• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Udara

2.1.1. Pengertian Pencemaran Udara

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.

Menurut Chambers, yang di maksud dengan pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia (atau yang dapat dihitung dan diukur) serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang, vegetasi, dan material (Mukono, 2005).

Sedangkan menurut Kumar, pencemaran udara adalah adanya bahan polutan di atmosfer yang dalam konsentrasi tertentu akan mengganggu keseimbangan dinamik di atmosfer dan mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya (Mukono, 2005).

Pencemaran udara dapat digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu pergesekan permukaan, penguapan, dan pembakaran. Pergesekan permukaan adalah penyebab utama pencemaran partikel padat di udara dan ukurannya dapat bermacam-macam. Penguapan merupakan perubahan fase cairan menjadi gas. Polusi udara banyak disebabkan zat-zat yang mudah menguap, seperti pelarut cat dan perekat. Demikian

(2)

pula terjadi uap pencemaran jika ada reaksi kimia pada suhu tinggi atau tekanan rendah. Dan pembakaran merupakan reaksi kimia yang berjalan cepat dan membebaskan energi, cahaya atau panas (Sastrawijaya, 2009).

Pencemaran udara dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan, harta benda, ekosistem maupun iklim. Umumnya gangguan kesehatan sebagai akibat pencemaran udara terjadi pada saluran pernafasan dan organ penglihatan. Salah satu dampak kronis dari pencemaran udara adalah bronchitis dan emphysema (Mulia, 2005).

2.1.2. Penyebab Pencemaran Udara

Pembangunan yang berkembang pesat dewasa ini, khususnya dalam industri dan teknologi, serta meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak) menyebabkan udara yang kita hirup di sekitar kita menjadi tercemar oleh gas-gas buangan hasil pembakaran (Wardhana, 2001).

Secara umum penyebab pencemaran udara ada 2 macam, yaitu: 1. Faktor internal (secara alamiah), contoh:

a. Debu yang beterbangan akibat tiupan angin

b. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas-gas vulkanik.

c. Proses pembusukan sampah organik, dll. 2. Faktor eksternal ( karena ulah manusia), contoh:

a. Hasil pembakaran bahan bakar fosil b. Debu/serbuk dari kegiatan industri.

(3)

2.1.3. Klasifikasi Bahan Pencemar Udara

Bahan pencemar udara atau polutan dapat dibagi menjadi dua bagian (Mukono, 2011), yaitu:

1. Polutan primer

Polutan primer adalah polutan yang dikeluarkan langsung dari sumber tertentu dan dapat berupa:

a. Polutan gas terdiri dari:

1. Senyawa karbon, yaitu hidrokarbon, hidrokarbon teroksigenasi, dan karbon oksida (CO atau CO2).

2. Senyawa sulfur, yaitu sulfur oksida.

3. Senyawa nitrogen, yaitu nitrogen oksida dan amoniak.

4. Senyawa halogen, yaitu fluor, klorin, hidrogen klorida, hidrokarbon terklorinasi, dan bromin.

b. Partikel

Partikel di atmosfer mempunyai karakteristik yang spesifik, dapat berupa zat padat maupun suspensi aerosol cair di atmosfer. Bahan partikel tersebut dapat berasal dari proses kondensasi, proses dispersi (misalnya proses penyemprotan/spraying) maupun proses erosi bahan tertentu.

Berdasarkan ukurannya, secara garis besar partikel dapat merupakan suatu: 1. Partikel debu kasar (coarse particle), jika diameternya > 10 mikron. 2. Partikel debu, uap, dan asap, jika diameternya antara 1-10 mikron. 3. Aerosol, jika diameternya < 1 mikron.

(4)

Menurut Agusnar (2007) sumber polusi utama berasal dari transportasi, dimana hampir 60% dari polutan yang dihasilkan terdiri dari korbon monoksida dan sekitar 15% terdiri dari hidrokarbon. Sumber-sumber polusi lainnya misalnya pembakaran, proses industri, pembuangan limbah, dan lain-lain.

Tabel 2.1. Toksisitas Relatif Polutan Udara

Polutan Level Toleransi Toksisitas relatif

Ppm μg/m3 CO 32.0 40000 1.00 HC 19300 2.07 SOx 0.50 1430 28.0 NOx 0.25 514 77.8 Partikel 375 106.7 Sumber: Agusnar, 2007.

Toksisitas kelima kelompok polutan tersebut berbeda-beda, dan tabel di atas menyajikan toksisitas relatif masing-masing kelompok polutan tersebut. Ternyata polutan yang paling berbahaya bagi kesehatan adalah partikel-partikel, diikuti dengan NOx, SOx, hidrokarbon, dan yang paling rendah toksisitasnya adalah karbon monoksida (Agusnar, 2007).

2. Polutan sekunder

Polutan sekunder biasanya terjadi karena reaksi dari dua atau lebih bahan kimia di udara, misalnya reaksi foto kimia. Sebagai contoh adalah disosiasi NO2 yang menghasilkan NO dan O radikal. Proses kecepatan dan arah reaksinya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:

a. Konsentrasi reaktif dari bahan reaktan b. Derajat fotoaktivasi

(5)

Polutan sekunder ini mempunyai sifat fisik dan sifat kimia yang tidak stabil. Termasuk dalam polutan sekunder ini adalah ozon, Peroxy Acyl Nitrat (PAN), dan formaldehid (Mukono, 2011).

2.1.4. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Udara

Menurut Depkes yang dikutip oleh Junaidi (2002), beberapa keadaan cuaca yang dapat mempengaruhi kualitas udara, yaitu:

1. Suhu udara

Suhu udara dapat mempengaruhi konsentrasi pencemar udara. Suhu udara yang tinggi menyebabkan udara makin renggang sehingga konsentrasi pencemar menjadi makin rendah. Sebaliknya pada suhu yang dingin keadaan udara makin padat sehingga konsentrasi pencemar di udara tampaknya makin tinggi.

2. Kelembaban

Kelembaban udara juga dapat mempengaruhi konsentrasi pencemar di udara. Pada kelembaban yang tinggi maka kadar uap air di udara dapat bereaksi dengan pencemar udara, menjadi zat lain yang tak berbahaya atau menjadi pencemar sekunder.

3. Tekanan udara

Tekanan udara tertentu dapat mempercepat atau menghambat terjadinya suatu reaksi kimia antara pencemar dengan zat pencemar di udara atau zat-zat yang ada di udara, sehingga pencemar udara dapat bertambah ataupun berkurang.

4. Angin

Angin adalah udara yang bergerak. Akibat pergerakan udara maka akan terjadi suatu proses penyebaran sehingga dapat mengakibatkan pengenceran dari bahan

(6)

pencemaran udara, sehingga kadar suatu pencemar pada jarak tertentu dari sumber akan mempunyai kadar yang berbeda. Demikian juga halnya dengan arah dan kecepatan angin dapat mempengaruhi kadar bahan pencemar setempat.

5. Sinar matahari

Sinar matahari juga mempengaruhi kadar pencemar udara di udara karena dengan adanya sinar matahari tersebut maka beberapa pencemar di udara dapat dipercepat atau diperlambat reaksinya dengan zat-zat lain di udara sehingga kadarnya dapat berbeda menurut banyaknya sinar matahari yang menyinari bumi. Demikian juga halnya mengenai banyaknya panas matahari yang sampai ke bumi, yang dapat mempengaruhi kadar pencemar udara.

6. Curah hujan

Adanya hujan yang merupakan suatu partikel air di udara yang bergerak dari atas jatuh ke bumi, dapat menyerap pencemar gas tertentu ke dalam partikel air, serta dapat menangkap partikel debu baik yang inert maupun partikel debu yang lain, menempel pada partikel air dan dibawa jatuh ke bumi. Dengan demikian pencemar dalam bentuk partikel dapat berkurang konsentrasinya akibat jatuhnya hujan.

2.1.5. Indikator Pencemaran Udara

Indikator yang paling baik dalam menentukan derajat suatu kasus pencemaran adalah dengan cara mengukur atau memeriksa konsentrasi gas sulfur dioksida, indeks asap, serta partikel-partikel debu di udara (Chandra, 2006).

(7)

1. Gas Sulfur Dioksida

Gas sulfur dioksida merupakan gas pencemar di udara yang konsentrasinya paling tinggi di daerah kawasan industri dan daerah perkotaan. Gas ini dihasilkan dari sisa pembakaran batubara dan bahan bakar minyak. Di dalam setiap survei pencemaran udara, gas ini selalu diperiksa.

2. Indeks Asap

Berikut cara penggunaan indeks asap (smoke atau sciling index): sampel udara disaring dengan sejenis kertas (paper tape) dan diukur densitasnya dengan alat fotoelektrik meter. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan Coh Units per 1000 linear feet dari sampel udara. Indeks asap ini sangat bervariasi dari hari ke hari dan bergantung pada perubahan iklim.

3. Partikel Debu

Partikel-partikel berupa debu dan arang dari hasil pembakaran sampah dan industri merupakan salah satu indikator yang dipergunakan untuk mengukur derajat pencemaran udara. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan miligram atau mikrogram per meter kubik udara.

2.2 . Partikel Debu 2.2.1. Pengertian Debu

Debu adalah partikel-partikel zat padat yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis, seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan organik maupun anorganik, misalnya batu, kayu, bijih logam, arang batu, butir-butir zat padat dan sebagainya (Suma’mur, 1998).

(8)

Sedangkan menurut Sarudji (2010), dalam buku Kesehatan Lingkungan, debu (partikulat) adalah bagian yang besar dari emisi polutan yang berasal dari berbagai macam sumber seperti mobil, truk, pabrik baja, pabrik semen, dan pembuangan sampah terbuka. Mungkin hal ini sangat mengejutkan bahwa Environmental Protection Agency (EPA) memperkirkan bahwa kebakaran hutan menghasilkan seperempat dari seluruh emisi partikulat. Sepertiga darinya berasal dari kebakaran hutan yang dapat dikendalikan dan dua pertiganya dari kebakaran hutan yang tak terkendali.

2.2.2. Sifat Debu

Partikel (debu) sebagai pencemar udara mempunyai waktu hidup, yaitu pada saat partikel masih melayang-layang sebagai pencemar di udara sebelum jatuh ke bumi. Waktu hidup partikel berkisar antara beberapa detik sampai beberapa bulan. Sedangkan kecepatan pengendapannya tergantung pada ukuran partikel, massa jenis partikel serta arah dan kecepatan angin yang bertiup. Partikel yang sudah mati karena jatuh mengendap di bumi, dapat hidup kembali apabila tertiup oleh angin kencang dan melayang-layang lagi di udara (Wardhana, 2001).

Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 1994 yang dikutip oleh Sihombing (2006), sifat-sifat debu adalah sebagai berikut:

1. Mengendap

Debu cenderung mengendap karena gaya grafitasi bumi. Namun karena ukurannya yang relatif kecil berada di udara. Debu yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di udara.

(9)

2. Permukaan cenderung selalu basah

Permukaan debu yang cenderung selalu basah disebabkan karena permukaannya selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi penting sebagai upaya pengendalian debu di tempat kerja.

3. Menggumpal

Debu bersifat menggumpal disebabkan permukaan debu yang selalu basah, sehingga debu menempel satu sama lain dan membentuk gumpalan.

4. Listrik statis (elektrostatik)

Sifat ini menyebabkan debu dapat menarik partikel lain yang berlawanan. Adanya partikel yang tertarik ke dalam debu akan mempercepat terjadinya proses penggumpalan.

5. Opsis

Opsis adalah debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat memancakan sinar yang dapat terlihat pada kamar gelap.

Menurut sifatnya, partikel dapat menimbulkan rangsangan saluran pernapasan, kematian karena bersifat racun, alergi, fibrosis, dan penyakit demam (Agusnar, 2008).

2.2.3. Jenis Debu

Menurut Mengkidi (2006), partikel debu dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu debu organik dan debu anorganik.

(10)

Tabel 2.2. Jenis Debu Yang Dapat Menimbulkan Penyakit Paru Pada Manusia

NO Jenis Debu Contoh Jenis Debu

1 Organik a. Alamiah

1). Fosil Batubara, karbon hitam, arang, granit 2). Bakteri TBC, antraks, enzim bacillus subtilits

3). Jamur Koksidiomikosis, histoplasmosis, kriptokokus thermophilic actinomycosis

4). Virus Psikatosis, cacar air, Q fever

5). Sayuran Kompos jamur, ampas tebu, tepung, padi, gabus, atap alang-alang, katun rami, serat nanas 6). Binatang Kotoran burung, ayam

b. Sintesis

1). Plastik Politetrafluoretilen, toluene diisosianat 2). Reagen Minyak isopropyl, pelarut organik 2 Anorganik

a. Silika bebas

1). Crystaline Quarz, trymite cristobalite 2). Amorphous Diatomaceous earth, silika gel 1). Fibosis Asbestosis, sillinamite, talk 2). Lain-lain Mika, kaolin, debu semen c. Metal

1). Inert Besi, barium, titanium, tin, aluminium, seng 2). Lain-lain Berilium

3). Bersifat keganasan Arsen, kobalt, nikel, hematite, uranium, asbes, khrom

Sumber: Mengkidi, 2006

2.2.4. Sumber- Sumber Debu

Sumber pencemar partikel (debu) dapat berasal dari peristiwa alami dan dapat juga berasal dari ulah manusia dalam rangka mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Pencemaran partikel yang berasal dari alam (Wardhana, 2001) antara lain: 1. Debu tanah/pasir halus yang terbang terbawa oleh angin kencang.

2. Abu dan bahan-bahan vulkanik yang terlempar ke udara akibat letusan gunung berapi.

(11)

3. Semburan uap air panas di sekitar daerah sumber panas bumi di daerah pegunungan.

Sedangkan sumber pencemaran partikel akibat ulah manusia sebagian besar berasal dari pembakaran batubara, proses industri, kebakaran hutan dan gas buangan alat transportasi (Wardhana, 2001).

Debu yang terdapat di dalam udara terbagi dua, yaitu deposite particulate matter adalah partikel debu yang hanya berada di udara, partikel ini segera mengendap karena ada daya tarik bumi. Dan Suspended particulate matter adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Yunus, 1997).

2.2.5. Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Debu

Nilai ambang batas adalah kadar tertinggi suatu zat dalam udara yang diperkenankan, sehingga manusia dan makhluk lainnya tidak mengalami gangguan penyakit atau menderita karena zat tersebut (Agusnar, 2008).

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara dijelaskan mengenai pengertian baku mutu udara ambien, yaitu ukuran batas atau kadar zat, energi dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Baku mutu kadar debu dalam udara ambien yang tercantum di dalam PP RI No. 41 tahun 1999 tersebut untuk PM10 (Partikel <10 μm) adalah 150 μg/m3

.

2.2.6. Pengukuran Kadar Debu di Udara

Pengukuran kadar debu di udara bertujuan untuk mengetahui apakah kadar debu pada suatu lingkungan, konsentrasinya sesuai dengan kondisi lingkungan yang

(12)

aman dan sehat bagi masyarakat. Dengan kata lain, apakah kadar debu tersebut berada di bawah atau di atas nilai ambang batas (NAB) debu udara (Asiah, 2008).

Pengambilan/pengukuran kadar debu di udara biasanya dilakukan dengan metode gravimetric, yaitu dengan cara menghisap dan melewatkan udara dalam volume tertentu melalui saringan serat gelas/kertas saring. Alat-alat yang biasanya digunakan untuk pengambilan sampel debu total (TSP) di udara (Asiah, 2008), seperti:

1. High Volume Air Sampler

Alat ini menghisap udara ambien dengan pompa berkecepatan 1,1-1,7 m3/menit, partikel debu berdiameter 0,1-100 mikron akan masuk bersama aliran udara melewati saringan dan terkumpul pada permukaan serat gelas. Alat ini dapat digunakan untuk mengambil contoh udara selama 24 jam, dan bila kandungan partikel debu sangat tinggi maka waktu pengukuran dapat dikurangi menjadi 6-8 jam.

2. Low Volume Air Sampler

Alat ini dapat menangkap debu dengan ukuran sesuai yang kita inginkan dengan cara mengatur flow rate. Untuk flow rate 20 liter/menit dapat menangkap partikel berukuran 10 mikron. Dengan mengetahui berat kertas saring sebelum dan sesudah pengukuran maka kadar debu dapat dihitung.

3. Low Volume Dust Sampler

Alat ini mempunyai prinsip kerja dan metode yang sama dengan alat low volume air sampler.

(13)

4. Personal Dust Sampler (LVDS)

Alat ini biasa digunakan untuk menentukan Respiral Dust (RD) di udara atau debu yang dapat lolos melalui filter bulu hidung manusia selama bernapas. Untuk flow rate 2 liter/menit dapat menangkap debu yang berukuran < 10 mikron. Alat ini biasanya digunakan pada lingkungan kerja dan dipasang pada pinggang pekerja karena ukurannya yang sangat kecil.

2.2.7. Penentuan Lokasi dan Titik Pengambilan Sampel Udara Ambien

Secara umum, sampel udara ambien diambil di daerah pemukiman penduduk, perkantoran, kawasan industri, atau daerah lain yang dianggap penting. Tujuannya adalah untuk mengetahui kualitas udara yang dapat dipengaruhi oleh kegiatan tertentu. Kriteria yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan lokasi pengambilan sampel udara ambien (Hadi, 2005), yaitu:

1. Daerah yang mempunyai konsentrasi pencemar tinggi 2. Daerah padat penduduk

3. Daerah yang diperkirakan menerima paparan pencemar dari emisi cerobong industri

4. Daerah proyeksi untuk mengetahui dampak pembangunan

Di samping itu, faktor meteorologi, seperti arah angin, kecepatan angin, suhu udara, kelembapan, dan faktor geografi, seperti topografi dan tata guna lahan, harus dipertimbangkan. Beberapa acuan dalam menentukan titik pengambilan (Hadi, 2005) adalah:

(14)

1. Hindari daerah yang dekat dengan gedung, bangunan, dan/atau pepohonan yang dapat mengabsorpsi atau mengadsorpsi pencemar udara ke gedung atau pepohonan tersebut.

2. Hindari daerah di mana terdapat pengganggu kimia yang dapat memengaruhi polutan yang akan diukur.

3. Hindari daerah di mana terdapat pengganggu fisika yang dapat memengaruhi hasil pengukuran. Sebagai ilustrasi, pengukuran total partikulat di dalam udara ambien tidak diperkenankan di dekat insinerator.

2.2.8. Dampak Pencemaran Debu terhadap Manusia

Ada tiga cara masuknya bahan polutan seperti debu dari udara ke tubuh manusia yaitu melalui inhalasi, ingesti, dan penetrasi kulit. Inhalasi bahan polutan udara ke paru-paru dapat menyebabkan gangguan di paru dan saluran nafas. Bahan polutan yang cukup besar tidak jarang masuk ke saluran cerna. Refleks batuk juga akan mengeluarkan bahan polutan dari paru yang kemudian bila tertelan akan masuk ke saluran cerna. Bahan polutan dari udara juga dapat masuk ketika makan atau minum. Permukaan kulit juga dapat menjadi pintu masuk bahan polutan di udara khususnya bahan organik dapat melakukan penetrasi kulit dan dapat menimbulkan efek sistemik (Aditama, 1992). Kerusakan kesehatan akibat debu tergantung pada lamanya kontak, konsentrasi debu dalam udara, jenis debu itu sendiri dan lain-lain (Agusnar, 2008).

Ukuran debu atau partikel yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak penempelan atau pengendapannya. Partikel yang terhisap oleh manusia dengan

(15)

berukuran 1-3 mikron akan masuk ke dalam kantong udara paru-paru, menempel pada alveoli. Partikel berukuran 3-5 mikron akan tertahan pada saluran pernapasan bagian tengah. Partikel yang berukuran di atas 5 mikron akan tertahan di saluran napas bagian atas (Sunu, 2001).

Penyakit peneumokoniosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru. Adapun jenis-jenis penyakit pneumokoniosis (Sunu, 2001) seperti:

1. Penyakit Antrakosis

Penyakit antrakosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu batubara. Penyakit ini biasanya dijumpai pada pekerja tambang batubara atau pekerja yang banyak melibatkan penggunaan batubara seperti power plant (pembangkit listrik tenaga uap). Masa inkubasi penyakit ini antara lain 2-4 tahun yang ditandai dengan sesak napas.

2. Penyakit Silikosis

Penyakit ini disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas, berupa SiO2 yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudian mengendap. Debu silika ini banyak terdapat di industri besi baja, keramik, pengecoran beton, proses permesinan seperti mengikir, menggerinda. Disamping itu, debu silika juga terdapat di penambangan bijih besi, timah putih, dan tambang batubara.

Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi sekitar 2 sampai 4 tahun (Wardhana, 2001). Pada awalnya, penyakit silikosis ditandai dengan sesak napas yang disertai dengan batuk-batuk tanpa dahak. Penyakit silikosis tingkat sedang, gejala sesak napas dan batuk semakin tinggi

(16)

tingkat intensitasnya. Untuk penyakit silikosis yang sudah berat, sesak napas akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang berpotensi mengakibatkan kegagalan kerja jantung.

3. Penyakit Asbestosis

Penyakit asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Masa laten asbestosis yaitu 10-20 tahun (Pujiastuti, 2002). Asbes merupakan campuran berbagai macam silikat terutama magnesium silikat. Debu asbes banyak dijumpai pada industri yang menggunakan asbes dan ruangan yang menggunakan asbes. Debu asbes yang terhisap dan masuk dalam paru-paru akan mengakibatkan sesak napas dan batuk-batuk yang disertai dahak. Ujung-ujung jari penderitanya akan tampak membesar/melebar. Apabila dilakukan pemeriksaan pada dahak maka akan tampak adanya debu asbes dalam dahak tersebut (Wardhana, 2001).

Sumber utama pencemaran udara dari silikat yaitu pada industri semen berupa partikel-partikel yang berterbangan di udara. Silikat (Si) disebut juga asbestos. Dampak yang diakibatkan oleh silikat yaitu akan terganggunya fungsi paru-paru. Partikel-partikel yang terhisap dapat didepositkan pada jaringan saluran pernapasan yang disebut asbestosis atau fibrosis paru-paru.

Asbestosis bersifat sinergisme yaitu penggabungan lebih dari satu faktor yang berdampak lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan pengaruh individual terhadap perokok. Bagi seseorang yang kehidupannya di lokasi sekitar pabrik semen seharusnya menjalani pemeriksaan paru-paru secara periodik serta

(17)

4. Penyakit Beriliosis

Penyakit beriliosis adalah penyakit pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh pencemaran udara dari debu berilium. Debu logam tersebut dapat menyebabkan nasoparingitis, bronkitis dan pneumonitis yang ditandai dengan gejala demam, batuk kering, dan sesak napas. Partikel-partikel berilium juga dapat mengakibatkan gangguan pada kulit dan radang hidung. Penyakit ini berpotensi terhadap para pekerja pada industri yang menggunakan logam campuran berilium-tembaga, industri fluoresen, industri pembuatan tabung radio. Masa inkubasi penyakit beriliosis ini relatif lama, sehingga sering tidak mendapatkan perhatian oleh manajeman perusahaan maupun oleh para pekerja itu sendiri.

5. Penyakit Bisinosis

Penyakit bisinosis adalah penyakit pneumokoniosis yang disebabkan oleh pencemaran debu kapas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru. Partikel kapas atau serat kapas ini banyak dijumpai pada industri seperti pemintalan kapas, tekstil, dan garmen. Masa inkubasi penyakit bisionosis sekitar 5 tahun. Gejala awal penyakit bisinosis yaitu ditandai dengan sesak napas. Penyakit bisinosis yang kronis biasanya diikuti dengan penyakit bronkitis dan emphysema.

2.3. Industri Semen

Semen (cement) adalah hasil industri dari paduan bahan baku: batu kapur/gamping sebagai bahan utama dan lempung/tanah liat atau bahan pengganti lainnya dengan hasil akhir berupa padatan berbentuk bubuk/bulk, tanpa memandang

(18)

proses pembuatannya, yang mengeras atau membatu pada pencampuran dengan air. Batu kapur/gamping adalah bahan alam yang mengandung senyawa kalsium oksida (CaO), sedangkan lempung/tanah liat bahan alam yang mengandung senyawa: Silika Oksida (SiO2), Aluminium Oksida (Al2O3), Besi Oksida (Fe2O3), dan Magnesium Oksida (MgO). Untuk menghasilkan semen, bahan baku tersebut dibakar sampai meleleh, sebagian untuk membentuk clinkernya, yang kemudian dihancurkan dan ditambah dengan gips (gypsum) dalam jumlah yang sesuai (Mengkidi, 2006). Ukuran partikel (debu) semen yaitu berkisar antara 3-100 mikron (Anonimous, 2012).

2.4. Keluhan Kesehatan Akibat Debu Semen

Industri semen berpotensi sebagai sumber pencemaran partikel (Wardhana, 2001). Debu semen diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jenis utama, semen alam dan buatan (Portland) semen. Semen portland adalah campuran dari kalsium oksida (62% 66%), silikon oksida (19% 22%), aluminium trioksida (4% 8%), oksida besi (2% -5%) dan magnesium oksida (1 % -2%). Debu semen memiliki efek iritasi pada kulit, mata dan sistem pernapasan (Meo, 2003).

Menurut Wardhana (2001) jenis partikel (debu) yang dihasilkan oleh industri/pabrik semen antara lain Oksida Silika (SiO2), Oksida Alumina (Al2O3), Magnesium Oksida (MgO), dan Trikalsium Silikat (3CaOSiO2). Jenis debu semen dan gangguan kesehatannya, yaitu:

2.4.1. Silika Oksida (SiO2)

Silika bebas, berupa SiO2 yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudian mengendap menyebabkan penyakit silikosis (Sunu, 2001). Pada awalnya,

(19)

tanpa dahak. Penyakit silikosis tingkat sedang, gejala sesak napas dan batuk semakin tinggi tingkat intensitasnya. Untuk penyakit silikosis yang sudah berat, sesak napas akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang berpotensi mengakibatkan kegagalan kerja jantung (Sunu, 2001).

2.4.2. Alumina Oksida (Al2O3)

Aluminium (Al) adalah metal yang dapat dibentuk, dan karenanya banyak digunakan, sehingga banyak terdapat di lingkungan dan didapat pada berbagai jenis makanan. Aluminium yang berbentuk debu akan diakumulasi di dalam paru-paru dan dapat juga menyebabkan iritasi kulit, selaput lendir, dan saluran pernapasan (Slamet, 2009). Jalur pemaparan dan organ sasaran aluminium oksida adalah mata, kulit, dan sistem pernapasan (Marietta, 2007).

2.4.3. Magnesium Oksida (MgO)

Jalur pemaparan magnesium oksida (MgO) adalah melalui inhalasi, konta mata, dan kulit. Efek akut debu magnesium oksida yaitu dapat menyebabkan iritasi ringan pada mata dan hidung, konjungtivitis, radang membran mukosa, dan batuk berdahak. Toksisitas akut menyebabkan mual, malaise, depresi umum dan kelumpuhan syaraf pernapasan, jantung, dan sistem pusat. Efek kronis menunjukkan bahwa mungkin ada resiko karsinogenik dari paparan debu MgO (Marietta, 2007). 2.4.4. Trikalsium Silikat (3CaO.SiO2)

Organ sasaran kalsium oksida (CaO) yaitu mata, kulit, dan sistem pernapasan. Kontak langsung CaO dengan jaringan, dapat mengakibatkan luka bakar dan iritasi parah karena reaktivitas tinggi dan alkalinitas. Keluhan dari pekerja yang terpapar

(20)

terdiri dari iritasi pada kulit dan mata, serta saluran pernapasan. Pada efek kronis, CaO tidak diklasifikasikan sebagai karsinogen pada manusia (Marietta, 2007).

2.5. Efek Pencemaran Udara

Efek-efek pencemaran udara pada kehidupan manusia dapat dibagi menjadi efek umum, efek terhadap ekosistem, efek terhadap kesehatan, efek terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan, efek terhadap cuaca dan iklim, dan efek terhadap sosial ekonomi (Chandra,2006).

2.5.1. Efek Umum

Efek umum pencemaran udara terhadap kehidupan manusia, antara lain: 1. Meningkatkan angka kesakitan dan kematian pada manusia, flora, dan fauna. 2. Memengaruhi kuantitas dan kualitas sinar matahari yang sampai ke permukaan

bumi dan memengaruhi proses fotosintesis tumbuhan.

3. Memengaruhi dan mengubah iklim akibat terjadinya peningkatan kadar CO2 di udara. Kondisi ini cenderung menahan panas tetap berada di lapisan bawah atmosfer sehingga terjadi efek rumah kaca (green house effect).

4. Pencemaran udara dapat merusak cat, karet, dan bersifat korosif terhadap benda yang terbuat dari logam.

5. Meningkatkan biaya perawatan bangunan, monumen, jembatan, dan lainnya. 6. Mengganggu penglihatan dan dapat meningkatkan angka kasus kecelakaan

lalulintas di darat, sungai, maupun udara.

(21)

2.5.2. Efek terhadap Ekosistem

Industri yang mempergunakan batubara sebagai sumber energinya akan melepaskan zat oksida sulfat ke dalam udara sebagai sisa pembakaran batubara. Zat tersebut akan bereaksi dengan air hujan membentuk asam sulfat sehingga air hujan menjadi asam (acid rain). Apabila keadaan ini cukup lama, akan terjadi perubahan pada ekosistem perairan danau. Akibatnya, pH air danau akan menjadi asam, produksi ikan menurun, dan secara tidak langsung pendapatan rakyat setempat pun menurun.

2.5.3. Efek terhadap Kesehatan

Efek pencemaran udara terhadap kesehatan manusia dapat terlihat baik secara cepat maupun lambat, seperti berikut:

1. Efek cepat

Hasil studi epidemiologi menunjukkan bahwa peningkatan mendadak kasus pencemaran udara juga akan meningkatkan angka kasus kesakitan dan kematian akibat penyakit saluran pernapasan. Pada situasi tertentu, gas CO dapat menyebabkan kematian mendadak karena daya afinitas gas CO terhadap haemoglobin darah (menjadi methaemoglobin) yang lebih kuat dibandingkan daya afinitas O2 sehingga terjadi kekurangan gas oksigen di dalam tubuh.

2. Efek lambat

Pencemaran udara diduga sebagai salah satu penyebab penyakit bronkhitis kronis dan kanker paru primer. Penyakit yang disebabkan oleh pencemaran udara antara lain, emfisema paru, black lung disease, asbestosis, silikosis, bisionosis, dan pada anak-anak, penyakit asma dan eksema.

(22)

2.5.4. Efek terhadap Tumbuhan dan Hewan

Tumbuh-tumbuhan sangat sensitif terhadap gas sulfur dioksida, florin, ozon, hidrokarbon, dan CO. Apabila terjadi pencemaran udara, konsentrasi gas tersebut akan meningkat dan dapat menyebabkan daun tumbuhan berlubang dan layu. Ternak akan menjadi sakit jika memakan tumbuh-tumbuhan yang mengandung dan tercemar florin.

2.5.5. Efek terhadap Cuaca dan Iklim

Gas karbon dioksida memiliki kecenderungan untuk menahan panas tetap berada di lapisan bawah atmosfer sehingga terjadi efek rumah kaca (green house effect). Udara menjadi panas dan gerah. Selain itu, partikel-partikel debu juga memiliki kecenderungan untuk memantulkan kembali sinar matahari di udara sebelum sinar tersebut sampai ke permukaan bumi sehingga udara di lapisan bawah atmosfer menjadi dingin.

2.5.6. Efek terhadap Sosial Ekonomi

Pencemaran udara akan meningkatkan biaya perawatan dan pemeliharaan bangunan, monumen, jembatan, dan lainnya serta menyebabkan pengeluaran biaya ekstra untuk mengendalikan pencemaran yang terjadi.

2.6. Penanggulangan Dampak Pencemaran Lingkungan

Pencemaran lingkungan mempunyai dampak yang sangat luas dan sangat merugikan manusia maka perlu diusahakan pengurangan pencemaran lingkungan atau bila mungkin meniadakan sama sekali. Usaha untuk mengurangi dan menanggulangi pencemaran tersebut ada 2 macam cara utama yaitu penanggulangan

(23)

tersebut diharapkan bahwa pencemaran lingkungan akan jauh berkurang dan kualitas hidup manusia dapat lebih ditingkatkan (Agusnar, 2007).

2.6.1. Penanggulangan secara Non-Teknis

Penganggulangan secara non-teknis yaitu suatu usaha untuk mengurangi dan menanggulangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan peraturan perundangan yang dapat merencanakan, mengatur, dan mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi sedemikian rupa sehingga tidak terjadi pencemaran lingkungan (Agusnar, 2007).

Peraturan perundangan yang dimaksud hendaknya dapat memberikan gambaran secara jelas tentang kegiatan industri dan teknologi yang akan dilaksanakan di suatu tempat yang meliputi:

1. Penyajian Informasi Lingkungan (PIL)

2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 3. Perencanaan Kawasan Kegiatan Industri dan Teknologi, 4. Pengaturan dan Pengawasan Kegiatan,

5. Menanamkan perilaku disiplin. 2.6.2. Penanggulangan secara Teknis

Kriteria yang digunakan dalam memilih dan menentukan cara yang digunakan dalam penanggulangan secara teknis tergantung pada faktor berikut:

1. Mengutamakan keselamatan lingkungan 2. Teknologinya telah dikuasai dengan baik

(24)

Berdasarkan kriteria tersebut diatas diperoleh beberapa cara dalam hal penanggulangan secara teknis, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Mengubah proses

2. Mengganti sumber energi 3. Mengelola limbah

4. Menambah alat bantu

Untuk melengkapi cara penanggulangan pencemaran lingkungan secara teknis dilakukan dengan menambah alat bantu yang dapat mengurangi pencemaran. Beberapa alat bantu yang digunakan untuk mengurangi atau menanggulangi pencemaran lingkungan antara lain adalah:

a. Filter Udara

Filter udara dimaksudkan untuk menangkap abu atau partikel yang ikut keluar pada cerobong atau stack, agar tidak ikut terlepas ke lingkungan sehingga hanya udara yang bersih saja yang keluar dari cerobong. Filter udara yang dipasang ini harus segera diamati (dikontrol), jika sudah penuh dengan debu harus segera diganti dengan yang baru. Jenis filter udara yang digunakan tergantung pada sifat gas buangan yang keluar dari proses industri.

b. Pengendap Siklon

Pengendap Siklon atau Cyclon Separators adalah pengendap debu/abu yang ikut dalam gas buangan atau udara dalam ruang pabrik yang berdebu. Prinsip kerja pengendap siklon adalah pemanfaatan gaya sentrifugal dari udara/gas buangan yang sengaja dihembuskan melalui tepi dinding tabung siklon sehingga

(25)

bisa diendapkan oleh siklon adalah antara 5– 40 μ. Makin besar ukuran debu makin cepat partikel tersebut diendapkan.

c. Filter Basah (Scrubbers atau Wet Collectors)

Prinsip kerja filter basah adalah membersihkan udara yang kotor dengan cara menyemprot air dari bagian atas alat, sedangkan udara yang kotor dari bagian bawah alat. Pada saat udara yang berdebu kontak dengan air, maka debu akan ikut dengan semprotan air turun ke bawah.

d. Pengendap Sistem Gravitasi

Alat pengendapan ini hanya digunakan untuk membersihkan udara kotor yang ukuran partikelnya relatif cukup besar, sekitar 50 μ atau lebih. Cara kerja alat ini yaitu dengan mengalirkan udara kotor kedalam alat yang dibuat sedemikian rupa sehingga pada waktu terjadi perubahan kecepatan secara tiba-tiba (speed drop), zarah akan jatuh terkumpul di bawah akibat gaya beratnya sendiri (gravitasi). Kecepatan pengendapan tergantung pada dimensi alatnya. e. Pengendapan Elektrostatik

Alat pengendapan elektrostatik digunakan untuk membersihkan udara kotor dalam jumlah (volume) yang relatif besar dan pengotor udaranya adalah aerosol atau uap air. Alat ini dapat membersihkan udara secara cepat dan udara yang keluar dari alat sudah relatif bersih.

Alat pengendap ini menggunakan arus searah (DC) yang mempunyai tegangan antara 25-100 kV. Alat pengendap ini berupa tabung silinder dimana dindingnya diberi muatan positif, sedangkan di tengah ada sebuah kawat yang merupakan pusat silinder, sejajar dinding tabung, diberi muatan negatif. Adanya

(26)

perbedaan tegangan yang cukup besar akan menimbulkan corona disharga di daerah sekitar pusat silinder. Hal ini menyebabkan udara kotor seolah-olah mengalami ionisasi. Kotoran udara menjadi ion negatif sedangkan udara bersih menjadi ion positif dan masing-masing akan menuju elektroda yang sesuai. Kotoran yang menjadi ion negatif akan ditarik oleh dinding tabung sedangkan udara bersih akan berada di tengah-tengah silinder dan kemudian terhembus keluar.

2.7. Kerangka Konsep

Konsentrasi Debu di Sekitar Pabrik Semen

Keluhan Kesehatan pada Masyarakat di sekitar Pabrik Semen PP RI No 41 tahun 1999 Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat Karakteristik Responden 1. Umur 2. Pendidikan 3. Lama bermukim 4. Pekerjaan/aktivitas 5. Lama bekerja 6. Kebiasaan Merokok Karakteristik Tempat Tinggal 1. Jarak rumah 2. Keberadaan pohon 3. Luas ventilasi rumah

Referensi

Dokumen terkait

semakin kecil, sedangkan apabila pengungkapan CSR menghasilkan nilai yang rendah maka investor akan merasa optimis terhadap investasi yang akan dilakukan karena

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT yang mana telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

4.2.1 Kondisi Rasio Likuiditas yang di Ukur dengan Quick Ratio pada Perusahaan-Perusahaan Sektor Transportasi yang Telah Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Trouble process pada waste waiting dapat diberikan rekomendasi perbaikan yaitu peningkatan kedisiplinan operator dalam menuliskan protokol proses pada saat

Untuk itu dibutuhkan suatu aplikasi yang dapat mengirimkan gambar dari handphone ke dalam komputer dengan media internet yaitu “Aplikasi Client Foto Album

Hope menceritakan bahwa ia kembali ke kota Salt Lake dan mendapatkan informasi bahwa Lucy telah dipaksa untuk menikah dengan Drebber serta John Ferrier telah dibunuh oleh

Jenis data meliputi data primer yang berkaitan langsung dengan tujuan penelitian yang meliputi informasi tentang tanggapan siswa Panti karya wanita “Wanodyatama” Kendal

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis ikan dan kelimpahan jenisnya serta karakteristik kualitas air Danau Teratai Desa Pontolo