• Tidak ada hasil yang ditemukan

RANAH AFEKTIF DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI (KAJIAN TERHADAP KITAB KIMIA AL-SA’ADAH) SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "RANAH AFEKTIF DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI (KAJIAN TERHADAP KITAB KIMIA AL-SA’ADAH) SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

i

RANAH AFEKTIF DALAM PERSPEKTIF

AL-GHAZALI

(KAJIAN TERHADAP KITAB

KIMIA AL-

SA’ADAH

)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh:

MUHAMMAD RIFQI MUNIF

NIM 11113200

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi MOTTO

ٍُِِْؼٌا َقَْٛف ُةَدَلاا

(7)

vii

PERSEMBAHAN

Saya persembahkan skripsi ini kepada:

1. Kedua orang tua saya M. Zamhari dan Siti Khomsah yang selalu mendukung saya baik dhohir atau batin

2. Kepada guru saya terutama KH. Djazuli Ustman, Ploso, Mojo, Kediri dan segenap guru-guru saya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. 3. Kepada rekan-rekan yang turut membantu hingga terselesaikannya skripsi

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu „alaikum Wr. Wb

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. atas segala nikmat dan anugerahNya. Sehingga penulis diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. keluarga, sahabat dan para pengikutnya.

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiaga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN salatiga.

2. Hj. Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI).

3. Bapak Dr. M. Ghufron, M.Ag. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah dengan ikhlas meluangkan waktunya untuk membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas ini.

(9)

ix

5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu yang mendukung saya baik secara dzohir atau batin.

7. Teman-teman seperjuangan angakatan 2011 di IAIN Salatiga khususnya jurusan PAI.

8. Teman-teman tim Rebonan FC.

Harapan penulis, semoga amal baik dari beliau yang telah membantu mendapatkan balasan dari Allah SWT. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Salatiga, 12 Maret 2017 Penulis

(10)

x ABSTRAK

Munif, Muhammad Rifqi. 2017. Ranah Afektif Dalam Perspektif Imam Ghazali (Kajian Terhadap Kitab Kimia al-Sa‟adah). Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK). Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing: Dr. M. Ghufron M.Pd.

Kata kunci: Ranah Afektif, Pendidikan Akhlak, Al-Ghazali.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pendidikan di Indonesia masih fokus pada satu ranah yaitu ranah kognitif saja. Ini berdampak besar terhadap realita yang ada di sekitar kita. Di era modern dimana akses informasi dapat diakses secara mudah perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat, sehingga tidak kita sadari ada beberapa hal yang tidak terlalu diperhatikan yaitu ranah afektif. Ini berdampak pada kemerosotan akhlak dimana fokus utama kehidupan adalah hedonisme. Penulis juga menghubungkan antara ranah afektif (hati) dengan pendidikan akhlak sebab masih banyak manusia yang mengedepankan kecerdasan akalnya dibanding stabilitas afektifnya. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ranah afektif menurut kitab Kimia al-Sa‟adah dan bagaimana relevansi perspektif al-Ghazali mengenai ranah afektif terhadap pendidikan di Indonesia.

Skripsi ini merupakan jenis penelitian library research atau studi kepustakaan yang bersifat deskriptif kualitatif. Dalam pengumpulan datanya peneliti menggunakan metode dokumentasi yang terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yaitu kitab Kimia al-Sa‟adah dan buku sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab Ihya „Ulumuddin al-Ghazali dan buku-buku penunjang yang berhubungan dengan pembahasan. Metode analisis yang digunakan adalah dengan metode deduktif dan induktif.

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR BERLOGO ... ii

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

MOTTO ... vi

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat hasil Penelitian ... 4

E. Metode Penelitian... 4

F. Tehnik Analisis Data ... 6

G. Penegasan Istilah ... 7

H. Sistematika penulisan ... 9

BAB II BIOGRAFI NASKAH ... 11

A. Riwayat Hidup Imam al-Ghazali ... 11

1. Lahir ... 11

2. Masa Muda ... 13

3. Masa Dewasa ... 15

4. Wafat ... 20

B. Karya-karya Imam al-Ghazali ... 21

C. Gambaran Umum Kitab Kimia al-Sa‟adah... 30

(12)

xii

A. Pengertian Afektif ... 33

B. Ranah Afektif dalam Perspektif Al-Ghazali ... 34

1. Pemahaman Jasad... 34

2. Hakikat Hati ... 36

3. Tentara Hati ... 45

4. Karakteristik hati ... 49

5. Keajaiban hati... 55

BAB IV ANALISIS RANAH AFEKTIF PERSPEKTIF AL-GHAZALI DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN AKHLAK DI INDONESI ... 62

1. Analisis Ranah Afektif Perspektif Al-Ghazali ... 64

2. Relevansi Ranah Afektif Dalam Kitab Kimia al-Sa‟adah dengan Pendidikan Akhlak di Indonesia. ... 72

BAB V PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 80

(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbagai jenis penyimpangan semakin nyata di tengah masyarakat. Jika kita merenungkan penyebabnya kita akan sadar bahwa semua kejahatan, kebobrokan dan perilaku kriminal terkait dengan masalah psikologis, dengan kata lain dengan kosongnya perasaan. Sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengambil langkah-langkah nyata guna menciptakan kesehatan psikologis masyarakatnya. Sebagai intelektual yang berkecimpung dalam dunia pendidikan hendaknya kita benar-benar memikirkan bagaimana solusi yang tepat untuk menanamkan kesehatan psikologis melalui pendidikan.

Pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia karena pada hakikatnya manusia lahir dalam keadaan tak berdaya dan tidak langsung dapat berdiri sendiri. Manusia pada saat lahir sepenuhnya memerlukan bantuan orang tuanya. Karena itu pendidikan merupakan bimbingan orang dewasa yang mutlak diberikan kepada manusia.

(14)

2

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan negara.

Pendidikan sebagai proses belajar memang tidak cukup dengan sekedar mengejar masalah kecerdasannya saja. Berbagai potensi anak didik atau subjek belajar lainnya juga harus mendapatkan perhatian yang proporsional agar berkembang secara optimal. Karena itulah aspek atau faktor rasa atau emosi maupun ketrampilan fisik juga perlu mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang.

Konsep kognitif afektif psikomotorik dicetuskan oleh Benyamin Bloom pada tahun 1956. Karena itulah konsep tersebut juga dikenal dengan Taksonomi Bloom. Pengertian kognitif afektif psikomotorik dalam Taksonomi Bloom ini membagi adanya 3 domain, ranah atau kawasan potensi manusia belajar yaitu ranah kognitif (proses berfikir), ranah afektif (nilai atau sikap) dan ranah psikomotorik.

Pendidikan yang kini diterapkan di Indonesia cenderung mengutamakan pengembangan kognitif bukan afektif atau psikomotor. Padahal, tidak semua masalah dapat diselesaikan secara efektif dengan menggunakan kemampuan kognitif, terutama dalam pembentukan akhlak. Rasulullah SAW bersabda:

ََٕثَذَد ٍُ١ِؼَٔ اُٛثَأ بََٕثَذَد

ُيُٛمَ٠ ٍش١ِشَث َٓث ْبَّْؼٌُٕا ُذْؼَِّع يبَل ٍشِِبَػ َْٓػ ءبَ٠ِشَوَص ب

(15)

3 bersabda: “sesungguhnya yang halal adalah jelas dan yang haram juga

jelas dan diantara keduanya ada perkara yang samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa menghindar dari yang samar maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Barang siapa jatuh dalam hal yang samar maka dia terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada di dekat pagar milik orang lain dikhawatirkan dia masuk kedalamnya. Ketahuilah setiap raja memiliki pagar (aturan). Aturan-aturan Allah adalah larangan-laranganNya. Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh jasad itu, jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah itu adalah hati. (H.R. Bukhari dan Muslim) (Bukhari, t.t. :21).

Dalam hadist ini jelas mengungkapkan bahwa ranah afektif sangat menentukan baik buruknya akhlak manusia. Ranah afektif berfungsi sebagai jembatan antara ranah kognitif menjadi ranah psikomotorik.

(16)

4 B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ranah afektif perspektif al-Ghazali dalam kitab Kimia al-Sa‟adah?

2. Bagaimana relevansi perspektif al-Ghazali mengenai ranah afektif terhadap pendidikan akhlak di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui ranah afektif perspektif al-Ghazali dalam kitab Kimia al-Sa‟adah.

2. Mengetahui relevansi perspektif al-Ghazali mengenai ranah afektif terhadap pendidikan akhlak di Indonesia.

D. Manfaat Hasil Penelitian

1. Teoritis: penelitian ini merupakan sumbangsih khasanah keilmuan pendidikan Indonesia secara umum terutama pendidikan Islam. 2. Praktis: memberikan Informasi ulang kepada praktisi pendidikan

tentang ranah afektif dalam perspektif Islam dalam kitab Kimia al-Sa‟adah karya Imam al-Ghazali untuk dijadikan rujukan

pendidikan di madrasah ataupun sekolah pada umumnya. E. Metode Penelitian

(17)

5 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian literer yang berfokus pada referensi buku dan sumber-sumber yang relevan. Penelitian literer lebih difokuskan kepada studi kepustakaan (Amirin, 1995: 135).

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu kitab hasil karya Imam al-Ghazali yaitu Kimia al-Sa‟adah. Di dalamnya memuat beberapa hal meliputi apa hakikat ranah afektif, bagaimana karakteristik ranah afektif dan bagaimana cara mengembangkan ranah afektif tersebut.

Fokus utama dalam kitab ini tentang ilmu agama dan Imam al-Ghazali menekankan suatu pemahaman bahwa yang paling berperan besar dan menjadi modal tercapainya tujuan pendidikan adalah kuatnya ranah afektif pada diri seseorang. Pendidikan di Indonesia seringkali masih berfokus kepada ranah kognitif saja dan masih enggan menyentuh ranah afektif. Pada akhirnya pendidikan di Indonesia hanya menghasilkan lulusan yang kuat dalam ranah kognitif saja dan lemah dalam ranah afektif dan psikomotorik. 3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan penelitian Library Research, dengan sumber data primer dan sumber data

(18)

6

menggunakan metode dokumentasi dan terkait dengan variabel-variabel yang berupa tesis, skripsi dan buku-buku terkait.

Data atau variabel-variabel tersebut merupakan kajian dari pemikiran Imam Al-Ghazali tentang sejarah kehidupannya maupun konsep pemikirannya terutama dalam ranah afektif yang termaktub dalam kitab Kimia al-Sa‟adah.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah:

a. Deduktif

Metode yang digunakan adalah metode deduktif. Metode deduktif adalah adalah metode berfikir yang berdasarkan pada pengetahuan umum dimana kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus (Hadi, 1987: 42).

(19)

7 b. Induktif

Selanjutnya metode yang digunakan adalah metode induktif guna mengkaji data yang telah didapat yang terkait dengan ranah afektif yang telah dipaparkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimia al-Sa‟adah dan dikaitkan dengan relevansi kekinian. Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari fakta-fakta peristiwa khusus dan konkret, kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1987: 42).

Menurut KBBI (2007:431) induktif adalah bersifat induksi, yang berarti penarikan kesimpulan berdasarkan keadaan yang khusus untuk diperlakukan secara umum. Dengan cara mengumpulkan data-data dalam jumlah tertentu, atas dasar data itu menyusun suatu ucapan umum. Dengan kata lain membuat analisa dari data yang bersifat kongkret menuju pada kesimpulan yang bersifat umum.

G. Penegasan Istilah

Untuk memperjelas penelitian skripsi ini dan guna menghindari salah faham, maka akan dijelaskan istilah-istilah dalam judul di atas sebagai berikut:

1. Ranah Afektif

(20)

8

adalah berkenaan dengan perasaan (Tim Penyusun,1990:8). Dalam ensiklopedi umum affek merupakan suasana perasaan yang yang menyertai suatu ide, pikiran atau peristiwa mental. Biasanya affek dianggap berhubungan erat dengan dorongan insting. Jadi ranah afektif adalah berbagai perilaku yang berkaitan dengan perasaan. 2. Kimia al-Sa‟adah

Kitab ini merupakan karya dari sang Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali. Seperti nama karyanya, kitab ini seperti membahas rumus-rumus seperti menyusun unsur-unsur kimia yang mengubah logam rendah menjadi logam yang berharga. Untuk menjelaskan metode-metode itulah maka al-Ghazali menyusun karya yang diberi judul yang berarti Kimia Kebahagiaan ini. menurut al-Ghazali kebahagiaan itu mempunyai dua segi, segi negatif dan positif. Segi negatif berkenaan dengan apa-apa yang bukan kebahagiaan, karena itu hanya menjadi landasan bagi aspek positif. Al-Ghazali membahas kebahagiaan dengan pendapat bahwa tujuan hidup manusia adalah kesenangan (ladzadza) dan kenikmatan (na‟im) hidup di dunia ini (Quasem, 1988: 48).

(21)

9

sederhana tetapi berisi tentang hal-hal sangat penting karena di dalamnya membahas inti dari manusia yakni hati dan keajaiban-keajaibannya. Dengan memahami hakikat hati, karakteristik dan keajaibannya, diharapkan dapat memahami cara atau wasilah untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi merupakan suatu cara menyusun dan mengolah hasil penelitian dari data serta bahan-bahan yang disusun menurut susunan tertentu, sehingga menghasilkan kerangka skripsi yang sistematis dan mudah dipahami. Adapun sistematika pada skripsi ini sebagai berikut:

BAB I :PENDAHULUAN. Dalam bab ini meliputi : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, teknik analisis data, penegasan istilah dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II :BIOGRAFI NASKAH. Pembahasannya meliputi riwayat hidup Imam al-Ghazali, mulai dari kelahiran, masa muda, dewasa, pengabdian dalam masyarakat, negara, serta latar belakang pendidikan, karyanya dan gambaran umum kitab Kimia al-Sa‟adah.

(22)

10

ranah afektif dalam kitab Kimia al-Sa‟adah karya Imam al-Ghazali.

BAB IV :ANALISIS RANAH AFEKTIF PERSPEKTIF AL-GHAZALI DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN AKHLAK DI INDONESIA.

(23)

11 BAB II

BIOGRAFI NASKAH

A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali

1. Lahir

Al-Ghazali Bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Tusi al-Ghazali lahir di desa Thus kini dekat Masyhad, sebuah tempat di Khurasan pada tahun 450 H/1058 M (Soleh, 2009:18-19). Ia dipanggil Hamid dan mendapatkan julukan (laqab) “Zainuddin” (al-Qardawi, 1987:9). Ayahnya bernama Muhammad

bekerja sebagai tukang pintal pakaian yang berasal dari kain wol sehingga namanya sering diucapkan dengan Ghazzali yang berarti tukang pintal benang.

(24)

12

Dengan kesadaran bahwa pendidikan memerlukan biaya, sedang ia miskin, sementara cita-citanya harus dipenuhi, maka menjelang wafatnya, ia menitipkan al-Ghazali dan adiknya, Ahmad, kepada sahabat dekatnya, seorang sufi (tidak ada nama jelas mengenainya) agar harta yang ditinggalkan kelak digunakan untuk biaya pendidikan anaknya tersebut. Ayah al-Ghazali meninggal ketika al-Ghazali diduga berusia enam tahun. Jelas ia tidak menyaksikan „bintang‟ al-Ghazali (Ghafur, 2006: 26-27).

Al-Ghazali menempuh pendidikan agama meliputi pelajaran al-Qur‟an, hadist mendengarkan kisah para ahli hikmah dan menghafalkan puisi mistis di kota Tus (Soleh, 2009: 19). Sang sufi yang menjadi guru al-Ghazali dan adiknya itu melaksanakan pesan-pesan sahabatnya dengan baik, sampai bekal dari harta tinggalannya habis (Ghafur, 2006:27). Atas saran gurunya, al-Ghazali melanjutkan madrasahnya dan tidak dipungut biaya sama sekali. Di madrasah tersebut Ghazali belajar dengan ulama sufi yang terkenal Yusuf al-Nassaj. Disamping itu beliau belajar kitab fiqih kepada pakarnya yaitu Ahmad bin Muhammad al-Razaqani (Alba, 2012: 36). Pada waktu itu, usia al-Ghazali masih relatif kecil, yaitu sekitar 10 tahun. Namun sejak itulah ia memperlihatkan semangatnya yang menggelora untuk mencari dan mendalami ilmu. Hal ini nampak dari otobiografinya al-Munqidh min al-dlalal (Deliverence From Error), “sejak masih muda

(25)

13

tak henti-hentinya aku menceburkan diri mengarungi samudera yang sangat dalam ini dengan tanpa rasa takut”. Karena itulah ia ingin melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi (Ghafur, 2006:28). 2. Masa Muda

Pada usia 15 tahun al-Ghazali pergi ke Mazardaran, Jurjan untuk melanjutkan studinya dalam bidang fiqih selama 2 tahun di bawah bimbingan Abu Nasr al-Ismaily (Soleh, 2009: 19).

Pada awal studinya, al-Ghazali mengalami suatu peristiwa yang menarik yang kemudian mendorong kemajuannya dalam bidang pendidikan. Suatu hari pada saat pulang ke tempat asalnya, al-Ghazali dihadang oleh sekelompok perampok. Mereka merampas seluruh barang bawaan al-Ghazali termasuk catatan kuliahnya. Al-Ghazali meminta kepada perampok tersebut agar mengembalikan catatan yang sangat bernilai baginya. Kepala perampok tersebut malah menertawakan serta mengejeknya sebagai penghinaan terhadap al-Ghazali yang ilmunya tergantung pada beberapa helai kertas saja. Al-Ghazali menanggapinya dengan positif dan ejekan itu digunakan untuk mencambuk dirinya dan menajamkan ingatannya dengan menghafalkan semua catatan kuliahnya selama 3 tahun (Rusn, 2009:10).

(26)

14

ibukota Turki Saljuk, salah satu daerah terpenting sebagai pusat pemikiran dunia Islam pada ketika itu. Setelah itu beliau menuju Baghdad untuk berguru kepada maha guru di tempat tersebut, al-Juwaini (419-478H/1028-1085M) yang bergelar Imam Haramain. Di sinilah al-Ghazali diperkenalkan dengan berbagai cabang ilmu yang berkembang ketika itu, seperti teologi, fiqih, logika, filsafat, metode berdiskusi dan lain-lain, sehingga ia dengan bakat dan kecerdasan dan ketekunannya mampu menguasai ilmu-ilmu tersebut sampai paham apa yang diungkapkan masing-masing ahli ilmu itu dan bagaimana menolak klaim-klaimnya (Ghafur, 2008:28-29).

Beliau pergi ke Nisabur untuk belajar fiqih dan teologi di bawah bimbingan al-Juwaini dan kemudian al-Ghazali diangkat menjadi asisten gurunya dan terus mengajar pada madrasah Nidzamiyah di Nisabur sampai sang guru wafat pada tahun 478H/1085M (Soleh, 2009:19). Al-Juwaini atau Imam Haramain adalah seorang ulama besar aliran Asy‟ariyah paling terkenal pada

masa itu. Imam Haramain ahli dalam bidang teologi, fiqih, mistisisme dan dialektika. Al-Juwaini melihat al-Ghazali sebagai seorang murid yang cerdas dan berbakat, sehingga mendapatkan gelar “Bahr

(27)

15

(1074M). Selain itu, beliau juga mulai mempelajari doktrin-doktrin Ta‟limiyah hingga al-Mutazhir menjadi khalifah (1094-1118M)

(Soleh, 2009: 20). Diantara murid-murid al-Juwaini, al-Ghazali adalah yang paling menonjol dan brilliant. Kejeniusannya ini menimbulkan kekaguman tersendiri pada gurunya tersebut, sehingga ia berkomentar „Al-Ghazali bagai lautan yang menenggelamkan‟(Plenteous Ocean).

Melihat kemampuannya ini al-Juwaini mengangkat al-Ghazali sebagai asistennya. Kelebihannya ini ditunjukkan pula dengan kemampuannya menulis karya seperti Qawaid al-„Aqaid, „Aqaid Sughro dan al -Mankhul fi Islamiyah al-Ushul.

3. Masa Dewasa

Penting untuk dicatat bahwa pengetahuan dasar yang diterima al-Ghazali adalah fiqih Syafi‟i, tasawuf dan ideologi Asy‟ariyah. Al -Ghazali tetap tinggal di Nisabur sampai gurunya wafat pada 22 Rabi‟ul Akhir 478H/ Agustus 1085H M. Dari Nisabur, al-Ghazali

(28)

16

al-Ghazali yang memiliki analisis tajam dan pandangan yang luas, sehingga namanya mencuat dan masyhur (Al-Qardhawi, t.t..:188). Selama enam tahun ia tinggal di Mu‟askar dengan mengisi kegiatan

kesehariannya dengan menghadiri forum diskusi dan perdebatan (religious discussion), memikirkan kembali ilmu-ilmu yang didapatkannya (Ghafur, 2006:31-32). Akhirnya Nizam al-Mulk menugaskan al-Ghazali untuk pergi ke Baghdad dalam rangka mengajar di Akademi Nidzamiyah (Al-Qardawi, t.t..:188). Al- Ghazali menjadi pengajar dan rektor di Universitas tersebut kurang lebih 4,5 tahun. Pada fase Baghdad tersebut, ia disibukkan dengan kegiatan mengajar, meneliti, mempelajari buku-buku filsafat secara autodidak dan menulis buku (Ghafur, 2006:33). Sejak saat itu ia menjadi Imam penduduk Irak setelah melewati karir keimanannya di Khurasan (Al-Qardawi, t.t..:188).

(29)

17

maksimal), sehingga al-Ghazali memastikan bahwa satu-satunya harapan mencapai kepastian dan kenikmatan dalam kehidupan nanti terletak pada jalan kaum sufi (Ghafur, 2006:34).

Di waktu-waktu senggang sehabis memberi pelajaran pada murid-muridnya, secara autodidak beliau mendalami filsafat melalui buku-buku yang ditulis para filosof. Tujuan mempelajari filsafat adalah untuk menghilangkan keraguan terhadap kebenaran-kebenaran ilmu yang selama ini dikuasainya. Setelah menghabiskan waktu selama dua tahun mendalami filsafat, ternyata filsafat terdiri dari banyak aliran dan semuanya tidak lepas dari kekurangan dan penyimpangan. Menurut al-Ghazali para filosof tidak mampu membuktikan argumen yang dituntut logika, sebab mereka mendasarkan semua pernyataannya atas asumsi dan perkiraan (Alba, 2012:37).

Ketidakpuasan terhadap filsafat membawa al-Ghazali tertarik mempelajari ilmu Batiniyyah (Ta‟limiyah). Aliran ini merupakan gerakan keagamaan yang membawa tujuan-tujuan politis yang tersembunyi di dalamnya. Aliran ini menentang kebebasan berpendapat, fungsi akal, serta menyeru manusia agar menerima ajaran dari imam ma‟sum, serta berpendirian bahwa ilmu tidak dapat dimengerti kecuali dengan cara ta‟lim (pembelajaran) dari imam

(30)

18

Untuk membuktikan apakah aliran ini benar atau salah, al-Ghazali melakukan penelitian terhadap aliran ini dari berbagai segi secara mendalam, sehingga akhirnya beliau berkesimpulan bahwa batiniyyah mengandung banyak kelemahan dan dapat menyesatkan

manusia dari jalan yang lurus. Ringkasnya al-Ghazali menolak aliran batiniyyah dan membantah pendapat-pendapat mereka dengan

jawaban-jawaban yang fundamental serta kokoh (Alba, 2012:38). Ketidakpuasan terhadap ajaran “batiniyyah” membawa al

-Ghazali tertarik pada tasawuf. Beberapa kitab tasawuf yang dipelajari secara mendalam seperti karya Abu Thalib Makki, Muhasibi, al-Junaidi dan lain-lain. Menurutnya, jalan tasawuf tidak dapat ditempuh kecuali dengan menguasai ilmu dan mengamalkannya. Bagi al-Ghazali menguasai ilmu lebih mudah ketimbang mengamalkannya.

Kepindahan al-Ghazali ke dunia tasawuf membawa implikasi yang luar biasa. Beliau tertimpa krisis psikis yang cukup serius, karena jalan sufisme yang beliau tempuh ini berbeda dengan jalan kehidupan yang selama ini dilaluinya. Kegalauan spiritual ini terjadi tidak kurang dari 6 bulan, sehingga secara fisik menurun lemah. Namun setelah beliau yakin dengan jalan tasawuf yang ditempuhnya beliau segera sembuh, lalu meninggalkan kota Baghdad dengan meninggalkan segala kehormatannya untuk menjalani riyadah ruhiyyah sehingga kebenaran yang tidak mengandung keraguan

(31)

19

Ketika nama dan posisinya semakin tinggi di mata pejabat, para menteri dan para tokoh serta keluarga kerajaan, tiba-tiba ia berbalik dan meninggalkan Baghdad, meninggalkan sisi-sisi yang diwarnai popularitas, pangkat dan segala yang berbau duniawi untuk menempuh faktor-faktor menuju ketakwaan (al-Qardawi, t.t..:188). Al-Ghazali meninggalkan Baghdad dengan dalih hendak melakukan haji ke Makkah, padahal tujuannya adalah Syiria (Damaskus). Dalih ini ditempuh agar khalifah dan kenalannya mengizinkan. Di tempat tersebut al-Ghazali tinggal selama dua tahun dan selama itu pula ia melakukan uzlah, khalwat, riyadhah dan Mujahadah sebagaimana ajaran tasawuf yang diperolehnya. Perilakunya itu didedikasikan untuk menjernihkan batin agar mudah berdzikir kepada Allah. Setelah itu, kira-kira tahun 489H/1096M, al-Ghazali meninggalkan Damaskus menuju Yerussalem, negerinya para Nabi, tepatnya di Bait al-Maqdis (Ghafur, 2006:38). Di Bait al-Maqdis itulah al-Ghazali mengarang kitab al-Ihya‟, sekaligus melakukan jihad terhadap nafsu, merubah akhlaknya selama ini, memperbaiki dan menjernihkan kehidupannya (al-Qardhawi, t.t.:188). Karena melebarnya perang Salib, al-Ghazali meninggalkan kota tersebut menuju Mesir, kota pusat kedua bagi peradaban muslim setelah Baghdad. Dari Mesir al-Ghazali meneruskan perjalanannya ke Iskandariah dan terus ke Maroko.

(32)

20

realitas masyarakat yang mengalami dekadensi moral dan krisis iman. Faktor inilah yang menariknya kembali ke kancah penyebaran ilmu dan melepas „baju‟ uzlahnya. Dorongan dari dalam dengan nuansa

baru dengan tanpa mengingkari janjinya dan ajakan penguasa Saljuk yang baru Fahr al-Mulk al-Ghazali mengajar kembali di Nisabur. Ia mengajar di Madrasah almamaternya tersebut selama tiga tahun. Pada periode itulah ia menulis salah satu karyanya dalam bentuk otobiografi, di samping karya-karya lain.

4. Wafat

Sekitar tahun 504H/1110M dengan alasan keagamaan dan keduniawian, al-Ghazali kembali ke tanah kelahirannya, Thus dan mendirikan madrasah bagi para pengkaji ilmu-ilmu agama dan sebuah khanqah bagi para sufi. Disini bersama sekitar seratus lima puluh

muridnya, ia habiskan sisa hidupnya sebagai pengajar dan guru sufi. Ia juga terus mendalami al-Qur‟an dan Hadis, termasuk Shahih Bukhari dan Abu Dawud serta kegiatan menulis baik dalam bentuk penyelesaian terhadap karya-karyanya yang belum selesai maupun karya yang baru, sehingga dalam waktu yang singkat lahir pula karyanya yang lain (Ghafur, 2006:40). Ibnu Asakir mengatakan “Al

(33)

21

sebagaimana Allah SWT. memberikan anugerah keistimewaan dengan diterimanya ilmu al-Ghazali di dunia”.

Ibnu al-Jauzi dalam al-Muntadzim mengisahkan “Menjelang wafatnya, sebagian para muridnya meminta „Berwasiatlah padaku

wahai guru‟ maka al-Ghazali menjawab, „Hendaknya Anda tetap ikhlas‟. Kata itu terus terucap, hingga wafat menjemputnya” (al

-Qardhawi, t.t..:199).

Pemaparan perjalanan keilmuan dan spiritual al-Ghazali menggambarkan sosok seorang pencari ilmu yang haus kepastian. Dengan ilmunya, ia mendapatkan sesuatu yang sebelumnya tidak diangan-angankannya, kedudukan tinggi dan kekayaan duniawi. Namun ia tidak terjebak pada kemewahan yang mengantarnya jauh dari Tuhannya tersebut. Ia bukannya sosok pencari ilmu an sich, tapi juga pencari kebenaran epistemologis yang hakiki sehingga ia bukan saja menerima dan menguasai ilmu tersebut begitu saja, tapi juga mempertanyakan klaim-klaim atau postulat-postulat itu kembali dan kegunaannya bagi kedekatan pribadinya dengan Khaliknya serta kebaikan masyarakatnya. Tampaknya al-Ghazali memegang prinsip knowledge for living, bukan ilmu yang bebas nilai tanpa tujuan

B. Karya-karya al-Ghazali

Al-Faqih Muhammad ibnu Hasan bin Abdullah Husaini al-Wasithy dalam kitabnya, ath-Thabaqatul Aliyah fi Manaqibi

(34)

22

as-Subky dalam kitabnya ath-Thabaqat asy-Syafi‟iyah, menyebutkan ada 58 judul karyanya. Thasy Kubra Zadah menyebutkan dalam bukunya,

Miftahus Sa‟adah wa Misbahus Siyadah, jumlah karyanya mencapai 80

judul kitab. Ia menambahkan bahwa buku dan risalahnya mencapai ratusan, bahkan sulit dihitung. Tidak mudah bagi orang yang ingin mengenal nama-nama kitabnya. Bahkan pernah dikatakan bahwa al-Ghazali memiliki seribu minus satu karya. Walaupun hal tersebut bertentangan dengan adat kebiasaan, namun orang yang mengenal kondisi al-Ghazali sebenarnya,bisa jadi akan membenarkan informasi tersebut. Dr. Abdurrahman Badawi mengikutsertakan jumlah dan nama-nama kitab al-Ghazali dalam bukunya, Muallifatul Ghazal, sebanyak 487 judul. Diantara karya-karya itu bisa kami sebutkan di sini:

1. Ihya Ulumiddin. Kitab ini diterbitkan ribuan kali, diantaranya diterbitkan di Bulaq tahun 1269, 1279, 1282, 1289H. Terbit pula di Istanbul tahun 1321H, di Teheran 1293H. Dan diterbitkan di Darul Qalam Beirut tanpa tahun.

2. Al-Adab fid-Diin. Diterbitkan satu edisi dengan kumpulan risalah al-Ghazali (majmu‟ul rasa‟il) yang terbit di Kairo tahun 1328H/1910M, dari halaman 63-94.

(35)

23

terjemahan Muhammad Luqman Hakiem dan Hosen Arjaz Jamad, diterbitkan penerbit Risalah Gusti, Surabaya, 1996.

4. Asasul Qiyas. Al-Ghazali menyebutnya dalam al-Mustashfa, Juz I/38, Juz II/238 dan Juz III/325, terbitan Mesir tahun 1324H/1907M. Tentang kitab ini juga disebut oleh Muhammad ibnul Hasan al-Husaini al-Wasithy, dalam ath-Thabaqatul Aliyah fi

Manaqiby Syafi‟iyah. Naskahnya masih berupa manuskrip, ada di

Darul Kutub al-Mishriyah No.7 dan ada pula di tempat Abdurrahman al-Badawi, hlm. 61.

5. Al-Istidraj. Pernah disebut al-Ghazali dalam kitabnya, ad-Durratul Fakhirah, hlm. 57 dari terbitan kami (Darul Fikr). Adapula yang

masih manuskrip Ashfiyah, No.18 (Tasawuf Arab).

6. Asraru Mua‟amalatud-Din. Disebut oleh as-Subky dalam Thabaqat as-Syafi‟iyal al-Kubra, Juz IV, hlm. 116, disebut pula

oleh Muhammad ibnul Hasan dalam ath-Thabaqatul Aliyah fi

Manaqibisy Syafi‟iyah, lalu al-Ghazali juga menyebutnya dalam

kitab Minhajul „Abidin, hlm. 32, serta Dr. Abdurrahman Badawi, hlm. 68.

(36)

24

diterjemahkan ke bahasa Spanyol. As-Subky dalam Thabaqat-nya (IV/116) juga menyebutnya, begitu pula az-Zubaidy dalam al-Ithaf Juz I/41 dan disebut pula dalam ath-Thabaqatul Aliyah.

8. Iljamul „Awam „an „Ilmil Kamal. Diterbitkan di Istanbul tahun 1278H, di Kairo tahun 1303H, 1309H dan 1350H, atas jasa Muhammad Ali Athiyah al-Katby, serta tahun 1351H, diterbitkan Idaratul Muniriyah, diterjemahkan pula ke dalam bahasa Spanyol. 9. Al-Imla‟ „ala Musykilil Ihya‟. Diterbitkan di Fes tahun 1302,

dicetak juga dalam Hamisy kitab Ithafus Sadatil Muttaqin, karya az-Zubaidy dan menjadi Hamisy dari sejumlah terbitan al-Ihya‟. 10.Ayyuhal Walad. Terbit dalam satu kumpulan edisi di Kairo, tahun

1328 H. Tahun 1343 H tercantum dalam risalah-risalah al-Ghazali berjudul Jawahirul Ghawali min Rasaili Hujjatil Islam al-Ghazali. Di Istambul juga terbit pada tahun 1305 H dan di Qazan

tahun 1905 M dengan terjemah bahasa Turki, oleh Muhammad Rasyid. Diterjemahkan pula ke dalam bahasa Jerman oleh Hammer Y. Di Wina tahun 1837 M. Lantas Dr. Taufik Shabagh menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dalam publikasi edisi khusus UNESCO

(37)

25

Sadatil Muttaqin dengan judul Albabul Muntahal fil Jadal, dalam

Dr. Abdurrahman Badawi, hlm. 7.

12.Bidayatul Hidayah. Berbagai penerbit menerbitkannya termasuk diantaranya terbitan Bulaq tahun 1287H, Kairo, 1277H. Dan 1303H. Dalam terbitan yang disertai catatan-catatan Muhammad an-Nawawi al-Jary, terbit di Kairo tahun 1308H, Bulaq 1309H, Lucknow 1893H, Kairo 1306H, 1326H, Kairo 1353H. Maktabatu Qur‟an menerbitkannya tahun 1985 M, editor Muhammad Ustman

al-Khasyat. Kitab ini juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan Jerman.

13.Al-Basith fil Furu‟. Diantaranya berbentuk manuskrip dalam Diwan al-Hindy tahun 1766 M. Dan Iskorial Cet. 1125 H, al-Fatih di Istambul No. 1500, di Sulaimaniyah No. 629, di College Ali No. 327, Diniyah Umumiyah No. 44 yang disebut pertama, keempat, kelima dan keenam ada di perpustakaan Dhahiriyah No. 174-176 Fiqih Syafi‟i, ada pula

14.Ghayatul Ghaur fi Dirayatid Daur. Diantaranya ada di Mathaf Britania No. 1203 (1), di Raghib Istanbul No. 569 dalam 75 lembar dan di Hamburg No. 59, Darul Kutub al-Mishriyah No. 3659 dan 3660- Tasawuf dengan judul Mas‟alatu Thalaqid Daur.

(38)

26

16.At-Tabbarul Masbuk fi Nashaihil Muluk. Bahasa asli kitab ini Persia dengan judul “Nasihatul Muluk” kemudian diterjemahkan

ke dalam bahasa Arab oleh Ali bin Mubarak bin Mauhub, untuk Atabik Alb Qatlaj di Mosul (wafat 595 H). Kemudian diterbitkan di Kairo tahun 1277H dan terbit sebagai hamsy ath-Tharthusi 17.Tahshinul Maakhidz. Mengenai ilmu polemik disebut oleh

as-Subky, Ibnu Qadhy Syahba, Ibnul Immad dalam ash-Syadzarat serta dalam “Muallafatul Ghazali” oleh Abdurrahman Badawi.

18.Talbis Iblis. Disebut oleh as-Subky, Thasy Kubra dalam “Miftahus

Sa‟adah”. Haji Khalifah juga menyebutkan namun dengan judul

Tadlis Iblis”.

19.At-Ta‟liqat fi Furu‟il Madzhab. Disebut oleh as-Subky, IV/103 dan Abdurrahman Badawi, hlm. 1.

20.Faishal at-Tafriqah bainal Islam waz-Zindiqah. 21. Tafsirul Qur‟anil „Adzim.

22.Tahafutul Falasifah. Diterbitkan di Kairo, tahun 1302H, 1320H, 1321H dan tahun 1955M. Di Bombay diterbitkan 1304H. Diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh C. Calonymus.

23.Tahdzibul Ushul. Diketengahkan oleh Muhammad ibnul Hasan dalam ath-Thabaqatul Aliyah, disebut pula oleh al-Ghazali dalam al-Mustashfa serta Dr. Abdurrahman Badawi, hlm. 59

24. Jawabul Ghazaly „an Da‟wati Mu‟ayyidil Muluk lahu li

(39)

27

25.Al-Jawahir al-Laily fi Mutsallatsil Ghazaly. Manuskrip di Darul Kutub Mishriyah.

26. Jawahirul Qur‟an wa Duraruh. Terbit di Makkah 1302H, di Bombay India tahun 1311H, Kairo tahun 1320 H. Edisi Indonesia diterbitkan Risalah Gusti Surabaya, tahun 1995 dengan judul “Jawahirul Qur‟an, Permata Ayat-ayat Suci” terjemahan

Muhammad Lukman Hakiem.

27.Hujjatul Haq. Disebut al-Ghazali dalam al-Munqidz terbitan Damaskus tahun 1934.

28. Haqiqatul Qur‟an. Disebut al-Ghazali dalam al-Mustashfa juga Dr. Abdurrahman Badawi.

29.Haqiqatul Qaulaini. Naskah berbentuk manuskrip juga ditemukan di Bani Jami‟.

30.Al-Hikmah fi Makhluqatillah Azza wa Jalla. Tercantum dalam edisi Majmu‟atul Rasa‟il Imam al-Ghazali, Darul Fikr, Beirut, 1996.

31. Khulashatul Mukhtashar wa Niqaulul Mu‟tashar. Al-Ghazali sendiri menyebutkan dalam Ihya‟ Ulumuddin, Juz 1, juga dalam “Jawahirul Qur‟an”. Ia berkomentar bahwa kitab Khulashah

tersebut adalah kitab paling kecil diantara karya-karyanya di bidang fiqih.

(40)

28

33.Ad-Duratul Fakhirah fi Kasyfi Ulumil Akhirah. Termaktub dalam edisi Majmu‟atul Rasa‟il terbitan Darul Fikr, Beirut, 1996, hlm. 509.

34.Ar-Risalatul Wa‟dziyah. Dinamakan pula dengan al-Wa‟dziyah dan

Mawa‟idzul Ghazali. Diterbitkan dalam edisi Risalah al-Ghazali.

35.Zaad Akhirat. Disebut dalam buku Dr. Abdurrahman Badawi dan diantaranya berbentuk manuskrip di Leiden.

36.Sirrul Alamin wa Kasyfu ma fid-Daarain. Diterbitkan di Bombay tahun 1314H, Kairo tahun 1343H dan 1327H. Sedangkan Darul Fikr Beirut menerbitkan dalam bentuk Majmu‟u Rasa‟il Imamil Ghazali, 1996, hlm. 449.

37. Syifa‟ul Ghalil fil Qiyas wat-Ta‟lil.

38.Qawashimul Bathiniyah. Al-Ghazali menyebutnya dalam

Jawahirul Qur‟an.

39.Al-Kasyfu wat-Tabyin fi Ghururil Khalq Ajma‟in. Dicetak dalam bentuk Hamsy kitab Tanbihul Maghrurin karya asy-Sya‟rany, Kairo, 1340H.

(41)

29

teks Arab disebutkan oleh az-Zubaidy dalam al-Ithaf , dimana ia menemukannya di sebelah teks Persia berukuran besar, ada teks Arab berukuran kecil dalam 4 kuras (bendel). Teks Arab ini masuk dalam kumpulan Risalah al-Ghazali yang diterbitkan oleh Musthafa Kurdy, Kairo, tahun 1328 dan 1343 H.

Teks Arab juga diterjemahkan ke bahasa Turki oleh Musthafa al-Wany, diterbitkan di Istambul tahun 1260 H. Diterjemahkan pula ke bahasa Urdu di Lucknow tahun 1313 H dan ke dalam bahasa Inggris serta Jerman.

41.Lubabun Nadzar fil Fiqh. Disebut oleh al-Ghazali Mi‟yarul „Ilmi. 42.Mihakkun Nadzar fil-Fiqh. Disebut oleh al-Ghazali dalam

al-Iqtishad al-I‟tiqad.

43.Al-Mustashfa fil-Ilmil Ushul. Pada Hamisynya ada kitab Fawatihur Rahmawi karya al-Anshary.

44.Al-Muntadhzir fir-Radd „alal Bathiniyyah. Al-Ghazali menyebutnya dalam al-Munqidz hlm. 118.

45.Al-Munqidz minadh-Dhalal. Dicetak di Istambul tahun 1286 H di Kairo 1309 H. Serta pada Hamisy al-Insanul Kamil. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis sampai tiga kali, ke dalam bahasa Inggris dua kali, ke bahasa Turki dan Belanda.

(42)

30

47.Al-Wasith. Buku ini diberi syarah oleh Utsman bin Abdurrahman ibnush Shalah. Syarahnya berjudul Syarfu Syaklil Wasith. Al-Badhawi meringkas karya tersebut dan memberi judul dengan al-Ghayatul Qushwa.

48.Rhaudhatuth Thalibin wa Umdatus-Salikin. Diterbitkan oleh Darul Fikr Beirut dalam edisi Majmu‟at Rasa‟il Imam al-Ghazali, tahun

1996 hlm. 92. Dalam edisi Indonesia diterjemahkan oleh Muhammad Luqman Hakiem dengan judul Raudhah: Taman Jiwa Kaum Sufi diterbitkan Risalah Gusti Surabaya, 1995.

49.Ar-Risalatul Laduniyah. Juga dalam edisi Majmu‟at Rasa‟il Darul Fikr, Beirut, 1996, hlm.222.

Dan masih banyak puluhan bahkan ratusan karya Imam al-Ghazali yang masih berupa manuskrip belum terpublikasikan (al-Qardhawi, t.t.:190-199).

C. Gambaran Umum Kitab Kimia al-Sa’adah

Kimia‟ al-Sa‟adah. Terbit dalam teks Persia. Teks Persia

diterjemahkan ke bahasa Turki oleh Musthafa al-Wany wafat tahun 1591 M. Dan belum sempat dicetak. Adapula manuskripnya di Aya Sofia dan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Turki H.A. Homes dengan judul Alcemy of Happiness by Mohammed al-Ghazzali, the Mohammedan Philosophe. Sedangkan teks Arab disebutkan oleh

(43)

31

berukuran besar, ada teks Arab berukuran kecil dalam 4 kuras (bendel). Teks Arab ini masuk dalam kumpulan Risalah al-Ghazali yang diterbitkan oleh Musthafa Kurdy, Kairo, tahun 1328 dan 1343 H.

Teks Arab juga diterjemahkan ke bahasa Turki oleh Musthafa al-Wany, diterbitkan di Istambul tahun 1260 H. Diterjemahkan pula ke bahasa Urdu di Lucknow tahun 1313 H dan ke dalam bahasa Inggris serta Jerman.

Kitab ini merupakan karya dari sang Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali. Seperti nama karyanya, kitab ini seperti membahas rumus-rumus seperti menyusun unsur-unsur kimia yang mengubah logam rendah menjadi logam yang berharga. Untuk menjelaskan metode-metode itulah maka al-Ghazali menyusun karya yang diberi judul yang berarti Kimia Kebahagiaan ini. menurut al-Ghazali kebahagiaan itu mempunyai dua segi, segi negatif dan positif. Segi negatif berkenaan dengan apa-apa yang bukan kebahagiaan, karena itu hanya menjadi landasan bagi aspek positif. Al-Ghazali membahas kebahagiaan dengan pendapat bahwa tujuan hidup manusia adalah kesenangan (ladzadza) dan kenikmatan (na‟im) hidup di dunia ini (Quasem, 1988: 48).

(44)

hal-32

(45)

33

BAB III

RANAH AFEKTIF PERSPEKTIF AL-GHAZALI DALAM KITAB

KIMIA AL-SA’ADAH

A. Pengertian Afektif

Forgas (2000), pendefinisian istilah-istilah seperti afek, perasaan, emosi dan suasana hati merupakan hal yang sulit, karena kurangnya kesepakatan luas antara para peneliti tentang makna istilah-istilah tersebut (Schunk, 2008:337). Forgas (2000) mengatakan bahwa afek dapat dianggap sebagai istilah yang terluas dan paling inklusif, karena afek meliputi emosi-emosi yang spesifik dan berbagai suasana hati yang umum (Schunk, 2000:337). Afektif menurut KBBI adalah berkenaan dengan perasaan (Tim Penyusun, 1990:8). Dalam ensiklopedi umum affek merupakan suasana perasaan yang menyertai suatu ide, pikiran

(46)

34

yang tidak konsisten yang timbul dari hati yang menjadi pendorong untuk berkehendak.

Rasulullah SAW. bersabda:

َذَغَف ْدَذَغَف اَرِاَٚ ٍُُُّٗو ُذَغَجٌا َخٍَُص ْذَذٍَُص اَرِا ًخَغْضُِ ِذَغَجٌا ٟف َِّْا َلاَأ

ُتٍْمٌا ََِٟ٘ٚ َلاَا ٍُُُّٗو ُذَغَجٌا

Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh jasad itu, jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah itu adalah hati. (H.R. Bukhari dan Muslim) (Bukhari, t.t. :21).

Makna akhlak yang baik adalah rupa batin yang baik, maka dengan kadar terhapusnya sifat tercela, teguhlah gantinya sifat-sifat terpuji. (al-Ghazali, 2008:223). Dalam menjelaskan dimensi afektif ini al-Ghazali menggunakan istilah dimensi batin atau dimensi hati dan al-Ghazali mempunyai beberapa definisi mengenai batin.

B. Ranah Afektif dalam Perspektif Imam Al-Ghazali

1. Pemahaman Jasad

Peran dimensi afektif sangatlah sentral dalam membentuk fondasi akhlak manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

ْدَذَغَف اَرِاَٚ ٍُُُّٗو ُذَغَجٌا َخٍَُص ْذَذٍَُص اَرِا ًخَغْضُِ ِذَغَجٌا ٟف َِّْا َلاَأ

ٍُُُّٗو ُذَغَجٌا َذَغَف

ُتٍْمٌا ََِٟ٘ٚ َلاَا

(47)

35

jaasadnya dan apabila segumpal darah itu buruk, maka buruk juga jasadnya, ketahuilah itu bernama hati (Bukhari, t.t. :21).

Karena dimensi afektif berperan sangat vital dalam pembentukan akhlak seseorang maka hal pertama yang harus difahami adalah memahami diri sendiri. Allah SWT. Berfirman dalam surat al-Fussilat ayat 53:

َد ُِِْٙغُفَْٔأ ِٝفَٚ ِقبَفَلاا ِٝف َبِٕرَب٠آ ُِْٙ٠ِشَُٕع

ُّكَذٌا ََُّٗٔأ ٌَُُْٙ ََّٓ١َجَزَ٠ َّٝز

kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri hingga jelas bagi mereka bahwa al-qur‟an itu adalah benar (Depag, 2000: 385).

Dan Nabi Muhammad SAW. bersabda:

َُّٗثَس َفَشَػ ْذَمَف َُٗغْفَٔ َفَشَػ َِْٓ

Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri maka ia

mengenal Tuhannya (Al-Ghazali, t.t. :4).

(48)

36

Tidak ada sesuatu yang lebih dekat dari manusia selain dirinya sendiri dan apabila tidak mengenal diri sendiri bagaimana ia mengenal Allah dan jika tidak mengenal Allah maka mustahil seseorang mempunyai akhlak yang baik.

Al-Ghazali berkata: sang sesungguhnya, sehingga kamu tahu siapa sebenarnya dirimu, dari mana asalmu, dari apa kamu tercipta, apa yang menyebabkan kamu bahagia dan apa yang yang menyebabkan kamu celaka (al-Ghazali, t.t.:5).

Yang seseorang pahami saat ini adalah jasad secara dzahir semisal tangan, kaki, kepala dan tubuh. Padahal hal yang harus difahami adalah memahami hakikat dari jasad sehingga seseorang dapat memahami siapa sebenarnya dirinya, darimana, dari apa diciptakan, dengan apa dia dapat bahagia dan apa yang dapat membuat dia celaka.

2. Hakikat Hati

(49)

37

Pertama adalah ruh. Ruh memiliki dua makna yaitu: yang pertama ruh dalam pengertian biologi, yaitu benda halus yang bersumber dari benda hitam dalam rongga hati yang berupa daging berbentuk seperti pohon cemara. Benda halus ini tersebar melalui pembuluh nadi dan pembuluh balik pada seluruh bagian tubuh. Benda halus itu seumpama lampu di dalam sebuah rumah. Itulah yang dimaksudkan para dokter dengan nama ruh (nyawa) (al-Ghazali, 2008:205). Pengertian yang kedua adalah luthf rabbani yang mengetahui dan merasa yang merupakan makna hakikat hati. Ruh dan hati saling bergantian mengacu pada luthf tersebut dalam satu keteraturan (al-Ghazali, 2008:205) Dan itulah yang dikehendaki Allah dalam surat al-Isra‟ 85 :

ِّٟثَس ِشَِْا ِِْٓ ُحُّٚشٌا ًُِل

katakanlah, ruh itu termasuk urusan Tuhanku (Depag,

2000:232).

Kedua adalah hati. Hati memiliki dua makna, pertama: daging yang berbentuk shaunaubur yang terletak pada dada sebelah kiri, di dalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam (al-Ghazali, 2008:204). Ini adalah sumber ruh. Kedua: luthf rabbani ruhani, yang memiliki kaitan dengan daging ini, luthf

rabbani ini adalah mengenai Allah SWT. Ia mengetahui apa yang

(50)

38

merupakan hakikat manusia. Inilah yang diajak bicara terhadap makna yang ditunjukkan dengan firman Allah SWT surat Qaf ayat 37:

ٌتٍَْل ٌَُٗ ٌَِّْٓ َٜشْوِزٌَ َهٌِاَر ِٟف َِّْا

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati

(Depag, 2000:415).

Kaitan luthf dengan daging yang berbentuk seperti cemara tidak dapat dijelaskan melainkan bergantung pada kesaksian (musyahadah). Dapat disebutkan bahwa luthf seperti raja dan dagingya ibarat negeri atau kerajaan, karena kalau hubungannya accidental (kebetulan) maka tidak sesuai dengan makna firman

Allah surat al-Anfal ayat 24:

ِِٗجٍَْلَٚ ِءْشٌَّا َْٓ١َث ُيُْٛذَ٠ َالله ََّْا

sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan

hatinya (Depag, 2000: 143).

(51)

39

dia tenang maka dinamakan nafsu muthmainnah. Allah SWT. berfirman dalam surat al-Fajr ayat 27-28:

ًخَّ١ِضْشَِ ًخَ١ِضاَس ِهِّثَس ٌَِٝا ِٟؼِجْسِا خَِّٕئَّْطٌُّا ُظْفٌَّٕا بَُٙزَّ٠َا بَ٠

wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu

dengan hati yang puas lagi diridhainya (Depag, 2000:475).

Apabila tidak sempurna ketenangannya, akan tetapi jadi pendorong kepada nafsu syahwat, maka dinamakan nafsu lawwamah (jiwa yang mencela) (al-Ghazali, t.t.:10). Allah

berfirman dalam surat al-Qiyamah ayat 2:

ِظْفٌَّٕبِث ُُِغْلُا َلاَٚ

ِخَِاٌٍََّّٛا

Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat mencela

(kejahatan) (Depag, 2000:461).

Kalau nafsu atau jiwa itu tunduk dan patuh menurut kehendak nafsu syahwat dan panggilan setan, maka dinamakan nafsu al-ammarah bissuu‟i (nafsu yang menuruti kejahatan) (al-Ghazali, 1989:10). Allah Ta‟ala berfirman dalam surat Yusuf ayat 53:

ِءُّٛغٌبِث ٌحَسبََِّ َلا َظْفٌَّٕا َِّْا ِٟغْفَٔ ُئِّشَثُابََِٚ

Dan aku tidaklah membebaskan diriku (dari kesalahan),

karena sesungguhnya nafsu itu menyuruh kepada yang buruk

(52)

40

Keempat adalah akal. Akal memiliki dua makna: pertama, pengetahuan terhadap hakikat segala sesuatu (al-Ghazali, 2008:206). Kedua adalah yang memperoleh pengetahuan dan itu adalah hati adalah luthf (al-Ghazali, t.t.:10).

Menjadi jelas bahwa hati, akal, ruh dan nafsu di dalam hadist dan ayat al-Qur‟an adalah lutfh rabbani. Orang sering manerjemahkan qalb sebagai hati, sehingga mereka berkata “kalau hati kita ini bersih maka seluruh tubuh kita bersih”.

Kalau ditanya tentang hakikat hati maka tidak ada dalil dalam syari‟at kecuali firman Allah al-Isra‟ ayat 85:

ِّٝثَس شَِْأ ِِْٓ ُحُّٚشٌا ًُِل ِحُّٚشٌا َِٓػ َهٍََُٔٛئْغَ٠َٚ

Dan mereka bertanya tentang ruh, katakanlah “roh itu

termasuk urusan Tuhanku” (Depag, 2000:232).

Ruh termasuk hal yang rabbaniyah dan hanya Allah sendiri yang mengetahui. Ruh termasuk golongan „alam al-amri (kekuasaan Allah). Disatu sisi manusia adalah „alam al-khalq dan di satu sisi adalah „alam al-amri. Segala sesuatu yang mempunyai ukuran baik panjang, berat, volume termasuk kedalam „alam al -khalq. Hati tidak mempunyai ukuran panjang, berat, volume dan

(53)

41 mempelajarinya. Dalam Islam tidak ada kewajiban untuk memahami hakikat hati, karena dalam agama yang terpenting adalah mujahadah atau aksinya(al-Ghazali, t.t.:10).

Seperti yang telah difirmankan oleh Allah SWT. pada surat al-„Ankabut ayat 69:

َغٌََّ َ َّالله َِّْاَٚ بٍََُٕجُع ََُُّْٕٙ٠ِذٌََْٕٙ بَٕ١ِف اُٚذَ٘بَج َٓ٠ِزٌَّاَٚ

َْٓ١ِِٕغْذٌُّا

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik (Depag, 2000:323).

(54)

42

palsu. Menyangka dirinya kaya padahal dirinya adalah orang yang miskin di hari kiamat (al-Ghazali, t.t.:3).

Al-Ghazali menegaskan bahwa di dalam jiwa atau hati manusia terdapat beberapa unsur. Unsur yang pertama tubuh ialah unsur kebinatangan kebinatangan (bahimiyah) yaitu syahwat. Maksudnya ialah mencari ikhtiar, sehingga badan yang merupakan kendaraan bagi jiwa, akan tetap sehat dan agar makhluk manusia tidak musnah. Syahwat inilah yang bertanggung jawab terhadap sifat kebinatangan pada manusia, umpamanya makan, tidur dan bersenggama (Quasem, 1988:42-43).

Unsur kedua adalah kebuasan (sab‟iyyah) yaitu amarah atau (ghadhab). Kegunaanya yaitu mengusir semua yang merugikan bagi jasad. Karena unsur ini, manusia memiliki sifat dan perilaku binatang buas, seumpama iri, keganasan dan sifat ingkar. Kalau tidak dikendalikan, kedua unsur ini akan menyebabkan kehancuran moral (Quasem, 1988:43).

(55)

43

sifat tercela manusia seperti permusuhan, mengajak orang kepada yang jahat, bermegah-megah dan sebagainya (Quasem, 1988:43).

Unsur yang keempat adalah unsur malaikat ada juga yang menyebut unsur ketuhanan (rabbaniyah), sumber sifat-sifat cinta akan pujian, kekuasaan dan pengetahuan berbagai ilmu (Quasem, 1988:43).

(56)

44

hewan buas, setan dan malaikat bukan untuk menguasai seseorang melainkan seseorang yang menguasai sifat-sifat tersebut dan menjadikannya sebuah sarana untuk mencapai tujuan.

3. Tentara Hati

ِٓ٠َذَ١ٌاٚ،ِخَْٕ٠ِذٌَّا بَو َظْفٌَّٕا َِّْا : ِسُٛوْزٌَّا ًِْثٌِّا ِٝف ًَ١ِل ََُّٗٔا ٍَُْْػِا

، بَْٙ١ٌِاَٚ َخَ١ِٔاََّْٛٙشٌا َحَُّٛمٌاَٚ ، بَُٙػبَ١ِض ِءبَضْػَلاا َغ١َِّجَٚ ِٓ١ََِذَمٌاَٚ

ًَْمَؼٌاَٚ ، بَُٙىٍَِِ َتٍَْمٌاَٚ ، بَُٙزَْٕذَش َخَ١ِجْضَغٌا َحَُّٛمٌاَٚ

، بَُ٘شْ٠ِصَٚ

َُٛ٘ٚ ٌٌَََّٟٛا ََّْ ِلا ، ٌُُٗاَْٛدَاَٚ ُُٗزَىٍََِّْ َّشِمَزْغَر َّٝزَد ُُُْ٘شِّثَذَ٠ ُهٌٍَِّاَٚ

ُخَْٕخَّشٌاٚ ، ٌظٍَْخِِ ٌٌُِّٟٛضُف ٌةاَّزَو ُحََّْٛٙشٌا

ُتَضَغٌا َُٛ٘ٚ

ٌش٠ِشَش

َػ ُُْ٘ بَِ ٍََٝػ ُهٌٍَّا َُُْٙوَشَر ِْْبَف . ٌةاَّشَخ ٌيبَّزَل

ُخَٕ٠ِذٌَّا ْذَىٍََ٘ ِٗ١ٍَ

َخَْٕخَّشٌاَٚ ٌٌََِّٟٛا ًََؼْجَ٠َٚ ، َش٠ِصٌَٛا ُهٌٍَِّا َسِٚبَشُ٠ َْْا ُتِجَ١َف ، ْذَثِشَخَٚ

ْدَشََّّؼَرَٚ ِخَىٌٍََّّْا ُياََٛدَا ْدَّشَمَزْعِا َهٌِاَر ًََؼَف اَرِبَف ، ِشْ٠ِصٌَٛا ِذَ٠ َذْذَر

ُ٠ ُتٍَْمٌا َهٌِاَزَوَٚ . ُخَٕ٠ِذٌَّا

َتَضَغٌاٚ َحََّْٛٙشٌا ًَُؼْجَ٠َٚ ، ًَْمَؼٌا ُسِٚبَش

ِتَجَع ٌَِٝا ًُِصَ٠َٚ ، ِظْفٌَّٕا ُياَْٛدَا َّشِمَزْغَر َّٝزَد ، َِِّٗىِد َذْذَر

ِذَ٠ َذْذَر ًَْمَؼٌا ًََؼَج ٌََْٛٚ . ِخَ١ٌَِِٙلاا ِحَشْضَذٌا ِخَفِشْؼَِ ِِْٓ ِحَدبَؼَّغٌا

ْذَىٍََ٘ ِحََّْٛٙشٌاَٚ ِتَضَغٌا

ِحَشِخَلاا ِٝف بًّ١ِمَش ُُٗجٍَْل َْبَوَٚ ، ُُٗغْفَٔ

(57)

45

Sesungguhnya jasad seseorang seperti sebuah kota. Kedua tangan, kedua kaki dan seluruh panca indera merupakan pelayan. Nafsu syahwat sebagai rakyatnya. Nafsu amarah sebagai aparat keamanannya. Hati sebagai raja dan akal sebagai penasehatnya. Kerajaan tersebut didominasi oleh rakyat (syahwat) yang cenderung untuk berlebihan dan membuat masalah. Rakyat (Nafsu amarah) cenderung mengajak untuk berbuat jelek dan membuat kerusakan. Raja haruslah mengakomodir semua perangkatnya agar stabilitas kerajaan tetap terjaga. Maka apabila Raja meninggalkan tugasnya, maka kota itu tidak teratur dan hancur. Untuk itu sudah merupakan suatu keharusan seorang Raja berdiskusi dengan Penasehat untuk menjadikan syahwat dan amarah dibawah kontrol akal. Jika hal ini benar-benar direalisasikan, maka kota tersebut akan tenang dan sejahtera. Begitu juga hati harus senantiasa berkomunikasi dan berdiskusi dengan hati, menempatkan syahwat dan amarah dibawah kendali akal sehingga perilaku dapat terkontrol dengan baik dan dapat membawa kebaikan dalam kehidupan. Sebaliknya, jika akal berada di bawah kendali syahwat dan amarah maka seseorang tidak akan mencapai kebahagiaan dan justru dekat dengan kehancuran di akhirat(al-Ghazali, t.t..:13-14).

Allah Ta‟ala berfirman dalam surat al-Muddatsir ayat 31:

َدُُٕٛج ٍَُُْؼَ٠ بََِٚ

َُٛ٘ َّلاِا َهِّثَس

Tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu selain Ia

sendiri (Depag, 2000:460).

Allah SWT. mempunyai tentara yang terkumpul banyak dalam hati, dalam roh dan dalam alam-alam yang lain. Hanya Allah sendiri yang mengetahui hakikat dan jumlahnya.

(58)

46

berkedudukan sebagai pelayan dan pembantu. Inilah yang dikehendaki dengan tentara (al-Ghazali, t.t.:12).

Adapun tentara hati yang dapat disaksikan dengan mata ialah: tangan, kaki, mata, telinga, lidah dan anggota tubuh lainnya yang dhahir dan yang batin. Semua itu adalah pelayan hati dan bekerja cuma-cuma untuk hati. Semua anggota ini secara naluri patuh kepada hati. Tidak ada satupun yang sanggup menyalahi dan mendurhakainya. Apabila hati menyuruh mata dibuka niscaya ia terbuka. Apabila hati menyuruh kaki bergerak, niscaya ia bergerak. Apabila hati menyuruh lidah berkata-kata dan ia yakin terhadap hukum yang akan diucapkan, niscaya lidah itu berkata-kata dan begitu pula anggota-anggota badan lainnya. Kepatuhan anggota-anggota tubuh terhadap hati dapat diserupakan kepatuhan Malaikat terhadap Allah Ta‟ala. Sesungguhnya malaikat secara

naluri patuh, tidak sanggup menyalahi Allah. Bahkan, mereka tidak pernah mendurhakai apa yang diperintahkan Allah (al-Ghazali, t.t.:13). Hati sangat memerlukan tentara sebagaimana seseorang memerlukan kendaraan dan bekal dalam perjalanan. Allah berfirman dalam surat al-Dzariyat 56:

ُِْٚذُجْؼَ١ٌِ َّلاِا َظِْٔلااَٚ َِّٓجٌا ُذْمٍََخ بََِٚ

Tidaklah aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk

(59)

47

Menurut al-Ghazali kendaraan hati adalah tubuh dan perbekalannya adalah ilmu dan buah dari keduanya adalah amal saleh. Kendaraan atau badan perlu dipelihara dengan memberikan apa yang badan butuhkan. Untuk memelihara kendaraan, badan membutuhkan asupan makanan untuk berlangsungnya kehidupan. Maka dari itu hati membutuhkan dua tentara untuk menarik makanan tersebut yaitu tentara batin seperti nafsu dan sahwat dan tentara dzahir seperti tangan dan anggota badan. Untuk menolak kemadharatan maka hati membutuhkan dua tentara yakni tentara batin seperti marah dan tentara dzahir seperti tangan dan kaki. Dengan dua tentara tadi maka jasad akan terhindar dari kemadharatan (al-Ghazali, t.t.:13-14).

(60)

48

dzahir seperti anggota badan yang tersusun dari lemak, daging, urat, darah dan tulang yang menyediakan perkakas untuk tentara batin. Jadi kekuatan menggenggam ialah dengan jari-jemari, kekuatan melihat dengan menggunakan mata begitu juga kekuatan yang lainnya(al-Ghazali, t.t.:14).

Sesungguhnya manusia setelah melihat sesuatu kemudian memejamkan matanya, ia telah memperoleh bentuk dalam khayalannya. Kemudian bentuk itu kekal dikarenakan ada sesuatu yang menjaganya yakni tentara penjaga. Kemudian ia bertafakur pada hal yang dijaga disusun sebagian demi sebagian kemudian mengingat kembali apa yang terlupa. Dalam batin ada perasaan, pemikiran, ingatan dan hafalan. Jikalau Allah tidak menjadikan kekuatan hafalan, pikiran, ingatan dan khayalan, maka niscaya otak akan kosong(al-Ghazali, t.t.:15).

(61)

49

tidak meminta pertolongan dan tentara marah dan nafsu syahwat menguasai atas dirinya, niscaya hati pasti binasa dan memperoleh kerugian yang nyata (al-Ghazali, t.t.:16).

4. Karakteristik Hati

a. Hati sebagai raja

َشَِْا ِْبَظَفْذَ٠ ِْبَثِربَج ِظْفٌٍَّٕ ِْبَِِدبَخ َتَضَغٌاَٚ َحََّْٛٙشٌا ََّْا ٍَُْػِا

، ِطاََٛذٌا َُِدبَخ ُظْفٌَّٕا َُُّث . ِطاََٛذٌٍ ِحبَىٌِّٕاٚ ِةاشَّشٌاَٚ َِبَؼَّطٌا

ِتٍَْمٌا َُِدبَخ ًُْمَؼٌا َُُّث ، ًِْمَؼٌا َُِدبَخ ُطاََٛذٌا َُُّث

ِٝف ِْبَطٍُْع ًَْثِِ َظٍََج ، ِخَّْؼٌِّٕا ِِٖزَ٘ َّكَد َِّٞذَئُ٠ َْْا َداَسَا اَرِبَف

ًََؼَجَٚ ، َُٖذِصْمََِٚ َُٗزٍَْجِل ِخَ١ٌَِِٙلاا َحَشْضَد ًََؼَجَٚ ِِٗزَىٍََِّْ ِسْذَص

ِضَِْٕ بَ١ُّْٔذٌاٚ ، َُٗجَوْشَِ َظْفٌَّٕاَٚ ، َُٖساَشَلَٚ ََُٕٗطَٚ َحَشِخَلاا

، ٌَُٗ

، ٍَُِِٗبَػ َحََّْٛٙشٌاَٚ ، َُٖشْ٠ِصَٚ ًَْمَؼٌاَٚ ، َُِٗاَّذُخ ِْٓ١ََِذَمٌاَٚ ِْٓ٠َذَ١ٌاَٚ

ًٌَّوَُِٛ ٍذِداَٚ ًُُّوَٚ ، َُٗغْ١ِعاََٛج َّطاََٛذٌاَٚ ، َُٗزَْٕخَش َتَضَغٌاَٚ

ِذٌا ُحَُّٛلَٚ ، ٌُِِاََٛؼٌا َياَْٛدَا ٌَُٗ ُغَّْجَ٠ ٌُِِاََٛؼٌا َِِٓ ٌٍَُبَؼِث

ََِّذَمُِ ِٟف ِيبَ١

ِٟف ِعْفِذٌا ُحَُّٛلَٚ ، ِظْ١ِعاََٛجٌا ُسبَجْخَا َُٖذِْٕػ ُغَّْجُ٠ ِتْ١ِمٌَّٕ بَو ِؽبَِِّذٌا

ِتْ١ِمٌَّٕا ِذَ٠ ِِْٓ َعبَلِّشٌا ُغَّْجَ٠ ِخَطْ٠ِشَخٌا ِتِدبَص ًُْثِِ ِؽبَِِّذٌا ِظَعَٚ

َف . ًِْمَؼٌا ٍََٝػ بََٙضِشْؼُ٠ َْْا ٌَِٝا بَُٙظَفْذَ٠َٚ

ُشَجْخَلاا ِِٖزَ٘ ْذَغٍََث اَرِب

(62)
(63)

51

Karena itu, apabila seseorang mematuhi ajakan kejahatan atau syahwat, ia melihat dirinya bersujud di hadapan babi atau keledai. Jika ia mengikuti amarahnya, ia bersujud di hadapan anjing, karena pada hakikatnya ia mematuhi keledai yakni syahwat dan mematuhi babi yakni kejahatan. Di dalam hal ini yakni menaati syahwat dan kejahatan berarti ia menaati setan yang menguasai manusia. Jika penguasaan hawa nafsu dengan sifat-sifat ini terus berlanjut, yang merupakan tentara setan terhadap hati, sementara hati tidak dapat melawan untuk mengalahkan tentara setan ini, maka selamanya hati dikuasai (al-Ghazali, 2008:208).

Hal ini yang dimaksud dengan hitamnya hati dan merupakan maksud dari penutupan hati dan tabir dalam firman Allah SWT. surat Muhammad ayat 16:

ِزٌَّا َهِئٌُا

ُِِْٙثٍُُٛل ٍََٝػ َّالله َغَجَط َْٓ٠

Mereka itulah yang dikunci mata hati mereka oleh

Allah SWT.(Depag, 2000: 406).

Allah juga berfirman dalam surat al-Muthaffifin ayat 14:

(64)

52

Dan sekali kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang

selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka (Depag,

2000:470).

Sebagaimana raja dalam kerajaannya, ia merasa cukup dalam pengaturannya dan bermusyawarah dengan menterinya dan menolak isyarat budak yang keji tadi. Ia menjadikan menterinya sebagai tempat musyawarah sehingga budak itu disiasati, tidak mensiasati, disuruh dan diatur, tidak menyuruh dan tidak mengatur. Luruslah urusan negeri raja tersebut (al-Ghazali, t.t..:16).

Hal ini sesuai dengan hadist Muhammad SAW:

َّْؼٌُٕا ُذْؼَِّع يبَل ٍشِِبَػ َْٓػ ءبَ٠ِشَوَص بََٕثَذَد ٍُ١ِؼَٔ اُٛثَأ بََٕثَذَد

َٓث ْب

ٌِّٓ١َث َُاَشَذٌْاَٚ ٌِّٓ١َث ُي َلََذٌَْا ُيُٛمَ٠ ِالله َيُٛعَس ُذْؼَِّع ُيُٛمَ٠ ٍش١ِشَث

ِدبَِّٙجَشٌُّا َٝمَّرِا ََّْٓف ِطبٌَّٕا َِِٓ ٌش١ِثَو بٍََُّْٙؼَ٠ َلا ٌدبَِّٙجَشُِ بََُّْٕٙ١َثَٚ

َو ِدبَْٙجُّشٌا ِٟف َغَلَٚ ََِْٓٚ ِِٗضْشِػَٚ ِِٕٗ٠ِذٌِ أَشْجَزْعِا

َٝػْشَ٠ ِٟػاَش

ََّْا َلاَأ ًِّٝد ٍهٍُِْ ًُِّىٌِ َِّْا َلاَأ َُٗؼِلاَُٛ٠ َْْأ ُهِشُٛ٠ َِّٝذٌْا َيَْٛد

اَرِا ًخَغْضُِ ِذَغَجٌا ٟف َِّْا َلاَأ ُُِِٗسبَذَِ ِِٗضْسَأ ٟف ِالله َِّٝد

َلاَا ٍُُُّٗو ُذَغَجٌا َذَغَف ْدَذَغَف اَرِاَٚ ٍُُُّٗو ُذَغَجٌا َخٍَُص ْذَذٍَُص

ََِٟ٘ٚ

ُتٍْمٌا

Dari Nu‟man bin Basyir dia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya yang halal adalah

(65)

53

perkara yang samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa menghindar dari yang samar maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Barang siapa jatuh dalam hal yang samar maka dia terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada di dekat pagar milik orang lain dikhawatirkan dia masuk kedalamnya. Ketahuilah setiap raja memiliki pagar (aturan). Aturan-aturan Allah adalah larangan-laranganNya. Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh jasad itu, jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah itu adalah hati. (H.R. Bukhari dan Muslim) (Bukhari, t.t. :21).

b. Inkonsisten

Qalb adalah masdar dari qalaba artinya membalikkan,

mengubah, mengganti. Kata kerja intransitif dari qalaba adalah taqallaba, artinya bolak balik, beganti-ganti, berubah-ubah.

Summiya al-qalb li taqallubihi”, disebut qalb karena berubah

ubahnya (Rahmat, 1999:72). Hati berada diantara dua Jari yang Maha Pengasih lagi Maha Mulia. Allah mengubah hati dengan kehendakNya. Hati disebut fuad (penyembunyi) karena dapat menyembunyikan batin (al-Jamal, 1997:147).

Seringkali hati manusia tidak stabil, di pagi hari seseorang bahagia, siang hari seseorang merasa sedih, sore hari bahagia kembali. Ini merupakan bukti bahwa hati memang sangat tidak konsisten.

(66)

54

buas, yaitu permusuhan, kemarahan dan serangan terhadap manusia lain dengan pukulan dan makian. Sekiranya manusia itu dikuasai oleh nafsu-syahwat, maka ia melakukan perbuatan-perbuatan hewan, yaitu kerakusan, kelobaan, nafsu syahwat dan lain-lain (al-Ghazali, t.t.:26).

Apabila manusia dikuasai sifat ketuhanan maka seseorang ingin lepas dari belenggu perbudakan dan kerendahan, mengatasi segala urusan dan mengetahui semua ilmu. Mengetahui semua hakikat dan menguasai dengan paksaan terhadap semua makhluk termasuk sifat ketuhanan. Pada manusia ada keinginan yang demikian. Manusia mempunyai sifat khusus yakni dapat membedakan segala sesuatu. Disamping manusia dan hewan sama-sama mempunyai sifat marah dan nafsu syahwat yang menghasilkan sifat kesetanan sehingga manusia menjadi jahat. Ia menggunakan sifat dapat membedakan untuk membedakan segala sesuatu, untuk memikirkan cara-cara kejahatan tipuan dan tipu-daya. Seperti inilah manusia yang dikuasai budi pekerti setan (al-Ghazali, t.t.:26).

Referensi

Dokumen terkait

Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Taisirul Khalaq Karya Hafidz Hasan Al- Mas’udi.. Jurusan Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat kami simpulkan bahwa: (1) Syeikh Musthafa Al Ghalayaini adalah pengarang kitab I’dhotun N asyiin, Beliau merupakan seorang

Hasil penelitian menunjukan bahwa konsep pendidikan akhlak dalam kitab Washoya Al Aba’ Lil Abnaa’ meliputi; akhlak kepada Allah, akhlak kepada Rasulullah, akhlak kepada orang

Selaras dengan berbagai tujuan yang telah ada di Indonesia maka tujuan pendidkan akhlak yang ada dalam Kitab Al-Akhlak li Al Banin karya Syaikh Umar Baraja tidak lain

Melihat dua tujuan pendidikan di atas dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan menurut Imam Al-Ghazali tidak hanya bersifat ukhrawi saja (mendekatkan diri kepada Allah),

Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah : (1) Apa saja pemikiran Syaikh Ibrahim al-Bajuri tentang nilai pendidikan tauhid dalam kitab Kifayatul ‘Awam..

Analisis Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Sayyid Muhammad Al- Maliki Dalam Kitab At-Tahliyah Wat Targhib Fi Al Tarbiyah Wa Al Tahdzib. Konsep pendidikan akhlak

Oleh karena itu, adab membaca Al-Quran dalam kitab Attibyan fi Adaabi Hamalatil Quran sangat relevan untuk dijadikan pedoman yang baik dalam berinteraksi