• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Anemia Aplastik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Anemia Aplastik"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

A.

A. Latar BelakangLatar Belakang

Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan diantaranya ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan  platelet

 platelet tanpa tanpa adanya adanya bentuk bentuk kerusakan kerusakan sumsum sumsum lainnya. lainnya. Dalam Dalam pemeriksaanpemeriksaan sumsum dinyatakan hampir tidak ada hematopoetik sel perkusi dan digantikan sumsum dinyatakan hampir tidak ada hematopoetik sel perkusi dan digantikan oleh jaringan lemak. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh zat kimia beracun, virus oleh jaringan lemak. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh zat kimia beracun, virus tertentu, atau faktor keturunan. Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang tertentu, atau faktor keturunan. Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di negara maju 3-6 kasus/1 juta penduduk/tahun. Manifestasi dengan insiden di negara maju 3-6 kasus/1 juta penduduk/tahun. Manifestasi anemia aplastik juga sangat beragam mulai dari kasus ringan, berat sampai anemia aplastik juga sangat beragam mulai dari kasus ringan, berat sampai menimbulkan kematian. (Herawati S, dkk. 2013)

menimbulkan kematian. (Herawati S, dkk. 2013)

Anemia aplastik merupakan masalah masyarakat yang besar. Kurangnya Anemia aplastik merupakan masalah masyarakat yang besar. Kurangnya  pemahaman

 pemahaman tentang tentang penyakit penyakit ini, ini, seringkali seringkali membuat membuat pasien pasien terlambat terlambat untukuntuk ditangani, sehingga pasien meninggal sebelum akhirnya diidentifikasi sebagai ditangani, sehingga pasien meninggal sebelum akhirnya diidentifikasi sebagai anemia aplastik.

anemia aplastik.

Penulisan makalah ini akan membahas lebih dalam mengenai Anemia Penulisan makalah ini akan membahas lebih dalam mengenai Anemia Aplastik mulai dari dampak yang ditimbulkan, patofisiologis, cara diagnosis Aplastik mulai dari dampak yang ditimbulkan, patofisiologis, cara diagnosis sampai dengan penanganan pasien, sehingga para tenaga kesehatan dapat sampai dengan penanganan pasien, sehingga para tenaga kesehatan dapat memberikan suatu tindakan yang tepat dalam menangani masalah tersebut.

memberikan suatu tindakan yang tepat dalam menangani masalah tersebut.

B.

B. Rumusan MasalahRumusan Masalah 1.

1. Apa yang dimaksud dengan Anemia Aplastik?Apa yang dimaksud dengan Anemia Aplastik? 2.

2. Bagimana cara penegakan diagnosis Anemia Aplastik?Bagimana cara penegakan diagnosis Anemia Aplastik? 3.

3. Bagaimana patogenesis Anemia Aplastik ?Bagaimana patogenesis Anemia Aplastik ? 4.

4. Bagaimana penatalaksanaan yang tepat pada pasien?Bagaimana penatalaksanaan yang tepat pada pasien?

1 1

(2)
(3)

C.

C. TujuanTujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan definisi, patofisiologi, gejala Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan definisi, patofisiologi, gejala klinis, penegakan diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis klinis, penegakan diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis mengenai anemia aplastik.

mengenai anemia aplastik.

D.

D. ManfaatManfaat Makalah ini d

Makalah ini dapat dipergunakan apat dipergunakan untuk memberikan untuk memberikan informasi tentang informasi tentang anemiaanemia aplastik terutama tentang patogenesisnya, diagosanya dan penatalaksanaannya. aplastik terutama tentang patogenesisnya, diagosanya dan penatalaksanaannya.

(4)

BAB II BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA

A.

A. Pengertian Anemia AplastikPengertian Anemia Aplastik

Pansitopenia menggambarkan berkurangnya jumlah sel dari semua jalur Pansitopenia menggambarkan berkurangnya jumlah sel dari semua jalur sel darah utama eritrosit, leukosit dan trombosit. Terdapa beberapa penyebab sel darah utama eritrosit, leukosit dan trombosit. Terdapa beberapa penyebab (Tabel 2.1) yang dapat digolongkan secara garis besar sebagai menurunya (Tabel 2.1) yang dapat digolongkan secara garis besar sebagai menurunya  produksi

 produksi sumsum sumsum tulang tulang atau atau meningkatnya meningkatnya destruksi destruksi perifer. perifer. (Hoffbrand(Hoffbrand AV, dkk. 2007)

AV, dkk. 2007)

Anemia Aplastik (AA) merupakan pansitopenia kronik yang Anemia Aplastik (AA) merupakan pansitopenia kronik yang  berhubungan dengan

 berhubungan dengan sumsum sumsum tulang hipoplastik. tulang hipoplastik. Terjadi Terjadi penurunan sel penurunan sel stemstem sumsum, peningkatan ruang lemak (rasio lemak : hemopiesis > 75:25%), dan sumsum, peningkatan ruang lemak (rasio lemak : hemopiesis > 75:25%), dan tidak ada tanda keganasan. Anemia aplastik (hipoplastik) didefinisikan tidak ada tanda keganasan. Anemia aplastik (hipoplastik) didefinisikan sebagai pansitopenia yang disebabkan oleh aplasia sumsum tulang, dan sebagai pansitopenia yang disebabkan oleh aplasia sumsum tulang, dan diklasifikasikan menjadi jenis primer (kongenital atau didapat) atau sekunder diklasifikasikan menjadi jenis primer (kongenital atau didapat) atau sekunder (Tabel 2.2)

(Tabel 2.2)

Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah pada Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah pada sumsum tulang. Penyakit ini juga merupakan anemia yang disertai oleh sumsum tulang. Penyakit ini juga merupakan anemia yang disertai oleh  pansitopenia

 pansitopenia pada pada darah darah tepi tepi yang yang disebabkan disebabkan oleh oleh kelainan kelainan primer primer padapada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia. Karena sumsum tulang sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia. Karena sumsum tulang  pada

 pada sebagian sebagian besar besar kasus kasus bersifat bersifat hipoplastik, hipoplastik, bukan bukan aplastik aplastik total, total, makamaka anemia ini disebut juga sebagai anemia hipoplastik.

anemia ini disebut juga sebagai anemia hipoplastik. Kelainan ini ditandai olehKelainan ini ditandai oleh sumsum hiposelular dan berbagai variasi tingkat anemia, granulositopenia, sumsum hiposelular dan berbagai variasi tingkat anemia, granulositopenia, dan trombositopenia. (Mehta AB dan

dan trombositopenia. (Mehta AB dan Hoffbrand AV. 2009).Hoffbrand AV. 2009). Anemia aplastik berat sudah didefinisikan oleh

Anemia aplastik berat sudah didefinisikan oleh  International  International AplasticAplastic  Anemia

 Anemia Study GroupStudy Group sebagai sumsum tulang kurang dari 25 persen sel, atausebagai sumsum tulang kurang dari 25 persen sel, atau kurang dari 50 persen sel dengan kurang dari 30 persen sel hematopoetik, kurang dari 50 persen sel dengan kurang dari 30 persen sel hematopoetik, dengan paling sedikit jumlah neutropil kurang dari 500/

dengan paling sedikit jumlah neutropil kurang dari 500/ l (0.5l (0.5  101099/liter),/liter),  jumlah

 jumlah platelet platelet kurang kurang dari dari 20.000/20.000/l (20l (20  101099/liter), dan anemia dengan/liter), dan anemia dengan indeks koreksi retikulosit kurang dari 1 persen. Pengembangan in vitro indeks koreksi retikulosit kurang dari 1 persen. Pengembangan in vitro menunjukkan, kumpulan granulosit monosit atau

(5)

Granulocyte/Macrophage (CFU-GM) dan eritroid atau  Burst Forming Unit- Erythroid (BFU-E) dengan pengujian kadar logam menyatakan tanda  pengurangan dalam sel primitif. (Hoffbrand AV, dkk. 2007)

Tabel 2.1 Penyebab Pansitopenia  No Penyebab

1

2

Berkur angnya fungsi sumsum tulang

Aplasia

Leukemia akut, myelodisplasia, mieloma

Infiltrasi oleh limfoma, tumor padat, tuberkulosis Anemia megaloblastik

Hemoglobinuria paroksimal nokturnal

Mielofibrosis (jarang) dan Sindrom hemofagosit

 Meningkatnya destruksi perifer

Splenomegali

Tabel 2.2. Penyebab Anemia Aplastik

Primer Sekunder

Kongenital

(Fanconi dan non-Fanconi) Idiopatik didapat

Radiasi pengion; pajanan tidak sengaja (radioterapi, isotop radioaktif, pembangkit tenaga nuklir.

Obat; obat yang biasanya menyebabkan depresi sumsum tulang (antrasiklin). Obat yang kadang-kadang menyebabkan depresi sumsum tulang (kloramfenikol, sulfonamida, emas, dll)

Infeksi; Hepatitis virus (A atau non-A non-B) Zat kimia; Benzena dan pelarut organik lain,

TNT, insektisida, pewarna rambut, DDT.

B. Etiologi dan Epidemologi

Insiden penyakit Anemia Aplastik Didapat di negara Eropa dan Israel adalah sebanyak 2 kasus/juta/tahun. di Thailan dan China insiden mencapai 5  –   7 kasus/juta/tahun. Pada umumnya pria dan wanita menunjukkan angka yang sama. Penyakit ini dapat bersifat kongenital atau didapat. Anemia aplastik kongenital mungkin diwariskan sebagai sifat resesif autosomal (tipe Fanconi). Anemia aplastik didapat memiliki penyebab yang dapat

(6)

diidentifikasi (infeksi virus, radiasi, atau pajanan obat) pada sekitar 50% kasus. Pada kasus sisanya tidak diketahui (idiopatik), tetapi mungkin melibatkan reaksi imun yang menyerang sel stem sumsum.

Defek yang mendasari pada semua kasus tampaknya adalah pengurangan yang bermakna dalam jumlah sel induk pluripotensial hemopoietik, dan kelainan pada sel induk yang ada atau reaksi imun terhadap sel induk tersebut, yang membuatnya tidak mampu membelah dan berdiferensiasi di dalam sumsum tulang. Pemikiran mengenai adanya suatu kelainan primer dalam lingkungan mikro sumsum tulang juga telah diajukan tetapi keberhasilan transplantasi sel induk (SCT) memperlihatkan bahwa hal ini mungkin jarang terjadi, karena sel induk donor yang normal biasanya mampu hidup dalam rongga sumsum tulang resipien. (Longo DL. 2013)

Anemia aplastik didapat merupakan penyakit langka; hampir setengah kasus terjadi selama tiga dekade terakhir. Insiden di negara Barat menunjukkan 2 kasus/juta/tahun dan meningkat sekitar 2-3 kali lipat di negara Asia. Benzena dan pestisida, dapat dikaitkan secara epidemiologis. Di  pedesaan Thailand, penyakit ini berkaitan dengan air minum non-botol, hewan tertentu, pupuk hewani, dan juga pestisida. Anemia aplastik kemungkinan besar dapat disebabkan oleh kombinasi dari paparan antigen, keragaman faktor predisposisi genetik inang, dan perbedaan respon imun individual.

Selama abad terakhir,anemia aplastik dikaitkan dengan reaksi terhadap  paparan obat atau bahan kimia tertentu. Pengetahuan tentang hubungan  penggunaan obat medis dengan anemia aplastik sangatlah penting, mengingat  pengobatan berkaitan dengan keselamatan hidup pasien. Namun, studi tentang reaksi obat masih sangat jarang, sulit dan satu-satunya kecenderungan yang jelas untuk metabolisme obat abnormal yang menyebabkan kerentanan adalah satu studi tentang satu individu yang terpapar pada karbamazepin yang diterbitkan lebih dari 20 tahun yang lalu. Representasi pada obat yang menginduksi metabolisme delutasi gen glutathione-S-transferase telah diteliti

(7)

 pada beberapa kasus namun tidak ada mekanisme yang berarti pada kloramfenikol.

Kehamilan dan fasciitis eosinofilik berkaitan dengan anemia aplastik. Lima sampai sepuluh persen kasus ini terdapat pada pasien hepatitis seronegatif, namun walaupun telah dilakukan upaya yang intensif, agen infeksius belum dapat diidentifikasi. (Anandityo PP, dkk. 2015)

C. Klasifikasi Anemia Aplastik

Berdasarkan etiologinya, anemia aplastik dapat dibedakan menjadi dua. (Gambar 2.1)

Gambar 2.1 Klasifikasi Anemia Aplastik (Sumber : Harrison’s Hematology and Oncology, 2013)

(8)

1. Anemia Aplastik Didapat

 (Acquired Aplastic Anemia

 )

 Sekunder

Penyakit ini seringkali disebabkan oleh kerusakan langsung di susmsum hemopoietik akibat radiasi atau obat sitotoksik. Obat anti-metabolit (metotreksat) dan inhibitor mitosis (daunorubisin) menyebabkan aplasia sementara saja, tetapi agen pengikil, khususnya busulfan, dapat menyebabkan terjadinya aplasia kronik yang sangat menyerupai penyakit idiopatik kronik. Beberapa individu menderita anemia aplastik akibat efek samping obat idiosinkrasi yang jarang terjadi, seperti kloramfenikol atau emas yang tidak diketahui bersifat sitotoksik. Penyakit ini juag dapat diderita dalam beberapa bulan setelah hepatitis (hepatitis A atau non-A, non-B, non-C). Kloramfenikol memiliki insidens toksisitas sumsum tulang yang sangat tinggi, sehingga obat ini harus digunakan untuk pengobatan infeksi yang darurat (tifoid). Terkadang anemia aplastik dapat muncul  pada leukemia mieloid atau limfoblastik akut, khususnya pada anak-anak.

1) Radiasi Pengion

Radiasi merupakan penyebab terbesar AA akut. Radiasi dapat secara langsung menyerang DNA sel. Penyinaran yang bersifat kronis untuk radiasi dosis rendah atau radiasi lokal dikaitkan dengan  peningkatan perkembangan anemia aplastik dan leukemia akut yang  berlangsung secara lambat. Pasien yang diberikan thorium dioxide melalui kontras intravena akan menderita sejumlah komplikasi seperti tumor hati, leukemia akut, dan anemia aplastik kronik. Penyinaran dengan radiasi dosis besar berasosiasi dengan perkembangan aplasia sumsum tulang dan sindrom pencernaan. Makromolekul besar, khususnya DNA, dapat dirusak oleh: (a) secara langsung melalui  paparan energi sinar yang dapat memutuskan ikatan kovalen; atau (b) secara tidak langsung melalui interaksi dengan molekul kecil yang dihasilkan dari ionisasi atau radikal bebas yang terdapat pada larutan. Secara mitosis, jaringan hematopoesis aktif sangat sensitif terhadap hampir semua radiasi. Sel pada sumsum tulang kemungkinan sangat dipengaruhi oleh energy tingkat tinggi sinar , yang mana dapat

(9)

menembus rongga perut. Kedua, dengan menyerap partikel  dan  (energi  yang rendah dapat membakar tetapi tidak menembus kulit). Dosis yang mematikan untuk 50% orang adalah kira-kira 4,5 Gray (Gy) dari iradiasi total tubuh. Dosis 10 Gy akan mematikan bagi 100%.

2) Bahan Kimia

  Benzene merupakan bahan kimia yang paling berhubungan dengan

anemia aplastik. Berdasarkan data epidemiologis, klinis, dan laboratorium, benzene berkaitan dengan anemia aplastik, leukemia akut, dan abnormalitas pada darah dan sumsum tulang. Untuk leukemia, insiden ini berhubungan dengan paparan yang terakumulasi. Mengetahui riwayat pekerjaan pasien merupakan hal yang penting, khususnya pada pekerja industri yang sering terpapar dengan benzene. Benzene dan metabolitnya mengikat DNA, dan mengahambat sintesis DNA. Benzene dapat meracuni tubuh dengan cara dihirup dan dengan cepat diserap oleh tubuh, namun terkadang benzene  juga dapat meresap melalui membran mukosa dan kulit dengan intensitas yang kecil. Terdapat juga hubungan antara  pengguanaan insektisida menggunakan benzene dengan anemia

aplastik.

o Chlorinated hydrocarbons dan organophospat menambah

 banyaknya kasus anemia aplastik seperti yang dilaporkan 280 kasus.

o DDT(chlorophenothane), lindane, dan chlordane juga sering

digunakan dalam insektisida.

o Trinitrotolune (TNT), bahan peledak yang digunakan pada

 perang dunia pertama dan kedua juga terbukti sebagai salah satu faktor penyebab anemia aplastik yang fatal. Zat ini meracuni tubuh dengan cara dihirup dan diserap melalui kulit. Kasus serupa juga diamati pada pekerja pabrik mesia di Great Britain dari tahun 1940 sampai 1946.

(10)

3) Obat-obatan

Beberapa jenis obat berkaitan dengan anemia aplastik, baik yang mempunyai pengaruh kecil hingga pengaruh besar pada penyakit anemia aplastik (Gambar 2.2). Obat merupakan penyebab kedua yang  paling umum dari anemia aplastik, bertanggungjawab untuk sekitar 15-25% kasus. Obat dapat menyebabkan anemia aplastik dalam dua cara, yaitu : 1. Aplasia berhubungan dengan dosis dan reaksi idiosinkratik yang tidak terduga. Jenis pertama dari reaksi dapat terjadi pada siapa sja, 2. Jenis reaksi yang jarang terjadi, hanya sebagian kecil orang yang diberikan obat, dan dapat terjadi dengan dosis kecil. Kemoterapi adalah penyebab paling sering dari anemia aplastik yang terkait dengan dosis. Hampir semua obat kemoterapi menyebabkan penekanan sumsum tulang sebagai efek sitotoksiknya, efeknya bersifat sementara dan reversibel.

Berbagai macam obat telah dikaitkan dengan anemia aplastik idiosinkrasi. Contohnya adalah kloramfenikol dan fenilbutason. Obat lain yang terlibat meliputi senyawa Cu, sulfonamida (trimetoprim-sulfametoksazol) dan antibiotika lain, obat anti-inflamasi, dan obat anti-tiroid antikonvulsan, dan lain-lain. Kloramfenikol berhubungan dengan dosis yang dapat menyebabkan penekanan terhadap eritropoiesis dan anemia aplastik idiosinkrasi.

Hubungan yang jelas antara penggunaan obat tertentu dengan kegagalan sumsum tulang masih jarang dijumpai. Hal ini disebabkan  beberapa laporan kasus yang masih belum jelas mengenai kombinasi  pemakaian obat. Kiranya, banyak agen dapat mempengaruhi fungsi sumsum tulang apabila penggunaan obat dalam dosis tinggi serta tingkat keracunan tidak mempengaruhi organ lain. Beberapa obat yang diduga penyebab anemia aplastik yaitu obat dose dependent (sitostatika, preparat emas), dan obat dose independent (kloramfenikol, fenilbutason, antikonvulsan, sulfonamid).

(11)

Gambar 2.2 Obat-obatan dan bahan kimia yang berkaitan dengan Anemia Aplastik (Sumber : Harrison’s Hematology and Oncology, 2013)

4) Infeksi Virus

Infeksi virus adalah penyebab yang telah diakui pada anemia aplastik, yang tersering adalah hepatitis. Sekitar 5-10% dari kasus anemia terkait dengan hepatitis. Virus hepatitis yang berhubungan dengan anemia aplastik belum teridentifikasi, anemia aplastik tampaknya tidak berhubungan dengan salah satu hepatitis virus yang dikenal (A, B, C, D, E, dan G). tanda-tanda anemia aplastik biasanya muncul sekitar 1-2 bulan setelah timbulnya hepatitis.

(12)

Kegagalan sumsum tulang setelah hepatitis dilaporkan sebagai  penyebeb anemia aplastik sebanyak 5% pada kebanyakan kasus. Pasien pada umumnya adalah pria muda yang telah sembuh dari inflamasi liver pada 1 sampai 2 bulan pertama yang diikuti dengan  pansitopenia berat. Serum penderita merupakan hepatitis seronegatif

(non-A, non-B, non-C). Kegagalan fungsi hati berat pada anak-anak dengan hepatitis seronegatif juga sering menyebabkan kegagalan sumsum tulang.

Beberapa spesies virus dari famili yang berbeda dapat menginfeksi sumsum tulang manusia dan menyebabkan kerusakan. Beberapa virus seperti Epstein-Barr Virus (EBV), HIV, parvovirus, herpesvirus, dengue virus, flavivirus, dapat berpotensi sebagai  penyebab anemia aplastik.

5)  Immune Disease

Aplasia merupakan akibat utama dan penyebab yang tidak bisa dipungkiri dari kematian pada penyakit transfusion-associated graft-versus-host disease (GVHD) yang dapat muncul setelah transfusi darah pada penderita imunodefisiensi. AA berhubungan erat dengan collagen vascular syndrome eosinophilic fasciitis yang ditandai dengan pengerasan pada jaringan subkutan. Pansitopenia dengan hipoplasia sumsum tulang juga muncul pada systemic lupus erythematosus (SLE).

6) Penyebab lain

Rheumatoid arthritis tidak memiliki asosiasi yang biasa dengan anemia aplastik berat, namun sebuah studi epidemiologi di Prancis menyatakan bahwa anemia aplastik terjadi tujuh kali lipat pada pasien dengan rheumatoid arthritis. Terkadang anemia aplastik juga dijumpai  pada pasien dengan penyakit sistemik lupus erythematosus. Selain itu

terdapat juga sejumlah laporan yang menyatakan kehamilan berkaitan dengan anemia aplastik, namun kedua hubungan ini masih belum  jelas.

(13)

2. Anemia Aplastik Idiopatik

Penyakit ini merupakan jenis anemia aplastik yang paling sering ditemukan. Walaupun mekanismenya belum diketahui, respons yang baik terhadap globulin anti-limfosit (GAL) dan siklosporin A menunjukkan  bahwa kerusakan autoimun diperantarai oleh sel T. Sel induk yang  berubah secara struktural dan fungsional berkaitan dengan sel T. Meskipun  beberapa pemicu seperti etiopatogen telah dilaporkan pada AA, sebagian  besar kasus masih idiopatik, dengan persentase kecil terjadi setelah

hepatitis seronegatif.

3. Anemia Aplastik Inheriter / Kongenital

Jenis Anemia Fanconi (AF) memiliki suatu pola pewarisan resesif autosomal dan sering disertai dengan retardasi pertumbuhan dan cacat kongenital di rangka (mikrosefalus, tidak adanya radius/ibu jari), kelainan saluran ginjal (ginjal pelvis/ginjal tapal kuda/horseshoe kidney) atau kulit (daerah hiperpegmentasi/hipopigmentasi); terkadang terdapat retardasi mental. Sindrom ini bersifat heterogen secara genetik dengan 7 gugus tambahan berbeda yang disebut FAA, FAC, FAF dan FAG. Persoalan utama adalah gangguan pada perbaikan (repair ) DNA. Sel dari penderita AF memperlihatkan frekuensi pecahnya kromosom secara spontan yang sangat tinggi. Uji diagnostik dapat dilakukan dengan melihat peningkatan  pemecahan setelah inkubasi limfosit darah perifer dengan diepoksibutana (tes DEB). Diskeratosis kongenital adalah suatu penyakit terkait seks yang  jarang terjadi, disertai atrofi kulit, dan kuku; dihubungkan dengan mutasi  pada gen yang berkaitan dengan fungsi nukleolus yang dikode pada Xq28.

AF biasanya terjadi pada usia 5-10 tahun. Sekitar 10% pasien menderita leukemia mieloid akut. Pengobatan biasanya dengan androgen atau SCT. Hitung sel darah biasanya membaik setelah pengobatan androgen tetapi efek sampingnya (khususnya pada anak) cukup berat (virilisasi dan kalainan hati); remisi jarang berlangsung lebih dari 2 tahun. TSI dapat menyembuhkan pasien; karena kepekaan sel pasien terhadap kerusakan DNA.

(14)

D. Patofisiologi

Dalam kebanyakan kasus, anemia aplastik disebabkan oleh kelainan yang dimediasi sistem imun. Respon imun didominasi oleh ekspansi oligoklonal sel T sitotoksik yang menyerang sel-sel hematopoietik dan progenitor. Sel T sitotoksik menginduksi kematian sel via apoptosis dan kegagalan hematopoietik. Pada kasus ini, sumsum tulang akan diganti dan didominasi oleh sel-sel adiposit (lemak) yang secara morfologi terlihat pada spesimen  biopsi (Gambar 2.3) dan magneting resonace imaging (MRI) pada tulang  belakang.

Sel-sel mengandung antigen CD34 yang merupakan penanda dari sel hematopietik muda sangat berkurang dan menurut studi, sel progenitor  primitif pada hakekatnya tidak terlihat. Pengujian secara in vitro

menunjukkan sel-sel stem mengalami penurunan yakni <1%. Penurunan sel stem intrinsik terdapat pada anemia aplastik.; sel-sel dari pasien dengan anemia Fanconi memperlihatkan kerusakan dan kematian kromosom pada  paparan beberapa agen kimia tertentu. Telomer pada kromosom memendek  pada beberpa pasien yang disebabkan oleh mutasi heterogen pada gen telomer

repair complex.

Hematopoesis normal yang terjadi di dalam sumsum tulang, merupakan interaksi antara progenitor hematopoetik  stem cell dengan lingkungan mikro (microenvironment)  pada sumsum tulang. Lingkungan mikro tersebut mengatur hematopoesis melalui reaksi stimulasi oleh faktor pertumbuhan hematopoetik. Sel-sel hematologik imatur dapat terlihat dengan pemeriksaan  flouresent activate flow citometry, yang dapat mendeteksi sel antigen CD34+ dan adhsesi protein kurang dari 1% pada sumsum tulang normal. Anemia aplastik dapat terjadi secara heterogen melalui beberapa mekanisme yaitu kerusakan pada lingkungan mikro, gangguan produksi atau fungsi dan faktor-faktor pertumbuhan hematopoetik, dan kerusakan sumsum tulang melalui mekanisme imunologis.

Limfosit T sitotoksik aktif, memegang peran yang besar dalam kerusakan  jaringan sumsum tulang melalui pelepasan limfokin seperti

(15)

interferon-γ (IFN-γ) dan tumor necrosis factor β (TNF-β). Peningkatan produksi  interleukin-2 mengawali terjadinya ekspansi poliklonal sel T. Aktivasi reseptor Fas melalui  fas-ligand menyebabkan terjadinya apoptosis sel target. Efek IFN-γ melalui interferon regulatory factor 1 (IRF-1), adalah menghambat transkripsi gen dan masuk ke dalam siklus sel. IFN-γ juga menginduksi pembentukan nitric oxide synthase (NOS), dan produksi gas toksik nitric oxide (NO) yang mungkin menyebabkan efek toksiknya menyebar.

Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA. Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel. “Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi  pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel, yang kemudian terjadi  perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis). (Gambar 2.4)

Gambar 2.3. A. Biopsi sumsum tulang normal. B. Pewarnaan aspirasi sumsum tulang normal. C. Biopsi anemia aplastik. D. pewarnaan sumsum tulang pada anemia aplastik. Gambar tersebut memperlihatkan jaringan hematopietik yang diganti oleh jaringan lemak dan hanya tersisa sel-sel stromal dan limfoid. (Sumber : Harrison’s Hematology and Oncology, 2013)

(16)

Gambar 2.4.. Apoptosis jalur ekstrinsik (Sumber :

 Apoptotic and Non-apoptotic Cell Death. 2017)

Secara umum, ada dua hal yang menjadi patofisiologi anemia aplastik: 1. Kerusakan sumsum tulang yang dimediasi sel T

Penyembuhan fungsi sumsum tulang pada beberapa pasien dapat dilakukan dengan cara transplantasi sumsum tulang dengan anti-limfosit globulin (ALO) untuk anemia aplastik yang diperantarai oleh sistem imun.

Sel-sel darah dan sumsum tulang pada pasien dapat menekan  pertumbuhan sel progenitor hematopoietik sehingga pada percobaan secara in vitro, pengeluaran sel T dapat meningkatkan formasi koloni. Peningkatan jumlah klon sel T sitotoksik dapat diatasi dengan terapi imunosupresif. Respon imun dari sel Th1 dapat mengeluarkan sitokin (interferon γ [IFN-γ] and tumor necrosis factor [TNF]).  Interferon dan induksi Fas yang diekspresikan pada sel CD34, memicu terjadinya kematian sel secara apoptosis. Lokalisasi sel T teraktivasi ke sumsum

(17)

tulang dan produksi faktor-faktor terlarut lokal sangat berperan pada destruksi sel.

Kejadian awal keterkaitan antara sistem imun dan anemia belum diketahui dengan pasti. Respon sel T oligoklonal secara tidak langsung dapat bertindak sebagai antigen.

Pemulihan hematopoiesis autologo pada pasien yang gagal menerima transplantasi stem sel dan responsif terhadap terapi imunosupresif adalah bukti klinis utama yang mendukung patofisiologi AA didapat. Walaupun patofisiologi non imun telah disimpulkan sebagai kegagalan dalam merespon imunosupresi, kesukaran terhadap terapi juga konsisten dengan stem sel yang sangat sedikit, respon imun “habis”, atau mekanisme imunologi yang resisten terhadap terapi.

Penghapusan limfosit dari sumsum tulang aplastik dapat meningkatkan jumlah koloni dalam kultur jaringan, dan jika dimasukkan ke sumsum tulang normal dapat menghambat hematopoiesis secara invitro. Sel-sel efektor dalam subset limfosit mengaktifkan sel T sitotoksik yang memiliki profil Th1, mengekspresikan dan mensekresikan interferon-. T-bet faktor transkripsi yang berikatan dengan interferon- dan sangat penting dalam polarisasi Th1, diregulasi di dalam sel T pasien dengan AA. Klon sel spesifik CD8+  dan CD28 tersebar dalam darah pasien dengan AA, dengan manifestasi dari rapertoar V  yang abnormal; dan oligoklonal ini mengenali dan menginduksi apoptosis dari sel-sel myeloid autologo.

Sel T regulator, yang mengontrol dan menekan sel T auto-reaktif, menurun pada hampir semua pasien dengan AA. Percobaan pada tikus dengan kegagalan sumsum tulang yang dimediasi sistem imun,  penambahan sel T regulator mengurangi panstopenia.

Alasan mengenai aktivasi sel T pada anemia aplastik masih belum diketahui dengan jelas. HLA-DR2 yang banyak terdapat pada pasien, menstimulasi pengenalan antigen, dan kehadirannya merupakan respon yang lebih baik terhadap siklosporin. Polimorfisme pada gen sitokin

(18)

 berhubungan dengan peningkatan respon imun, seperti gen pada tumor nekrosis faktor-  (TNF-  interferon-, dan interleukin 6. Perubahan- perubahan ini terdapat dalam urutan nukleotida dan dalam regulasi gen merubah genetik dasar untuk aktivasi sel T yang abnormal dalam kegagalan sumsum tulang.

2. Kerusakan pada sel induk pluripoten

Gangguan pada sel induk pluripoten ini menjadi induk pluripoten yang mengalami gangguan gagal membentuk atau berkembang menjadi sel darah yang baru. Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten ataupun karena fungsinya yang menurun. Penanganan yang tepat untuk individu anemia aplastik yang disebabkan oleh gangguan pada sel induk adalah terapi transplantasi sumsum tulang.

3. Kerusakan pada microenvironment

Ditemukan gangguan pada mikrovaskuler, faktor humoral  penghambat pertumbuhan sel. Hal ini mengakibatkan gagalnya jaringan sumsum tulang untuk berkembang. Gangguan pada microenvironment merupakan kerusakan lingkungan sekitar sel induk pluripoten sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan sel tersebut menjadi sel-sel darah. Selain itu pada beberapa penderita anemia aplastik ditemukan  pertumbuhan sel. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya limfosit T yang

menghambat pertumbuhan sel-sel sumsum tulang.

Sampai saat ini, teori yang paling dianut sebagai penyebab anemia aplastik adalah gangguan pada sel induk pluri poten Pansitopenia dalam anemia aplastik menggambarkan kegagalan proses hematopoetik yang ditunjukkan dengan penurunan drastis jumlah sel primitif hematopoetik.

Dua mekanisme dijelaskan pada kegagalan sumsum tulang.

 Mekanisme pertama

 adalah cedera hematopoetik langsung karena bahan kimia seperti benzene, obat, atau radiasi untuk proses proliferasi dan sel hematopoetik yang tidak bergerak.

 Mekanisme kedua

, didukung oleh observasi klinik dan studi laboratorium, yaitu imun sebagai penekan sel sumsum tulang, sebagai contoh dari mekanisme ini yaitu kegagalan

(19)

sumsum tulang setelah  graft versus host disease, eosinophilic fascitis, dan hepatitis.

Mekanisme idiopatik, asosiasi dengan kehamilan, dan beberapa kasus obat yang berasosiasi dengan anemia aplastik masih belum jelas tetapi dengan terperinci melibatkan proses imunologi. Sel sitotoksik T diperkirakan dapat bertindak sebagai faktor penghambat dalam sel hematopoetik dalam menyelesaikan produksi hematopoesis inhibiting cytokinesis seperti interferon dan tumor nekrosis factor . Efek dari imun sebagai media penghambat dalam hematopoesis mungkin dapat menjelaskan mengapa hampir sebagian besar pasien dengan anemia aplastik didapat memiliki respon terhadap terapi imunosupresif.

Pasien dengan anemia aplastik biasanya tidak memiliki lebih dari 10% jumlah sel batang normal. Bagaimanapun, studi laboratorium menunjukkan bahwa sel stromal dari pasien anemia aplastik dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan dari sel induk hematopoetik dan dapat juga menghasilkan kuantitas faktor pertumbuhan hematopoetik dengan jumlah normal atau meningkat.

E. Gambaran Klinis

AA dapat terjadi pada semua usia, baik pria maupun wanita, insiden 2-5 kasus/juta populasi. Onset penyakit ini cepat (beberapa hari) atau lambat (beberapa minggu atau bulan). Gejala dan tanda dapat disebabkan oleh kegagalan sumsum tulang. Hati, limpa dan kelenjar getah bening tidak membesar kecuali disertai infeksi. Anemia fanconi biasanya terjadi pada masa kanak-kanak.

Awitan terjadi dalam segala usia dengan insidensi puncak pada usia sekitar 30 tahun dan lebih banyak terdapat pada pria; dapat terjadi perlahan atau akut dengan gejala dan tanda yang disebabkan oleh anemia, netropenia, atau trombositopenia. Sering ditemukan infeksi, khususnya di mulut dan tenggorok. Infeksi generalisata seringkali mengancam jiwa. Gambaran manifestasi perdarahan yang lazim ditemukan adalah memar, perdarahan

(20)

gusi, epistaksis, dan menorhagia (seringkali disertai gejala anemia). Kelenjar getah bening, hati, dan limpa tidak membesar.

F. Temuan Laboratorium 1. Penemuan pada Darah

Hasil laboratorium yang dapat ditemukan pada darah yaitu; Anemia normositik atau makrositik ringan dengan jumlah retikulosit rendah; Leukopenia biasa terjadi dengan netrofil <1.5 x 109/L (1500/ul) pada kasus ringan, < 0,5 x 109/L (500/ul) pada kasus berat atau < 0,2 x 109/L (200/ul)  pada kasus sangat berat; Trombositopenia < 20 x 109/L (20.000/ul) pada

kasus berat atau < 10 x 109/L (10.000/ul) pada kasus sangat berat;

Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.

Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis leukosit menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah trombosit  berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal. Perubahan

kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit  bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired

aplastic anemia).

Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.

Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan

(21)

mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional. Plasma darah  biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.

Pasien dengan anemia aplastik memiliki tingkat pansitopenia yang  beragam. Tampak anemia normokromik normositer, Anemia diasosiasikan dengan indeks retikulosit yang rendah. Jumlah retikulosit biasanya kurang dari satu persen atau bahkan mungkin nol. Makrositosis mungkin dihasilkan dari tingkat eritropoietin yang tinggi, merangsang sedikit sisa sel eritroblas untuk berkembang dengan cepat, atau dari klon sel eritroid yang tidak normal. Jumlah total leukosit dinyatakan rendah (leukopenia), hitung jenis menyatakan sebuah tanda pengurangan dalam neutropil. Platelet juga mengalami pengurangan (trombositopenia), tetapi fungsinya masih normal.Pada anemia ini juga dijumpai kadar Hb <7 g/dl.

Penemuan lainnya yaitu besi serum normal atau meningkat, Total Iron  Binding Capacity (TIBC) normal, HbF meningkat.

2. Penemuan pada Sumsum Tulang

Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak > 75% (adiposit) dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus, gambaran partikel yang ditemukan pada aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.

Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah  perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual

(22)

hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.

3. Penemuan Radiologi

 Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat digunakan untuk membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Ini dapat memberikan perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari  pada teknik morpologi dan mungkin membedakan sindrom hipoplastik

mielodiplastik dari anemia aplastik. 4. Penemuan pada Plasma dan Urin

Serum memiliki tingkat faktor pertumbuhan hemapoetik yang tinggi, yang meliputi erythropoietin, thrombopoietin, dan faktor myeloid colony  stimulating. Serum besi juga memiiki nilai yang tinggi, dan jarak ruang Fe diperpanjang, dengan dikuranginya penggabungan dalam peredaran sel darah merah.

G. Diagnosis Laboratorium

Penyakit ini harus dapat dibedakan dari penyebab pansitopenia lainnya (Tabel 2.1), dan biasanya tidak sulit jika didapat sampel sumsum tulang yang cukup. Apabila jumlah retikulosit meningkat, hemoglobinuria paroksimal nokturnal (PNH) harus disingkirkan dengan pemeriksaan uji lisis asam dan hemosiderin urine. Pemeriksaan flowsitometri eitrosit untuk memeriksa CD55 dan CD59 juga digunakan. Pada pasien yang usianya lebih tua,

Gambar 2.6 Spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari pasien anemia aplastik 

Gambar 2.5 Spesimen sumsum tulang dengan biopsy dari pasien normal

(23)

mielodisplasia hipoplastik dapat memperlihatkan gambaran yang mirip dengan penyakit ini. Kelainan kualitatif sel dan perubahan sitogenik klonal mengarah pada mielodisplasia daripada anemia aplastik. Beberapa pasien yang didiagnosis anemia aplastik menderita PNH, mielodisplasia, atau leukemia granulositik akut pada tahun-tahun berikutnya. Ini dapat terjadi  bahkan pada pasien yang telah berespons baik terhadap terapi imunosupresif.

Tanda pasti yang menunjukkan seseorang menderita anemia aplastik adalah pansitopenia dan hiposelular sumsum tulang, serta dengan menyingkirkan adanya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang. Anemia aplastik dapat digolongkan menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan tingkat keparahan pansitopenia.

Menurut  International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG) kriteria diagnosis anemia aplastik dapat digolongkan sebagai:

1. Satu dari tiga uji sebagai berikut :

a. Hemoglobin kurang dari 10 g/dl atau hematokrit kurang dari 30%;  b. Trombosit kurang dari 50 x 109/L;

c. Leukosit kurang dari 3.5 x 109/L, atau neutrofil kurang dari 1.5 x 109/L.

2. Retikulosit < 30  109/L (<1%),

3. Gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat) :

a. Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hemopoetik atau selularitas normal oleh hyperplasia eritroid lokal dengan deplesi segi granulosit dan megakarosit; dan

 b. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik.

4. Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus dieksklusi.

Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia aplastik. Hal ini sangat penting dilakukan karena mengingat strategi terapi yang akan diberikan. Kriteria yang dipakai pada umumnya adalah

(24)

kriteria Camitra et al. Tergolong anemia aplastik berat ( severe aplastic anemia) bila memenuhi kriteria berikut : paling sedikit dua dari tiga :

a. Granulosit < 0.5 x109/L;  b. Trombosit < 20 x 109/L ;

c. Corrected retikulosit <1%. Selularitas sumsum tulang <25% atau selularitas <50% dengan <30% sel-sel hematopoetik.

Tergolong anemia aplastik sangat berat bila neutrofil <0.2 x 109/L. Anemia aplastik yang lebih ringan dari anemia aplastik berat disebut anemia aplastik tidak berat (nonserve aplastic anemia).

H. Diagnosis Banding

Pansitopenia merupakan ciri-ciri yang sering muncul dari kebanyakan  penyakit. Walaupun anamnesis, pemeriksaan fisik, dan studi laboratorium dasar sering dapat mengeksklusi anemia aplastik dari diagnosis, perbedaan merupakan hal yang lebih susah dalam penyakit hematologi tertentu, dan tes lanjutan sangat diperlukan. Penyebab dari pansitopenia perlu dipertimbangkan dalam diagnosis banding yang meliputi Fanconi’s anemia,  paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PHN), myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis, aleukemic leukemia, agranulocytosis, dan pure red cell aplasia. Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai penyakit- penyakit tersebut.

Fanconi’s anemia. Ini merupakan bentuk kongenital dari anemia

aplastik dimana merupakan kondisi autosomal resesif yang diturunkan sekitar 10% dari pasien dan terlihat pada masa anak-anak. Tanda-tandanya yaitu tubuh pendek, hiperpigmentasi pada kulit, mikrosefali, hipoplasia pada ibu  jari atau jari lainnya, abnormalitas pada saluran urogenital, dan cacat mental.

Fanconi’s anemia dipertegas dengan cara analisis sitogenetik pada limfosit darah tepi, yang dimana menunjukkan patahnya kromosom setelah dibiakkan menggunakan zat kimia yang meningkatkan penekanan kromosom (seperti diepoxybutane atau mitomycin C ).

(25)

Paroxysmal Nocturnal H emoglobinuria.

PNH adalah sebuah kerusakan yang didapat yang dikarakteristikan dengan anemia yang disebabkan oleh hemolysis intravaskular dan dimanifestasikan dengan hemoglobinuria yang  bersifat sementara dan life-threatening venous thromboses. Suatu kekurangan CD59, antigen pada permukaan eritrosis yang menghambat lisis reaktif, sangat bertanggung jawab terhadap hemolisis. Kira-kira 10% sampai 30%  pada pasien anemia aplastik mengalami PNH pada rangkaian klinis nantinya. Ini menunjukkan bahwa sangat mungkin bahwa mayoritas pasien dengan PHN dapat mengalami proses aplastik. Diagnosis PNH biasanya dibuat dengan menunjukkan pengurangan ekpresi dari sel antigen CD59 permukaan dengan cara aliran sitometri, mengantikan tes skrining yang sebelumnya dipergunakan seperti tes hemolysis sukrosa dan pemeriksaan urin untuk hemosiderin.

 Myelodiysplastic Sindrome.

MDSs adalah sebuah kumpulan dari kerusakan sel batang hematopoetik klonal yang ditandai oleh diferensiasi dan maturasi abnormal sumsum tulang, dimana dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang dengan peripheral sitopenias, disfungsional elemen darah, dan memungkinkan perubahan leukemi. Sumsum tulang pada MDS memiliki tipe hiperselular atau normoselular, walaupun hiposelular biasanya juga ditemukan. Sangat penting membedakan hiposelular MDS dengan anemia aplastik karena diagnosis yang ditegakkan untuk penanganan dan prognosis.

I diopathic Myelofi brosis

. Dua keistimewaan idiopathic myelofibrosis adalah hematopoesis ekstramedulari menyebabkan hepatosplenomegali pada kebanyakan pasien. Biopsi spesimen sumsum tulang menunjukkan berbagai tingkat retikulin atau fibrosis kolagen, dengan megakariosit yang mencolok.

 Aleukemic Leukemia.

 Aleukemic leukemia merupakan suatu kondisi yang jarang yang ditandai oleh tidak adanya sel blast pada darah tepi pasien leukemia, terjadi kurang dari 10% dari seluruh pasien leukemi dan penyakit ini biasanya terjadi pada remaja atau pada orang tua. Aspirasi sumsum tulang dan biopsy menunjukkan sel blast.

(26)

Pure red cell aplasia.

Kerusakan ini jarang terjadi dan hanya melibatkan  produksi eritrosit yang ditandai oleh anemia berat, jumlah retikulosit kurang dari 1%, dan normoselular sumsum tulang kurang dari 0.5% eritroblast yang telah matang.

 Agranulocytosis.

Agranulocytosis adalah kerusakan imun yang mempengaruhi produksi granulosit darah tetapi tidak pada platelet atau eritrosit.

I. Terapi

Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari 70% dengan perawatan suportif saja. Ini adalah darurat hematologi, dan perawatan harus diputuskan segera. Obat-obatan tertentu diberikan tergantung pada  pilihan terapi dan apakah itu perawatan suportif saja, terapi imunosupresif, atau BMT. Rawat inap untuk pasien dengan anemia aplastik mungkin diperlukan selama periode infeksi dan untuk terapi yang spesifik, seperti globulin antithymocyte (ATG).

Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4 yaitu terapi kausal, terapi suportif, dan terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang (terapi ini untuk merangsang pertumbuhan sumsum tulang), serta terapi definitif yang terdiri atas pemakaian anti-lymphocyte globuline, transplantasi sumsum tulang.

1. Terapi Kausal

Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Hindarkan pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi sering hal ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau  penyebabnya tidak dapat dikoreksi.

2. Terapi suportif

Terapi ini diberikan untuk mengatasi akibat pansitopenia.

- Mengatasi infeksi. Untuk mengatasi infeksi antara lain : menjaga higiene mulut, identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat. Sebelum ada hasil, biarkan pemberian

(27)

antibiotika berspektrum luas yang dapat mengatasi kuman gram  positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat penicillin semisintetik (ampisilin) dan gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil biakan sudah datang, sesuaikan hasil dengan tes sensitifitas antibiotika. Jika dalam 5-7 hari panas tidak turun maka pikirkan pada infeksi jamur. Disarankan untuk memberikan ampotericin-B atau flukonasol parenteral,

- Transfusi granulosit konsentrat. Terapi ini diberikan pada sepsis  berat kuman gram negatif, dengan nitropenia berat yang tidak memberikan respon pada antibiotika adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit dibuat dan masa efektifnya sangat pendek.

- Usaha untuk mengatasi anemia. Berikan tranfusi packed red cell atau (PRC) jika hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9%-10% tidak  perlu sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang akan dipersiapkan untuk transplantasi sumsusm tulang pemberian transfusi harus lebih berhati-hati.

- Usaha untuk mengatasi pendarahan. Berikan transfusi konsentrat trombosit jika terdapat pendaran major atau jika trombosit kurang dari 20.000/mm3. Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektifitas trombosit karena timbulnya antibodi anti-trombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi pendarahan kulit.

3. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang.

Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang  pertumbuhan sumsum tulang, meskipun penelitian menunjukkan hasil

yang tidak memuaskan.

- Anabolik steroid. Anabolik steroid dapat diberikan oksimetolon atau stanozol. Oksimetolon diberikan dalam dosis 2-3mg/kg BB/hari. Efek terapi tampak setelah 6-12 minggu. Awasi efek samping berupa firilisasi dan gangguan fungsi hati.

(28)

- Kortikosteroid dosis rendah-menengah. Fungsi steroid dosis rendah  belum jelas. Ada yang memberikan prednisone 60-100mg/hari, jika dalam 4 minggu tidak ada respon sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping yang serius.

-

Granulocyte Macrophage - Colony Stimulating F actor

(GM-CSF) atau

Granulocyte - Colony Stimulating F actor

G-CSF. Terapi ini dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah netrofil, tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoetin juga dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah

4. Terapi definitif

Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan  jangka panjang. Terapi definitif untuk anemia apalstik terdiri dari 2 jenis  pilihan yaitu Terapi imunosupresif dan Transplantasi sumsum tulang.

- Terapi imunosupresif. Terapi ini merupakan lini pertama dalam  pilihan terapi definitif pada pasien tua dan pasien muda yang tidak menemukan donor yang cocok. Terdiri dari (a) pemberian anti lymphocyte globulin :  Anti lymphocyte globulin (ALG) atau anti tymphocyte globulin (ATG) dapat menekan proses imunologi. ALG mungkin juga bekerja melalui peningkatan pelepasan haemopoetic  growth factor sekitar 40%-70% kasus memberi respon pada ALG, meskipun sebagian respon bersifat tidak komplit (ada defek kualitatif atau kuantitatif). Pemberian ALG merupakan pilihan utama untuk  penderita anemia aplastik yang berumur diatas 40 tahun; (b) terapi imunosupresif lain : pemberian metilprednisolon dosis tinggi dengan atau siklosforin-A dilaporkan memberikan hasil pada beberapa kasus, tetapi masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut. Pernah juga dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid dosis tinggi. Percobaan pada kuda atau kelinci setelah diberikan intravena selama  beberapa hari, dan siklosporin (tunggal atau dengan ALG) memperbaiki fungsi sumsum pada 50-70% kasus berat. Kortikosteroid diberikan dengan ALG untuk mencegah serum sickness.

(29)

- Transplantasi sel induk hematopoietik (HSCT). HSCT merupakan terapi definif yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan mencari donor yang kompatibel sehingga pilihan terapi ini sebagai  pilihan pada kasus anemia aplastik berat. Transplantasi sel induk

hematopoietik merupakan pilihan untuk kasus yang berumur dibawah 40 tahun, diberikan siklosforin-A untuk mengatasi  graft versus host disease (GvHD). Meningkatnya jumlah penderita yang tidak cocok dengan pendonor terjadi pada kasus transplantasi sumsum tulang pada  pasien lebih muda dari 40 tahun yang tidak mendapatkan donor yang cocok dari saudaranya. HSCT menawarkan penyembuhan pada kasus  berat, asalkan ada saudara kandung sebagai donor dengan HLA yang cocok.. HSCT sangat efektif dalam proses penyembuhan (penyembuhan 60-70%), namun kebanyakan pasien tidak dapat melakukan terapi ini disebabkan beberapa faktor seperti usia lanjut, komorbiditas, atau kurangnya donor yang histokompatibel. Oleh karena itu, pengobatan imunosupresif (IST) dengan globulin anti-timsil (ATG) dan siklosporin (CsA) dapat menjadi alternatif.

J. Prognosis dan Perjalanan Penyakit

Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : (a) kasus berat dan progresif, rata-rata mati dalam 3 bulan (merupakan 10%-15% kasus); (b) penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan kambuh. Meninggal dalam 1 tahun, merupakan 50% kasus; dan (c) penderita yang mengalami remisi sempurna atau parsial, hanya merupakan bagian kecil penderita.

(30)

BAB III KESIMPULAN

Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan  platelet tanpa adanya bentuk kerusakan sumsum lainnya. Dalam pemeriksaan sumsum dinyatakan hampir tidak ada hematopoetik sel perkusi dan digantikan oleh jaringan lemak.

Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tidak spesifik dan berbahaya, yang disertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga menimbulkan kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan disertai panas badan namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan dari neutropenia.

Penemuan laboratorium juga dapat mempertegas diagnosis anemia aplastik antara lain penemuan pada darah (hapusan darah tepi dan darah lengkap), sumsum tulang, radiologi urin dan plasma darah.

Tedapat beberapa terapi untuk mengatasi anemia aplastik. Secara garis  besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4 yaitu: terapi kausal; terapi suportif; terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang; serta terapi definitif.

27 29

Gambar

Tabel 2.1 Penyebab Pansitopenia  No  Penyebab
Gambar 2.1  Klasifikasi Anemia Aplastik (Sumber : Harrison’s Hematology and Oncology, 2013)
Gambar 2.2  Obat-obatan dan bahan kimia yang berkaitan dengan Anemia Aplastik (Sumber : Harrison’s Hematology and Oncology, 2013)
Gambar tersebut memperlihatkan jaringan hematopietik yang diganti oleh jaringan lemak dan  hanya  tersisa  sel-sel  stromal  dan  limfoid
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini diperiksa ekspresi IL – 5 pada polip hidung sebelum dan sesudah pemberian terapi metilprednisolon oral pada 17 penderita polip hidung.. Ekspresi

-erapi pilihan yang dapat diberikan pada kasus uretritis gonore adalah dual terapi antibiotik ceftriaxone &#34;# mg I5 dosis tunggal dan a9ithromisin oral $ g dosis tunggal

Dengan tidak-adanya terapi spesifik penyakit, ada penelitian acak yang mempelajari kemanjuran pemberian glukokortikoid dosis tinggi (metilprednisolon intravena intermiten

Dosis Terapi (dosis medicinalis, dosis therapeutica, dosis lazim) : Rentangan jumlah obat yang diberikan kepada penderita dewasa untuk satu kali pemberian atau untuk jangka

Pemberian preparat besi secara parenteral yaitu pada pasien dengan malabsorbsi berat, penderita Crohn aktif, penderita yang tidak member respon yang baik dengan terapi

Pada pengobatan anemia megaloblastik dalam kehamilan sebaiknya diberikan terapi oral asam folat bersama-sama dengan zat besi. Tablet asam folat diberikan dalam dosis 5-10

Tepat dosis merupakan pemilihan dosis dan frekuensi pemberian obat secara tepat pada pasien anemia yang menjalani pengobatan di Poli Umum RS X Kota Kediri menunjukkan

Rendahnya efektivitas terapi anemia gravidarum dengan tablet Fe dipengaruhi antara lain karena dasar pemberian terapi hanya berdasarkan kadar Hb saja, tidak