• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRENGTH OF EVIDENCE RECORDING PHONE TAPPING ON CORRUPTION. ( E - mail: ) ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRENGTH OF EVIDENCE RECORDING PHONE TAPPING ON CORRUPTION. ( E - mail: ) ABSTRACT"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

STRENGTH OF EVIDENCE RECORDING PHONE TAPPING ON CORRUPTION Mustafa Kamal1, Uning Pratimaratri1, Yetisma Saini1

1

Program Study of Law, Faculty of Law, University of Bung Hatta ( E - mail: mustafakamal27@yahoo.co.id )

ABSTRACT

Corruption is a criminal offense remarkable. Corruption is usually done in secret. To overcome this, a letter of Article 12 of Law No. 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission, the investigator is authorized to conduct wiretaps. This phone wiretaps used as evidence. Formulation of the problem 1) How does the strength of evidence telephone wiretaps on corruption, 2) What is the status telephone wiretaps on corruption. This study uses normative juridical approach. Materials studied law is Supreme Court Decision No ; 1195/K/Pid-Sus/2014. The legal materials obtained through the study of documents. Legal materials were analyzed qualitatively. Data Sources primary legal materials, secondary law. In conclusion 1) Strength of evidence telephone wiretaps on corruption, the strength of evidence recording has a clear strength of evidence and legal basis, including Section 26A of Act Number 20 of 2001 on the Amendment of Act No. 31 of 1999 on the Eradication Corruption. 2) Position Recording Phone Tapping On Corruption by the Supreme Court Decision No. 1195/K/Pid-Sus/2014, that kind of evidence set out in the Criminal Code extended by Act No. 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions so that the wiretap recording evidence can be accepted as valid evidence appropriate procedural law applicable in Indonesia.

Keywords: Evidence, Wiretapping, Telephone, Corruption. Pendahuluan

Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang sangat meresahkan masyarakat, dikarenakan kejahatan ini sangat merugikan keuangan negara. Modus operandi dari tindak pidana korupsi ini biasanya tidak dilakukan dengan cara terangan-terangan melainkan dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi dan diam-diam. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, untuk mengungkapkan

tindak pidana korupsi yang terjadi diperlukanlah teknik atau cara untuk mengungkap tindak pidana tersebut, maka undang-undang memberikan kewenangan khusus yakni dalam melakukan penyadapan dan melakukan perekaman terhadap orang melalui telepon.

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi atau biasa disebut KPK, memiliki kewenangan yang lebih dibandingkan lembaga lain, dikarenakan adanya kebijakan dari pemerintah untuk

(2)

2 mengutamakan pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri harus siap ikut andil dalam pemberantasan korupsi dengan beberapa kewenangan yang dimilikinya. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menindak setiap pelaku korupsi dengan salah satu kewenangannya dalam penyelidikan, yang mana tercantum dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sebagai kejahatan yang digolongkan dalam tindak pidana yang luar biasa (extra ordinarycrimes), upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat lagi dilakukan secara biasa tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa, yakni salah satu cara-cara yang dilakukan dalam pembuktian tindak pidana korupsi ialah dengan memanfaatkan dan memaksimalkan peran teknologi informasi dan komunikasi yang kegunaannya untuk pembuktian tindak pidana korupsi diPengadilan.

Masalah alat bukti di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) “Alat bukti yang sah ialah:

a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.”

Permasalahan rekaman penyadapan telepon sendiri tidak ada secara jelas di sebutkan di dalam Pasal 184 tersebut, melainkan berupa penjabaran lebih lanjut mengenai alat bukti petunjuk yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP, menyebutkan bahwa; “petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Sebagai perluasan alat bukti, rekaman penyadapan telepon tidak diatur dalam Pasal 184 KUHAP, maka Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

(3)

3 Elektonika. Pasal 5 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa;

(1). Informasi elektronik dan/atau dokumen dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah; (2). Informasi elektronik dan/atau dokumen dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik mengungkapkan permasalahan yang timbul untuk diangkat dalam suatu karya tulis ilmiah ini dengan judul “Kekuatan Pembuktian Rekaman Penyadapan Telepon Pada Tindak Pidana Korupsi (Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1195 K/Pid.Sus/2014) Metode penelitian

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah hukum yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka berupa bahan hukum atau data sekunder belaka.

B. Bahan Hukum

1. Bahan Hukum Primer.

Yaitu bahan-bahan penelitian yang berasal dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan judul dan permasalahan diantaranya;

a. Undang-undanng Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. c. Undang-undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

d. Undang-undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(4)

4 e. Undang-undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

f. Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

g. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

h. Peraturan Pemerintah Nomor 52

Tahun 2000 tentang

Penyelenggaraan Telekomunikasi. i. Peraturan Menteri Komunikasi dan

Informatika Nomor

11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi.

j. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan Pada Pusat Pemantauan Kepolisian Republik Indonesia.

k. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:1195/K/PID-SUS/2014.

2. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan-bahan penelitian yang berasal dari literatur atau hasil penelitian yang erat kaitannya dengan Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, dan jurnal.

3. Bahan Hukum Tersier

Yaitu merupakan bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang lebih dikenal dengan bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum seperti kamus dan ensiklopedi hukum yang membantu menterjemahkan berbagai istilah hukum yang digunakan dalam tinjauan pustaka maupun dalam pembahasan dan bahan-bahan primer, sekunder, dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum, misalnya dari bidang ilmu

(5)

5 telematika khususnya penyadapan telepon.

C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Studi dokumen adalah cara-cara yang dilakukan dalam pengumpulan bahan hukum yang cocok dengan tujuan penelitian. D. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data kualitatif adalah gambaran secara keseluruhan tanpa menggunakan angka-angka akan tetapi menggunakan kata atau kalimat.

Hasil Penelitian Dan Pembahasan

A. Kekuatan Pembuktian Rekaman Penyadapan Telepon Pada Tindak Pidana Korupsi (Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1195K/Pid.Sus/2014)

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti

yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan Hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.

Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1195K/Pid.Sus/2014 tentang tindak pidana korupsi, Tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutar rekaman pembicaraan telepon antara mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dan orang dekatnya, Ahmad Fathanah, dalam persidangan kasus kuota impor daging sapi di Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi Jakarta, Jumat (17/5/2013). Dari hasi penyadapan yang diputar

pada persidangan perkara suap kuota impor daging sapi dengan terdakwa Juard Effendi dan Aria Abdi Effendi itu, terungkap bahwa Luthfi berjanji akan meminta tambahan kuota impor daging sapi kepada Menteri Pertanian Suswono sebanyak 10.000 ton. Fathanah mengatakan, ada fee

(6)

6 sebesar Rp 40 miliar. Tim jaksa penuntut umum KPK memutar hasil penyadapan itu karena Fathanah terlihat berbelit-belit dalam menyampaikan keterangannya.

Dari transkrip itu percakapan antara Fathanah dan Luthfi mulanya dibuka dengan obrolan seputar istri. "Istri-istri antum (Luthfi) sudah menunggu semua," ucap Fathanah sambil terkekeh. Luthfi pun membalas ucapan Fathanah dengan bertanya, "Yang mana saja?" kata Luthfi yang saat itu juga mengaku masih berada di Riau. Selanjutnya, percakapan kedua orang ini lebih banyak menggunakan bahasa Arab. Menurut jaksa KPK, percakapan ini berkaitan dengan kepengurusan tambahan kuota impor daging sapi untuk PT Indoguna Utama. Terlihat dalam transkrip pembicaraan, Luthfi berencana mengajak Direktur PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman bertemu dengan Menteri Pertanian Suswono.

Luthfi pun meminta Fathanah menyuruh Maria mempersiapkan data-data

yang dapat meyakinkan Suswono kalau swasembada daging justru mengancam ketahanan pangan sehingga keran impor harus dibuka lebih lebar. "Pertama, dia harus bisa yakinkan Menteri (Suswono) bahwa data BPS itu tidak benar. Bahwa swasembada itu mengancam ketahanan daging kita. Kalau bisa dia (Elizabeth) bawa data," ujar Luthfi kepada Fathanah seperti dalam transkrip rekaman. Selain itu, Fathanah juga mengatakan kepada Luthfi bahwa Indoguna Utama hanya meminta tambahan kuota 8.000 ton. Dari 8.000 ton yang diminta itu, ada fee Rp 40 miliar yang dijanjikan. Fee ini dihitung dari 8.000 ton dikalikan dengan Rp 5.000 per kilogramnya. "Annukhud arbain milyar cash (ada Rp 40 miliar tunai)," kata Fathanah kepada Luthfi seperti dalam transkrip pembicaraan itu. Namun, Lutfi justru menjanjikan lebih. Dia berjanji mengupayakan 10.000 ton tambahan impor daging sapi. "Ana akan minta full-lah ya," ucap Luthfi. Lalu, dijawab Fathanah

(7)

7 dengan, "Sepuluh ribu ya, berarti Rp 50 miliar."

Berdasarkan rekaman pembicaraan yang diputar tim jaksa KPK ini, Fathanah tetap berkelit. Dia mengaku masih menganggap isi perkataan Luthfi dalam rekaman itu hanyalah sekadar bercanda. "Antara percaya dan tidak, tapi saya minta dengarkan," kata Fathanah kepada jaksa KPK dalam persidangan.

Bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik disebutkan bahwa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.” Pasal tersebut menegaskan bahwa bukti elektronik adalah bukti yang sah. Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksut ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai

dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.”

Berdasarkan alat bukti elektronik tersebut harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil yang telah di tentukan dalam Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) jo Pasal 6 jo Pasal 15 jo Pasal 16 jo Pasal 43 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik.

a. Syarat formil

Syarat formil alat bukti non elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 43 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik yaitu;

1) Informasi atau dokumen itu bukanlah;

a) Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis

b) Surat dan beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta

(8)

8 notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta 2) Pengeledahan atau penyitaan dan

tetap menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum. b. Syarat materiil

1) Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik menyebutkan bahwa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini” 2) Pasal 6 Undang-undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik dalm hal ini terda[pat ketentuan lain selain diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang yang

tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggunjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

3) Sistem elektronik diataur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 16 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik antara lain menyebutkan bahwa;

(a) Andal dan aman serta bertanggungjawab

(b) Dapat menampilkan kembali informasi atau dokumen elektroniuk secara utuh

(c) Dapat melindungi keseterdiaan, keutuhanan, keotentikan, kerahasian, dan keteraksesan informasi elektonik

(d) Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang telah ditetapkan tersebut.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1195K/Pid.Sus/2014

(9)

9 yang mana didalam pembuktiannya di pengadilan menggunakan informasi elektronik juga merupakan suatu alat bukti yang sah. Maka kekuatan pembuktian rekaman penyadapan telepon kasus tindak pidana korupsi telah memiliki kekuatan pembuktian yang jelas dan memiliki dasar hukum, dan dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah menurut Pasal 26A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Serta Pasal 44 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik dan memiliki kekuatan yang sama dengan alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP.

Alat bukti yang di ajukan oleh Jaksa Penunutut Umum KPK yang diantaranya rekaman penyadapan telepon yang didapatkan dari hasil sadapan terhadap Lutfi Hasan Ishaq.

Berdasarkan rekaman penyadapan telepon yang disodorkan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi tersebut , maka hakim yang menyidangkan perkara tersebut meyakini bukti rekaman tersebut sebagai alat bukti, yang dijadikan salah satu alat bukti di persidangan.

B. Kedudukan Pembuktian Rekamam Penyadapan Telepon Pada Tindak Pidana Korupsi (Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1195 K/Pid.Sus/2014)

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1195 K/Pid.Sus/2014 kedudukan rekaman penyadapan telepon dapat dilihat berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara implisit terhadap perluasan alat bukti petunjuk yang berupa alat bukti yang diperoleh melalui usaha penyadapan terdapat dalam Pasal 26 A “Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

(10)

10 b. Dokumen, yakni setiap rekaman data/atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terakam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.”

Alat bukti petunjuk dalam hukum pidana formil korupsi tidak saja dibangun melalui tiga alat bukti yang terdapat dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, melainkan dapat diperluas di luar tiga alat bukti yang sah tersebut sebagaimana yang diterapkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 26 A

Dengan adanya perluasan alat bukti dari petunjuk maka kedudukan rekaman penyadapan telepon dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1195 K/Pid.Sus/2014 memiliki kedudukan yang sama dengan alat bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP.

Simpulan

Berdasarkan pembahan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai kekuatan pembuktian rekaman penyadapan telepon pada tindak pidana korupsi, diantaranya;

1. Kekuatan pembuktian rekaman penyadapan telepon Pada tindak pidana korupsi berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1195 K/Pid.Sus/2014, bahwa kekuatan pembuktian rekaman penyadapan telepon kasus tindak pidana korupsi telah memiliki kekuatan pembuktian yang jelas serta landasan hukum, dan dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah menurut Pasal 26 A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 44 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan memuliki kekuatan yang

(11)

11 sama dengan alat bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP.

2. Kedudukan Rekaman Penyadapan Telepon Pada Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1195 K/Pid.Sus/2014, bahwasanya jenis alat bukti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana telah diperluas oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga bukti rekaman penyadapan telepon dapat diterima sebagai alat bukti yang sah sesuai dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Saran

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai kekuatan pembuktian rekaman penyadapan telepon dalam tindak pidana korupsi, yakni hakim yang dalam mengadili perkara Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1195 K/Pid.Sus/2014 hakim tersebut harus jeli dan teliti,

dikarenakan alat bukti yang di hadirkan di dalam persidangan tersebut tidak hanya seperti apa yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP, tetapi adanya rekaman penyadapan telepon sehingganya diperlukan kejelian yang baik terhadap perkara tersebut dan memutus perkara tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Daftar Pustaka

A. Buku-Buku

Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung. Adelberd S. Simamora, 2013,

“Tindakan Penyadapan Pada

Proses Penyidikan Dalam

Kaitannya Dengan Pembuktian Perkara Pidana”, Jurnal ilmiah, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Andi Hamzah, 2014, Hukum Acara

Pidana Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta.

Azis Syamsudin, 2013, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta.

Elwi Danil, 2014, Korupsi, Konsep,

(12)

12 Pemberantasannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ermansjah Djaja, 2013,

Memberantas Korupsi

Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta.

Hari Sasangka, dan Lili Rosita, 2003,

Hukum Pembuktian Dalam

Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung.

Kristian, dan Yopi Gunawan, 2013, Sekelumit Tentang Penyadapan

dalam Hukum Positif di

Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung.

Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis,

Praktik, dan

Permasalahannya, P.T.

Alumni, Bandung.

Munir Fuady, 2006, Teori Pembuktian (perdata, pidana), Citra Aditya Bhakti, Jakarta. Romli Atmasasmita, 2013, Sistem

Peradilan Pidana

Kontemporer, Kencana, Jakarta Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2000, Penelitian

Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Subekti, 2010, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta. Surachmin, dan Suhandi Cahaya,

2011, Strategi dan Teknik

Korupsi, Sinar Grafika,

Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Undang-undang Nomor 36 Tahun

1999 tentang Telekomunikasi. Undang-undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan

Telekomunikasi.

Peraturan Menteri Komunikasi dan

Informatika Nomor

11/PER/M.KOMINFO/02/200 6 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi.

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan Pada Pusat Pemantauan Kepolisian Repuklik Indonesia.

(13)

13 Putusan Mahmakah Agung RI

Nomor: 1616 K/PID.SUS/2013 C. Sumber Lain.

Icha Rastika, 2013, Transkrip

Pembicaraan Luthfi dan

Fathanah Soal “Fee” Rp. 40

Milyar, KOMPAS.COM, http://kompas.com/news/nasion al/transkrip_pembicaraan_luthf i_dan_ fathanah_soal_fee_Rp.40milya r.html

Referensi

Dokumen terkait

a. Besarnya gaji yang dibayar kepada setiap pegawai harus disesuaikan dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, risiko pekerjaan, tingkat pendidikan, jabatan pekerja,

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah membimbing saya selaku peneliti telah menyelesaikan proposal penelitian dengan judul “Analisis Perbedaan Kepuasan Mahasiswa

1.Untuk debit 26,7 m 6 /jam menggunakan motor induksi sebesar 75 kWatt agar sesuai dengan yang diperlukan oleh pompa air boiler.. Untuk debit 24,5 m 6 /jam menggunakan motor

JADWAL PERKULIAHAN SEMESTER III (GANJIL) TAHUN AKADEMIK 2015/2016. PROGRAM STUDI TEKNIK

Pada hari ini Senin tanggal Dua Puluh Tujuh bulan Agustus Tahun Dua Ribu Dua Belas , kami selaku Pokja Pengadaan Barang/Jasa Satker MAN 8 Jakarta Kementerian Agama

JADWAL PERKULIAHAN SEMESTER V (GANJIL) TAHUN AKADEMIK 2015/2016 PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA (S1). KELAS

Kuasa Pengguna Anggaran Madrasah Aliyah Negeri Laburunci Alamat Desa Laburunci Kecamatan PasaMajo KabupaEn Buion mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa untuk

[r]