan waktu awal berkembangnya duri punggung dan duri perut pada larva dapat disebabkan oleh nutrisi yang terkandung dalam pakan yang diberikan. Fujaya (2004) menyatakan bahwa perkembangan duri

(8)

punggung dan duri perut larva ikan Karapu Bebek (C. altivelis) selain dipengaruhi oleh suhu, gen dan hormon, juga dapat dipengaruhi oleh makanan.

3.3. Larva Umur 8 – 16 Hari (D-8 Sampai D-16)

D-8 (Pembesaran 40x) D-9 (Pembesaran 40x) D-10 (Pembesaran 40x) D-11 (Pembesaran 40x) D-12 (Pembesaran 40x) D-13 (Pembesaran 40x) D-14 (Pembesaran 40x) D-15 (Pembesaran 40x) D-16 (Pembesaran 40x)

Gambar 5. Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Umur D-8 Sampai Dengan D-16

Setelah berumur 8 hari (D-8), rata-rata lebar bukaan mulut larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) sebesar 0,184 ± 0,027 mm atau 184 mikron (Kontrol), 0,198 ± 0,031 mm atau 198 mikron (perlakuan A) dan 0,199 ± 0,031 mm atau 199 mikron (perlakuan B) (tabel 5). Pada umur tersebut kuantitas rotifera yang diberikan sudah mulai ditingkatkan, agar dapat menunjang perkembangan morfologi (organoleptik) larva.

Ukuran duri punggung dan duri perut terus mengalami perkembangan (pertambahan ukuran). Panjang rata-rata duri punggung larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) umur 8 hari adalah 0,081 mm (Kontrol), 0,091 mm (perlakuan A) dan 0,116 mm (perlakuan B), sedangkan panjang rata-rata duri perut adalah 0,120 mm (Kontrol), 0,135 mm (perlakuan A) dan 0,169 mm (perlakuan B) (tabel 5).

Pembentukan duri (spina) pada larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) menunjukan bahwa larva telah melewati masa kritis pertama dan mulai memasuki masa kritis kedua. Menurut Antoro dkk. (1999), masa kritis kedua terjadi ketika larva berumur D-11 sampai dengan D-12 yakni ketika duri punggung dan duri perut semakin panjang. Minjoyo (1999), menyatakan bahwa pertambahan panjang duri (spina) yang menyerupai layang-layang berlangsung sampai larva berumur 20 sampai dengan D-21 dan selanjutnya akan mereduksi menjadi duri keras pertama pada sirip dorsal dan sirip perut setelah larva berumur D-22 sampai D-25.

Tabel 5. Perkembangan Morfologi Larva (Rata-rata Diameter Mata, Ukuran Bukaan Mulut, Panjang Total dan Panjang Notochord) Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Umur D-8 Sampai Dengan D-16 Pada Kontrol, Perlakuan A dan B.

Umur Larva

Perkembangan Morfologi

Θ Mata (mm) Ukuran Bukaan Mulut (mm) Panjang Total (mm) Panjang Notochord (mm)

K A B K A B K A B K A B D-8 0.275± 0.025 0.280± 0.024 0.284± 0.014 0.184± 0.027 0.198± 0.031 0.199± 0.031 2.629± 0.247 2.673± 0.198 2.803± 0.173 2.442± 0.320 2.518± 0.187 2.647± 0.167 D-9 0.289± 0.021 0.295± 0.019 0.314± 0.018 0.199± 0.038 0.202± 0.031 0.255± 0.027 2.742± 0.279 2.785± 0.215 3.142± 0.202 2.586± 0.263 2.626± 0.024 2.975± 0.192 D-10 0.314± 0.023 0.319± 0.030 0.321± 0.029 0.237± 0.038 0.241± 0.038 0.269± 0.038 3.072± 0.218 3.130± 0.371 3.217± 0.337 2.937± 0.281 2.960± 0.360 3.016± 0.376 D-11 0.340± 0.023 0.344± 0.028 0.347± 0.033 0.265± 0.035 0.278± 0.040 0.290± 0.040 3.499± 0.390 3.527± 0.476 3.614± 0.372 3.314± 0.371 3.335± 0.456 3.429± 0.354 D-12 0.349± 0.037 0.355± 0.031 0.361± 0.049 0.271± 0.046 0.285± 0.056 0.299± 0.063 3.677± 0.530 3.773± 0.556 3.825± 0.638 3.485± 0.501 3.573± 0.528 3.606± 0.578 D-13 0.386± 0.393± 0.416± 0.349± 0.389± 0.415± 4.038± 4.280± 4.595± 3.834± 4.052± 4.324±

(9)

0.040 0.042 0.035 0.089 0.156 0.115 0.608 0.754 0.457 0.569 0.711 0.460 D-14 0.398± 0.036 0.403± 0.036 0.417± 0.034 0.469± 0.188 0.479± 0.144 0.491± 0.141 4.516± 0.624 4.572± 0.663 4.663± 0.508 4.271± 0.584 4.323± 0.612 4.398± 0.456 D-15 0.436± 0.040 0.443± 0.046 0.448± 0.045 0.621± 0.179 0.627± 0.228 0.653± 0.221 4.800± 0.490 4.988± 0.662 5.040± 0.527 4.503± 0.432 4.615± 0.545 4.694± 0.406 D-16 0.448± 0.041 0.472± 0.052 0.485± 0.051 0.759± 0.219 0.764± 0.244 0.771± 0.233 5.264± 0.617 5.485± 0.712 5.631± 0.665 4.775± 0.457 4.980± 0.540 5.099± 0.459 Tabel 6. Perkembangan Morfologi Larva (Rata-rata Panjang Preanal, Panjang Kepala, Panjang Duri

Punggung dan Panjang Duri Perut) Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Umur 8 Sampai Dengan D-16 Pada Kontrol, Perlakuan A dan B.

Umur Larva Perkembangan Morfologi Panjang Preanal (mm) Panjang Kepala (mm)

Panjang Duri Punggung (mm)

Panjang Duri Perut (mm) K A B K A B K A B K A B D-8 1.379± 0.318 1.398± 0.107 1.450± 0.098 0.775± 0.102 0.804± 0.081 0.855± 0.063 0.081± 0.098 0.091± 0.052 0.116± 0.089 0.120± 0.182 0.135± 0.106 0.169± 0.143 D-9 1.413± 0.172 1.453± 0.145 1.599± 0.130 0.850± 0.109 0.885± 0.083 0.986± 0.070 0.143± 0.160 0.167± 0.176 0.274± 0.182 0.233± 0.253 0.272± 0.263 0.391± 0.247 D-10 1.559± 0.111 1.589± 0.214 1.639± 0.174 0.987± 0.075 0.997± 0.122 1.037± 0.098 0.299± 0.245 0.362± 0.394 0.431± 0.377 0.467± 0.322 0.534± 0.456 0.629± 0.446 D-11 1.778± 0.186 1.788± 0.305 1.796± 0.221 1.101± 0.170 1.142± 0.217 1.188± 0.181 0.783± 0.522 0.803± 0.558 0.841± 0.516 1.039± 0.554 1.081± 0.605 1.120± 0.520 D-12 1.840± 0.242 1.887± 0.267 1.908± 0.290 1.141± 0.275 1.215± 0.201 1.269± 0.274 1.025± 0.737 1.206± 0.783 1.243± 0.868 1.333± 0.806 1.476± 0.779 1.507± 0.890 D-13 2.106± 0.249 2.208± 0.375 2.316± 0.217 1.353± 0.190 1.477± 0.274 1.556± 0.174 1.991± 0.732 2.104± 0.919 2.413± 0.694 2.277± 0.658 2.406± 0.856 2.671± 0.684 D-14 2.274± 0.285 2.286± 0.282 2.333± 0.221 1.600± 0.273 1.611± 0.268 1.632± 0.202 2.450± 0.915 2.458± 1.083 2.589± 0.891 2.678± 0.921 2.707± 1.070 2.769± 0.854 D-15 2.468± 0.217 2.485± 0.269 2.554± 0.209 1.758± 0.200 1.767± 0.272 1.793± 0.203 3.176± 0.722 3.183± 1.037 3.302± 0.853 3.371± 0.712 3.401± 1.005 3.506± 0.828 D-16 2.653± 0.283 2.724± 0.318 2.818± 0.319 1.972± 0.209 1.977± 0.278 2.035± 0.258 4.043± 0.737 4.081± 0.991 4.124± 0.931 3.886± 0.603 3.825± 0.753 3.782± 0.624 Umur 16 hari (D-16), larva terus mengalami perkembangan morfologi. Rata-rata panjang total tubuh larva adalah 5,264 ± 0,219 mm (Kontrol), 5,485 ± 0,712 mm (perlakuan A) dan 5,631 ± 0,665 mm (perlakuan B). Rata-rata panjang duri punggung adalah 4,043 ± 0,737 mm (Kontrol), 4,485 ± 0,081 mm (perlakuan A) dan 4,124 ± 0,931 mm (perlakuan B). Sedangkan rata-rata panjang duri perut adalah 3,886 ± 0,603 mm (Kontrol), 3,825 ± 0,753 mm (perlakuan A) dan 3,782 ± 0,624 mm (perlakuan B) (tabel 6).

Larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) yang dipelihara terus mengalami perkembangan morfologi (organoleptik) setelah diberi pakan rotifera yang terlebih dahulu dikayakan kandungan nutrisinya dan mulai diberikan pada larva sejak umur 3 sampai dengan 16 hari (D-3 sampai D-16), dimana pola perkembangan ukuran bukaan mulut, diameter mata, panjang total, panjang notochord, panjang preanal, panjang kepala, panjang duri punggung dan panjang duri perut larva ikan Kerapu Bebek (C.

(10)

Gambar 6. Pola Perkembangan Ukuran Bukaan Mulut Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis)

Gambar 7. Pola Perkembangan Diameter Mata Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis)

Gambar 8. Pola Perkembangan Panjang Total Tubuh Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700 0.800 0.900 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 B u kaan M u lu t (m m ) Umur (hari) Kontrol Perlakuan A Perlakuan B 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 D iam e te r M ata (m m ) Umur (hari) Kontrol Perlakuan A Perlakuan B 0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Pan jan g To tal Tu b u h (m m ) Umur (hari) Kontrol Perlakuan A Perlakuan B

(11)

Gambar 9. Pola Perkembangan Panjang Notochord Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis)

Gambar 10. Pola Perkembangan Panjang Preanal Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis)

Gambar 11. Pola Perkembangan Panjang Kepala Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) 0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Pan jan g N o to ch o rd (m m ) Umur (hari) Kontrol Perlakuan A Perlakuan B 0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Pan jan g Pr e an al ( m m ) Umur (hari) Kontrol Perlakuan A Perlakuan B 0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Pan jan g Kep al a ( m m ) Umur (hari) Kontrol Perlakuan A Perlakuan B

(12)

Gambar 12. Pola Perkembangan Panjang Duri Punggung Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Apabila dibandingkan dengan umur-umur sebelumnya, perkembangan duri punggung pada Kontrol, perlakuan A dan perlakuan B sudah lebih cepat daripada perkembangan duri perut. Hal ini berarti bahwa kecepatan perkembangan duri perut sudah mulai berkurang seiring dengan bertambahnya umur larva. Hal ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Slamet dkk. (1996) bahwa perkembangan duri perut lebih cepat dari pada duri punggung.

Gambar 7. Pola Perkembangan Panjang Duri Perut Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis)

Hasil analisis sidik ragam Anova terhadap masing-masing variabel pengamatan baik terhadap diameter kuning telur/egg yolk (EY), diameter gelembung minyak/oil glabule (OG), bukaan mulut larva/mouth (M), panjang total/total length (TL), panjang notochord/notochord length (NL), panjang preanal/preanal length (PL), panjang kepala/head length (HL), diameter mata/eye diameter (ED), panjang duri punggung/dorsalis spine length (DSL) dan panjang duri perut/ ventralis spine length (VSL) menunjukan nilai Fhit < Ftab (0,05) yang berarti bahwa penggunaan PUFA emulsion dalam pengayaan rotifera 5 ml (perlakuan A) dan 10 ml (perlakuan B) maupun tanpa penggunaan PUFA emulsion (kontrol) menunjukan hasil yang tidak berbeda terhadap perkembangan morfologi larva ikan Kerapu Bebek (C.

altivelis) yang diamati. Hal ini berarti bahwa secara statistik penggunaan PUFA emulsion dalam

pengayaan rotifera tidak berpengaruh terhadap perkembangan morfologi larva ikan Kerapu Bebek (C.

altivelis). Akan tetapi berdasarkan pengamatan secara visual terhadap beberapa parameter yang ada

memperlihatkan bahwa perkembangan morfologi larva yang baik adalah dengan penggunaan PUFA emulsion 10 ml dalam pengayaan rotifer (perlakuan B) khususnya terhadap perkembangan/pertambahan panjang total tubuh dan panjang notochord.

0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 4.000 4.500 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Pan jan g Sp in a Pu n gg u n g ( m m ) Umur (hari) Kontrol Perlakuan A Perlakuan B 0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 4.000 4.500 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Pan jan g Sp in a Pe ru t (m m ) Umur (hari) Kontrol Perlakuan A Perlakuan B

(13)

Ujung notochord larva yang berupa tulang rawan terus mengalami perkembangan sejalan dengan bertambahnya umur larva. Berdasarkan formasi sirip ekor dan kelenturan membengkok notochord, Ahlstrom and Ball (1954) dalam Kawaguchi (2003) membagi larva dalam 3 fase, yaitu fase preflexion, flexion dan post flexion. Pada perekayasaan ini, fase preflexion dimulai sejak berakhirnya fase yolk sac larva yaitu pada larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) umur D-3 dimana ujung notochord yang dapat membengkok (urostyle) masih berbentuk lurus. Perubahan ke arah flexion terjadi pada saat bagian bawah dari urostyle mulai membentuk hypural (tulang yang menopang ekor). Pada perlakuan pengayaan rotifera baik dengan penggunaan PUFA emulsion 5 ml (perlakuan A) dan 10 ml (perlakuan B) maupun tanpa penggunaan PUFA emulsion (Kontrol), perubahan ke arah flexion tersebut mulai terjadi secara bersamaan yaitu ketika larva berumur 11 hari (D-11) dengan persentase masing-masing perlakuan sebesar 10,0 % (Kontrol), 23,3 % (perlakuan A) dan 16,7 % dari jumlah larva yang dipelihara sedangkan yang lainnya masih dalam fase preflexion.

Gambar 8. Persentase Fase Perkembangan Ekor Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) Umur D-11 Sampai Dengan D-16 Pada Kontrol, Perlakuan A dan B

Fase postflexion diketiga perlakuan mulai terjadi ketika larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) berumur 13 hari (D-13), dimana ujung notochord membengkok ke atas (urostyle) dan hypural telah terbentuk. Namun akibat perkembangan larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) tidak seragam, maka terlihat masih ada larva yang berada pada fase preflexion dan flexion dengan perbandingan presentase fase preflexion : flexion : postflexion yaitu sebesar 43,4 % : 50,0 % : 6,7 % (Kontrol), 33,3 % : 43,3 % : 23,3 % (perlakuan A) dan 10,0 % : 63,3 % : 26,7 % (perlakuan B). Persentase jumlahnya yang berkembang ke fase postflexion larva berumur 16 hari yang tertinggi adalah pada perlakuan A dan B yaitu sebesar 76,7 % sedangkan Kontrol sebesar 66,7 %. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan PUFA emulsion 5 dan 10 ml (perlakuan A dan B) memperlihatkan perkembangan yang lebih baik khususnya terhadap pembentukan formasi sirip ekor dan kelenturan membengkok notochord larva ikan Kerapu Bebek khususnya (C. altivelis).

Tabel 7. Fase dan Deskripsi Perkembangan Sirip Ekor Larva Ikan Kerapu Bebek (C. altivelis)

Umur Larva Gambar Deskripsi

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 K A B K A B K A B K A B K A B K A B 11 12 13 14 15 16

Preflexion Flexion Postflexion K = Kontrol; A = Perlakuan A; B = Perlakuan B

(14)

Fase Perkembangan Sirip Ekor D-3 s/d D-16 (Kontrol) D-3 s/d D-15 (Perlakuan A) D-3 s/d D-14 (Perlakuan B) Preflexion (P. 100x)

Ujung notochord yang dapat membengkok (urostyle) masih berbentuk lurus

D-11 s/d D-16 (Kontrol, perlakuan A dan B)

Flexion

(P. 40x)

Terjadi pada saat bagian bawah dari urostyle (ujung notochord yang dapat membengkok) mulai membentuk hypural (tulang yang menopang ekor)

D-11 s/d D-16 (Kontrol, perlakuan A dan B)

Postflexion

(P. 40x)

Ujung notochord membengkok ke atas (urostyle) dan hypural telah terbentuk

Larva yang mencapai fase postflexion pada Kontrol jumlahnya lebih sedikit jika dibanding dengan perlakuan A maupun perlakuan B. Hal ini disebabkan perkembangan morfologi larva pada Kontrol relatif lebih lambat daripada perlakuan A dan B sebagai akibat perbedaan perlakuan yaitu proses pengayaan rotifera pada Kontrol tidak menggunakan PUFA emulsion.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Penggunaan PUFA emulsion 10 ml dalam proses pengayaan rotifera dapat memacu perkembangan morfologi larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) terutama terhadap ukuran rata-rata panjang total tubuh dan panjang notochord. Sedangkan terhadap pembentukan formasi sirip ekor dan kelenturan membengkok notochord penggunaan PUFA emulsion 5 dan 10 ml memberikan perkembangan yang lebih baik apabila dibanding dengan tanpa penggunaan PUFA emulsion.

4.2. Saran

Agar dapat meningkatkan kandungan asam lemak esensial rotifera yang akan diberikan pada larva ikan Kerapu Bebek (C. altivelis) untuk memacu (memaksimalkan) perkembangan morfologinya, maka sebaiknya penggunaan PUFA emulsion dalam proses pengayaan rotifera harus dilakukan dengam cara peningkatan dosis dan penambahan waktu pengayaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004. Pembenihan Ikan Kerapu. Depatemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Laut Lampung.

Antoro, S., E. Widiastuti dan P. Hartono, 1999. Biologi kerapu tikus (Cromileptes altivelis), dalam Pembenihan Ikan Kerapu Tikus. Departemen Pertanian. Dirjen Perikanan. Balai Budidaya Laut Lampung.

Effendie I. M., 2004. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. Effendie, I. M., 2004. Pengantar Aquakultur. Penebar Swadaya, Bogor.

Fujaya Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar. Pengembangan Teknologi Perikanan. P.T. Rineka Cipta, Jakarta. Kawaguchi K., 2003. Guide for Sampling and Identification of Fish Larvae in the Straints of Malacca.

UNRI Press, Pekanbaru.

Kohno, H. and B. Slamet. 1990. Growth, Survival and Feeding Habits of Early Larval Seabass, Lates

(15)

Lubzens E., A. Tandler and G. Minkeff, 1989. Rotifers as Food in Aquaculture. National Center for Mariculture, Israel Oceanography and Limnological Research, Israel.

Melianawati R., R. Andamari, I. Setyadi, 2010. Identifikasi Profil Aktivitas Enzim Pencernaan Untuk Optimasi Pemanfaatan Pakan Dalam Usaha Budidaya Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis). Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Minjoyo H., Sudaryanto dan W. Endang, 1999. Pemeliharaan Larva Dalam Pembenihan Ikan Kerapu Tikus

(Cromileptes altivelis). Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Laut

Lampung.

Slamet B., A. Trijoko, T. Prijoyo, Setiadharma dan K.Sugama, 1996. Penyiapan Nutrisi Endogen. Tabiat Makan dan Perkembangan Morfologi Larva Kerapu Bebek. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Denpasar.

Sugama K., Trijoko, S. Ismi, K.M. Setiawati, 2004. Effect of Water Temperature on Growth, Survival and Feeding Rate of Humpback Grouper (Cromileptes altivelis) Larvae. Advances in Grouper Aquaculture.

Tridjoko, B. Slamet, D. Makatutu dan K. Sugama, 1996. Pengamatan Pemijahan dan Perkembangan Telur Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) Pada Bak Secara Terkontrol. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.

Usman B., C.R. Saad, R. Affandi, M.S. Kamarudin dan A.R. Alimon, 2003. Perkembangan Larva Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) Selama Proses Penyerapan Kuning Telur. Jurnal lktiologi Indonesia, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 2.   Pola Perkembangan Ukuran Diameter Kuning Telur Dari Umur   D-0 Sampai Dengan D-3 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0 1 2 3
Gambar 3.   Pola  Perkembangan  Ukuran  Diameter  Gelembung  Minyak  (Oil  Globule)  Dari  Umur  D-0  Sampai Dengan D-3
Tabel  2.  Perkembangan Morfologi Larva (Rata-rata Panjang Total, Panjang Notochord, Panjang Preanal  dan Panjang Kepala) Larva Ikan Kerapu Bebek (C
Tabel 3.   Perkembangan  Morfologi  Larva  (Rata-rata  Diameter  Mata,  Ukuran  Bukaan  Mulut,  Panjang  Total dan Panjang Notochord) Larva Ikan Kerapu Bebek (C
+6

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi implementasi pada manajemen perubahan organisasi sebagai bagian dari periode perubahan merupakan motivasi eksternal bagi knowledge dan ability individu untuk tahu

Tujuan umum penelitian ini adalah melihat perbedaan gambaran histopatologis esofagus tikus wistar terhadap pemberian formalin peroral dosis bertingkat selama 12

Mengikut Mohd Ismail (2004), di Amerika Syarikat, Australia, Filipina dan Singapura terdapat pelbagai jenis kesalahan disiplin yang agresif berlaku sejak akhir- akhir ini

Hal tersebut sesuai dengan referensi buku fiqh ekonomi syariah yang menerangkan Apabila terjadi kelebihan pembayaran dari jumlah uang pokok atau sejumlah yang diterimah oleh

masyarakat Batak Toba khususnya muda – mudi tentang tarian. tumba dan memotivasi untuk melakukan

Didalam pasal 23 Peraturan Walikota Semarang Nomor 5 Tahun 2013 tentang Penataan Toko Modern Minimarket Kota Semarang dijelaskan baKZD ³%DJL 7RNR Modern Minimarket yang

Tabel 52 Rerata Durasi Bunyi Silabis Kal_Beh Penutur Laki-Laki Solo Tabel 53 Rerata Durasi Bunyi Silabis Kal_Beh Penutur Perempuan Solo Tabel 54 Rerata Durasi Bunyi Silabis

tetap harus dibayarkan walaupun visa tidak disetujui oleh Kedutaan, demikian juga jika terdapat biaya lain seperti pembatalan hotel, kereta dan atau tiket pesawat yang terjadi