STUDI PERBANDINGAN LAJU KOROSI DENGAN VARIASI
CACAT COATING PADA PIPA API 5L GRADE X65 DENGAN
MEDIA KOROSI NaCl
Ika Marcelina Sari Dewi1, Imam Rochani2, Heri Supomo3
1) Mahasiswa Jurusan Teknik Kelautan 2) Staf Pengajar Jurusan Teknik Kelautan 3) Staf Pengajar Jurusan Teknik Perkapalan
ABSTRAK
Pipelines (pipa bawah laut) digunakan untuk berbagai maksud dalam pengembangan sumber daya hidrokarbon di lepas pantai. Lingkungan laut sangat korosif dan struktur yang berada di lingkungan yang korosif harus diproteksi (dilindungi) agar korosi yang terjadi bisa diperkecil. Salah satu proteksi korosi adalah dengan cara coating. Material yang digunakan adalah API 5L Grade X65 yang dibedakan jenis catnya, yaitu dengan sistem cat 3 lapis yang terdiri dari Zinc ethyl silicate-epoxy-glass flake epoxy dan system cat 4 lapis yang terdiri dari Zinc ethyl silicate-epoxy-modified epoxy-polyurethane. Pada setiap sistem cat tersebut pada permukaannya diberi cacat berupa goresan sebanyak 1 gores dan 2gores. Metode yang digunakan untuk menghitung laju korosi adalah dengan menggunakan sel 3 elektroda. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh laju korosi sebesar 0.001044 mmpy untuk sistem cat 3 lapis dengan 1 gores (2.8% cacat), 0.001495 mmpy untuk 2 gores (5.6% cacat), kenaikan laju korosinya sebesar 30.17%. Sedangkan untuk sistem cat 4 layer dengan 1 gores (2.8% cacat), laju korosi rata-rata adalah 0.000565 mmpy dan 0.000757 mmpy untuk 2 gores (5.6% cacat), kenaikan laju korosinya sebesar 25.36%. Analisa permukaan spesimen yang terkorosi digunakan foto SEM (Scanning Electron Microscope) dan didapat hasil bahwa secara morfologis permukaan daerah cacat coating yang terkorosi sudah terdapat inisial korosi.
Kata Kunci: coating, API 5L X65, gores, sel 3 elektroda, laju korosi, SEM. 1. PENDAHULUAN
Pipelines (pipa bawah laut) digunakan
untuk berbagai maksud dalam
pengembangan sumber daya hidrokarbon di lepas pantai, termasuk pipa transportasi untuk ekspor, pipa penyalur untuk mengangkut produksi dari suatu platform ke pipa ekspor, pipa pengalir untuk injeksi air atau injeksi bahan kimia, pipa pengalir untuk mengangkut produksi antarplatform, subsea manifolds dan
satellite well (sumur-sumur satelit),
pipeline bundles (Soegiono, 2007).
Secara spesifik korosi didefinisikan sebagai kumpulan dari keseluruhan proses dengan jalan dimana metal atau
alloy yang digunakan untuk material
struktur berubah bentuk dari bersifat metal menjadi beberapa kombinasi dari kondisi yang disebabkan oleh interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian korosi diartikan juga sebagai kerusakan atau keausan dari material akibat terjadinya reaksi dengan lingkungan yang didukung oleh faktor-faktor tertentu (Supomo, 2003). Pipa bawah laut yang terbuat dari baja akan sangat susah terhindarkan dari korosi, mengingat lingkungan laut sangat korosif.
Perhitungan laju korosi menggunakan metode sel tiga elektroda merupakan pengujian laju korosi dengan polarisasi dari potensial korosi bebasnya dan untuk mempercepat proses dilakukan perlakuan gores pada permukaan spesimen.
Tujuan yang ingin dicapai dalam tugas akhir ini, yaitu:
1. Mengetahui nilai laju korosi pada pipa ter-coating yang terdapat goresan pada permukaannya.
2. Mengetahui morfologi permukaan daerah cacat coating dengan menggunakan foto SEM (Scanning
Electron Microscope).
Dalam tugas akhir ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai perilaku laju korosi dan morfologi permukaan pada material yang terdapat cacat coating.
2. DASAR TEORI 2.1 Baja
Baja pada dasarnya adalah paduan besi dan karbon. Selain terdiri dari besi dan karbon, baja juga mengandung unsur lain. Sebagian berasal dari pengotoran bijih besi (misalnya belerang dan phosphor) yang biasanya kadarnya ditekan serendah mungkin. Sebagian lagi unsur yang digunakan pada proses
pembuatan besi/baja (misalnya
silikon dan mangan). Selain itu, sering kali juga sejumlah unsur paduan sengaja ditambahkan ke dalam untuk memperoleh sifat tertentu sehingga jenis baja akan beragam (Zakharov,1962).
Baja karbon menengah (Medium
Carbon Steel) yang mempunyai
kandungan karbon sebesar 0,30%-0,70% masih terdiri dari ferrit dan perlit juga, tetapi dengan perlit yang
cukup banyak. dengan kandungan perlit yang cukup banyak, baja karbon ini lebih kuat dan keras serta dapat dikeraskan akan tetapi akan membuatnya lebih getas. Baja karbon jenis ini banyak digunakan untuk konstruksi mesin, seperti poros, poros engkol, batang torak, roda gigi, pegas, dll. yang lebih
memerlukan kekuatan dan
ketangguhan yang tinggi (Zakharov, 1962).
Pipa baja API 5L grade X65 merupakan jenis pipa yang didesain khusus untuk pipa bawah laut dimana pipa jenis ini dengan spesifikasi 5L adalah menunjukan jenis yang khusus digunakan untuk
offshore pipeline. Dengan grade X65
menunjukkan pipa bawah laut ini mempunyai tegangan minimum yang di ijinkan sebesar 65.000 psi atau 448 MPa yang banyak dipakai pada struktur anjungan minyak bumi dan gas. Pipa baja API 5L grade X65 banyak digunakan pada pipa penyalur gas, air, dan minyak. Sebagai alat penyalur minyak yang efisien dan ekonomis pada dunia perminyakan.
2.2 Korosi
Korosi adalah penurunan mutu logam yang disebabkan oleh reaksi elektrokimia antara logam dengan lingkungan sekitarnya (Trethewey, 1991). Korosi juga dapat diartikan sebagai peristiwa alamiah yang terjadi pada bahan dan merupakan proses kembalinya bahan ke kondisi semula saat bahan ditemukan dan diolah dari alam (Supriyanto, 2007). 2.3 Jenis Korosi
Berdasarkan penyebabnya, korosi dapat dibedakan menjadi:
1. Korosi Homogen, yaitu jenis korosi yang sering dan umum
terjadi pada
konstruksi-konstruksi logam. Jenis ini biasanya dikategorikan menurut reaksi electro-chemical yang secara homogen terjadi karat ke seluruh bagian material yang terbuka.
2. Korosi Galvanik, yaitu korosi yang terjadi pada dua logam berbeda potensial dalam satu
elektrolit. Logam yang
mempunyai tahanan korosi kecil (anodik) akan terkorosi.
3. Korosi celah (crevice
corrosion), yaitu korosi yang
sering terjadi pada celah dan permukaan tertutup lainnya dari suatu logam yang terletak pada
corrosive media. Tipe korosi
jenis ini selalu dalam skala kecil dari larutan yang terperangkap lewat lubang, gasket, lap joint maupun baut.
4. Korosi Batas Butir
(intergranular corrosion), yaitu
korosi yang terjadi pada batas butir yang merupakan tempat mengumpulnya impurity atau prespitat dan lebih tegang.
5. Korosi sumuran (pitting
corrosion), yaitu korosi yang
terjadi akibat adanya sistem anoda pada logam yang terdapat konsentrasi ion Cl- yang tinggi.
6. Selective Leaching, yaitu
larutnya salah satu komponen
dari suatu paduan dan
mengakibatkan paduan yang tersisa akan menjadi berpori sehingga ketahanan korosi berkurang.
7. Korosi Erosi (erosion
corrosion), yaitu korosi yang
disebabkan oleh gerakan relatif antara fluida korosif dan permukaan metal.
8. Korosi Tegangan (stess
corrosion), yaitu korosi akibat
adanya retakan akibat tegangan tarik dan media korosif secara bersamaan.
9. Korosi Biologi, yaitu kerusakan logam oleh proses korosi sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas
organisme hidup, baik
mikroorganisme maupun
makroorganisme. 2.4 Coating (Pelapisan)
Pelapisan adalah cara paling umum
digunakan untuk pengendalian
korosi. Pelapisan terdiri dari 2 jenis, yaitu liquid coating dan concrete
coating. Liquid coating bisa berupa
painting (cat), sedangkan concrete
coating berupa pelapisan beton,
selain untuk mencegah korosi juga dapat menambah kestabilan pipa. Konsep dasar adalah tidak adanya proses elektrokimia dalam alam,
pelapisan secara sederhana
membatasi paduan logam dari pengaruh lingkungan yang korosif. Dalam praktek, bagaimanapun, beberapa masalah muncul dan sering tidak cukup perhatian untuk
pelapisan karena kelihatannya
sederhana pada sistem pelapisan. 2.4.1 Mekanisme Cat Melawan Korosi
Cat sudah dikenal ribuan tahun yang lalu sebagai bahan protektif maupun dekoratif. Bahan utama
liquid coating (cat) terdiri dari
tiga jenis, yaitu binder, pigment, dan solvent. Tiga jenis bahan
tersebut diformulasikan sehingga
diperoleh bahan protective
berbentuk cair. Penambahan beberapa jenis additive dan
extender menyebabkan produk
mudah diterapkan, tahan
terhadap lingkungan dan
harganya terjangkau. Berikut penjelasan mengenai komponen cat :
Binder
Binder merupakan bahan cair
yang penting bagi formulasi cat karena sebagian besar cat mengandung bahan ini dan
jenis cat juga sering
ditentukan oleh jenis binder, seperti cat minyak, cat jenis
alkyd, cat jenis epoxy dan
lain-lain. Sebagian besar binder adalah suatu senyawa polimer yang berfungsi menentukan karakter dari lapisan cat.
Pigment
Pigment pada cat dasar
(primer coat) berfungsi
menghambat serangan korosi pada logam yang cara kerjanya bisa bersifat pasif, yaitu pigmen yang tidak bereaksi dengan lingkungan
akan membentuk suatu
senyawa kompleks dengan oksida logam sehingga terjadi suatu lapisan yang pasif. Pada cat akhir (top coat), pigmen pada umumnya berfungsi
sebagai bahan perupa
(decorative)
Solvent
Solvent adalah pelarut bagi cat
yang berfungsi mengatur
viskositas, melarutkan
polimer, dan memperbaiki sifat-sifat cair.
Aditive
Aditive adalah bahan yang
ditambahkan pada cat yang berfungsi untuk memperbaiki sifat-sifat cat, seperti mencegah
pengendapan pigmen (anti
settling agent), mencegah
terbentuknya kulit (anti
skinning), mencegah terjadinya
pemisah warna (anti floating
agent), mencegah terjadinya
keriput pada lapisan cat (anti
saging agent) dan lain-lain.
Extender
Extender adalah bahan yang
ditambahkan pada cat dengan maksud untuk mengurangi harga cat dan juga memperbaiki sifat-sifat cat. Bahan extender ini biasanya berbentuk padat yang membantu cara kerja pigmen,
misalnya senyawa CaCO3, talc,
China clay, barite, dan lain-lain.
2.4.2 Sistem Pelapisan Cat
Bagian yang terpenting pada sistem penanggulangan korosi dengan lapis lindung cat adalah pada proses persiapan permukaan baja yang akan dicat, karena
lebih dari 60% tingkat
keberhasilan sistem
penanggulangan korosi dengan bahan ini adalah terletak pada tingkat keberhasilan dan tingkat kekasaran permukaan baja. Cat paling mahal sekalipun tidak menjamin akan memberikan perlindungan korosi yang baik
apabila cara persiapan
permukaan tidak dilakukan dengan benar. Selain itu pemilihan jenis cat yang sesuai untuk lingkungannya merupakan factor yang penting pula ditinjau dari segi system proteksi dan pertimbangan ekonomi.
Jenis cat yang digunakan pada spesimen ada 2 tipe, yaitu:
Tabel 1 Pengapikasian cat pada spesimen
2.5 Laju Korosi
Laju korosi adalah tebal material yang hilang tiap satuan waktu yang disenabkan oleh adanya. Satuan laju korosi disini bermacam macam
sesuai satuan yang akan
digunakan.dengan mm/th (standar internasional) atau mill/year (mpy, British). (Supriyanto, 2007). Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan laju korosi pada logam, metode tersebut adalah kehilangan berat, mengukur dimensi dan densitas arus korosi. Pengujian laju korosi dengan sel 3 elektroda (pengujian laju korosi yang dipercepat) dengan polarisasi dari potensial korosi bebasnya dapat
dihitung dengan menggunakan
persamaan Faraday sebagai berikut:
CPR = K D n i a . . mmpy ………. (1) dengan:
K = Konstanta (0.129 untuk mpy, 0.00327 untuk mmpy)
a = Berat atom logam terkorosi (gram)
i = kerapatan arus (μA/cm2)
n = jumlah elektron valensi logam terkorosi
D = Densitas logam terkorosi (gram/cm3)
2.6 Sel 3 Elektroda
Sel tiga elektroda adalah perangkat laboratorium baku untuk penelitian kuantitatif terhadap sifat-sifat korosi
bahan-bahan. Sesungguhnya ini
merupakan versi yang sempurna dari sel korosi basah. Komponen sel 3
elektroda adalah sebagai berikut :
a. Elektroda kerja (working
electrode). Ini sebutan yang
diberikan kepada elektroda yang diteliti.
b. Elektroda pembantu (auxiliary
electrode). Sebutan ini
diberikan kepada elektroda kedua yang dimaksudkan khusus untuk mengangkut arus
dalam rangkaian yang
terbentuk dalam penelitian. c. Elektroda acuan. Elektroda ini
dimaksudkan sebagai titik dasar yang sangat mantap
untuk mengacukan
pengukuran-pengukuran
potensial elektroda kerja. Arus
yang mengalir melalui
elektroda ini harus
sekecil-kecilnya sehingga dapat
diabaikan.
Cat Tipe 1 (Top Coat Putih) Cat Tipe 2 (Top Coat Coklat) Coat Generic Type (Binder) Coat Generic Type (Binder) 1 st Coat (Primer) Zinc Ethyl Silicate 1 st Coat (Primer) Zinc Ethyl
Silicate 2 nd Coat (Tie-Coat) Epoxy 2 nd Coat (Tie-Coat) Epoxy
3 rd Coat
(Intermediete) Modified Epoxy
3 rd Coat
(Intermediete) - Top Coat (Finish Coat) Polyurethane Top Coat (Finish
Coat)
Glass Flake Epoxy
3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3.1 Pengujian Laju Korosi
Dalam penelitian ini tiap spesimen pada tiap jenis cat dilakukan 2 jenis cacat coating, yaitu 1 goresan dan 2 goresan
dan masing-masing dilakukan
pengulangan sebanyak 3 kali. Sehingga terdapat 12 jenis spesimen.
Dimensi goresan pada spesimen dapat dilihat pada Gambar 2. Kedalaman gores 2 mm dengan diameter endmill 3 mm. Proses pembuatan goresan dengan menggunakan mesin CNC.
Gambar 2 Dimensi Goresan pada
permukaan spesimen
Dari Gambar 2 tersebut, prosentase cacat coating terhadap seluruh permukaan spesimen dapat dihitung sebagai berikut:
L. Permukaan spesimen = 100 cm2
L. Permukaan cacat coating = 2.8 cm2
%cacat coating (1 gores) = = 2.8% %cacat coating(2 gores) =
= 5.6%
Pengujian laju korosi dengan
menggunakan metode elektrokimia
dengan sel 3 elektroda. Susunan alatnya dapat dilihat pada Gambar 3. Ketiga jenis elektroda terhubung pada potentiostat
yang kemudian juga terhubung pada komputer.
Gambar 3 Peralatan Elektrokimia dalam pengukuran laju korosi sel 3 elektroda Pada penelitian ini yang berperan menjadi elektroda kerja adalah spesimen uji, elektroda acuan adalah Ag/AgCl dan elektroda tambahan adalah platina dengan diameter 1 mm. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4. Elektrolit yang digunakan adalah NaCl dengan salinitas 35. Elektroda Kerja Elektroda Acuan Elektroda Tambahan Elektroda Kerja Elektroda Acuan Elektroda Tambahan
Gambar 4 Spesimen yang telah terhubung dengan potentiostat didalam larutan NaCl
Tabel 2 Data hasil pengujian dengan menggunakan sel 3 elektroda
Analisa laju korosi dibantu dengan menggunakan software Echem version 2.0. Output yang didapat dari Echem adalah berupa nilai V (tegangan listik) dan I (arus listrik). Kemudian arus yang didapat dibagi dengan luas permukaan spesimen sehingga di dapat nilai kerapatan arus. Setelah didapat nilai kerapatan arus, kemudian dijadikan dalam bentuk log. Kemudian dari nilai tegangan listrik (mV) dan log kerapatan
arus (µA/cm2) diplotkan seperti pada
pengeplotan Tafel. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5. Data yang digunakan adalah spesimen C1A (sistem coating 3 layer dengan 1 goresan)
Gambar 5 Grafik hasil analisis Tafel untuk spesimen C1A
Pada Gambar 5, terdapat dua garis melengkung yaitu daerah anodik dan daerah katodik. Pada kedua daerah ini dibuat trendline untuk mengetahui persamaan garisnya. Untuk daerah anodik
persamaan garisnya adalah y1 = - 1.8825x
– 2.4175 dan untuk daerah katodik
persamaan garisnya adalah y2 = 1.0263x -
0.22. Persamaan tersebut diperoleh dengan menggunakan Microsoft Excel. Trendline daerah anodik ditentukan pada daerah di mana arus turun tanpa naik lagi sedangkan trendline daerah katodik ditentukan pada daerah di mana arus naik tanpa turun lagi. Oleh karena laju oksidasi dan laju reduksi sama maka persamaan garis ini adalah ekivalen. Perpotongan garis terhadap sumbu y
dinyatakan sebagai Icorr sedangkan
perpotongan terhadap sumbu x
dinyatakan sebagai Ecorr. Nilai Icorr yang diperoleh untuk tiap spesimen dirata-rata
sehingga didapat Icorr rata-rata, kemudian
disubsitusikan pada persamaan (1) untuk mendapatkan nilai laju korosi.
Setelah dilakukan perhitungan Icorr dan
laju korosi pada semua spesimen, didapat hasil sebagai berikut:
Tabel 3 Hasil perhitungan laju korosi pada semua spesimen
Persentase kenaikan laju korosi pada tiap jenis coating adalah:
Untuk sistem coating 3 lapis:
= 30.17%
Untuk sistem coating 4 layer: =
=
x 100%
= 25.36%
Arus korosi dan laju korosi memiliki hubungan yang linear. Pada saat benda uji dimasukkan pada larutan elektrolit maka akan terjadi aliran elektron dari anoda ke katoda. Semakin banyak aliran elektron dari anoda ke katoda maka arus yang dihasilkan
menjadi lebih tinggi. Semakin tinggi arus yang dihasilkan maka laju korosi juga semakin tinggi.
3.2 Analisis foto SEM (Scanning Electron Microscope)
Mikroskop Pemindai Elektron (SEM) adalah jenis mikroskop elektron untuk memindai gambar permukaan suatu sample padat dengan menggunakan sinar elektron berenergi tinggi dalam pola pemindai pixel. Mikroskop Pemindai Elektron (SEM) menggunakan hamburan elektron dalam membentuk bayangan elektron berinteraksi dengan atom-atom yang membentuk sampel menghasilkan sinyal yang berisi informasi tentang topografi permukaan sampel, komposisi dan sifat-sifat lain seperti konduktivitas listrik. SEM menghasilkan bayangan dengan resolusi yang tinggi (< 5 nm), maksudnya adalah pada jarak yang sangat dekat tetap dapat menghasilkan perbesaran yang maksimal (hingga satu juta kali) tanpa memecah gambar. Jenis sinyal yang dihasilkan oleh SEM termasuk elektron sekunder, Elektron terhambur (BSE), karakteristik sinar-X, cahaya (cathodoliminescence), arus spesimen dan pancaran elektron.
Spesimen yang digunakan untuk foto SEM adalah diambil dari spesimen yang nilai laju korosinya paling besar untuk tiap jenis cat. Sehingga terdapat 2 buah spesimen yang
akan dilakukan pengamatan pada
permukaannya dengan menggunakan SEM, yaitu spesimen C2B dan P2C. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6. Pemilihan spesimen foto SEM didasarkan pada hasil laju korosi yang diperoleh dari perhitungan. Ukuran spesimen foto mikro adalah ± 3x2x1 cm agar muat pada chamber mesin foto SEM.
(a) C2B 500x (d) P2C 500x
(b) C2B 1000x (e) P2C 1000x
(c) C2B 2500x (f) P2C 2500x
Gambar 6 Morfologi permukaan spesimen daerah cacat coating yang terkorosi
Gambar 6 menunjukkan morfologi dari spesimen C2B dan P2C dengan menggunakan foto SEM dalam beberapa perbesaran. Nampak pada permukaan kedua spesimen belum terdapat indikasi
terjadinya korosi sumuran setelah
dilakukan pengujian laju korosi. Bila dilihat dari hasil laju korosi yang relatif sangat kecil, oleh sebab itu produk korosinya belum terlihat. Selain itu fungsi waktu juga mempengaruhi, semakin lama waktu pengamatan maka nilai laju korosinya akan semakin besar pula, selain itu produk korosi dapat diamati secara visual. Hal tersebut akan diikuti oleh adanya
perubahan morfologi permukaan,
perubahan morfologi tersebut bisa berupa lubang atau retakan. Secara umum, Gambar
6 menunjukkan bahwa morfologi
permukaan spesimen sudah tidak smooth, hal ini merupakan inisiasi timbulnya kerusakan pada permukaan akibat proses
korosi. Apabila proses ini dilanjutkan, semakin lama akan terlihat produk korosi yang lebih jelas.
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Nilai laju korosi untuk sistem coating 3 lapis dengan persentase cacat coating 2.8% (1 gores) adalah 0.001044 mmpy, untuk persentase coating sebesar 5.6% (2 gores) adalah 0.001495 mmpy, sedang nilai laju korosi untuk sistem coating 4 lapis dengan persentase cacat coating 2.8% (1 gores) adalah 0.000565 mmpy, untuk persentase cacat coating sebesar 5.6% adalah 0.000757 mmpy.
Untuk sistem coating 3 lapis, kenaikan cacat coating sebesar 50% nilai laju korosinya naik sebesar 30.17% sedang untuk sistem coating 4 lapis, kenaikan cacat coating sebesar 50% nilai laju korosinya naik sebesar 25.36%.
2. Berdasarkan hasil foto SEM (Scanning Electron Microscope), secara morfologi permukaan daerah cacat coating yang terkorosi sudah ada inisial korosi.
4.2 Saran
1. Untuk penelitian selanjutnya apabila menggunakan software Echem untuk perhitungan laju korosi, nilai scan rate bisa diperkecil, sekitar 0.1 mV/s.
2. Pada saat melakukan percobaan menggunakan sel 3 elektroda, usahakan jarak elektroda kerja dan
elektroda acuan tidak terlalu jauh dan pada jarak yang tetap namun tidak saling bersinggungan.
3. Untuk analisa yang lebih lengkap, dapat dilakukan foto SEM-EDX untuk mengetahui unsur-unsur yang ada dan XRD untuk mengetahui senyawa produk korosi.
4. Variasi cacat coating bisa
dibedakan bentuknya. 5. DAFTAR PUSTAKA
API . 2004. Spesification 5L Forth Second edition, Spesification for line pipe . Washington : API Published Service. ASTM .(2002). ASTM A370-02 Standart
Test Methods and Difinition For Mechanical Testing Of Steel Product.
Washington :API Published Service Callister, W. D. 2007. “Material Science and Engineering An Introduction 7ed”, Wiley. Ersandi, Nicky. 2009. Tugas Akhir. “Studi
Ekonomis Pengaruh Post Weld Heat Treatment terhadap Umur Pipa”. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Fansuri dan N. Martianingsih. 2011. “Modul Pelatihan Instrumentasi: Scanning Electron Microscope”. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Fontana, Mars G, 1986, Corrosion
Engineering Third Edition, New
York : Mc Graw- Hill.
Fu, A.Q and Y.F. Cheng. 2009. Jurnal. “Effect of Alternating Current on Corrosion of a Pipeline Steel in a Chloride-Containing
Carbonate/Bicarbonate Solution”.
Canada : University of Calgary.
http://id.wikipedia.org/wiki/Densitas-Logam http://corrosion-doctors.org
http://nhml.com/Scanning-Electron-Microscope
Kusumo, Eko. 2009. Tugas Akhir. “Studi
Pengaruh Scratch Permukaan
Terhadap Laju Korosi pada Pelat Baja Karbon Rendah”. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Nurdin, Isdiriani dkk. 2005. Jurnal. “Inhibisi Korosi Baja dalam Air
Kondensat Terkontaminasi CuCl2
Menggunakan Natrium Fosfat”.
Jakarta: LIPI.
Rahayu, Novita Dwi. 2010. Tugas Akhir. ”Studi Laju Korosi pada Pipa Bawah Laut API 5L Grade X65 dengan Variasi Kecepatan Media”. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Soegiono. 2006. Pipa Laut. Surabaya:
Airlangga University Press.
Supriyanto. 2007. Tugas Akhir. “Pengaruh Konsentrasi Larutan NaCl 2% dan 3,5% Terhadap Laju Korosi Pada Baja
Karbon Rendah”. Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Supomo, Heri 2003. Buku Ajar Korosi. Jurusan Teknik Perkapalan FTK – ITS Surabaya
Trethewey, K. R. & Chamberlain, J. 1991.
Korosi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Tarigan, P. 2007. Modul Materi Pelatihan
”Coating Inspector Muda”. Bandung:
PT. Corrosion Care Indonesia.
Zakharov, B. 1962. Heat Treatment of