BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Kajian Pustaka
1. Konsep Evaluasi Program a. Definisi Evaluasi
Secara teoritis evaluasi menurut Cronbach (1963), Alkin (1969) dan Stufflebeam (1971) dalam (Sudjana, 2006:19) adalah “kegiatan untuk mengumpulkan, memperoleh, dan menyediakan informasi bagi pembuatan keputusan.”
Evaluasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara sistematis dalam mencari suatu informasi yang bermanfaat untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan. Informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat yang selanjutnya digunakan dalam pengambilan sebuah keputusan.
Menurut Arikunto dan Safruddin (2009:4) program didefinisikan sebagai “suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang”.
Dalam konsep ini, terdapat tiga pengertian yang perlu ditekankan dalam menentukan suatu program, yakni:
1) Realisasi atau implementasi suatu kebijakan, 2) Terjadi dalam waktu yang relatif lama, dan
3) Terjadi dalam organisasi yang melibatkan orang banyak.
Sebuah program merupakan kegiatan yang berkesinambungan dan dapat berlangsung dalam kurun waktu relatif lama. Program merupakan sebuah sistem yang saling terkait satu sama lain dan saling menunjang dalam rangka mencapai suatu tujuan.
Menurut Cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971) dalam (Arikunto dan Safruddin, 2008:5), “evaluasi program merupakan upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan.” Dalam bidang pelatihan, Sudjana (2007:252) mengemukakan bahwa evaluasi program pelatihan adalah kegiatan yang teratur dan berkelanjutan dengan menggunakan prosedur ilmiah untuk memperoleh data yang berguna bagi pengambilan keputusan. Dengan demikian evaluasi program pelatihan merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan secara efektif untuk mencapai tujuan pelatihan yang diinginkan.
b. Tujuan Evaluasi Program
Menurut Atmodiwirio (2005: 270) evaluasi bertujuan untuk: “(a). Mendapatkan dan menganalisa informasi untuk mengetahui pencapaian tujuan jangka panjang dan jangka pendek. (b). Mengetahui pengaruh program pendidikan dan pelatihan terhadap efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas instansi peserta diklat”.
Adapun tujuan evaluasi program pelatihan menurut Sudjana (2007:254) adalah “untuk memperoleh data sebagai masukan bagi pengambilan keputusan mengenai program pelatihan.”
Dengan adanya tujuan evaluasi program seperti yang telah diuraikan diatas, diharapkan informasi atau data yang didapatkan berguna dan informasi tersebut dapat dianalisis sehingga memberikan pengaruh terhadap program yang telah dilaksanakan secara efektif dan efisien.
c. Manfaat Evaluasi Program
Wujud dari evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari evaluator untuk pengambilan keputusan (decision making). Arikunto dan Safruddin (2009;22) mengemukakan ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu:
1) Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan.
2) Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi sedikit).
3) Melanjutkan program, karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat.
4) Menyebarluaskan program (melaksanakan program di tempat-tempat lain atau mengulangi lagi program di lain waktu), karena program tersebut berhasil dengan baik maka sangat baik jika dilaksanakan lagi ditempat dan waktu yang lain.
d. Evaluator Program
Untuk melakukan evaluasi program dibutuhkan seorang evaluator. Tidak semua orang bisa menjadi seorang evaluator. Ada dua kemungkinan asal (dari mana) orang untuk menjadi evaluator program ditinjau dari program yang dievaluasi. Menentukan asal evaluator harus mempertimbangkan keterkaitan orang yang bersangkutan dengan program yang akan dievaluasi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut evaluator dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu (1) evaluator dalam, dan (2) evaluator luar. Tabel 2.1 Evaluator Program Evaluator Program Kelebihan Kekurangan Evaluator Dalam (Internal Evaluator) 1) Evaluator memahami betul program yang akan dievaluasi sehingga kekhawatiran untuk tidak atau kurang tepatnya sasaran tidak perlu ada. 2) Karena evaluator adalah
orang dalam,
pengambilan keputusan tidak perlu banyak mengeluarkan dana untuk membayar petugas evaluasi.
1) Adanya unsur
subjektivitas dari evaluator.
2) Karena sudah memahami seluk-beluk program, jika evaluator yang ditunjuk kurang sabar, kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa sehingga kurang cermat.
Evaluator Luar (External Evaluator)
1) Evaluator luar dapat bertindak secara objektif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil kesimpulan. Apapun hasil evaluasi, tidak akan ada respon emosional dari evaluator karena tidak ada keinginan untuk memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil. Kesimpulan yang dibuat akan lebih sesuai dengan keadaan dan kenyataan.
2) Seorang ahli yang dibayar, biasanya akan mempertahankan
kredibilitas
kemampuannya. Dengan begitu evaluator akan bekerja secara serius dan hati-hati.
1) Evaluator luar adalah orang baru, yang berusaha mengenal dan mempelajari seluk-beluk program tersebut setelah mendapat permintaan untuk mengevaluasi. Mungkin sekali pada
waktu mendapat
penjelasan atau mempelajari isi kebijakan, ada hal-hal yang kurang jelas.
Dampak dari
ketidakjelasan
pemahaman tersebut memungkinkan
kesimpulan yang diambil kurang tepat.
2) Pemborosan,
pengambilan keputusan harus mengeluarkan dana yang cukup banyak
untuk membayar
evaluator bebas. (Sumber: Arikunto dan Safruddin, 2010:24)
Tabel 2.2
Fokus Peranan Evaluasi berdasarkan Evaluator Internal dan Eksternal
Fokus Peranan Evaluator
Internal
Peranan Evaluator Eksternal
(1) (2) (3)
Tujuan Untuk membantu
keberhasilan program, dan atau untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan program pelatihan.
Untuk menguatkan nilai-nilai kegunaan program, dan untuk mengambil keputusan tentang program pelatihan.
Orientasi Mikro, perhatian terhadap proses unsur-unsur program dan hubungan internal, kepekaan terhadap
Makro, perhatian terhadap pengaruh umum program dan hubungan eksternal, peduli terhadap intensitas dan efektivitas program.
aktivitas dan isu-isu program.
Kepedulian Kegiatan dan
hubungannya dengan pencapaian hasil/tujuan, dan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana kegiatan/program dilaksanakan. Pencapaian hasil/tujuan, pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa kegiatan/program dilakukan.
Bias Rekomendasi tentang
program evaluasi dipengaruhi keterlibatan pribadi evaluator dalam program.
Diasumsikan tidak berpihak tetapi proses negosiasi dapat mengarah pada pemberian rekomendasi terhadap program.
Penghubung Penyelenggara atau pengelola program
Pusat pemantau program atau sponsor, pejabat dari luar. Keterlibatan Berkelanjutan di mana
program dilaksanakan
Pusat pemantau program atau sponsor, pejabat dari luar Penerima hasil
evaluasi
Pengelola program dan pelaksana
Sponsor program atau lembaga penyandang dana.
Kriteria Kegunaan Validitas, objektivitas. Pelaporan Secara lisan, catatan
tertulis dan bukan laporan teknis
Secara tertulis, naratif dan teknis.
Peranan Sebagai fasilitator program
Sebagai auditor program
Pengaruh Tergantung pada
komitmen pengelola dan pelaksana program, serta terhadap bagian-bagian program.
Tergantung pada kekuasaan dan penghubung, evaluasi keseluruhan program.
Data Sebagian besar adalah kualitatif dan bermuatan keputusan.
Sebagian besar kuantitatif dan deskriptif.
Proteksi Menjaga originalitas hasil evaluasi dan tidak diplagiat orang.
Menjaga plagiat dengan sanksi undang-undang.
(Sumber: Dimodifikasi dari Craig Gjerde dalam Alan B. Knox (1982) dalam Sudjana (2008: 238))
Dalam tabel di atas tergambar dimensi-dimensi peranan evaluator yang dapat dibandingkan antara evaluator dari dalam dan evaluator
meningkatkan wawasan dan pemahaman dalam proses evaluasi program.
Dalam praktek evaluasi program, sering terjadi kombinasi antara peranan evaluator dari dalam dan evaluator dari luar yang menyebabkan proses evaluasi lebih akurat dan memuaskan karena nilai-nilai kelebihan dari kedua peranan evaluator tersebut digunakan dalam evaluasi program.
e. Model-model Evaluasi Program Pelatihan
Ada beberapa ahli evaluasi program yang dikenal sebagai penemu model evaluasi program adalah Stufflebeam, Metfessel, Michael Scriven, Stake, dan Glaser. Kaufman dan Thomas dalam (Arikunto dan Safruddin, 2009:40) membedakan model evaluasi menjadi tujuh, yaitu:
1) Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler. 2) Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven.
3) Formatif Summatif Evaluation Model, dikembangkan oleh Michael Scriven.
4) Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake..
5) CSE-UCLA Evaluation Model, menekankan pada “kapan” evaluasi dilakukan.
6) Discrepancy Model, yang dikembangkan oleh Provus
Keseluruhan model evaluasi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Goal Oriented Evaluation Model
Goal Oriented Evaluation Model dikembangkan oleh Tyler. Model ini merupakan model yang muncul paling awal. Yang menjadi objek pengamatan pada model ini adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan, terus-menerus, mencek seberapa jauh tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam proses pelaksanaan program.
2) Goal Free Evaluation Model
Model evaluasi yang dikembangkan oleh Michael Scriven ini dapat dikatakan berlawanan dengan model pertama yang dikembangkan oleh Tyler. Jika dalam model yang dikembangkan oleh Tyler, evaluator terus-menerus memantau tujuan, yaitu sejak awal proses, terus melihat sejauh mana tujuan tersebut sudah dapat dicapai. Menurut Michael Scriven dalam Arikunto dan Safruddin (2009:41), dalam melaksanakan evaluasi program evaluator tidak perlu memerhatikan apa yang menjadi tujuan program. Yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya program, dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi, baik hal-hal positif (yaitu
hal yang diharapkan) maupun hal-hal negatif (yang sebetulnya memang tidak diharapkan).
Alasan mengapa tujuan program tidak perlu diperhatikan karena ada kemungkinan evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan khusus. Jika masing-masing tujuan khusus tercapai, artinya terpenuhi dalam penampilan, tetapi evaluator lupa memerhatikan seberapa jauh masing-masing penampilan tersebut mendukung penampilan akhir yang diharapkan oleh tujuan umum maka akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak banyak manfaatnya.
Dari uraian ini jelaslah bahwa yang dimaksud dengan “evaluasi lepas dari tujuan” dalam model ini bukannya lepas sama sekali dari tujuan, tetapi hanya lepas dari tujuan khusus. Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh program, bukan secara rinci per komponen.
3) Formatif-Summatif Evaluation Model
Selain model “evaluasi lepas dari tujuan”, Michael Scriven juga mengembangkan model lain, yaitu model formatif-summatif. Model ini menunjuk adanya tahapan dan lingkup objek yang dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih berjalan (disebut evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai atau berakhir (disebut evaluasi sumatif).
Tujuan evaluasi formatif berbeda dengan tujuan evaluasi sumatif. Model yang dikemukakan oleh Michael Scriven ini menunjukkan tentang “apa, kapan, dan tujuan” evaluasi tersebut dilaksanakan.
Evaluasi formatif secara prinsip merupakan evaluasi yang dilaksanakan ketika program masih berlangsung atau ketika program masih dekat dengan permulaan kegiatan. Tujuan dari evaluasi formatif adalah mengetahui seberapa jauh program yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus mengidentifikaasi hambatan. Dengan diketahuinya hambatan dan hal-hal yang menyebabkan program tidak lancar, pengambil keputusan secara dini dapat mengadakan perbaikan yang mendukung kelancaran pencapaian tujuan program.
Evaluasi sumatif dilakukan setelah program berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatif adalah untuk mengukur ketercapaian program.
4) Countenance Evaluation Model
Model ini dikembangkan oleh Stake.Menurut ulasan tambahan yang diberikan oleh Fernandes (1984), model Stake menekankan pada adanya pelaksanaan dua hal pokok, yaitu (1) deskripsi (description) dan (2) pertimbangan (judgemnts); serta membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi program, yaitu (1) anteseden (antecedents/context), (2) transaksi
(transaction/process), dan (3) keluaran (output-outcome). Oleh Stake, model evaluasi yang diajukan dalam bentuk diagram, menggambarkan deskripsi dan tahapan seperti berikut :
Rational Intens Observation Standars Judgment
faufua Antecendents Transaction Outcomes
Description matrix Judgement matrix Gambar 2.1
Evaluasi Model Stake
(Sumber : Arikunto dan Safruddin (2010 : 43))
Tiga hal yang dituliskan di antara dua diagram, menunjukkan objek atau sasaran evaluasi. Dalam setiap program yang dievaluasi, evaluator harus mampu mengindentifikasi tiga hal, yaitu (1) anteseden-yang diartikan sebagai konteks- (2) transaksi-yang diartikan sebagai proses-, dan (3) outcomes-transaksi-yang diartikan sebagai hasil. Selanjutnya, kedua matriks yang digambarkan sebagai deskripsi dan pertimbangan, menunjukkan langkah-langkah yang terjadi selama proses evaluasi.
Matriks pertama, yaitu deskripsi, berkaitan atau menyangkut dua hal yang menunjukkan posisi sesuatu (yang menjadi sasaran evaluasi), yaitu apa maksud/tujuan yang diharapkan oleh program, dan pengamatan/akibat, atau apa yang sesungguhnya
terjadi atau apa yang betul-betul terjadi. Selanjutnya evaluator mengikuti matriks kedua, yang menunjukkan langkah pertimbangan, yang dalam langkah tersebut mengacu pada standar.
Menurut Stake dalam Arikunto dan Safruddin (2010 : 44), ketika evaluator tengah mempertimbangkan program pendidikan, mereka mau tidak mau harus melakukan dua perbandingan, yaitu:
a) Membandingkan kondisi hasil evaluasi program tertentu dengan yang terjadi di program lain, dengan objek sasaran yang sama;
b) Membandingkan kondisi hasil pelaksanaan program dengan standar yang diperuntukkan bagi program yang bersangkutan, didasarkan pada tujuan yang akan dicapai.
5) CSE-UCLA Evaluasi Model
CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan, yaitu CSE dan UCLA. CSE merupakan singkatan dari Center for Study of Evaluation, sedangkan UCLA merupakan singkatan dari University of California in Los Angeles. Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap yang dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil, dan dampak. Fernandes (1984) dalam (Arikunto dan Safruddin, 2010 : 44) memberikan penjelasan tentang model CSE-UCLA menjadi
empat tahap yaitu (1) needs assessment, (2) program planning, (3) formative evaluation dan (4) summative evaluation.
Needs Program Formative Summative
Assessment Planning Evaluation Evaluation
(1) (2) (3) (4) Gambar 2.2
Tahap-tahap Evaluasi Model CSE – UCLA (Sumber : Arikunto dan Safruddin (2010 : 44)) Keterangan:
1. CSE Model: Needs Assessment
Dalam tahap ini evaluator memusatkan perhatian pada penentuan masalah.
Pertanyaan yang diajukan:
a. Hal-hal apakah yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan keberadaan program?
b. Kebutuhan apakah yang terpenuhi sehubungan dengan adanya pelaksanaan program ini?
c. Tujuan jangka panjang apakah yang dapat dicapai melalui program ini?
2. CSE Model: Program Planning
Dalam tahap kedua dari CSE model ini evaluator mengumpulkan data yang terkait langsung dengan pembelajaran dan mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang telah diidentifikasi pada tahap kesatu. Dalam tahap perencanaan ini program dievaluasi dengan cermat untuk mengetahui apakah program rencana telah disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan. Evaluasi tahap ini tidak lepas dari tujuan yang telah dirumuskan.
3. CSE Model: Formative Evaluation
Dalam tahap ketiga ini evaluator memusatkan perhatian pada keterlaksanaan program. Dengan demikian, evaluator diharapkan betul-betul terlibat dalam program karena harus mengumpulkan data dan berbagai informasi dari pengembang program.
4. CSE Model: Summative Evaluation
Dalam tahap keempat, yaitu evaluasi sumatif, para evaluator diharapkan dapat mengumpulkan semua data tentang hasil dan dampak dari program. Melalui evaluasi sumatif ini, diharapkan dapat diketahui apakah tujuan
yang dirumuskan untuk program sudah tercapai, dan jika belum dicari bagian mana yang belum dan apa penyebabnya.
6) Discrepancy Model
Kata discrepancy adalah istilah bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kesenjangan”. Model yang dikembangkan oleh Malcolm provus ini merupakan model yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di dalam pelaksanaan program. Evaluasi program yang dilakukan oleh evaluator mengukur besarnya kesenjangan yang ada di setiap komponen.
f. Kajian Utama CIPP (Context, Input, Process, Product)
Model evaluasi ini merupakan model yang paling banyak dikenal dan diterapkan oleh para evaluator. Model CIPP ini dikembangkan oleh Stufflebeam, dkk. (1967) di Ohio State University. CIPP yang merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu:
Context evaluation : evaluasi terhadap konteks Input evaluation : evaluasi terhadap masukan Process evaluation : evaluasi terhadap proses Product evaluation : evaluasi terhadap hasil
Keempat kata yang disebutkan dalam singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari sebuah program kegiatan. Dengan kata lain, model CIPP adalah model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem. Dengan demikian, jika tim evaluator sudah menentukan model CIPP sebagai model yang akan digunakan untuk mengevaluasi
program yang ditugaskan maka mau tidak mau mereka harus menganalisis program tersebut berdasarkan komponen-komponennya.
Seorang ahli evaluasi dari University of Washington bernama Gilbert Sax (1980) dalam (Arikunto dan Safruddin, 2010: 48) memberikan arahan kepada evaluator tentang bagaimana mempelajari tiap-tiap komponen yang ada dalam setiap program yang dievaluasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan.
1) Evaluasi Terhadap Konteks (Context Evaluation)
Evaluasi konteks menurut Arikunto dan Safruddin (2010 : 46) adalah upaya menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani,dan tujuan proyek. Ada empat pertanyaan yang dapat diajukan sehubungan dengan evaluasi konteks, yang dikemukakan oleh Arikunto dan Safruddin (2010 : 46) yaitu sebagai berikut:
(1) Keperluan apa saja yang belum terpenuhi oleh program? (2) Tujuan pengembangan apakah yang belum dapat tercapai
oleh program?
(3) Tujuan pengembangan apakah yang dapat membantu mengembangkan masyarakat?
(4) Tujuan-tujuan mana sajakah yang paling mudah dicapai?
Menurut Stufflebeam (Wirawan, 2011 : 92) evaluasi konteks untuk menjawab pertanyaan : Apa yang perlu
dilakukan? (Whats needs to be done?). Evaluasi ini mengidentifikasikan dan menilai kebutuhan-kebutuhan yang mendasari disusunya suatu program.
Gambar 2.3
Model Evaluasi Context, Input, Process, Product (CIPP) (Sumber : Wirawan (2011 : 92)
Pada komponen konteks ada beberapa komponen yang harus dilakukan diantaranya: merinci dan menggambarkan sebuah kebutuhan dan tujuan dari pelatihan.
a) Identifikasi dan Analisis Kebutuhan
Langkah awal melakuka penyelenggaraan pelatihan diawali dengan identifikasi dan analisis kebutuhan. Langkah awal ini berpengaruh pada langkah-langkah berikutnya Context Evaluation
Berupaya untuk mencari jawaban atas pertanyaan : Apa yang perlu dilakukan? Waktu pelaksanaan : Sebelum program diterima Keputusan : Perencanaan Program. Input Evaluation Berupaya mencari jawaban atas pertanyaan : Apa yang harus dilakukan? Waktu pelaksanaan : Sebelum program dimulai Keputusan : Penstrukturan program. Process Evaluation Berupaya mencari jawaban atas pertanyaan : Apakah program sedang dilaksanakan? Waktu pelaksanaan : Ketika program sedang dilaksanakan Keputusan : Pelaksanaan. Product Evaluation Berupaya mencari jawaban atas pertanyaan : Apakah program sukses? Waktu pelaksanaan : Ketika program selesai Keputusan: resikel: Ya atau Tidak program harus diresikel.
karena identifikasi dan analisis kebutuhan ini menjadi dasar penyusunan rencana penyelenggaraan pelatihan.
Menurut Fauzi (2011 : 42), kata “identifikasi” berasal dari bahasa Inggris, to identify sebagai kata kerja dan identification sebagai kata benda. Secara sederhana artinya “mengenali”, sehingga identifikasi kebutuhan pelatihan dapat diartikan sebagai mengenali kebutuhan pelatihan, seseorang, sekelompok orang atau masyarakat. Namun mengenali dalam hal ini sekedar mengetahui kebutuhan pelatihan, akan tetapi memiliki konsekuensi untuk menindak lanjuti kebutuhan tersebut ke dalam rancangan pelatihan.
Kebutuhan adalah suatu keadaan atau situasi yang didalamnya terdapat sesuatu yang perlu atau ingin dipenuhi. Sesuatu yang ingin dipenuhi itu dianggap penting, perlu atau harus segera dipenuhi, (Morris, dkk dalam The Amerika Heritage Dictionary (1976 :878) dikutip oleh Fauzi (2011 : 43)).
Menurut Papu (2004) dalam (Fauzi, 2011 : 45) secara umum analisis kebutuhan pelatihan didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan dan analisis data dalam rangka mengidentifikasi bidang-bidang atau faktor-faktor apa saja yang ada di dalam perusahaan/orgranisasi yang perlu ditingkatkan atau diperbaiki agar kinerja pegawai dan
produktifitas perusahaan/organisasi menjadi meningkat. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh data akurat tentang apakah ada kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan. Jadi, pada prinsipnya prose identifikasi dan analisis kebutuhan pelatihan adalah melakukan pengkajian tentang ada tidaknya kesenjangan dalam tingkat penampilan kerja yang dicapai atau yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang dengan penampilan kerja yang seharusnya dilakukan merupakan ketentuan penampilan kerja (standar).
b) Sumber Data dan InformasiIidentifikasi Kebutuhan
Identifikasi kebutuhan pelatihan dilakukan untuk mendapatkan masukan tentang kondisi penampilan kerja karyawan di suatu lembaga/organisasi serta kompetensi standar yang seharusnya dilakukan. Menurut Fauzi (2011 : 52) sumber data dan informasi identifikasi kebutuhan terdiri dari:
(1) Obyek Identifikasi Kebutuhan. Ini terdiri dari data dan informasi yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan (bila ada) dan aturan tata laksana kerja yang memiliki potensi menimbulkan kesenjangan serta hasil kerja. Data dan informasi ini biasanya diperoleh antara lain dari: peraturan atau perundang-undangan yang
dikeluarkan oleh pemerintah maupun aturan formal yang ditetapkan oleh lembaga/organisasi itu sendiri.
(2) Subyek Identifikasi Kebutuhan. Ini terdiri dari pihak-pihak yang dapat memberi data dan informasi tentang kesenjangan atau masalah yang ada serta harapan pemecahannya melalui pelatihan.
c) Merumuskan Tujuan Pelatihan
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan perumusan tujuan menurut Fauzi (2011 : 63) yaitu yang pertama dasar perumusan tujuan, kegiatan ini diawali dengan merumuskan secara tepat dan benar kesenjangan kinerja yang terjadi, dalam bentuk kesenjangan pengetahuan, sikap dan keterampilan, agar jelas terlihat kemampuan yang masih harus ditingkatkan. Berdasarkan rumusan kesenjangan tersebut dapat dirumuskan pula tujuan pelatihan secara jelas, terukur dan dapat dicapai. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sumber perumusan tujuan adalah hasil identifikasi dan analisis kebutuhan. Tujuan pelatihan dirumuskan dalam tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum menggambarkan tentang tujuan yang ingin dicapai pada akhir pelatihan, sedangkan tujuan khusus menguraikan secara lebih spesifik, tujuan yang ingin dicapai dalam upaya tercapainya tujuan umum pelatihan. Yang kedua merumuskan tujuan,
tujuan pelatihan merupakan suatu rumusan pernyataan yang mengidentifikasi secara jelas dan tepat. Tujuan pelatihan dirumuskan dalam bentuk kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta setelah selesai mengikuti program pelatihan. Makin jelas dan makin tepat rumusan tujuan pelatihan tersebut makin mudah untuk melakukan evaluasi, (Fauzi, 2011 : 65).
Mager (dalam Sudjana, 2007) yang dikutip oleh Fauzi (2011 : 66) cara merumuskan tujuan adalah sebagai berikut: (1) Tujuan harus spesifik dan dinyatakan dalam bentuk
kelakuan yang dapat diamati dan diukur, hingga manakah tujuan itu tercapai.
(2) Harus dinyatakan dalam kondisi apa tujuan itu dicapai, misalnya apakah mengetik dengan menggunakan mesin tik atau program komputer.
(3) Harus ditekankan kriteria tingkat keberhasilan yang harus dicapai oleh peserta pelatihan.
(4) Dalam perumusan tujuan hendaknya digunakan kata kerja yang menunjukkan apa yang dapat dilakukan peserta setelah mengikuti kegiatan pelatihan. Kata kerja tersebut harus menunjukkan bentuk kelakuan nyata yang dapat diamati bahkan diukur kebenarannya. Misalnya, dapat menjelaskan, dapat mengerjakan, dapat menghasilkan dan lain-lain.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dalam menyusun dan merumuskan tujuan pelatihan, sama halnya dengan menyusun kegiatan pembelajaran dapat disusun sebagai berikut: a. Tujuan Pelatihan Umum, merupakan rumusan tujuan pelatihan yang bersifat umum yang diharapkan mampu untuk memberikan kontribusi pencapaian
tujuan lembaga atau tujuan instansi, b. Tujuan Pelatihan Khusus, perumusan tujuan khusu ini sering pula disebut tujuan kurikuler, yaitu merupakan rumusan tujuan pelatihan yang bersifat spesifik yang perlu dicapai setelah menyelesaikan seluruh pokok bahasan atau materi pelatihan. Rumusan tujuan pelatihan khusus lebih menekankan pada perubahan perilaku yang dapat diobservasi setelah mengikuti pelatihan dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan “kompetensi” yang diharapkan dalam menjalankan tugas dan fungsi sosial peserta pelatihan, c. Tujuan Pokok Bahasan/Sub Pokok Bahasan, merupakan rincian rumusan tujuan pelatihan berdasarkan pokok-pokok bahasan yang ada dalam upaya mencapai tujuan pelatihan khusus dan tujuan pelatihan umum.
2) Evaluasi Terhadap Masukan (Input Evaluation)
Evaluasi masukan merupakan tahap kedua dari model CIPP. Evaluasi masukan menunjukkan adanya kesiapan awal sebuah program untuk memetakan kemampuan apa saja yang dimiliki untuk berlangsungnya sebuah proses. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk program yang menyangkut masukan mengarah pada “pemecahan masalah” yang mendorong diselenggarakannya program yang bersangkutan. Oleh karena itu masukan meliputi: sumber daya manusia,
sumber daya uang, sumber daya peralatan, dan sumber daya yang lainnya.
Para pengambil keputusan memakai evaluasi masukan dalam memilih di antara rencana-rencana yang ada, menyusun proposal pendanaan, alokasi sumber-sumber, menempatkan staf, menskedul pekerjaan, menilai rancana-rencana aktivitas, dan penganggaran.
Dalam komponen evaluasi masukan ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan, menurut Sudjana (2007 : 266) salah satu diantaranya adalah masukan sarana (instrumental input) terdiri dari kurikulum atau program pembelajaran, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, serta biaya. Kurikulum atau program pembelajaran mencakup tujuan pembelajaran, materi (bahan) pembelajaran, metode teknik dan media pembelajaran, serta alat evaluasi hasil belajar. Tujuan pembelajaran berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pelatihan dan atau kebutuhan belajar. Materi pembelajaran terdiri atas bahan-bahan yang disusun secara sistemik dan sistematik serta disediakan untuk dipelajari oleh peserta pelatihan sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Metode, teknik dan media pembelajaran digunakan dalam strategi pembelajaranuntuk membantu peserta pelatihan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Alat evaluasi adalah instrumen, berupa tes atau
soal-soal ujian, untuk mengukur sejauhmana perubahan perilaku peserta pelatihan setelah mengalami pembelajaran dibandingkan sebelum mengikuti pembelajaran.
Pelatih juga memiliki kemahiran dalam manajemen pembelajaran. Pelatih dapat terdiri atas tutor, pamong belajar, pelatih/widyaiswara/instruktur, penyuluh, pengampu, dan lain sebagainya. Grotelueschen (1976) dalam Sudjana (2007 : 266) memaparkan bahwa aspek-aspek pelatih yang dievaluasi adalah keterlibatannya dalam program dan penampilannya dalam proses pembelajaran.
Adapun evaluasi pelatih yang harus diperhatikan menurut Fauzi (2011 : 168) menyangkut: penguasaan dan pemahaman materi pelatihan; kesesuaian materi dengan topik bahasan yang disampaikan; ketepatan metode dan media yang digunakan; penampilan; penggunaan bahasa; kemampuan melakukan komunikasi dan interaksi secara efektif dengan peserta; keterampilan memfasilitasi;hubungan antar fasilitator dan pengelolaan proses belajar.
Sarana dan prasarana pembelajaran terdiri atas lokasi pembelajaran, gedung, dan perlengkapan pembelajaran (termasuk didalamnya adalah meja, kursi dan mebeler), laboratorium, dan alat-alat bantu pembelajaran seperti papan tulis, alat tulis, buku, OHP dan lain sebagainya. Sarana dan
prasarana serta alat bantu pelatihan perlu dievaluasi tentang ketersediannya, kuantitas dan kualitasnya, kecocokannya dengan pembelajaran, serta pengembangan pemeliharaannya. Evaluasi pembiayaan berkaitan dengan sumber-sumber dana yang tersedia atau yang dapat disediakan, anggaran dan pengelolaan pembiayaan.
3) Evaluasi Terhadap Proses (Process Evaluation)
Evaluasi proses dalam model CIPP menunjukkan pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggungjawab program, “kapan” (when) kegiatan akan selesai. Evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Stufflebeam dalam (Arikunto dan Safruddin, 2010 : 47) mengusulkan pertanyaan-pertanyaan untuk evaluasi proses antara lain:
(1) Apakah pelaksanaan program sesuai dengan jadwal? (2) Apakah staf yang terlibat di dalam pelaksanaan program
akan sanggup menangani kegiatan selama program berlangsung dan kemungkinan jika dilanjutkan?
(3) Apakah sarana dan prasarana yang disediakan dimanfaatkan secara maksimal?
(4) Hambatan-hambatan apa saja yang dijumpai selama pelaksanaan program dan kemungkinan jika program dilanjutkan?
Evaluasi proses memonitor, mendokumentasikan, dan menilai aktivitas program. Evaluasi proses ini menyangkut bagaimana proses pelaksanaan pelatihan yang sebelumnya telah disiapkan oleh panitia penyelenggaraan. Dalam melakukan evaluasi proses ini pihak penyelenggaraan sebaiknya sudah mempersiapkan alat evaluasi yang cocok untuk melakukan penilaian dari berbagai aspek atau komponen. Menurut Fauzi (2011 : 167) dalam evaluasi proses ada beberapa komponen atau aspek yang harus diperhatikan diantaranya: a. Evaluasi Peserta menyangkut pemahaman materi, pasrtisipasi kelas, kedisiplinan, ketertiban, kerjasama, prakarsa, perasaan peserta, hubungan dengan fasilitator dan hubungan dengan peserta, komunikasi, partisipasi, siapa saja peserta yang dominan, kurang aktif dan kurang berpasrtisipasi, b. Evaluasi fasilitator, menyangkut: penguasaan dan pemahaman materi pelatihan; kesesuaian materi dengan topik bahasan yang disampaikan; ketepatan metode dan media yang digunakan; penampilan; penggunaan bahasa; kemampuan melakukan komunikasi dan interaksi secara efektif dengan peserta; keterampilan memfasilitasi;
hubungan antar fasilitator dan pengelolaan proses belajar, c. Evaluasi penyelenggaraan, menyangkut kebersihan ruang pelatihan, akomodasi dan konsumsi, dan pelayanan panitia. 4) Evaluasi Produk atau Hasil (Product Evaluation)
Evaluasi produk merupakan tahap terakhir dari serangkaian evaluasi program. Evaluasi produk atau hasil diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan perubahan yang terjadi pada masukan setelah melalui sebuah proses dalam suatu program. Menurut Arikunto dan Safruddin (2010 : 47) pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam evaluasi produk atau hasil antara lain:
(1) Apakah tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai? (2) Pertanyaan-pertanyaan apakah yang mungkin
dirumuskan berkaitan antara rincian proses dengan pencapaian tujuan?
(3) Dalam hal-hal apakah berbagai kebutuhan sudah terpenuhi?
Wirawan (2007 : 94) mengemukakan bahwa evaluasi ini berupaya mengidentifikasi dan mengakses keluaran dan manfaat, baik yang direncanakan atau tidak direncankan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya untuk membantu staf menjaga upaya memfokuskan pada mencapai manfaat yang penting dan akhirnya untuk membantu
kelompok-kelompok lebih luas mengukur kesuksesan upaya dalam mencapai kebutuhan-kebutuhan yang ditargetkan. Adapun pendapat menurut Sudjana (2007 : 269) bahwa kelauaran yang dievaluasi adalah kuantitas dan kualitas lulusan program pelatihan setelah mengalami proses pembelajaran. Kuantitas adalah jumlah lulusan yang berhasil menyelesaikan proses pembelajaran dalam program pelatihan. Kualitas adalah perubahan tingkah laku peserta pelatihan atau lulusan meliputi: aspek pengetahuan, aspek sikap dan aspek keterampilan.
g. Teknik-teknik Pengumpulan Data dalam Evaluasi Program Data-data dikumpulkan dengan menggunakan teknik evaluasi program. Teknik-teknik dalam evaluasi program terdiri dari kuesioner atau angket (questionaire), wawancara (interview), pengamatan (observation), dan beberapa teknik evaluasi. Berikut penjelasan mengenai teknik-teknik evaluasi program:
1) Kuesioner atau Angket (Questionqire)
Menurut Babbie (1986: 558) dalam (Sudjana, 2007: 313) kuesioner adalah alat pengumpulan data secara tertulis yang berisi daftar pertanyaan (questions) atau pernyataan (statement) yang disusun secara khusus dan digunakan untuk menggali dan menghimpun keterangan dan atau informasi sebagaimana dibutuhkan dan cocok untuk dianalisis.
Kuesioner, menurut jenisnya, dapat dibagi ke dalam kuesioner tertutup, kuesioner terbuka, dan kuesioner gabungan (tertutup dan terbuka).
a) Kuesioner tertutup terdiri atas stem (pertanyaan dan/atau pernyataan) yang jawabannya telah disediakan sebagai pilihan (option) jawaban pada setiap pertanyaan atau pernyataan. Responden dapat memilih alternatif jawaban yang sesuai dengan pendapat dan kehendaknya. Kelemahan jenis kuesioner tertutup adalah bahwa pilihan jawaban dapat membatasi kebebasan responden. Responden harus memilih jawaban-jawaban tertentu yang telah disediakan.
b) Kuesioner terbuka terdiri atas pertanyaan atau pernyataan yang memberi kebebasan kepada responden untuk mengemukakan berbagai alternatif jawaban menurut pikiran dan cara responden dalam mengemukakan jawaban masing-masing.
c) Kuesioner gabungan (tertutup dan terbuka) terdiri atas pertanyaan atau pernyataan yang mengkombinasikan jawaban-jawaban yang telah disediakan dan harus dipilih, serta jawaban bebas.
Kuesioner yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Stem (pertanyaan atau pernyataan) ditulis dengan menggunakan kata-kata, istilah, atau kalimat yang jelas, tegas, sederhana, sopan, dan mudah dimengerti oleh responden.
b) Setiap stem dikemukakan secara khusus, mengandung satu pengertian sehingga tidak rancu bagi responden.
c) Setiap pertanyaan atau pernyataan tidak mengandung unsur sugesti sehingga responden seakan-akan merasa diarahkan untuk memilih suatu jawaban tertentu.
d) Option (pilihan jawaban) dikemukakan dengan tegas, mengandung daya pembeda yang jelas antara satu pilihan jawaban dengan pilihan jawaban yang lain, setiap pilihan jawaban berdekatan atau serumpun dan homogen.
e) Format dan isi kuesioner menarik perhatian responden. Kuesioner memiliki keunggulan dan kelemahan. Adapun keunggulan dari kuesioner yaitu:
a) Penggunaan kuesioner menghemat biaya pengumpulan data apabila dibandingkan dengan teknik interview terhadap responden yang tersebar luas dan jumlahnya.
b) Menghemat waktu karena kuesioner dapat disebarkan kepada orang banyak secara serempak.
c) Kuesioner dapat diisi oleh responden sesuai dengan waktu yang disediakan bagi mereka.
d) Kerahasiaan jawaban responden dapat terjaga dengan baik. e) Kata dan istilah yang digunakan adalah seragam untuk semua
responden.
f) Tidak terdapat bias yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan diri para evaluator yang menyebarkan kuesioner. g) Responden yang dikirimi kuesioner melalui surat dapat
memberikan informasi yang akurat dengan mencari sumber informasi lain sebelum menjawab pertanyaan secara tertulis. Sebaliknya, kuesioner mempunyai beberapa kelemahan yaitu: a) Cara mengumpulkan data tidak fleksibel.
b) Respon terhadap kuesioner rata-rata rendah c) Perilaku hanya diungkapkan dengan kata-kata. d) Tidak dapat mengontrol lingkungan.
e) Tidak dapat mengontrol ketepatan urutan pertanyaan. f) Banyak pertanyaan yang mungkin tidak dijawab.
g) Tidak dapat menghimpun jawaban spontan dari responden. h) Tidak dapat menjamin ketepatan alamat responden.
i) Tidak dapat mengontrol ketepatan waktu pengembalian kuesioner dari responden.
j) Tidak dapat menggunakan format kuesioner yang rumit. k) Kemungkinan terjadinya penyimpangan sampel.
2) Wawanacara (interview)
Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui komunikasi langsung (tatap muka) antara pihak penanya (interviewer) dengan pihak yang ditanya atau penjawab (interviewee). Penanya (interviewer) melakukan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide). Kegiatan wawancara melibatkan empat komponen yaitu isi pertanyaan, pewawancara, responden, dan situasi wawancara. Isi
pertanyaan yang dimuat dalam pedoman wawancara berisi sejumlah daftar yang akan disampaikan langsung kepada responden.
Dalam melakukan wawancara, pewawancara atau penanya, perlu memiliki karakteristik sosial yang dapat menarik perhatian dan minat responden, memiliki reputasi menurut pandangan responden, dan memiliki keterampilan berkomunikasi dan memotivasi, nserta dapat menumbuhkan rasa aman bagi responden.Penanya harus perlu memahami kemampuan responden dalam menangkap pertanyaan dan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh penanya. Penanya perlu menggunakan istilah yang dapat dipahami oleh responden.
Menurut Sudjana, (2007 : 325) ada yang perlu diperhatikan oleh penanya atau pewawancara dalam pelaksanaan wawancara yaitu:
a) Persiapan
Dalam tahap persiapan, penanya harus memahami dan menguasai pedoman wawancara, mencatat pokok-pokok pertanyaaan dengan baik, sehingga pada waktu wawancara penanya tidak membacakan daftar pertanyaan kepada responden. Penanya perlu mengenal pribadi responden, perlu disiapkan pula jumlah responden yang akan diwawancarai, dan dengan siapa penanya akan mengadakan kunjungan kepada
responden. Kegiatan teknis administratif pun perlu dipersiapkan oleh pengelola atau penanya seperti penjadwalan, pemberitahuan kepada calon responden, alat perlengkapan yang diperlukan, dan perizinan.
b) Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan, penanya akan melakukan dua kegiatan yaitu:
(1) Memperkenalkan diri kepada responden dan diikuti dengan menjelaskan maksud kunjungan kepada responden.
(2) Pada saat mengajukan pertanyaan, penanya perlu menggunakan urutan pokok-pokok pertanyaan melalui obrolan yang rileks. Apabila diperlukan ulangi lagi atau jelaskan pertanyaan yang kurang dipahami oleh responden.
c) Penutup
Pada tahap penutup, penanya perlu menyampaikan ucapan terima kasih atas kesediaan responden, dan atas keterangan yang diberikan responden. Penanya hendaknya memeriksa kelengkapan jawaban sebelum berpamitan kepada responden. Menurut Sudjana (2008 : 197) terdapat sepuluh macam kelebihan teknik wawancara bila dibandingkan dengan teknik lainnya.
a) Penggunaan teknik wawancara dapat dilakukan secara fleksibel sehingga memungkinkan untuk pengulangan atau modifikasi pertanyaan yang dirasa kurang jelas oleh responden, dan adanya peluang untuk melakukan “probing” oleh penanya kepada responden.
b) Intensitas respon terhadap pertanyaan yang diperoleh melalui wawancara lebih tinggi dibandingkan dengan respon melalui kuesioner.
c) Memungkinkan bagi penanya untuk memperoleh data penguat lain melalui mimik atau perilaku responden (non verbal behavior) dalam menjawab pertanyaan.
d) Dapat mengontrol lingkungan yang mungkin mengganggu wawancara seperti hubungan yang kurang mendukung, suara gaduh, dan kekurangsiapan responden untuk diwawancarai. e) Penanya dapat menyusun urutan pertanyaan sesuai dengan
arah pembicaraan antara penanya dengan responden.
f) Penanya dapat mengakomodasi jawaban spontan yang informatif dari responden.
g) Hanya responden sendiri yang menjawab pertanyaan secara langsung tanpa harus dibantu dengan orang lain yang mungkin dapat mempengaruhi jawabannya.
h) Memungkinkan penanya dapat memperoleh jawaban secara menyeluruh untuk setiap pertanyaan.
i) Penanya dapat mengatur waktu yang tepat dan menggunakan tempat yang cocok untuk melakukan wawancara.
j) Dapat digunakan daftar pertanyaan yang dilengkapi dengan bagan, grafik, dan bulkonah (bulatan, kolom dan panah), dan sebagainya.
Namun wawancara mempunyai beberapa kelemahan yang dikemukakan oleh Sudjana (2008 : 198) seperti berikut:
a) Biaya pengumpulan data melalui wawancara, apabila respondennya banyak, pada umumnya lebih besar bila dibandingkan dengan biaya pengumpulan data melalui kuesioner. Tenaga lapangan, supervisor, pelaksana, penentuan sampel membutuhkan biaya yang lebih besar. b) Pelaksanaan wawancara dan perjalanan menemui responden
sering memerlukan waktu lebih lama dari waktu yang disediakan sesuai rencana.
c) Wawancara mungkin akan bias dengan cara mendesak responden dalam menjawab pertanyaan, pencatatan jawaban mungkin tidak lengkap, lebih-lebih apabila tidak tersedia waktu untuk mengulang pertanyaan, dan kemungkinan status,
jenis kelamin, usia, pakaian, dan penampilan penanya dapat mempengaruhi responden dalam menjawab pertanyaan. d) Responden tidak memiliki kesempatan untuk mencari
informasi dari sumber lain sebelum atau sewaktu menjawab pertanyaan.
e) Kemungkinan waktu wawancara kurang cocok dengan kondisi responden seperti responden sedang dalam keadaan kurang sehat, perasaan tegang, udara panas, banyak kerumunan orang, dan gangguan lainnya, sehingga jawaban responden ti8dak diperoleh secara wajar atau apa adanya. f) Kerahasiaan responden kurang terjamin. Nama dan alamat
responden dan situasi kehidupannya diketahui oleh penanya. Keadaan demikian sering dirasakan sebagai “tekanan” oleh responden.
g) Kalimat dan istilah yang digunakan penanya kadang-kadang tidak seragam untuk seluruh responden sehingga sering menyulitkan untuk membandingkan kesamaan atau perbedaan jawaban dari setiap responden.
h) Wawancara tidak dapat menjangkau responden dalam jumlah besar dan dalam wilayah yang luas.
3) Pengamatan (Observation)
Obserrvasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak menggunkan perkataan atau tidak disertai dengan komunikasi lisan. Taknik ini pada umumnya melibatkan penglihatan terhadap data visual, observasi dapat pula melibatkan indera lainnya seperti pendengaran, sentuhan atau rabaan, serta penciuman. Teknik observasi sering digunakan sebelum melakukan survei atau pemakaiannya dapat digabungkan dengan teknik studi dokumentasi dalam evaluasi program.
Menurut Sudjana (2006:200) teknik observasi memiliki beberapa keunggulan yaitu:
a) Teknik observasi dilakukan tanpa harus berbicara. Evaluator dapat menggunakan catatan lapangan atau rekaman gambar
tentang tingkah laku, peristiwa, atau keadaan yang diobservasi.
b) Objek yang diobservasi berada dalam lingkungan alamiah, bukan lingkungan yang dimanipulasi sehingga data yang dihimpun melalui teknik observasi akan objektif.
c) Analisis data dapat dilakukan secara berkelanjutan dalam rentang waktu tertentu (longitudinal analysis) sehingga memungkinkan bagi evaluator untuk melakukan observasi lebih lama dibandingkan dengan pengumpulan data melalui metode survei atau eksperimen.
Adapun kelemahan dari teknik observasi yaitu:
a) Kelemahan dalam pengontrolan terhadap variabel luar (extranuous variable) yang mungkin mempengaruhi data yang terhimpun melalui observasi.
b) Kesulitan membuat kuantifikasi data karena pengukuran dalam observasi pada umumnya terjadi melalui persepsi evaluator terhadap data yang bukan kuantitatif.
c) Sampel terlalu kecil sehingga sulit untuk menarik generalisasi dan untuk membandingkan data yang diperoleh melalui observasi dengan data lainnya.
d) Tidak mudah untuk memperoleh izin mengobservasi. Pengamatan dalam situasi alamiah sering dilakukan dalam lingkungan terbatas seperti kelompok tertentu, lembaga pemerintah, perusahaan, dan lembaga swadaya masyarakat. Evaluator sering mengalami kesulitan untuk memperoleh persetujuan dari pihak-pihak tersebut untuk melakukan observasi.
e) Kesulitan dalam mengobservasi peristiwa yang mengandung isu yang sensitif dan dalam menjaga kerahasiaan nama orang-orang yang diobservasi.
2. Konsep Pendidikan dan Pelatihan
a. Pengertian Pendidikan dan Pelatihan
Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 26 ayat (4) dinyatakan bahwa lembaga pelatihan merupakan satuan pendidikan nonformal, di samping satuan pendidikan lainnya yaitu kursus, kelompok belajar, majelis ta‟lim, kelompok bermain, taman penitipan anak, pusat
kegiatan belajar masyarakat, serta satuan pendidikan yang sejenis. Yang termasuk dalam satuan pendidikan yang sejenis antara lain adalah panti penyuluhan, magang, bimbingan belajar, kepramukan, pondok pesantren tradisional (salafiyah), padepokan, dan sanggar. Pelatihan dapat dilakukan dalam jenis dan ruang lingkup pendidikan nonformal. Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan, dan pendidikan kejuruan (PP No 73/1991).
Pendidikan dan Pelatihan pada umumnya merupakan serangkaian kegiatan yang dipersiapkan organisasi untuk meningkatkan kinerja pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Namun, seperti yang diungkapkan Mustofa Kamil (2007:4) bahwa “Istilah pelatihan biasa dihubungkan dengan pendidikan. Ini terutama karena secara konsepsional pelatihan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Meskipun demikian secara khusus pelatihan dapat dibedakan dari pendidikan”.
Pendidikan dan Pelatihan memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan antara pendidikan dan pelatihan menurut Notoatmodjo (1998:26) dalam Kamil (2007:9) mengemukakan perbandingan antara pendidikan dan pelatihan secara lebih rinci pada beberapa aspek. Pertama, pada aspek pengembangan kemampuan, pendidikan lebih menekankan pada pengembangan kemampuan yang menyeluruh (overall), sedangkan pelatihan lebih menekankan
kemampuan khusus (specific). Kedua, Pada aspek area kemampuan, pendidikan menekankan pada kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor; sedangkan pelatihan lebih menekankan pada kemampuan psikomotor. Ketiga, pada aspek jangka waktu pelaksanaan, pendidikan lebih bersifat jangka panjang (long term), sedangkan pelatihan lebih bersifat jangka pendek (short term). Keempat, pada aspek materi yang disampaikan, pendidikan lebih bersifat umum, sedangkan pelatihan bersifat khusus. Kelima, pada aspek penggunaan metode, pendidikan lebih bersifat konvensional, sedangkan pelatihan bersifat inkonvensional. Keenam, pada aspek penghargaan akhir, pendidikan memberikan gelar, sedangkan pelatihan memberikan sertifikat.
Ikhtisar perbandingan antara pendidikan dan pelatihan ini dapat dilihat pada tabel 2.3
Tabel 2.3
Perbandingan Antara Pendidikan dan Pelatihan
No Aspek Pendidikan Pelatihan
1 .
Pengembangan Kemampuan
Menyeluruh (overall) Khusus (specific) 2. Area Kemampuan Kognitif, afektif, psikomotor. Psikomotor 3. Jangka waktu
pelaksanaan
Jangka panjang (long term) Jangka pendek (short term)
4. Materi Lebih umum Lebih khusus
5. Penggunaan metode pembelajaran
Konvensional Inkonvensional
6. Penghargaan akhir Gelar (degree) Sertifikat (non degree)
Pendidikan sangat berperan penting bagi sumber daya manusia, karena dengan pendidikan sumber daya manusia dapat mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Potensi tersebut dapat dikembangkan apabila mereka mengikuti pelatihan-pelatihan agar potensi yang ada dalam diri kita bisa terus diasah dan aktif dalam mengembangkan potensi dirinya.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, dikemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Adapun definisi pelatihan menurut Simamora (1995: 287) dalam Kamil (2007: 4) mengartikan pelatihan sebagai „serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman, ataupun perubahan sikap seorang individu.‟
Dari penjelasan diatas bahwa pendidikan dan pelatihan adalah proses belajar-mengajar untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan peserta didik yang meliputi kognitif, afektif, dan psikomotor dalam menjalankan tugas.
b. Tujuan Pendidikan dan Pelatihan
Tujuan pendidikan dan pelatihan menurut Atmodiwirio (2005:38) diantaranya:
1) Meningkatkan kesetiaan dan ketaatan PNS kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintahan Republik Indonesia.
2) Menanamkan kesamaan pola pikir yang dinamis dan bernalar agar memiliki wawasan yang komprehensif untuk melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan.
3) Memantapkan semangat pengabdian yang berorientasi kepada pelayanan, pengayoman, dan pengembangan partisipasi masyarakat.
4) Meningkatkan pengetahuan, keahlian dan/atau keterampilan serta pembentukan sedini mungkin kepribadian PNS.
5) Kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya pemerintahan yang baik. (PP No. 101 Tahun 2000)
c. Manfaat Pendidikan dan Pelatihan
Ada beberapa manfaat diklat yang dirasakan baik untuk individu maupun organisasi. Menurut Atmodiwirio (2005:43) ada dua sisi tentang manfaat diklat yang dapat dikemukakan:
Tabel 2.4 Manfaat Diklat
Bagi Individu Bagi Organisasi
a. Menambah wawasan, pengetahuan tentang perkembangan organisasi baik secara internal maupun eksternal.
b. Menambah wawasan tentang perkembangan lingkungan yang sangat mempengaruhi kehidupan organisasi.
c. Menambah pengetahuan di bidang tugasnya.
d. Menambah keterampilan dalam meningkatkan pelaksanaan tugasnya.
e. Meningkatkan kemampuan berkomunikasi antara sesama. f. Meningkatkan kemampuan
menangani emosi
g. Meningkatkan pengalaman memimpin.
a. Menyiapkan petugas untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, dari jabatan yang sekarang. b. Penyesuaian terhadap perubahan
yang terjadi dilingkungannya. c. Merupakan landasan untuk
pengembangan selanjutnya. d. Meningkatkan kemampuan
berproduksi.
e. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk menciptakan kolaborasi dan jejaring kerja.
(Sumber : Atmodiwirio, 2005 : 43)
d. Jenis-jenis dan Jenjang Pendidikan Pelatihan
Menurut Atmodiwirio (2005:38) Pendidikan dan Pelatihan terdiri dari:
1) Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan
2) Pendidikan dan Pelatihan Dalam Jabatan, terdiri dari: a) Pendidikan dan Pelatihan Struktural
Diklat Struktural adalah pendidikan dan pelatihan yang dipersyaratkan dalam PP No. 101/2000 Diklat Struktural disebut Diklat Kepemimpinan (Diklatpim).
b) Pendidikan dan Pelatihan Fungsional
Diklat Fungsional adalah pendidikan dan pelatihan yang dipersyaratkan bagi PNS yang akan dan telah menduduki jabatan fungsional. Pendidikan ini dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tingkat jabatan fungsional yang bersangkutan.
c) Pendidikan dan Pelatihan Teknis
Pendidikan dan pelatihan teknis adalah pelatihan yang diselenggarakan untuk memberi keterampilan atau penguasaan pengetahuan di bidang tertentu kepada PNS sehingga mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang diberikan dengan sebaik-baiknya. (PP No. 14 Tahun 1994).
e. Sasaran Evaluasi Pendidikan dan Pelatihan
Menurut Atmodiwirio (2005:270) sasaran evaluasi pendidikan dan pelatihan adalah “mencakup peserta, program penggunaan personil, sarana dan prasarana, biaya tamatan, partisipasi pelanggan dan masyarakat”.
1) Evaluasi terhadap peserta
Evaluasi dilaksanakan terhadap peserta selama mengikuti diklat dalam bidang akademiknya yang meliputi kegiatan-kegiatan selama dalam kelas (proses belajar-mengajar di kelas),
diskusi, seminar, praktek kerja lapangan, penulisan kertas kerja. Disamping aspek akademik dievaluasi juga aspek sikap peserta. a) Aspek akademik (penguasaan materi)
Menurut Atmodiwirio (2005:272) aspek yang dinilai meliputi:
Pemahaman materi
Komunikasi lisan
Penganalisaan teoritis dan pemecahan masalah
Komunikasi tertulis. b) Aspek sikap dan perilaku
Menurut Atmodiwirio (2005:272) aspek sikap dan perilaku yang dinilai meliputi:
(1) Disiplin, adalah ketaatan dan kepatuhan peserta terhadap seluruh ketentuan yang ditetapkan. Indikatornya adalah:
Kehadiran
Ketepatan hadir di kelas
Ketepatan penyelesaian tugas-tugas
Berpakaian rapi sesuai dengan ketentuan yang ditentukan
(2) Kepemimpinan, kemempuan memotivasi dan menggerakan peserta lainnya meyakinkan orang lain, mempertahankan pendapat, dan mengatasi ketegangan yang mungkin ada. Indikatornya adalah:
Obyektif dan tegas dalam mengambil keputusan
Membela kepentingan bersama sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bertanggungjawab.
Memberi contoh yang dapat diteladani seperti sabar, komunikatif, ksatria, adil, jujur, tekun, tegas dan sosial.
(3) Kerjasama, adalah kemampuan untuk menyelesaikan tugas secara bersama-sama, Indikatornya adalah:
Menyelesaikan tugas bersama dengan orang lain melalui musyawarah dan mufakat.
Membina keutuhan dan kelompok dan kekompakan kelompok.
Tidak mendikte atau mendominasi kelompok.
Mau menerima pendapat orang lain.
(4) Prakarsa, kemampuan untuk mengajukan gagasan yang bermanfaat bagi kepentingan kelompok atau kepentingan yang lebih luas. Indikatornya adalah:
Berperilaku positif untuk kelancaran diklat atau membuat situasi diklat lebih menggairahkan
Mampu mengajukan saran-saran yang nyata baik yang menyangkut materi diklat maupun yang menyangkut kelancaran pelaksanaan diklat.
Dapat menyampaikan gagasan baru yang bermanfaat
Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dan tidak bersifat menguji atau memojokkan orang lain
Dapat mengendalikan diri sesuai dengan waktu, situasi dan lingkungan.
2) Evaluasi Terhadap Widyaiswara
Evaluasi dilaksanakan oleh peserta setelah seorang widyaiswara selesai menyajikan bahan/materi pelajaran yang meliputi tanggung jawabnya. Menurut Atmodiwirio (2005:273) unsur-unsur yang dinilai adalah:
a) Penguasaan materi b) Sistematik penyajian
c) Kemampuan menyajikan materi d) Ketepatan waktu hadir di kelas
f) Sikap dan perilaku
g) Cara menjawab pertanyaan dari peserta h) Penggunaan bahasa
i) Pemberian motivasi belajar kepada peserta j) Pencapaian tujuan pembelajaran
k) Daya simpatik, gaya dan sikap terhadap peserta l) Cara berpakaian
m) Kerjasama antara widyaiswara jika proses pembelajaran dilakukan oleh tim.
Tujuan dari evaluasi ini untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja widyaiswara/pengajar untuk lebih baik lagi dalam melakukan tugasnya secara efektif dan efisien.
3) Evaluasi Terhadap Penyelenggara
Evaluasi dilaksanakan oleh peserta terhadap pelaksanaan diklat termasuk unsur-unsur administrasi dan program akademiknya. Menurut Atmodiwirio (2005:273) unsur-unsur yang dinilai adalah:
a) Tujuan diklat
b) Relevansi program diklat dengan tugas
c) Manfaat tiap mata pelajaran bagi pelaksanaan tugas
d) Manfaat diklat bagi peserta sendiri dan organisasi/unit kerjanya e) Mekanisme pelaksanaan diklat
f) Hubungan peserta dengan pelaksanaan diklat g) Pelayanan panitia/sekretariat terhadap peserta h) Pelayanan akomodasi
i) Pelayanan konsumsi j) Pelayanan kesehatan.
Tujuan evaluasi ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan oleh peserta diklat terhadap program yang diselenggarakan oleh panitia, sehingga program berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
f. Aspek-aspek Program Pelatihan yang Dievaluasi
Grotelueschen (1976) dalam (Sudjana, 2007 : 264) membagi aspek-aspek program yang dievaluasi ke dalam tiga kategori yaitu :
titik berat program (program emphases), sumber-sumber program (program resources), dan dampak yang ditimbulkan program (program outcomes). Pada titik berat program berkaitan dengan upaya penentuan prioritas unsur-unsur program yang termasuk ke dalam komponen, proses atau tujuan program. Sumber-sumber program mencakup sumber daya manusia, sumber daya alam dan lingkungan, kebijakan dan peraturan, dan kerjasama antar lembaga penyelenggara program pelatihan. Perolehan program meliputi keluaran yaitu perubahan perilaku peserta pelatihan dan lulusan peningkatan kemampuan, serta pengaruh program bagi peningkatan kesejahteraan peserta pelatihan atau lulusan, pembelajaran orang lain dan/atau partisipasi lulusan dalam pembangunan masyarakat.
Adapun unsur-unsur program yang dievaluasi berdasarkan sistem pelatihan adalah komponen-komponen yang terdiri atas masukan lingkungan (environmental input), masukan sarana (instrumental input), masukan mentah (raw input), proses (process), keluaran (output), masukan lain (other input) Sudjana (2007 : 265).
Komponen dari masukan lingkungan (environmental input) meliputi lingkungan alam, sosial budaya, dan kelembagaan.
Komponen masukan sarana (instrumental input) meliputi kurikulum atau program pembelajaran, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, serta biaya. Kurikulum atau program pembelajaran mencakup tujuan pembelajaran, materi (bahan) pembelajaran,
metode-teknik dan media pembelajaran serta alat evaluasi hasil belajar. Adapun pendidik sebagai unsur tenaga kependidikan harus memiliki kemampuan dalam proses pembelajaran yang mencakup kemampuan dasar, akademik, personal, sosial, dan profesional. Dalam sebuah pelatihan ada yang disebut dengan pelatih, pelatih disini dapat terdiri atas tutor, pamong belajar, pelatih/widyaiswara/instruktur, penyuluh, pengampu, dan lain sebagainya. Sebagai seorang pelatih, pelatih harus mempunyai kemampuan kemampuan dalam menajemen pembelajaran. Grotelueschen (1976) dalam (Sudjana, 2007 : 266) memaparkan bahwa aspek-aspek pelatih yang dievaluasi adalah keterlibatannya dalam program dan penampilannya dalam proses pembelajaran. Untuk sarana dan prasarana pembelajaran dalam kegiatan pelatihan terdiri dari lokasi pembelajaran, penti pembelajaran, gedung dan perlengkapan pembelajaran (termasuk di dalamnya adalah meja, kursi, dan mebeler), laboratorium, tempat kerja (workshop), dan alat-alat bantu pembelajaran seperti papan tulis, alat-alat tulis, buku, OHP, dan lain sebagainya. Sarana dan prasarana serta alat bantu pelatihan perlu di evaluasi karena hal ini sangat mempengaruhi peserta diklat dalam menjalani proses pembelajaran yang diterima dalam kegiatan pelatihan. Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana serta alat bantu akan menimbulkan ketidaknyamanan peserta diklat dalam menerima materi. Selain itu, dalam program penyelenggaraan ada
yang perlu di evaluasi adalah organisasi penyelenggara, peraturan yang digunakan, tipe dan status organisasi, daya dukung, jejaring dan hubungan kemitraan dengan pihak luar yang terkait. Evaluasi yang terakhir tentang pembiayaan, pembiayaan berkaitan dengan anggaran dan pengelolaan biaya yang berkaitan dengan pelatihan.
Menurut Sudjana, (2007 : 267) komponen masukan mentah (raw input) terdiri dari peserta pelatihan. Peserta pelatihan mempunyai karakteristik internal dan eksternal. Adapun karakteristik internal peserta pelatiha yaitu :
1) Atribut fisik
Atribut fisik meliputi usia, jenis kelamin, tinggi dan berat badan, serta kondisi panca indera.
2) Atribut psikis
Atribut psikis adalah kebutuhan belajar, motivasi belajar, aspirasi, keinginan, minat, tujuan. Hal ini meliputi kesiapan belajar dan kemampuan mental.
3) Atribut fungsional
Atribut fungsional meliputi pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan status sosial ekonomi.
Karakteristik eksternal peserta pelatihan berkaitan dengan lingkungan kehidupan peserta pelatihan meliputi lingkungan keluarga, kebiasaan dans arana belajar yang terdapat di masyarakat dan daerah. Evaluasi terhadapa masukan mentah ini adalah untuk
menjawab pertanyaan tentang karakteristik mana yang paling mendorong atau menghambat peserta pelatihan untuk belajar dan bagaimana pengaruhnya terhadap proses, hasil dan dampak pembelajaran.
Dalam komponen proses, proses pembelajaran yang perlu dievaluasi ialah interaksi edukasi anatara peserta pelatihan dengan pelatih. Proses ini menyangkut pembelajaran, bimbingan dan atau latihan. Perlu diperhatikan juga pendekatan dan metode yang digunakan oleh pelatih dan teknik kegiatan belajar oleh peserta pelatihan. Dalam evaluasi program juaga perlu diidentifikasi tentang efisiensi dan efektivitas pembelajaran.
Komponen keluaran (output) adalah lulusan program pelatihan. Keluaran yang dievaluasi adalah kuantitas dan kualitas lulusan program pelatihan setelah mengalami proses pembelajaran. Kuantitas adalah jumlah lulusan yang berhasil menyelesaikan proses pembelajaran dalam program pelatihan. Kualitas adalah perubahan tingkah laku peserta pelatihan atau lulusan meliputi ranah afeksi, kognisi, dan psikomotor.
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka berfikir ini disusun secara rasional menurut konsep dan teori yang ada dengan penemuan permasalahan ketika diimplementasikan. Proses alur pikir peneliti dalam melakukan penelitian ini sebagai berikut :
KERANGKA PEMIKIRAN
Keterangan : Gambar 2.4
Fenomena Umum :
1. Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 78
2. PP No. 47 Tahun 2008
3. Instruksi Presiden No.15 Tahun 1974 EVALUASI PROGRAM PELATIHAN PENYUSUNAN BAHAN AJAR BERBASIS TIK Fenomena Khusus :
1) Tujuan program pelatihan yang akan dicapai terlalu umum.
2) Kriteria peserta pelatihan kurang diperhatikan berdasarkan analisis kebutuhan.
3) Kurang sesuainya contoh penyampaian materi yang dilakukan pelatih terhadap peserta diklat. 4) Sejauh mana peserta pelatihan yang
sudah mengikuti pelatihan mengaplikasikan pelatihan tersebut, pihak lembaga belum bisa secara
Fokus Penelitian
Context
Input
Process
Product Terlatihnya keterampilan tenaga
pendidik dalam menyusun atau mendesain bahan ajar berbasis TIK